Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
Deviasi septum nasi didefinisikan sebagai bentuk septum yang tidak lurus di tengah
sehingga membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua rongga hidung yang
mengakibatkan penyempitan pada rongga hidung.1
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang
dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di tengah. Angka kejadian septum yang
benar-benar lurus hanya sedikit dijumpai, biasanya terdapat pembengkokan minimal atau
terdapat spina pada septum nasi. Bila kejadian ini tidak menimbulkan gangguan respirasi,
maka tidak dikategorikan sebagai abnormal.1
Angka kejadian deviasi septum nasi yang dilaporkan sangat bervariasi. Pernah
dilaporkan di Brazil pada tahun 2004, dimana insiden deviasi septum nasi mencapai 60,3 %
dengan keluhan sumbatan hidung sebanyak 59,9%. Pada tahun 1995, Min dkk menemukan
prevalensi deviasi septum nasi di Korea mencapai 22,38% dari populasi, dengan penderita
yang terbanyak adalah laki-laki. Pada tahun 2002, di Turki, Ugyur dkk melaporkan 15,6%
bayi baru baru lahir dengan persalinan normal mengalami deviasi septum nasi.1
Deviasi dan dislokasi septum nasi dapat disebabkan oleh gangguan pertumbuhan
yang tidak seimbang antara kartilago dengan tulang septum, traumatik akibat fraktur fasial,
fraktur nasal, fraktur septum atau akibat trauma saat lahir. Gejala utama adalah hidung
tersumbat, biasanya unilateral dan dapat intermitten, hiposmia atau anosmia dan sakit
kepala dengan derajat yang bervariasi.1
Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan obstruksi hidung yang mengganggu
fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau bahkan menimbulkan gangguan estetik
wajah karena tampilan hidung menjadi bengkok. Gejala sumbatan hidung dapat
menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab sumbatan hidung dapat
bervariasi dari berbagai penyakit dan kelainan anatomis. Salah satu penyebabnya dari
1
kelainan anatomi yang terbanyak adalah deviasi septum nasi. Tidak semua deviasi septum
nasi memberikan gejala sumbatan hidung. Gejala lain yang mungkin muncul dapat seperti
hiposmia, anosmia, epistaksis dan sakit kepala. Untuk itu para ahli berusaha membuat
klasifikasi deviasi septum nasi untuk memudahkan diagnosis dan penatalaksanaannya.1
Diagnosis dari gejala sumbatan hidung sangat kompleks dan bervariasi, selain
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik juga diperlukan pemeriksaan penunjang
untuk pengukuran sumbatan hidung. Skor sumbatan hidung merupakan salah satu
parameter untuk menilai suatu sumbatan hidung. Untuk itu diperlukan pemeriksaan
penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengevaluasi gejala sumbatan
hidung. Diantaranya adalah Nasal Inspiratory Peak Flowmetry (NIPF), Rinomanometri dan
Rinometri Akustik.1
Deviasi septum nasi yang memberikan gejala sumbatan hidung yang berat dan
gejala lain yang mengganggu kualitas hidup dapat ditatalaksana dengan mengoreksi septum
melalui septoplasti. Saat ini dikenal berbagai teknik septoplasti, antara lain septoplasti
tradisional atau yang sering disebut septoplasti konvensional, septoplasti endoskopi dan
teknik open book septoplasty. Dimana teknik septoplasti konvensional masih sering
dipergunakan dan masih memberikakan hasil yang baik.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Hidung
2.1.1 Anatomi
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 2
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah : 2
1)
2)
3)
4)
Batas rongga hidung. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat
sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak
dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os
etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat serabut-serabut
saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfemoid.2
2.1.2. Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal merupakan celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
seminularis, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang
letaknya dianterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.2
Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus terkait. 2
2.1.3. Pendarahan hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.2
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris
interna, diantaranya ialah a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. 2
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.facialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang
7
jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan
IgG bereaksi di dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan
antigen bakteri.2
2.1.7. Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :2
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal.
2) Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu.
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
4) Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas.
5) Refleks nasal mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung
akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2.2. DEVIASI SEPTUM NASI
Deviasi septum nasi didefinisikan sebagai bentuk septum yang tidak lurus di
tengah sehingga membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua rongga
hidung yang mengakibatkan penyempitan pada rongga hidung. Bentuk septum
normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya
septum nasi tidak lurus sempurna di tengah.4
Angka kejadian septum yang benar-benar lurus hanya sedikit dijumpai,
biasanya terdapat pembengkokan minimal atau terdapat spina pada septum nasi.
10
Bila kejadian ini tidak menimbulkan gangguan respirasi, maka tidak dikategorikan
sebagai abnormal.4
2.2.1. Klasifikasi
Pertama-tama, kita harus menentukan perbedaan antara deviasi septum dan
deformitas septum, karena " deviasi " umumnya berarti deklinasi sedikit dari garis
mediosagital, sedangkan deformitas berarti perubahan bentuk. Bentuk dasar dari
septum sebagian besar harus lurus dan membagi hidung menjadi dua rongga. Orang
pertama yang secara sistematis membagi septum deviasi tahun 1958 oleh Cottle
yang mendefinisikan empat kelompok " deviasi septum " : subluxation, large
spurs, caudal deflection and tension septum. 1
Untungnya, variasi dari bentuk deformitas septum menunjukkan urutan
tertentu, sehingga memungkinkan klasifikasi yang lebih tepat. Pada tahun 1987,
Mladina adalah orang pertama yang membuat klasifikasi dari (SD) di enam tipe
dasar. Dia juga menggambarkan tipe ketujuh, bernama Passali deformitas, yang
menyajikan secara individual, beberapa ada enam jenis. jenis Mladina dari SD
dibagi menjadi dua kelompok utama: apa yang disebut kelainan bentuk vertikal
(jenis 1, 2, 3 dan 4), dan yang horizontal (jenis 5 dan 6).1
11
12
Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya keluhan :
1) Ringan
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang
Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.3
Jin RH dkk juga mengklasifikasikan deviasi septum menjadi 4, yaitu :
1)
2)
3)
4)
13
Sumbatan
ialah
sumbatan
deviasi terdapat konka hipotrofi sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka
yang
hipertrofi,
rasa nyeri di kepala dan sekitar mata. Selain itu penghidu dapat terganggu,
apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum
menyumbat
dapat
sinusitis.1
14
2.2.3.2.
Pemeriksaan fisik
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada
batang hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan
15
septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil
pemeriksaan bisa normal.1
Penting untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum,
karena ujung spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal. Pemeriksaan
seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung untuk menentukan besarnya
konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi juga diperiksa karena struktur-struktur ini
sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum.1
16
penjelasan
penggunaan
alat
ini
pada
pasien
untuk
>120 Normal
Penggunaan NIPF relatif mudah, bias diulang bila diperlukan, alatnya
mudah dibawa karena berukuran kecil dan mempunyai harga yang murah.
Nilai NIPF akan menurun pada penyakit saluran nafas bawah seperti asma dan
penyakit paru obstruksikronis.1
Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk
menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat robekan mukosa.
Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan pemeriksaan
radiologi sinus paranasal.
18
19
Gambar 13 :perbandingan antara foto polos (A) dan CT-Scan (B). dimensi foto
polos menyebabkan penumpukan struktur, sehingga interpretasi menjadi kecil.
Hanya struktur tulang pada septum yang terlihat. Pada CT-Scan (B) anatomi secara
detail terlihat baik struktur tulang maupun kartilago pada septum serta deformitas
struktur yang berhubungan.10
Nasal Discharge
Nyeri Kepala
Diagnosis Banding
Polip Nasi
Rinitis Alergi
Rinitis Vasomotor
Sinusitis
Sinusitis
Rinitis Simpleks,Sika,Hipertropikans Dan
Atropikans
Sinusitis
2.2.6. Penatalaksanaan
2.2.6.1. Septoplasti
20
Gambar 14 : Septoplasti
Masalah pascaoperasi
1. Nyeri
Kebanyakan pasien akan mengalami sakit kepala, termasuk hidung
tersumbat, nasal discharge untuk 1-2 minggu setelah pembedahan. Nyeri
biasanya ringan sampai sedang;obat analgetik mungkin diperlukan sampai
untuk satu minggu setelah operasi. biasanya diobati dengan Tylenol. Hindari
ibuprofen serta aspirin karena dapat menyebabkan perdarahan pasca
operasi.13
2. Antibiotik
21
Setelah operasi, sinus mungkin akan berisi dengan darah dan lendir.
Untuk mencegah infeksi yang signifikan, antibiotik harus diresepkan.13
3. Nasal Hygiene
Darah dan lendir dalam hidung, dapat
22
23
Komplikasi
Obstruksi Nasal
Perforasi Septum
Segi Kosmetik
Adhesi
Rekurensi
SMR
Banyak
Jarang
Sering
Kurang Baik
Sering
Sering
Septoplasti
Sedikit
Sering
Jarang
Lebih Baik
Jarang
Jarang
24
25
secara
ek straluminer
mukosa
seperti
tuba
Eustachius.
Sedang
polip nasi yang ekstensif ,hipertrofi adenoid yang menekan ostium tuba
Eustachius, deviasi septum dan rinosinusitis. Namun, dalam literatur yang
ada.9
Mayoritas penderita deviasi septum nasi menderita multisinusitis dan
paling banyak ditemukan pada deviasi tipe 7 (37,5%) dan dikuti tipe 5 (32,5%).
Sinusitis tunggal paling banyak ditemukan pada deviasi tipe 5 (55,6%),
sedangkan pansinusitis paling banyak ditemukan pada tipe 7 (60,0%).9
Gangguan fungsi tuba terbanyak didapatkan pada deviasi tipe 5, belum
terdapat pandangan yang seragam mengenai pengaruh deviasi septum terhadap
pendengaran terutama terhadap fungsi tuba dan telinga tengah.9
26
BAB III
KESIMPULAN
Deviasi septum nasi dapat berupa kelainan bawaan sejak lahir atau paling sering
terjadi akibat trauma. Risiko terjadinya deviasi septum meningkat pada laki-laki karena
lebih banyak terpapar dengan lingkungan dan trauma. Deviasi septum yang ringan tidak
memberikan keluhan, sedangkan yang berat dapat menyebabkan kesulitan bernapas akibat
obstruksi nasal.
Terapi konservatif untuk obstruksi nasal dapat dilakukan dengan pemberian obatobatan untuk mengatasi gejala pada pasien. Namun untuk mengkoreksi deviasi septum,
tindakan pembedahan sangat penting. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya
perburukan kondisi pasien sehingga menyebabkan berbagai komplikasi. Tingkat
keberhasilan tindakan pembedahan yang diharapkan tergantung pada berat ringannya
deviasi septum nasi yang terjadi.
Secara umum, sebagian besar pasien dengan deviasi septum nasi lebih baik
dilakukan tindakan septoplasty dibandingkan dengan sub-mucous resection (SMR) karena
adanya komplikasi post-SMR, seperti perforasi septum, perdarahan, dan saddle nose.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiman J., Bestari, Asyari Ade, Pengukuran Sumbatan Hidung Pada Deviasi
Septum Nasi. 2015:19(6):3
2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi ke
Tujuh. 2014. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
3. Tortora J., Gerrard. Principle of Anatomy And Physiology Edisi ke 12. 2009. USA:
John Wiley & Son.
4. Budiman J., Bestari, Huriati Effy, Pengaruh Septoplasti Terhadap Sumbatan
Hidung. 2014:19(6):1
5. Mladina Ranko, Skitarelic Neven. Clinical Implication Of Nasal Septal Deformities.
2015:19(6);1
6. Teixeira Jefrey, Certal Victor. Nasal Septal Deviations A Systematic Review Of
Classification Systems. 2016:19(6):4
7. Yudianto Sony. Rahmawaty Luh Made. Hubungan Derajat Obstruksi Hidung Pada
Pasien Deviasi Septum Dengan Disfungsi Tuba Eustachius. 2014:19(6);4
8. Sriniras N. Pranyaga, Koloyu Srikat. Clinical Study On Deviated Nasal Septum And
Its Associated Pathology. 2014. 2014 (6):3
9. Toluhula T. Tanagi. Hubungan Tipe Deviasi Septum Nasi Menurut Klasifikasi
Mladina Dengan Kejadian Rinosinusitis Dan Gangguan Fungsi Tuba. 2014:19(6):3
10. Carrasco V. Familiar, S. Mancheva Manewa. Nasal Septal Anatomy And Deviation :
Beyond And Flat. 2003:19(6):3-4
11. Sedaghat Ahmad, Bleier Benjamin. Open Accaess Atlas Of Otolaryology, Head And
Neck Operation Surgery. 2014:19(6):5
12. Daniel G Becker. Septoplasty And Turbinate Surgery. 2013:19(6)4
13. Department Of Otolaryngology Head And Neck Surgery. Septoplasty And
Turbinate Surgery. 2016:20(6):1-2
14. Iqbal Kamran Et Al. Submucous Resection Versus Septoplasty Complications And
Functional Outcome In Adult Patients. 2011:20(6):2-4
- Sinusitis
- Rinitis
- Septoplasti
Polip
Septum
Rinoskopi
Normal
normal
28
aliran udara
hidung
Tidak ada
Inspeksi hidung
Deviasi
SMR
Septum
septum Abnormal
indikasi bedah
CT-Scan