Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
Deviasi septum nasi didefinisikan sebagai bentuk septum yang tidak lurus di tengah
sehingga membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua rongga hidung yang
mengakibatkan penyempitan pada rongga hidung.1
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang
dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di tengah. Angka kejadian septum yang
benar-benar lurus hanya sedikit dijumpai, biasanya terdapat pembengkokan minimal atau
terdapat spina pada septum nasi. Bila kejadian ini tidak menimbulkan gangguan respirasi,
maka tidak dikategorikan sebagai abnormal.1
Angka kejadian deviasi septum nasi yang dilaporkan sangat bervariasi. Pernah
dilaporkan di Brazil pada tahun 2004, dimana insiden deviasi septum nasi mencapai 60,3 %
dengan keluhan sumbatan hidung sebanyak 59,9%. Pada tahun 1995, Min dkk menemukan
prevalensi deviasi septum nasi di Korea mencapai 22,38% dari populasi, dengan penderita
yang terbanyak adalah laki-laki. Pada tahun 2002, di Turki, Ugyur dkk melaporkan 15,6%
bayi baru baru lahir dengan persalinan normal mengalami deviasi septum nasi.1
Deviasi dan dislokasi septum nasi dapat disebabkan oleh gangguan pertumbuhan
yang tidak seimbang antara kartilago dengan tulang septum, traumatik akibat fraktur fasial,
fraktur nasal, fraktur septum atau akibat trauma saat lahir. Gejala utama adalah hidung
tersumbat, biasanya unilateral dan dapat intermitten, hiposmia atau anosmia dan sakit
kepala dengan derajat yang bervariasi.1
Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan obstruksi hidung yang mengganggu
fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau bahkan menimbulkan gangguan estetik
wajah karena tampilan hidung menjadi bengkok. Gejala sumbatan hidung dapat
menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab sumbatan hidung dapat
bervariasi dari berbagai penyakit dan kelainan anatomis. Salah satu penyebabnya dari
1

kelainan anatomi yang terbanyak adalah deviasi septum nasi. Tidak semua deviasi septum
nasi memberikan gejala sumbatan hidung. Gejala lain yang mungkin muncul dapat seperti
hiposmia, anosmia, epistaksis dan sakit kepala. Untuk itu para ahli berusaha membuat
klasifikasi deviasi septum nasi untuk memudahkan diagnosis dan penatalaksanaannya.1
Diagnosis dari gejala sumbatan hidung sangat kompleks dan bervariasi, selain
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik juga diperlukan pemeriksaan penunjang
untuk pengukuran sumbatan hidung. Skor sumbatan hidung merupakan salah satu
parameter untuk menilai suatu sumbatan hidung. Untuk itu diperlukan pemeriksaan
penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengevaluasi gejala sumbatan
hidung. Diantaranya adalah Nasal Inspiratory Peak Flowmetry (NIPF), Rinomanometri dan
Rinometri Akustik.1
Deviasi septum nasi yang memberikan gejala sumbatan hidung yang berat dan
gejala lain yang mengganggu kualitas hidup dapat ditatalaksana dengan mengoreksi septum
melalui septoplasti. Saat ini dikenal berbagai teknik septoplasti, antara lain septoplasti
tradisional atau yang sering disebut septoplasti konvensional, septoplasti endoskopi dan
teknik open book septoplasty. Dimana teknik septoplasti konvensional masih sering
dipergunakan dan masih memberikakan hasil yang baik.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Hidung
2.1.1 Anatomi
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 2
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pangkal hidung (bridge)


Batang hidung (dorsum nasi)
Puncak hidung (tip)
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar 3

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 2

1. Tulang hidung (os nasal)


2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontal; a)sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, b) sepasang kartilago nasalis kartilago inferior (kartilago ala
mayor)
4. Tepi anterior kartilago septum

Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung 3

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengah menjadi kavum nasi kanan
dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.2
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang disebut vibrise.1
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.2

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah : 2
1)
2)
3)
4)

Lamina perpendikularis os etmoid


Vomer
Krista nasalis os maksila
Krista nasalis os palatina

Bagian tulang rawan adalah :


1) Kartilago septum (lamina kuadrangularis)
2) Kolumela
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.1

Gambar 3. Anatomi Septum nasalis.11


Dinding lateral terdapat 4 buah konka, yaitu :
1)
2)
3)
4)

Konka inferior (yang terbesar dan letaknya paling bawah)


Konka medial (lebih kecil)
Konka superior (lebih kecil lagi)
Konka suprema (yang terkecil) biasanya rudimenter

Gambar 4. Anatomi Dinding Lateral Rongga Hidung2


Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.2
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara
sinus frontalis, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sfenoid.2

Batas rongga hidung. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat
sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak
dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os
etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat serabut-serabut
saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfemoid.2
2.1.2. Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal merupakan celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
seminularis, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang
letaknya dianterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.2
Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus terkait. 2
2.1.3. Pendarahan hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.2
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris
interna, diantaranya ialah a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. 2
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.facialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang
7

disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Kiesselbach letaknya di superficial dan


mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis, terutama
pada anak.2
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
sampai ke intrakranial.2
2.1.4. Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dan
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus (N. V-1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
n.maksila melalui ganglion sfenopalatina.2
Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut
parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari
n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di
ujung posterior konka media.2
Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina
kribrisa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada selsel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.2
2.1.5. Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsuional
dibagi atas :2

1. Mukosa pernapasan (mukosa respiratori)


Terdapat pada sebagian rongga hidung dan permukaan dilapisi oleh
epitel toraks berlapis semu yang mempunyai silia (cilliated pseudostratified
collumner epithelium dan diantaranya ada sel-sel goblet.
2. Mukosa penghidu (mukosa olfaktorius)
Terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas
septum. Mukosa dilapisi oleh epitel toraks berlapis semu tidak bersilia
(pseudostratified collumner non cilliated epithelium). Epitelnya dibentuk
oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidung berwarna coklat kekuningan.
Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu
basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.
Dibawah epitel terbuka tunika propia yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan lomfoid.2
2.1.6. Sistem Transpor Mukosilier
Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia
dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan
kelenjar seromusinosa submukosa.2
Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian
permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik dan banyak mengandung
protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan
serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik dan IgA
sekretorik (s-IgA).2
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal
yang bersifat antimikrobal. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari

jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan
IgG bereaksi di dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan
antigen bakteri.2
2.1.7. Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :2
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal.
2) Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu.
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
4) Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas.
5) Refleks nasal mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung
akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2.2. DEVIASI SEPTUM NASI
Deviasi septum nasi didefinisikan sebagai bentuk septum yang tidak lurus di
tengah sehingga membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua rongga
hidung yang mengakibatkan penyempitan pada rongga hidung. Bentuk septum
normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya
septum nasi tidak lurus sempurna di tengah.4
Angka kejadian septum yang benar-benar lurus hanya sedikit dijumpai,
biasanya terdapat pembengkokan minimal atau terdapat spina pada septum nasi.

10

Bila kejadian ini tidak menimbulkan gangguan respirasi, maka tidak dikategorikan
sebagai abnormal.4
2.2.1. Klasifikasi
Pertama-tama, kita harus menentukan perbedaan antara deviasi septum dan
deformitas septum, karena " deviasi " umumnya berarti deklinasi sedikit dari garis
mediosagital, sedangkan deformitas berarti perubahan bentuk. Bentuk dasar dari
septum sebagian besar harus lurus dan membagi hidung menjadi dua rongga. Orang
pertama yang secara sistematis membagi septum deviasi tahun 1958 oleh Cottle
yang mendefinisikan empat kelompok " deviasi septum " : subluxation, large
spurs, caudal deflection and tension septum. 1
Untungnya, variasi dari bentuk deformitas septum menunjukkan urutan
tertentu, sehingga memungkinkan klasifikasi yang lebih tepat. Pada tahun 1987,
Mladina adalah orang pertama yang membuat klasifikasi dari (SD) di enam tipe
dasar. Dia juga menggambarkan tipe ketujuh, bernama Passali deformitas, yang
menyajikan secara individual, beberapa ada enam jenis. jenis Mladina dari SD
dibagi menjadi dua kelompok utama: apa yang disebut kelainan bentuk vertikal
(jenis 1, 2, 3 dan 4), dan yang horizontal (jenis 5 dan 6).1

Deviasi septum menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan


letak deviasi, yaitu :
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih
belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : S septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih
normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.1

11

Gambar 5. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina3


Bentuk deformitas septum berdasarkan lokasinya adalah :
1) Deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S yang dapat terjadi pada bidang
horizontal atau vertical dan biasanya mengenai kartilago maupun tulang.
2) Dislokasi, yaitu batas bawah kartilago septum keluar dari krista maksila dan
masuk ke dalam rongga hidung.
3) Spina & krista, yaitu penonjolan tulang atau tulang rawan septum yang dapat
terjadi pada pertemuan vomer dibawah dengan kartilago septum dan atau os
ethmoid diatasnya. Bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista,
dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina. Tipe deformitas ini
biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi vertical.
4) Sinekia, yairu bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan
konka dihadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.

12

Gambar : tipe deviasi septum nasi

Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya keluhan :
1) Ringan
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang
Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.3
Jin RH dkk juga mengklasifikasikan deviasi septum menjadi 4, yaitu :
1)
2)
3)
4)

Deviasi lokal termasuk spina, krista dan dislokasi bagian kaudal


Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir
Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal
Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung luar.6

13

Gambar 6. Klasifikasi Deviasi Septum Menurut Jin RH dkk1


2.2.2. Etiologi
Deviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma langsung dan biasanya
berhubungan dengan kerusakan pada bagian lain hidung, seperti fraktur os nasal.
Pada sebagian pasien, tidak didapatkan riwayat trauma, sehingga Gray (1972)
menerangkannya dengan teori birth Moulding. Posisi intrauterin yang abnormal
dapat menyebabkan tekanan pada hidung dan rahang atas, sehingga dapat terjadi
pergeseran septum. Demikian pula tekanan torsi pada hidung saat kelahiran (partus)
dapat menambah trauma pada septum.5
2.2.3. Diagnosis
2.2.3.1.
Anamnesis
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum
hidung.

Sumbatan

ialah

sumbatan

dapat unilateral dan dapat pula bilateral, sebab pada sisi

deviasi terdapat konka hipotrofi sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka
yang

hipertrofi,

sebagai akibat mekanisme kompensasi.Keluhan lainnya ialah

rasa nyeri di kepala dan sekitar mata. Selain itu penghidu dapat terganggu,
apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum
menyumbat

dapat

ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya

sinusitis.1

14

Gambar 7 : Gejala Septum Deviasi8


Septum deviasi juga dapat menyebabkan kolaps dari katup hidung atau nasal
valve yang merupakan celah antara ujung kaudal kartilago lateralis dengan septum
hidung. Nasal valve berada lebih kurang 1,3 cm dari nares dan merupakan segmen
yang tersempit serta tahanan terbesar dari jalan nafas hidung. Dengan memasuki
daerah yang sempit ini akan terjadi peningkatan aliran dan penurunan tekanan
interlumen seperti fenomena Bernoulli. Tekanan negatif akibat deviasi septum akan
menyebabkan kolapsnya segmen ini pada saat inspirasi. Karena daerah nasal valve
ini sempit maka dengan perubahan obstruksi atau udem sedikit saja, akan
meningkatkan tahanan pada daerah tersebut yang secara klinis bermakna
menimbulkan gejala-gejala hidung tersumbat. Pada pasien dengan kelainan septum,
sisi yang sempit akan mengalami siklus sumbatan hidung yang berbeda, yang
menyebabkan perbedaan pada tahanan hidung total, sehingga pasien merasakan
sumbatan hidung yang berkala.1

2.2.3.2.

Pemeriksaan fisik

Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada
batang hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan

15

septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil
pemeriksaan bisa normal.1
Penting untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum,
karena ujung spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal. Pemeriksaan
seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung untuk menentukan besarnya
konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi juga diperiksa karena struktur-struktur ini
sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum.1

Gambar 8 : Deviasi Septum pada Pemeriksaan Rinoskopi Anterior


2.2.4. Pemeriksaan Penunjang
2.2.4.1.
Pengukuran Sumbatan Hidung
2.2.4.1.1. Spatula Lidah
Spatula lidah merupakan alat yang paling sederhana yang bisa
dipakai untuk mengukur sumbatan hidung. Ketika tidak ada alat lain yang
tersedia maka alat ini bisa digunakan. Dengan meletakkan spatula di depan
hidung dan meminta pasien untuk bernafas biasa dan menutup mulut, maka
dapat dilihat salah satu lubang hidung tersumbat dibandingkan yang lainnya.1

16

Gambar 9 : Pemeriksaan dengan spatula1

2.2.4.1.2. Nasal Inspiratory Peak Flowmetry (NIPF)


NIPF merupakan alat untuk mengukur aliran udara hidung saat
inspirasi. Pada tahun 1980, Youlten memperkenalkan alat ini yang kemudian
di modifikasi oleh Wright dengan menambahkan sungkup hidung pada alat
ini. NIPF terdiri dari tiga bagian yaitu face mask, konektor dan tabung silinder
yang berisi diafragma yang bergerak apabila ada aliran udara. Alat ini
mempunyai skala 30-370/menit. Sebelum melakukan pemeriksaan pasien
terlebih dahulu melakukan adaptasi terhadap suhu ruangan selama 20 menit.
Diperlukan

penjelasan

penggunaan

alat

ini

pada

pasien

untuk

menggunakannya. Alat ini digunakan dengan meletakan face mask


menutupi hidung dan mulut. Udara inspirasi dihirup melalui hidung dengan
memastikan mulut tertutup. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 kali dengan
hasil tertinggi yang didapat akan dipakai.1
Hasil NIPF Derajat Sumbatan Hidung :2
<50 Berat
50-80 Moderat
80-120 Ringan
17

>120 Normal
Penggunaan NIPF relatif mudah, bias diulang bila diperlukan, alatnya
mudah dibawa karena berukuran kecil dan mempunyai harga yang murah.
Nilai NIPF akan menurun pada penyakit saluran nafas bawah seperti asma dan
penyakit paru obstruksikronis.1

Gambar 10 : Nasal Inspiratory Peak Flowmetry (NIPF)1


2.2.4.2.

Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk

menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat robekan mukosa.
Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan pemeriksaan
radiologi sinus paranasal.

18

Gambar 11: Nasoendoskopi Septum Posterior


2.2.4.3. Radiologi
Foto Polos dan CT-Scan
Meskipun ini adalah teknik yang tersedia secara luas dan mudah ,
dengan biaya rendah dan tingkat radiasi rendah , nilai patologi radiografi
foto polos untuk septum adalah kecil . foto polos hanya dapat
memvisualisasikan penyimpangan yang signifikan. Keterbatasan utama
teknik ini adalah tidak adanya visualisasi dari kartilago kuadrangular, dan
ketidakmampuan untuk mendeteksi rincian anatomi yang diperlukan untuk
perencanaan bedah. Untuk alasan ini , pada saat itu tidak dianjurkan
penggunaan foto polos dalam diagnosis deviasi septum nasi, dan itu telah di
gantikan oleh CT-SCAN.10

19

Gambar 13 :perbandingan antara foto polos (A) dan CT-Scan (B). dimensi foto
polos menyebabkan penumpukan struktur, sehingga interpretasi menjadi kecil.
Hanya struktur tulang pada septum yang terlihat. Pada CT-Scan (B) anatomi secara
detail terlihat baik struktur tulang maupun kartilago pada septum serta deformitas
struktur yang berhubungan.10

2.2.5. Diagnosis Banding


Tabel 1 : diagnosis banding berdasarkan keluhan pasien2
Keluhan
Hidung Tersumbat

Nasal Discharge

Nyeri Kepala

Diagnosis Banding
Polip Nasi
Rinitis Alergi
Rinitis Vasomotor
Sinusitis
Sinusitis
Rinitis Simpleks,Sika,Hipertropikans Dan
Atropikans
Sinusitis

2.2.6. Penatalaksanaan
2.2.6.1. Septoplasti

20

Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok di reposisi. Hanya


bagian yang berlebihan saja yang di keluarkan. Dengan cara operasi ini
dapat di cegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi
submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan pelana.1
Indikasi septoplasty :
-

Obstruksi nasal irreversibel


Meningkatkan akses untuk endoskopi sinus atau operasi basis crania

Sering menyebabkan epistaksis

Gambar 14 : Septoplasti

Masalah pascaoperasi
1. Nyeri
Kebanyakan pasien akan mengalami sakit kepala, termasuk hidung
tersumbat, nasal discharge untuk 1-2 minggu setelah pembedahan. Nyeri
biasanya ringan sampai sedang;obat analgetik mungkin diperlukan sampai
untuk satu minggu setelah operasi. biasanya diobati dengan Tylenol. Hindari
ibuprofen serta aspirin karena dapat menyebabkan perdarahan pasca
operasi.13
2. Antibiotik

21

Setelah operasi, sinus mungkin akan berisi dengan darah dan lendir.
Untuk mencegah infeksi yang signifikan, antibiotik harus diresepkan.13
3. Nasal Hygiene
Darah dan lendir dalam hidung, dapat

menghalangi hidung dan

membuat sulit bernapas. Untuk mengurangi masalah ini, saline semprot


dapat digunakan, 3-4 kali semprot untuk setiap sisi hidung, setiap satu
sampai dua jam pada siang hari. Hal ini akan membantu melembabkan
lendir dan mempermudah drainase. 13
4. Diet
Beberapa pasien mungkin mengalami mual ringan bahkan muntah untuk 1 2 hari setelah anestesi umum. hindari makanan atau minuman panas selama
tiga sampai empat hari setelah operasi,karena hal ini dapat meningkatkan
kemungkinan perdarahan.13
5. Aktivitas
Sebaiknya menghindari aktivitas berlebihan dua minggu setelah
operasi. Karena akan meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan
kemungkinan perdarahan. Hal ini juga penting untuk menghindari meniup
hidung. Sebaiknya membuka mulut saat bersin agar udara tidak melewati
hidung.13
2.2.5.2 SMR (Sub-Mucous Resection)
Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum kedua sisi
dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan
dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan mukoperiosteum sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti terjadinya
hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas
tulang rawan septum terlalu banyak diangkat. Tindakan operasi ini sebaiknya tidak

22

dilakukan pada anak-anak karena dapat mempengaruhi pertumbuhan wajah dan


menyebabkan runtuhnya dorsum nasi.1
Dari Penelitian oleh Muhammad IA. Hasil fungsional SMR lebih baik dari
septoplasty. Obstruksi nasal berkurang di 74% kasus setelah SMR dan 72% kasus
setelah septoplasty. Parameter utama kesuksesan operasi adalahobstruksi nasal.
Literatur internasional menunjukkan hasil yang lebih baik untuk septoplasty (66%)
dari SMR (60%). Hasil yang baik pada SMR di karenakan mereka lebih
berpengalaman dalam bedah SMR. Fjermedal juga meneliti bahwa 25-35% pasien
tidak puas dengan hasil bedah septum. Jessen et al meneliti bahwa patensi jangka
panjang nasal dapat diperbaiki dengan septoplasti, namun sensasi jangka panjang
sumbatan hidung tidak membaik.14
Perforasi septum lebih tinggi dari septoplasti, sedangkan secara kosmetik
septoplasti lebih baik ketimbang SMR.14

gambar 15 : Reseksi submukosa

23

Table 2 : Perbandingan Post Opeasi SMR Dan Septoplasti13

Komplikasi
Obstruksi Nasal
Perforasi Septum
Segi Kosmetik
Adhesi
Rekurensi

SMR
Banyak
Jarang
Sering
Kurang Baik
Sering
Sering

Septoplasti
Sedikit
Sering
Jarang
Lebih Baik
Jarang
Jarang

24

Gambar 16 : Koreksi Pada SMR Dan Septoplasti

25

2.2.7. Komplikasi deviasi septum nasi


Adanya deviasi septum dapat menyebabkan penyempitan pada satu
ataupun kedua sisi hidung dan akan terjadi perubahan pola aliran udara pada
proses bernafas dan akhirnya mengganggu fungsi organ pernapasan lainnya
termasuk sinus paranasal.Perubahan pola aliran udara akibat deviasi septum
selain mempengaruhi sinus paranasal juga dapat mempengaruhi fungsi tuba
Eustachius. Terdapat beberapa etiologi gangguan fungsi tuba Eustachius.Salah
satunya adalah obstruksi mekanik yang dapat terjadi secara intraluminer maupun
ekstraluminer. Obstruksi secara intraluminer seperti pada keadaan alergi atau infeksi
dapat menyebabkan edema sepanjang
obstruksi

secara

ek straluminer

mukosa

seperti

tuba

Eustachius.

Sedang

tumor terutama tumor nasofaring,

polip nasi yang ekstensif ,hipertrofi adenoid yang menekan ostium tuba
Eustachius, deviasi septum dan rinosinusitis. Namun, dalam literatur yang
ada.9
Mayoritas penderita deviasi septum nasi menderita multisinusitis dan
paling banyak ditemukan pada deviasi tipe 7 (37,5%) dan dikuti tipe 5 (32,5%).
Sinusitis tunggal paling banyak ditemukan pada deviasi tipe 5 (55,6%),
sedangkan pansinusitis paling banyak ditemukan pada tipe 7 (60,0%).9
Gangguan fungsi tuba terbanyak didapatkan pada deviasi tipe 5, belum
terdapat pandangan yang seragam mengenai pengaruh deviasi septum terhadap
pendengaran terutama terhadap fungsi tuba dan telinga tengah.9

26

BAB III
KESIMPULAN
Deviasi septum nasi dapat berupa kelainan bawaan sejak lahir atau paling sering
terjadi akibat trauma. Risiko terjadinya deviasi septum meningkat pada laki-laki karena
lebih banyak terpapar dengan lingkungan dan trauma. Deviasi septum yang ringan tidak
memberikan keluhan, sedangkan yang berat dapat menyebabkan kesulitan bernapas akibat
obstruksi nasal.
Terapi konservatif untuk obstruksi nasal dapat dilakukan dengan pemberian obatobatan untuk mengatasi gejala pada pasien. Namun untuk mengkoreksi deviasi septum,
tindakan pembedahan sangat penting. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya
perburukan kondisi pasien sehingga menyebabkan berbagai komplikasi. Tingkat
keberhasilan tindakan pembedahan yang diharapkan tergantung pada berat ringannya
deviasi septum nasi yang terjadi.
Secara umum, sebagian besar pasien dengan deviasi septum nasi lebih baik
dilakukan tindakan septoplasty dibandingkan dengan sub-mucous resection (SMR) karena
adanya komplikasi post-SMR, seperti perforasi septum, perdarahan, dan saddle nose.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Budiman J., Bestari, Asyari Ade, Pengukuran Sumbatan Hidung Pada Deviasi
Septum Nasi. 2015:19(6):3
2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi ke
Tujuh. 2014. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
3. Tortora J., Gerrard. Principle of Anatomy And Physiology Edisi ke 12. 2009. USA:
John Wiley & Son.
4. Budiman J., Bestari, Huriati Effy, Pengaruh Septoplasti Terhadap Sumbatan
Hidung. 2014:19(6):1
5. Mladina Ranko, Skitarelic Neven. Clinical Implication Of Nasal Septal Deformities.
2015:19(6);1
6. Teixeira Jefrey, Certal Victor. Nasal Septal Deviations A Systematic Review Of
Classification Systems. 2016:19(6):4
7. Yudianto Sony. Rahmawaty Luh Made. Hubungan Derajat Obstruksi Hidung Pada
Pasien Deviasi Septum Dengan Disfungsi Tuba Eustachius. 2014:19(6);4
8. Sriniras N. Pranyaga, Koloyu Srikat. Clinical Study On Deviated Nasal Septum And
Its Associated Pathology. 2014. 2014 (6):3
9. Toluhula T. Tanagi. Hubungan Tipe Deviasi Septum Nasi Menurut Klasifikasi
Mladina Dengan Kejadian Rinosinusitis Dan Gangguan Fungsi Tuba. 2014:19(6):3
10. Carrasco V. Familiar, S. Mancheva Manewa. Nasal Septal Anatomy And Deviation :
Beyond And Flat. 2003:19(6):3-4
11. Sedaghat Ahmad, Bleier Benjamin. Open Accaess Atlas Of Otolaryology, Head And
Neck Operation Surgery. 2014:19(6):5
12. Daniel G Becker. Septoplasty And Turbinate Surgery. 2013:19(6)4
13. Department Of Otolaryngology Head And Neck Surgery. Septoplasty And
Turbinate Surgery. 2016:20(6):1-2
14. Iqbal Kamran Et Al. Submucous Resection Versus Septoplasty Complications And
Functional Outcome In Adult Patients. 2011:20(6):2-4

ALGORITME DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DEVIASI


SEPTUM NASI
Nasoendoskopi
Hidung
tersumbat
Pemeriksaan

- Sinusitis
- Rinitis
- Septoplasti
Polip
Septum
Rinoskopi
Normal
normal

28
aliran udara
hidung
Tidak ada
Inspeksi hidung
Deviasi
SMR
Septum
septum Abnormal
indikasi bedah
CT-Scan

Anda mungkin juga menyukai