Anda di halaman 1dari 23

Kehamilan dengan HIV/AIDS

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit yang ditimbulkan
sebagai dampak berkembang biaknya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) didalam
tubuh manusia, yang mana virus ini menyerang sel darah putih (sel CD4) sehingga
mengakibatkan rusaknya sistem kekebalan tubuh. Hilangnya atau berkurangnya daya tahan
tubuh membuat si penderita mudah sekali terjangkit berbagai macam penyakit termasuk
penyakit ringan sekalipun.
Virus HIV menyerang sel putih dan menjadikannya tempat berkembang biaknya Virus.
Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka
ketika tubuh kita diserang penyakit, Tubuh kita lemah dan tidak mampu melawan penyakit yang
datang dan akibatnya kita dapat meninggal dunia meski terkena influenza atau pilek biasa
Ketika tubuh manusia terkena virus HIV maka tidaklah langsung menyebabkan atau
menderita penyakit AIDS, melainkan diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun
bagi virus HIV untuk menyebabkan AIDS atau HIV positif yang mematikan.
HIV, virus penyebab AIDS, dapat menular dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya.
Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi
tertular juga. Ibu dengan viral load tinggi lebih mungkin menularkan HIV kepada bayinya.
Namun tidak ada jumlah viral load yang cukup rendah untuk dianggap "aman". Infeksi dapat
terjadi kapan saja selama kehamilan, namun biasanya terjadi beberapa saat sebelum atau selama
persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila proses persalinan berlangsung lama. Selama
persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. Meminum air susu dari ibu yang
terinfeksi dapat juga mengakibatkan infeksi pada si bayi. Ibu yang HIV-positif sebaiknya tidak
memberi ASI kepada bayinya. Untuk mengurangi risiko infeksi ketika sang ayah yang HIVpositif, banyak pasangan yang menggunakan pencucian sperma dan inseminasi buatan.
Seseorang yang terinfeksi HIV perlu waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk
menderita AIDS. Ibu hamil bisa tertular HIV melalui hubungan seksual dengan pasangan/suami
pengidap HIV, dapat juga melalui transfusi darah yang terinfeksi HIV, atau penggunaan obatobat terlarang melalui jarum suntik. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkannya pada

bayi yang dikandungnya melalui plasenta pada masa kehamilan, pada saat proses persalinan,
serta melalui ASI pascapersalinan.
Secara keseluruhan, 20-30% penularan terjadi selama periode kehamilan, dan hampir
80% terjadi pada saat persalinan, dengan cara transfusi darah ibu ke bayi melewati plasenta pada
saat kontraksi persalinan atau dari hasil paparan darah dan cairan ketuban atau serviks dan
vagina ibu yang telah terifeksi HIV. Pemberian ASI adalah mekanisme penularan utama pada
periode pascapersalinan. Risiko penularan vertikal dari ibu ke janin berbanding lurus dengan
konsentrasi virus dalam darah ibu (maternal viral load).

Etiologi
Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency
virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1.
Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2
dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk
memudahkan keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1.

Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.

2.

Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.

3.

Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.

4.

Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B

menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.


5.

AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan.

Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi
neurologist.
Cara penularan HIV:
1.

Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi.

Kondom adalah satusatunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah.


2.

Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah tersebut

belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril.
3.

Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang

telah terinfeksi.

4.

Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan atau

persalinan dan juga melalui menyusui


5. Orang yang melakukuan transfusi darah dengan orang yang terinfeksi HIV, berarti setiap
orang yang terpajan darah yang tercemar melalui transfusi atau jarum suntik yang
terkontaminasi.
Penularan secara perinatal:
1.

Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang dikandungnya.

2.

Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena pada saat itu terjadi

kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada
bayi.
3.

Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewktu berada dalam kandungan atau juga

melalui ASI
4.

Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI

Patofisiologi

AIDS adalah kompleks, seperti halnya dengan semua sindrom. Pada akhirnya, HIV
menyebabkan AIDS dengan berkurangnya CD4 + limfosit T pembantu. Hal ini melemahkan
sistem kekebalan tubuh dan memungkinkan infeksi oportunistik. Limfosit T sangat penting
untuk respon kekebalan tubuh dan tanpa mereka, tubuh tidak dapat melawan infeksi atau
membunuh sel kanker. Mekanisme penurunan CD4 T + berbeda di fase akut dan kronis.
Selama fase akut, HIV-diinduksi lisis sel dan membunuh sel yang terinfeksi oleh sel
sitotoksik akun T untuk CD4 + T deplesi sel, walaupun apoptosis juga dapat menjadi faktor.
Selama fase kronis, konsekuensi dari aktivasi kekebalan umum ditambah dengan hilangnya
bertahap kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan sel baru T muncul untuk
menjelaskan penurunan lamban dalam jumlah CD4 + T sel.
Meskipun gejala defisiensi imun karakteristik AIDS tidak muncul selama bertahun-tahun
setelah seseorang terinfeksi, sebagian besar CD4 + T hilangnya sel terjadi selama minggu
pertama infeksi, terutama di mukosa usus, pelabuhan yang mayoritas limfosit ditemukan dalam
tubuh. Alasan hilangnya preferensial CD4 + T sel mukosa adalah bahwa mayoritas CD4 + T sel
mukosa mengungkapkan coreceptor CCR5, sedangkan sebagian kecil CD4 + sel T dalam aliran
darah melakukannya.

HIV mencari dan menghancurkan CD4 + sel CCR5 mengekspresikan selama infeksi akut.
Sebuah respon imun yang kuat akhirnya kontrol infeksi dan inisiat fase laten klinis. Namun,
CD4 + T sel dalam jaringan mukosa tetap habis seluruh infeksi, meskipun cukup tetap awalnya
menangkal infeksi yang mengancam jiwa.
Replikasi HIV terus-menerus menghasilkan keadaan aktivasi kekebalan umum bertahan
selama fase kronis. Aktivasi kekebalan tubuh, yang tercermin oleh negara aktivasi peningkatan
sel kekebalan dan pelepasan sitokin pro inflamasi, hasil dari aktivitas beberapa produk gen HIV
dan respon kebal terhadap replikasi HIV terus-menerus. Penyebab lainnya adalah kerusakan
pada sistem surveilans kekebalan penghalang mukosa yang disebabkan oleh penipisan mukosa
CD4 + sel T selama fase akut dari penyakit.
Hal ini mengakibatkan pemaparan sistemik dari sistem kekebalan tubuh untuk komponen
mikroba flora normal usus, yang pada orang sehat adalah disimpan di cek oleh sistem imun
mukosa. Aktivasi dan proliferasi sel T yang hasil dari aktivasi kekebalan memberikan target
segar untuk infeksi HIV. Namun, pembunuhan langsung dengan HIV saja tidak dapat
menjelaskan menipisnya diamati CD4 +sel T karena hanya 0,01-0,10% dari CD4 + T sel dalam
darah yang terinfeksi.
Penyebab utama hilangnya CD4 T + muncul hasil dari kerentanan mereka untuk
apoptosis meningkat ketika sistem kekebalan tubuh tetap diaktifkan. Meskipun baru sel T terus
diproduksi oleh timus untuk menggantikan yang hilang, kapasitas regeneratif timus secara
perlahan dihancurkan oleh infeksi langsung thymocytes dengan HIV. Akhirnya, jumlah minimal
CD4 + sel T yang diperlukan untuk menjaga respon imun yang cukup hilang, yang mengarah ke
AIDS.
Pada saat seseorang terkena infeksi virus AIDS maka diperlukan waktu 5-10 tahun untuk
sampai ke tahap yang disebut sebagai AIDS. Setelah virus masuk kedalam tubuh manusia, maka
selama 2-4 bulan keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi dengan pemeriksaan darah
meskipun virusnya sendiri sudah ada dalam tubuh manusia. Tahap ini disebut sebagai periode
jendela. Sebelum masuk pada tahap AIDS, orang tersebut dinamai HIV positif karena dalam
darahnya terdapat HIV. Pada tahap HIV+ ini maka keadaan fisik ybs tidak mempunyai kelainan
khas ataupun keluhan apapun, dan bahkan bisa tetap bekerja seperti biasa. Dari segi penularan,
maka dalam kondisi ini yang sudah aktif menularkan virusnya ke orang lain jika dia mengadakan
hubungan seks atau menjadi donor darah. Sejak masuknya virus dalam tubuh manusia maka
virus ini akan menggerogoti sel darah putih (yang berperan dalam sistim kekebalan tubuh) dan
4

setelah 5-10 tahun maka kekebalan tubuh akan hancur dan penderita masuk dalam tahap AIDS
dimana terjadi berbagai infeksi seperti misalnya infeksi jamur, virus-virus lain, kanker dsb.
Penderita akan meninggal dalam waktu 1-2 tahun kemudian karena infeksi tersebut.
Di negara industri, seorang dewasa yang terinfeksi HIV akan menjadi AIDS dalam kurun
waktu 12 tahun, sedangkan di negara berkembang kurun waktunya lebih pendek yaitu 7
tahun.Setelah menjadi AIDS, survival rate di negara industri telah bisa diperpanjang menjadi 3
tahun, sedangkan di negara berkembang masih kurang dari 1 tahun. Survival rate ini
berhubungan erat dengan penggunaan obat antiretroviral, pengobatan terhadap infeksi
oportunistik dan kwalitas pelayanan yang lebih baik.
HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel Thelper dengan melekatkan dirinya pada
protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita)
turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic
acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian
dari DNA manusia, yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut
mulai menghasilkan virusvirus HI.
Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virusvirus yang baru.
Virusvirus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran darah, dan
berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana
akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang
oleh infeksi dan penyakitpenyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus
tersebut dari orang ke orang.
Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan selsel yang
terinfeksi dan mengantikan selsel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk
menghasilkan kembali dirinya.
Jumlah normal dari selsel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 8001200 sel/ml
kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang selsel CD4+ Tnya terhitung dibawah 200, dia
menjadi semakin mudah diserang oleh infeksiinfeksi oportunistik.
Infeksiinfeksi oportunistik adalah infeksiinfeksi yang timbul ketika sistem kekebalan
tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksiinfeksi tersebut tidak
biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi
fatal

Macam infeksi HIV


Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi menjadi tiga Tahap :
1.

Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam jaringan limfoid,

terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti serokonversi dan pengaturan replikasi virus
dengan dihasilkannya CD8+ sel T antivirus. Secara klinis merupakan penyakit akut yang sembuh
sendiri dengan nyeri tenggorok, mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik. Keseimbangan
klinis dan jumlah CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam waktu 6-12 minggu.
2.

Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan replikasi. virus

yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan CD4+ secara perlahan menurun.
Penderita dapat mengalami pembesaran kelenjar limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap
ini dapat mencapai beberapa tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit,
kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun.
3.

Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh penderita secara

cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat badan, diare, infeksi oportunistik, dan
keganasan sekunder. Tahap ini umumnya dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika
Serikat menganggap semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200
sel/l sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 : 143 )

Gejala HIV AIDS


1.

2.

Gejala mayor
a.

BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan

b.

Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan

c.

Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis

d.

Demensia / HIV Ensefalopati

Gejala minor
a.

Batuk menetap lebih dari 1 bulan

b.

Dermatitis generalist

c.

Adanya herpes zoster yang berulang

d.

Kandidiasis orofaringeal

e.

Herpes simplex kronik progresif

f.

Limfadenopati generalist

g.

Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita

h.

Retinitis Cytomegalovirus

Cara Diagnosis HIV AIDS


1. VCT (Voluntary Counseling Testing)
Definisi VCT
VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor
dan kliennya untuk mencegah penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta
dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga , dan lingkungannya. Tujuan VCT:
1. Upaya pencegahan HIV/AIDS
2. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan mereka tentang
faktor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV
3. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan mereka menuju
ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu
mengurangi stigma dalam masyarakat
2.Pemerikasaan Laboratorium
a. Tes serologis: tes antibodi serum terdiri dari skrining HIV dan ELISA;
tes blot western untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap beberapa protein spesifik HIV ;
penurunan sel T limfosit; jumlah sel T4 helper; jumlah sel T8 dengan perbandingan 2:1 dengan
sel T4; peningkatan nilai kuantitatif P24 (protein pembungkus HIV); peningkatan kadar IgG, Ig
M dan Ig A; reaksi rantai polymerase untuk mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada
infeksi sel perifer monoseluler; serta tes PHS (pembungkus hepatitis B dan antibodi,sifilis, CMV
mungkin positif).
b. Pemeriksaan histologis, sitologis urin ,darah, feces, cairan spina, luka, sputum, dan sekresi.
c. Tes neurologis: EEG, MRI, CT Scan otak, EMG.

d. Tes lainnya: sinar X dada menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCV tahap lanjut
atau adanya komplikasi lain; tes fungsi pulmonal untuk deteksi awal pneumonia interstisial;
Scan gallium; biopsy; branskokopi.
3. Tes Antibodi
a. Tes ELISA, untuk menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi HIV.
b. Western blot asay/ Indirect Fluorescent Antibody (IFA), untuk mengenali antibodi HIV dan
memastikan seropositifitas HIV.
c. Indirect immunoflouresence, sebagai pengganti pemerikasaan western blot untuk memastikan
seropositifitas.
d. Radio immuno precipitation assay, mendeteksi protein pada antibodi.
4. Pendeteksian HIV
Dilakukan dengan pemeriksaan P24 antigen capture assay dengan kadar yang sangat rendah.
Bisa juga dengan pemerikasaan kultur HIV atau kultur plasma kuantitatif untuk mengevaluasi
efek anti virus, dan pemeriksaan viremia plasma untuk mengukur beban virus (viral burden).
Periode Penularan HIV pada Ibu hamil
1.

Periode Prenatal
Timbulnya HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (Minkoff, 1987). Sejarah

kesehatan, uji fisik dan tes laboratorium harus merefleksikan pengharapan ini jika wanita dan
bayinya menerima perawatan yang tepat. Para wanita yang termasuk dalam kategori beresiko
tinggi terhadap infeksi HIV mencakup:
a.

Wanita dan atau pasangannya yang berasal dari wilayah geografis dimana HIV merupakan

sesuatu yang umum.


b.

Wanita dan atau pasangannya yang menggunakan obat-obatan yang disuntikkan melalui

pembuluh darah.
c.

Wanita yang menderita STD tetap dan kambuhan.

d.

Wanita yang menerima tranfusi darah dari pengidap HIV.

e.

Wanita yang yakin bahwa dirinya mungkin terjangkit HIV.

Tes HIV sebaiknya ditawarkan kepada wanita beresiko tinggi pada awal mereka
memasuki perawatan prenatal. Namun, soronegativitas pada uji prenatal pertama bukan jaminan
untuk titer negative yang berlangsung. Misalnya, seorang wanita berusia 24 tahun yang
mendapatkan perawatan prenatal selama 8 minggu mempunyai hasil tes western blot yang
negative. Namun, setelah terinfeksi HIV, serum antibody membutuhkan waktu sampai 12
minggu untuk berkembang. Tes western blot harus diulangi dalam 1 atau 2 bulan dan pada
trimester ketiga. Tes prenatal rutin dapat membantu mengidentifikasi wanita yang terinfeksi HIV
(Foster, 1987; Kaplan et al, 1987; Minkoff, 1987; Rhoads et al, 1987).
Tes ini juga dapat mengungkap Gonhorhea, Siphilis, Herpes yang tetap dan menjadi lebih
lama, C.Trakomatis, Hepatic B, Micobacterium tuberculosis, Candidiasis (oropharingeal atau
infeksi Vagian Chronic), Cytomegalo Virus (CMV), dan Toxophlasmosis. Sekitar separuh
penderita AIDS mengalami peningkatan titer CMV. Karena masuknya penyakit CMV memiliki
bahaya yang serius terhadap janin, para wanita hamil dianjurkan dengan yang terinfeksi HIV.
Sejarah vaksinasi dan kekebalan telah didokumentasikan. Titer untuk cacar dan rubella
ditentukan dan tes kulit tuberkulosa (Derivasi protein yang dimurnikan/puriviet protein derivatif
(PPD)) telah dilakukan vaksinasi sebelumnya dengan vaksin rekonbivak Hb dicatat karena
vaksin tersebut berisi produk darah manusia (Vaksin ini sekarang bebas dari darah manusia dan
produk-produk darah). Wanita dapat menjadi calon yang menerima Rho D Imunoglobulin.
Penularan HIV belum ditemukan adanya vaksin Rh. Proses persiapan melibatkan alcohol ethyl
yang membuat virus tidak aktif. Vaksin ini dibuat dari darah yang diambil dari kelompok donor
regular yang tidak dikenali. Darah yang digunakan untuk memproduksi vaksin menjalani tes
darah yang dapat mendeteksi darah adanya HIV (Francis, Chin, 1987, MMWR, 1987). Beberapa
ketidaknyamanan yang dihadapi pada masa prenatal (seperti kelelahan, anoreksia, dan
penurunan berat badan) menyiratkan tanda-tanda dan gejal-gejala infeksi HIV.
Diagnosa yang berbeda-beda terhadap seluruh keluhan dan gejala infeksi yang
disebabkan kehamilan dibenarkan. Tanda-tanda utama infeksi HIV yang semakin memburuk
mencakup turunnya berat badan lebih dari 10% dari berat badab sebelum kehamilan, diare kronis
lebih dari 1bulan dan demam (kambuhan atau konstan) selama lebih dari 1 bulan. Untuk
mendukung system, wanita hamil harus mendapat nutrisi yang optimal, tidur, istirahat, latihan,
dan reduksi stress. Jika infeksi HIV telah didiagnosa, wanita tersebut diberitahukan mengenai
konsekwensi yang mungkin terjadi pada bayi.
Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini disebabkan
karena terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus itu sendiri. Oksigen, makanan,
antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi tidak oleh HIV. Plasenta
9

justru melindungi janin dari infeksi HIV. Perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu:
a. Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria) pada plasenta selama
kehamilan.
b. Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan virus pada saat itu
c. Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun
d. Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak langsung berkontribusi untuk
terjadinya penularan dari ibu ke anak.
2.

Periode Intrapartum
Pada periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar jika dibandingkan periode

kehamilan. Penularan terjadi melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau
membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama
proses persalinan, maka semakin besar pula resiko penularan terjadi. Oleh karena itu, lamanya
Persalinan dapat dipersingkat dengan section caesaria. Faktor yang mempengaruhi tingginya
risiko penularan dari ibu ke anak selama proses persalinan adalah: Lama robeknya membran
a. Chorioamnionitis akut (disebabkan tidak diterapinya IMS atau infeksi lainnya)
b. Teknik invasif saat melahirkan yang meningkatkan kontak bayi dengan darah ibu misalnya,
episiotomi.
c.

Anak pertama dalam kelahiran kembar Perawatan wanita yang sakit saat melahirkan tidak

diubah secara substansial untuk infeksi tanpa gejala dengan HIV (Minkoff,1987). Cara kelahiran
didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric karena virus melalui plasenta pada awal
kehamilan. Fokus utama pencegahn penyebaran HIV nosocomial dan perlindungan terhadap
pelaku perawatan. Resiko penularan HIV dianggap rendah selama kelahiran vaginal.. EPM
(Elektrinic Fetal Monitoring) eksternal dilakukan jika EPM diperlukan. Terdapat kemungkinan
inokulasi virus ke dalam neonatus jika dilakukan pengambilan sempel darah pada bayi dilakukan
atau jika elektroda jangat kepala bayi diterapkan. Disamping itu, seseorang yang melakukan
prosedur ini berada pada resiko tertular virus HIV.
3.

Periode Postpartum
Hanya sedikit yang diketahui tentang tindakan klinis selama periode postpartum yang

dapat dilakukan pada wanita yang terinfeksi HIV. Walaupun periode postpartum pertengahan
tercatat signifikan (update, 1987), tindak lanjut yang lebih lama telah mengungkap frekwensi
penyakit kilinis yang tinggi pada ibu-ibu yang anaknya menderita penyakit (Skott, 1985;
Minkoff et al, 1987). Tindakan pencegahan universal dilakukan terhadap ibu dan bayi, seperti
10

yang dilakukan terhadap semua pasien. Wanita dan bayinya diarahkan pada dokter yang
berpengalamn dalam pengobatan AIDS dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Pengaruh
infeksi pada bayi dan neonatal mungkin tidak jelas. Karena virus yang melalui plasenta, darah di
tali pusat akan menunjukkan antibody HIV baik apabila bayi terinfeksi ataupun tidak. Selama itu
antibody yang melalui palang plasenta mungkin tidak terdapat pada bayi yang tidak terinfeksi
sampai usia 15 bulan. Ketika infeksi HIV menjadi aktif banyak infeksi lain yang biasa menyertai
pada orang dewasa terjadi pada bayi. Komplikasi yang menyertai infeksi HIV pada bayi
mencakup Enchephalopati, Microchephalli, Defisit Kognitif, system saraf pusat (CNS/central
nervous

system)

Lhympoma,

Cerebro

Vaskuler

Accident,

gagal

pernapasan

dan

Lhympaclenophaty.
Cara penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui ASI. Berdasarkan data
penelitian De Cock, dkk (2000), diketahui bahwa ibu yang menyusui bayinya mempunyai resiko
menularkan HIV sebesar 10- 15% dibandingkan ibu yang tidak menyusui bayinya. Risiko
penularan melalui ASI tergantung dari:Pola pemberian ASI, bayi yang mendapatkan ASI secara
eksklusif akan kurang berisiko dibanding dengan pemberian campuran
a. Patologi payudara: mastitis, robekan puting susu, perdarahan putting susu dan infeksi
payudara lainnya
b. Lamanya pemberian ASI, makin lama makin besar kemungkinan infeksi
c. Status gizi ibu yang buruk
Efek Samping Pada Kehamilan
Adapun infeksi pada kehamilan antara lain :

Abortus
Prematuritas
IUGR (intra uteri growth restriction)
IUFD (Intra uteri fetal death)
Penularan pada janin
Dan meningkatnya angkja kematian ibu

Efek Samping Pada Persalinan

11

Partus lama
Intervensi saat amniotomi dan episiotomy

Dampak dan penatalaksanaan pada bayi dari Ibu yang terinfeksi HIV AIDS
HIV, virus penyebab AIDS, dapat menular dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya.
Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi
tertular juga.
Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. Meminum air susu dari
ibu yang terinfeksi dapat juga mengakibatkan infeksi pada si bayi. Ibu yang HIV-positif
sebaiknya tidak memberi ASI kepada bayinya. Untuk mengurangi risiko infeksi ketika sang ayah
yang HIV-positif, Banyak pasangan yang menggunakan pencucian sperma dan inseminasi
buatan.
Bagaimana penularan HIV dari ibu-ke-bayi dapat dicegah? Ibu HIV-positif dapat
mengurangi risiko bayinya tertular dengan:mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV) menjaga
proses kelahiran tetap singkat waktunya hindari menyusui Penggunaan ARV: Risiko penularan
sangat rendah bila terapi ARV (ART) dipakai. Angka penularan hanya 12 persen bila ibu
memakai ART. Angka ini kurang-lebih 4 persen bila ibu memakai AZT selama enam bulan
terahkir kehamilannya dan bayinya diberikan AZT selama enam minggu pertama hidupnya.
Namun jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai sakit melahirkan, ada dua cara
yang dapat mengurangi separuh penularan ini. AZT dan 3TC dipakai selama waktu persalinan,
dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir.Satu tablet nevirapine pada waktu mulai
sakit

melahirkan,

kemudian

satu

tablet

lagi

diberi

pada

bayi

23

hari

setelah

lahir.Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan mengurangi penularan menjadi


hanya 2 persen. Namun, resistansi terhadap nevirapine dapat muncul pada hingga 20 persen
perempuan yang memakai satu tablet waktu hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang
dipakai kemudian oleh ibu. Resistansi ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui.
Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di negara berkembang. Menjaga
proses kelahiran tetap singkat waktunya: Semakin lama proses kelahiran, semakin besar risiko
penularan. Bila si ibu memakai AZT dan mempunyai viral load di bawah 1000, risiko hampir
nol. Ibu dengan viral load tinggi dapat mengurangi risiko dengan memakai bedah
Sesar.Menghindari menyusui.

12

Kurang-lebih 14 persen bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi. Risiko ini dapat
dihindari jika bayinya diberi pengganti ASI (PASI, atau formula).Namun jika PASI tidak diberi
secara benar, risiko lain pada bayinya menjadi semakin tinggi. Jika formula tidak bisa dilarut
dengan air bersih, atau masalah biaya menyebabkan jumlah formula yang diberikan tidak cukup,
lebih baik bayi disusui.Yang terburuk adalah campuran ASI dan PASI. Mungkin cara paling
cocok untuk sebagian besar ibu di Indonesia adalah menyusui secara eksklusif (tidak campur
dengan PASI) selama 3-4 bulan pertama, kemudian diganti dengan formula secara eksklusif
(tidak campur dengan ASI).
Bagaimana kita tahu jika bayi terinfeksi? Jika dites HIV, sebagian besar bayi yang
dilahirkan oleh ibu HIV-positif menunjukkan hasil positif. Ini berarti ada antibodi terhadap HIV
dalam darahnya. Namun bayi menerima antibodi dari ibunya, agar melindunginya sehingga
sistem kekebalan tubuhnya terbentuk penuh. Jadi hasil tes positif pada awal hidup bukan berarti
si bayi terinfeksi. Jika bayi ternyata terinfeksi, sistem kekebalan tubuhnya akan membentuk
antibodi terhadap HIV, dan tes HIV akan terus-menerus menunjukkan hasil positif. Jika bayi
tidak terinfeksi, antibodi dari ibu akan hilang sehingga hasil tes menjadi negatif setelah kuranglebih 6-12 bulan.Sebuah tes lain, serupa dengan tes viral load dapat dipakai untuk menentukan
apakah bayi terinfeksi, biasanya beberapa minggu setelah lahir. Tes ini, yang mencari virus
bukan antibodi, saat ini hanya tersedia di Jakarta, dan harganya cukup mahal. Bagaimana
mengenai kesehatan ibu?Penelitian baru menunjukkan bahwa perempuan HIV-positif yang hamil
tidak menjadi lebih sakit dibandingkan yang tidak hamil. Ini berarti menjadi hamil tidak
mempengaruhi kesehatan perempuan HIV-positif.
Namun, terapi jangka pendek untuk mencegah penularan pada bayi bukan pilihan terbaik
untuk kesehatan ibu. ART adalah pengobatan baku. Jika seorang perempuan hamil hanya
memakai obat waktu persalinan, kemungkinan virus dalam tubuhnya akan menjadi resistan
terhadap obat tersebut. Hal ini dapat menyebabkan masalah untuk pengobatan lanjutannya.
Seorang ibu hamil sebaiknya mempertimbangkan semua masalah yang mungkin terjadi
terkait ART: Jangan memakai ddI bersama dengan d4T dalam ART-nya karena kombinasi ini
dapat menimbulkan asidosis laktik dengan angka tinggi. Jangan memakai efavirenz atau
indinavir selama kehamilan.Bila CD4-nya lebih dari 250, jangan mulai memakai
nevirapine.Beberapa dokter mengusulkan perempuan berhenti pengobatannya pada triwulan
pertama kehamilan. Ada dua alasan:Risiko dosis dilewatkan akibat mual dan muntah selama
awal kehamilan, dengan risiko mengembangkan resistansi terhadap obat yang dipakai.Risiko

13

obat mengakibatkan anak cacat lahir, yang tertinggi pada triwulan pertama. Tidak ada bukti
terjadi cacat lahir, selain dengan efavirenz. Para ahli tidak sepakat apakah penggunaan ART
menimbulkan risiko lebih tinggi terhadp lahir dini atau bayi lahir dengan berat badan rendah

Pengobatan
Obatobatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi
cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik
pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika
jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih
efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah
mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini
dapat mengunakan:
1.

Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan pencegahan

protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral
DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
2.

Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat reproduksi

dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim
tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam selsel. Obat
obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
3.

Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga

suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.
Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap
HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa
menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari
seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kirakira 25%35%. Dua pilihan
pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obatobatan
tersebut adalah:
1.

Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 1428 minggu

selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan
mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu
menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%.

14

Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan
Lamivudine (3TC)
2.

Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu

dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 23 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat
menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan
membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus
diberikan satu dosis dalam 3 hari.
Postexposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral,
yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang
menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun
terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu
pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan
bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obatobatan,
keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan
memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan
3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari
Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati.
Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya
selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang
memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomen
dasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal
tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak
aman.
Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui tiga cara, dan bisa
dilakukan mulai saat masa kehamilan, saat persalinan, dan setelah persalinan. Cara tersebut
yaitu:
1. Penggunaan obat Antiretroviral selama kehamilan, saat persalinan dan untuk bayi yang baru
dilahirkan. Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load menjadi lebih rendah sehingga
jumlah virus yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV.
Resiko penularan akan sangat rendah (1-2%) apabila terapi ARV ini dipakai. Namun jika ibu
tidak memakai ARV sebelum dia mulai sakit melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi
15

separuh penularan ini. AZT dan 3TC dipakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi
selama satu minggu setelah lahir. Satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan,
kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi 23 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan
AZT selama persalinan mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun, resistansi
terhadap nevirapine dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet
waktu hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu. Resistansi
ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini
lebih terjangkau di negara berkembang.
2. Penanganan obstetrik selama persalinan
Persalinan sebaiknya dipilih dengan menggunakan metode Sectio caesaria karena
metode ini terbukti mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80%. Apabila
pembedahan ini disertai dengan penggunaan terapi antiretroviral, maka resiko dapat diturunkan
sampai 87%. Walaupun demikian, pembedahan ini juga mempunyai resiko karena kondisi
imunitas ibu yang rendah yang bisa memperlambat penyembuhan luka. Oleh karena itu,
persalinan per vagina atau sectio caesaria harus dipertimbangkan sesuai kondisi gizi, keuangan,
dan faktor lain.
3. Penatalaksanaan selama menyusui
Pemberian susu formula sebagai pengganti ASI sangat dianjurkan untuk bayi dengan ibu
yang positif HIV. Karena sesuai dengan hasil penelitian, didapatkan bahwa 14 % bayi
terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi.
Alasan pentingnya pencegahan penularan HIV dari ibu ODHA ke bayi
1.
2.
3.
4.
5.

Sebagian ODHA perempuan berada pada usia subur.


Lebih dari 90% kasus HIv pada anak ditularkan dari ibunya pada masa perinatal.
Anak yang dilahirkan akan menjadi yatim piatu.
Anak yang terinfeksi HIV mengalami gangguan tumbuh kembang.
Stigmatisasi dan diskriminasi mungkin terjadi pada anak tersebut. (Dr. Nursalam,dkk;

2005)
Stategi Pencegahan Penularan HIV pada bayi dan anak menurut WHO (Depkes, 2003)
a)
b)
c)
d)

Mencegah jangan sampai ada wanita yang terinfeksi HIV (pensegahan Primer).
Apabila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan.
Apabila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya.
Apabila ibu dan anak sudah terinfeksi, berikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan

keluarganya.
Pencegahan Primer

16

Hal yang terutama dalam pencegahan primer bagi petugas kesehatan adalah mengikuti
kaidah-kaidah universal standar yang ada. Sementara ibu-ibu yang sehat perlu mengubah
perilaku seksual dengan menerapkan prinsip ABC, yaitu; A = Abstinence (tidak melakukan
hubungan seksual dengan pasangan), B = Be faithful (setia kepada pasangan), C = Condom
(pergunakan kondom jika terpaksa melakukan hubungan dengan pasangan. Mereka juga tidak
boleh menjadi pengguna narkba suntikan, terutama dengan penggunaan jarum suntik secara
berlebihan. (Dr. Nursalam,dkk; 2005)
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin atau bayinya meliputi empat hal,
yaitu mulai saat hamil, saat melahirkan dan setelah melahirkan. (Depkes, 2003):
1.
2.
3.
4.

Penggunaan Antiretroviral selama kehamilan.


Penggunaan Antiretroviral saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan.
Penanganan Obstetri selama persalinan.
Penatalaksanaan selama menyusui.

Cara persalinan yang Disarankan dalam Pencegahan Penuaran HIV dari ibu ke bayinya.
WHO tidak merokemendasikan untuk melakukan bedah Caesar tetapi juga tidak
melarangnya, mengingat kondisi di masing-masing daerah berbeda dan perlu pertimbangan
mengenai biaya untuk operasi, fasilitas untuk tindakan, dan komplikasi akibat imunitas ibu yang
rendah. Bedah Caesar dilakukan bila ada indikasi obstetric. Hindari partus lama dan tindakan
invasif, amniotomi sebelum pembukaan lengkap, episiotomi, ekstrasi vakum, ekstrasi cunam,
dan analisis gas darah bayi. (Dr. Nursalam,dkk; 2005)
Perhatian Pasca Persalinan
Menurut Depkes 2003 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu;
1.

Kontrasepsi
Waktu paling lambat yang dianjurkan untuk kontrasepsi adalah 4 minggu setelah ODHA

melahirkan.
2.
Menyusui
Ibu yang positif HIV sebaiknya tidak menyusui bayinya karena dapat terjadi penularan
sebesar 10-20%, apalagi bila payudara lecet atau radang.
3.
Terapi Antiretroviral dan Imunisasi
ART (Anti Retroviral Therapy) menjadi semakin penting setelah ibu melahirkan, karena
ibu harus memelihara anaknya sampai cukup besar. Bayi juga harus mendapat imunisasi seperti

17

bayi sehat. Tes HIV harus sudah dikerjakan saat bayi berumur 12 bulan. Apabila positif, maka
tes tersebut diulang saat bayi berumur 18 bulan.
4. Mengurangi Dampak Negatif Infeksi HIV
Upaya ini dilakukan terhadap individu, golongan, maupun masyarakat umumnya.
Kepada mereka perlu diberikan pendidikan/penyuluhan, konseling atau cara lain untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Hal ini penting dilakukan sehubungan dengan dampak
infeksi HIv di bidang psikologis dan bidang lainnya yang sangat mempengaruhi kehidupan
mereka selanjutnya. (Wiku Adisasmito, 2010)
Dampak kehamilan dan persalinan dengan infeksi HIV/AIDS
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik
wanita dengan infeksi HIV. Sebaliknya, risiko tentang hasil kehamilan pada penderita infeksi
HIV masih merupakan tanda tanya. Transmisi vertical virus AIDS dari ibu kepada janinnya
telah banyak terbukti, akan tetapi belum jelas diketahui kapan transmisi perinatal tersebut
terjadi. Penelitian di AS dab Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu
hamil adalah 20-40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses
persalinan, atau melalui ASI. Walaupun demikian, WHO menganjurkan agar ibu dengna HIV
positif tetap menyusui bayinya mengingat manfaat ASI yang cukup besar dibandingkan dengan
risiko penularan HIV.
Bila telah terdiagnosis adanya AIDS perlu dilakukan pemeriksaan apakah ada infeksi
PHS lainnya, sepeerti gonorrhea, chlamydia, hepatitis, herpes, ataupun infeksi toksoplasmik,
CMV, TBC dan lain-lain. Penderita AIDS mempunyai gejal awal yang tidak spesifik seperti
fatique, anoreksia, BB menurun, atau mungkin menderita candidiasis orofaring maupun vagina.
Kematian pada ibu hamil dengan HIV positif kebanyakan disebabkan oleh penyakit oportunistik
yang menyetainya, terutama pneumocystis carinii pneumonia.

18

Sampai saat ini belum ada pengobatan AIDS yang memuaskan. Pemberian AZT
(Zidovudine) dapat memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta beratnya infeksi
oportunistik.

Pengobatan infeksi HIV dan penyakit oportunisyiknya dalam kehamilan

merupakan masalah, karena banyak obat belum diketahui dampak buruknya dalam kehamilan.
Dengan demikian, pencegahan menjadi sangat penting peranannya, yaitu hubungan seksual yang
sehat, menggunakan alat kontrasepsi, dan mengadakan tes terhadap HIV sebelum kehamilan.
SC bukan merupakan indikasi untuk menurunkan risiko infeksi pada bayi yang
dilahirkan. Penularan kepada penolong persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% pertahun
exposure. Oleh karena itu dianjurkan untuk melaksanakan upaya pencegahan terhadap
penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut:
1.

Gunakan pakaian, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong persalinan

2.

Gunakan sarung tangan saat menolong bayi

3.

Cucilah tangan setelah selesai menolong penderita AIDS

4.

Gunakan pelindung mata (kacamata)

5.

Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksius

6.

Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut

7.

Bila dicurigai adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibody terhadap HIV

serta dapatkan AZT sebagai profilaksis.


Perawatan pascapersalinan perlu diperhatikan yaitu kemungkinan penularan melalui
pembalut wanita, lochea, luka episiotomi ataupun luka SC. Untuk perawatan bayi, sebaiknya
dilakukan oleh dokter anak yang khusus untuk menangani kasus ini. Perawatan ibu dan bayi
tidak perlu dipisah, harus diusahakan agar pada bayi tidak dilakukan tindakan yang membuat

19

perlukaan bila tidak perlu betul, misalnya jangan lakukan sirkumsisi. Perawatan tali pusat harus
dijalankan dengan cermat. Imunisasi yang menggunakan virus hidup sebaiknya ditunda sampai
terbukti bahwa bayi tersebut tidak menderita virus HIV. Antibodi yang didapatkan pasif dari ibu
akan dapat bertahan sampai 15 bulan. Jadi diperlukan pemeriksaan ulang berkala untuk
menentukan adanya perubahan ke arah negatif atau tidak. Infeksi pada bayi mungkin baru
tampak pada usia 12-18 bulan.

PENUTUP

Kesimpulan
20

HIV( Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia.Virus HIV akan masuk dalam sel darah putih dan merusaknya, sehingga sel darah
putih yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi akan menurun jumlahnya. Akibatnya
sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan penderita mudah terkena berbagai penyakit. Kondisi
ini disebut AIDS.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) atau sindrom penurunan kekebalan
yang didapatkan adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul karena rendahnya daya tahan
tubuh. Pada awalnya penderita HIV positif sering menampakkan gejala sampai bertahuntahun(5-10 tahun). Banyak faktor yang mempengaruhi panjang pendeknya masa tanpa gejala ini,
namun pada masa ini penderita dapat menularkan penyakitnya pada orang lain. Sekitar 89%
penderita HIV akan berkembang menjadi AIDS. Semakin lama penderita akan semakin lemah
dan akhirnya akan berakhir dengan kematian, karena saat ini belum ditemukan obat untuk
mencegah atau menyembuhkan HIV/AIDS.
Ada lima unsur yang perlu diperhatikan pada transmisi suatu penyakit menular, yaitu
sumber penyakit, vehikulum yang membawa, agent penyakit, host yang rentan, adanya tempat
keluar, adanya tempat masuk (port d entre). Transmisi tersebut dapat melalui transmisi seksual
yang berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serviks, transmisi nonseksual yang
berhubungan dengan darah yaitu transmisi parenteral dan yang belum terbukti seperti lewat air
susu ibu dll.

Pembagian stadium :
1)

Stadium Pertama:HIV

21

2)

Stadium Kedua:Asimptomatis (tanpa gejala)

3)

Stadium Ketiga:Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (Persistent

4)

Stadium Keempat:AIDS
Pencegahan dapat dilakukan untuk mengurangi persebaran penyakit tersebut. Bahkan

pemerintah juga telah membuat kebijakan-kebijakan untuk mengendalikan penyakit ini. Sedang
untuk obatnya sampai saat ini belum ditemukan, beberapa mesih dalam percobaan namun tetap
memberikan dampak lainnya pula.
Saran
1. Untuk Masyarakat
Sebaiknya lebih menambah informasi mengenai penyakit HIV/AIDS sehingga keluarga serta
lingkungan aman dari kemungkinan terjangkit penyakit ini.
2. Untuk Mahasiswa
Sebaiknya kita sebagai generasi penerus dapat menjaga diri, dan menghindari perbuatan yang
nantinya kita menjadi orang yang beresiko terserang virus HIV.
3. Untuk Institusi
Seharusnya mengadakan pembelajaran ataupun seminar mengenai HIV/AIDS sehingga kita
mendapat informasi yang penting tentang HIV/AIDS.
4. Untuk tenaga kesehatan
Diharapkan dapat peka mengenali jenis penyakit ini dan merencanakan tindakan yang tepat
untuk menangani penyakit ini.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Adisasmito, wiku. 2010. Sistem Kesehatan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada


2. Depkes (2003). Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
3.
4.
5.
6.

ODHA.Jakarta: Dirjen P2M Depkes RI, hal 80-177


Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Stewart GJ. 1997, Mananging HIV. Sydney: MJA Published, hal 17-21, 42-44.
Widyastuti, yani, dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Fitramaya.
Fakultas Kedokteran Universitas Pedjajaran Bandung. 1984. Obstetri Patologi. Bandung :

Elstar Offset.
7. Mochtar, Rustam. Prof. DR. 1989. Sypnosis Obstetrik : Obstetrik Patologi. Edisi I.
Jakarta : EGC
8. Prawiroharjo, Sarwono. 1976. Ilmu Kebidanan. Jakarta : yayasan Bina Pustaka.

23

Anda mungkin juga menyukai