ini,
tapi
bukti
pada
praktek
klinis
masih
sedikit.
Kami
bertujuan
untuk
mengidentifikasi apakah variasi dalam penggunaan klinis amiodaron dikaitkan dengan atrial
fibrilasi berulang
Metode: Ini adalah audit retrospektif dari 177 pasien sakit kritis atrial fibrilasi onset baru setelah
masuk ke unit perawatan intensif tingkat tersier. Pola amiodaron resep (Termasuk jadwal dosis
dan durasi) dinilai dalam kaitannya dengan kekambuhan atrial fibrilasi selama dirawat di unit
perawatan intensif. Faktor risiko yang dapat menyebabkan kekambuhan seperti pemberian
inotrope, indeks penyakit jantung, indeks komorbiditas Charlson, konsentrasi magnesium,
keseimbangan cairan, dan konsentrasi kalium, juga termasuk dalam analisis yang disesuaikan
menggunakan pmodel regresi logistik bertahap.
Hasil: Kohort memiliki nilai median (kisaran interkuartil) usia adalah 69 tahun (60-75), skor
Kesehatan Evalution II akut dan kronis adalah 22 (17-28) dan Index Komorbiditas Charlson
adalah 2 (1-4). Dosis bolus dari amiodaron diikuti oleh infus (P = 0,02), selain melanjutkan infus
amiodaron melalui unit perawatan intensif (P <0,001), yang dikaitkan dengan disritmia kurang
berulang. Kekambuhan setelah pengobatan yang berhasil dikaitkan dengan penghentian
penggunaan amiodaron sedangkan infus inotrope diteruskan (P <0,001), dan lebih umum pada
pasien dengan riwayat gagal jantung kongestif (P = 0,04), dan diagnosis sindrom respon
inflamasi sistemik (P = 0.02)
Kesimpulan: Amiodarone harus diberikan sebagai dosis bolus diikuti segera dengan infus ketika
merawat atrial fibrilasi di unit perawatan intensif. Pertimbangan harus diberikan untuk
melanjutkan infus amiodaron pada pasien dengan obat inotropik sampai obat tersebut dihentikan.
Kata kunci: Amiodarone, Atrial fibrillation, Critical care, Recurrence
LATAR BELAKANG
Atrial fibrilasi (AF) adalah gangguan irama jantung yang umum ditemui pada pasien
sakit kritis di unit perawatan intensif (ICU)[1]. Bergantung pada populasi penelitian, AF
dilaporkan terjadi pada frekuensi mulai dari 8,3% sampai 46%, dan yang terakhir dikaitkan
dengan pasien yang telah menjalani operasi jantung atau dirawat untuk pengobatan sepsis [1-9].
Terjadinya AF berpotensi menyebabkan tromboemboli atau kompromi hemodinamik [10]. Faktor
risiko untuk terjadinya AF pada pasien kritis telah didominasi oleh pasien bedah kardiotoraks.
Data pada faktor risiko untuk fibrilasi atrium di non-kardiotoraks populasi bedah ICU langka.
Risiko seperti: penggunaan katekolamin dan obat inotropik positif
tingkat keparahan penyakit yang tinggi
elektrolit
[4]
, usia lanjut
[5]
[1, 5, 9, 13]
, sepsis
[1, 5]
, penyakit jantung
[5, 6]
, nilai indeks
[4, 9, 12 , 13]
, hipoksia
[5]
, gangguan
, dan tekanan
[3, 13-15]
onset baru telah dikaitkan dengan peningkatan disfungsi diastolik, penggunaan vasopressor, dan
keseimbangan cairan positif yang lebih besar
[15]
[16]
acak yang terkontrol telah menunjukkan amiodaron efektif dalam mengkonversi AF ke irama
sinus
[17, 18]
. Khasiat amiodaron juga telah dikonfirmasi oleh penelitian lain yang menunjukkan
[17-20]
ventrikel [21, 22], sementara hemodinamik ditoleransi dengan baik [23, 24]. Banyak rejimen dosis telah
dijelaskan dengan ada konsensus mengenai strategi pengobatan yang optimal. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk menilai efek dari variasi penggunaan amiodaron pada kekambuhan
dysrhythmia pada pasien dengan AF onset baru yang dirawat di ICU non-kardiotoraks.
METODE
Peneliti melakukan pendekatan kohort retrospektif terhadap sejumlah besar kasus bedah
umum yang dirawat di ICU selama 24 bulan. Data dicatat secara prospektif dalam format
elektronik (IntelliVue Clinical Information Portfolio, Philips Medical Systems, Eindhoven,
Netherlands). Pasien memenuhi kriteria inklusi jika pasien merupaka orang dewasa (berusia 18
tahun atau lebih) yang mengalami AF onset baru selama mereka dirawat di ICU dan diterapi
dengan amiodaron.
Kriteria eksklusi antara lain baru saja menjalani bedah thoraks kardiovaskular, catatan
yang tidak memadai untuk analisis, pengobatan sebelumnya dengan amiodaron sebelum
dimasukkan dalam penelitian ini, dan riwayat atrial fibrillation sebelumnya.
Definisi dan Pengumpulan Data
AF didefinisikan sebagai suatu irama pada elektrokardiogram (EKG) dengan penggantian
gelombang P dengan osilasi cepat atau gelombang fibrilasi yang bervariasi dalam ukuran, bentuk
dan waktu, terkait respons ventrikel yang ireguler dengan frekuensi cepat ketika konduksi
atrioventrikular dalam keadaan utuh. Pengertian ini didapat dari hasil rekaman irama jantung
perjam dari sistem informasi klinis seperti yang dilansir dari program analisis algoritma Phillips
IntelliVue IP critical care monitoring system. Keberhasilan pengobatan dinilai dari adanya
konversi AF ke irama sinus normal dalam 12 jam pemberian amiodaron. kekambuhandinilai dari
munculnya AF pada EKG yang terjadi sebelum pasien dipindahkan dari ICU walaupun
sebelumnya telah terjadi konversi irama jantung dari AF ke irama sinus normal.
Pada AF dapat ditemukan adanya hipomagnesemia (Mg <0,8 mmol/L), hipokalemia (K <3,5
mmol/L), systemic inflammatory response syndrome (SIRS), dan sepsis.
Pada intinya, penggunaan amiodaron secara bolus ditetapkan dengan dosis lebih dari 150
mg yang diberikan lebih dari 20 menit sampai satu jam, sedangkan terapi kontinyu amiodaron
dosis tetap diberikan dengan syringe pump setiap jam selama lebih dari 2 jam, dan penundaan
pemberian amiodaron intravena tidak boleh lebih dari 1 jam.
Perekaman irama EKG otomatis secara terus menerus dicatat untuk semua pasien selama
perawatan mereka di ICU. Pengumpulan data mencakup riwayat penggunaan obat (Amiodaron
dan semua inotropik), dosisnya, dan kecepatan infusnya. variabel fisiologis dicatat setiap hari
termasuk keseimbangan cairan, jumlah sel darah putih, tekanan vena sentral, dan suhu. Data
demografi mencakup usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh (BMI),
skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II), penyederhanaan dari
Acute Physiology Score II (SAPS II)
[30]
keluar dari rumah sakit, pengeluaran rumah sakit hasil, dan pengeluaran ICU. Waktu dan tanggal
onset AF, konversi ke irama sinus normal, dan periode kekambuhan dilihat dari data EKG. Data
3
komorbiditas didapat dengan menggunakan Indeks komorbiditas Charlson dengan mencatat skor
dan diagnosis. Riwayat demam rematik, hipertiroidisme yang tidak terkontrol, penyakit katup
mitral, hemokromatosis, hipertensi, dan penggunaan bersamaan digoxin dan metoprolol juga
dicatat. Jika pasien beberapa kali dirawat di ICU selama penelitian ini dilakukan, hanya yang
penggunaan amiodaron pertama kali yang dicatat.
Penelitian ini telah memperoleh persetujuan sebagai penelitian berisiko rendah dari
Human Research Ethics Committee, Royal Brisbane and Women's Hospital serta Medical
Research Ethics Committee, Universitas Queensland, dan individu yang terlibat dalam penelitian
ini (HREC / 11 / QRBW / 292 dan 2012000135).
Rencana Analisis
Statistik deskriptif dihitung untuk semua variabel penelitian, dengan data yang dilaporkan
berupa mean atau median dengan rentang interkuartil untuk data kontinu, persentase untuk data
kategorikal, dan interval kepercayaan 95%. Data dianalisis dengan menggunakan Kruskal-Wallis
and Wilcoxon sign rank tests untuk data kontinu. Data kategori yang ada dianalisis menggunakan
chi squared atau Fishers exact test. Tidak ada asumsi yang dibuat untuk data yang hilang dan
proporsi disesuaikan antara jumlah pasien dengan data yang tersedia. Nilai P dua sisi kurang dari
0,05 dianggap untuk menunjukkan signifikansi statistik. Forward stepwise logistic regression
modelling untuk variabel prediksi kekambuhan dari AF digunakan. Variabel dimasukkan jika
mereka diakui sebagai prognostik untuk kekambuhan AF pada pasien sakit kritis, atau jika
nilai P mereka < 0,2 dalam pengujian univariat. Variabel diskrit dimasukkan sebagai hasil
bipolar dan variabel kontinyu yang diperkirakan menunjukkan distribusi normal atau yang
merupakan variabel ordinal. Model penelitian ini dilakukan penilaian terhadap diskriminasi
menggunakan area under the receiver-operating function and goodness of fit (HosmerLemeshow). Data dianalisis dengan menggunakan Stata 9 Statisticalpackage (College Station,
TX, USA).
HASIL
Selama lebih dari 2 tahun periode penelitian kami memantau 520 pasien masuk yang di
berikan amiodaron sebagai terapi AF selama eawat inap di ICU. Dari pasien-pasien ini, 186
memenuhi kriteria inklusi. 86 pasien (49%) berhasil di terapi dengan amiodaron tanpa rekurensi
4
AF sampai keluar dari ICU. Sembilan pasien ttap dalam keadaan AF sampai keluar dari ICU dan
tidak di pertimbangkan untuk analisis lebih lanjut. Pada pasien sisa sebanyak 91 pasien (51%),
terdapat rekurensi AF paling tidak sebanyak satu kali selama rawat inap di ICU, setelah
pemberian awal yang berhasil mengkonversi ke sinus rhytim normal.
Median umur pasien adalah 69 tahun (60-75), yang di dominasi pria (64%), dengan
median skor APACHE II sebesar 22 (17028). Karakteristik nilai dasar pasien termasuk informasi
demografi, keparahan penyakit, dan komorbiditas di tampilkan pada tabel 1 dan 2. Informasi
mengenai echocardiogram hanya terdapat pada 33 pasien, sehingga hal jumlah ini terlalu kecil
untuk di masukkan dalam analisis yang lebih detail. Keempat pasuen dengan hipertiroidisme
mengalami rekurensii AF. Pasien dengan atau tanpa rekurensi AF juga mendapat digoxin ( 27%
di bandingkan 10%, p= 0,004) atau beta-blocker (46% di banding 53%, p=0,37) dengan seluruh
pasien yang menerima digoxin juga mendapat beta bloker, yang menandakan penggunaan obat
yang lebih dari satu untuk mengontrol rekurensi AF. Mayoritas dari pasien mendapat
noradrenaline sebagai inotropik (tiga tanpa rekurensi AF dan lima dengan rekurensi AF
mendapat adrenalin). Tidak ada pasien yang mendapat cardioversi maupun mendapat dopamin
atau dobutamin.
Pasien dengan rekurensi AF memiliki Index Charlson Comorbidity yang lebih tinggi dan
beresiko mengalami gagal jantung. Usia dan keparahan penyakit tidak berhubungan secara
signifikan dengan rekurensi AF. Hal ini menjadi sulit untuk membentuk kerangka waktu yang
cocok untuk menbandingkan faktor risiko fisiologi AF dalam kelompok yang tidak memiliki
rekurensi AF> Seperti dalam analisis kelompok mengenai parameter fisiologis yang di lakukan
pada yang mengalami rekurensi AF, dilakukan perbandingan variabel ada saat waktu rekurensi
AF dan waktu saat terjadi reversi ke sinus rhytim normal. Pada pasien dengan rekurensi AF,
keseimbangan cairan selama 24 jam lebih rendah, konsentrasi serum magnesium lebih rendah
dan jumlah hitung sel darahg putih lebih tinggi saat di mana terjadi rekurensi AF.
Tidak ada penyeragaman strategi pengobatan dalam penggunaan amiodaron. Dalam 62
Pasien (35%), tidak terdapat dosis bolus atau pemberian amiodaro sebelumnya yang tercatat.
Hanya 92(52%) pasien yang menerima pasin dosis bolus maupun dengan infus, Median dosis
total amiodaron yang diberikan sebanyak 905 mg (488-1651) yang termasuk dosis bolus dan
infus, dengan median durasi pengobatan selama 24 jam (16-40 jam). Median penundaan infus
5
setelah bolus selama 2 ja (1-4). Pasie yang menerima bolus amiodaron atau hanya infus lebih
beresiko mengalami rekurensi AF (p<0,001). Pasien dengan rekurensi menerima amiodaron
secara keseluruhan, dimana hal ini terjadi oleh karena faktor risiko yang menetap memerlukan
pengobatan yang lebih panjang atau dosis amiodaron yang lebih besar.
Pada model regresi logistik, pasien yang mendapat inotropik selama pengobatan AF lebih
berisiko mengalami rekurensi ketika amiodaron di hentikan sebelum penghentian infu inotropik
(p<0,001), tabel 5). Pemberian amiodaron selama keseluruhan durasi rawat inap di ICU saat AF
terjadi maka hal ini berhubungan denga resiko rekurensi yang lebih rendah (p<0,001), ketika
pemberian bolus awal amiodaron yang di ikuti infus lebih dari 24 ham dari pada hanya infus
tanpa dosis bolus (p=0,02) Jika pasien memiliki riwayat gagal jantung kongestif sebelumnya,
mereka lebih beresiko mengalami rekurensi (p=0,04). Diagnosis SIRS juga secara signifikan
sebagai prediktor rekurensi AF (p=0,02). Meskipun penggunaan digoxin juga berkaitan dengan
rekurensi AF, hal ini tidak di jadikan prediktor yang tidak berhubungan dan lebih menjaga
dengan penggunaan obat lain untuk mengontrol rekurensi.
Tabel 1. Karakteristik Pasien
Parameter
Tidak
terjadi Rekurensi
rekurensi
Usia(tahun)
Pria
APACHE II
SAPS II
ICU LOS (hari)
Hospital
(n=86)
65 (57-75)
53 (61)
21 (17-26)
39 (20-49)
6 (3-12)
21 (12-46)
LOS(hari)
Keluaran ICU
Meninggal
10 (12)
Pulang
75 (87)
Di pindahkan
1 (1)
Kelurana rumah
sakit
Meninggal
Pulang
Di pindahkan
22 (26)
44(51)
17(20)
AF Total (n=177)
AF (=91)
71 (61-76)
60 (66)
23 (17-29)
44 (31-58)
8 (4-16)
31 (18-70)
69(60-75)
113 (64)
22 (17-28)
41 (31-53)
7(4-13)
25 (13-58)
0,10
0,64
0,28
0,12
0,05
0,09
0,83
13 (14)
77 (85)
1 (1)
23(13)
152 (86)
2(1)
0,08
25 (27)
37(41)
29(31)
47(27)
81(46)
46(26)
6
Tidak
2(3)
terdokumentasi
Berat
Badan
80
0(0)
(69-100) 75
3(2)
(65-90) 78
(66-95) 0,15
(kg)
Tinggi
(n=79)
badan 170(165-175)
(n=87)
170(162-175)
(n=166)
170(162-175)
(cm)
Indeks
(n=76)
Massa 28(25-34)
(n=84)
(n=160)
26
(24-31) 28(24-33)
0,06
0,73
Tubuh
Skor Charlson
Penggunaan
(n=76)
2(1-4)
9(10)
(n=84)
3(2-5)
25(27)
(n=160)
2(1-4)
34(19)
0,01
0,004
digoxin
Penggunaan
46(53)
42(46)
88(50)
0,37
beta bloker
DISKUSI
Peneliti mengidentifikasi mengenai beberapa faktor klinis yang signifikan terkait
dengan kambuhnya AF dengan onset baru dalam kelompok pasien. Amiodaron yang dihentikan
pada pasien yang masih menerima infus inotrope dikaitkan dengan kekambuhan AF. Pasien yang
tetap pada pengobatan amiodaron dalam seluruh durasi selama perawatan di ICU ketika AF
berkembang kurang mungkin untuk terjadi kekambuhan AF. Demikian pula, kekambuhan AF
kurang mungkin pada pasien dengan pemberian dosis bolus dan infus amiodaron daripada infus
saja tanpa bolus awal. Risiko kekambuhan juga secara signifikan terkait dengan riwayat gagal
jantung kongestif dan adanya SIRS.
Tabel 2. Komorbiditas
Komorbiditas
Tidak
ada Rekurensi
rekurensi
AF (n=91)
AF Total (n=177)
(n=86)
Infark miokard
17(20)
Gagal jantung 6(7)
26(29)
16(18)
43(24)
22(12)
0,22
0,04
kongestif
Penyakit
26(29)
40(23)
0,07
14(16)
vaskuler perifer
Penyakit
6(7)
19(11)
0,09
serebrovaskuler
Demensia
4(5)
Penyakit Paru 26(30)
1(1)
32(35)
5(3)
58(33)
0,20
0,52
Kronis
Penyakit
4(5)
7(8)
11(6)
0,54
jaringan ikat
Ulkus peptikum
Penyakit liver
Diabetes
5(6)
3(3)
14(16)
4(4)
6(7)
11(12)
9(5)
9(5)
25(14)
0,74
0,74
0,52
Melitus
Penyakit ginjal
Diabetes
14(16)
3(3)
16(18)
3(3)
30(17)
6(3)
0,84
1,00
Melitus
yang
parah
Tumor
Leukimia
Limfoma
Penyakit
11(13)
3(3)
2(2)
liver 1(1)
14(15)
9(10)
2(2)
2(2)
25(14)
12(7)
4(2)
3(2)
0,67
0,13
1,00
1,00
9(10)
12(7)
0,13
metastasis
SIRS
47(55)
Sepsis
28(33)
Penyakit jantung 23(27)
61(68)
36(40)
35(38)
109(62)
64(36)
58(33)
0,09
0,35
0,11
iskemik
Hipertensi
50(58)
Hipokalemia
29(34)
Penyakit jantung 2(2)
56(62)
31(34)
0(0)
106(60)
60(34)
2(1)
0,65
1,00
0,24
rematik
Penyakit
2(2)
9(5)
0,09
1(1)
2(1)
1,00
yang parah
Tumor
13(15)
3(3)
katup 7(8)
mitral
Hemokromatosi
1(1)
s
Perubahan elektrofisiologi yang terjadi di atrium pada AF telah dipelajari secara
ekstensif tapi tetap kurang dipahami, terutama pada penyakit kritis. Diperkirakan bahwa AF
8
dimulai melalui aktivitas focal (ektopik) di atrium kiri dekat pembuluh darah paru. Mekanisme
yang mendasari ini diyakini berperan dini pada potensial aksi melalui percepatan fase empat
depolarisasi (automatisitas abnormal) sebaik pada fase Early After Depolarisation (EAD) dan
Delayed After Depolarisation (DAD)
[35]
infus inotrope memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika amiodaron telah dihentikan
sementara agen inotrope diteruskan.
Amiodaron dianggap sebagai obat pilihan untuk mengobati AF
[16]
, meskipun ada
sedikit bukti mengenai utilitas obat ini pada populasi ICU secara umum. Meskipun memiliki
aktivitas memblok beta adrenergik, hal ini tidak akan mempengaruhi persyaratan dosis
katekolamin
[23]
. Sebagai informasi, bahwa hanya dua percobaan terkontrol acak telah secara
khusus menilai penggunaan amiodaron untuk pengobatan AF pada pasien ICU secara umum.
Chapman et al.[17] mengevaluasi efikasi amiodaron untuk AF pada pasien dengan penyakit kritis
non-kardiotoraks dalam uji coba terkontrol secara acak dibandingkan dengan procainamide.
Dosis amiodarone dalam penelitian ini didasarkan pada berat badan (3 mg / kg bolus diikuti oleh
10 mg / kg / 24 jam) dan laju konversi ke irama sinus adalah 70% pada kelompok amiodarone.
Obat diberikan selama minimal 72 jam. Kami menemukan bahwa pasien yang mengembangkan
AF dan diperlakukan dengan amiodaron untuk seluruh durasi selama perawatan mereka di ICU
kurang mungkin untuk terjadinya kekambuhan AF, karena saat ini faktor pencetus kemungkinan
telah disingkirkan. Studi kami mendukung penggunaan loading dose yang adekuat diikuti
dengan infus amiodaron, dengan pemberian yang berkelanjutan sampai inotropik dihentikan,
untuk mengurangi risiko kekambuhan AF.
Tabel 3. Ringkasan parameter fisiologis pada pasien dengan rekurensi AF
Parameter
saat
terjadi P
Keseimbangan
perbaikan
rekurensi AF
963
(223-2010) 173(-847-1304)
(n=82)
0,001
(n=76)
9
7 (4-10)(n=57)
19(14-22)(n=57)
4.2(3,8-4,5)(n=81)
4,3(4,1-4,7)(n81)
1,07(0,91-1,26)
6(3-9)(n=64)
18(13-22)(n=64)
4,2(4-4,6)(n=73)
4,4(4,1-4,7)(n=73)
1,03(0,92-1,18)
0,75
0,10
0,18
0,86
0,23
Mg max (mmolL)
(n=81)
1,15(0,99-1,34)
(n=71)
1,08(0,96-1,24)
0,03
(n=81)
36,5
(n=82)
37,8(37,1-28,4)
37,6(37-38,4)(n=76)
(n=82)
10,7(7,5-15,6)
12,2
(n=78)
11,3
(n=71)
(36-37,1) 36,4 (36-36,9)(n76)
0,36
(9,8-18,2) 0,01
(n=71)
(7,8-15,9) 12,5(9,8-18,7)
(n=78)
0,34
0,27
(n=71)
Sebuah pengobatan amiodaron dengan durasi yang lebih lama dapat mengakibatkan
kemungkinan lebih besar pengaruh pada stabilitas irama. Moran et al .
[18]
coba terkontrol secara acak menilai kemanjuran amiodaron dibandingkan dengan magnesium
sulfat. Studi ini menemukan bahwa amiodaron berhasil mengkonversi AF ke irama sinus di 7/14
(50 %) pasien. Menariknya, penelitian ini menemukan amiodaron menjadi kurang efektif
daripada Chapman et al .
[17]
mg / bolus kg diikuti oleh 10 mg / kg / 24 jam ). Kedua studi ini juga menyinggung takiaritmia
selain AF, dan dapat menjelaskan perbedaan dalam tingkat pengembalian ke irama sinus. Kedua
uji coba ini tidak memiliki durasi tindak lanjut yang sesuai untuk mengidentifikasi pasien dengan
kekambuhan, atau menjelajahi faktor risiko kekambuhan.
Tabel 4. Ringkasan Terapi Amiodaron
Parameter
Tidak
ada rekurensi
rekurensi
AF (n=91)
AF Total (n=177)
(n=86)
10
Bolus
0,07
Amiodaron
0
1
2
3
Dosis
43(42)
51(50)
5(5)
2(2)
62(35)
98(55)
12(7)
5(3)
<0,001
amiodaron
Hanya bolus
Hanya infus
Bolus dan Infus
Penundaan
infus
19(25)
47(61)
7(9)
3(4)
3(3)
43(43)
40(47)
2 (1-3)(n=29)
20(23)
19(25)
52(57)
2(1-6(n-45)
23(13)
62(35)
92(52)
2(1-4)(n=74)
0,48
702(300-1117)
1366(752-2511)
905(488-1651)
<0,001
31(20-58)
24(16-40)
<0,001
23(66)(n=35)
37(100)(n=37)
0,14
setelah
bolus (jam)
Dosis
amiodaron total
(mg)
Waktu
infus 20(12-28)
(jam)
Kelanjutan
0(0)(n=2)
inotropik
dengan
pengehentian
amiodaron
Berbagai regimen dosis yang digunakan untuk mengobati AF ( 3-7,5 mg / kg bolus dan
diikuti infus dari 1200- 1500 mg / 24 jam atau 10 mg / kg / 24 jam )
[17-20 , 23]
. Kurangnya
konsensus tentang dosis rejimen terbaik tercermin dalam hasil kami. Tidak ada strategi dosis
seragam yang digunakan dan 35 % dari pasien tidak menerima loading dose. Pasien yang
mendapatkan bolus amiodaron biasanya mendapatkan satu ampul dari 300 mg terlepas dari berat
badan dan memiliki keterlambatan median 2 jam pada pemberian infus. Pasien yang
mendapatkan loading dose dan infus kurang mungkin untuk memiliki kekambuhan bila
dibandingkan dengan hanya infus kontinyu tanpa bolus.
Beberapa penelitian telah melaporkan faktor risiko untuk perjalanan AF pada pasien
dengan penyakit kritis, terutama dalam pengaturan bedah kardiotoraks. Penyakit kardiovaskular
11
sebelumnya telah terlibat dalam perjalanan AF. Faktor-faktor yang diprediksi berperan dalam
peningkatan risiko diantaranya penyakit arteri koroner[4], kardiomegali[4], fraksi ejeksi ventrikel
kiri rendah
[9, 12]
[13]
Penelitian lain menunjukkan proses inflamasi sebagai faktor risiko untuk AF, dengan SIRS
sepsis [5] dan mengangkat C reaktif protein
[6]
[5]
95 % CI
1,05-7,65
0,04
0,99-4,27
0,05
12
perifer
Penyakit
0,40
0,14
-1,10
serebrovaskuler
0,07
1,77
Penyakit
jantung 1,71
0,96-3,27
0,91-2,23
0,07
0,01
iskemik
Penyakit
0,05-1,26
0,09
katup 0,25
mitral
Metastasis tumor
Leukimia
Usia
IMT
Pemberian
beta
3,03
3,03
1,02
0,96
1,50
0,79-1,16
0,79-11,61
1,00-1,04
0,92-1,00
0,83-2,73
0,11
0,11
0,12
0,06
0,18
bloker
Pemberian digoxin
Penghentian
5,06
8,76
2,20-11,67
3,58-21,4
<0,001
<0,001
infus inotropik
Penundaan
infus 1,86
1,02-3,44
0,05
setelah bolus
Menerima
dosis 0,02
0,01-0,05
<0,001
bolus
infus
1,86-18,6
0,003
0,003-0,004
<0,001
1,32-13,4
0,02
amiodaron
dan
ketikan
amiodaron
Regresi Multivariat
Penghentian
amiodaron
5,89
ketikan
infus inotropik
Masih
mendapat 0,01
terapi
saat
amiodaron
durasi
pendaftaran ke ICU
SIRS
4,21
tulang, kandungan, trauma dan unit luka bakar. Temuan kami unik karena tidak ada studi
sebelumnya telah diperiksa secara khusus faktor yang menyebabkan kekambuhan AF setelah
berhasil diobati.
Studi kami hanya dapat membuat kesimpulan tentang pasien yang menerima amiodaron,
karena pasien yang menerima pengobatan farmakologis lainnya dan kardioversi listrik tanpa
amiodaron dikeluarkan. Efek dari penggunaan beta-blocker atau digoxin secara bersamaan tidak
signifikan dalam pemodelan multivariat. Pilihan pengobatan lain seperti diltiazem intravena
tidak tersedia di Australia [38].
Selain dalam pengaturan paroxysmal AF
[39]
untuk pasien harus tetap dalam irama sinus setelah kardioversi dari AF untuk mendefinisikan ini
sebagai sukses. Dalam studi ini, kami menggunakan 12 jam irama sinus sebagai waktu minimal
untuk pengobatan yang berhasil dengan amiodaron. Hal ini mencerminkan keakutan penyakit
dalam suatu ICU dan rata-rata studi AF pada penyakit kritis di mana kemanjuran terapi telah
dinilai dalam waktu 2 jam dan 24 jam dari pemberian obat [40].
Studi kami memiliki ukuran sampel yang relatif kecil sebagai fokus kami adalah pada
penggunaan amiodaron. Dengan demikian, hanya faktor risiko yang dikenal yang dimasukkan
dalam upaya untuk tidak mempersempit model regresi. Parameter ventilasi seperti tingkat
tekanan positif pada akhir ekspirasi tidak dianggap karena mereka sering mencerminkan status
cairan dan tidak mungkin untuk berinteraksi dengan kekambuhan. kematian dini mungkin telah
dipengaruhi oleh kesempatan untuk mendeteksi kekambuhan AF; Namun, durasi tinggal ICU dan
kematian ICU serupa dengan tindak lanjut yang lengkap untuk periode pengakuan ICU pada
kedua kelompok tersebut. Meskipun demikian, kita mampu menunjukkan hubungan yang
signifikan secara statistik dengan kekambuhan AF. proyek kami juga retrospektif, membatasi
pilihan variabel untuk analisis. Namun, data klinis yang relevan yang tersedia dan dicatat secara
prospektif secara sistematis dalam suatu sistem informasi elektronik klinis.
KESIMPULAN
Pasien dengan AF onset baru yang dirawat dengan amiodarone harus menerima
loading dose, segera diikuti oleh infus. Dokter harus mempertimbangkan untuk melanjutkan
infus amiodaron pada pasien yang menerima inotropik sampai inotrope tersebut berhenti. Pasien
yang memiliki riwayat gagal jantung kongestif atau SIRS dan didiagnosis untuk masuk ke ICU
14
memiliki risiko yang lebih besar terjadinya kekambuhan AF. Kewaspadaan penggantian
magnesium, menghindari penurunan volume berlebihan dan resolusi SIRS akan muncul
pendekatan yang masuk akal untuk membatasi kekambuhan AF, terutama karena banyak
parameter yang dikenal dikelola secara rutin dalam kisaran ketat untuk pasien di ICU. Panduan
dosis yang jelas tidak tersedia dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperoleh strategi
dosis terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arora S, Lang I, Nayyar V, Stachowski E, Ross DL. Atrial fibrillation in a tertiary care
multidisciplinary intensive care unitincidence and risk factors. Anaesth Intensive Care.
2007;35:70713.
2. Artucio H, Pereira M. Cardiac arrhythmias in critically ill patients: epidemiologic study.
Crit Care Med. 1990;18:13838.
3. Brathwaite D, Weissman C. The new onset of atrial arrhythmias following major
noncardiothoracic surgery is associated with increased mortality. Chest. 1998;114:4628.
4. Burris JM, Subramanian A, Sansgiry S, Palacio CH, Bakaeen FG, Awad SS.
Perioperative atrial arrhythmias in noncardiothoracic patients: a review of risk factors and
treatment strategies in the veteran population. Am J Surg. 2010;200:6015.
5. Knotzer H, Mayr A, Ulmer H, et al. Tachyarrhythmias in a surgical intensive care unit: a
case-controlled epidemiologic study. Intensive Care Med. 2000;26:90814.
6. Meierhenrich R, Steinhilber E, Eggermann C, et al. Incidence and prognostic impact of
new-onset atrial fibrillation in patients with septic shock: a prospective observational
study. Crit Care. 2010;14:R108.
7. Reinelt P, Karth GD, Geppert A, Heinz G. Incidence and type of cardiac arrhythmias in
critically ill patients: a single center experience in a medicalcardiological ICU. Intensive
Care Med. 2001;27:146673.
8. Salaria V, Mehta NJ, Abdul-Aziz S, Mohiuddin SM, Khan IA. Role of postoperative use
of adrenergic drugs in occurrence of atrial fibrillation after cardiac surgery. Clin Cardiol.
2005;28:1315.
9. Salman S, Bajwa A, Gajic O, Afessa B. Paroxysmal atrial fibrillation in critically ill
patients with sepsis. J Intensive Care Med. 2008;23:17883.
10. Dewar RI, Lip GY. Identification, diagnosis and assessment of atrial fibrillation. Heart
(British Cardiac Society). 2007;93:258.
15
16
24. Kumar A. Intravenous amiodarone for therapy of atrial fibrillation and flutter in critically
ill patients with severely depressed left ventricular function. Southern Med J.
1996;89:77985.
25. Sleeswijk ME, Van Noord T, Tulleken JE, Ligtenberg JJ, Girbes AR, Zijlstra JG. Clinical
review: treatment of new-onset atrial fibrillation in medical intensive care patientsa
clinical framework. Crit Care. 2007;11:233.
26. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure and
guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Consensus
Conference Committee. American College of Chest Physicians/ Society of Critical Care
Medicine. Chest. 1992;101:164455.
27. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving Sepsis Campaign: international
guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2008. Crit Care Med.
2008;36:296327.
28. Global
Database
on
Body
Mass
Index.
2012.
http://www.
17
37. Kalman JM, Munawar M, Howes LG, et al. Atrial fibrillation after coronary artery bypass
grafting is associated with sympathetic activation. Ann Thorac Surg. 1995;60:170915.
38. Delle Karth G, Geppert A, Neunteufl T, et al. Amiodarone versus diltiazem for rate
control in critically ill patients with atrial tachyarrhythmias. Crit Care Med.
2001;29:114953.
39. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, et al. 2011 ACCF/AHA/HRS focused updates
incorporated into the ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the management of patients
with
atrial
fibrillation:
report
of
the
American
College
of
Cardiology
18