Eritroblastosis Fetalis
Eritroblastosis Fetalis
Lanjut ke konten
Beranda
About
Teratoma Sakrokoksigeus
Kompetisi Web Kompas MuDA & AQUA
Eritroblastosis fetalis
Posted on November 16, 2010 by inongaceh
I. PENDAHULUAN
Eritroblastosis fetalis adalah suatu sindroma yang ditandai oleh anemia berat pada janin
dikarenakan ibu menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah janin. Sindroma ini
merupakan hasil dari inkompabilitas kelompok darah ibu dan janin terutama pada sistem
rhesus.1 Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan masih banyak
perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun interaksi antigeniknya. Pada
tahun 1932, Diamond, Blackfan dan Baty melaporkan bahwa fetal anemia yang ditunjukkan
dengan jumlah eritroblas yang ada dalam sirkulasi darah menggambarkan sindroma ini.2,3
Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya
sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen pada
eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D dan merupakan antigen
yang berperan penting dalam transfusi. Tidak seperti pada sistem ABO dimana seseorang
yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang berlawanan dalam
plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu paparan
apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus merupakan antigen
yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya. Pemberian darah
Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak 0,1 ml secara parenteral pada individu yang
mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-) sudah dapat menimbulkan anti Rhesus
positif (anti-D) walaupun golongan darah ABOnya sama.1,3
Anti D merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya endap
(sedimentation coefficient) 7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan selain dalam serum
juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur. Imun antibodi IgG anti-D dapat
melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga janin dapat menderita
penyakit hemolisis.1,2
Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang
diakibatkan oleh alloimun antibodi (anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan darah ABO)
dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal isoimun bersifat spesifik
terhadap eritrosit janin dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab
hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang
merusak eritrosit janin. 1,2,3,4,5,14
Pada tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk mengakkan diagnosis
hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin yang ditandai oleh
sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops fetalis. Pada tahun 1940,
Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam patogenesis kelainan hemolisis
pada janin dan bayi. Levin dkk (1941) menegaskan bahwa eritroblas disebabkan oleh
isoimunisasi maternal dengan faktor janin yang diwariskan secara paternal. Find (1961) dan
freda ( 1963) meneliti tentang tindakan profilaksis maternal yang efektif. 1,2,3,8
II. INSIDEN DAN KLASIFIKASI
Secara garis besar, terdapat dua tipe penyakit inkompabilitas yaitu: inkompabilitas Rhesus
dan inkompabilitas ABO. Keduanya mempunyai gejala yang sama, tetapi penyakit Rh lebih
berat karena antibodi anti Rh yang melewati plasenta lebih menetap bila dibandingkan
dengan antibodi anti-A atau anti-B. Insidens pasien yang mengalami inkompatibilitas Rhesus
(yaitu rhesus negatif) adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam dan jarang
pada bangsa asia. Rhesus negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya
perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif. Selama 20 tahun, dari
tahun 1972-1993, Hudono (1993) menemukan di Jakarta hal-hal sebagai berikut: 8 kasus
antagonismus Rhesus dengan istri Rh negatif, semuanya bukan orang Asia; hanya pada 2
orang ibu (25%) terjadi imunisasi.3 Selanjutnya dalam waktu yang sama dijumpai 2 kasus
eritroblastosis fetalis karena inkompabilitas ABO dan 2 kasus lainnya yang tidak diketahui
dengan pasti sebabnya, satu diantaranya mungkin karena inkompabilitas ABO. 2,3,7,8,10
1. Inkompatibilitas Rhesus (Rh)
Inkompatibiltas Rh dapat disebabkan oleh isoimmunisasi maternal ke antigen Rh oleh
transfusi darah Rh positif atau isoimmunisasi maternal dari paparan ke antigen Rh janin pada
kehamilan pertama atau kehamilan yang sekarang. Pada inkompatibilitas Rh, anak pertama
lahir sehat karena ibu belum banyak memiliki benda-banda penangkis terhadap antigen Rh,
asalkan sebelumnya ibu tidak menderita abortus atau mendapat transfusi darah dari Rh
positif. Pasangan suami istri hanya mempunyai 1 atau 2 anak, sedang anak-anak berikutnya
semua meninggal. Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif,
risiko terbentuknya antibodi sebesar 8%, sedangkan insidens timbulnya antibodi pada
kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%.
Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses
sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respons imun sekunder yang timbul akibat
produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1% dari wanita akan tersensitasi
III. GENETIK
Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak ada d. Hanya gen
D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang digunakan adalah Rhesus (D),
bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif mengandung substansi (antigen D) yang dapat
merangsang darah rhesus (D) negatif memproduksi antibodi. Gen C dan E kurang berperan
disini. Hal ini dapat menjelaskan mengapa antibodi yantg dihasilkan oleh wanita Rhesus
negatif disebut anti-D (anti-rhesus D).
Gambar 2. Keadaan janin dan plasenta pada Eritroblastosis fetalis berat.
IV. PATOFISIOLOGI
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi
yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin
dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan
fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada
eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi
tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah
janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan
akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi
hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara
memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut
dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.1,8,9,11,12,13
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang
selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini
melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk
pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat
pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab
penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan
antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri
sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin. 4,9,11,12,14
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya
karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah Rhesus
positif atau pada kehamilan kedua dan berikutnya.2,3,7,9 Penghancuran sel-sel darah merah
dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal
dengan bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati,
tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu
waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi
dapat berkembang menjadi kernikterus.
Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar gula
darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditujukkan oleh
adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan gambaran membengkak (swollen).
Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan normal, karena paru tidak dapat
mengembang maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk
jangka waktu tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia
dapat menimbulkan masalah jantung.
Gambar 3. Interaksi antibodi dan antigen pada eritrosit.3
b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus negatif (D-)
c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells
d. bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak tersedia
maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh positif) untuk transfusi
tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali dengan memberikan darah donor
Rh negatif yang kompatibel.
e. pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells
f. darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan lama
pemberian transfusi 90 menit
g. lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila tidak
memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah ibunya, namun
untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.
h. sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37C
i. pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan darah donor sebanyak
50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua darah donor ditransfusikan.
Tabel 1. Calon donor transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas. 1
GOLONGAN
O
A
B
AB
A
B
AB
AB
DARAH
BAYI
kehamilan minggu ke 2634 dengan menggunakan Packed Red Cells golongan darah O Rh
negatif sebanyak 50100 ml. Induksi partus dilakukan pada minggu ke 32 dan kemudian bayi
dibantu dengan transfusi tukar 1x setelah partus. Induksi pada kehamilan 32 minggu dapat
menurunkan angka mortalitas sebanyak 60%.
Gambar 8. Transfusi intra uterin
C. Transfusi albumin
Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat sebagian
bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko terjadinya overloading
sangat besar maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.
D. Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin. Fototerapi
sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal.
Gambar 9. Foto terapi pada bayi dengan Rh Inkompatibilitas. 3
Menurut Bowman (1978), kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah mengalami tranfusi
janin akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa ketika berusia 18 bulan
atau lebih, 74 anak berkembangan secara normal, 4 anak abnormal dan 11 anak mengalami
gangguan tumbuh kembang. 1
IX. PENCEGAHAN 1,3,4,7,14
Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat isoimunisasi
Rhesus adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan
memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D)
akan melindungi ibu dari 4 ml darah janin. 1,2,4,6,14
Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan pada saat persalinan bukan sebagai vaksin dan tak
membuat wanita kebal terhadap penyakit Rhesus. Suntikan ini untuk membentuk antibodi
bebas, sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada kehamilan berikutnya.
Tabel 2. Kategori obat sebagai pencegahan Inkompatibilitas Rhesus. 7
Drug Name
XI. KESIMPULAN
XII.
RUJUKAN