Anda di halaman 1dari 12

Manajemen Skizofren Hamil

by insaani-mukhlisah
on Dec 14, 2014
Report

Category:

Documents
Download: 0
Comment: 0
49
views
Comments
Description
manajemen
Download Manajemen Skizofren Hamil
Transcript

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Angka pasien skizofrenia di AS cukup tinggi
(lifetime prevalance rates) mencapai 1/100 penduduk. Sebagai perbandungan, di Indonesia
bila pada PJPT I angkanya adalah 1/1000 penduduk maka proyeksinya pada PJPT II, 3/1000
penduduk, bahkan bisa lebih besar lagi. Berdasarkan data di AS. Setiap tahun terdapat
300.000 pasien skizofrenia mengalami episode akut. Prevalensi skizofrenia lebih tinggi dari
penyakit Alzheimer, multipel skelosis, pasien diabtes yang memakai insulin, dan penyakit
otot (muscular dystrophy). 20%-50% pasien skizofrenia melakukan percobaan bunuh diri,
dan 10% di antaranya berhasil (mati bunuh diri). angka kematian pasien skizofrenia 8 kali
lebih tinggi dari angka kematian penduduk pada umumnya. Perempuan dengan Skizofrenia
dapat dan bisa menjalani kehamilannya. Namun, pada skizofrenia yang tak terkontrol dapat
membahayakan, baik terhadap ibu maupun janin. Lagipula, pada beberapa wanita, kehamilan
dapat menimbulkan gejala skizofrenia meningkat. Pada skizofrenia angka kesuburan (fertility
rate)relatif lebih rendah dari wanita pada umumnya. Namun, pasien skizofrenia memiliki
resiko yang tinggi terhadap kehamilan yang tidak direncanakan atau diinginkan dan lebih
sering tidak menikah dan dengan dukungan dukungan sosial yang terbatas. Perbedaan
signifikan jenis kelamin ada pada gejala, karakteristik, dan respon pengobatan skizofrenia.
Meskipun schizophrenia secara sederhana memiliki perbandingan yang sama antara laki-laki
dan perempuan, resiko terjadinya lebih kecil pada perempuan. Puncak onset 1 schizophrenia
lebih lambat pada wanita, terjadi usia 20 tahunan, selanjutnya lebih jarang pada usia antara
45-49 tahun. 1.2 Batasan Masalah Referat ini membahas skizofrenia pada kehamilan serta
pengobatan skizofrenia pada kehamilan 1.3 Tujuan penulisan Tujuan penulisan referat ini
adalah: 1. Memahami definisi skizofrenia, skizofrenia pada kehamilan serta pengobatan
skizofrenia pada kehamilan 2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang
ilmu kedokteran jiwa. 3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK UR RSJ Tampan Pekanbaru. 1.4 Metode
Penulisan Penulisan dari referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu
kepada beberapa literatur. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindroma dengan variasi penyebab (banyak yang
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating)
yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik,
dan sosial budaya. Gangguan skizofrenik umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan
persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar (inappropiate) atau tumpul
(blunted). Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap dipertahankan,
walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Gangguan ini melibatkan
fungsi yang paling mendasar yang memberikan kepada orang normal suatu perasaan
kepribadian, keunikan, dan pengarahan diri. Pikiran, perasaan, dan perbuatan yang paling
intim/mendalam sering terasa atau diketahui oleh atau terbagi rasa dengan orang lain, dan
waham-waham dapat timbul, yang menjelaskan bahwa kekuatan alami dan supernatural
sedang bekerja mempengaruhi pikiran dan perbuatan penderita dengan cara-cara yang sering
tidak masuk akal atau bizarre. Individu mungkin mengganggap dirinya sebagai pusat segalagalanya yang terjadi. Halusinasi, terutama auditorik, lazim dijumpai dan mungkin memberi
komentar tentang prilaku dan pikiran individu itu. Persepsi sering terganggu, dan
kebingungan juga lazim dijumpai pada awal penyakit dan sering mengakibatkan keyakinan
bahwa situasi sehari-hari itu benar memiliki makna khusus, biasanya bernada seram atau
mengancam, yang ditujukan secara khas pada individu tersebut. 3 Berikut ini merupakan
pedoman diagnostik untuk skizofrenia : Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang
amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas): (a) - Thought echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya
berbeda. - Thought insertion or withdrawal : isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam

pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(withdrawal); dan - Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya. (b) - Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau - Delusion of influence : waham tentang dirinya
dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau - Delusion of passivity : waham
tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap sesuatu kekuatan dari luar. - Delusional
perception : pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat. (c) Halusinasi auditorik: - suara halusinasi yang
berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau - mendiskusikan perihal
pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara). 4 - jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagi tubuh (d) Waham - waham menetap jenis
lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil,
misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dam kemampuan
diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau komunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain). Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu
ada secara jelas: (e) Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang
jelas, ataupun disertai ide-ide berlebihan (over- valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus berulang. (f) Arus
pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme; (g) Perilaku katatonik,
seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor; (h) Gejala-gejala negatif, seperti
sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak
wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika; Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna
dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek kehidupan perilaku pribadi
(personal behaviour), 5 bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendir (self absorbed atitude), dan penarikan diri
secara sosial. 2.2 Fertilitas Angka kesuburan pada wanita dengan skizofrenia rendah (3080%) dibandingkan pada wanita dengan penyakit psikiatri lainnya dan penyakit umumnya.
Walaupun demikian, wanita dengan skizofrenia bisa hamil karena mereka aktif secara
seksual, memiliki pengetahuan yang kurang tentang kontrasepsi dan seks yang tidak
terproteksi. 2.3 Gambaran Klinik Skizofrenia selama Kehamilan Efek kehamilan pada
beratnya gejala dan perkembangan skizofrenia tidak dipelajari dengan baik, tetapi data yang
tersedia mengindikasikan bahwa kehamilan dihubungkan dengan gejala yang memburuk.
Pada satu studi, 9 dari 99 wanita dengan psikosis endogen memiliki gangguan mental selama
kehamilan dan persalinan. Kehamilan pada 88 wanita dengan psikosis nonorganik memiliki
kegelisahan dan kecemasan. 2.4 Komplikasi Perinatal Dampak kelahiran dan periode
neonatus yang dini pada wanita dengan skizofrenia tidak dipelajari dengan baik. McNeil
(1986) menemukan 24%-36% wanita dengan skizofrenia berkembang menjadi psikosis
postpartum. Bukti yang tersedia menyatakan bahwa periode postpartum menunjukkan sebuah
periode dengan resiko relatif tinggi untuk gejala yang buruk, walaupun tidak setinggi wanita
dengan penyakit afektif. 6 Prenatal care pada wanita dengan skizofrenia dan penyakit mental
kronik lainnya, biasanya tidak adekuat. Wanita dengan skizofrenia memiliki angka
komplikasi yang tinggi selama kehamilan dan persalinan, serta dapat menyebabkan kematian
bayi. Penelitian belum menemukan hubungan antara skizofrenia dengan komplikasi perinatal.
Ketidakpatuhan pada prenatal care merupakan faktor penting dan dihubungkan dengan

gelandangan, pengangguran, kehamilan yang tidak direncanakan, dan psikosis. Gejala yang
berhubungan dengan skizofrenia dapat mengganggu kemampuan wanita untuk memahami
kehamilannya. Sebagai contoh, wanita dengan skizofrenia percaya bahwa perutnya yang
besar sebagai tumor dan mencoba untuk menghancurkannya dengan sengaja menggunakan
kursi, meninju perutnya, dan sebagainya. 2.5 Manajemen Kehamilan Pada Perempuan dengan
Skizofrenia Perencanaan keluarga harus didiskusikan dengan seluruh pasien yang masih
dalam kondisi subur. Adanya potensi penolakan, klinisi seharusnya lebih waspada untuk
kemungkinan kehamilan yang tidak diharapkan. Jika pasien perempuan dengan skizofrenia
menjadi hamil, penting untuk menentukan kemampuannya untuk mengurus dirinya sendiri,
faktor resiko seperti merokok, penyalahgunaan zat, akses prenatal care dan kemampuannya
untuk mengurus anaknya. Penyerahan kepada petugas prenatal, pekerja sosial, dan
pengobatan oleh psikiatri harus dilakukan. Penggunaan obat-obat anti psikosis pada
perempuan hamil harus diawasi dengan ketat. Pada umumnya penggunaan obat-obat anti
psikosis selama kehamilan memiliki resiko potensi yang merugikan terhadap janin serta
perburukan gejala psikosis. Resiko farmakoterapi anti psikosis secara umum antara lain: 1.
hendaya fungsi 7 2. masa perawatan di rumah sakit yang lebih lama 3. kecenderungan untuk
bunuh diri dan kekerasan 4. kehilangan pekerjaaan dan dukungan sosial 5. juga
mempengaruhi terhadap kehamilan antara lain, malnutrisi, prematur, abortus, fetal abuse atau
neonaticide, serta penolakan prenatal care. 2.6 Efek Antipsikosis terhadap kehamilan Pada
umumnya, seluruh antipsikosis dapat menembus sawar darah plasenta. Efeknya dapat berupa
efek teratogenik, efek pada persalinan, efek toksik pada janin dan neonatus, efek perubahan
perilaku jangka panjang, dan efek pada bayi yang mendapat ASI (Air susu Ibu). Meskipun
pada penelitian inisial yang dilakukan Rumeau-Roquitto menunjukan bahwa insiden
malformasi kongenital akibat fenotiazin (Clorpromazin) sangat besar. Berbagai gejala telah
ditemukan pada bayi yang terpapar anti psikosis selama dalam kandungan, antara lain, gejala
ekstrapiramidal, jaundice, depresi napas, obstruksi usus fungsional, dan gangguan perilaku.
Penelitian pada anak yang terpapar antipsikosis saat dalam kandungan tidak menampakan
efek signifikan jangka panjang pada IQ dan perilaku. Penggunaan obat-obat untuk mengatasi
efek ekstrapiramidal seperti difenhidramin, benztropin, dan triheksifenidil memiliki efek
terhadap minor malformasi, sehingga penggunaannya harus dihindari. Penggunaan diazepam
selama kehamilan, sering dikaitkan dengan kejadian oral cleft, sedangkan golongan
benzodiazepin lainnya belum ditemukan memiliki efek terhadap abnormalitas malformasi.
Kebanyakan peneliti melarang penggunaan antipsikosis selama trimester pertama bila
memungkinkan. Informed konsen harus dilakukan pada saat permulaan atau lanjutan
pengobatan. Jika tetap harus menggunakan antipsikosis selama kehamilan, maka disarankan 8
menggunakan obat-obat high-potent, karena obat-obat low potent seperti klorpromazin
memiliki efek yang besar malformasi kongenital dan juga memiliki efek hipotensi yang dapat
mengakibatkan insufisiensi uteroplasenta. Cohen dkk, mengungkapkan bahwa, penggunaan
antipsikosis dosis kecil dapat mencegah peningkatan dosis pada episode akut yang dapat
meningkatkan efek toksik terhadap janin. Bila memungkinkan, obat-obat dihentikan 5-10 hari
sebelum waktu kelahiran yang diperkiraan. 2.7 Beberapa Anti Psikosis yang Sering
Digunakan 2.7.1. Haloperidol Haloperidol adalah turunan butiropenon yang mempunyai
aktivitas sebagai antipsikotik dan efektif untuk pengelolaan hiperaktivitas, agitasi dan mania.
Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80% penderita yang diobati dengan haloperidol. Gambar
1. Formula heksagonal haloperidol Pada orang normal efek haloperidol mirip fenotiazin
piperazin. Haloperidol memperlihatkan efek antipsikotik yang kuat dan efektif untuk mania
dan skizofrenia. Efek penotiazin piperazin dan butiropenon berbeda secara kuantitatif karena
butiropenon selain menghambat efek dopamin, juga meningkatkan turn over ratenya. 9
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma tercapai dalam
waktu 2-6 jam sejak obat diminum, menetap sampai 72 jam dan masih dapat ditemukan

dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam hati dan kira-kira 1% dari
dosis yang diberikan dieksresikan melalui empedu. Eksresi haloperidol lambat melalui ginjal,
kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal. Haloperidol
diindikasikan pada keadaan berikut ini: Psikosis akut dan kronis Halusinasi pada
skizofrenia Kelainan sikap dan tingkah laku pada anak Haloperidol menenangkan dan
menyebabkan tidur pada orang yang mengalami eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat
dibanding klorpromazin (CPZ), sedangkan efek haloperidol terhadap EEG menyerupai CPZ
yakni memperlambat gelombang teta. Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan ambang
rangsang konvulsif. Haloperidol menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, juga
menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin. Efek haloperidol terhadap sistem
saraf otonom lebih kecil daripada antipsikotik lain, walaupun haloperidol dapat menyebabkan
pandangan mata menjadi kabur (Blurring of Vision). Obat ini menghambat aktivitas reseptor
alpa yang disebabkan oleh amin simpatomimetik, tetapi hambatannya tidak sekuat hambatan
CPZ. Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan sehebat hipotensi akibat
CPZ. Haloperidol menyebabkan takikardi meskipun kelainan EKG belum pernah dilaporkan.
Seperti halnya CPZ, haloperidol menyebabkan galaktore. 10 Gambar 2. Sediaan Haloperidol
Sedian haloperidol terdapat dalam bentuk tablet : 0,5 mg, 1,5 mg dan 5 mg, serta dalam
bentuk likuor (injeksi) : 2 mg/ml dan 5 mg/ml. Besarnya dosis tergantung kepada umur,
keadaan fisik dan derajat kehebatan gejalanya. Untuk dewasa dan anak-anak di atas 12
tahun : Dosis awal bila gejala sedang : 0,5 mg 2 mg pemberian 2-3 kali per hari. Dosis awal
bila gejala berat : 3 mg 5 mg pemberian 2-3 kali per hari. Untuk anak 3 -12 tahun : 0,05 mg
0,15 mg per KgBB per hari terbagi dalam 2-3 dosis pemberian. Selanjutnya dosis secara
bertahap disesuaikan dengan kebutuhan dan toleransi tubuh. Haloperidol menimbulkan reaksi
ekstrapiramidal dengan insiden tinggi, terutama pada penderita usia muda. Efek samping
ekstrapiramidal akibat penggunaan haloperidol memberikan gejala Parkinsonisme, akatisia,
distonia juga bisa terjadi opistotonus dan okulogirik krisis. Pengobatan dengan haloperidol
harus dimulai dengan hati-hati. Dapat terjadi depresi akibat reverse keadaan mania atau
sebagai efek samping yang sebenarnya. Perubahan hematologik 11 ringan dan selintas dapat
terjadi, tetapi hanya leukopenia dan agranulositosis yang sering dilaporkan. Frekuensi
kejadian ikterus akibat haloperidol rendah. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada
wanita hamil sampai obat ini terbukti tidak teratogenik. Efek samping yang bisa ditimbulkan
oleh haloperidol adalah tardif diskinesia. Gejala ini muncul pada pasien dengan terapi jangka
panjang atau muncul setelah terapi dihentikan. Risiko lebih besar terjadi pada orang tua, pada
terapi dosis tinggi. Gambaran klinis yang terjadi adalah gerakan involunter dan berirama,
pergerakan lidah, wajah, rahang atau mulut. Kadang-kadang bisa muncul gerakan involunter
pada kaki. Pengobatan yang diberikan untuk gejala tardif diskinesia antara lain adalah
pemberian antiparkinson. Pemberian haloperidol dengan lithium akan mengurangi
metabolisme masing-masing obat, sehingga konsentrasi plasma kedua obat tidak akan
meningkat. Pemberian haloperidol bersama dengan methyldopa akan menimbulkan efek
aditif hipotensif. Pemberian haloperidol bersamaan dengan antikonvulsan, alkohol, depresan
sistem saraf pusat dan golongan opioid dapat menimbulkan efek potensiasi. Amfetamin dapat
menurunkan efek haloperidol. Pemberian dengan epinefrin akan menimbulkan hipotensi
berat.11 2.7.2 Klorpromazin Klorpromazin (CPZ) merupakan salah satu antipsikosis tipikal.
Merupakan kelompok Fenotiazin, dengan struktur kimia 2-kloro-10-(3-dimetilaminopropil)fenotiazin. Merupakan obat pertama yang dikembangkan sebagai antipsikosis. CPZ bekerja
pada berbagai reseptor di susunan saraf pusat, menyebabkan efek antikolinergik,
antidopaminergik, antihistamin, dan antiadrenergik. Efek antikolinergik antara lain
konstipasi, sedasi, dan hipotensi dan mengurangi nausea. CPZ juga memiliki efek anxiolitik
(anti-ansietas). Efek antidopaminergik dapat 12 menyebabkan gejala ekstrapiramidal seperti
akatisia, distonia, dan parkinsonism, selain itu juga menyebabkan diskinesia tardive yang

dapat bersifat ireversibel. Pemberian dalam bentuk sirup memiliki efek lebih cepat
dibandingkan tablet. Injeksi subkutan tidak dianjurkan, dan pemberian dibatasi pada keadaan
cegukan berat (Hiccup), pembedahan dan tetanus. CPZ diklasifikasikan sebagai antipsikosis
low-potent dan awalnya digunakan sebagai anti psikosis akut dan kronik, termasuk
skizofrenia, gangguan afektif bipolar dengan episode manik. Saat ini, penggunaan CPZ telah
digantikan dengan golongan antipsikosis atipikal yang memiliki toleransi baik. Dosis, Cara
Pemberian dan Lama Pemberian CPZ yaitu: Schizoprenia/psikosis, Oral : 30-2000 mg/hari
dibagi dalam 1-4 dosis, mulai dengan dosis rendah, kemudian sesuaikan dengan kebutuhan.
Dosis lazim : 400-600 mg/hari, beberapa pasien membutuhkan 1-2 g/hari. im.,iv.: awal: 25
mg, dapt diulang 25-50 mg , dalam 1-4 jam, naikkan bertahap sampai maksimum 400
mg/dosis setiap 4-6 jam sampai pasien terkendali. Dosis lazim : 300-800 mg/hari. Cegukan
tidak terkendali : Oral, im.: 25-50 mg sehari 3-4 kali. Mual muntah : Oral : 10-25 mg setiap
4-6 jam, im.,iv., : 25-50 mg setiap 4-6 jam. Orang tua : gejala-gejala perilaku yang berkaitan
dengan demensia : awal : 10-25 mg sehari 1-2 kali, naikkan pada interval 4-7 hari dengan 1025 mg/hari, naikkan interval dosis, sehari 2x, sehari 3 kali dst. Bila perlu untuk mengontrol
respons dan efek samping; dosis maksimum : 800 mg. Onset kerja yaitu: IM.: 15 menit; oral:
30-60 menit, absorpsi cepat, distribusi melewati plasenta dan masuk ke ASI, Vd: 20 L/kg,
Ikatan protein 92%-97%, Metabolisme di hati secara luas menjadi metabolit aktif dan tidak
aktif. Bioavailibilitas 20%, Waktu paruh bifasik, awal: 2 jam, akhir: 30 jam, Ekskresi lewat
urin dalam 24 jam

makalah asuhan kebidanan


ASKEB, makalah managemen asuhan kebidanan pada persalinan normal, ibu hamil
fisiologis, ibu nifas normal, bayi baru lahir normal, patologis, ibu hamil normal, kb (keluarga
berencana), ibu bersalin normal, infertilitas, majemen kebidanan adalah, anc inc pnc, 1
kehamilan 3, neonatus dan balita, retensio plasenta, hiperemesis gravidarum, antenatal care,
postnatal care, intranatal care, imunisasi, post partum blue, D3 D4 kebidanan, bulin bumil,
bufas, pdf doc ppt rtf txt, word, tinjauan teoritis

Konsep Dasar Skizofrenia Paranoid dan Waham Kebesaran


IKLAN1
Konsep Dasar Skizofrenia Paranoid dan Waham Kebesaran
1.
Pengertian
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang mengalaminya tidak
dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk (Kaplan dan Sadock, 1997).
Gejalanya dibagi menjadi 2 kelompok yaitu primer yang meliputi perubahan proses pikir,
gangguan emosi, kemauan, dan otisme. Sedangkan gejala sekunder meliputi waham,
halusinasi, gejala katatonik. Gejala sekunder merupakan manifestasi untuk menyesuaikan diri
terhadap gangguan primer. Skizofrenia dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu simplex,
hebefrenik, katatonik, paranoid, tak terinci, residual (Maslim, 2000). Dari beberapa jenis
skizofrenia diatas, terdapat skizofrenia paranoid. Jenis ini ditandai oleh keasyikan
(preokupasi) pada satu atau lebih waham atau halusinasi, dan tidak ada perilaku pada tipe

terdisorganisasi atau katatonik. Secara klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh
adanya waham kebesaran atau waham kejar, jalannya penyakit agak konstan (Kaplan dan
Sadock, 1998). Pikiran melayang (Flight of ideas) lebih sering terdapat pada mania, pada
skizofrenia lebih sering inkoherensi (Maramis, 1998). Kriteria waktunya berdasarkan pada
teori Townsend (1998), yang mengatakan kondisi klien jiwa sulit diramalkan, karena setiap
saat
dapat
berubah.
Waham menurut Maramis (1998), Keliat (1998) dan Ramdi (2000) menyatakan bahwa itu
merupakan suatu keyakinan tentang isi pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak
cocok dengan intelegensia dan latar belakang kebudayaannya, keyakinan tersebut
dipertahankan secara kokoh dan tidak dapat diubah-ubah. Mayer-Gross dalam Maramis
(1998) membagi waham dalam 2 kelompok, yaitu primer dan sekunder. Waham primer
timbul secara tidak logis, tanpa penyebab dari luar. Sedangkan waham sekunder biasanya
logis kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara untuk menerangkan gejala-gejala
skizofrenia lain, waham dinamakan menurut isinya, salah satunya adalah waham kebesaran
Waham kebesaran adalah waham peningkatan kemampuan, kekuatan, pengetahuan, identitas,
atau hubungan khusus dengan dewa atau orang terkenal (Kaplan dan Sadock, 1997).
Pendapat ini juga didukung oleh Kusuma (1997) yang menyatakan bahwa derajat waham
kebesaran dapat terentang pembesar- besaran yang ringan sampai karakteristik sesungguhnya
dari waham kebesaran psikotik. Isi waham umpamanya pasien telah melakukan penemuan
yang penting atau memiliki bakat yang tidak diketahui atau kesehatan yang sangat baik.
2.
Etiologi
a.
Predeposisi
1)
Biologi
Skizofrenia paranoid disebabkan kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diensefalon/ oleh
perubahan-perubahan post mortem/ merupakan artefak pada waktu membuat sediaan.
Gangguan endokrin juga berpengaruh, pada teori ini dihubungkan dengan timbulnya
skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimaterium.
Begitu juga dengan gangguan metabolisme, hal ini dikarenakan pada orang yang mengalami
skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat, ujung ekstremitas sianosis, nafsu makan berkurang
dan berat badan menurun. Teori ini didukung oleh Adolf Meyer yang menyatakan bahwa
suatu konstitusi yang inferior/ penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia
paranoid
(Maramis,
1998).
Menurut Schebel (1991) dalam Townsend (1998) juga mengatakan bahwa skizofrenia
merupakan kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel piramidal dalam otak, dimana
sel-sel
otak
tersusun
rapi
pada
orang
normal.
Gangguan neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis sering
berhubungan dengan kejadian waham. Waham oleh karena gangguan neurologis yang tidak
disertai dengan gangguan kecerdasan, cenderung memiliki waham yang kompleks.
Sedangkan waham yang disertai dengan gangguan kecerdasan sering kali berupa waham
sederhana
(kaplan
dan
Sadock,
1997).
2)
Psikologis
Menurut Carpenito (1998), klien dengan waham memproyeksikan perasaan dasarnya dengan
mencurigai. Pada klien dengan waham kebesaran terdapat perasaan yang tidak adekuat serta
tidak berharga. Pertama kali mengingkari perasaannya sendiri, kemudian memproyeksikan
perasaannya kepada lingkungan dan akhirnya harus menjelaskan kepada orang lain. Apa yang
seseorang pikirkan tentang suatu kejadian mempengaruhi perasaan dan perilakunya.
Beberapa perubahan dalam berpikir, perasaan atau perilaku akan mengakibatkan perubahan
yang lain. Dampak dari perubahan itu salah satunya adalah halusinasi,dapat muncul dalam
pikiran seseorang karena secara nyata mendengar, melihat, merasa, atau mengecap fenomena
itu, sesuai dengan waktu, kepercayaan yang irrasional menghasilkan ketidakpuasan yang

ironis,
menjadi
karakter
yang
Wajib
dan
Harus.
3)
Genetik
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini dibuktikan dengan
penelitian pada keluarga-keluarga yang menderita skizofrenia dan terutama anak kembar satu
telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri sebesar 0,9 1,8%, saudara kandung 7 15%, anak
dengan salah satu orang tua yang mengalami skizofrenia 7 16%, bila kedua orang tua
mengalami skizofrenia 40 68%, kembar dua telur (heterozygot) 2-15%, kembar satu telur
(monozygot)
61-86%
(Maramis,
1998).
b.
Presipitasi
Faktor
ini
dapat
bersumber
dari
internal
maupun
eksternal.
Stresor
sosiokultural
Stres yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan gangguan psikotik
lainnya
(Stuart,
1998)
Stresor
psikologis
Intensitas kecemasan yang tinggi, perasaan bersalah dan berdosa, penghukuman diri, rasa
tidak mampu, fantasi yang tak terkendali, serta dambaan-dambaan atau harapan yang tidak
kunjung sampai, merupakan sumber dari waham. Waham dapat berkembang jika terjadi nafsu
kemurkaan yang hebat, hinaan dan sakit hati yang mendalam (Kartono, 1981).
3.
Proses
terjadinya
waham
Waham adalah anggapan tentang orang yang hypersensitif, dan mekanisme ego spesifik,
reaksi formasi dan penyangkalan. Klien dengan waham, menggunakan mekanisme
pertahanan reaksi formasi, penyangkalan dan proyeksi. Pada reaksi formasi, digunakan
sebagai pertahanan melawan agresi, kebutuhan, ketergantungan dan perasaan cinta.
Kebutuhan akan ketergantungan ditransformasikan menjadi kemandirian yang kokoh.
Penyangkalan, digunakan untuk menghindari kesadaran akan kenyataan yang menyakitkan.
Proyeksi digunakan untuk melindungi diri dari mengenal impuls yang tidak dapat diterima
didalam dirinya sendiri. Hypersensitifitas dan perasaan inferioritas, telah dihipotesiskan
menyebabkan reaksi formasi dan proyeksi, waham kebesaran dan superioritas. Waham juga
dapat muncul dari hasil pengembangan pikiran rahasia yang menggunakan fantasi sebagai
cara untuk meningkatkan harga diri mereka yang terluka. Waham kebesaran merupakan
regresi perasaan maha kuasa dari anak-anak, dimana perasaan akan kekuatan yang tidak
dapat
disangkal
dan
dihilangkan
(Kaplan
dan
Sadock,
1997).
Cameron, dalam Kaplan dan Sadock, (1997) menggambarkan 7 situasi yang memungkinkan
perkembangan waham, yaitu : peningkatan harapan, untuk mendapat terapi sadistik, situasi
yang meningkatkan ketidakpercayaan dan kecurigaan, isolasi sosial, situasi yang
meningkatkan kecemburuan, situasi yang memungkinkan menurunnya harga diri (harga diri
rendah), situasi yang menyebabkan seseorang melihat kecacatan dirinya pada orang lain,
situasi yang meningkatkan kemungkinan untuk perenungan tentang arti dan motivasi
terhadap
sesuatu.
4.
Gejalagejala
waham
Jenis skizofrenia paranoid mempunyai gejala yang khas yaitu waham primer, disertai dengan
waham-waham sekunder dan halusinasi (Maramis, 1998). Menurut Kaplan dan Sadock
(1997),
kondisi
klien
yang
mengalami
waham
adalah:
a.
Status
mental
1) Pada pemeriksaan status mental, menunjukan hasil yang sangat normal, kecuali bila ada
sistem
waham
abnormal
yang
jelas.
2)
Mood
klien
konsisten
dengan
isi
wahamnya.
3)
Pada
waham
curiga,
didapatkan
perilaku
pencuriga.
4) Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas diri,
mempunyai
hubungan
khusus
dengan
orang
yang
terkenal.

5) Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya kualitas depresi


ringan.
6) Klien dengan waham, tidak memiliki halusinasi yang menonjol/ menetap, kecuali pada
klien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa klien kemungkinan ditemukan halusinasi
dengar.
b.
Sensori
dan
kognisi
1) Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang memiliki waham
spesifik
tentang
waktu,
tempat
dan
situasi.
2)
Daya
ingat
dan
proses
kognitif
klien
adalah
intak
(utuh).
3) Klien waham hampir selalu memiliki insight (daya titik diri) yang jelek.
4) Klien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya. Keputusan
terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi klien adalah dengan menilai perilaku masa
lalu,
masa
sekarang
dan
yang
direncanakan.
5.
Tipe-tipe
waham
a. Menurut kaplan dan sadock (1997), tipe-tipe waham antara lain:
1) Tipe Eritomatik: klien dicintai mati-matian oleh orang lain, biasanya orang yang sangat
terkenal, seperti artis, pejabat, atau atasanya. Klien biasanya hidup terisolasi, menarik diri,
hidup
sendirian
dan
bekerja
dalam
pekerjaan
yang
sederhana.
2) Tipe kebesaran (magalomania):yaitu keyakinan bahwa seseorang memiliki bakat,
kemampuan,
wawasan
yang
luar
biasa,
tetapi
tidak
dapat
diketahui.
3) Waham cemburu, yaitu misalnya cemburu terhadap pasanganya. Tipe ini jarang ditemukan
(0,2%) dari pasien psikiatrik. Onset sering mendadak, dan hilang setelah perpisahan/
kematian pasangan. Tipe ini menyebapkan penyiksaan hebat dan fisik yang bermakna
terhadap pasangan, dan kemungkinan dapat membunuh pasangan, oleh karena delusinya.
4) Waham kejar : keyakinan merasa dirinya dikejar-kejar, diikuti oleh orang lain. Tipe ini
paling sering ditemukan pada gangguan jiwa. Dapat berbentuk sederhana, ataupun terperinci,
dan biasanya berupa tema yang berhubungan difitnah secara kejam, diusik, dihalang-halangi,
diracuni,
atau
dihalangi
dalam
mengejar
tujuan
jangka
panjang.
5) Waham tipe somatik atau psikosis hipokondrial monosimptomatik. Perbedaan dengan
hipokondrial adalah pada derajat keyakinan yang dimiliki klien. Menetapnya waham somatik
yang tidak kacau tanpa adanya gejala psikotik lainya menyatakan gangguan delosional/
waham
tipe
somatik.
6.
Tahap-tahap
halusinasi
Menurut
Townsend
(1998)
tahap
dari
halusinasi
antara
lain
:
Comforting
(secara
umum
halusinasi
bersifat
menyenangkan)
Karakteristik : orang yang berhalusinasi mengalami keadaan emosi seperti ansietas, kesepian,
merasa bersalah, dan takut serta mencoba untuk memusatkan pada penenangan pikiran untuk
mengurangi ansietas; individu mengetahui bahwa pikiran yang dialaminya tersebut dapat
dikendalikan
jika
ansietasnya
dapat
diatasi
(nonpsikotik).
Perilaku pasien yang teramati : menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan
bibirnya tanpa menimbulkan suara,gerakan mata yang cepat, respon verbal yang lamban,
diam
dan
dipenuhi
oleh
sesuatu
yang
mengasyikkan.
Condemning
(secara
umum
halusinasi
menjijikan)
Karakteristik : pengalaman sensori bersifat menjijikan dan menakutkan, orang yang
berhalusinasi mulai merasa kehilangan kendali dan berusaha untuk menjauhkan dirinya dari
sumber yang dipersepsikan, individu mungkin merasa malu karena pengalaman sensorinya
dan
menarik
diri
dari
orang
lain
(nonpsikotik).
Perilaku pasien yang teramati : peningkatan saraf otonom yang menunjukan ansietas
misalnya peningkatan nadi, pernapasan dan tekanan darah, penyempitan kemampuan
konsentrasi, dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan

untuk
membedakan
halusinasi
dengan
realitas.
Controling
(pengalaman
sensori
menjadi
penguasa)
Karakteristik : orang yang berhalusinasi menyerah untuk melawan pengalaman halusinasinya
dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya, isi halusinasi dapat berupa permohonan,
individu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman sensori tersebut berakhir (psikotik).
Perilaku pasien yang teramati : lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh
halusinasinya daripada menolaknya, kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain,rentang
perhatian hanya beberapa menit atau detik, gejala fisik dan ansietas berat seperti berkeringat,
tremor,
ketidakmampuan
mengikuti
petunjuk.
Conquering (secara umum halusinasi menjadi lebih rumit dan saling terkait dengan jumlah
pasien
yang
masuk
adalah
delusi).
Karakteristik : pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti
perintah, halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada
intervensi
terapeutik
(psikotik).
Perilaku pasien yang teramati : perilaku menyerang atau teror seperti panik, sangat potensial
melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain, kegiatan fisik merefleksikan isi halusinasi
seperti amuk, agitasi, menarik diri, atau kataton, tidak mampu berespon terhadap lebih dari
satu
orang.
7.
Penatalaksanaan
a.
Farmakoterapi
Tatalaksana pengobatan skizofrenia paranoid mengacu pada penatalaksanaan skizofrenia
secara umum menurut Townsend (1998), Kaplan dan Sadock (1998) antara lain :
1)
Anti
Psikotik
Jenisjenis
obat
antipsikotik
antara
lain
:
a)
Chlorpromazine
Untuk mengatasi psikosa, premidikasi dalam anestesi, dan mengurangi gejala emesis. Untuk
gangguan jiwa, dosis awal : 325 mg, kemudian dapat ditingkatkan supaya optimal, dengan
dosis
tertinggi
:
1000
mg/hari
secara
oral.
b)
Trifluoperazine
Untuk terapi gangguan jiwa organik, dan gangguan psikotik menarik diri. Dosis awal : 31
mg,
dan
bertahap
dinaikkan
sampai
50
mg/hari.
c)
Haloperidol
Untuk keadaan ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis,dan mania. Dosis awal : 30,5
mg
sampai
3
mg.
Obat antipsikotik merupakan obat terpilih yang mengatasi gangguan waham. Pada kondisi
gawat darurat, klien yang teragitasi parah, harus diberikan obat antipsikotik secara
intramuskular. Sedangkan jika klien gagal berespon dengan obat pada dosis yang cukup
dalam waktu 6 minggu, anti psikotik dari kelas lain harus diberikan. Penyebab kegagalan
pengobatan yang paling sering adalah ketidakpatuhan klien minum obat. Kondisi ini harus
diperhitungkan oleh dokter dan perawat. Sedangkan terapi yang berhasil dapat ditandai
adanya suatu penyesuaian sosial, dan bukan hilangnya waham pada klien.
2)
Anti
parkinson
Triheksipenydil
(Artane)
Untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi ekstrapiramidal akibat
obat.
Dosis
yang
digunakan
:
1-15
mg/hari
Difehidamin
Dosis
yang
diberikan
:
10400
mg/hari
3)
Anti
Depresan
Amitriptylin
Untuk gejala depresi, depresi oleh karena ansietas, dan keluhan somatik. Dosis : 75-300

mg/hari.
Imipramin
Untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan depresi neurotik. Dosis awal : 25 mg/hari,
dosis
pemeliharaan
:
50-75
mg/hari.
4)
Anti
Ansietas
Anti ansietas digunakan untuk mengotrol ansietas, kelainan somatroform, kelainan disosiatif,
kelainan kejang, dan untuk meringankan sementara gejala-gejala insomnia dan ansietas.
Obatobat
yang
termasuk
anti
ansietas
antara
lain:
Fenobarbital
:
16-320
mg/hari
Meprobamat
:
200-2400
mg/hari
Klordiazepoksida
:
15-100
mg/hari
b.
Psikoterapi
Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan hubungan saling percaya. Terapi
individu lebih efektif dari pada terapi kelompok. Terapis tidak boleh mendukung ataupun
menentang waham, dan tidak boleh terus-menerus membicarakan tentang wahamnya. Terapis
harus tepat waktu, jujur dan membuat perjanjian seteratur mungkin. Tujuan yang
dikembangkan adalah hubungan yang kuat dan saling percaya dengan klien. Kepuasan yang
berlebihan dapat meningkatkan kecurigaan dan permusuhan klien, karena disadari bahwa
tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Terapis perlu menyatakan pada klien bahwa
keasyikan dengan wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu
kehidupan konstruktif. Bila klien mulai ragu-ragu dengan wahamnya, terapis dapat
meningkatkan
tes
realitas.
Sehingga terapis perlu bersikap empati terhadap pengalaman internal klien, dan harus mampu
menampung semua ungkapan perasaan klien, misalnya dengan berkata : Anda pasti merasa
sangat lelah, mengingat apa yang anda lalui, tanpa menyetujui setiap mis persepsi
wahamnya, sehingga menghilangnya ketegangan klien. Dalam hal ini tujuannya adalah
membantu klien memiliki keraguan terhadap persepsinya. Saat klien menjadi kurang kaku,
perasaan kelemahan dan inferioritasnya yang menyertai depresi, dapat timbul. Pada saat klien
membiarkan perasaan kelemahan memasuki terapi, suatu hubungan terapeutik positif telah
ditegakkan
dan
aktifitas
terpeutik
dapat
dilakukan.
c.
Terapi
Keluarga
Pemberian terapi perlu menemui atau mendapatkan keluarga klien, sebagai sekutu dalam
proses pengobatan. Keluarga akan memperoleh manfaat dalam membantu ahli terapi dan
membantu
perawatan
klien.
8.
Diagnosa
Medis
a. Penentuannya mengikuti diagnosa multiaksila yang terdiri dari 5 aksis
Aksis
I
:
gangguan
klinis
Aksis
II
:
gangguan
kepribadian
Aksis
III
:
kondisi
medik
umum
Aksis
IV
:
Masalah
Psikososial
dan
lingkungan
Aksis
V
:
penilaian
peran
dan
fungsi
1
tahun
terakhir
b.
Tujuan
dari
diagnosa
multiaksila
Mencakup informasi yang komprehensif (gangguan jiwa, kondisi medik umum, masalah
psikososial, dan lingkungan, taraf fungsi secara global), sehingga dapat membantu dalam
a)
Perencanaan
terapi
b)
Meramalkan
Outcame
atau
prognosis
Format yang mudah dan sistematik, sehingga dapat membantu dalam :
Menata
dan
mengkomunikasikan
informasi
klinis
Menangkap
kompleksitas
situasi
klinis
Menggambarkan heterogenitas individual dengan diagnosa klinis yang sama.

Memacu penggunaan Model Bio-Psiko-Sosialdalam klinis, pendidikan dan penelitian


(PPDGJ-III, 2002)
IKLAN3

Anda mungkin juga menyukai