Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi dikategorikan sebagai masalah kesehatan yang paling serius hingga
permulaan abad ke-20. Penyakit-penyakit infeksi disebabkan oleh mikroorganisme patogenik
seperti bakteri, virus, parasit atau fungi. Demam tifoid merupakan salah satu jenis penyakit
infeksi yang paling umum ditemukan di seluruh dunia. Angka insdensi demam tifoid di
seluruh dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang meninggal akibat demam
tifoid. Diperkirakan oleh WHO, sekitar 70% kematian terjadi di Asia.3 Di Indonesia sendiri,
demam tifoid adalah penyakit endemik. Diperkirakan terdapat 800 penderita per 100.000
penduduk tiap tahun yang ditemukan sepanjang tahun. Menurut Riskesdas 2007, prevalensi
tifoid klinis nasional sebesar 1,6%. Sedangkan prevalensi demam tifoid di Kalimantan
Tengah sebesar 1,51%.1,2,3,4
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan yang masih
menjadi masalah kesehatan yang penting di masyarakat yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Salmonella typhi merupakan bakteri Gram-negatif yang masuk ke dalam
famili Enterobacteriaceae, berbentuk batang dan bersifat fakultatif anaerob.1,2,5,6
Seseorang yang menderita demam tifoid akan menunjukkan beberapa gejala gejala
seperti demam, malaise, nyeri abdominal yang difus dan konstipasi. Delirium, penurunan
kesadaran, hemoragik intestinal, perforasi bowel dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan
merupakan gejala lanjutan yang terjadi pada pada pasien yang tidak ditangani lebih lanjut.4

Demam tifoid terjadi di semua negara namun paling banyak ditemukan di negaranegara berkembang dengan higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang buruk. Lokasi,
kondisi lingkungan setempat dan perilaku masyarakat menentukan prevalensi kasus demam
tifoid.4
Antibiotik masih menjadi andalan dalam menangani penyakit-penyakit infeksi. Untuk
demam tifoid, jenis antibiotik yang sering digunakan untuk pengobatan antara lain
kloramfenikol, kotrimoksazol, thiamfenikol, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin generasi
ketiga seperti seftriakson, sefotaksim dan sefoperazon, serta fluorokuinolon. Namun, seiring
penggunaan antibiotik yang semakin meluas, muncul masalah resistensi Salmonella typhi
terhadap antibiotik.7,8
Tanaman obat memainkan peranan penting terhadap penyakit dan kesehatan manusia.
Menurut World Health Organization (WHO), dalam beberapa waktu terakhir ini, lebih dari
80% populasi dunia di negara-negara berkembang bergantung pada penggunaan obat-obatan
herbal sebagai kebutuhan kesehatan dasar mereka. Ekstrak tanaman obat dan senyawasenyawa lain yang diisolasi dari tanaman tersebut seringkali digunakan sebagai alternatif.9
Jambu mete atau jambu monyet adalah tanaman yang berasal dari Brazil dan tersebar
di daerah tropik termasuk Indonesia. Jambu mete merupakan tanaman multifungsi. Daun,
kulit batang, batang, dan buah telah digunakan sebagai obat tradisional sejak lama di
berbagai negara.7,10,11
Pemanfaatan kulit biji mete masih minim di Indonesia. Kulit biji dari jambu mete
biasanya cuma dianggap limbah dan biasanya hanya dimanfaatkan sebagai pengganti kayu
bakar padahal kulit biji mete memiliki kandungan minyak yang disebut Cashew Nut Shell
Liquid (CNSL) yang memiliki banyak manfaat dalam bidang kedokteran.11,12

Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) merupakan suatu hasil tambahan yang diperoleh
selama kacang mete diproduksi. Konstituen fenolik utama dari Cashew Nut Shell Liquid
(CNSL) ini adalah asam anakardat, kardol, dan kardanol.
Berdasarkan penelitian Budiati dan Ervina di tahun 2008, diketahui bahwa asam
anakardat memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram-positif Staphylococcus aureus.
Penelitian Rosyadi, Murwani dan Trisunuwati juga membuktikan bahwa asam anakardat
yang terkandung dalam kulit (pericarp) jambu mete memiliki aktivitas antibakteri terhadap
Salmonella enteritidis SP-1-PKH. 11,13,14
Didasari oleh latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang aktivitas antibakteri dari ekstrak kulit biji mete yang kurang dimanfaatkan terhadap
pertumbuhan bakteri Salmonella typhi yang menyebabkan penyakit demam tifoid. Dari
penelitian ini diharapkan agar kita dapat mengetahui bahwa ekstrak kulit biji mete memiliki
aktivitas antibakteri yang baik terhadap bakteri Salmonella typhi sehingga bisa digunakan
sebagai alternatif pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai