Anda di halaman 1dari 14

Mini Referat

Antiphospolipid Sindrome

Oleh:
dr. Rastra Sewakottama Putra
PPDS OBSTETRI & GINEKOLOGI

Pembimbing:
dr. Dovy Djanas, SpOG-K

BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG
2015

ANTIPHOSPHOLIPID SYNDROME (APS)

A. DEFINISI
Sindrom antibodi antifosfolipid ( Antiphospholipid syndrome =APS) adalah
gangguan yang ditandai antibodi multiple yang berbeda yang timbul bersama
antibodi antifosfolipid dengan trombosis arteri dan vena. APS dikenal juga
sebagai sindrom Hughes. Aimee J. 2002.
Trombosis telah diketahui secara luas sebagai salah satu penyebab morbiditas
dan mortalitas kehamilan. Di Indonesia, tombosis berperan dalam tingginya angka
kematian ibu. APS adalah penyebab utama trombosis dalam kehamilan yang
bertanggung jawab atas morbiditas dan mortalitas janin serta ibu seperti preeklampsia,
pertumbuhan janin terhambat, kematian janin dalam rahim, persalinan preterm dan
bahkan gangguan proses implantasi mudigah ke dalam endometrium. Atmakusuma Dj, 2001
Ada dua macam antibodi antifosfolipid yang telah dikenal yaitu : Lupus
Anticoagulant ( LA ), dan Anticardiolipin Antibody ( ACA ). Sedangkan klasifikasi APS
terdiri dari APS tanpa penyebab lain disebut sebagai APS primer, sedangkan APS
karena penyakit lain seperti SLE dinamakan APS sekunder. Aimee J. 2002; Cunninghan FG, 2010

Berdasarkan sejarah antibodi antifosfolipid ditemukan pertama kali pada


pasien yang mempunyai test sipilis positif tanpa tanda-tanda infeksi, kemudian
gangguan pembekuan ditemukan pada 2 pasien dengan SLE pada tahun 1952.
Pada tahun 1957, ditemukan hubungan antara abortus berulang dan APS yang
dikenal sekarang dengan Lupus Antikoagulan. Tahun 1983, Dr. Graham Hughes
membuktikan adanya hubungan antara antibodi antifosfolipid dengan trombosis
arteri dan vena. Aimee J. 2002.

Frekuensi pada populasi umum tidak diketahui, namun antibodi-antibodi


APS dapat ditemukan 50 % pada penderita SLE dan sekitar 1 - 5% pada
populasi orang sehat. Pada penelitian lain frekuensi ACA cenderung meningkat
pada orang tua. Pada literatur yang terbaru didapatkan APS pada penderita
SLE 34 42 %. Pada penelitian 100 pasien dengan trombosis vena dan tidak
menderita riwayat SLE, 24 % memiliki ACA dan 4 % mempunyai LA.

Carsons S, 2004

B. PATOGENESIS
Dalam kehamilan, morbiditas dan mortalitas yang dihubungkan dengan
APS terutama disebabkan olegh reaksi autoimun (trombosis) pada jaringan
pembuluh darah plasenta. Manifestasi kinik APS terjadi akibat adanya trombosis
dan emboli yang tersebar pada pembululuh darah besar dan kecil yang
menyebabkan keleinan multidimensi berupa iskemia dan infark jaringan, stroke,
penyakit jantung koroner pada sisi maternal dan ancaman abortus, gangguan
tumbuh kembang janin hingga kematian maternal. Witjaksono J, 2004
Mekanisme trombosis karena antibodi antifosfolipid dalam kehamilan
belum diketahui secara pasti, namun yang jelas membran fosfolipid mempunyai
banyak fungsi dan bekerja setiap saat sehingga tidak mengherankan bila suatu
waktu dapat menjadi antigen. Istilah sindrom masih dipakai untuk kondisi klinik
tersebut dan bukan disease.

Putra IGND, 2000; Wibowo N, 2001

Ada beberapa mekanisme yang diduga dapat menyebabkan trombosis


tersebut, antara lain penurunan produksi prostasiklin. Pada sel endotel
pembuluh darah terjadi metabolisme asam arakidonat melalui cyclooxigenase
pathway untuk menghasilkan prostasiklin. Sebaliknya terjadi metabolisme asam
arakidonat untuk menghasilkan tromboksan A2 (TXA2), pada sel-sel platelet.

Prostasiklin merupakan vasodilator yang poten dan menghambat agregasi


platelet,

sedangkan

tromboksan

berefek

sebaliknya.

Dengan

demikian

penurunan prostasikin oleh karena kerusakan endotel berpotensi menimbulkan


trombosis melalui agregasi platelet dan vasokontriksi pembuluh darah.

Putra IGND,

2000; Wibowo N, 2001

Berbagai mekanisme yang dapat diduga adalah antara lain penurunan


protein C yang teraktivasi, peningkatan pelepasan tissue factor, penurunan anti
trombin III, penurunan fibrinolisis dan peningkatan agregasi platelet. Putra IGND, 2000
Protein C diaktivasi pada membran endotel oleh kompleks trombin dan
suatu glikoprotein yaitu trombomodulin. Reaksi ini termasuk reaksi yang
tergantung dari adanya fosfolipid dan kalsium. Diduga antibodi antifosfilipid
merintang reaksi ini. Protein C teraktivasi ini dan dibantu dengan adanya protein
S sebagai ko faktor akan menghambat kerja dari factor VIIIa dan Va dalam
sistim pembekuan darah sehingga akan menurunkan pembentukan trombin.
Dengan demikian bila terjadi penurunan protein C teraktivasi maka akan
menimbulkan trombosis. Putra IGND, 2000; Wibowo N, 2001
Hipotesis mutakhir mengaitkan antibodi antifosfolipid dengan annexin V
atau placental anticoagulant protein-1, suatu regulator dan inhibitor koagulasi
alamiah di plasenta. Anneksin V berikatan dengan fosfolipid di permukaan
membran sel yang bermuatan negatif (anion), sehingga mencegah terikatnya
faktor-faktor pembekuan darah yang tergantung fosfolipid anionik. Namun pada
sindrom antibodi antifosfilipid, antibodi antifosfolipid menggantikan anneksin V di
permukaan membran sehingga jalur koagulasi tidak tercegah dan terjadilah
trombosis. Wibowo N, 2001

Tabel Patogenesis dan patofisiologi sindroma antifosfolipid dalam kehamilan

Witjaksono J,

2004

Kondis

Reaksi imunologi

Efek biologi sel

Gejala klinik

Ag-Ab

Aktifasi
Trombofili

Sistem
Koagulasi

Molekul
X-ase

Fungsi
Formasi

Kegagalan

intravaskule

Protrombonas

trombosis

implantasi,

i sel

Sel

-GPI

cedera

Antibodi

Proliferasi

Kematian

trofoblas

mudigah

Invasi

janin

Prostaglandin,

trofoblas

Pertumbuha

tromboxan

Vasospasm

Adhesi

Integrins,

e vaskuler

terhambat

molekul

Cadherins

Sitokin

aPL

IL-3, VEGF

Fosfatidil
-serin

Non-

Annexin-

trombotik

(inflamasi)

Abortus dini,

Eiscosanoid

janin

Preeklampsi
a
Solusio
plasenta
Asfiksia
neonatorum
Lahir
normal

hidup

Sel

2-GPI

Non-

sehat

Antibodi

trombotik

aPL

(normal/

Annexin-

inflamasi)

Lahir

hidup

normal

V
Fosfatidil
- serin

C. GEJALA KLINIK
Gejala klinik pada APS adalah : Carsons S, 2004; Nowicki S, 2004

1. Kematian janin, didefinisikan sebagai abortus spontan tiga kali atau lebih
dengan tidak lebih dari satu kelahiran hidup, atau kematian janin trimester II
atau III yang tidak jelas penyebabnya.
2. Trombosis arteri atau vena, strok dan insufisiensi arteri yang tidak jelas
penyebabnya.
3. Autoimmun trombositopenia.
4. Manifestasi pada kulit seperti sianosis perifer, livido retikularis, ulkus kaki,
gangren jari-jari.
5. Artritis non erosif

yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer dengan

penyebab yang tidak jelas.


6. Serositis, dapat berupa pleuritis atau efusi pleura, perikarditis atau efusi
perikrdial, yang penyebabnya tidak jelas.
7. Kelainan ginjal, berupa proteinuri 0,5 gr/hari.
8. Kelainan neurologik, termasuk kejang dan psikosis yang tidak diketahui
penyebabnya.

9. Kelainan hematologi berupa Anemia hemolitikdengan retikulosis, Leukopeni


kurang dari 4000/mm minimal dua kali pemeriksaan, limfopeni kurang dari
1500/mm, trombositopeni kurang dari 100.000/mm, yang penyebabnya tidak
dapat dijelaskan.

D. DIAGNOSIS
Karena sulitnya membuat kriteria APS, maka ditetapkan suatu konsensus
internasional awal di Sapporo, Jepang pada tanggal 10 Oktober 1998. Terdapat
2 kriteria untuk membuat diagnosis APS yaitu kriteria klinik dan kriteria
laboratorik. Hestiantoro A, 2001
Dalam kriteria klinik ada tidaknya trombosis vaskuler merupakan hal
pertama yang perlu dilihat. Setelah itu riwayat kehamilan sebelumnya. Sebagai
kriteria laboratorik, digunakan IgG dan IgM ACA atau LA. Diagnosis APS
ditegakkan apabila terdapat minimal satu kriteria klinik dan satu kriteria
laboratorik. Hestiantoro A, 2001
Kriteria klinik:

1.

Hestiantoro A, 2001

Trombosis vaskuler
Ditemukan satu atau lebih serangan trombosis arterial, vena atau pembuluh
kecil di jaringan atau organ.

2.
a.

Morbiditas kehamilan
Satu atau lebih kematian janin tanpa sebab pada usia gestasi 10
minggu tanpa kelainan morfologik janin yang ditemukan dengan
pemeriksaan USG atau visualisasi langsung, atau

b. Satu atau lebih persalinan preterm pada usia gestasi 34 minggu yang
disebabkan oleh preeklampsia berat atau eklampsia atau insufisensi
plasenta berat, atau
c. Tiga atau lebih abortus spontan berturut-turut pada usia gestasi 10
minggu, tanpa dijumpai kelainan anatomik dan hormonal maternal serta
tidak ditemukan kelainan kromosom paternal dan maternal.
Kriteria laboratorik : Hestiantoro A, 2001

1. Pemeriksaan Anticardiolipin Antibody (ACA)


Ditemukan ACA isotipe IgG dan/atau IgM di dalam darah dengan kadar
sedang atau tinggi pada 2 kali pemeriksaan dengan interval waktu
6 minggu menggunakan pemeriksaan standar ELISA untuk b2glycoprotein I dependent anticardiopilin antibodies.
2. Pemeriksaan Lupus Anticoagulant (LA)
Ditemukan LA di dalam plasma pada 2 kali pemeriksaan dengan
interval waktu 6 minggu, yang berdasarkan panduan the International
Society on Thrombosis and Hemostasis ditetapkan melalui tahapan
pemeriksaan :
a. Uji penyaring koagulasi bergantung fosfolipid yang memanjang,
seperti activated partial tromboplastin time

( APTT), kaolin

clotting time, dilute Russels viper venom time, dilute prothrombin


time, textarin time.
b. Pemanjangan waktu koagulasi pada uji penyaring tidak dapat
diperbaiki dengan pemberian plasma normal rendah trombosit.
c. Pemanjangan waktu koagulasi pada uji penyaring dapat dikoreksi
atau dipersingkat dengan pemberian fosfolipid berlebihan.

d. menyingkirkan

penyebab

koagulai

lainnya

seperti

inhibitor

faktor VIII dan heparin.

E. PENANGANAN
Hingga kini etiologi APS belum diketahui, sehingga dasar pengobatan
semata berdasarkan upaya mengatasi simtomatik yang terjadi akibat kelainan
autoimun

ini.

Berbagai

variasi

pengobatan

telah

dilakukan

termasuk

penggunaan kortikosteroid dosis tinggi, heparin (baik unfractionized maupun low


molecular weight /LMV heparin) maupun imunoglobulin intravena (IVIG).
Pengobatan tersebut sering dikombinasikan dengan asam salisilat dosis rendah
(low dose aspirin / LDA). Pengamatan metaanalisis dari variasi pengobatan
tersebut telah dikaji atas aspek keberhasilan mengatasi berbagai komplikasi
obstetrik seperti keberhasilan memperoleh bayi lahir hidup, risiko pertumbuhan
janin terhambat, preeklamsia berat, kematian janin intrauteri, risiko perawatan
neonatal intensif dan frekuensi persalinan dengan bedah sesaria. Witjaksono J, 2004
Penatalaksanaan kehamilan dengan APS pada dasarnya meliputi
penatalaksanaan dalam kehamilan (pemeriksaan antenatal), persalinan dan
masa nifas, dengan tujuan melakukan pemantauan pada risiko terjadinya
trombosis, gangguan sirkulasi utero plasenter dan penentuan saat persalinan
yang adekuat. Penatalaksanaan secara profesional dan adekuat memerlukan
penanganan tim multidisiplin yang meliputi bidang spesialisasi penyakit dalam
( khususnya konsultan hematology ), spesialis obsteri ( khususnya konsultan
fetomaternal ), dan spesialis pediatri ( khususnya konsultan perinatologi ).
IGND, 2000

1. Kunjungan Antenatal

Putra

Setiap

wanita

dengan

APS,

idealnya

memperoleh

konseling

prakonsepsi terhadap risiko yang akan diperoleh selama kehamilan dan


persalinan. Konseling juga meningatkan risiko kelainan kongenital janin akibat
pemberian obat-abatan selama kehamilan bagi dan janin maupun pada bayi
masa perinatal.
Pemeriksaan kehamilan dalam trimester pertama dan kedua dilakukan
setiap dua minggu, dan setelah itu setiap minggu mulai kehamilan 32-34
minggu, dimana terjadi peningkatan risiko terjadinya trombosis pada
pengobatan yang tidak adekuat. Witjaksono J,

2001

Kesejahteraan dan pertumbuhan janin diamati dengan melakukan


pengukuran tinggi fundus uteri, deteksi denyut jantung janin maupun
pemeriksaan ultrasonografi untuk mendeteksi adanya pertumbuhan janin
terhambat, kelainian kongenital yang didapat oleh perjalanan penyakit
maupun akibat prosedur pengobatan yang diberikan. Witjaksono J,

2001

Penilaian kesejahteraan janin dilakukan dengan pengukuran nilai profil


biofisik (Mascola dan Repke, 1997), dimana pada APS tanpa komplikasi
dimulai pada usia gestasi 32 34 minggu, sedangkan dengan komplikasi
pada umur kehamilan 24 25 minggu. Witjaksono J,

2001

2. Pengobatan Medikamentosa
a. Heparin
Heparin tidak melewati sawar plasenta, sehingga digunakan pada
kehamilan untuk pencegahan proses pembentukan tromboemboli vaskuler. Dosis
heparin disesuaikan hingga dicapai keadaan tidak terjadi kekambuhan proses
trombosis, yaitu apabila ditemukan nilai INR ( the International Normalized Ratio )
2,6 (Petri, 1997) atau antara 2,0 3,0 ( Boda dkk, 1998; Kher, 1999; Hirsh dkk,
2001). Witjaksono J,

2001

Ada dua jenis heparin yaitu : Witjaksono J,

2001; Boda Z, 1998

a. Unfractionated heparin (UHF)


b. Low molecular weight heparin (LMWH)
Penggunaan

UHF

diketahui

berkaitan

dengan

risiko

terjadinya

osteporosis sebesar 5 15 %, dibandingkan kasus osteoporosis dengan


pemakaian LMWH sebesar 0,2 % dalam kehamilan (Kher, 1999). Penggunaan
heparin dapat meningkatkan tercapainya persalinan pada kehamilan aterm yaitu
73 % pada pemakaian UHF dan 88 % pada pemakaian LMWH (Boda dkk,1998).
Witjaksono J, 2001;

b. Aspirin
Dosis rendah aspirin 60 100 mg/hari efektif untuk pengobatan sindrom
antibodi antifosfilipid melalui penurunan rasio tromboksan-prostasiklin dan
penurunan resistensi protein C (Blumenfed dan Brenner, 1999).

Witjaksono J, 2001

Kombinasi heparin (UFH) dosis 10.000-26.000 U/hari dan aspirin 81


mg/hari meningkatkan keberhasilan kehamilan mencapai 70-80% (Lockshin,
1999), bahkan mencapai lebih dari 90% pada pemakaian LMWH dan aspirin
(Boda dkk, 1998; Boda dan Blasko, 1999)
c.

Witjaksono J, 2001

Glukokortikoid
Pemberian kortikosteroid prednison dengan / tanpa heparin dalam
jagka panjang dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas maternal,
dimana terdapat peningkatan kejadian preeklampsia, ketuba pecah dini
(Blumenfeld dan Brenner, 1999). Witjaksono J,

2001

Penggunaan kortikosteroid sebaiknya dibatasi pada pemakaian jangka


pendek, misalnya untuk perangsangan pematangan alveoli dan vaskuler paru

apabila pemeriksaan kesejahteraan janin mempertimbangkan janin untuk


terminasi persalinan pada usia preterm, atau apabila ditemukan komplikasi
lain seperti ketuban pecah, dengan memberikan glukokortikoid betametason
dosis sekali 12 mg/hari/im atau deksametason 2 x 6 mg/hari/oral selama 4
hari (NIH Consensus, 1995). Witjaksono J,

2001

d. Pengobatan lainnya
Penggunaan

Imunoglobulin

intravena

(IVIG)

digunakan

untuk

pencegahan perburukan janin melalui penekanan kadar ACA dan LA.


Dosisnya adalah 400mg/kg selama 5 hari setiap bulan (Spinnato dkk, 1995)
menunjukkan keberhasilan kehamilan 62-79% (Hill,1999).

Witjaksono J, 2001; Aimee J.

2002.

Suplemen kalsium (kalsium karbonat dosis 2000mg/hari) serta vitamin


D disertai senam ringan, sebaiknya tetap diberikan selama pengobatan
dengan heparin. Demikian pula pemberian asam folat 5-10mg/hari dianjurkan
untuk pencegahan neural

tube defect. Anti malaria, gold-terapi dan

kemoterapi (seperti metotrexate) hanya diberikan bila dijumpai penyerta SLE


pada kehamilan dengan sindrom antibodi antifosfolipid yang tidak responsif
pada pengobatan diatas (Esplin dan Branch, 1997).

F. PERSALINAN

DAN

PENGAWASAN

MASA

Witjaksono J, 2001

NIFAS

PADA

SINDROM

ANTIBODI ANTIFOSFILIPID
Segera setelah inpartu, pemberian heparin harus dihentikan, dan
proses persalinan

diawasi. Apabila ada indikasi terminasi kehamilan

perabdominam, maka pemberian LMWH harus diganti dua hari sebelumnya


dengan UFH dosis 5000-10.000 unit yang dihentikan 6-8 jam sebelum

tindakan

pembedahan.

Apabila

hanya

digunakan

LMWH,

tindakan

pembedahan dilakukan 24 jam setelah pemberian dosis terakhir (Mascola


dan Repke, 1997). Witjaksono J,

2001

Pada masa post partum, Heparinisasi dilanjutkan sampai 4-6 jam lagi
untuk mencegah terjadinya sindrom post partum ( flare-up) yang dapat
memicu terjadinya trombosis sistemik dengan penyulit kegagalan organ
multiple.

Pemberian

antikoagulan

dihentikan

secara

bertahap

untuk

mencegah risiko tromboemboli dalam tiga bulan pertama post partum.

Witjaksono

J, 2001

DAFTAR PUSTAKA

1. Aimee J. 2002. Antiphospholipid antibody syndrome. Available from:


http://www.med.uiuc.edu/hematology/PtAPS.htm. Acessed, 20/8/2012.
2. Atmakusuma Dj, 2001. Pathophysiology of trombosis and anti-phospholipid
syndrome (APS). Dalam : Simposium thrombosis in pregnancy. Jakarta :.
3. Cunningham FG, 2010. Connective tissue disorders. In : Williams obstetrics.
23th New York : Mc Graw Hill.p. 1383-94.
4. Carsons

S,

2004.

Antiphospholipid

syndrome.

Availalable

from

http://www.emedicine.com/med/topic2923.htm. Accessed, 20/8/2012.


5. Witjaksono J, 2004. Patofisiologi sindroma antifosfolipid dalam kehamilan :
dasar patogenesis dan prinsip pengobatan. Dibawakan pada Pertemuan
Ilmiah Tahunan (PIT) POGI XIV, Bandung
6. Putra IGND, 2000. Abortus berulang pada sindrom antifosfilipid antibodi. SMF
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar

7. Wibowo N, 2001. Pathogenesis of anti-phospholipid syndrome in pregnancy.


Dalam : Simposium thrombosis in pregnancy. Jakarta :.
8. Nowicki

S,

2004.

pregnancy.Availalable

Antiphospholipid
from

antibody

syndrome

and

http://www.emedicine.com/med/topic3258.htm

Accessed, 20/8/2012
9. Hestiantoro A, 2001. Evidence-based medicine in pregnancy with antiphospholipid syndrome.

Dalam : Simposium thrombosis in pregnancy.

Jakarta :.
10. Witjaksono J,

2001. Penatalaksanaan kehamilan dengan Sindroma APS.

Disampaikan pada simposium thrombosis in pregnancy. Palembang


11. Witjaksono J,

2001. Management of anti-phospholipid syndrome in

pregnancy. Dalam : Simposium thrombosis in pregnancy. Jakarta


12. Boda Z, 1998. Thrombophilia, anticoagulant therapy and pregnancy. Dalam :
Boda Z, Laszlo P, Pfliegler G, Tornai I, Rejto L, Schlammadinger A. Orvosi
hertilap. Markusovszki : Springer, , 139 (52). p.3113-6.

Anda mungkin juga menyukai