berinisiatif
untuk
memunculkan
perkara-perkara
baru
yang
tidak
disengketakan oleh para pihak. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Hakim sama sekali
tidak aktif, karena selaku pimpinan sidang hakim harus aktif melakukan pemeriksaan
perkara serta berusaha keras untuk mengatasi segala hambatan untuk dapat
tercapainya peradilan. Asas yang ketiga adalah persidangan bersifat terbuka. Hal ini
berarti bahwa setiap orang diperbolehkan untuk hadir dan mendengarkan jalannya
persidangan. Tujuan dari asas ini adalah untuk memberikan perlindungan hak asasi
manusia dalam bidang peradilan serta menjamin obyektivitas peradilan dengan
mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak dan putusan yang
adil kepada masyarakat. Putusan yang diucapkan dalam sidang yang tidak terbuka
untuk umum berakibat pada putusan yang tidak sah dan putusan tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum. Asas ini berlaku dalam setiap persidangan kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang atau berdasarkan alasan-alasan penting yang
dimuat didalam berita acara dan diperintahkan oleh Hakim, maka persidangan dapat
dilakukan denga pintu tertutup. Namun setiap persidangan harus dibuka dan
dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu sebelum dinyatakan ditutup.
Asas selanjutnya adalah mendengar kedua belah pihak atau audi et alteram
partem. Dimuka persidangan kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak
memihak dan didengar bersama-sama. Hal ini berarti bahwa pengajuan alat bukti
tidak dapat dilakukan apabila terdapat pihak yang tidak hadir. Misalnya, apabila
penggugat tidak hadir maka persidangan tidak dapat dilanjutkan sehingga harus
menunggu kedua belah pihak hadir di muka persidangan. Asas yang kelima adalah
setiap putusan harus disertai alasan-alasan. Hal ini juga telah diatur dalam pasal 23
UU No 14 tahun 1970, HIR pasal 184 ayat (1) dan 319 serta pasal 195 dan 618 Rbg.
Setiap putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk
2
Bab II
1.
Panitera
Pengadilan
menerima perkara
dan
PN
3. Ketua PN menentukan majelis Hakim
4. Majelis Hakim menentukan hari sidang
pertama
5. Panitera membuat surat panggilan
6. Juru Sita menyampaikan surat
panggilan
tergugat telah dipanggil secara sah, berita acara pemanggilan atau relass dan daftar
perkara (roll).
Ketentuan pasal 118 HIR berkenaan dengan beberapa hal yaitu kompetensi
pengadilan, cara mengajukan gugatan serta cara menghadap di pengadilan.
Kompetensi pengadilan terbagi atas kompetensi relatif dan absolut. Kompetensi
absolut ditentukan oleh jenis perkara dan institusi yang mengadilinya. Perkara perdata
termasuk kedalam kompetensi badan peradilan umum sedangkan institusi yang
mengadilinya mulai dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung. Sedangkan kompetensi relatif merupakan kewenangan mengadili
pada pengadilan yang sejenis, sehingga apabila perkara diadili di tingkat Pengadilan
Negeri maka kompetensi relatif ini mempengaruhi pada pengadilan negeri mana
Penggugat harus mengajukan gugatan. Hal ini diatur dalam Pasal 118 HIR jo. Pasal
125 ayat (2) HIR. Pasal 118 HIR mengatur enam macam kompetensi relatif yaitu:
a) Actor Sequitor Forum Rei
Gugatan diajukan oleh penggugat kepada ketua Pengadilan Negeri di
domisili tergugat. Tujuannya adalah melindungi kepentingan tergugat. Hal
ini diatur dalam pasal 118 ayat (1). Domisili tergugat bersumber pada
beberapa dokumen yaitu:
- KTP
- Surat Pajak
- Kartu Rumah Tangga
- Anggaran Dasar Perseroan
b) Actor Sequitor Forum Rei dengan Hak Opsi
Apabila terdapat lebih dari satu tergugat, menurut pasal 118 ayat (2) HIR
kalimat pertama Penggugat memiliki hak opsi untuk memilih Pengadilan
Negeri di salah satu domisili tergugat.
c) Actor Sequitor Forum Rei tanpa Hak Opsi
Apabila terdapat lebih dari satu tergugat, namun salah sat tergugatnya
merupakan debitur pokok serta penanggung maka Penggugat mengajukan
hanya dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan domisili Penggugat
yang merupakan debitur pokok tersebut. Hal ini sesuai dengan pasal 118
ayat (2) HIR kalimat kedua.
d) Domisili Penggugat
Jika domisili Tergugat tidak diketahui berdasarkan surat keterangan dari
pejabat yang berwenang, maka gugatan dapat diajukan di Pengadilan
BAB III
MEDIASI
Seperti yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, pada hari sidang
pertama terdapat empat kemungkinan. Salah satu dari kemungkinan tersebut adalah
kedua belah pihak, penggugat maupun tergugat hadir di muka pengadilan. Ketika
kedua belah pihak hadir di muka pengadilan maka majelis Hakim wajib
mengusahakan mediasi. Mediasi merupakan suatu upaya atai cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator. Dalam hal ini mediasi diatur didalam Pasal 130 HIR
(yang dinyatakan masih berlaku sebagia) dan PERMA No 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan (Pasal 26 PERMA No 1 tahun 2008).
Didalam pasal 130 HIR diatur demikian:
Ayat 1 : Pada setiap persidangan, apabila kedua pihak datang maka wajib ditawarkan
mediasi
Ayat 2 : Jika mediasi tercapa, maka dibuat akta perdamaian (acta van dading)
dengan suatu putusan hakim
Ayat 3 : Terhadap akte tersebut, tidak dapat disbanding
Ayat 4 : Dapat disediakan penerjemah yang diatur lebih lanjut.
Selain itu, PERMA No 1 tahun 2008 hanya berlaku bagi mediasi yang terkait
dengan proses berperkara di pengadilan. Apabila tidak dilaksanakan, maka
mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam putusan wajib disebutkan bahwa
telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama
mediatornya.
Mediasi sifatnya wajib bagi semua sengketa perdata yang diajukan ke
pengadilan tingkat pertama, kecuali:
1.
2.
3.
4.
Pengadilan Niaga
Pengadilan Hubungan Industrial
Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Keberatan atas putusan KPPU
Adapun putusan yang tanpa melalui proses mediasi, maka putusannya batal
demi hukum. Pada asasnya, mediasi bersifat tertutup kecuali para pihak menghendaki
lain. Dalam hal ini, para pihak wajib menempuh mediasi dengan itikad baik. Salah
satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh
mediasi dengan itikad tidak baik. Mediasi memiliki manfaat sebagai berikut :
1. Penyelesaian bersifat informal
2. Yang menyelesaikan sengketa adalah para pihak sendiri
3. Jangka waktu penyelesaian pendek
4. Biaya ringan
5. Aturan penyelesaiannya bersifat konfiensial
6. Aturan pembuktian tidak perlu
7. Hubungan para pihak bersifat kooperatif
8. Komunikasi dan focus penyelesaian
9. Hasil yang dituju adalah sama sama menang
10. Bebas emosi dan dendam
Sedangkan, mediator merupakan pihak netral yang membantu para pihak
dalam proses perundingan untuk mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
mediator
dapat
melakukan
kaukus.
Yaitu
10
11
BAB IV
SURAT KUASA
Salah satu asas dalam hukum acara perdata adalah, beracara tidak perlu
diwakili. Namun tetap saja, seseorang dapat menunjuk pihak lain utuk mewakilinya
dalam hal hadir di persidangan. Apabila seseorang dalam berperkara menunjuk pihak
lain maka dibutuhkan surat kuasa khusus sebagai bukti otentik pemberian kuasa
tersebut. Ketentuan mengenai pemberian kuasa diatur dalam pasal 1792 KUHPerdata
sebagai suatu persetujuan dengan mana seaorang memberikan kekuasaan kepada
orang lain yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakn suatu
urusan.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka unsur dari surat kuasa dapat diuraikan
menjadi :
1. persetujuan atau perjanjian
artinya berlaku seluruh ketentuan hukum perdata mengenai hukum
perjanjian dalam KUHPer
2. memberikan kuasa
Artinya terjadi peralihan kekuasaan terkait pelaksanaan suatu urusan
12
3. menerimanya
Artinya si kuasa menerima kuasa yang diberikan kepadanya
4. untuk dan atas nama
artinya, segala tindakan yang dilakukan oleh penerima kuasa serta akibat
yang ditimbulkan oleh penerima kuasa sepanjang dilakukan berdasarkan
perintah pemberi kuasa, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pemberi kuasa. Kecuali, dalam hal penerima kuasa melakukan tindakan di
luar kewenangannya, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab pribadi
dirinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh
penerima kuasa bersifat limitative sebagaimana diatur dalam pasal 1797
KUHPerdata
5. menyelenggarakan suatu urusan
Hal ini merupakan tujuan pemberian kuasa
Pada dasarnya seseorang yang memberikan kuasa kepada orang lain
dengan surat kuasa, maka pada saat itulah terjadi perjanjian pemberian kuasa
sebagaimana diatur dalam pasal 1792 sampai dengan 1819 KUHPerdata. Didalam
perjanjian pemberian kuasa itulah, mutlak mengacu pada syarat sah perjanjian dalam
pasal 1320 KUHPer. Syarat sah perjanjian yang dimaksud dalam pasal 1320 KUHPer
terbagi atas syara subjektif dan objektif, yang dijabarkan sebagai berikut :
-
Syarat Subjektif
o Terdapat kesepakatan (1321 KUHPer)
Tidak ada unsur paksaan
Tidak ada unsur penipuan
Tidak ada unsur kekhilafan
o Kecakapan bertindak
Seseorang dapat melakukan tindakan hukum apabila memiliki
wewenang bertindak. Adapun orang yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum diiatur dalam pasal 330 KUHPerdata yaitu sebagai
berikut:
Belum dewasa
Dibawah pengampuan
Wanita bersuami (sudah dihapus oleh SEMA No 3 Tahun 1963
15
BAB V
SURAT GUGATAN
Suatu hal yang paling utama dilakukan penggugat adalah membuat surat
gugatan yang harus ditujukan kepada Pengadilan dalam hal terdapat hak-haknya yang
dilanggar. Menurut Sudikno Mertokusumo gugatan merupakan tuntutan hak yang
mengandung sengketa. Sedangkan menurut Darwin Prints, gugatan merupakan suatu
upaya atau tindakan untuk menunutut hak atau memaksa pihak lain untuk
melaksanakan tuga atau kewajibannya guna memulihkan kerugian yang diderita oleh
penggugat melalui suatu putusan pengadilan.
Syarat untuk mengajukan gugatan adalah harus terlebih dahulu diawali dengan
somasi sebanyak tiga kali. Hal ini dimaksud untuk menunjukkan adanya itikad baik
serta gugatan tersebut harus diajukan melalui pengadilan. Terkait dengan syarat
gugatan itu sendiri adalah sebagai berikut:
1. Syarat Substansi
a. Persona standi in judicio
i. Kompetensi absolut dan relatif
ii. Identitas dan kedudukan para pihak
iii. Kualitas para pihak
b. Posita
i. Kejadian atau peristiwa
ii. Penjelasan duduk perkara
1. Wanprestasi
Tindakan yang tergolong wanprestasi ada empat
bentuk yaitu :
a. Tidak Memenuhi Prestasi
Debitur sama sekali tidak
memenuhi
berbeda
dengan
yang
dipernjanjikan.
2. Perbuatan Melawan Hukum
a. Kesalahan
Kesalahan dapat berupa kesengajaan atau
kelalaian
b. Kerugian
Kerugian meliputi kerugian materiil dan
kerugian imateriil
c. Hubungan sebab akibat antara kesalahan dan
kerugian
d. Penggantian kerugian
iii. Hubungan hukum
iv. Tuntutan atau petitum
Dalam tuntutan harus terdapat hubungan atau korelasi
antara apa yang diminta dalam tuntutan dan posita yang
sudah dijelaskan.
v. Ganti rugi
1. Materiil
2. Imateriil
3. Bunga
Namun, dapat saja pihak yang menimbulkan kerugian
tidak berkwajiban memberikan ganti kerugian apabila
kerugian tersebut disebabkan oleh force majeur atau
peristiwa
yang
luar
biasa.
Force
majeur
melanggar hak orang lain. Sementara Turut tergugat adalah pihak yang demi
formalitas gugatan harus dilibatkan dalam petitum sebagai pihak yang tunduk dan taat
pada putusan hakim.
Mengenai format surat gugatan, HIR tidak mengatur secara tegas tetapi dalam
pasal 8 ayat (3) RV dan yurisprudensi bahwa format gugatan secara umum terdiri dari:
1. Persona Standi in Judicio
a. Kompetensi absolut dan relatif
b. Identitas dan kedudukan para pihak
c. Kualitas para pihak
2. Posita
a. Kejadian atau peristiwa
b. Penjelasan duduk perkara
c. Tuntutan
d. Ganti rugi
Dalam hukum acara perdata terdapat dua teori yang menjelaskan duduk
perkara atau posita yaitu:
1. Substantiering theorie
Gugatan selain menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar
gugatan
harus
menyebutkan
kejadian-kejadian
nyata
yang
18
19
mengenai
adanya
hal
yang
menghalangi
dikabulkannya gugatan
Dalam hal ini apabila eksepsi diterima maka harus dinyatakan bahwa gugatan
tidak dapat diterima. Adapun beberapa contoh konktet yang biasanya sering terjadi
sehingga tergugat mengajukan eksepsi adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Menurut pasal 134 HIR dan pasal 132 RV, eksepsi dapat diajukan setiap saat
selamaa proses perkara berlangsung di persidangan pengadilan tingkat pertama
berlangsung sejak saat pemeriksaan dan sebelum putusan dijatuhkan. Dalam
kompetensi absolut, tergugat dapat mengajukan eksepsi setiap saat selama proses
pemeriksaan berlangsung. Dalam hal ini, Hakim wajib menyatakan diri tidak
berwenang mengadili perkara yang diperiksanya tersebut apabila perkara diajukan
diluar yurisdiksinya atau berada dalam lingkungan kewenangan peradilan lainnya dan
meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi, Hakim wajib secara ex-officio
menyatakan tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
Konpensi atau jawaban langsung mengenai pokok perkara terbagi menjadi dua yaitu
jawaban dalam konpensi dan jawaban dalam rekonpensi. Jawaban dalam konpensi
merupakan jawaban tergugat atas dalil yang dikemukakan.
1. PengakuanMurni
20
Mengakui secara keseluruhan atas gugatan yang diajukan sehingga tidak perlu
dilakukan pembuktian
2. Tambahan mengakui tapi menyebabkan perkara tidak selesai sampai disini
saja, harusada pembuktian
3. Referte (lisan) : menyerahkan kepada hakim tentang perkara tersebut (tidak
mengakui dantidak membantah)
4. bantahan
a. mengenai pokok perkara (sangkalan), posita dan petitum
b. bukan pokok perkara (eksepsi) : formalitas gugatan
Putusan dapat diambil dari pengakuan.Jawaban tergugat dapat berisi
1. eksepsi
tergugat membantah hal-hal yang bukan menjadi pokok perkara
2. konvensi
3. rekonvensi
tergugat bisa menggugat dalam satu penelesaian perkara
Sedangkan jawaban dalam rekonpensi merupakan suatu gugatan balik yang diajukan
tergugat terhadap penggugat dalam suatu proses perkara yang sedang berlangsung
Rekonvensi (Reconventie / reconvention) adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat
berhubung penggugat juga pernah melakukan wanprestasi terhadap tergugat.
Rekonvensi yang diajukan tergugat itu sebetulnya adalah jawaban tergugat terhadap
gugatan penggugat atas perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Menurut M.
Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan istilah (gugatan) rekonvensi diatur
dalam Pasal 132a HIR yang maknanya rekonvensi adalah gugatan yang diajukan
tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat
kepadanya3. Dalam penjelasan Pasal 132a HIRdisebutkan, oleh karena bagi tergugat
diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat
kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan
tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan
jawabannya terhadap gugatan lawannya
Gugatan konvensi dan rekonvensi diselesaikan sekaligus dan diputus dalam
satu surat putusan, kecuali kalau pengadilan berpendapat bahwa perkara yang satu
dapat diselesaikan lebih dahulu dari pada yang lain. Istilah konvensi sebenarnya
3 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan,
Jakarta:Sinar Grafika, 2009, hal. 468
21
merupakan istilah untuk menyebut gugatan awal atau gugatan asli. Istilah ini memang
jarang digunakan dibanding istilah gugatan karena istilah konvensi baru akan dipakai
apabila ada rekonvensi (gugatan balik tergugat kepada penggugat). Di dalam
penjelasan Yahya Harahap bahwa ketika penggugat asal (A) digugat balik oleh
tergugat (B) maka gugatan A disebut gugatan konvensi dan gugatan balik B disebut
gugatan rekonvensi4.
Dalam hal ini perkara yang dapat diperiksa dahulu boleh didahulukan, tetapi
gugatan semula dan gugat balas (rekonvensi) yang belum diputuskan tetap diperiksa
oleh hakim yang sama, sampai dijatuhkan putusan terakhir. (132 b ayat (3) HIR)
Keuntungan gugat balas bagi kedua belah pihak :
1.
2.
3.
4.
saling
bertentangan.5
4 ibid
5 Hukum Acara Perdata, R. Soebekti, 1982, hal 65-66
22
dengan menunda waktu selama satu atau dua minggu untuk tiap-tiap tahap
pemeriksaan.
Ikut
sertanya
pihak
ketiga
dalam
proses
perkara
yaitu
voeging,
intervensi/tussenkomst, dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg, tetapi dalam
praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv
(Pasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv), sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib
mengisi kekosongan, baik dalam hukum materiil maupun hukum formil.Voeging
adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau tergugat.
Dalam hal ada permohonan voeging, hakim memberi kesempatan kepada para pihak
untuk menanggapi, selanjutnya dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan maka
dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut. Intervensi
(tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara itu
atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan oleh karena pihak
ketiga merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat
dan tergugat. Permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela.
Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa
bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi
dapat dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam
Berita Acara, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabung
gugatan intervensi ke dalam perkara pokok.
BAB VII
SITA JAMINAN
Sita jaminan adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan tempat
gugatan diajukan atas suatu permintaan agar suatu barang baik bergerak maupun
tetap, baik dimiliki oleh penggugat ataupun tergugat, pada kemudian hari tidak dapat
dialihkan dijualbelikan ataupun dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Sehingga,
dapat disimpulkan bahwa sita jaminan adalah tindakan hukum yang bertujuan untuk
menjamin pelaksanaan putusan. Sita jaminan dapat berubah menjadi sita eksekutorial
jika perkara tersebut telah sampai kepada putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Dasar hukumnya adalah Pasal 227 ayat (1) HIR. Untuk sita jaminan,
barang bergerak harus didahulukan peniytaannya disbanding barang tidak bergerak.
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 197 ayat (1) HIR. Alasannya adalah agar mudah
proses pemindatanganan apda saat lelang dilakukan. Namun terdapat pengecualian
apabila objek sengketa adalah kepemilikan suatu barang tidak bergerak, maka barang
24
yang tidak bergerak itulah yang disita terlebih dahulu. Tata cara dan akibat hukum sita
jaminan terdapat dalam pasal 197-199 HIR.
Tentu saja tidak semua barang dapat disita, beberapa benda yang tidak dapat
disita sesuai ketentuan pasal 197 ayat (8) HIR adalah :
1. Hewan
2. Perkakas
yang
sungguh
sungguh
dipergunakan
untuk
menjalankan
tidak
dapat
dialihkan
atau
diperjualbelikan
ataupun
25
d. pand beslag
diatur dalam pasal 751 RV yaitu sita yang dimohonkan oleh seorang yang
menyewakan rumah agar perabot-perabot milik penyewa disitua untuk
menjamin agar ia membayar uang sewa rumah. Sehingga obyek sitaan
adalah barang bergerak berupa perabot milik penyewa rumah. Dalam
prakteknya, sekarang dapat pula berbentuk uang jaminan.
e. vergelijkende beslag
diatur dalam pasal 463 RV yang merupakan permohonan sita jaminan
kedua menyesuaikan pada sita jaminan yang pertama. Dapat dilakukan
hanya bila sita pertama telah dilaksanakan sesuai dengan sisa hak yang
belum diperoleh oleh penggugat.
Sita jaminan dan sita eksekutorial memiliki beberapa perbedaan yang
signifikan. Namun juga tetap memiliki persamaan misalbya dalam pelaksanaanya
dimulai dari barang yang bergerak, dengan pengecualian bila jenis perkara adalah
sengketa kepemilikan suatu benda teteap, maka sita jaminan dapat langsung
diletakkan terhadap barang tetap yang dipersengketakan tersebut, dengan ketentuan
sita eksekutorial tidak mengenai pengecualian ini. Selanjutnya adalah pelaksanaan
dan tata cara sita jaminan dan sita eksekutorial adalah sama diatur dalam pasal 197
ayat (2), (5), (6) HIR. Sita yang dilakukan oleh panitera dan/atau juru sita ditempat
terletaknya barang yang disita, disaksikan oleh dua orang saksi, dibuat berita acara
sita dan meninggalkan barang yag disita dibawah oenjagaan tersita. Ketiga adalah
pendaftaran berita acara sita diatur dalam pasal 198 HIR yang merupakan syarat
formil kekuatan mengikat dan syarat sahnya sita, yaitu harus didaftarakan di kantor
pendaftaran yang berwenang kemudian memerintahkan Kepala Desa untuk
mengumumkan penyitaan. Selanjutnya adalah terdapat larangan memindahtangankan
atau memperjual belikan, menyewakan dan mengalihkan barang sitaan, sesuai dengan
ketentuan pasal 199 HIR. Selain itu juga terdapat larangan sita terhadap hewan dan
perkakas ayng digunakan sebagai mata pencaharian.
Perbedaan antara keduanya adalah tujuan dari sita jaminan adalah menjamin
gugatan pengguat sebelum putusan berkekuatan hukum tetap, sementara tujuan sita
eksekutorial adalah untukk melaksanakan lelang eksekusi setelah putusan berkekuatan
hukum tetap. Waktu pelaksanaan keduanya pun berbeda, sita jaminan dilakukan
26
sebelum putusan berkekuatan hukum tetap sementara sita eksekutorial adalah setelah
perkaran mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu sita jaminal
kewenangan pelaksanaanya berada ditangan Ketua Majelis Hakim sementara
kewenangan pelaksanaan sita eksekutorial adalah oleh Ketua Pengadilan Negeri.
BAB VIII
PEMBUKTIAN
Prof. Sudikno Mertokusumo, S.H dalam bukunya Hukum Acara Perdata
Indonesia, mendefisinikan pembuktian dalam tiga arti, yaitu:
1) arti logis
Artinya memberikan kepastian mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan
tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2) arti konvensional
Artinya memberikan kepastian nisbi atau relative yang mempunyai tindakantindakan yakni:
a. kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka
dalam hal ini bersifat intuitif (conviction intime)
b. kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal
disebut juga convictio raisonne
3) arti yuridis
Artinya pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus. Dalam hal ini
merupakan pembuktian historis, yakni pembuktian yang menetapkan apa yang
telah terjadi secara concreto. Tujuannya adalah memberi dasar yang cukup
kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajuka. Hal ini berlaku agi pihakpihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka.
27
HIR mengatur pembuktian dalam pasal 162 sampai dengan pasal 177
sementara KUHPerdata mengatur pembuktian dalam pasal 1865 sampai dengan pasal
1945. Dalam hukum acara perdata, objek pembuktian adalah peristiwanya bukan
dasar hukumnya. Peristiwa inilah yang harus dicari kebenarannya. Didalam
kebenaran tersebut harus dicari mengenai kebenaran formil. Artinya hakim tidak
boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara. Hakim cukup
membuktikan dengan prepondence of evidence sebagaimana yang dinyatakan dalam
pasal 178 ayat (3) HIR. Penggugat dan tergugat merupakan pihak yang dapat
melakukan pembuktian, hal ini diatur dalam pasal 163 HIR yang menyatakan bahwa
siapa yang mendalilkan sesuatu, dia yang harus membuktikannya.
Menurut Retnowulan, S.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata dalam teori
dan Praktek menyatakan bahwa terdapat tiga teori penilaian pembuktian
1) teori pembuktian bebas
Menyatakan bahwa tidak menghendaki adanyan ketuantuan-ketentuan yang
mengikat Hakim, seghingga penilain pembuktian seberapa dapat diserahkan
kepadanya.
2) teori pembuktian negative
Merupakan teori yang mebatasa pada larangan kepada Hakim untuk
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian, Dengan kata lain,
Hakim dilarang dengan pengecualian. Hal ini sesuai dengan pasal 169 HIR jo
pasal 306Rbg jo pasal 1905 KUHPerdata
3) teori pembuktian positif
Merupakan teori yang menghendaki adanya perintah bagi hakim. Artinya
diwajibkan dengan syarat. Hal ini diatur dalam pasal 165 HIR jo. Pasal 258
Rbg jo pasal 1870 KUHPerdata.
Pasal 164 HIR mengenal lima macam alat bukti yaitu sebagai berikut :
1) Bukti surat
Bukti surat merupakan bukti yang paling penting dan utama. Bukti surat
dibedakan menjadi dua jenis :
a. Akta
i. Akta otentik
Merupakan surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai
umum yang berwenang untuk membuat surat tersebut dengan
tjuan muwujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak
dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak
28
29
Syrat bukan akta atau surat biaa adalah sehelai surat biasa yang dibuat
tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti. Apabila kemudia surat
tersebut dijadikan alat bukti, itu hanya kebetulan saja.
2) Bukti saksi
Prinsip hakim terkati dengan bukti saksi adalah unus testis nullus testis
yang artinya satu saksi bukanlahh saksi. Keterangan seorang saksi saja tanpa
adanya bukti yang lain, tidak cukup untuk membuktikan atau dianggap
terbuktinya suatu dalil yang harus dibuktikan. Syarat sebagai seorang saksi
adalah:
- Melihat, mendengar dan mengalami sendiri (Pasal 171 ayat (2) HIR)
- Dewasa
- Tidak dibawah pengampuan
Terkait dengan bukti saksi, dibedakan menjadi dua kategori yaitu
a. Keterangan saksi
Keterangan saksi merupakan kketerangan seseorang yang dialami
secara langsung dan dilihat sendiri oleh saksi, keterangan tersebut
harus juga menyebutian tentang sebab musabab ang diketahuinya
tentang itu. Perkiraan, rekaan, atau sebagai kesimpulan dari pikiran
seorang saksi tidka dapat dinilai sebagai suatu kesaksian. Diatur dalam
pasal 145 dan 146 HIR.
Beberapa orang tidak dapat didengan sebagai saksi adalah:
o Keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus keatas atau
kebawah
o Suami atau istri salah satu pihak
o Anak anak dibawah usia 15 tahun
o Orang sakit ingatannya.
b. Keterangan ahli
Berdasarkan pasal 154 HIR keterangan ahli merupakan keterangan ang
diberikan oleh seseorang berdasarkan keahlian yang dimilikinya dalam
pembuktian. Di dalam pasal 154 HIR dikatakan jika pengadilan negeri
berpendapat bahwa perkara itu akan lebih terang hika ada pemeriksaan
dan oengamatan oleh seorangan ahli, maka dapatlah pengadilan negeri
mengangkat ahli tersebut, baik atas permintaan dkedua belah piak
maupun karna jabatannya.
Kewajiban seorang saksi adalah sebagai berikut :
o Kewajiban untuk menghadap
o Kewajiban untuk memberikan keterangan
o kewajiban untuk bersumpah
30
sumpah promissior
sumpah confirmatoir
3) Persangkaan
Persangkaan merupakan kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang
atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain
yang belum terang kenyataannya.
a. Persangkaan hakim
Suatu persangkaan dimmana hakim yang memutus berdasarkan
kenyataannya,
apakah
mungkin
dan
sampai
berapa
jauhkan
dalil dari salah satu pihak berperkara yang isinya membenarkan dalil lawan,
baik sebagian maupun seluruhnya. Terdapat tiga bentuk pengakuan yaitu,
a. Pengakuan yang dilakukan dihadapan sidang
Merupakan pengakuan yang berisi ketrangan sepihak, baik tertulis
maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam
perkara di persidangann yang membenarkan baik seluruhnya atau
sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan
oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh
hakim tidak perlu lagi. Ciri pengakuan yang dilakukan di hadapan
sidang yaitu :
o mempunyai kekuatan pembuktian sempurna
o pengakuan dapat disampaikan oleh yang bersangkutan sendiri
maupun kuasanya
o pengakuan tidak dapat ditarik kembali
o pengakuan didepan sidang sama dengan persangkaan menurut
undang-undang.
b. Pengakuan yang dilakukan diluar sidang
Merupakan pengaukan yang berisi keterangan yang diberikan oleh
salah satu pihak dalam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk
membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh lawannya.
Pengakuan ini dapat dilakukan secaratertulis dan lisan.
c. Pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisah
Merupakan suatu pengakuan yang harus diterima bulat. Hakim tidak
boleh memecahmecah pengakuan itu dan menerima sebagian dari
pengakuan sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dan menolak sebagian
lainnya yang masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Pengakuan terbagi
menjadi menjadi dua yaitu:
i. Pengakuan dengan kualifikasi
Pengakuan dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.
Denan kata lain merupakan jawaban dari tergugat yang
sebagian terdiri dari pengakuan dan sebagian terdiri dari
sangkalan.
ii. Pengakuan dengan klausula
Merupakan pengakuan yang disertai dengan keterangan
tambahan yang bersifat membebaskan. Dengan kata lain,
merupakan jawaban tergugat yakni pengakuaan mengenai hal
pokok yang diajukan oleh penggugat tetapi disertai dengan
tambahan penjelasan yang menjadi dasar penolakan gugatan.
32
5) Bukti sumpah
Merupakan suatu pernyataan yang khidmat diberikan atau diucapkan pada
waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa
Tuhan dan percaya bahwa barang siapa yang memberik keterangan atau janji
yang tidak benar akan dihukum olehNya. Diatur dalam pasal 155 sampai
dengan 158 HIR dan pasal 177 HIR. Terdapat tiga macam bentuk sumpah
yaitu:
a. Sumpah pelengkap
Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya
kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang
menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. Syaratnya adalah bukti
permulaan yang cukup ditambah dengan sumpah pelengkap maka
perkara dianggap selesai atau dengan kata lain mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna. Hal ini diatur dalam pasal 155 HIR
b. Sumpah pemutus
Merupakan sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak
kepada lawannya. Pihak yang meminta lawannya untuk mengucapkan
sumpah disebut deferent. Sedangkan pihak yang harus bersumpah
disebut delaat. Sumpah ini dapat dilaukan pada setiap saat selama
pemeriksaan di pengadilan. Adanya inisiatif untuk membebani sumpah
decisoir selama pemeriksaan pengadilan. Adanya inisiatif untuk
membebani sumpah decisoir berasal dari salah satu pihak. Hal ini
diatur dalam pasal 156 HIR.
c. Sumpah penaksir
Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya
kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.
Sumpah ini memiliki kekuatan pembuktian sempurna.
33
BAB IX
PUTUSAN
Setelah melakukan segala pemeriksaan terhadap berkas-berkas dari penggugat
serta alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan acara perdata, maka hakim akan
mengambil suatu putusan terhadap perkara yang ia periksa. Menurut Prof. Sudikno
Mertokusumo putusan merupakan suatu eprnyataan yang oleh hakim, sebagi pejabat
yang diberi wewenang itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri
atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Terkait dengan
pembacaan putusan tersebut, berdasarkan SEMA No. 5 Tahun 1959 tanggal 20 April
1959 dan SEMA No. 1 tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962, menginstruksikan kepada
para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan untuk mencegah
adanya perbedaan antara bunyi putusan.
Tata cara pembacaan putusan adalah sebagai berikut, putusan diambil dengan
didahului oleh sidang permusyawaratan yang sifatnya rahasia. Kemudian, dalam
34
35
dalam berkas perkara ini, serta telah mengdengar keterangan para saksi dan
pihak yang berperkara
c) pertimbangan
bagian ini merupakan alasan atau dasar dari suatu putusan, yang terdiri atas
dua bagian, yaitu
a. pertimbangan tentang duduk perkaranya
yaitu mengenai apa yang terjadi di depan pengadilan dimana sringkali
gugatan dan jawaban dikutip secara lengkap
b. pertimbangan hukum
digunakan untuk menentukan nilai dari suatu putusan hakim, sehingga
aspekpertimbangan hukum oleh hakim haruslah teliti, baik dan cermat.
d) amar putusan
pada hakikatnya amar atau dictum putusan merupakan jawaban terhdap
petitum dari gugatan. Dalam mengadili suatu perkara, Hakim wajib mrngsdili
semua bagian dari tuntutan, baik dalam konpensi maupun rekonpensi, bila
tidak maka putusan tersebut harus dibatalkan. Walau demikian hakim tidak
oleh menjatuhkan putusan erhadap sesuatu yang tidak dituntut. Amar putusan
dapat bersifat deklaratif atau dispositive. Dikatakan declarative apabila amar
itu merupakan penerapan dari hubungan hukum yang menjadi sengketa atau
hukumnya mengabulkan atau menolak gugatan.
e) Penandatanganan
Setiap putusan harus ditandatangani oleh majelis hakim ketua, hakim anggota
dan panitera sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (3) HIR. Apabila ketua
sidan tidak dapat menandatangani putusan, maka penandatangan oleh hakim
anggota yang ikut serta memeriksa, yang pangkatnya setingkat dibawah
pangkat ketua sebagaimana diatur dalam pasal 137 ayat (10) HIR. Jika
panitera berhalangan menandatangani putusan maka hal tersebut harus
dinyatakan dalam Beritas Acara sebagaimana diatur dalam pasal 187 HIR.
Putusan memiliki digolongkan menjadi beberapa tingkat, yaitu :
1) Putusan sela
a. Putusan preparatoir
Adalah putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan guna
melancarkan proses persidangan hingga tercapai putusan akhir.
b. Putusan interlocutoir
Putusan yang isinya memerintahkan pembuktian. Isi putusan ini
mempengaruhi putusan akhir.
c. Putusan incindeteel
36
supaya
diadakan
tindakan
pendahuluan
untuk
37
wakilnya yang sah walaupun telah dipanggil secara sah dan patut (pasa 125
HIR)
6) Putusan verstek
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim karena tergugat tidak hadir pada sidang
hari pertama dan tidak mengirimkan wakilnya yang sah walaupun telah
dipanggil secara sah dan patut.
7) Putusan contradictoir
Putusan yang diambil dalam hal tergugat pernah datang ke persidangan.
Merupakan kebalikan dari putusan verstek
8) Putusan serta merta
Putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun terhadap putusan
tersebut ada upaya hukum lain.
9) Putusan berkekuatan hukum tetap
Putusan yang sudah tidak lagi ada upaya hukum biasa yang dipergunakan
yaitu perlawanan, banding, kasasi. Karena apabila telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka suatu putusan tidak dapat lagi diubah, sekalipun dengan
pengadilan tinggi, kecuali dengan upaya hukum luar biasa. Dalam hal ini
menimbulkan upaya hukum eksekusi.
38
BAB IX
PUTUSAN
Setelah melakukan segala pemeriksaan terhadap berkas-berkas dari penggugat
serta alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan acara perdata, maka hakim akan
mengambil suatu putusan terhadap perkara yang ia periksa. Menurut Prof. Sudikno
Mertokusumo putusan merupakan suatu eprnyataan yang oleh hakim, sebagi pejabat
yang diberi wewenang itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri
atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Terkait dengan
pembacaan putusan tersebut, berdasarkan SEMA No. 5 Tahun 1959 tanggal 20 April
1959 dan SEMA No. 1 tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962, menginstruksikan kepada
para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan untuk mencegah
adanya perbedaan antara bunyi putusan.
Tata cara pembacaan putusan adalah sebagai berikut, putusan diambil dengan
didahului oleh sidang permusyawaratan yang sifatnya rahasia. Kemudian, dalam
sidang permusyawaratan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangannya dan
apabila tidak tercapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda wajib
dimuat dalam putusan, yang disebut dengan dissenting opinion. Selanjutnya, putusan
hakim harus dibacakan di depan persidangan yang e=terbuka untuk umum agar sah
dan mempunyai kekuatan hukum, kecuali Undang-undang menentukan lain. Bila hak
tersebut tidak dilaksanakan, maka terhadap putusan tersebut batal demi hukum.
Isi putusan hakim haruslah mengacu pada pasal 184 HIR yang meliputi suatu
keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan dan jawaban. Ditambah dengan alasanalasan yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim. Selain itu terdapat pula
keputusan hakim mengenai pokok perkara dan besar ongkos perkara. Keterangan
mengenai pihak-pihak yang hadir saat keputusan dijatuhkan juga termasuk dalam isi
putusan. Jika keputusan tersebut didasarkan atas suatu undang-undang, hal tersebut
39
harus disebutkan. Dalam putusan tersebut juga terdapat tanda tangan hakim dan
panitera. Berdasarkan pasal 50 UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
isis keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan,
juga harus memuat oula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan bersangkutan
atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Setiap putusan terdiri dari lima bagian, yang akan dijabarkan sebagai berikut
dibawah ini:
f) kepala putusan
Setiap putusan harus dimulai dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA yang dapat disebut titel eksekutorial
atau irah irah sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No 48 tahun
2009. Dengan adanya titel eksekutorial tersebut suatu putusan mempunyai
kekuatan eksekutorial sehingga dapat dieksekusi. Termasuk didalam kepala
putusan adalah :
a. nomor register perkara
b. nama pengadilan yang memutus perkara
g) identitas para pihak
Dalam hal ini, identitas harus dimuat secara jelas, yaitu nama, alamat,
pekerjaan, serta nama kuasanya bila yang bersangkutan memberi kuasa kepada
orang lain. Dalam praktik peradilan, membuat putusan setelah aspek ini juga
diuraikan terhadap kerangka dasar yang berisikan penguraian mengenai
redaksionalnya yaitu : telah membaca, mempelajari, dan melihat surat-surat
dalam berkas perkara ini, serta telah mengdengar keterangan para saksi dan
pihak yang berperkara
h) pertimbangan
bagian ini merupakan alasan atau dasar dari suatu putusan, yang terdiri atas
dua bagian, yaitu
a. pertimbangan tentang duduk perkaranya
yaitu mengenai apa yang terjadi di depan pengadilan dimana sringkali
gugatan dan jawaban dikutip secara lengkap
b. pertimbangan hukum
digunakan untuk menentukan nilai dari suatu putusan hakim, sehingga
aspekpertimbangan hukum oleh hakim haruslah teliti, baik dan cermat.
i) amar putusan
pada hakikatnya amar atau dictum putusan merupakan jawaban terhdap
petitum dari gugatan. Dalam mengadili suatu perkara, Hakim wajib mrngsdili
semua bagian dari tuntutan, baik dalam konpensi maupun rekonpensi, bila
40
tidak maka putusan tersebut harus dibatalkan. Walau demikian hakim tidak
oleh menjatuhkan putusan erhadap sesuatu yang tidak dituntut. Amar putusan
dapat bersifat deklaratif atau dispositive. Dikatakan declarative apabila amar
itu merupakan penerapan dari hubungan hukum yang menjadi sengketa atau
hukumnya mengabulkan atau menolak gugatan.
j) Penandatanganan
Setiap putusan harus ditandatangani oleh majelis hakim ketua, hakim anggota
dan panitera sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (3) HIR. Apabila ketua
sidan tidak dapat menandatangani putusan, maka penandatangan oleh hakim
anggota yang ikut serta memeriksa, yang pangkatnya setingkat dibawah
pangkat ketua sebagaimana diatur dalam pasal 137 ayat (10) HIR. Jika
panitera berhalangan menandatangani putusan maka hal tersebut harus
dinyatakan dalam Beritas Acara sebagaimana diatur dalam pasal 187 HIR.
Putusan memiliki digolongkan menjadi beberapa tingkat, yaitu :
10) Putusan sela
a. Putusan preparatoir
Adalah putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan guna
melancarkan proses persidangan hingga tercapai putusan akhir.
b. Putusan interlocutoir
Putusan yang isinya memerintahkan pembuktian. Isi putusan ini
mempengaruhi putusan akhir.
c. Putusan incindeteel
Putusan yang berhubungan dengan insiden,yaitu peristiwa yang
menunda prosedur peradilan biasa. Putusan ini belum berhubungan
dengan pokok perkara, masih bersifat formil belum menyangkut
materiil suatu perkara.
d. Putusan provisional
Putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak
yangberperkara
supaya
diadakan
tindakan
pendahuluan
untuk
41
42
pengadilan tinggi, kecuali dengan upaya hukum luar biasa. Dalam hal ini
menimbulkan upaya hukum eksekusi.
BAB XI
UPAYA HUKUM
Yang dimaksud dengan upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau
badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk
43
44
Menurut pasal 214 ayat (2) KUHAP, dalam hal memutus diluar hadirnya
terdakwa (verstek), maka surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.
Adapun bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada
terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register.Dan menurut
pasal 214 ayat (4) KUHAP, dalam hal putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya
terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan ( penjara atau
kurungan ), maka terdakwa dapat mengajukan perlawanan (verzet). Perlawanan ini
harus diajukan dalam waktu tujuh hari sesudah putusan itu diberitahukan secara sah
kepada terdakwa dan perlawanan tersebut diajukan kepada pengadilan yang
menjatuhkan putusan verstek itu.
Dengan adanya verzet itu, maka menurut pasal 214 ayat (4) KUHAP, dalam
hal putusan versteknya menjadi gugur. Setelah panitera memberitahukan kepada
penyidik tentang adanya verzet ( perlawanan ) itu hakim menetapkan hari sidang
untuk memeriksanya kembali perkara itu. Dan apabila putusan yang dijatuhkan hakim
setelah diajukan perlawanan tersebut tetap berupa pidana perampasan kemerdekaan,
maka terdakwa dapat mengajukan banding (pasal 214 ayat (8). Namun, jika pidana
yang dijatuhkan hakim berubah menjadi pidana denda setelah diajukan verzet
tersebut. Maka hal itu merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir. Jadi
terdakwa tidak dapat mengajukan banding, tetapi terdakwa dapat langsung
mengajukan kasasi. Sebagai dasar hukumnya pasal 244 KUHAP yang menyatakan
bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum
dapat mengajukan permintaan pemerikasaan kasasi kepada MahkamahAgung kecuali
terhadap putusan bebas.
B. Banding (Revisie)
Didalam pasal 87 KUHAP dinyatakan bahwa Pengadilan Tinggi berwenang
mengadili perkara yang di putus oleh Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya
yang dimintakan banding.Acara pemeriksaan banding didalam KUHP diatur dalam
pasal 233 sampai dengan pasal 243. Sebelum berlakunya KUHAP acara banding ini
diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 20 Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun
1951, yang terhadap putusan bebas ( vrijsraak ) tidak dapat dimintakan banding,
begitu juga putusan dalam perkara ringan ( rol ).
45
Dalam pada itu, hak terdakwa atau penuntut umum untuk mohon
pemeriksaan banding ini dasar-dasarnya telah ditentukan dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970, yang menyatakan bahwa atas semua putusan
pengadilan tingkat pertama yang tidak merupakan pembebasan dari tuduhan, dapat
dimintakan banding oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain. Pemeriksaan tingkat banding ini pada dasarnya adalah pemeriksaan
ulangan dari pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri, sehingga
pengadilan tinggi kadang-kadang disebut pengadilan ulangan. Dalam pemeriksaan
tingkat banding tersebut Pengadilan Tinggi memeriksa kembali semua fakta-fakta
yang ada, sehingga sama halnya dengan Pengadilan Negeri maka pengadilan tinggi
disebut sebagai judex factie.
Pasal 67 KUHAP menyatakan bahwa terdakwa atau atau penuntut umum
berhak untuk mintabanding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali
terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah
kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
Walaupun dalam penjelasan pasal demi pasal dari KUHAP dinyatakan sebagai cukup
jelas, akan tetapi dalam prakteknya masih memungkinkan timbul persoalan
mengenai pengertian kalimat yang menyangkut masalah kurang tepatnyapenerapan
hukum tersebut. Di dalam praktek bisa saja terjadi, bahwa hakim telah salah
dalam menerapkan hukum, misalnya hakim telah menyatakan perbuatan yang di
dakwakan terhadap terdakwa itu telah terbukti, tetapi ia menilai bahwa perbuatan itu
bukan tindak pidana (karena bukan kejahatan ataupun pelanggaran), padahal
perbuatan yang telah di nyatakan terbuktu itu sesungguhnya merupakan tindak
pidana. Putusan hakim tersebut jelas merupakan kesalahan/kekeliruan/kurang
tepatnya penerapan hukum, yang menurut pasal 67 KUHAP justru tidak dapat
dimintakan banding.
Dengan demikian kesimpulannya menjadi, jika hakim tidak keliru dalam menjatuhkan
putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusannya bisa dimintakan banding,
sebaliknya jika hakim keliru/kurang tepat dalam penerapan hukumnya dalam
menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, justru malahan tidak dapat
dimintakan banding.
46
Selama perkara belum diputus dalam tingkat banding, pemohon sewaktu-waktu dapat
mencabut permohonan bandingnya. Permohonan banding yang sudah dicabut tidak
dapat diajukan lagi (pasal 235 ayat 1). Selanjutnya dalam ayat (2) nya diatur bahwa
perkara yang sudah diperiksa oleh Pengadilan Tinggi akan tetapi belum diputus,
pemohon dapat mencabut permohonan bandingnya, maka sebagai akibatnya pemohon
dibebani membayar biaya perkara sebanyak yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan
Tinggi sampai saat pencabutannya.
47
48
Kasasi demi kepentingan hukum ini merupakan monopoli dari Jaksa Agung. Hal ini
adalah wajar, karena Jaksa Agung adalah penuntut umum tertinggi di indonesia yang
ruang lingkup daerah hukumnya meliputi seluruh tanah air, sama dengan wilayah
hukum wewenang Mahkamah Agung. Kewenangan ini ditunjukkan agar undangundang dilaksanakan menurut makna dan arti yang sesungguhnya dan tujuan yang
terkandung dalam peraturan.
E. Peninjauan Kembali (Herzeining)
Sama halnya dengan lembaga kasasi yang berasal dari sistem hukum Perancis,
maka peninjauan kembali yang nmanya revision di negara asalnya ini dimasukkan
dalam hukum acara pidana Belanda dengan nama herzeining, yang kemudian di
Indonesia herzeining ini diatur dalam Reglement op de Strafvordering (Staatsblad
tahun 1874 No. 40), yang berlaku bagi orang eropa dan hal yang demikian itu terdapat
dalam Iniands Reglement (Staatsblad tahun 1874 No. 16) yang berlaku bagi orang
Indonesia (Bumiputra) dan Timur Asing. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia , lembaga peninjauan kembali tersebut pertama kali mendapat dasar hukum
sebagaimana diatur dalam pasal 15 Undang-Undang Pokok Kekuasan Kehakiman
yang lama (Undang-Undang No. 19 Tahun 1964). Selanjutnya di dalam UndangUndang No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Mahkamah Agung, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
No. 19 Tahun 1964 tersebut, lembaga peninjauan kembali mendapat penegasan lagi
seperti dinyatakan dalam pasal 31 dan paasal 32. Kedua pasal ini menunjukkan bahwa
Mahkamah Agung diberi wewenang dan tugas untuk memeriksa permohonan
peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Menurut pasal 263 (1) KUHAP, yang berhak mengajukan peninjauan
kembali (P.K) adalah terpidana atau ahli warisnya, sehingga putusan yang dapat
dimintakan peninjauan kembali ialah putusan pemidanannya saja yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Didalam pasal tersebut juga secara tegas
dinyatakan bahwa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak
dapat dimintakan peninjauan kembali. Peninjauan kembali ini adalah merupakan
upaya hukum luar biasa (buiten gewone rechtsmiddel), dalam arti hanya dapat
dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(inkrachtvan gewijsde). Ada beberapa persamaan dan perbedaan apabila kita
bandingkan dengan alasan-alasan peninjauan kembali sebagai berikut :
49
50
Putusan bebas
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum
Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan (Pasal 266
ayat 2 sub b).
51
BAB XII
CLASS ACTION
Definisi Class Action PERMA No 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan ,
dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak ,
yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok
dan anggota kelompoknya.
Unsur-Unsur Class Action
52
putusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten, akses terhadap Keadilan
(Access to Justice), mendorong Bersikap Hati-Hati (Behaviour Modification) dan
merubah sikap pelaku pelanggaran.
Persyaratan mengajukan Class Action
1. jumlah anggota kelompok yang besar (Numerousity) - Jumlah anggota
kelompok (class members) harus sedemikan besar sehingga tidaklah
efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-diri
2.
(individual).
adanya kesamaan fakta dan dasar hukum (Commonality) Terdapat
kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of
law) antara pihak yang mewakilili (class representative) dan pihak
yang diwakili (class members). Wakil Kelompok ditubtut untuk
menjelaskan adanya kesamaan ini. Namun bukan berarti tidak
diperkenankan adanya perbedaan, hal ini masih dapat diterima
54
perikehidupan masyarakat.
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 46 ayat 1
huruf b berbunyi : Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan
yang sama
UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi Pasal 38 ayat 1
Masyarakat yang dirugikan akibat pekerjaan konstruksi berhak
mengajukan gugatan ke pengadilan secara :
o orang perorangan
o Kelompok orang dengan pemberi kuasa
o Kelompok orang dengan tidak dengan kuasa melalui gugatan
perwakilan 4.UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal
71 ayat 1 berbunyi Masyarakat berhak mengajukan gugatan
perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak
hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan
masyarakat
Pengajuan gugatan
Sebelum proses pemeriksaan perkara
Saat proses pemeriksaan perkara
Putusan Hakim
Distribusi kerugian
Pengajuan surat gugatan Class Action Selain harus memenuhi persyaratanpersyaratan formal surat gugatan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata yang
berlaku seperti mencantumkan identitas dari pada para pihak, dalil-dalil konkrit
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada
tuntutan (fundamentum petendi) dan tuntutan. Surat gugatan perwakilan kelompok
(class action ) harus memuat hal-hal sebagai berikut:
55
terperinci
Tuntutan atau petitum tentang Ganti Rugi harus dikemukaakn secra
jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara
pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok.
oleh Tergugat)
Duplik(jawaban Tergugat atas tanggapan penggugat dalam replik)
Pembuktian Untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang apa
yang telah didalilkan oleh para pihak, maka kedua belah pihak
BAB XIII
PENGADILAN NIAGA
Pengaturan tentang kekhususan hukum acara Pengadilan Niaga sampai saat ini
belum dilakukan secara tegas dan khusus. Hukum acara Pengadilan Niaga yang ada
saat ini terpisah-pisah sesuai dengan obyek sengketa yang diajukan. Sampai saat ini,
ada dua masalah dan dua UU yang mengatur tentang penunjukan Pengadilan Niaga
sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu UU tentang Kepailitan dan UU tentang
HaKI. Hukum acara yang dipakai Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan pada
dasarnya tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. BerbedadenganHukum
AcaraPerdataBiasa,acara perdata di muka Pengadilan Niaga berlaku dengan tulisan
atau surat (schiftelijke procedure), berlainan dengan acara yang berlaku di Pengadilan
Negeri yang memungkinkan acara lisan (modelinge procedure). Acara lisan berarti
bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tanya jawab dengan lisan
di muka Hakim. Salah satu atau kedua belah pihak diperbolehkan juga
57
mengajukan surat, bahkan dalam Pasal 121 ayat (2) HIR memberikan kesempatan
kepada tergugat untuk menjawab dengan tulisan. Acara dengan surat berarti bahwa
pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah
pihak mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan.6
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan seorang ahli
hukum. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan tersebut adalah bahwa di
dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan pengetahuan tentang hukum dan
kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang bersengketa dibantu oleh seorang atau
beberapa ahli yang memiliki kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan
dengan layak dan wajar. Hukum acara dalam proses kepailitan berpangkal pada
pendirian bahwa hakim pada intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya
peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang dijalankan oleh
kedua belah pihak. Acara demikian adalah model liberal-individualistis.7
Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat,
hal ini dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan waktu proses
kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga
antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhan
atau pembuktian secara sumir. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila
terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa pernyataan untuk dinyatakan
pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi syarat untuk dapat dipailitkan yaitu,
adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, adanya kreditor yang lebih
dari satu serta adanya fakta bahwa debitor atau termohon pailit telah tidak membayar
utangnya. Sifat pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai
alasan untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat
menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu
perkaradikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit,
maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan
Niaga,melainkan Pengadilan Perdata.
pemeriksaan
yang
dibatasi
waktunya.
Undang-Undang
Kepailitan
menentukan batas waktu pemeriksaan serta tenggang waktu yang pasti tentang hari
putusan pailit harus diucapkan. Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 menentukan bahwa Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan
pailit didaftarkan.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat
dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya
hukum. Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk melaksanakan segala
tugas dan kewenangannnya untuk mengurus dan atau membereskan harta pailit
terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut
di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi,
semua kegiatan pengrurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan
terhitung sejak putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap
dinyatakan sah oleh undang-undang.8 Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai
Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998
memiliki kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap
penyelesaian perkara kepailitan. Dengan status hukum dan kewenangan (legal status
and power), Pengadilan Niaga memiliki kapasitas hukum (legal capacity) untuk
menyelesaikan
permohonan
pailit.
Yurisdiksi
substansif
eksklusif
tersebut
banding. Sepanjang menyangkut kreditor, yang dapat mengajukan kasasi bukan saja
kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, akan tetapi kasasi
dapat diajukan pihak lain yang tidak berperkara, termasuk pula kreditor lain yang
bukan pihak pada tingkat pertama, namun tidak puas terhadap putusan permohonan
pailit yang diputuskan.
60