Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebutuhan Mobilitas dan Imobilitas
1. Mobilitas
a. Pengertian
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk
bergerak secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya.
Aktivitas dan mobilitas didefinisikan sebagai suatu aksi energetik atau
keadaan

bergerak.

Semua

manusia

yang

normal

memerlukan

kemampuan untuk dapat bergerak. Kehilangan kemampuan bergerak


walaupun dalam waktu yang singkat memerlukan tindakan tertentu
yang tepat, baik oleh pasien maupun perawat (Pelapina, 2014).
Dalam keperawatan untuk menjaga keseimbangan pergerakan,
banyak aspek pergerakan yang perlu diketahui oleh perawat, antara lain:
gerakan setiap persendian, postur tubuh, latihan dan kemampuan
seseorang dalam melakukan suatu aktivitas.
b. Jenis Mobilitas
1) Mobilitas penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial
dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan
fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol
seluruh area seseorang.
2) Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk
bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara

bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik


pada area tubuhnya. Hal ini dapati/dijumpai pada kasus cedera atau
patah tulang dengan pemasangan traksi. Pasien paraplegia dapat
mengalami mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena
kehilangan kontrol motorik dan sensorik. Mobilitas sebagian ini
dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
a) Mobilitas sebagai temporer, merupakan kemampuan individu
untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh trauma yang reversible pada
sistem musculoskeletal, contohnya adalah adanya dislokasi
sendi dan tulang.
b) Mobilitas sebagai permanen, merupakan kemampuan individu
untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal
tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel,
contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena
cedera tulang belakang, polimielitis karena terganggunya sistem
saraf motorik dan sensorik.
c. Faktor yang Mempengaruhi Mobilitas
1) Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas
seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau
kebiasaan sehari-hari. Perokok berat akan cenderung mempunyai
pola pernapasan yang pendek. Anak-anak yang senang bermain akan
mengembangkan keterampilan aktivitas lebih cepat dibandingkan
anak-anak yang tidak senang bermain/kurang aktif.
2) Proses penyakit/cedera

Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena


dapat mempengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang
yang menderita fraktur femur akan mengalami keterbatasan
pergerakan dalam ektremitas bagian bawah. Cedera pada urat saraf
tulang belakang, pasien pasca-operasi atau yang mengalami nyeri
cenderung membatasi gerakan.
3) Proses penyakit dipengaruhi oleh budaya
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi oleh
kebudayaan. Contoh, orang yang memiliki budaya sering berjalan
jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat: sebaliknya pada
orang yang mengalami karena adat dan budaya tertentu dilarang
untuk beraktivitas misalnya selama 40 hari selama melahirkan tidak
boleh keluar rumah.
4) Tingkat energi
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang
dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang
cukup
5) Usia dan status perkembangan
Terdapat beberapa kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang
berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi
alat gerak sejalan dengan perkembangan usia. Misalnya orang pada
usia pertengahan cenderung mengalami penurunan aktivitas yang
berlanjut sampai usia tua (Pelapina, 2014).
d. Komponen yang Berkaitan dengan Mobilitas
1) Skeletal adalah rangka pendukung tubuh dan terdiri dari empat
tipe tulang: panjang, pendek, pipih dan ireguler (tidak beraturan).
Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ

vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan


dalam pembentukan sel darah merah.
2) Sendi adalah hubungan di antara tulang, diklasifikasikan menjadi:
(a) Sendi sinostotik mengikat tulang dengan tulang mendukung
kekuatan dan stabilitas. Tidak ada pergerakan pada tipe sendi
ini. Contoh: sakrum, pada sendi vertebra
(b) Sendi

kartilaginous/sinkondrodial,

memiliki

sedikit

pergerakan, tetapi elastis dan menggunakan kartilago untuk


menyatukan permukaannya. Sendi kartilago terdapat pada
tulang yang mengalami penekanan yang konstan, seperti
sendi, kostosternal antara sternum dan iga.
(c) Sendi fribrosa/sindesmodial, adalah sendi di mana kedua
permukaan tulang disatukan dengan ligamen atau membran.
Serat atau ligamennya fleksibel dan dapat diregangkan, dapat
bergerak dengan jumlah yang terbatas. Contoh: sepasang
tulang pada kaki bawah (tibia dan fibula)
(d) Sendi sinovial atau sendi yang sebenarnya adalah sendi yang
dapat digerakkan secara bebas di mana permukaan tulang
yang berdekatan dilapisi oleh kartilago artikular dan
dihubungkan oleh ligamen oleh membran sinovial. Contoh:
sendi putar seperti sendi pangkal paha (hip) dan sendi engsel
seperti sendi interfalang pada jari.

e. Sistem Tubuh yang Berperan dalam Mobilitas


1) Ligamen adalah ikatan jaringan fibrosa yang berwarna putih,
mengkilat, fleksibel mengikat sendi menjadi satu sama lain dan
menghubungkan tulang dan kartilago. Ligamen itu elastis dan
membantu fleksibilitas sendi dan memiliki fungsi protektif.
Misalnya, ligamen antara vertebra, ligamen non elastis, dan
ligamentum flavum mencegah kerusakan spinal kord (tulang
belakang) saat punggung bergerak.
2) Tendon adalah jaringan ikat fibrosa berwarna putih, mengkilat,
yang menghubungkan otot dengan tulang. Tendon itu kuat,
fleksibel dan tidak elastis, serta mempunyai panjang dan ketebalan
yang bervariasi, misalnya tendon akhiles/kalkaneus.
3) Kartilago adalah jaringan penghubung pendukung yang tidak
mempunyai vaskuler, terutama berada di sendi dan toraks, trakhea,
laring, hidung dan telinga. Bayi mempunyai sejumlah besar
kartilago temporer. Kartilago permanen tidak mengalami osifikasi
kecuali pada usia lanjut dan penyakit, seperti osteoarthritis.
4) Sistem saraf mengatur pergerakan dan postur tubuh. Area motorik
volunteer utama, berada di konteks serebral, yaitu di girus
prasentral atau jalur motorik.

10

5) Propriosepsi adalah sensasi yang dicapai melalui stimulasi dari


bagian tubuh tertentu dan aktifitas otot. Proprioseptor memonitor
aktifitas otot dan posisi tubuh secara berkesinambungan. Misalnya:
proprioseptor pada telapak kaki berkontribusi untuk memberi
postur yang benar ketika berdiri atau berjalan. Saat berdiri, ada
penekanan pada telapak kaki secara terus menerus. Proprioseptor
memonitor tekanan, melanjutkan informasi ini sampai memutuskan
untuk mengubah posisi.

f. Sistem Mobilitas Berdasarkan Umur


1) Bayi: sistem muskuloskeletal bayi bersifat fleksibel. Ekstremitas
lentur dan persendian memiliki ROM lengkap. Posturnya kaku
karena kepala dan tubuh bagian atas dibawa ke depan dan tidak
seimbang sehingga mudah terjatuh.
2) Balita dan anak sekolah: tulang-tulang panjang pada lengan dan
tungkai tumbuh. Otot, ligament dan tendon menjadi lebih kuat,
berakibat pada perkembangan postur dan peningkatan kekuatan
otot. Koordinasi yang lebih baik memungkinkan anak melakukan
tugas-tugas yang membutuhkan keterampilan motorik yang baik.
3) Remaja: remaja putri biasanya tumbuh dan berkembang lebih dulu
dibanding yang laki-laki. Perubahan pada perempuan, pinggul
membesar, lemak disimpan di lengan atas, paha, dan bokong.

11

Perubahan

laki-laki

pada

bentuk

biasanya

menghasilkan

pertumbuhan tulang panjang dan meningkatnya massa otot.


Tungkai menjadi lebih panjang dan pinggul menjadi lebih sempit.
Perkembangan otot meningkat di dada, lengan, bahu, dan tungkai
atas.
4) Dewasa: postur dan kesegarisan tubuh lebih baik. Perubahan
normal pada tubuh dan kesegarisan tubuh pada orang dewasa
terjadi terutama pada wanita hamil. Perubahan ini akibat dari
respon adaptif tubuh terhadap penambahan berat dan pertumbuhan
fetus. Pusat gravitasi berpindah kebagian depan. Wanita hamil
bersandar ke belakang dan agak berpunggung lengkung. Dia
biasanya mengeluh sakit punggung.
5) Lansia: kehilangan progresif pada massa tulang total terjadi pada
orangtua.

g. Kondisi Patologik Tubuh


1) Postur abnormal:
a) Tortikolis: kepala miring pada satu sisi, di mana adanya
kontraktur pada otot sternoklei domanstoid
b) Lordosis: kurva spinal lumbal yang terlalu cembung ke depan/
anterior

12

c) Kifosis: peningkatan kurva spinal torakal


d) Kipolordosis: kombinasi dari kifosis dan lordosis
e) Skolioasis: kurva spinal yang miring ke samping, tidak
samanya tinggi hip/pinggul dan bahu
f) Kiposkoliosis: tidak normalnya kurva spinal anteroposterior
dan lateral
g) Footdrop: plantar fleksi, ketidakmampuan menekuk kaki
karena kerusakan saraf peroneal
2) Gangguan perkembangan otot, seperti distropsi muskular, terjadi
karena gangguan yang disebabkan oleh degenerasi serat otot
skeletal.
3) Kerusakan sistem saraf pusat
4) Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal: kontusio, salah
urat, dan fraktur.

a.

2. Imobilitas
Pengertian
Imobilisasi merupakan gangguan imobilisasi fisik. Sebagai suatu
keadaan ketika individu mengalami atau beresiko mengalami
keterbatasan gerak fisik. Perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapat
mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring,
pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal

13

(misalnya: gips atau traksi rangka) pembatasan gerakan volunter atau


kehilangan fungsi motorik. (NANDA, 2005-2006).
Menurut Mubarak (2008) secara umum ada beberapa macam
keadaan imobilitas antara lain:
1) Imobilitas fisik: kondisi ketika seseorang mengalami keterbatasan
fisik yang disebabkan oleh faktor lingkungan maupun kondisi
orang tersebut.
2) Imobilitas intelektual: kondisi ini dapat disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya,
misalnya pada kasus kerusakan otak
3) Imobilitas emosional: kondisi ini bisa terjadi akibat proses
pembedahan atau kehilangan seseorang yang dicintai
4) Imobilitas sosial: kondisi ini bisa menyebabkan perubahan interaksi
b.

sosial yang sering terjadi akibat penyakit (Mubarak, 2008).


Resiko imobilisasi pada klien
Resiko imobilisasi pada klien dipengaruhi oleh pengaruh fisiologis
dan pengaruh psikososial.
1) Pengaruh Fisiologis
Apabila ada perubahan mobilisasi maka setiap sistem tubuh
beresiko mengalami gangguan. Tingkat keparahan tergantung pada
umur klien dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat
imobilisasi yang dialami. Misalnya: imobilisasi lansia dengan
penyakit kronik lebih cepat dari pada orang usia muda. Beberapa
perubahan yang diakibatkan antara lain:
a) Perubahan Metabolik
Imobilisasi mengganggu fungsi metabolik normal antara lain
laju metabolik (metabolisme karbohidrat, lemak dan protein),
ketidakseimbangan

cairan

dan

elektrolit

dan

gangguan

pencernaan. Keberadaan proses infeksius pada klien dengan


imobilisasi mengalami peningkatan BMR (Basal Metabilosme

14

Rate) diakibatkan karena demam atau penyembuhan luka.


Demam dan penyembuhan luka menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen.
b) Perubahan sistem respiratory
Klien pasca operasi dan imobilisasi berisiko tinggi mengalami
komplikasi paru-paru. Komplikasi paru yang paling umum
adalah atelektasis dan pneumonia hipstatik.
c) Perubahan sistem kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler juga dipengaruhi oleh imobilisasi ada tiga
perubahan utama yaitu:
(1) (Hipotensi Ortostatik)
Penurunan tekanan darah sistolik 25mmHg dan distolik 10
mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring atau duduk
keposisi berdiri. Pada klien imobilisasi terjadi penurunan
sirkulasi

volume

cairan,

pengumpulan

darah,

pada

ekstremitas bawah dan penurunan respons otonom. Faktorfaktor tersebut menyebabkan penurunan aliran balik vena,
diikuti oleh penurunan curah jantung yang terlihat pada
penurunan tekanan darah.
(2) Meningkatkan Beban Kerja Jantung
Peningkatan beban kerja jantung maka konsumsi oksigen
juga bertambah. Oleh karena itu jantung bekerja lebih keras
dan kurang efisien selama masa istirahat yang lama. Jika
imobilisasi meningkat maka curah jantung menurun,
penurunan efisiensi jantung yang lebih lanjut dan
peningkatan beban kerja.
(3) Pemebentukan Thrombus
Klien juga beresiko terjadi pembentukan trombus. Trombus
adalah

akumolasi

15

trombosit,

fibrin,

faktor-faktor

pembekuan darah dan elemen sel-sel darah yang menempel


pada dinding bagaian anterior vena atau arteri kadangkadang menutup lumen pembuluh darah. Ada tiga faktor
pembentukan trombosit:
(a) Hilangnya integritas

dinding

pembuluh

darah,

misalnya atherosklerosis
(b) Kelainan aliran darah misalnya, aliran darah vena yang
lambat akibat tirah baring dan imobilisasi
(c) Perubahan unsur-unsur darah misalnya, perubahan
dalam faktor pembekuan darah atau peningkatan
aktifitas trombosit.
d) Pengaruh Psikososial
Imobilisasi menyebabkan respons emosional, intelektual, sensori
dan sosiokultural. Perubahan status emosional biasa terjadi
bertahap. Bagaimana juga lansia lebih rentan terhadap
perubahan-perubahan

tersebut,

sehingga

perawat

harus

mengobservasi lebih dini. Perubahan emosional paling umum


adalah depresi, petubahan perilaku, perubahan siklus tidur
bangun dan ganguan dan koping.
c. Upaya mencegahkan terjadinya masalah akibat kurangnya mobilisasi
1)Perbaikan status gisi
2)Memperbaiki kemampuan monilisasi
3)Melaksanakan latihan pasif dan aktif
4)Mempertahankan posisi tubuh dengan benar sesuai dengan bady
aligmen (struktur tubuh).
5)Melakukan perubahan posisi tubuh secara periodik (mobilisasi
untuk menghindari terjadinya dekubitus/pressure area akibat
tekanan yang menetap pada bagian tubuh.
d. Macam macam posisi klien di tempat tidur
1) Posisi fowler (setengah duduk)
2) Posisi litotomi
3) Posisi dorsal recumbent

16

4)
5)
6)
7)
8)

Posisi supinasi (terlentang)


Posisi pronasi (tengkurap)
Posisi lateral (miring)
Posisi sim
Posisi trendelenbeg (kepala lebih rendah dari kaki)

B. Konsep Dasar Eliminasi


1. Pengertian
Eliminasi buang air besar (BAB) adalah proses pembuangan atau
pengeluaran sisa metabolisme berupa feses dan fetus yang berasal dari
saluran pencernaan melalui anus. Eliminasi buang air besar adalah
pengeluaran zat sampah dari dalam tubuh, biasanya istilah ini dipakai
untuk urine (BAK/buang air kecil) dan feses (Dermawan, 2012).
2. Proses Pencernaan
Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung oleh kerja
ptyalin, asam klorida dan pepsin terhadap makanan yang masuk. Proses
dilanjutkan di dalam duodenum, terutama oleh kerja enzimenzim
pankreas yang mengidrolisis karbohidrat, lemak dan protein menjadi zatzat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas
membantu menetralkan asam dan memberikan pH optimal untuk kerja
enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu proses pencernaan
dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan permukaan yang
lebih luas bagi kerja limpase pankreas.
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam
getah usus (sukus enterikus). Banyak di antara enzim-enzim ini terdapat
pada brush border vili dan mencernakan zat-zat yang dimakan dengan
sekret pancreas, hepatobiliar dan sekresi usus dan pergerakan peristaltik
mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lainnya dengan kecepatan
yang sesuai untuk absorbs optimal dan suplai katinu isi lambung. Absorbsi

17

adalah pemidahan hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan protein


melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh
sel-sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin yang diabsorbsi.
Pergerakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan absorbs
bahan-bahan makan dapat berlangsung secara maksimal. Pergerakan usus
halus terdiri dari:
a. Pergerakan mencampur (mixing) atau pergerakan segmentasi yang
mencampur makanan dengan enzimenzim pencernaan agar mudah
untuk dicerna dan diabsorbsi
b. Pergerakan polpusif atau gerakan peristaltik yang mendorong makanan
ke arah usus besar
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus
halus yang terdiri dari 2 lapisan yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan
otot sirkuler. Otot yang terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk
mencampur makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami
distensi oleh makanan, dinding usus halus akan berkontraksi secara lokal.
Tiap kontraksi ini melibatkan segmen usus halus sekitar 1-4 cm. Pada saat
satu segmen usus halus berkontraksi mengalami relaksasi, segmen lainnya
segera akan memulai kontraksi, demikian seterusnya. Bila usus halus
berelaksasi, makanan akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini
berulang terus sehingga makanan akan bercampur dengan enzim
pencernaan dan mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan
selanjutnya terjadi absorbsi.
Saluran gastrointestinal meliputi usus halus dan usus besar. Usus
halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum yang panjangnya kira-kira
6 meter dengan diameter 2,5 cm usus besar terdiri dari kolon dan rectum
yang kemudian bermuara pada anus. Panjang usus besar 1,5 meter dengan

18

diameter kira-kira 6 cm usus menerima makanan yang sudah berbentuk


chime (setengah padat) dari lambung untuk mengabsorbsi air, natrium dan
elektrolit. Usus sendiri mensekresi mukus, potassium bikarbonat dan
enzim.
Chyme bergerak karena adanya peristaltick usus dan akan
berkumpul menjadi feses di usus besar. Dari makan sampai mencapai
rektum normalnya diperlukan waktu 12 jam. Gerakan kolon dibagi
menjadi 3 bagian yaitu: pertama haustral suffine adalah gerakan
mencampur chyme untuk membantu mengabsorbsi air. Kedua konsentrasi
haustral yaitu gerakan untuk mendorong materi air dan seni pada
sepanjang kolon, ketiga gerakan peristaltik yaitu gerakan maju ke anus
yang berupa gelombang.
Eliminasi (buang air besar): perubahan tanda-tanda dalam eliminasi
biasanya ditandai dengan masalah dari lambung. Kegunaan buang air besar
pada beberapa faktor yaitu pola eliminasi dan adaptasi individu mengatur
masalah eliminasi klien. Perawat harus mengerti eliminasi yang normal.
Masalah di lambung dibagian lubang membran organ otot muskulus.
Cairan lambung diserap dalam volume yang tinggi. Kuncinya membuat
cairan dan gas seimbang didalam fungsi sistem lambung. Banyak kondisi
yang mengalami dalam penyerapan sekresi dilambung disebabkan oleh zat
cairan dan gas-gas seimbang (Dermawan dan Rahayuningsih, 2012).
3. Proses Defikasi
Sebagian rectum tidak mengandung feses. Hal ini sebagian akibat
kenyataan bahwa terdapat spingter fungsional lemah sekitar 20 cm dari
anus pada perbatasan antara sigmoid dan rektum akan tetapi, bila massa
movement mendorong feses masuk normalnya dimulai defikasi.

19

Bila serabut saraf sensori dalam rektum dirangsang regangan


isyarat dihantarkan kebagian sakral medulla spinalis dan kemudian secara
reflex kembali ke kolon desenden, sigmoid, rektum dan anus melalui
serabut saraf parasimpatis dalam nervus exigentes, isyarat parasimpatis ini
memulai gelombang peristaltik yang kuat yang kadang-kadang bermanfaat
dalam pengosongan usus besar dari fleksura crenalis ke anus. Isyarat
aturan yang masuk medulla spinalis juga memulai refleksi yang lain.
Seperti bermanfaat dalam penutupan glottis dan kontraksi otot-otot
abdomen untuk mendorong massa feses dalam kolon ke bawah sementara
pada saat yang sama menyebabkan lantai pelvis terdorong ke bawah dan
ke atas anus untuk mengeluarkan feses ke bawah.
Akan tetapi di samping refleks defikasi, efek lain dibutuhkan
sebelum terjadi defikasi yang sebenarnya, kecuali pada bayi dan orang
dengan gangguan mental, kesadaran kemudian mengambil alih pengaturan
volunter sfingter ani eksternus dan menghambat kontraksinya sebagai
memungkinkan defikasi atau menyebabkan kontraksi lebih lanjut bila
keadaan normalnya tidak mengijinkan untuk melakukan defikasi,
menghilang setelah 5 menit dan biasanya tidak akan terjadi sampai
beberapa jam setelahnya
Bila keadaan memungkinkan bagi orang untuk defikasi refleks
kadang-kadang ditimbulkan dengan melakukan pernafasan dalam waktu
untuk menggerakan diafragma ke bawah kemudian mengerutkan otot-otot
abdomen untuk meningkatkan tekanan abdomen. Jadi mendorong masa
feses dalam rectum untuk meninggalkan reflek yang baru.
Refleks-refleks yang ditimbulkan dengan melakukan dengan cara
ini tidak pernah seefektif seperti yang timbul secara alamiah untuk alasan

20

ini orang yang menghambat refleks alamiah sendiri, terlalu sering


mungkin mengalami konstipasi yang berat
Dalam proses defekasi terjadi 2 macam refleks yaitu:
a. Refleks defekasi instrinsik
Refleks ini berawal dari feses yang masuk ke rectum sehingga terjadi
distensi rectum, yang kemudian menyebabkan rangsangan terjadi pada
fleksus mesentrikus dan terjadilah gerakan peristaltik. Setelah feses tiba
di anus secara sistematis sfingter interna relaksasi maka terjadi defekasi
b. Refleks defekasi parasimpatis
Feses yang masuk ke rektum akan merangsang saraf rektum yang
kemudian diteruskan ke spinal card. Dari spinal card kemudian
dikembalikan ke kolon desenden, sigmoid dan rektum yang
menyebabkan intensifnya peristaltik, relaksasi spinter internal, maka
terjdilah defekasi (Dermawan, 2012).
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Defekasi (Dermawan, 2012)
a. Usia
Pada usia bayi control defekasi belum berkembang, sedangkan pada
usia manula control defekasi menurun
b. Diet
Makanan berserat akan mempercepat produktif feses banyaknya
makanan yang masuk ke dalam tubuh juga mempengarui proses
defekasi
c. Intake cairan
Intake cairan yang berkurang akan menyebabkan feses menjadi lebih
keras, disebabkan karena absorbsi cairan meningkat
d. Aktifitas
Tonus otot abdomen pelvis dan diagfragma akan sangat membantu
proses defekasi. Gerakan peristaltik akan memudahan bahan feses
bergerak sepanjang kolon
e. Fisiologis
Keadaan cemas, takut dan marah akan meningkatkan peristaltik,
sehingga menyebabkan diare

21

f. Pengobatan
Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan diare dan konstipasi
g. Gaya hidup
Kebiasaan untuk melatih pola buang air besar sejak kecil secara
teratur, fasilitas buang air besar dan kebiasaan buang air besar
h. Prosedur diagnostic
Klien yang akan dilakukan prosedur diagnostik biasanya dipuaskan
atau dilakukan klisma dahulu agar tidak dapat buang air besar kecuali
setelah makan
i. Penyakit
Beberapa penyakit pencernaan dapat menimbulkan diare dan
konstipasi
j. Anastesi dan pembedahan
Anastesi umum dapat membloking inpuls parasimpati, sehingga
kadang-kadang dapat menyebabkan cleus usus. Kondisi ini dapat
berlangsung 24-28 jam.
k. Nyeri
Pengalaman nyeri waktu buang air besar seperti adanya hemoroid
fraktur aspubis, episiotomy akan mengurangi keinginan untuk buang
air besar
l. Kerusakan sensori dan motorik
Kerusakan spinal cord dan injuri kepala akan menimbulkan penurunan
stimulus sensori untuk defekasi.
5. Masalah-masalah umum pada Eliminasi Bowel (buang air besar)
a. Konstipasi adalah gangguan eliminasi yang diakibatkan adanya feses
yang kering dan keras melalui usus besar. Biasanya disebabkan oleh
pola defekasi yang tidak teratur penggunaan laktasi yang lama, stres
psikologis, obat-obatan, kurang aktifitas, usia
b. Fecal imfaktion adalah masa fase yang keras dilipatan rectum yang
diakibatkan

oleh

retensi

dan

akumulasi

material

feses

yang

berkepanjangan. Biasanya disebabkan oleh konstipasi, intake cairan

22

yang kurang, kurang aktifitas, diet rendah serat dan kelemahan tonus
otot
c. Diare adalah keluarnya feses cairan dan meningkatkan frekuensi buang
air besar akibat cepatnya chyme melewati usus besar, sehingga usus
besar tidak mempunyai waktu yang cukup untuk menyerap air. Diare
dapat menyebabkan karena stres fisik, obat-obatan, alergi, penyakit
kolon dari nutrisi intestinal
d. Inkonstinensia alvi adalah

hilangnya

kemampuan

otot

untuk

mengontrol pengeluaran feses dan gas yang melalui spinter anus akibat
kerusakan funasi spinter atau persyaratan di daerah anus. Penyebabnya
karena penyakit-penyakit neuromuscular, trauma spinal cord, tumor
spinter anus eksterna
e. Kembung ada flatus yang berlebihan di daerah instestinal sehingga
menyebabkan distensi intestinal, dapat di sebabkan karena konstipasi,
penggunaan obat-obatan (barbiturate, penurunan ansietas, penurunan
aktivitas intestinal), mengonsumsi makanan yang banyak mengandung
gas dapat berefek anastesi
f. Hemoroid
Adalah pelebaran vena di daerah anus sebagai akibat peningkatan
tekanan di daerah tersebut. Penyebabnya adalah karena konstipasi
kronis, peregangan maksimum saat defekasi kehamilan daan obesitas.
C. Konsep Dasar Konstipasi
1. Definisi
Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan di mana
seseorang mengalami pengerasan feses atau tinja yang berlebihan
sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan dapat menyebabkan
kesakitan yang hebat pada penderitanya. Konstipasi sendiri sebenarnya
bukanlah suatu penyakit, tetapi lebih tepat disebut gejala yang dapat

23

menandai adanya suatu penyakit atau masalah dalam tubuh (Dipiro et al.
2008).
2. Etiologi
Konstipasi umumnya disebabkan karena rendahnya asupan serat atau
dari penggunaan obat-obatan seperti opiat yang dapat menginduksi
terjadinya konstipasi. Pada orang tua konstipasi yang sering terjadi dapat
disebabkan karena hasil dari diet yang tidak tepat (rendah serat dan
cairan), kekuatan otot pada dinding abdomen berkurang, serta karena
berkurangnya aktivitas fisik. Namun frekuensi buang air besar tidak
menurun dengan penuaan normal (Dipiro et al., 2008). Daftar penyebab
umum konstipasi pada kondisi penyakit tertentu ditampilkan dalam tabel
berikut ini:
Tabel 1 Daftar Penyebab Umum Konstipasi
Kondisi
Gangguan GI

Gangguan
metabolisme
dan endokrin

Etiologi yang Berpotensi Menyebabkan Konstipasi


Irritable Bowel Syndrome (IBS)
Diverticulitis
Penyakit saluran pencernaan atas
Penyakit anal dan rektal
Wasir
Ulcerative proctitis
Tumor
Hernia
Volvulus usus
Sifilis
Tuberkulosis
Infeksi cacing
Diabetes melitus dengan neuropati
Hipotiroidisme
Panhypopituitarism
Pheochromocytoma
Hiperkalsemia
Kelebihan glukagon enterik

24

Kehamilan

Penyebab
Neurogenik

Penyebab
psikogenik
Induksi Obat

Motilitas usus tertekan


Peningkatan penyerapan cairan dari usus
Penurunan aktivitas fisik
Perubahan pola makan
Asupan cairan yang tidak memadai
Asupan serat rendah
Penggunaan garam besi
Penyakit SSP
Trauma otak (terutama medula)
Cedera tulang belakang
Tumor SSP
Kecelakaan serebrovaskular
Mengabaikan keiginan untuk buang air besar
Penyakit kejiwaan
Analgesik (inhibitor sintesis prostaglandin, opiat)
Antikolinergik (antihistamin, agen antiparkinsonian,
Phenothiazines, Tricyclic antidepressant)
Antasida yang mengandung CaCO3 atau Al(OH)3
Barium sulfat
Calcium channel blockers
Clonidine
Diuretik (tidak hemat kalium)
NSAID

3. Manifestasi Klinis
a. Pasien mengeluh tentang rasa tidak nyaman dan kembung pada perut,
kelelahan, sakit kepala, mual dan muntah, pergerakan usus yang
hilang, feses dengan ukuran kecil, perasaan penuh, kesulitan dan sakit
saat mengeluarkan feses (Dipiro et al. 2008)
b. Implikasi dari konstipasi dapat bervariasi mulai dari rasa tidak
nyaman sampai gejala kanker usus besar atau penyakit serius lainnya.
c. Konstipasi menunjukan gejala yang parah apabila ditandai dengan
gejala berlangsung lebih dari 3 minggu, terdapat darah dalam tinja,
penurunan berat badan, demam, anoreksia, mual dan muntah atau
setiap kali terjadi perubahan kebiasaan buang air besar yang biasa
terjadi secara signifikan.

25

4. Terapi Nonfarmakologi
Modifikasi gaya hidup perlu dilakukan sebelum penggunaan laksatif
pada konstipasi. Konstipasi biasanya berhubungan dengan rendahnya
asupan serap, kurangnya cairan dan olahraga. Peningkatan konsumsi serat
seperti kacang-kacangan, biji-bijian, sereal, buah-buahan segar dan
sayuran seperti asparagus, kol dan wortel sebanyak 20-35 gram/hari dan
menghindari konsumsi makanan yang rendah serat seperti keju dan es
krim. Asupan cairan yang cukup juga penting (6-8 gelas perhari). Berjalan
atau latihan aerobik lain dapat membantu melatih otot di daerah
abdominal yang mendorong propulsi dalam usus. Selain itu, pasien
sebaiknya membiasakan untuk tidak menunda keinginan untuk buang air
besar.
D. Konsep Dasar Stroke
1. Definisi Stroke
Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa
kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke
otak. Secara sederhana stroke akut didefinisikan sebagi penyakit otak
akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan (stroke iskemik)
atau perdarahan (stroke hemoragik)
Tahun 1998 stroke merupakan penyebab utama kecacatan dan
penyebab kematian nomor dua di dunia dengan lebih dari 5,1 juta angka
kematian. Perbandingan angka kematian itu di negara berkembang dengan
Negara maju adalah lima banding satu. Juga tercatat lebih dari 15 juta
orang mendapat stroke nonfatal.

26

Pada tahun 2020 diperkirakan 7,6 juta orang akan meninggal


karena stroke. Peningkatan tertinggi akan terjadi dinegara berkembang.
Terutama di wilayah asia pasifik. Di Indonesia sendiri diperkirakan terjadi
sekitar 800-1.000 kasus stroke setiap tahunnya.
Menurut berbagai literature, insiden stroke perdarahan antara 15%
- 30% dan stroke iskemik antara 70%-85%. Akan tetapi untuk negaranegara berkembang atau asia kejadian stroke perdarahan sekitar 30% dan
iskemik 70%. Stroke iskemik disebabkan antara lain oleh trombosit otak
(penebalan dinding arteri) 60%, emboli 5% (sumbatan mendadak) dan
lain-lain 35% Di Amerika diperkirakan setiap tahunnya masih terjadi
sekitar 500.000 pasien stroke baru dan sekitar 150.000 yang meninggal
dikarenakan oleh stroke
2. Penggolongan Stroke
Secara garis bersarnya stroke dibagi dalam dua kelompok besar,
yaitu stroke perdarahan (hemoragik) dan stroke non perdarahan atau stroke
iskemik atau infark karena sumbatan arteri otak.
a. Stroke perdarahan dibagi lagi sebagi berikut.
1) Perdarahan subarachnoid (PSA). Darah yang masuk ke selaput
otak.
2) Perdarahan intraserebral (PIS); intraparenkim atau intraventrikel.
Darah yang masuk ke dalam struktur atau jaringan otak.
b. Stroke nonperdarahan (iskemik/infark)
Penggolongan berdasarkan perjalanan klinisnya dikelompokan sebagai
berikut:

27

1) Transient Ischemic Attack (TIA): serangan stroke sementara yang


berlangsung kurang dari 24 jam.
2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND): gejala neurologis
akan hilang antara > 24 jam sampai dengan 21 hari.
3) Progressing stroke atau stroke in evolusion: kelainan atau deficit
neurologis berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai
menjadi berat.
4) Stroke komplit atau completed stroke: kelainan neurologis sudah
lengkap menetap atau tidak berkembang lagi (Junaidi, 2010).
3. Faktor Risiko Stroke
Faktor risiko adalah suatu faktor atau kondisi tertentu yang membuat
seseorang rentan terhadap serangan stroke. Faktor resiko stroke umumnya
dibagi menjadi 2 kelompok besar sebagi berikut.
a. Faktor risiko internal, yang tidak dapat dikontrol/diubah/ dimodifikasi:
a) Umur: makin tua kejadian stroke makin tinggi
b) Ras/suku bangsa: bangsa afrika/Negro, jepang dan Cina lebih
sering terkena stroke. Orang yang berwatak keras terbiasa cepat
dan terburu-buru, seperti orang Sumatra, Sulawesi dan Madura
rentan terserang stroke.
c) Jenis kelamin: laki-laki lebih beresiko dibanding wanita.
d) Riwayat keluarga (orang tua, saudara) yang pernah mengalami
stroke pada usia muda maka yang bersangkutan beresiko tinggi
terkena stroke.
b. Faktor risiko eksternal, yang dapat dokontrol/diubah/dimodifikasi:
a) Hipertensi
b) Diabetes mellitus
c) Transient ischemic attack (TIA)= serangan lumpuh sementara.
d) Fibrilasi atrial jantung
e) Pascastoke. Mereka yang pernah terserang stroke.
f) Abnormalitas lemak: lipoprotein
g) Fibrinogen tinggi dan perubahan hemoreologikal lain.
h) Perokok
i) Peminum alkohol
28

j) Hiperhomocysteinemia
k) Infeksi: virus dan bakteri.
l) Obat-obatan, misalnya obat kontrasepsi oral/ pill KB
m) Obesitas/kegemukan
n) Kurang aktifitas fisik
o) Hiperkolesterolemia
p) Stres fisik dan mental.
c. Faktor risiko general baru:
a) Defisiensi atau kurangnya hormon wanita (esterogen)
b) Plasma fibrinogen
c) Factor VII pembekuan darah
d) Tissue plasminogen activator (t-PA)
e) Plasminogen activator inhibitor type 1
f) Lipoprotein (a)
g) C-reactive protein (CRP), yang terjadi saat inflamasi/infeksi
h) Chlamydia pneumonia (infeksi)
i) Virus herpes/sitomegalovirus, helicobacter pylori.
j) Dan setiap infeksi yang meningkatkan heat shock protein (HSP)
yang merupakan pertanda adanya proses auto-immun
k) Genetic atau bawaan (ACE polymorphismis, hunan leucocyte
antigen/HLA-DR. class II genotype) sebagai genetic markers pada
aterosklerosis (Junaidi, 2010).
Faktor internal atau faktor yang tidak dapat dikontrol atau diubah,
seperti faktor keturunan, umur, jemis kelamin dan etnis/ras. Faktor internal
reaksi bagi setiap orang terhadap penyakit atau suatu kejadian responnya
berbeda-beda sesuai bawaannya. Ada yang menghadapi suatu kejadian
dengan emosi yang biasa-biasa saja tetapi ada pula yang bereaksi dengan
sangat marah atau geramnya sehingga melakukan tindakan yang tidak
terduga (Junaidi, 2010).
Faktor keturunan adalah suatu faktor yang cenderung akan dialami
sesorang bila dalam keluarganya mengalami penyakit tersebut. Misalnya
untuk penyakit hipertensi, bila kedua orang tuannya menderita hipertensi
maka anaknya kemungkinan menderita penyakit yang sama 45%. Apabila

29

salah satu orang tuanya menderita hipertensi maka kemungkinan anaknya


terkena penyakit hipertensi adalah sebesar 28%. Peranan faktor keturunan
ini jika ada, biasanya sudah menunjukan tanda dan gejalanya sejak orang
tersebut masih bayi atau masa anak-anak. Misalnya ada bayi atau anak
sudah mengidap kolesterol tinggi, hipertensi dan kadar gula darah tinggi.
Bukti adanya faktor keturuan atau gen, misalnya si A makan daging
berlemak sekonyong-konyong kolesterolnya menjadi tinggi, lalu memicu
terjadinya aterosklerosis dan akhirnya terserang penyakit kronis.
Sedangkan si B tiap hari melahap daging berlemak dan tidak ada masalah
dengan kadar kolestrerol darahnya. Begitu pula dengan ketahanan
seseorang dalam menghadapi keadaan stres, ada yang mengalami tekanan
hidup yang berat tapi tidak ada masalah yang serius baginya. Namun ada
juga orang yang hanya mengalami tekanan hidup yang tidak seberapa berat
tetapi pusing bahkan mungkin mau bunuh diri karena stress berat. Jadi
karena faktor gen/turunan orang memiliki daya tahan yang berbeda-beda,
daya tahan mental tiap-tiap orang juga berbeda (Junaidi, 2010).
Faktor eksternal merupakan suatu faktor risiko yang terjadi karena
ulah manusianya. Faktor ini dapat diubah atau dikontrol melalui gaya
hidup sehat.

4. Derajat Kecacatan Stroke


Untuk menilai tingkat kecacatan stroke pascastroke dapat digunakan
beberapa system, di antaranya dengan menggunakan skala rankin yang
dimodifikasi (the modified rankin scale), dengan skala sebagai berikut.

30

a. Kecacatan derajat 0: tidak ada gangguan fungsi.


b. Kecacatan derajat 1: hampir tidak ada gangguan fungsi aktifitas
sehari-hari.
c. Kecacatan derajat 2 (ringan): pasien tidak mampu melakukan
beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi tetap dapat melakukan
sendiri tanpa bantuan orang lain.
d. Kecacatan derajat 3 (sedang): pasien memerlukan bantuan orang lain
tetapi masih mampu berjalan tanpa bantuan orang lain, walaupun
mungkin menggunakan tongkat.
e. Kecacatan derajat 4 (sedang-berat):
1) Pasien tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain.
2) Perlu bantuan orang lain untuk menyelesaikan sebagian aktifitas
diri seperti mandi, pergi ke toilet, merias diri dan lain-lain.
f. Kecacatan derajat 5 (berat): pasien terpaksa berbaring di tempat tidur
dan buang air besar dan kecil tidak terasa (inkontinensia), selalu
memerlukan perawatan dan perhatian.
Berbagai kecacatan yang mungkin diderita penderita setelah stroke
sebagi berikut:
a. Tidak mampu berbicara atau kemampuan berkomonikasi menjadi
berkurang.
b. Tidak mampu berjalan secara mandiri, perlu bantuan orang lain atau
c.
d.
e.
f.

alat.
Gangguan buang air besar, ngompol
Gangguan makan.
Ketidakmampuan berpindah posisi, misalnya dari tempat tidur ke kursi.
perlu bantuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari, misalnya
berpakaian, mandi, mencuci dan lain-lain.
Apabila masih memungkinkan dan penderita masih mampu untuk

meningkatkan kemampuannya untuk dapat hidup mandiri maka penderita


diajar untuk dapat duduk, meningkatkan rasa keseimbangan tubuhnya, lalu
diajar berdiri dan berjalan. Tahapan belajar berjalan adalah mula-mula
31

dipapah, kemudian dengan menggunakan tongkat dan akhirnya bila tingkat


kemampuan bertambah diajar jalan sendiri. Selain itu penderita dilatih
dalam berbagai hal bila perlu difisioterapi. Untuk meningkatkan
kemampuan berkomunikasi, penderita dapat dibantu oleh ahli terapi bicara.
Bila memungkinkan keadaan dan situasi rumah disesuaikan dengan kondisi
penderita, misalnya kamar mandi,WC, dapur, supaya penderita lebih mudah
berdikari untuk mandi, buang air besar. Bila perlu di tempat tidur disediakan
tali yang dapat membantu penderita duduk dari sikap berbaring. Hal-hal
kecil ini banyak sekali menolong dan bermanfaat bagi penderita (Junaidi,
2010).
5. Perubahan pada Pasien Stroke
a. Perubahan Pikiran
Berupa hilangnya semangat, ingatan, konsentrasi dan fungsi kecerdasan.
b. Hilang Rasa
Gangguan indra perasa sehingga tidak dapat merasakan panas, dingin,
sakit pada stu sisi tubuh, termasuk kehilangan sensori yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa.

c. Perubahan Kepribadian
Umumnya terjadi kejengkelan karena hanya berbaring ditempat tidur
sehingga dapat mengalami ketidaktenangan, halusinasi dan atau delusi.
Rangsangan yang berlebihan karena bising dan banyak pengunjung.
Orang yang baru mengalami stroke memiliki daya memperhatikan amat
singkat. Dapat juga ia menjadi galak dan umumnya sulit hidup bersama
mereka atau memperlihatkan sifat kekanak-kanankan.
32

d. Perubahan Emosi
Gangguan dapat berupa gampang tertawa atau menangis silih berganti
dengan sebab yang tidak jelas. Para kerabat atau keluarga tidak perlu
menanyakan ke pasien kenapa ia tertawa atau menangis, abaikan saja.
e. Epilepsy
Epilepsy atau kejang pascastroke dapat terjadi yang disebabkan
perubahan arus listrik otak akibat luka yang terserang stroke. Keadaan
ini terjadi terutama pada stroke perdarahan intraserebral (Junaidi, 2010).
6. Gejala Sisa yang dapat dialami Penderita Stroke
a. Penurunan kemampuan otak gerak dan tangan atau kelumpuhan otot
parsial.
b. Gangguan ingatan dan proses berpikir.
c. Gangguan bicara, bicaranya pelo, relo, tau cadel. Tidak mampu bicara
atau memahami bahasa lisa (afasia, disfasia), tidak mampu
mengeluarkan suara walaupun ia mengerti bahasa lisan (disastria).
Kesulitan memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan atau ditulis.
Kesulitan

memahami

tulisan,

mengeluarkan

kata-kata

tanpa

makna/tidak dimengerti otang lain. Salah memahami lelucon.


d. Gangguan menelan (disfagia).
e. Gangguan penglihatan. Gangguan melihat pada satu sisi/buta sebelah
(hemianopsia) atau melihat ganda.
f. Gangguan koordinasi gerakan tubuh saat duduk, berdiri, atau berjalan
(ataksia).
g. Gangguan orientasi posisi tubuh. Kekeliruan dalam mengartikan mana
h.
i.
j.
k.

sisi kiri dan manan sisi kanan.


Terjadi perubahan emosi dan mood.
Nyeri daerah bahu.
Sakit kepala
Infeksi paru-paru (misalnya pneumonia) dan infeksi saluran kemih.

33

l. Masalah dalam pengendalaian berkemih/buang air besar, sembelit


(konstipasi).
m. Cacat sendi dan kekacauan otot dan sendi (kontraktur). Pasien sulit
atau tidak mampu menggerakan salah satu bagian tubuhnya.
n. Patah tulang. Akibat gangguan koordinasi/keseimbangan tubuh
sehingga terjatuh dan terjadi patah tulang (Junaidi, 2010).
7. Pengaturan Posisi
Pengaturan posisi yang dapat dilakukan pada pasien ketika
mendapatkan perawatan, dengan tujuan untuk kenyamanan pasien,
pemudahan perawatan dan pemberian obat, menghindari terjadinya
pressure area akibat tekanan yang menetap pada bagian tubuh tertentu.
Pengaturan posisi antara lain adalah:
a. Posisi Fowler
Posisi setengah duduk atau duduk, bagian kepala tempat tidur lebih
tinggi atau dinaikkan. Untuk fowler (45-90) dan semifowler (1545). Dilakukan untuk mempertahankan kenyamanan, memfasilitasi
fungsi pernapasan dan untuk pasien pasca bedah.
Cara Pelaksanaan:
1) Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan
2) Dudukkan pasien
3) Berikan sandaran pada tempat tidur pasien atau atur tempat tidur,
untuk posisi untuk fowler
4) (90) dan Semi fowler (30-45).
5) Anjurkan pasien untuk tetap berbaring setengah duduk.
b. Posisi Sim
Posisi miring ke kanan atau ke kiri. Dilakukan untuk memberi
kenyamanan dan untuk mempermudah tindakan pemeriksaan rektum
atau pemberian huknah atau obat-obatan lain melalui anus.
Cara Pelaksanaan:
1) Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan

34

2) Pasien dalam keadaan berbaring. Kemudian apabila dimiringkan


kekiri dengan posisi badan setengah telungkup, maka lutut kaki kiri
diluruskan serta paha kanan ditekuk diarahkan ke dada. Tangan kiri
di belakang punggung dan tangan kanan di depan kepala.
3) Bila pasien miring ke kanan, posisi badan setengah telungkup dan
kaki kanan lurus, sedangkan lutut dan paha kiri ditekuk dan
diarahkan ke dada. Tangan kanan di belakang punggung dan tangan
kiri di depan kepala.
c. Posisi Trendelenburg
Posisi pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih
rendah dari pada bagian kaki. Dilakukan untuk melancarkan peredaran
darah ke otak dan pada pasien shock dan pada pasien yang dipasang
skin traksi pada kakinya.
Cara Pelaksanaan:
1) Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan
2) Pasien dalam keadaan berbaring terlentang. Letakkan bantal di
antara kepala dan ujung tempat tidur pasien, serta berikan bantal
dibawah lipatan lutut
3) Pada bagian kaki tempat tidur, berikan balok penopang atau atur
tempat tidur secara khusus dengan meninggikan bagian kaki
pasien.
d. Posisi Dorsal Recumbent
Posisi berbaring terlentang dengan kedua lutut fleksi (ditarik atau
direnggangkan) di atas tempat tidur. Dilakukan untuk merawat dan
memeriksa genetalia serta proses persalinan.
Cara Pelaksanaan:
1) Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan
2) Pasien dalam keadaan berbaring terlentang, pakaian bawah di
buka
3) Tekuk lutut, renggangkan paha, telapak kaki menghadap ke
tempat tidur dan renggangkan kedua kaki.

35

4) Pasang selimut
e. Mobilisasi dengan Memberikan Posisi Miring
Persiapan:
1) Berikan penjelasan kepada klien maksud dan tujuan di lakukan
tindakan mobilisasi ke posisi lateral.
2) Cuci tangan sebelum melakukan tindakan untuk membatasi
penyebaran kuman
3) Pindahkan segala rintangan sehingga perawat leluasa bergerak.
4) Siapkan peralatan yang di perlukan.
5) Yakinkan bahwa klien cukup hangat dan privasi terlindungi.
Persiapan alat:
1) Satu bantal penopang lengan
2) Satu bantal penopang tungkai
3) Bantal penopang tubuh bagian belakang
Cara kerja:
1) Angkat/singkirkan rail pembatas tempat tidur pada sisi di mana
perawat akan melakukan mobilisasi
2) Pastikan posisi pasien pada bagian tengah tempat tidur, posisi
supinasi lebih mudah bila dilakukan mobilisasi lateral
3) Perawat mengambil posisi sebagai berikut:
4) Perawat mengambil posisi sedekat mungkin menghadap klien di
samping tempat tidur lurus pada bagian abdomen klien sesuai
arah posisi lateral (misalnya: mau memiringkan ke kanan, maka
perawat ada di samping kanan klien
5) Kepala tegak dagu ditarik ke belakang untuk mempertahankan
punggung pada posisi tegak.
6) Posisi pinggang tegak untuk melindungi sendi dan ligamen.
7) Lebarkan jarak kedua kaki untuk menjaga kestabilan saat menarik
tubuh klien
8) Lutut dan pinggul tertekuk/fleksi
9) Kemudian letakan tangan kanan lurus di samping tubuh klien
untuk mencegah klien terguling saat ditarik ke posisi lateral
(sebagai penyangga).

36

10) Kemudian letakan tangan kiri klien menyilang pada dadanya dan
tungkai kiri menyilang diatas tungkai kanan dengan tujuan agar
memberikan kekuatan sat didorong.
11) Kemudian kencangkan otot gluteus dan abdomen serta kaki fleksi
bersiap untuk melakukan tarikan terhadap tubuh klien yakinkan
menggunakan otot terpanjang dan terkuat pada tungkai dengan
tujuan mencegah trauma dan menjaga kestabilan.
12) Letakan tangan kanan perawat pada pangkal paha klien dan
tangan kiri di letakan pada bahu klien.
13) Kemudian tarik tubuh klien ke arah perawat dengan cara:
a) Kuatkan otot tulang belakang dan geser berat badan perawat ke
bagian pantat dan kaki.
b) Tambahkan fleksi kaki dan pelfis perawat lebih direndahkan
lagi untuk menjaga keseimbangan dan ke takstabil
c) Yakinkan posisi klien tetap nyaman dan tetap dapat bernafas
lega
14) Kemudian atur posisi klien dengan memberikan ganjaran bantal
pada bagian yang penting sebagai berikut:
a) Tubuh klien berada di samping dan kedua lengan berada di
bagian depan tubuh dengan posisi fleksi, berat badan klien
tertumpu pada bagian skakula dan illeum.
b) Berikan bantal pada bagian kepala agar tidak terjadi abduksi
dan adduksi ada sendi leher.
c) Kemudian berikan bantal sebagai ganjalan antara kedua lengan
dan dada untuk mencegah keletihan otot dada dan terjadinya
lateral fleksi serta untuk mencegah/membatasi fungsi internal
rotasi dan abduksi pada bahu dan lengan atas.
d) Berikan ganjalan bantal pada bagian belakang tubuh klien bila
diperlukan untuk memberikan posisi yang tepat.

37

15) Rapikan pakaian dan linen klien serta bereskan alat yang tidak di
gunakan.
16) Dokumentasikan tindakan yang telah di kerjakan.

38

Anda mungkin juga menyukai