BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Mikrobiologi adalah sebuah cabang dari ilmu biologi yang mempelajari
mikroorganisme. Objek kajiannya biasanya adalah semua makhluk (hidup) yang perlu
dilihat dengan mikroskop, khususnya bakteri, fungi, alga mikroskopik, protozoa, dan
Archaea. Virus sering juga dimasukkan walaupun sebenarnya tidak sepenuhnya dapat
dianggap sebagai makhluk hidup.
Penerapan mikrobiologi pada masa kini masuk berbagai bidang dan tidak
dapat dipisahkan dari cabang lain karena diperlukan juga dalam bidang farmasi,
kedokteran, pertanian, ilmu gizi, teknik kimia, bahkan hingga astrobiologi dan
arkeologi.
Mikroorganisme atau mikroba adalah organisme yang berukuran sangat kecil
sehingga untuk mengamatinya diperlukan alat bantuan.Mikroorganisme disebut juga
organisme mikroskopik. Mikroorganisme seringkali bersel tunggal (uniseluler)
maupun bersel banyak (multiseluler). Namun, beberapa protista bersel tunggal masih
terlihat oleh mata telanjang dan ada beberapa spesies multisel tidak terlihat mata
telanjang. Virus juga termasuk ke dalam mikroorganisme meskipun tidak bersifat
seluler.
Ilmu yang mempelajari mikroorganisme disebut mikrobiologi. Orang yang
bekerja di bidang ini disebut mikrobiolog. Mikroorganisme biasanya dianggap
mencakup semua prokariota, protista dan alga renik. Fungi, terutama yang berukuran
kecil dan tidak membentuk hifa, dapat pula dianggap sebagai bagiannya meskipun
banyak yang tidak menyepakatinya. Kebanyakan orang beranggapan bahwa yang
dapat dianggap mikroorganisme adalah semua organisme sangat kecil yang dapat
dibiakkan dalam cawan petri atau inkubator di dalamlaboratorium dan mampu
memperbanyak
diri
secara
mitosis.
Mikroorganisme
berbeda
dengan
sel
Page 1
POLTEKKES PANGKALPINANG
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IMUNOLOGI
IMMUNOGLOBULIN
Page 2
POLTEKKES PANGKALPINANG
Imunologi adalah suatu cabang yang luas dari ilmu biomedis yang mencakup
kajian mengenai semua aspek sistem imun (kekebalan) pada semua organisme.
Imunologi antara lain mempelajari peranan fisiologis sistem imum baik dalam
keadaan sehat maupun sakit, malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi
(penyakit autoimun, hipersensitivitas, defisiensi imun, penolakan allograft),
karakteristik fisik, kimiawi, dan fisiologis komponen-komponen sistem imun in vitro,
in situ, dan in vivo. Imunologi memiliki berbagai penerapan pada berbagai disiplin
ilmu dan karenanya dipecah menjadi beberapa subdisiplin.
B. STRUKTUR DASAR IMMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin (antibodi) yang membentuk sekitar 20% dari semua protein
dalam plasma darah adalah produk utama sel plasma. Selain di plasma darah,
imunoglobulin juga ditemukan di dalam air mata, air liur, sekresi mukosa saluran
napas, cerna dan kemih kelamin, serta kolostrum.
Page 3
POLTEKKES PANGKALPINANG
antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta pelepasan
histamin dari sel mast. Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas
mempunyai perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan
antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar imunoglobulin terdiri
atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun dari rangkaian asam amino yang
dikenal sebagai rantai H (rantai berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L
(rantai ringan) dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin (satu
unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini diikat oleh suatu ikatan
disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur yang simetris. Yang menarik
dari susunan imunoglobulin ini adalah penyusunan daerah simetris rangkaian asam
amino yang dikenal sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L,
yang terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh ikatan disulfid interchain,
sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh ikatan disulfid interchain. Rantai L
mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas,
yaitu rantai G (), rantai A (), rantai M (), rantai E () dan rantai D (). Setiap rantai
mempunyai jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain; sedang
rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-masing 5
domain.
Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 rantai berat (H-chain) yang identik
dan 2 rantai rinngan (L-chain) yang juga identik. Setiap rantai ringan terikat pada
rantai berat melalui ikatan disulfida (S-S), demikian pula rantai berat satu dengan
yang lain diikat dengan ikatan S-S. Molekul ini oleh enzim proteolitik papain dapat
dipecah menjadi tiga fragmen, yaitu 2 fragmen yang mempunyai susunan sama terdiri
atas H-chain dan L-chain, disebut fragmen Fab yang dibentuk oleh domain terminalN, dan 1 fragmen yang hanya terdiri atas H-chain saja disebut fragmen Fc yang
dibentuk oleh domain terminal-C. Fragmen Fab dengan antigen binding site,
berfungsi mengikat antigen karena itu susunan asam amino di bagian ini berbeda
antara molekul imunoglobulin yang satu dengan yang lain dan sangat variabel sesuai
dengan variabilitas antigen yang merangsang pembentukannya. Sebaliknya fragmen
Fc merupakan fragmen yang konstan. Fragmen ini tidak mempunyai kemampuan
mengikat antigen tetapi dapat bersifat sebagai antigen (determinan antigen). Fragmen
ini pulalah yang mempunyai fungsi efektor sekunder dan menentukan sifat biologik
imunoglobulin bersangkutan, misalnya kemampuan imunoglobulin untuk melekat
IMMUNOGLOBULIN
Page 4
POLTEKKES PANGKALPINANG
Page 5
POLTEKKES PANGKALPINANG
kehilangan sebagian besar susunan asam amino yang menentukan sifat antigenik
determinan, namun demikian masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab
yang tersisa menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang
mempunyai 2 tempat pengikatan antigen.
Keterangan :
1. Ig G : aktivasi komplemen antibodi heterotropik
2. Ig A : antibodi sekretorik
3. Ig M : aktivasi komplemen
4. Ig D : reseptor permukaan limfosit
5. Ig E : antibodi reagin, pemusnah parasit.
Fungsi imunoglobulin adalah :
1. Menyebabkan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel yang dependen
antibodi.
2. Memungkinkan terjadinya imunisasi pasif
3. Meningkatkan opsonisasi (pengendapan komplemen pada suatu antigen
sehingga kontak lekat dengan sel fagositik menjadi lebih stabil).
4. Mengaktifkan komplemen (kumpulan glikoprotein serum)
5. Menyebabkan anafilaksis.
C. SISTEM KOMPLEMEN IMMUNOGLOBULIN
Sistem komplemen adalah suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks
protein yang satu dengan lainnya sangat berbeda. Pada kedaan normal komplemen
IMMUNOGLOBULIN
Page 6
POLTEKKES PANGKALPINANG
beredar di sirkulasi darah dalam keadaan tidak aktif, yang setiap saat dapat diaktifkan
melalui dua jalur yang tidak tergantung satu dengan yang lain, disebut jalur klasik dan
jalur alternatif.
Komplemen
Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel hepatosit, dan juga
oleh sel fagosit mononuklear yang berada dalam sirkulasi darah. Komplemen C l
juga dapat di sintesis oleh sel epitel lain diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan
oleh sel fagosit mononuklear terutama akan disintesis ditempat dan waktu
terjadinya aktivasi.
Sebagian dari komponen protein komplemen diberi nama dengan huruf C: Clq,
Clr, CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9 berurutan sesuai dengan urutan
penemuan unit tersebut, bukan menurut cara kerjanya
IMMUNOGLOBULIN
Page 7
POLTEKKES PANGKALPINANG
D. REAKSI IMUNOLOGI
Reaksi imunologi dapat di kaitkan dengan alergi obat. Alergi obat adalah
respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi
imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau
setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang
obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi,
intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan
kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang
timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi
adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat,
terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak
diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi,
timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal
terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi.
1. Patofisiologi
IMMUNOGLOBULIN
Page 8
POLTEKKES PANGKALPINANG
2. Gejala Klinik
Gejala kilinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat
tertentu. Satu macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala pada seseorang,
dapat berbeda dengan orang lain, dapat berupa gejala ringan sampai berat. Erupsi
kulit merupakan gejala klinis yang paling sering, dapat berupa gatal, urtika,
IMMUNOGLOBULIN
Page 9
POLTEKKES PANGKALPINANG
IMMUNOGLOBULIN
Page 10
POLTEKKES PANGKALPINANG
Penyebab
Kandungan
b. DPT/DT
Perlindungan Penyakit
: Campak / Tampek.
: Demam, ruam kulit, diare.
: Infeksi Hati / Kanker Hati mematikan.
Perlindungan Penyakit
Penyebab
: Cacar Air
Penyebab
: Virus varicella-zoster
F. HIPERSENSIVITAS
Hipersensitivitas (atau reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi berlebihan yang
tidak diinginkan (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat
fatal) yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal. Berdasarkan mekanisme dan
waktu yang dibutuhkan untuk reaksi, hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe: tipe
I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Penyakit tertentu dapat dikarenakan satu atau beberapa
jenis reaksi hipersensitivitas.
1. Hipersensitivitas Tipe I
IMMUNOGLOBULIN
Page 11
POLTEKKES PANGKALPINANG
reseptor
histamin,
penggunaan
Imunoglobulin
IMMUNOGLOBULIN
Page 12
POLTEKKES PANGKALPINANG
Page 13
POLTEKKES PANGKALPINANG
menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora
Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
4. Hipersensitivitas Tipe IV
Hipersensitivitas
tipe
IV
dikenal
sebagai
hipersensitivitas
yang
diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas
perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam
reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta
akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan.
Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas
pneumonitis,
hipersensitivitas
kontak
(kontak
dermatitis),
dan
reaksi
Page 14
POLTEKKES PANGKALPINANG
Pada reaksi tipe I disebut juga sebagai reaksi tipe anafilaktik, subjek
harus disensitisasi lebih dahulu oleh antigen tertentu. Selama respon fase
induktif dibentuk antibodi IgE. Antibodi ini bersirkulasi dan melekat pada
permukaan sel mast yang terbesar diseluruh tubuh. Jika antigen kemudian
dimasukkan ke dalam subjek, maka interaksi antigen dengan antibodi yang
terikat pada sel mast mengakibatkan pelepasan eksplosif dari zat-zat yang
terkandung di dalam sel. Jika antigen yang dimasukkan itu sedikit dan bersifat
lokal, maka pelepasan mediatornya juga bersifat lokal dan hasilnya tidak lebih
dari daerah vasodilatasi dan bertambahnya permeabilitas yang mengakibatkan
pembengkakan lokal.
b. Reaksi Tipe II / Sitotoksik
Reaksi tipe II pada dasarnya merupakan sitotoksik. Pada reaksi macam
ini antibodi IgD dan IgM yang bersirkulasi bersatu dengan antigen yang cocok
pada permukaan sel. (Yaitu, antigen yang melekat pada atau merupakan bagian
dari permukaan sel). Hasil dari interaksi ini adalah percepatan fagositosis sel
target atau lisis sebenarnya dari sel target setelah pengaktifan konponen ke
depalapn atau ke sembilan rangkaian komplemen. Jika sel target adalah sel
asing seperti bakteri makan hasil reaksi ini menguntungkan. Namun, kadangkadang sel target itu adalah eritrosit-eritrosit dari tubuh, dalam hal ini
akibatnya dapat berupa anemia hemolitik.
c. Reaksi Tipe III / Kompleks Imun
Reaksi tipe III mempunyai berbagai bentuk, tetapi pada akhirnya
reaksi-reaksi tersebut sama-sama diperantarai oleh kompleks imun, yaitu
kompleks antigen dengan antibodi biasanya dari jenis IgD. Prototipe dari
reaksi jenis ini adalah reaksi arthus. Secara klasik, jenis reaksi ini ditimbulkan
dengan cara mensensitisasi subjek dengan beberapa protein asing dan
selanjutnya seubjek tersebut diberi suntikan antigen yang sama secara
intrakutan. Reaksi itu secara khas timbul sesudah beberapa jam, dengan
melalui fase pembengkakan dan kemerahan kemudian nekrotik serta pada
kasus yang berat terjadi perdarahan.
IMMUNOGLOBULIN
Page 15
POLTEKKES PANGKALPINANG
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
IMMUNOGLOBULIN
Page 16
POLTEKKES PANGKALPINANG
IMMUNOGLOBULIN
Page 17