Anda di halaman 1dari 6

Pandangan Hidup

Tan Malaka (1948)


1. MANUSIA MONYET
Puluhan ribu tahun lalu, dimasa yang masih gelap gulita untuk
ingatan kita sekarang, ketika mungkin kepulauan Indonesia
masih besartu antara satu dengan lainnya, juga dengan Filipina
dan benua Asia bahwa mungkin juga dengan Australia, menurut
seorang ahli hiduplah disini, dekat desa Trinil, makhluk setengah
hewan setengah manusia, yang oleh ilmu dinamakan
pithecantropus erectus , manusia monyet. Di belahan bumi lain
seperi di Tiongkok Utara, Afrika Selatan, serta Eropa Selatan dan
Tengah ditemukan juga mahluk semacam itu.
Semenjak Charles Darwin, banyak sekali para ahli biologi (ilmu
hayat) mendapatkan pandangan dan kesimpulan baru yang
bertentangan dengan kepercayaan yang ditaati oleh agama
selama ini tentang asal-usul dan hari akhir manusia di bumi kita
yang kecil dan sama sekali tak berarti, kalau dibandingkan
dengan besarnya pelbagai bintang diantara jutaan bintang di
alam raya kita ini, di Universe kita ini.
2. INDONESIA SEDERHANA
Kita kembali kepada alam kita di Indonesia tadi serta kembali
mengamati penghuninya! Maka sekarang pun Indonesia masih
dapat menyaksikan manusia pada tingkat yang
serendah-rendahnya, yang berada di antara jenis hewan yang
paling tinggi derajatnya, seperti orang utan, dengan pelbagai
penduduk manusia di gunung serta hutan rimba raya Indonesia.
Orang Kubu yang masih berkeliaran di hutan rimba Sumatera
Selatan, orang Semang di Malaya dan banyak orang Dayak di
hutan Kalimantan seperti banyak orang Irian (Papua) masih bisa

mendapatkan semua keperluan hidupnya daripada Alam


sekitarnya. Mereka belum lagi terpaksa mengerahkan otaknya
dan tenaga untuk bertanam, bertukang atau berdagang, untuk
mendapatkan makanan dan pakaian yang diperlukannya atau
untuk memperoleh senjata buat membela diri mereka terhadap
hewan atau pun manusia buas yang lainnya. Buah dari pohon di
berlainan tempat dan musim, binatang liar dan ikan yang
terdapat di sana-sini cukup untuk menjamin hidup mereka. Kulit
dan daun kayu cukup untuk menutupi bagian badan yang perlu
mereka tutupi. Dahan, ranting, dan daun kayu yang dibikin
seperti sarang, tinggi di atas pohon, cukup pula untuk memberi
sekedar perlindungan terhadap hujan, panas dan bahaya musuh.
Gambaran di atas kurang lebih memang masih terdapat pada
beberapa bagian di kepulauan Indonesia. Ini saya majukan
untuk memberi penjelasan, betapa dekat dan eratnya hubungan
alam dan manusia. Alam Indonesia yang kaya raya ini tidaklah
mendorong manusianya membanting tulang serta memutar
otak terus-menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian
serta memperoleh senjata dan perlindungan untuk membela diri
terhadap binatang buas atau alam yang kejam. Di mana
keadaan alam belum lagi memaksa, maka tenaga, kepandaian
dan pengetahuan manusia itu tinggal tetap seperti awalnya.
Tetapi dimana keadaan alam dan masyarakatnya mengalami
perubahan, disana tenaga dan otak penduduk Indonesia
menunjukkan juga kesanggupan penuh terhadap segala macam
kemajuan jasmani dan rohani yang dikehendaki oleh alam dan
masyarakat yang berubah itu. Sungguh besar perbedaan alam
jiwanya orang Indonesia asli, seperti orang Kubu, Semang,
Dayak, dan Irian seperti tergambar di atas tadi dengan
alam-jiwanya seorang Indonesia desa kota seperti tani, buruh,
doker, insinyur, atau pengacara. Tetapi dengan tiada sangsi dan

bukan pula dengan maksud memuji atau menghina, saya berani


mengatakan bahwa orang Dayak atau Irian pun jika berada
dalam keadaan sama akan sanggup belajar sampai mencapai
apa yang bisa dicapai oleh suku bangsanya yang berada di desa
dan kota. Perbedaan orang Indonesia berada dengan yang
sederhana (primitive) bukanlah disebabkan oleh perbedaan sifat
dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan disebabkan oleh
perbedaan sekitar dan keadaan. Dengan kata lain, disebabkan
oleh kodrat pendorong.
3. ANIMISME.
Rupanya perbedaan alam sekitar kita itulah yang menjadi alat
adanya perbedaan Pandangan Hidup (Weltanschauung )
Indonesia beradab dengan Indonesia primitif itu. Buat mengerti
hal ini, maka sebaiknya sekejap kita mengandaikan berada di
tengah-tengah hutan rimba Sumatera, Kalimantan, atau Irian!
Bagi penduduk kota, ataupun hampir buat seluruh penduduk
pulau Jawa, agak susah mengerti betapa dahsyatnya suasana
hutan rimba yang sesungguhnya itu menekan jiwa kita.
Pohon yang besar tinggi menjulang ke angkasa; cuaca yang
selalu gelap-gulita karena sang matahari tak sanggup
menembus dinding daun kayu yang rindang itu; suara hewan
yang mempengaruhi jiwa kita; kecurigaan kepada semua semak
dan belukar, karena mungkin menyembunyikan biantang buas
atau berbisa, semua itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak
berdaya sebagai manusia menghadapi kebesaran dan
kedahsyatan alam.
Bagi manusia yang sejak awal berpikir, yang sejak awal sekali
mencerminkan alam-luar itu kepada alam-dalamnya, kepada
jiwanya, cocok benarlah paham bahwa tekanan atas jiwa dalam
dirinya disebabkan olah jiwa yang berada di Alam-Luar, yakni

yang berada dalam hutan rimba raya itu. Buat pikiran orang
serba sederhana itu jiwa cuma bisa dipatahkan karena ditimpa
oleh pohon besar. Demikianlah di mata orang sederhana itu,
semua benda yang dahsyat di sekitarnya dianggap mengandung
jiwa seperti dirinya sendiri. Pohon besar yang rindang dahsyat,
air mancur yang bergemuruh; binatang buas yang berbahaya;
bahkan batu dan kayu pun dianggapnya berjiwa, bernyawa.
Sesungguhnya anti tesis antara buruk dan baik, yang terpendam
dalam pengalamannya sehari-hari belum lagi begitu terpisah
dalam pandangannya. orang sederhana memuja bukan yang
baik asal baik saja, tetapi juga yang jahat. Mereka memberikan
korban kepada keduanya, yang baik maupun yang jahat. Hantu
yang jahat tak kurang menerima pujaan atau korban orang
sederhana daripada hantu yang baik, yakni hantu kawan
manusia. tentulah di mana alam sangat dahsyat di sanalah
hantu jahat, harimau si raja hutan atau sang buaya mendapat
perhatian lebih dari pada yang baik.
Teranglah sudah bahwa zaman serba permulaan itu pandangan
bangsa Indonesia, dalam keadaan serba-serbi itu pula,
berdasarkan paham yang oleh para ahli dinamai kepercayaan
animisme. Semua yang ada di alam ini dianggapnya berjiwa,
bernyawa.
Berkenaan dengan manusia sederhana bangsa kita tadi dengan
alamnya di mana mansuia itu berlaku pasif, menerima, bahkan
menderita ketakutan saja, di masa inipun berlakulah hukum
dialektika, yakni perubahan bilangan sedikit demi sedikit,
lama-kelamaan menjadi pertukaran sifat (quantity into quality).
Dalam pencarian hidupnya sehari-hari menghadapi pelbagai
bahaya di hutan, di gunung, di air dan menderita
bermacam-macam penyakit, lama kelamaan tahu-tahu

tertumpahlah segala pengorbanan dan pemujaan kepada salah


satu yang paling ditakuti di antara banyak-yang-ditakuti. Di
antara macan, buaya, hantu pohon, hantu air, atau hantu
pemburu, akhirnya jatuhlah Maha-Pujuaan kepada Maha-Hantu,
yang paling penting-cocok dengan penghidupan dan
pengalaman sehari-hari. Dimana pencarian dan pekerjaan
berburu sangat dipentingkan, maka hantu pemburulah yang
sengat dipuja. Di sinilah hantu-pemburu akhirnya mendapat
kehormatan sebagai Maha-Hantu.
Dimana pergaulan sudah agak maju, dan alam-sekitar sudah
agak ramah-tamah, maka yang baik mendapat perhatian agak
lebih dari yang jahat. Konon kabarnya ada satu suku bangsa
Irian yang menganggap pohon aren atau enau sebagai Tuhan
dalam arti Maha-Dewa. Bukankah pohon aren juga antara
segala pohon dan segala yang ada di alam sekitar mereka yang
telah memberikan segala-galanya yang diperlukan buat
kehidupan mereka? Sagu dari pohon Aren adalah makanan yang
sehat dan mengandung banyak kegunaan. Ijuknya dapat dipakai
buat atap rumah. Batangnya bsia juga dipakai sebagai tombak
penangkap ikan dan alat membela diri terhadap musuh.
Seorang Irian asli cuma membutuhkan tujuh pohon Aren yang
berurutan dari satu sampai tujuh tahun. Tebanglah pohon
ketujuh yang berumur tujuh tahun, yang sudah masak itu.
Tanamlah satu pohon penggantinya. Inilah pekerjaan yang perlu
dilakukan seorang anggota, yakni memotong sepohon sagu
sekali satun dan menanam sepohon sagu sekali setahu.
Selainnya itu dia boleh memancing atau berburu, berkelahi atau
bersuka ria. Dalam pergaulan semacam itu Dewi Sagu-lah yang
dianggapnya pencipta segala-galanya dan yang berkuasa dalam
segala-galanya. Demikianlah dalam Swarga-Loka di Irian.

Sederhana, Dewi Sagu menjunjung segala kemegahannya ke


angkasa sambil memberi bahagia kepada makhluk manusia di
sekelilingnya.
4. KEPERCAYAAN INDIA.
Melompat kita sekarang ke bagian lain di bumi kita ini, ke
masyarakat lain, yakni India! Salah satu kesimpulan yang kita
peroleh setelah membaca buku suci Mahabarat, Ramayan, dan
Upanishad, serta tulisan tentang hidupnya Sidharta Gautama,
Sang Budha, dan agama Budha, yakni bahwa pertama kali India
mempunyai penduduk asli dan penduduknya ter

Anda mungkin juga menyukai