Anda di halaman 1dari 12

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHIKUALITAS TIDUR PASIEN DI

RUANG INTENSIF

Yesy Pusparini1, Kusman Ibrahim2, Ayu Prawesti


Abstrak
Perawatan di ruang intensif sering menimbulkan pengalaman negatif yang
akan menjadi pengalaman khusus bagi pasien. Pengalaman negatif yang
sering dialami oleh pasien adalah gangguan tidur.Gangguan tidur pada
pasien kritis dapat menimbulkan berbagai dampak yang serius bagi pasien.
Literature review ini ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kualitas tidur pasien di ruang perawatan
intensif.Berdasarkan review, penulis menemukan 4 faktor utama yang
mempengaruhi kualitas tidur pasien yaitu faktor pasien, lingkungan, tindakan
keperawatan pada malam hari dan medikasi.
Kata kunci: kualitas tidur, ruang intensif

Abstract
Treatment in intensive care often lead to negative experiences that will be a
special experience for the patient. Negative experiences are experienced by
patients is sleepd is order. Sleepd is ordersin critically patient scan cause a
variety of serious consequences for the patient. This literature reviewaimed
to identify many factors associated with sleep quality of patients in intensive
care. Based on the review, the authors found fourmain factors that affect the
quality of sleep of patients that patient factors, environmental, nursing action
at night and medication

Key words : quality ofsleep, intensif care

PENDAHULUAN

Intensive Care Unit (ICU) merupakan bagian dari rumah sakit yang
mandiri, dengan staf dan perlengkapan khusus yang ditujukan untuk observasi,
perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit akut, cedera atau
penyulit -penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa
dengan prognosis dubia yang diharapkan masih reversibel (KMK, 2010).
Pengalaman pasien selama perawatan di ruang intensif meliputi
pengalaman positif dan negatif.Pengalaman positif yang dirasakan oleh pasien
adalah rasa aman dan dilindungi.Pengalaman negatif yang dirasakan oleh pasien
timbul dari masalah yang sering dialami oleh pasien yang dirawat di ruang
intensif yaitu rasa takut, kecemasan, gangguan kognitif, dan perasaan tidak
nyaman seperti nyeri, cemas dan gangguan tidur (Stein & McKinley, 2000).Studi
mengenai pengalaman pasien dirawat di ruang intensif menunjukkan sebanyak

11
RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung
2
Universitas Padjadjaran Fakultas Keperawatan Bandung.

1054
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 2 September 2014

12% responden menyatakan bahwa masalah yang paling dirasakan selama


dirawat di ruang intensif adalah waktu yang terlalu pendek untuk beristirahat dan
tidur (Hofhui, 2008). Cooper et al (2000) menyebutkan bahwa sleep disruption
pada pasien kritis telah dikenali sebagai masalah serius selama lebih dari dua
dekade.Hilton (2006) meneliti mengenai kuantitas dan kualitas tidur pasien di unit
perawatan kritis respirasi (n=9) dengan menggunakan EEG. Durasi tidur pasien
tersebut berada dalam rentang 6 menit hingga 13.3 jam sehari. Tidur malam
hanya dialami oleh 50% responden. Tidur lebih didominasi oleh tidur NREM
tahap I, sementara tahap lain mengalami gangguan. Gangguan yang nyata
terjadi pada tahap III dan IV yang hanya berlangsung selama 4.7% dan 10.5%,
secara normal seharusnya tahap tersebut terjadi sebanyak 30% hingga 35% dari
setiap siklusnya.

KUALITAS TIDUR PASIEN DI RUANG INTENSIF


Berdasarkan literature reviewyang penulis lakukan, ada 4 faktor yang
mempengaruhi kualitas tidur pada pasien di ruang rawat intensif yaitu faktor
pasien itu sendiri, faktor lingkungan, faktor intervensi keperawatan pada shift
malam dan faktor medikasi.
1. Faktor Pasien
Kondisi fisik dan psikologis pasien dapat mempengaruhi tidur. Lee et al.
(2008) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa rasa tidak nyaman merupakan
salah satu faktor penyebab gangguan tidur dimana seseorang merasa gelisah
dan sulit untuk dapat tidur nyenyak. Rasa tidak nyaman dapat berupa nyeri,
demam, perasaan sesak, dan kelelahan fisik yang berat.
Manifestasi klinis yang sering ditemukan pada pasien di ruang perawatan
jantung intensif adalah sesak atau dyspnea, nyeri yang khas berhubungan
dengan kondisi iskemia otot jantung ataupun nyeri post tindakan intervensi
kardiologi serta kelelahan yang diakibatkan karena ketidakmampuan jantung
untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan, sehingga tubuh melakukan
kompensasi dengan meningkatkan heart rate (HR) dan respiration rate (RR),
kesulitan untuk tidur, dan orang yang pilek akan mengalami masalah pernafasan
sehingga sulit untuk tidur (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2004).Kelelahan dapat
mempengaruhi pola tidur seseorang.Semakin letih seseorang, semakin pendek
periode tidur REM (paradoksikal) pertama.Saat seseorang beristirahat, periode
REM menjadi lebih panjang (Kozier, 2004). Reishtein dalam Grove () melihat

1055
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhikualitas Tidur Pasien Di Ruang Intensif Yesy
Pusparini, Kusman Ibrahim, Ayu Prawesti

adanya suatu hubungan yang positif dyspnea (sesak) dan Fatique (kelelahan)
(r=0.43, p<0.001) dan kesulitan tidur (r= 0.39), p< 0.001). Sedangkan hubungan
antara kelelahan dengan kesulitan tidur positif tetapi tidak signifikan (r=0.19).
Nyeri dan perasaan tidak nyaman membatasi kedalaman tidur dan sering
menyebabkan perode terjaga dari tidurnya.Nyeri terjadi karena adanya
rangsangan dan reseptor (nosiseptor).Nosiseptor merupakan ujung-ujung saraf
bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin.Nyeri pada pasien
yang dirawat di ruang perawatan intensif berhubungan dengan nyeri dada akibat
proses penyakit pada jantung dan nyeri post tindakan intervensi koroner maupun
pembedahan. Menurut Alwi (2007), nyeri dada angina merupakan gejala kardinal
pasien dengan sindroma koroner akut. Nyeri dada angina biasanya terletak pada
substernal atau retrosternal dan prekordial.Sifat rasa nyeri seperti ditekan, rasa
terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas dan dipelintir.Biasanya nyeri
menjalar ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut dan lengan kanan.Nyeri pasien miokard infark
berkaitan dengan iskemia yang mengakibatkan terkumpulnya asam laktat dalam
jaringan.
Menurut Potter & Perry (2005), usia, jenis kelamin, budaya, makna nyeri,
perhatian, kecemasan, keletihan dan pengalaman sebelumnya dapat
mempengaruhi respon dan persepsi nyeri. Sehingga indikator untuk mengetahui
intensitas nyeri yang paling penting adalah laporan pasien mengenai nyeri yang
dirasakannya.
Hubungan antara nyeri dan kualitas tidur sangat kompleks. Menurut
Kozier Erb, Berman dan Snyder(2004), nyeri dapat menimbulkan penurunan
kapasitas vital paru, FRC dan timbulnya hipoksemia sehingga tubuh melakukan
kompensasi dengan meningkatkan frekuensi nafas untuk memenuhi kebutuhan
oksigen tubuh. Nafas yang pendek ini dapat mengganggu tidur.Hasil penelitian
Maryana (2011), skor intensitas nyeri pada pasien sindrom koroner akut di ruang
CICU dan UGD adalah 8 (3 orang) dan 3 (4 orang).Setelah mendapatkan terapi
farmakologi (nitrat, beta bloker, ACE inhibitor dan antiplatelet) 2 orang skor
nyerinya menjadi 7 dan 5 orang dengan skor intensitas nyeri 2.Hal ini
menguatkan bahwa pemberian terapi farmakologi tersebut sangat penting untuk
meningkatkan aliran darah koroner, mengurangi beban jantung dan mengurangi
konsumsi oksigen.

1056
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 2 September 2014

Morton (2013) mengungkapkan bahwa pasien-pasien yang mengalami


keadaan kritis tidak hanya mengalami masalah dalam fisiologisnya, tetapi juga
psikososial, perkembangan dan proses spiritualnya. Cemas adalah ketakutan
mengenai sesuatu yang akan terjadi dan diikuti oleh perasaan tidak jelas, tak
berdaya, isolasi dan perasaan tak aman (Stuart, 2012). Stuart menambahkan
bahwa cemas adalah suatu emosi tanpa obyek spesifik dan pengalaman individu
yang sifatnya subyektif.Cemas sering sulit dibedakan dengan takut. Perasaan
takut pada situasi yang mengancam akan membuat seseorang secara otomatis
menghindar. Namun pada saat kondisi tersebut tidak dapat dihindari, maka
muncul perasaan cemas (Chen, 2006).Sumber kecemasan pada pasien yang
dirawat di ruang intensif dapat berupa penyakit yang diderita, perasaan kesepian,
rasa takut mengenai ajal, lingkungan yang asing (Morton dkk, 2013).Penyakit
kardiovaskular sering menimbulkan gejala yang dating tiba-tiba seperti nyeri
dada hebat, sesak dan sinkop.Kondisi tersebut tidak dapat lagi untuk dihindari,
sehingga kemudian muncul perasaan cemas.
Teori State-Trait Anxiety Spielbergers (1966) mengungkapkan bahwa
tahapan perasaan (cognitively appraised) terancam atau kondisi bahaya dimulai
dari suatu stimulus baik internal maupun external, dan pada puncaknya
menimbulkan reaksi state anxiety. Cemas adalah emosi yang relatif mudah untuk
diungkapkan, dan seseorang yang mengalami cemas dapat secara akurat
mengukur level kecemasan mereka sendiri (Grinker, 1966). Dengan demikian
self reportakan cemas dapat digunakan untuk mengkaji state anxiety
pasien.Penelitian yang dilakukan oleh Widaryati (2011) di ruang rawat intensif
jantung RSUP Dr.Hasan Sadikin pada 42 pasien SKA, intensitas kecemasan
pada kelompok intervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol karena pada
kelompok intervensi jumlah responden wanita lebih banyak yaitu 10 orang
dibandingkan dengan kelompok kontrol (7orang).
Cemas dan depresi dapat mengganggu tidur. Cemasakan meningkatkan
sekresi norephinephrine yang akan menstimulasi sistem saraf sehingga
mengakibatkan tidur NREM tahap IV dan tidur REM menjadi lebih sedikit, dan
lebih sering terbangun (Kozier, 2004). Gallagher & McKinley (2007) melakukan
penelitian pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi CABG. Pasien yang
akan menjalani operasi ini biasanya mengalami kecemasan yang lebih tinggi.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui prediktor kecemasan pada pasien
CABG.Pasien CABG diukur skala kecemasannya dengan menggunakan (HADS)

1057
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhikualitas Tidur Pasien Di Ruang Intensif Yesy
Pusparini, Kusman Ibrahim, Ayu Prawesti

sebelum operasi, sebelum pulang dan setelah sepuluh hari pulang dari rumah
sakit. Total responden yang mengikuti seluruh fase penelitian berjumlah 130
orang. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa rata-rata pasien memiliki
tingkat kecemasan yang rendah di semua fase penelitian.Level kecemasan pada
ambang batas klinis (skor HADS 8) terjadi pada sebelum pembedahan dan
sebelum pulang dari rumah sakit. Stresor tertinggi penyebab kecemasan
sebelum pembedahan adalah menunggu pembedahan (mean 2.02), stresor
tertinggi setelah pembedahan adalah perasaan terasing jauh dari rumah dan
pekerjaan (mean 1.63) dan stresor tertinggi setelah pulang dari rumah sakit
adalah perasaan nyeri dan tidak nyaman (mean 0.96). Penelitian ini juga
menunjukkan tidak ada perbedaan stressor yang signifikan antara responden
pria dan wanit (p<0.001). Prediktor kecemasan sebelum pembedahan adalah
wanita, konsentrasi saat harus menunggu operasi, nyeri dan ketidaknyamanan
serta riwayat gaya hidup. Prediktor kecemasan setelah pembedahan adalah
penggunaan anxyolitic, antidepresan, kecemasan sebelum prosedur dan
kesulitan tidur di tempat tidur yang asing. Sedangkan prediktor kecemasan
setelah pulang dari rumah sakit meliputi kecemasan yang sudah ada sebelum
prosedur operasi, perasaan nyeri dan ketidaknyamanan.

2. Faktor Lingkungan
Bihari., et al. (2012) membagi dua faktor yang mempengaruhi tidur pada pasien
di ruang rawat intensif yaitu faktor lingkungan dan faktor non lingkungan. Faktor
lingkungan dalam penelitiannya terdiri dari suara, cahaya, intervensi
keperawatan, pemeriksaan diagnostik, pengukuran tanda-tanda vital, flebotomi,
pemberian obat-obatan, alarm bedside monitor, pulse oximetry, suara berbicara,
alarm infuse pump, nebulizer, suara telepon petugas, televisi, telepon ruangan
dan alarm ventilator. Sedangkan yang termasuk dalam faktor non lingkungan
adalah karakteristik pasien , nyeri, dan obat yang digunakan oleh pasien selama
dirawat, terutama obat-obatan yang mempengaruhi kualitas tidur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suara adalah dimensi lingkungan yang paling mengganggu
kualitas tidur pasien di ruang intensif.
Penelitian mengenai suara di ruang intensif sudah banyak
dilakukan.Suara tersebut dapat bersifat kontinyu, fluktuatif maupun intermiten.
Level suara yang direkomendasikan oleh WHO tidak lebih dari 30dB(A) dan pada
malam hari harus di bawah 40dB(A). Suara benda yang jatuh ke lantai memiliki

1058
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 2 September 2014

besaran 92 db(A), suara nebulizer 80 dB(A). Hofhui et al (2008) melakukan


penelitian mengenai pengalaman pasien selama dirawat di ruang intensif.Dari 50
respoden, sebanyak 24 orang memiliki masalah dengan tidurnya.Penyebab dari
masalah tersebut adalah suara (45%), perasaan takut (25%) dan Nyeri (19%).
Wood and Falk menemukan bahwa 10% hingga 17% suara yang timbul di unit
perawatan intensif berada dalam level yang dapat menyebabkan pasien terjaga,
yaitu lebih dari 70 decibels. Menurut Kahn, Cook, Carlisle et al (1998) proporsi
suara di ruang intensif sebagian besar dihasilkan oleh perilaku seperti
pembicaraan dan televisi.
Lawson, Thompson, Saunders, Saiz et al.(2010) melakukan penelitian
mengenai intensitas suara dan evaluasi kebisingan di unit perawatan kritis.
Pengukuran suara dilakukan melalui 3 fase.Fase pertama, sound pressure level
(SPL) alarm dari setiap peralatan diukur didalam ruang perawatan pasien.Alat di
setting pada level suara maksimum, minimum dan setting interim untuk
menentukan rentang level suara yang dapat diterima oleh pasien. Pada fase 2,
alarm yang sama ditempatkan diruangan yang bersebelahan dan pengukuran
tetap dilakukan di tempat semula. Fase yang ketiga, ambient noisedi ruang ICU
diukur dalam waktu 10 hingga 24 jam untuk menentukan suara yang sering
didengar oleh pasien sehari-hari dan melihat variasi level suara pada siang dan
malam hari. Penelitian dilakukan di Portland VA Medical Center (N=152), dan
pengukur level suara menggunakan sound level meter (SLM) dari Bruel dan
Kjaer. Hasilnya alarm bedside monitor mempunyai level 73.3dB(C) pada setelan
emergensi, 73.1 dB(C) pada setelan sedang, dan pada setelan maximum 90
dB(C) jika diukur didalam ruang pasien sendiri. Level suara menjadi lebih rendah
jika diukur pada ruang yang bersebelahan dengan pintu tertutup (68 dB(C)) dan
agak sedikit lebih tinggi apabila pintu tersebut dalam kondisi terbuka ( 75dB(C)).
Hal ini serupa dengan suara yang ditimbulkan oleh alarm infus pump dan
ventilator. Pada fase 3, diketahui bahwa fluktuasi suara dalam 24 jam tidak
berbeda secara sistematik. Hal ini dapat diartikan bahwa level suara tidak
mengenal jam makan, jadwal tidur regular, perubahan shift, dan jam berkunjung.
Suara bising didefinisikan sebagai suara-suara yang tidak diinginkan,
secara subyektif mengganggu dan dapat menimbulkan stres fisiologis maupun
psikologis (Wenham & Pittard, 2009). Eksposur oleh suara dapat mentriger
sistem saraf simpatis yang kemudian meningkatkan kerja jantung dan

1059
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhikualitas Tidur Pasien Di Ruang Intensif Yesy
Pusparini, Kusman Ibrahim, Ayu Prawesti

mempengaruhi fungsi otot-otot pernafasan (Freedman, Gazendam, Levan., et


al.2001; Ely, Inouye, Bernard, 2001).
Dimensi lain dari lingkungan yang dapat mempengaruhi kualitas tidur
adalah cahaya dan temperatur (Bihari et al., 2012). Cahaya merupakan faktor
eksternal yang penting dalam mempengaruhi tidur. Cahaya mempengaruhi jam
internal melalui sel sensitif cahaya yang ada pada retina mata. Sel-sel ini
menginformasikan pada otak mengenai siang dan malam, hingga kemudian pola
tidur kita terbentuk.Sinar lampu yang terlalu terang dapat menyebabkan
gangguan tidur dan menghambat sekresi melatonin. Tidak ada batasan
temperatur yang baku untuk meningkatkan kualitas tidur karena tingkat
kenyamanan temperatur berbeda-beda pada tiap individu.Temperatur rendah
dipercaya dapat mengganggu tidur, sebaliknya suhu yang lebih tinggi dapat
meningkatkan kualitas tidur.Total Sleep Time (TST) secara maksimal dapat
dicapai pada kondisi thermoneutrality dimana regulasi temperature dikontrol
melalui insensible heat loss tanpa tubuh melakukan metabolisme untuk
memproduksi panas tubuh. Thomson et al. (2012) merancang panduan desain
unit perawatan intensif baik untuk bangunan baru maupun bangunan lama yang
direnovasi. Thomson dan rekan-rekannya melakukan telaah dari berbagai
literatur yang relevan dan mencari opini para pakar baik dari anggota komite
maupun di luar anggota untuk mendapatkan rekomendasi desain unit perawatan
intensif yang paling baik bagi proses penyembuhan, efisien dan efektif. Elemen
dari lingkungan yang menyembuhkan terdiri dari material dan finishing yang
mengurangi suara berisik, meminimalisasi glare, mendukung kontrol infeksi,
mencegah terjadinya injuri, furnitur dan dekorasi yang dapat mengurangi stres,
mendayagunakan cahaya alami, pemandangan alam. Desain yang optimal
diharapkan dapat membantu mengurangi medical error, meningkatkan outcome
pasien, mengurangi masa rawat, meningkatkan dukungan sosial dan mengurangi
pembiayaan.

3. Faktor Intervensi Keperawatan pada Shift Malam


Intervensi keperawatan pada shift malam diduga telah banyak mempengaruhi
kualitas tidur pasien. Interupsi pada tidur tahap tertentu akan membuat pasien
yang terjaga memulai kembali tidurnya dari tahap I bahkan pada beberapa
pasien tidak mudah untuk dapat segera tidur kembali setelah terjaga.

1060
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 2 September 2014

Menurut Bihari et al. (2012) intervensi keperawatan merupakan aktivitas perawat


yang paling banyak mengganggu kualitas tidur.Pada pasien dengan
endotracheal tube (ETT) prosedur keperawatan yang paling mengganggu
adalahtracheal suctioning (Hofhui, 2008).

4. Faktor Medikasi
Menurut Opie and Gersh (2001) dalam bukunya yang berjudul Drugs for
the Heart, 10 obat yang paling sering digunakan pada pasien dengan
permasalahan jantung adalah:
1. agen -blocking
2. Nitrat
3. Calcium Channel Blocker
4. Diuretik
5. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors, angiotensin- II receptor
blockers (ARBs) dan aldosterone antagonist.
6. Digitalis, inotropic akut, dan dilator inotropic
7. Obat-obat antihipertensi
8. Obat-obat antiaritmia
9. Agen antitrombotik: Inhibitor Platelet, antikoagulan dan fibrinolitik
10. Penurun kadar lemak dan anti atherosklerotik
Medikasi pada pasien dengan masalah kardiovaskular seperti golongan
beta bloker yang sering digunakan dalam penatalaksanaan tekanan darah tinggi
dan gagal jantung kongestif berefek mengurangi fase REM , tidur gelombang
lambat serta meningkatkan tidur di siang hari. Alpha bloker yang juga sering
digunakan dalam terapi tekanan darah tinggi berkontribusi terhadap penurunan
fase REM dan meningkatkan tidur di siang hari.Golongan antidepresan dapat
mengurangi tidur pada fase REM dan dapat menyebabkan gangguan tidur dalam
jangka lama.Antidepresan golongan SSRIs bahkan dapat meningkatkan
insomnia.Golongan hipnotik dapat mempengaruhi tahap III dan IV tidur NREM
dan menekan tidur REM. Golongan narkotik juga dapat menekan tidur REM dan
menyebabkan sering terbangun dan menyebabkan rasa kantuk.Obat penenang
mempengaruhi tidur REM. Amfetamin dan antidepresan menurunkan tidur REM
secara tidak normal.Pasien - pasien di Ruang CICU hampir selalu mendapatkan
terapi morfin dan atau diazepam.

1061
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhikualitas Tidur Pasien Di Ruang Intensif Yesy
Pusparini, Kusman Ibrahim, Ayu Prawesti

Golongan sedasi menyebabkan pasien menjadi tidur, namun tidur akibat


pengaruh sedasi berbeda dengan tidur secara fisiologis (Weinhouse & Watson,
2009) meskipun keduanya menyebabkan respon yang sama yaitu penurunan
respon terhadap stimulus eksternal, penurunan tonus otot dan depresi
respiratori.Perbedaannya jika tidur dipengaruhi oleh irama sirkadian maka sedasi
dipengaruhi oleh dosis obat yang diberikan. Pada tidur normal akan terlihat
perubahan gelombang EEG pada tiap tahap tidur, sedangkan pada sedasi
gelombang yang muncul atipikal dan tidak dapat dikelompokkan ke tahapan tidur
normal. Berdasarkan mekanisme kerjanya, sedasi dikelompokkan menjadi dua
kelas yaitu golongan GABA agonis dan -2-agonis.
GABA agonis berinteraksi dengan GABA reseptor untuk meningkatkan
inhibisi terhadap system saraf pusat.Obat-obat yang termasuk golongan ini
adalah benzodiazepine dan propofol.Golongan ini direkomendasikan sebagai
pilihan pertama sedasi di ruang perawatan intensif.Pada perekaman EEG sedasi
GABA agonis menyebabkan penurunan tidur REM, menekan tidur SWS dan
meningkatkan gelombang tidur NREM tahap II.
Dexmedetomidin merupakan agen -2-agonis dan hanya tersedia dalam
bentuk parenteral.Obat ini bekerja mengikat reseptor pada locus ceruleus
sehingga mengurangi pelepasan norepinephrine dan kemudian merangsang
VLPO yang menghalangi jalur bangun. Pada perekaman EEG nampak terjadi
penurunan gelombang tidur REM, peningkatan tidur SWS dan peningkatan tidur
NREM tahap II. Secara klinis tidur dibawah pengaruh sedasi -2-agonis lebih
alami dibandingkan dengan GABA agonis (Weinhouse & Watson, 2009).
Golongan opioid merupakan analgesik yang memiliki efek sedasi karena
obat ini mempengaruhi jalur bangun di ponto-thalamik. Pada penggunaan obat
ini, gelombang SWS menurun 30% hingga 50%, dan tahap II NREM meningkat.
Menurut Weinhouse and Watson (2009), meskipun penggunaan obat ini memiliki
efek terhadap arsitektur tidur, namun golongan ini memiliki manfaat yang
signifikan untuk mengurangi nyeri pada pasien.

SIMPULAN
Tidur merupakan masalah yang sering dialami oleh pasien di ruang
perawatan intensif.Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor kondisi
pasien itu sendiri, faktor lingkungan perawatan, faktor pemberian intervensi
keperawatan pada shift malam dan faktor medikasi.Faktor-faktor tersebut hampir

1062
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 2 September 2014

selalu secara bersama-sama mempengaruhi kualitas tidur pasien dan pada


akhirnya dapat meningkan morbiditas dan lama rawat pasien. Untuk mencegah
hal tersebut diperlukan intervensi untuk memodifikasi faktor-faktor yang dapat
menurunkan kualitas tidur pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Bihari, S., McEvoy, R. D., Matheson, E., Kim, S., Woodman, R. J., & Bersten, A.
D. (2012). Factors affecting sleep quality of patients in intensive care unit.
Journal of clinical sleep medicine: JCSM: official publication of the
American Academy of Sleep Medicine, 8(3), 301.
Bourne, R. S., & Mills, G. H. (2004). Sleep disruption in critically ill patients
pharmacological considerations. Anaesthesia, 59(4), 374-384.
Delves, J. (2009). Sleep deprivation in the intensive care unit. HNE Handover:
For Nurses and Midwives, 2(1).
Direktorat Keperawatan dan Keteknisian Medik Dirjen Pelayanan Medik Depkes
RI.(2006). Standar Pelayanan Keperawatan di ICU. Depkes RI
Everson,C. & Toth,L. (2000). Systemic bacterial invasion induced by sleep
deprivation. American Journal of Physiology-Regulatory, Integrative and
Comparative Psychology, 278(4), 905-916.
Frazier, S.K., et al. (2002). Critical Care Nurses Assesment of Patients
Anxiety:Reliance on Physiological and behavioral Parameters. Am J Crit
Care 2002;11:57-64.
Freedman, N. S., Kotzer, N., & Schwab, R. J. (1999).Patient perception of sleep
quality and etiology of sleep disruption in the intensive care unit.American
journal of respiratory and critical care medicine, 159(4), 1155-1162.
Freedman, N.S., Gazendam, J., Levan L et al. (2001). Abnormal Sleep or Wake
Cycles and The Effect of Environmental Noise on Sleep Disruption in The
Intensive Care Unit. American Journal Respiratory critical Care Medicine.
163:451-7.
Gabor,J., Cooper, A. & Hanly,P. (2001). Sleep disruption in the intensive care
unit. Current Opinion in Critical Care, 7(1), 21-27.

Galvan,J.P., Martinez,M.R., Martinez, M.J.C. (2010). Reliability and Validity of a


Short Version of the STAI Anxiety Measurement Scale in Respiratory
Patients.Archivos De Bronconeumologia. Spain, Elsevier Espana.

Guyton,A.C., & Hall, J.E. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.(Setiawan, I,


Trans). Jakart: EGC.
Hays R.D, Kallich J.D, Mapes D.L, Coons S.J, Amin N, Carter W.B, Kamberg C
(1997). Kidney Desease Quality of Life Short Form, Version 1.3: A Manual
for Use and Scoring.Santa Monica, CA:RAND.
Hidayat,A. A. A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar manusia:Aplikasi Konsep
dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

1063
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhikualitas Tidur Pasien Di Ruang Intensif Yesy
Pusparini, Kusman Ibrahim, Ayu Prawesti

Hilton, B. (1976). Quantity and quality of patients' sleep and sleepdisturbing factors in a respiratory intensive care
unit.Journal of advanced nursing, 1(6), 453-468.

Hofhuis, Jose.,et al. (2008). Experiences of Critically Ill Patientsin The ICU.
Department of Intensive Care Erasmus Medical center. Rotterdam.
Honkus, V. L. (2003). Sleep deprivation in critical care units. Critical care nursing
quarterly, 26(3), 179-191.
Hsu, S. M., Ko, W. J., Liao, W. C., Huang, S. J., Chen, R. J., Li, C. Y., & Hwang,
S. L. (2010). Associations of exposure to noise with physiological and
psychological outcomes among post-cardiac surgery patients in
ICUs.Clinics, 65(10), 985-989.
Kahn DM, Cook TE, Carlisle CC et al. (1998). Identification and modification of
environmental noise in an ICU setting.Chest 1998;114:535-40.
Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2004.(2004). Fundamental of Nursing. United
states of America:Pearson education Inc.
Lengas, E. (2012). The effect of sleep quality and sleep quantity on concussion
assessment (Doctoral dissertation, THE UNIVERSITY OF NORTH
CAROLINA AT CHAPEL HILL).
Leodux, S (2008). The effects of Sleep Deprivation on Brain and
Behavior.http://serendip.brynmawr.edu/exchange/node/1690.
Lusk,B& Lash,A. (2005). The Stress response, psychoneuroimmunology, and
stress among ICU patients. Dimensions of Respiratory and Critical Care
Nursing, 24(1), 25-31.
Makic, M.B.F., Rauen,C., Watson,R., & Poteet,A.W. (2014). Examining the
Evidence to Guide Practice: Challenging Practice Habits.Association
American Critical Care Nurse Journal, 34 (2)28-46.
Morton.,Fontaine,D., Hudak,C., & Gallo,B. (2008). Keperawatan Kritis:
Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta: penerbit Buku Kedokteran EGC.
Olson, D., et al (2001). Quite time: a nursing intervention to promote sleep in
neurocritical care units. American Journal of Critical Care, 10(2), 74-78.
Opie, L.H. & Gersh,B.J. (2005). Drugs for the Heart.Pennsylvania: Elsevier Inc.
Parthasarathy, S., & Friese, R. (2012). Sleep, circadian rhythms, and critical
illness. Sleep, 35(8), 1029.
Patel,M., Chipman,J.,Carlin.B.W.,& Shade,D. (2008). Sleep in Intensive Care
Unit Setting. Critical care nursing quaterly, 31 (4), 309-318.
Potter, P.A., & Perry,A.G. (2009). Fundamental Keperawatan. Jakarta:Salemba
Medika.
Stein-Parbury J, McKinley S (2000). Patients experiences of being in an
intensive care unit: A select literature review:American Journal Critical
Care 9(1):20-27.
Stuart, G.W. (2012). Principles and Practice of Psychiatric Nursing.10thEdition.
Chapter 16: 244.
Suwartika, I.(2012).Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Insomnia
Pada Pasien yang dirawat di Ruang Perawatan Jantung Intensif RSUP

1064
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 2 September 2014

Dr.Hasan Sadikin Bandung. Tesis Magister Keperawatan, tidak


dipublikasikan, Universitas Padjadjaran Bandung.
Weinhouse, G. L., & Schwab, R. J. (2006). Sleep in the critically ill patient.
SLEEP-NEW YORK THEN WESTCHESTER-, 29(5), 707.
Weinhouse, Gerald L., Schwab, Richard J., Watson, PL., Patil,N., Vaccaro,
B.,Pandharipande,P.,et al. (2009). Bench-to-bedside review: Delirium in
ICU patients-importance of Sleep deprivation. Critical Care, 13:234
(doi:10.1186/cc8131)
Widaryati.2011. Pengaruh Intervensi Mendengarkan Bacaan Alquran terhadap
Intensitas Kecemasan Pasien Sindroma Koroner Akut di Ruang Rawat
Intensif Jantung RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung. Tesis Magister
Keperawatan, tidak dipublikasikan, Universitas Padjadjaran Bandung.
Wenham, T., & Pittard, A. (2009).Intensive care unit environment.Continuing
Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain, 9(6), 178-183.
Thompson, D. R., Hamilton, D. K., Cadenhead, C. D., Swoboda, S. M.,
Schwindel, S. M., Anderson, D. C., ... & Petersen, C. (2012). Guidelines for
intensive care unit design*.Critical care medicine, 40(5), 1586-1600.
Ulrich, R., Linden, O., Etinge J. 1993. Effects of Exposure to Nature and Abstrac
Pictures on Patients recovering from open heart
surgery.Psychopshysiology.1993; 30:37-43.

1065

Anda mungkin juga menyukai