Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
Diare merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di
Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Survei morbiditas
yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010
terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/1000
penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /
1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa
(KLB)

diare

juga

masih

sering

terjadi,

dengan

CFR

yang

masih

tinggi

(http://www.depkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-buletin.html).
Dari hasil Riskesdas pada tahun 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan
penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 42% dibanding pneumonia 24%, untuk
golongan usia 14 tahun penyebab kematian karena diare 25,2% dibanding pneumonia
15,5%. Selain itu, penyebab utama kematian akibat diare adalah tata laksana yang tidak
tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan.
Menurut waktu berlangsungnya secara garis besar diare dibagi menjadi diare akut,
diare kronis, dan diare persisten. Di Indonesia sendiri diare akut menempati urutan
pertama dari semua jenis diare. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada
sebagian besar kasus, penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh
virus, bakteri, atau parasit. Akan tetapi, berbagai penyakit lain juga dapat menyebabkan
diare akut, termasuk sindroma malabsorpsi. Diare karena virus umumnya bersifat self
limiting sehingga aspek terpenting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya
dehidrasi yang menjadi penyebab utama kematian dan menjamin asupan nutrisi untuk
mencegah gangguan pertumbuhan akibat diare. Diare menyebabkan hilangnya sejumlah
besar air dan elektrolit dan sering disertai dengan asidosis metabolik karena kehilangan
basa.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Diare Akut
I.I Definisi
Diare akut adalah buang air besar (BAB) pada bayi atau anak dengan
konsistensi lebih lunak atau cair, frekuensi lebih 3 kali dalam 24 jam yang
berlangsung kurang dari 14 hari.
Diare akut adalah buang air besar (BAB) pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
per hari, disertai dengan perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa
lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu (WHO. Persistent
diarrhea in children in developing countries: memorandum from a WHO meeting.
Bull World Health Organ. 1988; 66: 709-17)
1.2 Epidemiologi
Diare merupakan masalah di negara berkembang termasuk di Indonesia dan
merupakan penyakit dengan angka kesakitan dan kematian tertinggi pada anak
dibawah usia 5 tahun. Di dunia 6 juta anak meninggal tiap tahunnya akibat diare.
Menurut hasil Riskesdas diare adalah penyebab utama kematian pada bayi yang
terbanyak yaitu 42%, disusul pneumonia 24%. Pada anak 1-4 tahun diare juga
penyebab kematian tertinggi yaitu 25,2%, dibanding pneumonia 15,5%.
1.3 Cara penularan dan Faktor Risiko
Penularan diare dapat melalui fekal-oral, tapi dapat juga melalui berbagai objek
yang tercemar oleh enteropatogen yang berasal dari tinja penderita baik secara
langsung maupun tidak langsung, melalui 4 F = finger, flies, fluid, field (Subagyo B.
Nurtjahjo NB. Diare Akut, Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S,
Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroentero-hepatologi:jilid 1.
Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi IDAI 2011; 87-120).
Faktor risiko yang dapat mneyebabkan terserang enteropatogen adalah sanitasi
yang buruk, kurangnya sarana kebersihan, pencemaran air dan makanan,
kebersihan pribadi yang buruk, dan penyimpanan makanan yang tidak higienis.
Beberapa faktor lain seperti umur, adanya infeksi asimtomatik, epidemi dan
pandemi. Untuk faktor umur, sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun
pertama. Insidensi tinggi pada kelompok umur 611 bulan yang pada saat itu
diberikan makanan pendamping ASI, hal ini mengakibatkan kurangnya kekebalan

bayi, dan pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi oleh tinja yang
terkontaminasi bakteri. Infeksi asimtomatik biasanya saat usia lebih dari 2 tahun
karena sudah ada pembentukan antibodi aktif dan orang tersebut tidak menyadari
adanya infeksi dan tidak menjaga kebersihan.
Faktor musim, di daerah subtropik diare karena bakteri sering terjadi saat
musim panas, sedangkan diare karena virus terutama rotavirus terjadi saat musim
dingin. Pada daerah tropik, diare karena rotavirus terjadi sepanjang tahun dan
meningkat saat musim kemarau, sedang diare karena bakteri cenderung meningkat
saat musim hujan (Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Juffrie M,
Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar
Gastroentero-hepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi IDAI 2011;
121-136)
Epidemi dan pandemi, Vibrio cholera dan Shigella dysentriae dapat
menyebabkan epidemi dan pandemi yang membuat angka kematian meningkat.
Sejak tahun 1961, kolera yang disebabkan oleh V.cholera 0,1 biotipe Eltor telah
menyebar ke negara- negara di Afrika, Amerika Latin, Asia, Timur tengah, Amerika
Utara dan Eropa. Dalam kurun waktu yang sama Shigella dysentriae tipe 1 menjadi
penyebab wabah yang besar di Amerika Tengah dan terakhir di Afrika Tengah dan
Asia Selatan. Pada akhir tahun 1992 dikenal strain baru Vibrio Cholera yang
menyebabkan epidemi di Asia dan lebih dari 11 mengalami wabah (Pickering LK,
Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds. Nelson textbook of
Pediatrics 17ed. Saunders. 2004 : 1272-6)
1.4. Etiologi
Penyebab infeksi utama timbulnya diare adalah golongan virus, bakteri, dan
parasit,

alergi,

inteolerensi,

malabsorbsi,

keracunan

makanan,

mikroorganisme.

Tabel 1: Golongan Bakteri yang menyebabkan diare

toksin

1.
2.
3.
4.
5.

GOLONGAN BAKTERI
Aeromonas
8. Salmonella
Bacillus cereus
9. Shigella
Campylobacter jejuni
10. Staphylococcus aureus
Clostridium perfringens
11. Vibrio cholera
Clostridium defficile
12. Vibrio parahaemolyticus

6. Escherichia coli

13. Yersinia enterocolitica

7. Plesiomonas Shigeloides
Tabel 2: Golongan virus yang menyebabkan diare
GOLONGAN VIRUS
1. Astrovirus

5. Rotavirus

2. Calcivirus (Norovirus, Spovirus)

6. Norwalk virus

3. Enteric adenovirus

7.Herpers Simplex virus

4. Coronavirus

8.Cytomegalovirus

Tabel 3 : Golongan Parasit yang menyebabkan diare.


GOLONGAN PARASIT
1. Balantidum coli
5.Giardia lamblia
2. Blastocystis homonis
3. Cryptosporidium parvum
4. Entamoba histolytica

6. Isospora belli
7.Strongyloides stecoralis
8.Trichuris trichiura

Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari
H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterohepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi IDAI 2011; 121-136

1.5 Patofisiologi Diare


1. Diare Sekretorik
Diare Sekretorik adalah diare yang terjadi akibat aktifnya enzim adenil siklase
yang akan mengubah adenosin triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Akumulasi cAMP intrasel menyebabkan sekresi air, ion

klorida, Na, K, Bikarbonat kedalam lumen usus. Enzim adenil siklase diaktifkan
oleh toksin yang dihasilkan dari mikroorganisme (vibrio, cholera, salmonella,
ETEC).
2. Diare Invasif
Diare invasif adalah diare akibat invasi mikroorganisme kedalam mukosa
usus sehingga terjadi kerusakan mukosa usus.
Diare invasif ada 2 :
1. Diare non disentriform : Tidak berdarah : Rotavirus
Virus masuk ke dalam saluran cerna, disaluran cerna virus berkembang biak
dan masuk ke bagian apikal usus halus sehingga menyebabkan kerusakan
bagian apikal dari vili, kemudian diganti oleh bagian kripta yang belum
matang atau imatur. Sel yang imatur tidak dapat berfungsi normal karena tidak
dapat menghasilkan enzim laktase.
2. Diare disentriform : Berdarah : Shigella, salmonella, EIEC.
Bakteri telah melewati barier asam lambung, kemudian masuk ke usus halus, dan
mengeluarkan enteroktoksin. Enterotoksin merangsang enzim adenil siklase
sehingga mengubah ATP menjadi cAMP dan mengakibatkan terjadinya diare
sekretorik. Bakteri sampai dikolon karen aadanya peristaltik usus dan
melakukan invasi membentuk mikroulkus dan sel - sel radang PMN.
3. Diare Osmotik
Diare yang diakibatkan karena tekanan osmotik tinggi didalam lumen usus
sehingga menarik cairan dari intrasel ke lumen usus dan menimbulkan watery
diare.
Penyebab diare non infeksi pada anak antara lain:

Defek anatomis
-Malrotasi
-Penyakit Hirchsprung
-Short Bowel Syndrome
-Atrofi mikrovili
Malabsorbsi
Keadaan seperti short bowel syndrome, celiac, protein, peptide, tepung,
asam amino, dan monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotik pada
lumen usus. Kerusakan sel (yang secara normal akan menyerap natrium dan air)
dapat disebabkan virus atau kuman, seperti Salmonella, Shigella, atau
Campylobacter. Sel tersebut juga dapat rusak karena inflammatory bowel

disease idiopatik, akibat toksin atau obat-obatan tertentu. Gambaran


karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorbsi usus halus adalah atropi
vili. Lebih lanjut, mikroorganisme tertentu (bakteri tumbuh lampau, giardiasis,
dan enteroadheren E. coli) menyebabkan malabsorbsi nutrien dengan merubah
faal membran brush border trigliserid diakibatkan insuffisiensi eksokrin
pankreas menyebabkan malabsorbsi yang signifikan dan mengakibatkan diare

osmotik.
Endokrinopati
-Thyrotoksikosis
-Penyakit Addison
-Sindroma Adrenogenita
Lain-lain
-Infeksi non gastrointestinal
-Alergi susu sapi
-Penyakit crohn
-Defisiensi imun
-Colitis ulserosa
-Gangguan motilitas usus
-Pellagra.

Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H,
Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroentero-hepatologi:jilid
1. Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi IDAI 2011; 121-136

1.6. Manifestasi Klinis


Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion
natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada
muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan
dehidrasi, asidosis metabolik, dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang
paling berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia dan kematian bila tidak
diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa
dehidrasi isotonic, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik.
Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang,
dan dehidrasi berat. Gejala neurologik dari infeksi usus bisa berupa paresthesia
(akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamat), hipotoni dan kelemahan otot (C.
botulinum).

Subagyo B. Nurtjahjo NB. Diare Akut, Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H,
Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterohepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi IDAI 2011; 87-120
Manifestasi immune mediated ekstraintestinal biasanya terjadi setelah diarenya sembuh,
contoh:
Tabel 4. Manifestasi immune mediated ekstraintestinal dan enteropatogen terkait.
Manifestasi

Enteropatogen terkait

Reactive arthritis

Salmonella, Shigella, Yersinia,

Guillain Barre Syndrome


Glomerulonephritis

Camphylobacter, Clostridium difficile


Camphylobcater
Shigella, Camphylobacter, Salmonella

IgA nephropathy

Camphylobacter

Erythema nodusum

Yersinia, Camphylobacter, Salmonella

Hemolytic anemia

Camphylobcater, Yersinia

Hemolytic uremic syndrome

S.dysentrie, E.coli

Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics

Tabel 5. Gejala khas diare akut oleh berbagai penyebab.


Gejala klinis
Masa tuntas
Panas
Mual muntah
Nyeri perut

Rotavirus
17-72 jam
+
Sering
Tenesmus

Shigella
24-48 jam
++
Jarang
Tenesmus

Salmonela
6-72 jam
++
Sering
Tenesmus

ETEC
6-72 jam
+
-

EIEC
6-72 jam
++
Tenesmus

Kolera
48-72 jam
Sering
Kramp

Nyeri kepala
Lamanya sakit
Sifat tinja
Volume
Frekuensi

5-7 hari

/ kramp
+
>7 hari

kolik
+
3-7 hari

2-3 hari

kramp
Variasi

3 hari

Sedang
5-10 x/hari

Sedikit
>10x/hari

Sedikit
Sering

Banyak
Sering

Sedikit
Sering

Banyak
Terus

Konsistensi
Darah
Bau
Warna

Cair
Langu
Kuning-hijau

Lembek
Sering
+/Merah

Lembek
Kadang
Busuk
Kehijauan

Cair
+
Tidak

Lembek
+
Tidak
Merah

menerus
Cair
Amis khas
Seperti air

bewarna

hijau

cucian

hijau

Leukosit
Lain-lain

Anoreksia

+
Kejang

+
Sepsis+/-

Meteorismus

+/-

Infeksi

beras
+/-

sistemik

Sumber: Sunoto 1991


1.7. Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berkut: lama diare, frekuensi,
volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada atau tidak ada lendir dan darah. Bila
disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau
tidak kencing dalam 6-8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan
selama diare. Adakah penyakit lain yang menyertai seperti: batuk, pilek, otitis
media, campak. Tindakan yang sudah dilakukan ibu selama anak diare: memberi
obat oralit, beroabat ke puskesmas, atau rumah sakit, obat-obatan yang sudah
diberikan dan riwayat imunisasinya.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi
denyut jantung dan pernafasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tandatanda utama dehidrasi seperti kesadaran, rasa haus, turgor kulit abdomen, dan tandatanda lainnya seperti ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cekung atau ada
tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering dan basah.
Pernafasan cepat dan dalam mengindikasikan asidosis metabolik, bising usus
lemah dan tidak ada bising usus menandakan hipokalemia. Pemeriksaan ektremitas
untuk capillary refill time. Ada banyak penilaian yang dipakai untuk menentukan
derajat dehidrasi antara lain: menggunakan kriteria WHO, Daldiyono, Skor Maurice
King, kriteria MMWR dan lain-lain.
Tabel 6: Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003
Gejala

Minimal atau tanpa

Dehidrasi Ringan-sedang

Dehidrasi berat kehilangan

dehidrasi kehilangan

Kehilangan BB 3% -9%

BB >9%

Normal, lelah,
gelisah, irritable
Normal-meningkat
Normal-melemah
Normal cepat
Sedikit cekung
Berkurang

Apatis, letargi, tidak sadar

Kesadaran

BB < 3 %
Baik

Denyut jantung
Kualitas nadi
Pernafasan
Mata
Air mata

Normal
Normal
Normal
Normal
Ada

Takikardia,bradikardia
Lemah, kecil, tidak teraba
Dalam
Sangat cekung
Tidak ada

Mulut dan lidah


Cubitan kulit
Capillary refill
Extremitas
Kencing

Basah
Segera kembali
Normal
Hangat
Normal

Kering
Kembali< 2 detik
Memanjang
Dingin
Berkurang

Sangat kering
Kembali > 2 detik
Memanjang minimal
Dingin, sianotik
Minimal

Tabel 7: Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995


Penilaian
Keadaan umum

A
Baik, sadar

B
*gelisah, rewel

C
*Lesu,

Mata
Air mata
Mulut dan lidah
Rasa haus

Normal
Ada
Basah
Minum biasa tidak

Cekung
Tidak ada
Kering
*haus, ingin minum

sadar
Sangat cekung dan kering
Kering
Sangat kering
*malas minum/ tidak bisa

Turgor kulit
Hasil

haus
Kembali cepat
Tanpa dehidrasi

banyak
minum
*kembali lambat
* kembali sangat lambat
Dehidrasi
ringan/ Dehidrasi berat bila ada 1

pemeriksaan

Rencana terapi A

*ditambah

tanda lain
Rencana terapi B

1 lebih tanda lain


Rencana terapi C

Tabel 8: Penentuan derajat dehidrasi menurut sistem pengangkaan Maurice King


(1974)
Bagian tubuh yang
diperiksa

tidak

sedang bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau


tanda

Terapi

lunglai,atau

Keadaan umum

Sehat

Gelisah,

cengeng, Mengigau, koma, atau

Kekenyalan kulit

Normal

apatis, ngantuk
Sedikit kurang

syok
Sangat kurang

Mata

Normal

Sedikit cekung

Sangat cekung

Ubun-ubun besar

Normal

Kering

Sangat cekung

Mulut
Denyut nadi / menit

Normal
Kuat < 120

Kering
Sedang (120-140)

Kering dan sianosis


Lemah > 140

SUMBER: Sunoto 1991

Hasil yang didapat pada penderita diberi angka 0,1 atau 2 sesuai dengan tabel
kemudian dijumlahkan. Nilai: 0-2 (ringan), 3-6 (sedang), 7-12 (berat).
3. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak
diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab
dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada
penderita dengan dehidrasi berat. Contoh: pemeriksaan darah lengkap, kultur urin
dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium yang
diperlukan pada diare akut:
Darah: darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur,
dan tes kepekaan terhadap antibiotika. Urine: urin lengkap, kultur, test kepekaan
terhadap antibiotika.
- Pemeriksaan makroskopik Tinja
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan meskipun pemeriksaan
laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery, tanpa mukus dan darah biasanya
disebabkan oleh enterotoksin, virus, protozoa atau disebabkan infeksi diluar saluran
gastrointestinal.
Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang
menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan
mukosa atau parasit usus seperti: E. Histolytica, B.coli, dan T. Trichuria. Apabila
terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi E.Histolytica
darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garisgaris darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan
Salmonella, Giardia, Cryptosporodium, dan Strongyloides.

Tabel 9: Tes laboratorium tinja yang digunakan untuk mendeteksi enteropatogen.


Test laboratorium

Organisme diduga/ identifikasi

Mikroskopik: leukosit pada tinja

Invasif atau bakteri yang memproduksi

Trophozoit, kista, oocysts, spora

sitotoksin
G.lamblia, E.Histolytica,

Rhabditiform lava

Cryptosporidium
Strongyloides

Spiral atau basil gram(-) berbentuk S

Campylobacter jejuni.

Kultur tinja : standar

E.coli, Shigella, Salmonela,

Kultur tinja : spesial

Campylobacter jejuni
Y.Enterocolitica, V.Cholerae, C.difficile

Enzym imunoassay atau latex aglutinasi Rotavirus, G.Lamblia, Enteric


enrichment
Serotyping

adenoviurs, C.Difficile
E.coli, EHEC, EPEC

Test yang dilakukan di laboratorium riset

Bakteri yang memprodusi toksin dan


genus yang virulen

Sumber: Suparto
Buku Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin, 2010.
Pemeriksaan Mikroskopik
Bertujuan mencari adanya leukosit dan memberi informasi tentang penyebab
diare, letak anatomis, serta adanya proses peradangan mukosa. Leukosit dalam tinja
diproduksi sebagi respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon. Leukosit
yang postif pada pemeriksaan tinja menunjukan adanaya kuman invasif atau kuman
yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C.jejuni, EIEC,
C.difficile, Y. Enterocolitica. Leukosit yang temukan pada umumnya adalah leukosit
PMN kecuali pada S.typhi leukosit mononuklear. Normalnya tidak dicari telur atau
parasit kecuali memiliki risiko tinggi, seperti habis berpergian ke daerah berisiko

tinggi, kultur tinja (-) untuk enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu,dan pasien
immunocompromised.

Pada

pasien

yang

dicurigai

terinfeksi

Giardiasis,

Cryptosporidiosis, Isoporiasis, dan Strongyloidiasis dimana pemeriksaan feses


negatif, aspirasi atau biospi duodenum dan jejunum dapat dilakukan.
1.8. Penatalaksanaan
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana
Pengobatan diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Tatalaksana ini sudah mulai
diterapkan di rumah sakit. Rehidrasi bukan satu-satunya strategi dalam
penatalaksanaan diare. Memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare juga
menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen Kesehatan
menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita
anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit,
yaitu:
1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
4. Antibiotik selektif
5. Nasihat kepada orang tua
1. Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan muntah
Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi.
Oralit formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia Selatan
yang terutama disebabkan karena disentri, yang menyebabkan berkurangnya
lebih banyak elektrolit tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare yang lebih
banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih baik adalah
disebabkan oleh karena virus. Diare karena virus tersebut tidak menyebabkan
kekurangan elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli diare
mengembangkan formula baru oralit dengan tingkat osmolaritas yang lebih
rendah. Osmolaritas larutan baru lebih mendekati osmolaritas plasma, sehingga
kurang menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia.
1. Oralit
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan
oralit ini sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya

lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini
juga menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi
pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%.
Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF
untuk diare akut non-kolera pada anak.
Tabel 10: Komposisi Oralit Baru
Oralit Baru Osmolaritas Rendah

Mmol/liter

Natrium
Klorida
Glucose, anhydrous
Kalium
Sitrat
Total Osmolaritas

75
65
75
20
10
245

Ketentuan pemberian oralit formula baru


A. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru
B. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang
C. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan:
-Untuk anak berumur < 2 tahun: berikan 50-100 ml tiap kali BAB
-Untuk anak 2 tahun atau lebih: berikan 100-200ml tiap BAB
D. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa
larutan harus dibuang.
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Penggunaan zinc ini memang
popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence based yang bagus.
Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang dilakukan di
awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian
zinc pada pasien anak penderita kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah
tinja/cairan yang dikeluarkan.
Zinc termasuk mikronutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara
kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi
fisiologis, zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan,
perkembangan seksual, kekebalan seluler, adaptasi gelap, pengecapan, serta
nafsu makan. Zinc juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan merupakan
mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi.

Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan


pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran
cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare.
Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan absorpsi air dan elektrolit oleh
usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan
jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat
pembersihan patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di
negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak masalah
terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang
rendah dan daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat
menurunkan frekuensi dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan
risiko terjadinya dehidrasi pada anak. Dosis zinc untuk anak-anak :
- Anak di bawah umur 6 bulan: 10mg ( tablet) per hari.
- Anak di atas umur 6 bulan: 20 mg (1 tablet) per hari.
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah
sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang,
ASI atau oralit. Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau
dilarutkan dalam air matang atau oralit.
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang
sama pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta
pengganti nutrisi yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan
berkurang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.
4. Antibiotik jangan diberikan
Antibitik tidak diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau
kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang
lamanya diare karena akan megganggu keseimbangan flora usus dan
Clostridium difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit
disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional akan
mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik, serta menambah biaya
pengobatan yang tidak perlu. Pada penelitian multipel ditemukan bahwa telah
terjadi peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang sering dipakai seperti
ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole dalam

15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut


inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh bakteri, perubahan struktur
bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan permeabilitas membran
terhadap antibiotik.
5. Nasihat pada ibu atau pengasuh
Kembali segera jika demam, tinja berdarah, berulang, makan atau minum
sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3 hari.
Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat
membantu penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat
memperpendek lamanya sakit dan memberantas organisme penyebabnya.
Dalam merawat penderita dengan diare dan dehidrasi terdapat beberapa
pertimbangan terapi:
1. Terapi cairan dan elektrolit
2. Terapi diit
3. Terapi non spesifik dengan antidiare
4. Terapi spesifik dengan antimikroba
Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan
negara berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare
biasanya masih dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya
sebagian kecil dengan dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana
kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada
di masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi
sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai komplikasi
serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data
diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan
secara sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per oral serta
melanjutkan pemberian makanan, sedangkan terapi non-spesifik dengan anti
diare tidak direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada
indikasi. Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus
dehidrasi berat.
1. Pengobatan diare tanpa dehidrasi
TRO (Terapi Rehidrasi Oral)

Penderita diare harus segera diberi cairan seperti air tajin, larutan gula garam,
kuah sayur-sayuran dan pengobatan dapat dilakukan oleh keluarga penderita.
Jumlah cairan yang dapat diberikan untuk anak usia <1 tahun adalah 50-100 ml, 1-5
tahun adalah 100-200 ml, 5-12 tahun adalah 200-300 ml, dan dewasa 300-400 ml
setiap BAB. Untuk anak dibawah usia 2 tahun pemberian cairan dilakukan dengan
sendok, yaitu 1 sendok tiap 1-2 menit. Pemberian dengan botol tidak dianjurkan.
Anak yang lebih dewasa dapat minum dengan gelas. Bila anak muntah, tunggu
sekitar 10 menit baru diberikan carian lagi 1 sendok tiap 2-3 menit.
Pemberian carian dilakukan sampai diare berhenti. Asi tetap diberikan
disamping cairan. Makanan yang diberikan sedikit-sedikit (kurang dari 6x/hari)
serta rendah serat. Buah yang diberikan adalah buah pisang dan dilarang makan
makanan yang merangsang terjadinya diare seperti makanan pedas dan asam. Bila
pengobatan ini tidak berhasil atau semakin parah kemungkinan anak sudah masuk
dalam dehidrasi ringan-sedang.

2.

Pengobatan diare dehidrasi ringan sedang


TRO (Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita dehidrasi ringan sedang harus dirawat di sarana kesehatan dan
diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit yang diberikan dalam 3
jam pertama adalah 75 cc/kgBB. Bila berat badan tidak diketahui dapat diberikan
dengan perkiraan: umur <1 tahun 300 ml, 1-5 tahun adalah 600 ml, >5 tahun adalah
1200 ml, dan dewasa adalah 2400 ml. Bila penderita masih haus dapat diberikan
minuman lagi. Bila kelopak mata menjadi bengkak, pemberian oralit dihentikan
sementara sampai oedem mata hilang.
Apabila oralit tidak bisa diberikan secara per-oral, maka oralit dapat diberikan
melalui nasogastrik dengan volume 20 ml/kgBB/jam. Dalam 3 jam dipantau
keadaan klinis pasien, apakah membaik atau memburuk. Bila membaik maka pasien
dapat diberikan terapi oralit dan makanan dengan cara pengobatan diare tanpa
dehidrasi. Bila memburuk maka pasien jatuh dalam keadaan dehidrasi berat dan
tetap dirawat di sarana kesehatan dan dapat dipertimbangkan menggunakan cairan
parenteral.

3. Pengobatan diare dehidrasi berat


TRP (Terapi Rehidrasi Parenteral)
Pengobatan terbaik untuk diare dengan dehidrasi berat adalah dengan cara
parenteral dan penderita harus dirawat di rumah sakit. Pasien harus diberikan oralit
sampai infus terpasang. Disamping itu anak diberikan carian oralit selama
pemberian intravwna (+/- 5 ml/kgBB/jam), apabila dapat minum dengan baik
biasanya dalam 3-4 jam (untuk bayi), 1-2 jam (untuk anak yang lebih besar).
Pemberian tersebut untuk memberi tambahan basa dan kalium yang tidak dapat
disuplai oleh cairan intavena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan Ringer
Laktat dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya yaitu untuk anak usia <1 tahun 1 jam
pertama 30 cc/kgBB, dilanjutkan 5 jam berikutnya 70 cc/kgBB. Diatas 1 tahun,
setengah jam pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan 2 jam berikutnya 70 cc/kgBB.
Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan IV dapat
dipercepat. Lakukan evaluasi tiap 6 jam pada bayi dan 3 jam pada anak yang lebih
besar. Lakukan evaluasi pilih pengobatan pada diare dengan dehidrasi sedang dan
pengobatan diare tanpa dehidrasi.

Tabel 11: Terapi cairan dan pemberian makanan pada GEA tanpa penyulit
Dehidrasi

Rehidrasi

Cairan

Pencegahan

Makan minum

Dehidrasi
Tanpa dehidrasi

10-20 mg

Asi terus, susu terus,

cc/ kg

makanan padat terus

BB/BAB

dengan mengurangi

oralit

porsi serat, ektra 1


porsi

Ringan-sedang

4 jam

75 cc ( gelas) Idem

Dapat

oralit/kgBB atau

sampai anak segar

ad
sampai

ditangguhakn

libitum
tanda-

tanda dehidrasi
hilang
Berat

4 jam

IVFD

RL

30 Idem

Idem

cc/Kg BB 7
tpm/kgBB/menit
oralit ad libitum
segera
anak

setelah
bisa

minum
Monitoring dilakukan tiap 1 jam
Patokan koreksi cairan melalui NGD (Nasogatric drip) adalah
Nadi masih dapat diraba dan masih bisa dihitung
Tidak ada meteorismus
Tidak ada penyulit yang mengharuskan menggunakan cairan IV
Dikatakan gagal jika dalam 1 jam pertama muntah dan diare terlalu banyak dan syok
bertambah berat.

Cairan Rehidrasi Oral

Pada tahun 1975, WHO dan UNICEF menyetujui untuk mempromosikan CRO
tunggal yang mengandung Natrium 90 mmol/L, Kalium 20 mmol/L, Klorida 80
mmol/L, Basa 30 mmol/L, dan Glukosa 111 mmol/L (2%). Komposisi ini dipilih untuk
memungkinkan satu jenis larutan saja untuk digunakan pada pengobatan diare yang
disebabkan oleh bermacam sebab bahan infeksius yang disertai dengan berbagai derajat
kehilangan elektrolit. Contoh diare Rotavirus berhubungan dengan kehilangan Natrium
bersama tinja 30-40 mEq/L, ETEC 50-60 mEq/L, dan V.cholera >90-120 mEq/L. CROWHO (Oralit) telah terbukti selama lebih dari 25 tahun efektif baik untuk terapi maupun
rumatan pada anak dan dewasa dengan semua tipe diare infeksi.
Pada tahun 2002 WHO mengumumkan CRO formula baru yang sesuai dengan
rekomendasi tersebut dengan 75 mEq/L natrium, 75 mmol/L glukosa dan osmolaritas
total 245 mOsm/L. CRO formula baru ini juga direkomendasikan untuk digunakan pada
anak dan dewasa dengan kolera, meskipun post-marketing surveilans sedang dilakukan
untuk memastikan keamanan dan indikasinya.
CRO baru
Resep untuk memperbaiki CRO antara lain menambahkan substrat untuk
kotransport Natrium (contoh: asam amino glycine, alanine, dan glutamine) atau
substitusi glukosa dengan komplek karbohidrat (CRO berbasis beras atau cereal). Asam
amino tidak menunjukkan lebih efektif daripada CRO tradisional dan lebih mahal. CRO
berbasis beras dapat direkomendasikan bila cukup latihan dan penyediaan di rumah
dapat dilakukan, dan mungkin sangat efektIf untuk mengobati dehidrasi karena kolera.
Walaupun demikian, kemudahan dan keamanan CRO paket di negara berkembang
dan secara komersial tersedia CRO di negara maju, maka CRO standar tetap merupakan
pilihan utama dari sebagian besar klinisi. Potential additive pada CRO termasuk mampu
melepaskan SCFA (amylase resistant starch derivate dari jagung) dan partially
hydrolyzed guar gum. Mekanisme kerja yang diharapkan adalah meningkatkan uptake
Natrium oleh kolon terikat pada transport SCFA. Kemungkinan lain dari perbaikan
komposisi CRO masa depan adalah penambahan probiotik, prebiotik, seng, dan protein
polimer.

Seng (Zinc)

Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara berkembang dan


dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun dan meningkatnya kejadian penyakit
infeksi yang serius. Seng merupakan mikronutrien komponen berbagai enzim dalam
tubuh, yang penting antara lain untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT
yang semuanya dilakukan di negara berkembang pada tahun 1999 didapatkan bahwa
suplementasi seng dengan dosis minimal setengah dari RDA Amerika Serikat untuk
seng, ternyata dapat menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi diare
sampai 25%, kurang lebih sama dengan hasil yang dicapai upaya preventif yang lain
seperti perbaikan higiene sanitasi dan pemberian ASI. Sejak tahun 2004, WHO dan
UNICEF telah menganjurkan penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20
mg per hari selama 10-14 hari, dan pada bayi <6 bulan dengan dosis 10 mg per hari
selama 10-14 hari.
Pemberian makanan selama diare
Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan setelah sembuh.
Tujuannya adalah memberikan makanan kaya nutrien sebanyak anak mampu menerima.
Sebagian besar anak dengan diare cair, nafsu makannya timbul kembali setelah dehidrasi
teratasi. Meneruskan pemberian makanan akan mempercepat kembalinya fungsi usus
yang normal termasuk kemampuan menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien,
sehingga memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling tidak dikurangi.
Sebaliknya, pembatasan makanan akan menyebabkan penurunan berat badan sehingga
diare menjadi lebih lama dan kembalinya fungsi usus akan lebih lama.
Makanan yang diberikan pada anak diare tergantung kepada umur, makanan yang
disukai, dan pola makan sebelum sakit serta budaya setempat. Pada umumnya, makanan
yang tepat untuk anak diare sama dengan yang dibutuhkan dengan anak sehat. Bayi yang
minum ASI harus diteruskan sesering mungkin dan selama anak mau. Bayi yang tidak
minum ASI harus diberi susu yang biasa diminum paling tidak setiap 3 jam.
Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau bebas laktosa secara rutin tidak
diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa mungkin diperlukan untuk
sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul kembali atau bertambah hebat
sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan dengan pemeriksaan terdapat tinja yang
asam (pH <6) dan terdapat bahan yang mereduksi dalam tinja >0,5%. Setelah diare
berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari kemudian coba kembali dengan susu
atau formula biasanya diminum secara bertahap selama 2-3 hari.

Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak atau
padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus berasal dari
makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6 kali atau lebih) dan anak dibujuk
untuk makan. Pada anak yang lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari
makanan pokok setempat misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk
meningkatkan kandungan energinya dapat ditambahkan 5-10ml minyak nabati untuk
setiap 100 ml makanan. Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan
karoten. Campur makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-sayuran,
serta ditambahkan tahu, tempe, daging, atau ikan. Sari buah segar atau pisang baik untuk
menambah kalium. Makanan yang berlemak atau makanan yang mengadung banyak
gula seperti sari buah yang banyak diperdagangkan sebaiknya dihindari.
Pemberian makanan setelah diare
Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa kegagalan
pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi anoreksia hebat. Oleh karena
itu, perlu pemberian ekstra makanan yang kaya akan zat gizi beberapa minggu setelah
sembuh untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta mempertahankan
pertumbuhan normal. Berikan ekstra makanan pada saat anak merasa lapar, pada
keadaan semacam ini biasanya anak dapat menghabiskan tambahan 50% atau lebih
kalori dari biasanya.
Terapi medikamentosa
Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare, seperti antibiotika,
antidiare, adsorben, antiemetic, dan obat yang mempengaruhi mikroflora usus. Beberapa
obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya mempunyai efek
toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan untuk anak umur kurang dari
2-3 tahun. Secara umum, dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk
pengobatan diare akut.

1. Antibiotik

Antibiotik pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena
sebagian besar diare infeksi adalah Rotavirus yang sifatnya self-limited dan tidak dapat
dibunuh dengan antibiotik. Hanya sebagian kecil (10-20%) yang disebabkan oleh bakteri
patogen

seperti

V. cholera,

Shigella,

Enterotoksigenik

E.

coli,

Salmonella,

Campylobacter, dan sebagainya.


Tabel 13: Antibiotik pada diare
Penyebab
Kolera

Antibiotik pilihan
Tetracycline
12,5 mg/kgBB
4 x/ hari selama 3 hari

Alternatif
Erythromycin
12,5 mg/kgBB
4x sehari selama 3 hari

Shigella dysentery

Ciprofloxacin
15 mg/kgBB
2x 1 selama 3 hari

Pivmecillinam
20 mg/kgBB
4x1 selama 5 hari
Ceftriaxone
50-100 mg/kgBB
1x sehari IM selama 2-

Amoebiasis

Metronidazole
10 mg/kgBB
3 x 1 selama 5 hari ( 10 hari

5 hari

Giardiasis

pada kasus berat)


Metronidazole
5 mg/kg
3x 1 selama 5 hari

1.9. Komplikasi
1. Gangguan elektrolit
1. Hipernatremia
Penderita dengan Natrium plasma >150 mmol/L memerlukan pemantauan
ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar Natrium secara perlahan-lahan.
Penurunan Natrium secara cepat berbahaya karena dapat menimbulkan edema
otak. Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara yang paling
baik dan aman.
Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat digunakan dengan menggunakan
cairan 0,45% saline-5% dextrose selama 8 jam. Bila kadar menjadi normal
lanjutkan rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kadar
Natrium plasma setelah 8 jam. Untuk rumatan dapat digunakan 0,18% saline- 5%
dekstrosa, perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCL pada setiap

500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diit
normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10 mg/kgBB / setiap
BAB sampai diare berhenti.
2. Hiponatremia
Anak dengan diare biasnya minum cairan yang mengandung sedikit garam
sehingg terjadi hiponatremia (Na<130 mol/L). Hiponatremia sering terjadi pada
anak dengan Shigellosis dan anak malnutrisi berat dengan edema. Oralit aman
dan efektif untuk terapi pada anak hiponatremia. Bila menggunakan Ringer
Laktat atau Normal Saline, kadar Na koreksi (mEq/L) = 125kadar Na serum
yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan (mEq Na = 125Na
darah x 0,6 x BB(kg)). Separuh diberikan dalam 8 jam dan sisanya dalam 16
jam. Peninggian serum Na tidak melebihi 2 mEq/L/jam.
3. Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia bila kadar K >5 mEq/l, koreksi dilakukan dengan
pemberian kalsium glukonas 10% 0,5-1 ml/kgBB iv pelan-pelan dalam 510
menit dengan monitor detak jantung.
4. Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila kadar K <3,5 mEq/L, koreksi dilakukan
menurut kadar K, jika kadar Kalium 2,5-3,5 mEq/L diberikan per-oral 75
mcg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Bila kadar K < 2,5 mEq/L maka diberikan
intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam dosisnya (3,5kadar K terukur x BBx 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam), kemudian 20 jam
berikutnya adalah (3,5 kadar K terukur x BB X 0.4 + 1/6 x 2 mEq/BB).

5. Kegagalan upaya rehidrasi oral


Kegagalan upaya rehidrasi oral dapat terjadi pada keadaan tertentu misalnya
pengeluaran tinja cair yang sering dalam volume banyak, muntah yang menetap,
tidak dapat minum, kembung, dan ileus pralitik, serta malabsorbsi glukosa. Pada
keadaan ini maka cairan harus diberikan secara intravena.
6. Kejang
Anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang
sebelum atau sesudah pengobatan rehidrasi. Kejang dapat disebabkan oleh karena
hipoglikemia, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia,
dan kejang terjadi bila panas tinggi melebihi 40C, hipernatremia atau hiponatremia.

1.10. Pencegahan
1. Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare
Kuman-kuman patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekaloral. Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara
penyebaran ini. Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif, meliputi:
a. Pemberian ASI yang benar
b. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI
c. Penggunaan air bersih yang cukup
d. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun
e. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis
f. Membuang tinja bayi yang benar
2. Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu (host)
a. Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 tahun
b. Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI
c. Imunisasi campak

2. Probiotik
Probiotik diberi batas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang
difermentasi yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan
mikroflora intestinal yang lebih baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan
pemberian probiotik dalam waktu yang panjang terutama untuk bayi yang tidak
minum ASI.
DSouza dkk tahun 2002 melaporkan bahwa probiotik jika diberikan bersamasama dengan antibiotik mengurangi risiko Antibiotic Associated Diarrhea.
Kemungkinan mekanisme efek probiotik dalam pencegahan diare melalui
perubahan lingkungan mikro lumen usus (pH, oksigen), produksi bahan anti
mikroba terhadap beberapa patogen usus, kompetisi nutrien, mencegah adhesi
kuman patogen pada enterosit, modifikasi toksin terhadap mukosa usus melalui
penyediaan nutrien dan imunomodulasi.
Disimpulkan bahwa beberapa probiotik potensial mempunyai efek protektif
terhadap diare, tetapi masih diperlukan penelitian dan evaluasi lebih lanjut termasuk
efektifitas dan keamanannya, walaupun sejauh ini penggunaan probiotik pada
percobaan klini dikatakan aman.
3. Prebiotik
Prebiotik bukan merupakan mikroorganisme akan tetapi bahan makanan.
Umumnya kompleks karbohidrat yang bila dikonsumsi dapat merangsang

pertumbuhan flora intestinal yang menguntungkan kesehatan. Oligosacharida yang


ada di dalam ASI dianggap sebagai prototipe prebiotik karena dapat merangsang
pertumbuhan Lactobacilli dan Bifidobacteria didalam kolon bayi yang minum ASI.
Data menunjukkan angka kejadian diare akut lebih rendah pada bayi yang minum

2. Diare Kronis dan Diare Persisten


2.1. Definisi
Diare pada umumnya dibagi menjadi diare yang berkepanjangan (kronis dan
persisten). Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap sebagai kondisi yang
sama. Ada 2 jenis diare yang berlangsung 14 hari, yaitu diare persisten yang
mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi
non-infeksi.
2.2. Epidemiologi
Diare persisten dan kronis mencakup 320% dari seluruh episode diare pada
balita. Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 715% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan
kematian akibat diare. Di Indonesia diare persisten / kronis sebesar 0,1% dengan
angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11 bulan.
2.3. Etiologi
Terdapat perbedaan etiologi penyebab diare kronis dan diare persisten pada
negara berkembang dan negara maju. Di negara maju sebagian besar membahas
penyebab non-infeksi, umumnya meliputi intoleransi protein susu sapi / kedelai
(pada anak usia <6 bulan, tinja sering disertai darah), celiac disease (gluten
sensitive enteropathy),

dan cystic fibrosis. Namun, perhatian global seringkali

tertuju pada diare berkepanjangan yang bermula dari diare akut akibat infeksi
saluran cerna. Enteropatogen penyebab diare berkepanjangan (7-15 hari) di
Surabaya pada tahun 1984-1993 adalah Salmonella sp. sebanyak 81 kasus,
Entamoeba histolytica sebanyak 16 kasus, dan pada diare kronis yaitu lebih dari 15
hari disebabkan oleh Salmonella sp. sebanyak 21 kasus.

2.4. Patogenesis
Patogenesis diare kronis melibatkan faktor yang kompleks. Pertemuan
Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and Nutrition (CAPGAN)
menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis yang menjelaskan bahwa
paparan berbagai faktor predesposisi, baik infeksi maupun non-infeksi yang
melibatkan serangkaian proses yang memicu kerusakan mukosa usus dan
mengakibatkan diare kronis. Seringkali diare kronis dan diare persisten tidak dapat
dipisahkan, sehingga beberapa referensi hanya menggunakan salah satu istilah untuk
menerangkan kedua jenis diare tersebut.6
Gambar 1: Konsep Patogenesis Diare persisten dan Kronis Sumber : Sullivan

Gambar 2: Alur perjalanan diare akut menjadi diare persisten Sumber: Bhutta

Dijelaskan bahwa faktor seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi


mikronutrien, dan ketidaktepatan terapi diare menjadi faktor risiko terjadinya diare
berkepanjangan (prolonged diarrhea). Pada akhirnya diare yang berkepanjangan
akan menjadi diare persisten yang memiliki konsekuensi enteropati dan malabsorbsi
nutrisi lebih lanjut. Faktor utama mekanisme diare kronis adalah (1) faktor
intralumen dan (2) faktor mukosal. Faktor intralumen berhubungan dengan proses
pencernaan dalam lumen, termasuk gangguan pankreas, hepar, dan brush border
membrane. Faktor mukosal berhubungan dengan segala proses yang menyebabkan

perubahan integritas mukosa usus ataupun gangguan transport protein. Perubahan


integritas mukosa usus dapat terjadi akibat infeksi, noninfeksi, dan intoleransi
laktosa. Gangguan transport protein disebabkan gangguan penukar ion NatriumHidrogen dan Klorida Bikarbonat.
Secara umum patofisiologi diare kronis/ persisten digambarkan jelas oleh
Ghishan dengan meliputi: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3) mutasi protein transport
membran apikal, (4) pengurangan luas permukaan anatomi, dan (5) perubahan
motilitas usus
Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds.
Nelson textbook of Pediatrics 17ed. Saunders. 2004 : 1272-6
2.5. Manifestasi Klinis
Roy et al (2006) anak dengan diare persisten banyak menunjukkan manifestasi
diare cair dibanding diare disentriform. Anak dengan diare persisten kebanyakan
mengalami malnutrisi. Studi di Amerika menunjukkan gejala penurunan nafsu
makan, muntah, demam, lendir dalam tinja, dan gejala flu, lebih banyak ditemukan
pada diare persisten dibandingkan diare akut. Gejala lain adalah gejala khas
penyakit yang mendasarinya.
Gambar 3: Diagram manajemen diare persisten sumber : Bhutta

2.6. Diare Persisten pada pasien kondisi khusus.


1. Diare persisten pada infeksi HIV
Diare persisten merupakan salah satu manifestasi klinis yang banyak
dijumpai pada penderita HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare
persisten lima kali lebih tinggi pada anak-anak dengan HIV seropositif. Faktor
penting yang meningkatkan kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian
diare persisten adalah jumlah episode diare akut sebelumnya. Setiap episode
diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1.5 kali untuk terjadinya diare
pesisten.
Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak
belum diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV

terkait dengan perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV terjadi penurunan
kadar CD4, IgA sekretorik, dan peningkatan CD8 lamina propia. Perubahan
keadaan ini memacu perkembangan bakteri. Parasit terbanyak pada anak HIV
dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica (17,1%). Schmidt (1997)
mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak penyebab diare
persisten pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekkan dan pengurangan
luas permukaan vili usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada pasienpasien HIV tanpa gejala diare persisten.
2.

Diare persisten dengan keganasan.


Beberapa tumor dapat menghasilkan hormon yang secara langsung
menstimulus sekresi usus dan menyebabkan diare. Ada juga tumor yang dapat
menyebabkan gangguan pada absorpsi nutrien dan berdampak pada diare. Pada
pancreatic cholera, terbentuk neoplasma sel endokrin pada pancreas yang
menghasilkan suatu neurotransmitter dan memicu terjadinya sekresi berlebihan
di usus. Pada sindroma Zollinger-Ellison (gastrinoma), peningkatan produksi
asam lambung yang disebabkan tumor penghasil gastrin dapat menganggu enzim
pencernaan dan menyebabkan presipitasi asam empedu sehingga menyebabkan
malabsorpsi zat nutrien. Pada diare jenis ini, tinja memiliki pH yang rendah.
Diare pada keganasan juga berhubungan dengan efek samping kemoterapi.
Kemoterapi menyebabkan peradangan membran mukosa traktus gastrointestinal
(Mukositis). Agen-agen kemoterapi yang terkait adalah 5 Fluorouracil dan
Irinotectan. 5-Fluorouracil menginduksi diare melalui peningkatan rasio jumlah
kripta terhadap vili, sehingga meningkatkan sekresi cairan ke lumen usus.

DAFTAR PUSTAKA
WHO. Persistent diarrhea in children in developing countries: memorandum from a WHO meeting. Bull
World Health Organ. 1988; 66: 709-17
Subagyo B. Nurtjahjo NB. Diare Akut, Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I,
Mulyani

NS,

penyunting.

Buku

ajar

Gastroentero-hepatologi:jilid

1.

Jakarta

UKK

Gastroenterohepatologi IDAI 2011; 87-120


Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina
I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroentero-hepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK
Gastroenterohepatologi IDAI 2011; 121-136
Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds. Nelson textbook of
Pediatrics 17ed. Saunders. 2004 : 1272-6
WHO, UNICEF. Oral Rehydration Salt Production of the new ORS. Geneva. 2006
Bhutta ZA. Persistent diarrhea in developing countries. Ann Nestle. 2006; 64: 39-47
Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. J. Clin Invest. 2003; 111(7): 931-943
Buku Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah
Sakit Mohammad Hoesin, 2010.

Anda mungkin juga menyukai