Anda di halaman 1dari 12

INTERNET GAMING DISORDER

Bermain adalah unsur yang penting untuk perkembangan anak baik fisik, emosi, mental,
intelektual, kreativitas, dan sosial (Soetjiningsih, 1998). Anak usia sekolah adalah usia
berkelompok atau sering disebut sebagai usia penyesuaian diri (Church & Stone dalam Hurlock,
2008). Pada masa perkembangan anak usia sekolah, permainan yang paling diminati adalah
permainan yang bersifat persaingan (Hurlock, 2008). Anak-anak masa sekolah mengembangkan
kemampuan melakukan permainan (game) dengan peraturan, (Desmita, 2008). Seiring dengan
pesatnya perkembangan teknologi internet, game online juga mengalami perkembangan yang
pesat. Game online adalah game yang berbasis elektronik dan visual (Rini, 2011). Game online
mempunyai perbedaan yang sangat besar dengan game lainnya yaitu pemain game tidak hanya
dapat bermain dengan orang yang berada di sebelahnya namun juga dapat bermain dengan
beberapa pemain lain di lokasi lain, bahkan hingga pemain di belahan bumi lain (Young, 2007).
Anak dianggap lebih sering dan rentan terhadap penggunaan permainan game online daripada
orang dewasa (Griffiths & Wood, 2000 dalam Lemmens, 2009). Adiksi game online ditandai
oleh sejauh mana pemain game bermain game secara berlebihan yang dapat berpengaruh negatif
bagi pemain game tersebut (Weinstein, 2010). Kriteria adiksi game di antaranya adalah salience,
tolerance, mood modification, relapse, withdrawal, conflict, dan problems. Ketujuh kriteria ini
merupakan pengukuran untuk mengetahui adiksi atau tidaknya seorang pemain game yang
ditetapkan pemain yang mendapatkan empat dari tujuh kriteria merupakan indikasi pemain yang
mengalami adiksi game (Lemmens, 2009).
Teknologi informasi (TI) salah satu hal yang sulit lepas dari kehidupan manusia, karena ia
sudah ada sejak berabad-abad lalu dan hingga kini masih berkembang. Tanpa adanya TI, manusia
akan sulit berkomunikasi dan menyampaikan informasi. TI banyak sekali memiliki peranan dan
dampaknya dalam berbagai bidang, baik itu pendidikan, kesehatan, politik, sosial-budaya,
keamanan, ekonomi bahkan hiburan, artinya kemajuan teknologi saat ini tidak bisa dipisahkan
dari kehidupan mayarakat. Berbagai informasi yang terjadi di belahan dunia kini dapat langsung
kita ketahui berkat kemajuan teknologi.

Perubahan ini juga memberikan dampak yang begitu besar terhadap transformasi nilai-nilai
yang ada di masyarakat. Khususnya masyarakat adat dan kebudayaan timur seperti Indonesia.
Saat ini, di Indonesia dapat kita saksikan begitu besar pengaruh kemajuan teknologi terhadap
nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan,
seperti pengaruh televisi, telepon, radio, telpon genggam (HP), gadget, ipad, bahkan internet
bukan hanya melanda masyarakat di perkotaan namun juga dapat dinikmati masyarakat di
pelosok-pelosok desa. Akibatnya, segala informasi yang bersifat positif maupun negatif dapat
dengan mudah diakses oleh masyarakat, dan diakui atau tidak, perlahan-lahan mulai mengubah
pola hidup dan pola pemikiran masyarakat (Eka, 2013). Pada masyarakat kontemporer, internet
menjadi salah satu kebutuhan penting dalam kehidupan modern untuk menunjang segala sektor
kebutuhan hidup, baik itu untuk keperluan promosi bisnis, pendidikan, komunikasi, hingga
hiburan, membuat internet menjadi semakin diminati oleh semua kalangan, salah satu layanan
yang disediakan oleh internet ialah fasilitas Game Online.
Dari data terbaru yang dirilis oleh asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia (APJII),
pengguna aktif internet Indonesia sudah mencapai 107 juta orang, atau sekitar 24% dari total
populasi Indonesia. Dari data pengguna internet aktif, diperkirakan pemain game online aktif
Indonesia berkisar 10,7 juta orang, atau sekitar 10% dari total jumlah pengguna internet.
Pengertian aktif di sini adalah mereka yang hampir setiap hari bermain game online. Untuk
pemain game online pasif, diperkirakan mencapai sekitar 15 jutaan. Perkiraan ini didapat dari
data pengguna facebook di Indonesia yang telah tembus di atas 30 juta orang, di mana 50%
penggunanya pernah memainkan game online yang terdapat di situs jejaring sosial tersebut. Tiap
tahunnya pemain game Indonesia diperkirakan
meningkat

sekitar

5-10%

seiring

dengan

semakin pesatnya infrastruktur internet di


Indonesia (http://www.Ligagame.com)
Sumber : asosiasi penyelenggara jasa internet
Indonesia (APJII), 2014.

Suler dan Yaoung (1996, dalam Modul kecanduan PDE) menyatakan bahwa beberapa
orang mengalami kesulitan unutk mengetahui kapan harus berhenti menggunakan internet, sebab
di sana tidak berbeda jauh dengan dunia nyata, adanya aspek sosial bagi hubungan secara
interpersonal dengan orang lain, yang sedemikian menstimulasi dan menguntungkan (rewarding
and reinformcement) membuat para pengguna internet lupa bahwa mereka tidak dalam kondisi
yang sebenarnya, hanya realitas semu.
Pada tataran individu, orang yang memainkan game online akan mengalami realitas di luar
apa yang dijalaninya sehari-hari. Pada titik-titik tertentu orang-orang yang mengakses game
online menjadi tidak peduli dengan tatanan moral, sistem nilai dan norma yang telah disepakati
dalam masyarakat, intinya tidak lagi peduli

pada aturan yang ada. Belum lagi sikap

individualisme yang makin meninggi ditunjang dengan sifat internet sebagai komunikasi
interaktif yang tidak mengharuskan komunikasi pertemuan fisik. Game online menjadi salah satu
penyebab utama timbulnya sikap dan perilaku kompulsif, agresif, dan tidak acuh pada kegiatan
lain. Demikian pula munculnya gejala aneh, seperti rasa tak tenang, gelisah ketika hasrat bermain
tidak segera terpenuhi (Modul kecanduan PDE).
Game online muncul karena semakin sedikitnya interaksi sosial terhadap orang yang sama
sekali belum dikenal dan mereka bekerja hampir sama seperti chatting. Menurut Fauzi (2010)
game online MMO mempunyai aspek interaksi sosial sebagai berikut:

Adanya suatu hubungan timbale balik antar gamers


Adanya suatu individu atau kelompok/institusi
Tuhuan dari proses interaksi itu sendiri
Ada hubungan dengan struktur dan fungsi komunitas.

Komunitas ini terjadi karena individu tidak dapat terpisahkan dari suatu kelompok interaksi
sosial, dan juga karena individu tersebut memiliki fungsi dan kedudukan dalam komunitas
tersebut (http://www.networkkedblogs.com)
Griffiths (2007) seorang professor dari universitas Nottingham menulis jurnal medis yang
menyatakan bahwa dengan bermain game online MMO (yang tidak berlebihan) dapat membantu

anak-anak penderita attention deficit disorder (ADD) untuk mengembangkan keterampilan sosial
bagi mereka. MMO mengajarkan pemainnya untuk melakukan problem solving, memotivasi, dan
mengembangkan kemampuan kognitif, kebanyakan game menantang gamer (pemain game)
untuk mengatasi tantangan yang semakin sulit di tiap level. Game masa kini yang mendukung
banyak pemain berinteraksi di waktu yang sama dapat membuat gamer mengasah kemampuan
komunikasi dan bersosialisasi, terutama dalam bekerjasama secara tim.
Florence dan Chee (2013) dari Loyala University, Chicago telah mengadakan penelitian
dan menurutnya bahwa MMO dapat menumbuhkan interaksi sosial bagi yang menentang
stereotip gamer yang terisolasi, misalnya seperti hubungan pertemanan, persaudaraan, organisasi,
mengahadapi konflik bersama (guild wars), memanajemen anggota (jika menjadi guild leader),
kontrol emosi, politik, dan sebagainya. Pada permainan-permainan ini gamer dituntut mampu
bekerjasama, mampu menghadapi konflik, mengontrol emosinya, dan berlatih menjadi seorang
pemimpin. Gamer belajar berorganisasi, berinterkasi dan mencoba memecahkan konflik-konflik
sosial. Ada juga beberapa game yang kemudian diadaptasi dan dimainkan dalam kegiatankegiatan outbond.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh APA (American Psychological Association),
game memiliki beberapa manfaat yang baik bagi orang yang memainkannya, beberapa manfaat
tersebut adalah manfaat kognitif , manfaat motivasional, manfaat emosional, manfaat social.
APA menjelaskan manfaat kognitif yang bisa didapat adalah meningkatkan kemampuan spasial,
meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan masalah, dan meningkatkan kreatifitas.
Manfaat motivasional adalah membuat pemainnya pantang menyerah dalam menyelesaikan
persoalan yang dihadapinya. Manfaat emosional didapat karena memainkan video game adalah
salah satu cara yang efektif dan efisien untuk menghasilkan perasaan yang positif. Sedangkan
manfaat social yang diperoleh diseabkan karena 70% gamer bermain secara multiplayer dengan
teman temannya.
Peneliti University of Rochester di New York, Amerika mengungkapkan bahwa game
dapat membantu melatih orang orang yang memiliki problem dalam berkonsentrasi. Sedangkan
Desai R.A, University of Pennsylvania, Philadelphia (2011), melakukan penelitian terhadap 4028
remaja. Di antara mereka, 51.2% merupakan pemain video game (76,3% anak laki-laki dan
29,2% anak perempuan). Pada anak laki-laki tidak ditemukan kaitan antara game dan perilaku
kesehatan yang negatif (termasuk kebiasaan merokok, pemakaian narkoba, depresi, dan

perkelahian). Namun, pada anak laki-laki, game lebih sering berkaitan dengan perkelahian dan
perilaku membawa senjata ke sekolah; dibandingkan anak perempuan. Game lebih cenderung
menimbulkan kecanduan pada anak laki-laki (5.8%) daripada anak perempuan (3.0%).
Namun dari semua manfaat yang didapat, jika game dimainkan secara berlebihan akan
menimbulkan kerugian. Stanford University School of Medicine (2009), terlalu banyak main
game bisa mengganggu proses tumbuh kembang anak, antara lain berupa, masalah sosialisasi,
masalah komunikasi , mengikis empati , gangguan motorik , masalah kesehatan. Terjadi
beberapa kasus yang mencengangkan yang disebabkan oleh karena game. Di China, pada tahun
2007, Zhang di Jinzhou tewas setelah bermain game online selama liburan panjang tahun baru,
teridentifikasi karena serangan jantung. Di tahun yang sama laki laki 30 tahun di Guangzhou,
tewas setelah bermain game online selama 3 hari berturut turut. Korea, tahun 2005, Seungseob
Lee meninggal karena cardiac arrest setelah bermain game Starcraft di warnet selama 50 jam
tanpa henti. Brazil, tahun 2014, Rio de Janeiro, Gabriel Cavalcante Carneiro Leao, 16 tahun,
tertabrak bus saat sedang bermain game di ponselnya. Setelah 4 hari koma, dia meninggal.
Amerika Serikat, Jacksonville, Florida.

Alexandra Tobias dinyatakan bersalah karena

mengguncang bayinya sampai meninggal. Hal ini disebabkan oleh karena dia terganggu dengan
tangisan bayinya saat sedang bermain game Farmville. Tahun 2008, di Philadelphia. Tyrone
Spellman menghantam kepala putrinya yang berumur 17 bulan hingga retak dan meninggal
karena menarik kabel Xbox-nya hingga rusak. Tahun 2007, di Wellington, Ohio. Daniel Petric
membunuh ibu dan melukai ayahnya karena menyita game yang dimainkannya selama 18 jam
tanpa henti. Di Indonesia, tahun 2013, di Bandung seorang remaja 15 tahun nekat mencuri motor
karena kecanduan game online. Tahun 2015, Jakarta Selatan. Dua remaja membacok dan
merampas handphone penjual nasi goreng untuk biaya main game online.
Dalam bebrapa penelitian bahkan diungkapkan game dapat menimbulkan kecanduan. Pada
tahun 2005, Dr. Maressa Orzack memperkirakan 40% pemain World of Warcraft telah
mengalami kecanduan. Pada tahun 2006, Professor Griffiths memperkirakan 12% gamer telah
mengalami kecanduan. Pada tahun 2007, Michael Cai menyatakan bahwa kecanduan game
adalah masalah serius di negara negara Asia, misalnya China dan Korea. Perilaku kecanduan,
seperti kecanduan game online, telah dikategorikan dalam gangguan kontrol impuls atau
dependensi substansi (Grsser dan Thalemann, 2006). Gamer patologis menunjukkan tingkat

depresi, kecemasan & fobia sosial yang lebih tinggi. (Gentile et al, 2011). Sementara masih ada
perdebatan tentang bagaimana mendefinisikan penggunaan video game patologis atau kecanduan
video game.Sebagian besar peneliti mempelajari bahwa penggunaan komputer atau video game
patologis itu mirip dengan kriteria DSM untuk judi patologis. (Pathological Video Gaming Hyekyung Choo et al ). Hasil penelitian Hyekyung Choo, PhD. terhadap 2998 anak di Singapura,
sekitar 8.7 % anak diklasifikasikan sebagai gamer patologis karena memenuhi 5 dari 10 gejala.
Gamer patologis menghabiskan lebih dari 37.5 jam seminggu untuk bermain game, dua kali lipat
dari gamer non patologis. Sekitar 70% gamer patologis mempunyai alat game di kamar tidur,
lebih sering mengunjungi warnet, mendapatkan lebih banyak nilai buruk di sekolah, mempunyai
masalah dalam pengendalian impuls, lebih rentan terkena masalah kesehatan fisik, lebih sering
bertengkar dengan orang tua karena game, waktu tidur lebih sedikit dan sering terlambat masuk
sekolah, penurunan kepedulian tentang perawatan diri, mengandalkan teman untuk
menyelesaikan pekerjaan rumah karena game. Pada mulanya, aktifitas ini tidak patologis. Tapi
akan menjadi patologis ketika aktivitas ini mulai memicu konsekuensi hidup negatif yang serius.
Penggunaan patologis video games akan menimbulkan perilaku adiktif, dapat dinilai dari :

Salience : Apakah kegiatan ini dominan dalam kehidupan seseorang, baik


kognitif atau perilaku?

Euphoria / relief : Apakah kegiatan ini menimbulkan perasaan senang atau


meringankan perasaan tidak menyenangkan.

Tolerance : Apakah harus melakukan kegiatan ini lebih dari biasanya


untuk mendapat kesenangan.

Withdrawal symptoms : Apakah ada perasaan tidak menyenangkan atau


emosi yang negatif saat tidak bisa melakukan kegiatan ini.

Conflict : Apakah kegiatan ini memicu konflik dengan orang lain,


pekerjaan, kewajiban dan diri sendiri.

Relapse and reinstatement : Apakah kegiatan tetap dilanjutkan meskipun


mencoba untuk berhenti dari aktifitas tersebut.

(Brown RIF. Gaming, gambling and other addictive play, 1991)


Menurut DSM-IV, ketergantungan zat atau penyalahgunaan atau judi patologis sering
dikaitkan dengan gangguan kepribadian antisosial atau perilaku agresif dan menjadi diagnosis
patologis ketika masalah memicu penurunan funsi sosial dan pekerjaan atau akademik. Menurut
penelitian secara konsep video game patologis menunjukkan hal yang serupa. Ada keterkaitan
antara peningkatan agresi, penurunan kecenderungan sosial, dan gangguan fungsi sosial dan
pekerjaan / pendidikan dengan gamer kelas berat. APA telah mengembangkan 9 kriteria
karakteristik yang diusulkan untuk diagnosis Internet Gaming Disorder , 5 dari 9 kriteria berikut
harus dipenuhi dalam waktu satu tahun :
1. Preoccupation. Obsesi dengan permainan internet.
2. Withdrawal symptoms. Gejala penarikan ketika tidak bermain game internet.
3. Tolerance. Semakin membutuhkan lebih banyak waktu untuk bermain game
internet.
4. Telah mencoba untuk menghentikan atau membatasi bermain game internet, tetapi
gagal untuk melakukannya.
5. Telah kehilangan minat dalam kegiatan hidup lainnya, seperti hobi.
6.

Tetap memainkan secara berlebihan walaupun sudah

mengetahui apa akibat

negatif yang akan muncul.


7. Berbohong kepada orang lain tentang penggunaan permainan internetnya.
8.

Menggunakan game internet untuk mengurangi kecemasan atau rasa bersalah.

9. Telah kehilangan atau hampir kehilangan pekerjaan, kesempatan atau hubungan


karena permainan internet.

Faktor-faktor penyebab kecanduan game online

Smart (2010) mengemukakan enam faktor yang dapat mengakibatkan kecanduan game
online, yaitu:
1. Kurang perhatian dari orang-orang terdekat
Anak berpikir bahwa mereka dianggap ada jika dapat menguasai keadaan. Anak merasa
bahagia ketika mendapatkan perhatian dari orang-orang terdekat, terutama ayah dan ibu. Anak
cenderung berperilaku yang tidak menyenangkan untuk mendapatkan perhatian. Saat anak
kecanduangame online dapat memicu perilaku buruk pada anak, sehingga anak akan menarik
perhatian orang tua.
2. Stress atau depresi
Seperti orang dewasa anak-anak juga dapat merasakan depresi. Perasaan stress atau depresi
yang dapat ditimbulkan karena mata pelajaran di sekolah, kurang perhatian orang tua, merasa
terkekang, dan tersingkir dari pergaulan. Beberapa anak menggunakan media untuk
menghilangkan

stress,

diantaranya

adalah game

online.

Remaja

yang

bermain game

online awalnya hanya untuk coba-coba saat menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan. Rasa
nikmat yang diperoleh saat bermain game dan masalah yang dihadapi dapat dilupakan sejenak,
sehingga anak dapat mengalami kecanduan.
3. Kurang kontrol
Orangtua terkadang memanjakan anak dengan fasilitas yang diberikan, seperti membelikan
video game, menyediakan wifi dirumah, dan tidak membatasi anak bermain game online.
Mengikuti semua keinginan anak dianggap sebagai cara untuk menunjukkan kasih sayang orang
tua. Anak-anak yang dengan mudah mendapatkan apa yang diinginkan cenderung
berperilaku over. Orangtua yang tidak mengontrol anak saat bermain gamedapat menyebabkan
anak mengalami kecanduan game online.
4. Kurang kegiatan
Anak tidak memiliki kegiatan dan tidak memiliki teman sebaya dirumah. Biasanya anak yang
tidak memiliki kegiatan dan tidak memiliki teman maka anak akan mencari kegiatan lain untuk
mengatasi kebosanan. Bermain gamedijadikan anak sebagai pelarian karena merasa jenuh dan
bosan dirumah.

5. Lingkungan

Perilaku anak tidak hanya terbentuk karena pengaruh dalam keluarga. Saat di sekolah anak
bermain dengan teman-temannya. Perilaku teman-temannya cenderung akan dicontoh anak. Saat
melihat teman-temannya bermain game, anak akan ikut untuk mencoba bermain.
6.

Pola asuh
Tiap orangtua memiliki cara dan pola asuh yang berbeda. Pola asuh yang berbeda

menghasilkan perilaku dan watak anak yang berbeda pula. Orangtua yang membiarkan anaknya
bermain game, dan memanjakan anak dengan membelikan video game dapat membuat anak
menjadi kecanduan game online.
Anderson, Gentile, dan Dill (2012) mengemukakan lima dimensi dampak bermaik game,
yaitu:
a.

Amount of time Dimension yaitu banyaknya jumlah waktu yang dihabiskan saat
bermain video game. Penelitian membuktikan menghabiskan banyak waktu bermain
video game dapat meningkatkan resiko obesitas (Berkey, dkk, 2000). Hal tesebut
disebabkan oleh remaja yang menghabiskan waktu bermain video game memiliki
kebiasaan untuk memakan cemilan. Jumlah bermain game yang lama juga dapat
berdampak pada gangguan stres berulang (Brasington, 1990).

b.

Content Dimention yaitu isi dari video game yang dimainkan. Individu belajar dari
konten atau isi yang mereka lihat di dalam video game. Jika mereka bermain game
pendidikan,

mereka

belajar tentang pendidikan dandapat

menerapkannya di sekolah (Murphy, dkk,, 2002 ), dan jika mereka bermain game
yang dirancang untuk mengajarkan konten kesehatan mereka belajar konsep hidup
sehat dan

menerapkannya (Beale, Kato,Marin,

2001; Cole, Lieberman,

2007), sedangkan

jika

Bowling, Guthrie,
mereka

bermain

& Amp,
game

kekerasan, maka mereka belajar konten kekerasan dan dapat meniru perilaku
tersebut.
c.

Context dimension, yaitu melihat game sesuai dengan konteksnya. Contohnya


Konteks permainan game online within-game atau berkelompok, dengan konten
kekerasan. Ada dua konteks dalam permainan game tersebut, yaitu meningkatkan
kerjasama tim atau memicu perilaku kekerasan. Jika konteksnya adalah permainan
kelompok yang menuntut kerjasama tim untuk mencapai tujuan, maka efek game

tersebut mungkin mengajarkan kerjasama, sedangkan jika konteksnya adalah


perilaku sosial maka mungkin akan berefek pada perilaku agresif.
d. Structure dimension, yaitu struktur tampilan video game dapat menimbulkan
beberapa efek. Struktur tampilan game dapat menyediakan informasi belajar,
khususnya memahami informasi visual (Gibson, 1979). Keterampilan persepsi
dapat ditingkatkan melalui praktek (Green & Amp). Tampilan tiga dimensi pada
layar datar, dapat meningkatkan kemampuan melihat ruang dan bentuk (Greenfield,
Brannon & Amp; Kaye, 1994).
e.

Mechanics dimension, yaitu mengacu pada apa yang dapat dipelajari dari praktek
dengan berbagai jenis permainan video game tergantungcontroller (remot) yang
digunakan. Controller dengan menggunakan jempol sebagai pengendali dapat
meningkatkan motorik halus, video gamegolf dengan mengerakkan tangan
menggunakan controller seolah-olah

stikgolf dapat

melatih

motorik

kasar,

sedangkan video game skater dengancontroller papan keseimbangan maka akan


melatih keseimbangan. Jeniscontroller yang melatih motorik dapat meningkatkan
koordinasi visual-motorik.
Holden dan Miller (Kail, 2010) mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah
dimensi umum berupa ciri-ciri kepribadian, yang mewakili aspek-aspek perilaku orang tua yang
konsisten, meskipun pada situasi yang berbeda, dan gaya yang khas saat berinteraksi dengan
anak. Benson dan Haith (2009) menjelaskan bahwa pola asuh adalah sebuah gaya pengasuhan
yang konsisten dengan pola interaksi yang jelas sejak tahun pertama anak. Pola interaksi terdiri
dari beberapa elemen yang menciptakan iklim emosional ketika orang tua berkomunikasi dengan
anak (bahasa tubuh, nada suara, serta kualitas perhatian) dan cara orang tua bertanggung kepada
anak. Balter (2005) mendefenisikan bahwa pola asuh adalah sikap orang tua dalam mengasuh
anak yang dapat memengaruhi hasil penyesuaian anak terhadap lingkungan. Baumrind (Kail,
2010) mengemukakan bahwa pola asuh adalah gabungan dari dua dimensi, yaitu dimensi
kehangatan dan kontrol, sehingga gabungan dari dua dimensi tersebut dapat membentuk empat
tipe pola asuh, yaituauthoritarian, authoritative, permissive, dan uninvolved.
Maccoby dan Martin (Shaffer & Kipp, 2010) mengemukakan bahwa terdapat dua jenis
atau dimensi pola asuh orangtua yang penting pada masa anak-anak dan remaja, yaitu:

a. Parental acceptance atau responsiveness, yaitu mengacu pada jumlah dukungan dan
kasih

sayang

orangtua

kepada

anak.

Orangtua

yang acceptance atau

responsive adalah orangtua yang memberikan pujian, tanggap kepada anak,


memberikan dukungan, motivasi, dan menunjukkan kasih sayang. Orangtua
memberikan kehangatan, akan tetapi tetap berperilaku kritis ketika anak melakukan
kesalahan. Orangtua yang kurang acceptance atau responsiveness, yaitu orangtua
yang sering memberikan kritik, merendahkan, menghukum, dan mengabaikan anak.
Orangtua yang kurang acceptance atau responsivenessjarang berkomunikasi dan
jarang menunjukkan penghargaan dan rasa cinta kepada anak.
b.

Parental demandingness atau control,

yaitu

mengacu

pada

peraturan

atau

pengawasan orangtua kepada anak mereka. Orangtua memberikan aturan pada anak
dan memberikan hukuman ketika anak melanggar aturan. Orangtua aktif memantau
perilaku anak untuk memastikan bahwa aturan ini diikuti. Orangtua yang
kurang demandingness atau control, yaitu orangtua yang tidak memberlakukan
aturan yang ketat, tidak memberi tuntutan yang banyak, memberikan kebebasan
untuk kepentingan anak, dan anak bebas untuk mengambil keputusan.
Maccoby dan Martin (Shaffer & Kipp, 2010) mengemukakan bahwa orangtua
mewakili salah satu tipe pengasuhan atau menggabungkan dua tipe pengasuhan dari
dua dimensi pengasuhan utama. Dua dimensi tipe pengasuhan dapat melahirkan
empat tipe pola asuh orangtua, yaitu:
a.

Pola asuh otoriter (authoritarian), yaitu pola asuh yang sangat ketat dari orangtua
yang memaksakan banyak aturan, mengharapkan ketaatan yang ketat, dan tidak
memberikan penjelasan kepada anak mengapa perlu untuk mematuhi semua
peraturan tersebut. Para orangtua akan sering mengandalkan hukuman,forcefull
tactic (tidak akan menunjukkan rasa cinta kepada anak) untuk mendapatkan
kepatuhan. Orangtua yang otoriter tidak sensitif terhadap perbedaan sudut pandang
anak. Sebaliknya, mereka mendominasi dan mengharapkan anak untuk menerima
kata-kata mereka sebagai hukum dan menghormati otoritas mereka.

b.

Pola asuh demokratis (authoritarian), yaitu orangtua memberikan aturan namun


fleksibel, dan memberikan tuntutan yang wajar kepada anak. Orangtua memberikan
alasan mengapa aturan yang dibuat harus dipatuhi dan akan memastikan bahwa anak

dapat mengikuti pedoman tersebut. Orangtua demokratis akan mengikutsertakan


anak dalam pengambilan keputusan. Orangtua melakukan kontrol dengan cara
demokratis yang rasional, sehingga anak dapat menerima aturan dan menghormati
mereka.
c.

Pola asuh permisif (permissive), yaitu pola asuh dimana orangtua sedikit memberikan
tuntutan pada anak, mengijinkan anak mereka untuk bebas mengekspresikan
perasaan serta dorongan mereka, tidak memonitor kegiatan anak-anak mereka, dan
jarang melakukan kontrol kuat atas perilaku anak.

d. Pola asuh pengabaian (uninvolved), yaitu orangtua yang tidak memiliki kedekatan
emosional dengan anak atau begitu kewalahan dengan tekanan dan masalah mereka
sendiri, sehingga mereka tidak punya banyak waktu atau energi untuk membesarkan
anak. Para orangtua memaksakan beberapa aturan dan tuntutan. Mereka tidak terlibat
dan tidak sensitif terhadap kebutuhan anak-anak mereka.
Untuk mencegah efek buruk yang didapatkan dari game, Orang tua wajib mengawasi apa
yang dimainkan anaknya, bisa dengan cara ikut memilihkan game jenis apa untuk dimainkan.
Mengingatkan gamer untuk tetap bergaul dan besosialisai dengan orang- orang disekitarnya.
Memperhatikan lamanya bermain game. Menganjurkan agar gamer punya kesibukan lain, misal :
olahraga atau ekstrakulikuler.Jika sudah terlanjur kecanduan sebaiknya segera dibawa ke ahlinya
agar segera mendapatkan penanganan dan segera dilakukan terapi seperti, meningkatkan
keterampilan pro-sosial melalui kegiatan sosial & kegiatan nyata yang menggantikan waktu yang
dihabiskan game, psikoterapi untuk mengatasi masalah yang mendasari, meningkatkan
kemampuan mengendalikan perilaku mereka, buproprion SR mengurangi masalah perilaku &
depresi. (Kuss & Griffiths, 2012)

Anda mungkin juga menyukai