Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hewan kurban merupakan hewan yang disembelih saat hari raya idul adha.
Hewan yang boleh dibuat kurban adalah hewan ternak antara lain unta, sapi (termasuk
kerbau), domba (termasuk kambing) dengan berbagai jenisnya, hewan kurban mencakup
jantan dan betina serta yang dikebiri atau pejantan. Hean yang dikurbankan harus dalam
kondisi baik dan sehat . Hewan yang dikurbankan harus cukup umur. Untuk kambing atau
domba umurnya berkisar 12 18 bulan, untuk sapi atau kerbau 22 bulan, sedangkan untuk
unta harus sudah berumur 5 tahun atau lebih. Ciri hewan yang sehat adalah yang memiliki
mata jernih dan tidak sayu, terbuka penuh, pupil bereaksi cepat, tidak keluar air, tidak
berwarna merah.. Memiliki bentuk tubuh standar yaitu memiliki tulang punggung yang
relatif rata, tanduk seimbang, keempat kakinya simetris, dan postur tubuhnya ideal seperti
kombinasi perut, kaki depan, dan belakang, kepala, leher seimbang. Memiliki kulit yang
bersih dan mulus, mulut dan hidung bersih, anus bersih dan aktif bergerak.
Pemeriksaan hewan kurban dibagi dalam dua tahap yakni pemeriksaan
antemortem yaitu pemeriksaan fisik luar hewan sebelum dilakukan pemotongan,

dan

posmortem yaitu pemeriksaan bagian dalam hewan sesudah pemotongan. Hewan yang
sehat secara klinis, yakni tidak cacat, hidung normal, mata normal, jantung dan paru-paru
juga normal. Sementara itu, untuk pemeriksaan postmortem dilakukan dengan sasaran
pemeriksaan meliputi kondisi hati, jantung, paru-paru, limpa, ginjal dan organ bagian dalam
hewan. Apabila ditemukan kelainan-kelainan dan ada cacing hati maka organ tersebut harus
disingkirkan, karena tidak layak untuk dikonsumsi (Ressang, 1984).
Dalam rangka melakukan pemeriksaan kesehatan hewan kurban yang aman
bagi masyarakat. Pemeriksaan antemortem dan postmortem sangat penting untuk
dilaksanakan agar daging kurban yang dibagikan dimasyarakat terjamin keamanan dan
terhindar dari penyakit zoonosis.
Saat dilakukan pemeriksaan post-mortem banyak sekali ditemukan kasus hewan
mengalami cacingan yang dari tingkat awal sampai yang sudah parah. Cacing yang banyak
menyerang sapi atau kambing adalah fasciola hepatica yang hidup di saluran hepar,
parampis tomum yang banyak pada rumen dan retikulum serta yang terdapat di usus
monienzia ekspanza.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui kesehatan hewan kurban setelah pemeriksaan ante mortem dan
post mortem.
2. Untuk mengetahui penyakit dan parasit yang menyerang hewan kurban
1.3 Manfaat
1. Mengetahui kesehatan hewan kurban setelah pemeriksaan ante
mortem dan post mortem
2. Untuk mengetahui jenis penyakit yang biasa menyerang hewan

ternak

BAB II
Tinjauan Pustaka

Pemeriksaan hewan kurban dibagi dalam dua tahap yakni pemeriksaan


antemortem yaitu pemeriksaan fisik luar hewan sebelum dilakukan pemotongan,

dan

posmortem yaitu pemeriksaan bagian dalam hewan sesudah pemotongan. Hewan yang
sehat secara klinis, yakni tidak cacat, hidung normal, mata normal, jantung dan paru-paru
juga normal. Sementara itu, untuk pemeriksaan postmortem dilakukan dengan sasaran
pemeriksaan meliputi kondisi hati, jantung, paru-paru, limpa, ginjal dan organ bagian dalam
hewan. Apabila ditemukan kelainan-kelainan dan ada cacing hati maka organ tersebut harus
disingkirkan, karena tidak layak untuk dikonsumsi (Ressang, 1984).
Pemeriksaan antemortem meliputi pemeriksaan perilaku dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan perilaku dilakukan pengamatan dan mencari informasi dari orang yang
merawat hewan kurban tersebut. Hewan yang sehat nafsu makannya baik, hewan yang sakit
nafsu makannya berkurang atau bahkan tidak mau makan. Cara bernafas hewan sehat
nafasnya teratur, bergantian antara keempat kakinya. Pincang, loyo dan tidak bias berjalan
menunjukkan hewan sedang sakit. Cara buang kotoran dan kencingnya lancer tanpa
menunjukkan gejala kesakitan. Konsistensi kotoran (feses) padat (Hayati dan Choliq,
2009).
Setelah hewan dipotong (disembelih) dilakukan pemeriksaan postmortem
dengan teliti pada bagian-bagian sebagai berikut: jantung, paru-paru, limpa, ginjal dan
organ bagian dalam hewan. Apabila ditemukan kelainan-kelainan dan ada cacing hati maka
organ tersebut harus disingkirkan, karena tidak layak untuk dikonsumsi Karkas sehat
tampak kompak dengan warna merah merata dan lembab. Bentuk-bentuk kelainan yang
sering dijumpai bercak-bercak pendarahan, lebam-lebam dan berair, organ tampak keras
karena ada jaringan fibrosis yang biasanya terdapat dalam hepar akibat infeksi cacing
Fasiola hepatica.
Penyakit yang diakibatkan cacing Fasciola hepatica ini disebut Fasciolasis.
Fasciolisis dikenal dibanyak Negara dengan berbagai istilah yang berbeda namun
mempunyai arti yang sama. Nama lain dari fascioliasis adalah Distomatosishepatik,
Fasciolosis, cattle liver fluke, Giant liver fluke (Akoso,1991).
BAB III
Hasil dan Pembahasan

3.1 PEMERIKSAAN ANTE MORTEM


Pemeriksaan antemortem meliputi pemeriksaan perilaku dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan perilaku dilakukan pengamatan dan mencari informasi dari orang yang
merawat hewan kurban tersebut. Hewan yang sehat nafsu makannya baik, hewan yang sakit
nafsu makannya berkurang atau bahkan tidak mau makan. Cara bernafas hewan sehat
nafasnya teratur, bergantian antara keempat kakinya. Pincang, loyo dan tidak bias berjalan
menunjukkan hewan sedang sakit. Cara buang kotoran dan kencingnya lancer tanpa
menunjukkan gejala kesakitan. Konsistensi kotoran (feses) padat (Hayati dan Choliq,
2009).
Pemeriksaan Fisik dilakukan pemeriksaan terhadap suhu tubuh (temperatur),
menggunakan termometer badan ( digital atau air raksa ), suhu tubuh normal sapi berkisar
antara 38,5C 39,2C. Bola mata bersih, bening, dan cerah. Kelopak mata bagian dalam
(conjunctiva) berwarna kemerahan (pink) dan tidak ada luka. Kelainan yang biasa dijumpai
pada mata yaitu adanya kotoran berlebih sehingga mata tertutup, kelopak mata bengkak,
warna merah, kekuningan ( icterus) atau cenderung putih (pucat). Mulut dan bibir, bagian
luar bersih, mulus, dan agak lembab. Bibir dapat menutup dengan baik. Selaput lender
rongga mulut warnanya merata kemerahan (pink), tidak ada luka.

Air liur cukup

membasahi rongga mulut. Lidah warna kemerahan merata, tidak ada luka dan dapat
bergerak bebas. Adanya keropengdi bagian bibir, air liur berlebih atau perubahan warna
selaput lendir (merah, kekuningan atau pucat) menunjukkan hewan sakit. Hidung, Tampak
luar agak lembab cenderung basah. Tidak ada luka, kotoran, leleran atau sumbatan. Pencet
bagian hidung, apabila keluar cairan berarti terjadi peradangan pada hidung. Cairan hidung
bisa bening, keputihan, kehijauan, kemerahan, kehitaman atau kekuningan. Kulit dan bulu,
bulu teratur, bersih, rapi, dan mengkilat. Kulit mulus, tidak ada luka dan keropeng. Bulu
kusam tampak kering dan acak-acakan menunjukkan hewan kurang sehat. Kelenjar getah
bening, kelenjar getah bening yang mudah diamati adalah yang berada di daerah bawah
telinga, daerah ketiak dan selangkangan kiri dan kanan. Apabila ada peradangan kemudian
membengkak tanpa diraba akan terlihat jelas pembesaran di daerah dimana kelenjar getah
bening berada. Daerah anus, bersih tanpa ada kotoran, darah dan luka. Apabila hewan diare,
kotoran akan menempel pada daerah sekitar anus (Hayati dan Choliq, 2009).
3.2 PEMERIKSAAN POS MORTEM
Setelah hewan dipotong (disembelih) dilakukan pemeriksaan postmortem
dengan teliti pada bagian-bagian sebagai berikut: Karkas, Karkas sehat tampak kompak
dengan warna merah merata dan lembab. Bentuk-bentuk kelainan yang sering dijumpai
bercak-bercak pendarahan, lebam-lebam dan berair.

Paru-paru, paru-paru sehat berwarna pink, jika diremas terasa empuk dan teraba
gelembung udara, tidak lengket dengan bagian tubuh lain, tidak bengkak dengan kondisi
tepi-tepi yang tajam. Ditemukan benjolan-benjolan kecil padaparu-paru atau terlihat adanya
benjolan-benjolan keputihan (tuberkel) patut diwaspadai adanya kuman TBC.
Jantung, ujung jantung terkesan agak lancip, bagian luarnya mulus tanpa
ada bercak-bercak perdarahan. Jantung dibelah untuk mengetahui kondisi bagian dalamnya.
Hati, warna merah agak gelap secara merata dengan kantong empedu yang
relative kecil. Konsistensi kenyal dengan tepi-tepi yang cenderung tajam. Kelainan yang
sering ditemui adalah adanya cacing hati (Fasciola hepatica atau Fasciola gigantica pada
sapi).
Limpa, ukuran limpa lebih kecil daripada ukuran hati, dengan warna merah
keunguan. Pada penderita anthrax keadaan limpa membengkak hebat.
Ginjal, kedua ginjal tampak luar keadaannya mulus dengan bentuk dan ukuran
relatif semetris. Adanya benjolan, bercak-bercak pendarahan, pembengkakan atau
perubahan warna merupakan kelainan pada ginjal.
Lambung dan usus bagian luar dan bagian dalam tampak mulus. Lekukanlekukan bagian dalamnya teratur rapi. Penggantung usus dan lambung bersih Tidak
ditemukan benda-benda asing yang menempel atau bentukan-bentukan aneh pada kedua
sisi lambung dan usus. Pada lambung kambing sering dijumpai adanya cacing yang
menempel kuat berwarna kemerahan (Soedarto, 2003).
3.3 Hasil Kasus di Lapangan
3.3.1 Fasciolasis
Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh vetebrata. Hepar pada
vetebrata terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di kedua sisi
kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan. Hepar merupakan organ
homeostasis yang memainkan peranan penting dalam proses metabolisme dalam manusia
dan hewan. Hati mempunyai berbagai fungsi termasuk menyimpan glikogen, mensintesis
protein plasma, dan menetralisir racun. Ia menghasilkan empedu yang penting bagi
metabolisme. Ia melaksanakan dan mengawal berbagai fungsi biokimia jumlah besar yang
memerlukan tisue khas. Namun,

kerusakan

hati dapat berpengaruh terhadap sintesis

makanan dan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan.

Fasciolosis adalah penyakit cacing penting yang disebabkan oleh dua trematoda
Fasciola hepatica dan gigantica Fasciola.. Penyakit ini disebabkan oleh trematoda yang
bersifat zoonosis. F. hepatica dewasa mempunyai panjang tubuh antara 12.22- 29.00 mm
(Periago, et al. 2006). F. hepatica berbentuk pipih seperti daun dengan bentuk bahu yang
khas yang disebabkan oleh kerucut kepalanya (chepalic cone), batil hisap kepala dan perut
yang sama besarnya di daerah kerucut kepala, usus dengan banyak cabang di vertikulum,
testis yang bercabang banyak dan tersusun sebagai tandem, kelenjar vitellaria yang
bercabang-cabang secara merata di bagian lateral dan posterior badan, uterus pendek dan
berkelok-kelok. Telur F. hepatica berukuran besar, berwarna kuning coklat dengan
operkulum. Cacing dewasa hidup di saluran empedu bagian proksimal, kantong empedu,
dan kadang-kadang di tempat-tempat ektopik. Metabolisme cacing F. hepatica adalah secara
anaerob dan mendapat makanan dari sekresi empedu (Brown, 1979).
Fasciola gigantica merupakan satu-satunya cacing trematoda di Indonesia yang
menyebabkan infeksi fasciolosis pada hewan ruminansia (Edney dan Muclis, 1962).
Prevalensi penyakit ini pada sapi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat
dapat mencapai 90% (Suhardono, 1997) dan di Daerah Istimewa Yogyakarta kasus
kejadiannya antara 40-90% (Estuningsih et al., 2004), sedangkan prevalensi penyakit ini
pada domba belum diketahui. Penyakit ini sangat merugikan karena dapat menyebabkan
penurunan bobot hidup, penurunan produksi, pengafkiran organ tubuh terutama hati
sehingga hati terbuang percuma, bahkan dapat menyebabkan kematian.
3.3.2

Manifestasi Klinik
Fasioliasis tergantung dari jumlah metaserkaria yang termakan oleh penderita.

Dalam jumlah besar metaserkaria menyebabkan kerusakan hati, obstruksi saluran empedu,
kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Frekuensi invasi metaserkaria sangat
menentukan beratnya Fasioliasis. Kerusakan saluran empedu oleh migrasi metaserkaria
menghambat migrasi cacing hati muda selanjutnya.Cacing ini merupakan entoparasit yang
melekat pada dinding duktus biliferus atau pada epithelium intestinum atau pada
endothelium venae dengan alat penghisapnya. Makanan diperoleh dari jaringan-jaringan,
sekresi dan sari-sari makanan dalam intestinum hospes dalam bentuk cair, lendir ataudarah.
Di dalam tubuh, makanan dimetabolisir dengan cairan limfe, kemudian sisa-sisa
metabolisme tersebut dikeluarkan melalui selenosit. Perbanyakan cacing ini melalui autofertilisasi yang berlangsung pada Trematoda bersifat entoparasit, namun ada juga yang
secara fertilisasi silang melalui canalis laurer (Mohammed, 2008). Suhu yang diperlukan
mirasidium untuk dapat hidup adalah di atas 5-6 C dengan suhu optimal 15-24 C.

Mirasidium harus masuk ke dalam tubuh siput dalam waktu 24-30 jam, bila tidak maka
akan mati. Kemudian, telur dari jenis Fasciola gigantica menetas dalam waktu 17 hari,
berkembang dalam tubuh siput selama 75-175 hari, hal ini tergantung pada suhu
lingkungannya (Levine, 1990).
3.3.3

Gejala Klinis
Pada sapi fascioliasis sub akut kurang memperhatikan gejala- gejala sama

sekali. Pada waktu hewan tersebut diperkejakan disawahan atau ditransportasikan yang
melelahkan dapat mengalami kematian mendadak. Gambaran klinis pada hewan muda
mirip dengan yang dialami oleh domba. Fasciolosis akut mungkin juga dialami oleh sapisapi impor yang diwilayah asalnya tidak terdapat fasciola. Kematian juga dipercepat bila
selain invasi cacing hewan juga terinfeksi oleh agen noksius lain, misalnya penyakit surra,
anaplasma, dan pirolasma. Fascioliasis kronik banyak dijumpai pada sapi-sapi yang
dipelihara dengan pakan ternak segar yang dipetik dari daerah basah. Batang padi dari
daerah basah sampai ketinggian dua pertiga batang terbukti banyak mengandung kista
cacing. Gambaran berupa kekurusan, kelemahan umum, kachexia, anemia, sampai tidak
mampu bangun banyak dijumpai didaerah lapangan. Oedema submandibula juga
merupakan akibat anemia yang berat. Dalam pemeriksaan sistem sirkulasi sering ditemukan
suara jantung mendebur. Tinja cair atau setengah cair berwarna hitam pada sapi, kerbau
,domba dan kambing yang menderita penyakit kronik. Temuan telur fasciola dan perubahan
patologi hati, termasuk temuan cacing fasciola merupakan kunci untuk penentuan diagnosa
fasioliasis.
3.3.4

Diagosa
Penentuan diagnosa fascioliasis seekor hewan atau sekelompok hewan harus

dibuktikan dengan ditemukannya telur Fasciola, yang dapat dilakukan dengan metode
sedimentasi. Pada hewan yang berkelompok, diagnosa juga diperkuat dengan kerusakan
hati salah satu hewan yang mati dengan melalui proses nekropsi. Diagnosa yang tepat pada
hewan yang sudah terserang penyakit cacing, akan memberikan jalan untuk pengobatan
yang tepat pula untuk ketepatan diagnosa.
Telur fasciola Sangat mirip dengan paramfistomum. Untuk membedakanya,
selain mengingat ukuran besarnya telur, telur fasciola lebih kecil dari pada paramfistomum,
dinding telur fasciola lebih tipis sehingga mudah menyerap zat warna empedu, yodium,
atau mutilen biru. Selain itu didalam paramfistomum biasanya lebih jelas selsel
embrionalnya dari pada dalam telur fasciola. Selanjutnya salah satu metoda untuk

melakukan diagnosa penyakit Cacing Hati (Fasciolasis) pada sapi dan kerbau, misalnya,
adalah dengan menggunakan antigen Fasciola.
3.3.5

Pencegahan
Melakukan kontrol terhadap infestasi cacing pada ternak sapi dapat dilakukan

dengan cara mengatur pemberian pakan dan mengatur waktu pemotongan rumput, suatu hal
yang tentunya tidak dapat dilakukan bila sapi dibiarkan mencari pakan sendiri di padang
rumput (Mohammed, 2008). Bila ternak tidak ada nafsu makan, maka periksalah dulu
bagian mulut dan gigi. Periksa juga suhu (kalau tinggi, mungkin ada infeksi umum).
Berikan antibiotika injeksi setiap hari selama 3 5 hari.
3.3.6 Pengobatan
a. Hexacchlorethan, Aulotane, Perchloroethan, fasciolin selain efektif terhadap cacing
desawa juga efektif untuk Hemonchis dan Trichostrongylosis
b. Clioxanide, sangat efektif untuk Fasciolisis domba, dan membunuh cacing dewasa umur
6 minggu atau lebih
c. Niclofolan, Tordas, Dovenix. Obat yang mampu membunuh fascioliasis (bersifat
flukicidal) dikemas sebagai garam N-methyl Glucaumine atau Meglumine 20%.
Derivate Benzimedazol, terutama Albendazol, Triclabendazol dan Probendazol Febantel,
memperoleh perhatian luas karena selain efektif terhadap cacingnematoda, senyawa
tersebut juga efektif untuk membunuh cacing hati muda dan cacing dewasa.

BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Pemeriksaan hewan kurban harus dilaksanakan sebelum hewan disembelih
dan setelah hewan disembelih. Sebelum hewan disembelih atau pemeriksaan ante mortem
penting dilakukan untuk mengetahui keadaan kesehatan hewan yang apabila dari keadaan
fisik saja sudah diketahui bahwa hewan menunjukan gejala sakit berarti hewan tidak layak
disembelih dan harus diberi pengobatan. Sedangkan setelah hewan disembelih, hewan
diperiksa atau post mortem untuk memastikan keaadaan organ-organ apakah layk konsumsi
atau tidak. Apabila ada kerusakan sebaiknya diafkir saja. Kasus yang banyak di temukan

dilapangan adalah infeksi cacing Fasciola hepatica yang menyerang saluran empedu di
hepar yang membentuk jaringan-jaringan ikat atau fibrosis sehingga hepar menjadi keras.

Daftar Pustaka
Akoso,T. B., 1991, Manual Untuk Paramedik Kesehatan Hewan, 2ed, Omaf-Cida Disease
Investigasi center.
Arifin M., 2006. Pengaruh Iradiasi Terhadap Infektivitas Metaserkaria Fasciola gigantica
pada Kambing. http://digilib.batan.go.id/eprosiding/File%Prosiding/ Kesehatan/
Risalah % 2000/2000/M-Arifin.pdf.
Edney, J.M. and A. Muchlis. 1962. Fascioliasis in Indonesian livestock. Comm. Vet. 2: 4962.

Estuningsih, S.E., G. Adiwinata, S. Widjayanti dan Piedrafita. 2004. Pengembangan teknik


diagnosa Fasciolosis pada sapi dengan antibodi monoklonal dalam capture
ELISA untuk deteksi antigen. Pros. Seminar Nasional Parasitologi dan
ToksikologiVeteriner. 20-21 April, Bogor. hlm. 27-43.
Hayati dan Choliq, 2009. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.
Ressang, A. A., 1984, Pathologi Khusus Veteriner, Fad Project Khusus Investigasi Unit
Bali.
Soedarto. 2003. Zoonosisi Kedokteran. Airlangga press. Surabaya.
Suhardono. 1997. Epidemiology and control of fasciolosis by Fasciola gigantica in ongole
cattle in West Java..Ph.D. thesis. James Cook University of North Queensland,
Australia.

TUGAS BAHASA INDONESIA


Pemeriksaan Hewan Kurban

Oleh:
Putri Astikasanti
105130104111001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayahNya, saya dapat menyelesaikan Tugas Bahasa Indonesia mengenai Pemeriksaan Hewan
Kurban yang dilaksanakan pada tanggal 15 Oktober 2013.
Semoga laporan ini dapat membantu para mahasiswa lebih memahami tentang cara
pemeriksaan hewan kurban yang benar dan mengetahui penyakit yang sering menyerang
ternak. Laporan

ini membahas tentang bagaimana pathogenesis, diagnosa, etiologi

penyakit dan bagaimana pencegahan, pengobatan dan penyakit tersebut .


Saya sebagai manusiaa biasa menyadari masih perlu banyak perbaikan untuk
kesempurnaan laporan Pemeriksaan hewan kuraban ini, sehingga kritik dan saran yang
membangun masih diharapkan dari para pembaca.

Malang, 17 Desember 2013


Penyusun

Anda mungkin juga menyukai