Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

TONSILITIS KRONIK
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Pendidikan Program Profesi Dokter Umum
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing :
DR. dr. H. Iwan Setiawan Adjie, Sp. THT-KL

Diajukan oleh :
Dian Mahfudz Asri Saputri
Yohana Pandora Ristua S.
Fajar Maulana Mizwar

J510155002
J510155073
J510155030

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

REFERAT
TONSILITIS KRONIK
OLEH:
Dian Mahfudz Asri Saputri
Yohana Pandora Ristua S.
Fajar Maulana Mizwar

J510155002
J510155073
J510155030

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Rabu, tanggal 4 Juli 2015
Pembimbing:
Dr. dr. H. Iwan Setiawan. A. Sp, THT-KL

dipresentasikan dihadapan:
Dr. dr. H. Iwan Setiawan. A. Sp, THT-KL
Disahkan Ka. Program Profesi :
dr. Dona Dewi Nirlawati

BAB I
PENDAHULUAN
Tonsilitis

kronik

pada

umumnya

diterapi

dengan

tonsilektomi.

Tonsilektomi mengandung resiko baik pada saat operasi maupun setelah operasi
dan tidak semua penderita tonsilitis kronis memenuhi syarat untuk dilakukan
tonsilektomi. Resiko tonsilektomi adalah terjadinya perdarahan (anemia,

transfusi,kematian), rasa nyeri, obstruksi aliran udara (edema), aspirasi, stenosis


veloparingeal, fascilitis necotizing, gangguan indra perasa, cedera saraf
hipoglosus, cedera saraf lidah, cedera berulang saraf laringeal, meningitis, abses
faring, sindrom grisel, cedera gigi dan dislokasi mandibula (Stelter, 2014, Stucket
al., 2008). Setelah tonsil diambilmenyebabkan hilangnya fungsi tonsil sebagai lini
pertahanan kedua imunitas humoral dan pertahanan mukosa lokal.kadar IgG
menurun secara signifikan 3 bulan setelah tonsilektomi(Nasrin,2012).Jika
tonsilektomi tidak dapat dilakukan karena berbagai faktor seperti tekanan darah
tinggi, penyakit jantung dandiabetes melitus maka pengobatan medika mentosa
menjadi terapi pilihan selanjutnya. Sampai sekarang mekanisme terapi medika
mentosa belum jelas karena perubahan dari stuktur histopatologi tonsil
menyebabkan pengobatan berlangsung kurang efektif. Untuk itu penulis tertarik
untuk membahas mengenai terapi medika mentosa pada tonsilitis kronik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Histologi dan Imunologi TonsilNormal
Tonsila palatina dan tonsila nasofaring adalah jaringan limfoepitel
yang berlokasi diarea strategis orofaring dan nasofaring. Jaringan
imunokompeten ini mewakili pertahanan pertama melawan protein asing

yang ditelan dan dihirup seperti bakteri, virus dan antigen makanan
(Bernstein, 1994).
Tonsil palatina dan tonsil nasofaring memiliki karakteristik
arsitektur limfoid yang terdiri dari epitel retikuler, daerah folikuler/primer
dan daerah sekunder centrum germinativum yang dilapisi zona mantel dan
ekstra folikuler. Sel imunokompeten yang terdapat di berbagai bagian
tonsil telah diteliti melalui antibodi poliklonal dan monoklonal yang
spesifik terhadap epitop dari limfosit. Jalur prinsip dari pengambilan
antigen terjadi di lipatan-lipatan (kerut) tonsila palatina dan tonsila
nasofaring. Tonsila palatina manusia terdiri dari 10-20 kripta yang
memungkinkan peningkatan paparan permukaan untuk pengambilan
antigen. Sel yang berperan penting dalam pengambilan antigen terdapat di
microfold (M) di kripta yang juga terdapat di plaks peyer di usus halus. Sel
HLA DR positif terdapat di dalam kripta yang juga penting untuk
menangkap anti gen , sel yang penting untuk mengantarkan anti gen
adalah makrofag interdigitating cells (ICs) terdapat di area extra folukuler
dan flikuler sel dendritik terdapat di sentrumgerminativum hal ini
dideteksi menggunakan anti body monokuler khusus ditujukan melawan
resptor permukaan sel penyaji anti gen yang berlokasi dan terdistribusi di
tonsil nasofaring. Setelah antigen ditangkap secara selektif oleh makrofag,
sel HLA-positif, sel Microfold kemudian antigen dibawa ICs ke area
ekstra folikular tempat sel T berada dan FDSc membawa antigen ke
sentrum germinativum tempat sel B berada sehinga sel B berproliferasi
sebagai respon dari sinyal antigen(Bernstein, 1994). Aktifitas imunologi
tonsil paling aktif pada usia 4-10 tahun kemudian menurun pada usia
remaja ditandai dengan penurunan populasi sel B dan peningkatanr rasio
sel T dibandingkan dengan sel B. Meskipun produksi imunoglobulin
secara keseluruhan menurun selB masih sangat aktif pada tonsil yang
sehat(Campisi, 2003).
Sel derivat timus (T) khas menempati zona extra folikuler tetapi sel
helper yang menstimulasi limfosit T juga terdapat di sentrumgerminatifum

, sel B terutama terdapat centrum germiatifum dan zona mantel tetapi jg


mungkin di temukan di epitel retikuler.
terdapat peran regulasi sel CD4 dan ELU 8 +, yang menstimulasi
dan menekan sel CD4+ LEU8+menstimulasi sel helper (Bernstein, 1994).
2. Histopatologi Tonsilitis kronis
Tonsil palatina adalah pusat dari inlamasi akut dan kronis. Karena
inflamasi tersebut tonsil menjadi hipertrofi dan kemerahan dan ditutupi
oleh membran palsu berwarna putih keabuabuan. Menurut gejala
obstruktif orofaring terdapat 5 derajat hipertrofi amygdalia. derajat 0
intrafelik tonsil. Derajat 1 tonsil sedikit membesar mengurangi 25% aliran
udara. Derajat 2 amygdalian media membesar mengurangi 25-50% aliran
udara. Derajat 3 peningkatan amygdalian semakin membesar mengurangi
50-75% aliran udara. Derajat 4 pembesaran amygdalian yang sangat besar
mengurangi >75% aliran udara(mogoanta, 2008).
Anatomopatologi tonsilitis kronis dapat di diskripsikan sebagai
tonsilitis fokal hipertrofi atau sklera atipik kaseous kriptik tonsilitis, dan
bentuk hipertofi tonsil pada anak berbentuk halus. Sedangkan pada dewasa
keras. Pada anak-anak 3-10 tahun tonsil yang hipertrofi tersebut tampak
pucat lebut, rapuh, tertekan ketika tersentuh. Secara mikroskopis tampak
banyak jaringan limfoid dengan hipertrofi folikuler, peningkatan berlebih
aliran yang lebih jernih dan penurunan dari folikel korteks. Tetapi
epitelium yang menutupi kapsul dan interlobuler septa strukturnya tetap
normal. Pada beberapa kasus terdapat mikrohemoragi atau subepitelial
struktur folikel limfoid dan ekstravasasi hematik interfolikular karena
virulensi yang berlebihan dari beberapa agen patogen menyebabkan lesi
didinding kapiler, penebalan tunika intima dan lesi trombosis vaskuler.
Stroma penghubung menjadi kaya serat kolagen (mogoanta, 2008).
Infeksi kronis pada telinga hidung dan tenggorokan menyebabkan
bakteri membentuk struktur biofilm dengan menembus permukaan dan
bersembunyi didalam matriks eksopolisakarida sehingga bakteri menjadi
1000 kali lebih resisten terhadap antibakteri dibandingkan yang hidup
bebas. Tahap yang paling penting dalam pembentukan biofilm adalah

sekresi matriks yang terbuat dari protein dan gula diluar dari sel tubuh
bakteri. Struktur biofilm menyediakan stabilitas mekanis untuk bakteri dan
berperan pada perubahan elemen genetik di lokasi terjadinya infeksi
(Alasilet al., 2013).
The presence of slight-moderate lymphocyte infiltration in the
surface epithelium (97%), The presence of Ugrass abscess and/or
diffuse

lymphocyte infiltration leading to the defect in the surface

epithelium (93%), Increase in the plasma cells number in the subepithelial


area

and

in

the

interfollicular

area

(75%),

The

presence

of

polymorphonuclear leukocytes in the surface epithelium and in the


subepithelial area (46%),The presence of lymphoid hyperplasia (45%),
The presence of fibrosis (36%),The presence of atrophy (26%)
Pada penelitian yang dilakukan Ura & Kutluhan (2008)
didapatkan gambaran histopatologi tonsilitis kronis berupa limfosit
infiltrasi ringan sampai sedang di epitel permukaan (97%), abses Ugras
dan / atau sebaran infiltrasi limfosit yang mengarah ke defek pada epitel
permukaan (93%), Peningkatan jumlah sel plasma di daerah subepitel dan
di daerah interfollicular (75%), tampak leukosit polimorfonuklear di epitel
permukaan dan di daerah subepitel (46%), hiperplasia limfoid (45%),
fibrosis (36%) dan atrofi (26%).

3. Respon Imun Abnormal pada Tonsilitis Kronis


Gambaran imun pada tonsilitis kronis menunjukan terjadinya
peningkatan deposit anti gen pada jaringan tonsil. Halini menyebabkan
peningkatan regulasi sel-sel imunokopenten yang terjadi terus menerus.
Peningkatan IL1b dan IL-6 bertanggung jawab terhadap efek sistemik
tonsilitis kronis.
Tonsil pada penderita tonsilitis kronis akan mengespresikan enzim
COX 1 dan 2. Aktifnya enzim tersebut akan menghasilkan mediator
inflamasi yaitu prostat glandin yang membantu regulasi imunitas seluler
dan humoral, memodulasi sitokin, dan mengaktivasi proliferasi sel T. Hal
sebaliknya yang terjadi, aktivasi sel T dan B akan meningkatkan ekspresi
dari enzim Cox -2, sehingga proses inflamasi akan meningkat.
Pada penderita tonsilitis kronis, leve serum IgG, IgM, dan IgA
meningkatkan dari jumlah normalnya. Hal ini dihubungkan dengan
keadaan terjadinya stimulasi oleh anti gen yang terus menerus pada tonsil.
Ekspresi m-RNA pada tonsilitis kronis ditemukan bahwa pada tonsilitis
kronis terjadinya penurunan ekpresi m-RNA Occludin (Dilek, 2010).
Pada tonsilitis kronis terjadi reaksi imunologi yang berlipat ganda
akibat patogen yang kuat dan pelemahan terhadap aktifitas imun akibat
rusaknya epitel (Mogoanta, 200) dan mukosa penghasil imunoglobulin A
(Berstein, 1994). Patogen menjadi sangat kuat tidak mampu dicapai sistem

pertahanan imun secara maksimal karena bakteri bersembunyi didalam


kripta-kripta tonsil (Mogoanta, 2008)dan struktur biofilm (Alasil,
2013).sedangkan

vaskularisasi

berkurang

karena

jaringan

normal

digantikan oleh jaringan fibrosis akibat proses kronis (Mogoanta,2008),


sedangkan tonsil hanya memiliki sistem pertahanan humoral yang menjadi
tidak efektif tetapi antigen yang menetap terus merangsang terbentuk
proliferasi sel B menyebabkan hiperplasia dan hipertofi sel sel limfoid
sehingga tonsil terus membesar (Mogoanta, 2008). Banyaknya jumlah sel
B yang dapat sekaligus berfungsi sebagai APC (Dilek,2010), mukosa
(Bernstein, 1994) dan epitel yang rusak (Mogoanta, 2008) serta
pemanjangan tangan sel denditik (Mogoanta, 2008) dan sel Microfold
(Bernstein, 1994)yang secara alami memasukkan antigen dari luar,
memperparah kondisi kronik inflamasi ditonsil karena segala antigen asing
dengan mudahnya merangsang reaksi imun padahal rongga nasofaring
dan orofaring yang menjadi tempat tonsil berada selalu terpapar setiap
harinya oleh jutaan antigen baik virus, bakteri, jamur dan antigen
makanandari lingkungan luar tubuh (Bernstein, 1994, Mogoanta 2008).
4. Indikasi tonsilektomi
Tonsilektomi adalah prosedur bedah yang paling umum dan sering
ditemui dalam penyakit otorhinolaringologi dan menjadi standar untuk
mengobati penyakit Tonsilitis kronik(Bohne,2013). Meskipun efektifitas
tonsilektomi pada orang dewasa masih menjadi kontroversi karena
kurangnya bukti kuat terhadap kemanjuran prosedur pembedahan tersebut
(Skevas, 2010).Indikasi tonsilektomi adalah,
a. The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
Clinical indicator compendium tahun 1995 menetapkan
1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapat terapi yang adekuat.
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan

maloklusi

menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial

gigi

dan

3) Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan


sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan
bicara dan cor pulmonale.
4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil
yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A
streptococcus hemoliticus.
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8) Otitis media efusa/otitis media supuratif
(Soepardi, 2007).
b. Health Technology Assessment, Kemenkes tahun 2004
1) Indikasi Absolut Tonsilektomi
a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran
nafas,

disfagia

berat,

gangguan

tidur

dan

komplikasi

kardiopulmonal
b) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis
dan drainase
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
2) Indikasi Relatif Tonsilektomi
a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan
terapi antibiotik adekuat
b) Halitosis akibat tonsilitis kronis yang tidak membaik pada
pemberian terapi medis
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang
tidak membaikdengan pemberiannantibiotik laktamase resisten
(PERMENKES, 2014).

BABIII
PEMBAHASAN
Penyakit-penyakit inflamasi mulut dapat dianggap sebagai hasil yang
merugikan dari usaha-usaha perlindungan inang terhadap patogen- patogen yang
menyerang (Hasturk,2012). Patologi peradangan kronis tonsil yang paling sering
terjadi pada anak-anak didekade pertama kehidupannya dan dewasa adalah
disfungsi lokal struktur epitel. Agen patogen yang agresif dan penurunan kapasitas
pertahanan lokalmenyebabkan erosi epitel permukaaan (Mogoanta, 2008) dan
jaringan mukosa tonsil sehingga produksi Ig A juga berkurang (Bernstein
1994).Epitel permukaan yang rusak memungkinkanagen patogen untuk masuk
sehingga menjelaskan kekambuhan peradangan pada amygdalian.Erosi epitel
terjadi terus menerus menyebabkan kontak langsung parenkim amygdalian
terhadap saprofit atau patogen tumbuhan yang hadir didalam faring menjadikan
tonsil sebagai sarang penyakit.Amigdalian adalahkomplek struktur histologi
parenkim di tonsila palatina yang sangat penting untuk mengambil alih dan
menyajikan sel imunokompeten antigen dari tingkat sub epitel. Peradangan kronis
pada amygdalian pada anak-anak menyebabkan folikel amygdalian hiperplasi dan
hipertrofi. Hipertrofi amygdalian sebanding dengan jumlah limfosit dan aktivitas

kekebalan tubuh yang berkembang setelah stimulasi konstan antigenik pada


amygdalian.Pada tonsilitis kronis bakteri menetap pada tingkat-tingkat kriptus
tonsil(Mogoanta, 2008)dan struktur biofilm tonsilsehingga resisten terhadap
antibiotik dan kekebalan spesifik humoral(Alasil, 2013). Antigen luminal di kripta
ditangkap oleh sel khusus dari epitel retikular. Sel tersebut membentuk bagian
khusus intraepitelial yang membawa antigen asing dengan jumlah besar ke
limfosit, sel penyaji antigen seperti makrofag dan sel dendrit secara bersamaan.
Sel T dan sel B yang teraktivasi menghasilkan COX 2. Sel B yang teraktivasi juga
memproduksi prostaglandin, berubah bentuk menjadi sel plasma menghasilkan
imunoglobulin dan pembentukan sel B memori. COX2 berperan terhadap
tingginya kadar prostaglandin E2 (PGE2) (Dilek,2010).
Hiperperplasia folikel diakibatkan oleh proliferasi limfosit B yang menduduki
sebagia besar centrum germinativum.Selain proliferasi juga terjadi aktivasi sistem
kekebalan tubuh dan sel penghubung jenis fibroblastik yang memproduksi
kolagen menggantikan jaringan aktif imunologi dengan jaringan fibrosis sehingga
munculbentuk klinis skleroatrofi (Mogoanta, 2008).
Harapan baru muncul pada fungsi makrofag yang dapat menjadi
penyerang patogen sekaligus memperbaiki jaringan.Macrophage mencerna secara
efisien antigen tertentu, mengekspresikan molekul MHC class II dan mempunyai
aktivitas co-stimulatory pada sel T. Makrofag M2 telah diperlihatkan berperan
dalam

peringanan

inflamasi

dengan

berkurangnya

kemampuan

untuk

menghasilkan sitokin. Sitokin pro inflamasi seperti IL 1, IL6, iNOS(Willenborg


& Erning, 2013), IFN- dan LPS (Hasturk, 2012) memicu proliferasi makrofag
kearah Makrofag 1 (M1) merangsang terbentuknya fibrosis. Sitokin non inflamasi
IL13,IL4 memicu proliferasi makrofag kearah Makrofag 2 (M2) menghasilkan
IL10 dan tumor growth factor 1(TGF-1). IL10 IL13,IL4 bersama sama akan
menghambat terbentuknya sitokin pro inflamasi sehingga menghentikan proses
patologi jaringan(Hasturk, 2012). Faktor pertumbuhan TGF-1 berperan dalam
pertumbuhan jaringan fisiologis (Willenborg & Erning, 2013).
Secara alami regulasi M1 dan M2 terjadi didalam tubuh. Fase awal
inflamasi terdapat makrofag M1 dan M2 merangsang pembentukan vaskularisasi,

jaringan granulasi, merangsang diferensiasi miofibroblas dan memicu penutupan


luka. Tidak adanya makrofag selama fase awal perbaikan menghasilkan
penurunan formasi jaringan parut dan penyembuhan. Profil ekspresi gen pada
tahap awal perpindahan makrofag campuran M1/M2dengan fenotip CCR2+Ly6C+
berubah menjadi M2 dengan fenotip CCR2 -Ly6C-. Aktivasi fenotip campuran
M1/M2CCR2+Ly6C+ menghasilkan ekspresi tinggi Sitokin pro inflamasi IL 1,
IL6, iNOS , arginase 1 dan VEGF-A. Arginase 1 dan VEGF-A mengaktivasi
makrofag M2. Selama fase pertengahan penyembuhan makrofag membantu
stabilisasi struktur pembuluh darah dan memerantarai pergantian jaringan
granulasi menjadi jaringan parut.

Tidak adanya makrofag pada fase akhir

penyembuhan tidak memiliki efek morfologi terhadap jaringan parut di tahap


awal. Makrofag pada fase akhir penyembuhan menyediakan fenotip M2 CCR2 Ly6C- ditandai dengan pengaturan reseptor scavenger (CD206, CD 163)dan
sitokin anti inflamasi (IL-10). Dengan meminimalkan aktivasi M1 dan
memaksimalkan aktivasi M2 pada inflamasi kronis mungkin menjadi terapi
efektif untuk strategi jalur penyembuha. Penelitian sampai saat ini menuju ke
sinyal axis CCL-CCR 2 yaitu mediator penting untuk merekrut makrofag ke arah
tempat luka dan fenotif gen penyandi aktivasi selektif M2 yaitu CX 3CR1

High

Ly6C-(Willenborg & Erning, 2013).


Ketika jaringan sudah kembali normal dan fibrosis dibersihkan berganti dengan
jaringan yang baru menjadi muncul pertanyaan apakah jaringan limfoid dapat
tumbuh kembali di tonsil yang telah diperbaiki jaringannya oleh makrofag M2,
dan jika tidak dapat muncul kembali jaringan limfoid ini apakah bisa
ditumbuhkan dengan mesenchimal stem cell, perlu waktu panjang untuk
menjawab pertanyaan ini. Ketika vaskularisasi normal pada tonsil sudah kembali
maka besar harapan obat-obat antibiotik yang spesifik terhadap bakteri maupun
mikroorganisme lain yang tersembunyi di tingkat-tingkat kripta tonsil dan struktur
biofilmdapat di bunuh secara adekuat.
Pengobatan medika mentosa yang berpotensi mengobati tonsilitis kornis
adalah,
1. Non Steroid Inflamation Drug (NSID)

Obat antiinflamasi non steroid (OAINS) indometacin dan obat selektif


COX 2 ditemukan menghambat sistem imun dan anti inflamasi dengan
cara menghambat kemampuan sel B manusia untuk memproduksi Ig G
dan IgM. Obat tersebut dapat digunakan sebagai obat penekan sistem imun
dan anti inflamasi. Namun belum diketahui bagaimana efektifitisnya
dalam menghentikan proses kerusakan jaringan kronis.
Kelemahannya adalah PGE2 mempunyai aksi bifase terhadap sel-selyaitu
pada dosis tinggi menurunkan tingkat Ig G namun dalam dosis rendah
mempunyai potensi untuk meningkatkan IgG (Dilek, 2010).
2. Interleukin 4 (IL 4), Interleukin 13 (IL 13), Interleukin 10 (IL 10)
IL4,IL 13 dan IL 10 menghambat pembentukan sitokin pro
inflamasi sehingga makrofag tidak berproliferasi kearah M1.
Kelemahannya Makrofag M1 mengekspresikan arginase 1

dan

VEGF-A dalam jumlah besar yang berhubungan dengan aktivasi M2. M2


adalah

bentuk

makrofag

dalam

fase

penyembuhan

jaringan

menurunSehingga penekanan proliferasi kearah M1 akan menurunkan


jumlah M2 ((Willenborg & Erning ; 2013, Hasturk, 2012).
3. Makrofag
Pada inflamasi kronis terdapat pemanjangan akumulasi menetap
makrofag M1 di jaringan sehingga merusak dan menghancurkan jaringan
yang berperan terhadap proses penyembuhan patologis.
Sekarang diteliti tentang axis penyandi CCL2-CCR2 dan non
inflamasi CX3CR1

High

Ly6C-sebagai kemotaksin makrofag M2 agar

bergerak kearah luka. Subtipe non inflamasi ditandai dengan penurunan


ekspresi CCR2 danpeningkatan ekspresi CX3CR1 (Willenborg & Erning,
2013)

DAFTAR PUSTAKA
Hastruk Hatice, Kantraci Alpdogan, and Thomas E. Van Dyke. 2012. Oral
Inflammatory Disease And Systemic Inflammation .Departemen of
Periodontology.
Mogoanta Aurelia Carmen dkk. 2008. Cronic Tonsillitis: Histological and
Immunohistochemical Aspects. Jurnal Morphology and Embryology. Vol 49(3):
381-386.
Berstein, M. Joel. 1994. Immunobology of The Tonsils And Adenoid.
Handbook of mucosal Immunology. Vol 625-639.
DilekFatmaHusniy, dkk. 2010. Expression of Cyclooxygenase-1 and 2 in
chronic tonsilitis. Indian jurnal of Phatology and Micrology-53(3).
Willenborg Sebastian& Erning S.A,. 2013. Macrophages sensor and
effectors coordinating skin damage and repair. Jurnal of the german society of
dermatology.
Bohne Silvia, Robert Siggel, Svea Sachse. 2013. Clinical significance and
diagnostic usefulness ofserologic markers for improvement of outcome of
tonsillectomy in adults with chronic tonsillitis. Journal of Negative Results in
BioMedicine, 12:11
Nasrin M, Miah MRA, Datta PG. 2012. Effect of tonsillectomy on humoral
immunity. Jurnal Bangladesh Med Res Counc Bull. vol; 38: 59-6.
Alasil Saad Musbah, dkk. 2013. Evidence of Bacterial Biofilms among
Infected andHypertrophied Tonsils in Correlation with the Microbiology,
Histopathology, and Clinical Symptoms of Tonsillar Diseases. International
Journal of Otolaryngology.
Stelter Klaus. 2014. Tonsillitis and sore throat in children. GMS Current
Topics in Otorhinolaryngology - Head and Neck Surgery, Vol: 13.
Campisi Paolo. 2003. Tonsillitis and its complications. The Canadian
Journal of Diagnosis. Vol: 99-105.
Skevas Theodoros. 2010. Measuring Quality of Life in Adult Patients with
Chronic Tonsillitis.The Open Otorhinolaryngology Journal, 4 vol: 34-46

Stuck Boris A., Jochen P. Windfuhr, Harald Genzwrker, Horst Schroten,


Tobias Tenenbaum, Karl Gtte, 2008. Tonsillectomy in Children. Dtsch Arztebl
Int vol:49 858
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PERMENKES) No 5
Tahun 2014, 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Soepardi. E. A., 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telingan Hidung
Tenggorokan Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Ura Serdar &Kutluhan Ahmet, 2008. Chronic Tonsillitis Can Be
Diagnosed With Histopathologic Findings. Eur J Gen Med. 2: 96-98

Anda mungkin juga menyukai