Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Infertilitas didefinisikan sebagai kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan keturunan
melalui proses konsepsi yang teratur dan tanpa menggunakan alat pencegah kehamilan. Infertilitas
dapat diketahui maupun tidak diketahui penyebabnya (idiopatik). Masalah infertilitas dpat
menimbulkan dampak yang besar bagi pasangan suami-istri yang mengalaminya. Pengobatan
infertilitas cenderung panjang dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga infertilitas
bukan hanya suatu masalah medis, namun juga ekonomi dan psikologis (RCOG, 2004).
Infertilitas dapat terjadi pada pria maupun wanita. Sehingga dibutuhkan evaluasi yang akurat
untuk menangani kondisi infertilitas pada suatu pasangan. Salah satu faktor predisposisi utama pada
infertilitas adalah umur. Prevalensi infertilitas idiopatik bervariasi antara 22-28 %, studi terbaru
menunjukkan diantara pasangan yang berkunjung ke klinik fertilitas, sebesar 21 % perempuan
berumur dibawah 35 tahun dan 26 % perempuan berumur diatas 35 tahun (Schorge J et al, 2004).
Berdasarkan pemaparan singkat tersebut, penulisan makalah ini bertujuan untuk mengulas
lebih dalam mengenai kondisi infertilitas agar dapat menjadi acuan ilmiah penatalaksanaan lebih
lanjut kondisi infertilitas pada masyarakat.

I.2. Rumusan Masalah


1. Apakah definisi lengkap dari kondisi Infertilitas?
2. Apakah jenis-jenis infertilitas pada wanita dan pria?
3. Apakah penyebab dan faktor resiko terjadinya infertilitas?
4. Bagaimana pencegahan terhadap Infertilitas?
5. Bagaimana menegakkan diagnosa dan melakukan tata laksana Infertilitas pada wanita dan
pria?

I.3. Manfaat
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia
pendidikan dan pelayanan kesehatan. Makalah ini juga ditulis untuk memenuhi tugas penulis
sebagai Dokter Muda yang menjalani Labortatorium Obstetri dan Ginekologi, sehingga diharapkan
tugas ini dapat menambah ilmu dan wawasan penulis serta pembaca.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan sekurangkurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi, atau biasa disebut
juga sebagai infertilitas primer. Infertilitas sekunder adalah ketidakmampuan seseorang memiliki
anak atau mempertahankan kehamilannya (ASRM, 2013). Pada perempuan diatas 35 tahun,
evaluasi dan pengobatan dapat dilakukan setelah 6 bulan pernikahan. Infertilitas idiopatik mengacu
pada pasangan infertil yang telah menjalani pemeriksaan standar meliputi tes ovulasi, patensi tuba
dan analisis semen dengan hasil normal (RCOG, 2004).
A. Ovulasi
Fungsi menstruasi normal merupakan hasil interaksi antara hipotalamus, hipofisis, dan
ovarium dengan perubahan-perubahan terkait pada jaringan sasaran pada saluran reproduksi
normal, ovarium memainkan peranan penting dalam proses ini, karena tampaknya bertanggung
jawab dalam pengaturan perubahan-perubahan siklik maupun lama siklus menstruasi (Aleida,
2013).
Ovarium menghasilkan hormon steroid, terutama estrogen dan progesteron. Beberapa
estrogen yang berbeda dihasilkan oleh folikel ovarium, yang mengandung ovum yang sedang
berkembang dan oleh sel-sel yang mengelilinginya. Estrogen ovarium yang paling berpengaruh
adalah estradiol (Kamath, 2012).
Estrogen bertanggung jawab terhadap perkembangan dan pemeliharaan organ- organ
reproduktif wanita dan karakteristik seksual sekunder yang berkaitan dengan wanita dewasa.
Estrogen memainkan peranan penting dalam perkembangan payudara dan dalam perubahan
siklus bulanan dalam uterus. Progesteron juga penting dalam mengatur perubahan yang terjadi
dalam uterus selama siklus menstruasi (Saga, 2013). Progesteron merupakan hormon yang paling
penting untuk menyiapkan endometrium yang merupakan membran mukosa yang melapisi
uterus untuk implantasi ovum yang telah dibuahi. Jika terjadi kehamilan sekresi progesteron
berperan penting terhadap plasenta dan untuk mempertahankan kehamilan yang normal.
Sedangkan endrogen juga dihasilkan oleh ovarium, tetapi hanya dalam jumlah kecil. Hormon
endrogen terlibat dalam perkembangan dini folikel dan juga mempengaruhi libido wanita
(Kamath, 2012).
2

Menstruasi disertai ovulasi terjadi selang beberapa bulan sampai 2-3 tahun setelah menarche
yang berlangsung sekitar umur 17-18 tahun. Dengan memperhatikan komponen yang mengatur
menstruasi dapat dikemungkakan bahwa setiap penyimpangan system akan terjadi
penyimpangan pada patrum umun menstruasi (Paradisi, 2006). Pada umumnya menstruasi akan
berlangsung setiap 28 hari selama 7 hari. Lama perdarahannya sekitas 3-5 hari dengan jumlah
darah yang hilang sekitar 30-40 cc. Puncak pendarahannya hari ke-2 atau 3 hal ini dapat dilihat
dari jumlah pemakaian pembalut sekitar 2-3 buah. Diikuti fase proliferasi sekitar 6-8 hari (WHO,
2013).
Menurut Bobak (2004), ada beberapa rangkaian dari siklus menstruasi, yaitu:
1. Siklus Endomentrium
Siklus endometrium terdiri dari empat fase, yaitu :
a. Fase menstruasi
Pada fase ini, endometrium terlepas dari dinding uterus dengan disertai pendarahan
dan lapisan yang masih utuh hanya stratum basale. Rata-rata fase ini berlangsung
selama lima hari (rentang 3-6 hari). Pada awal fase menstruasi kadar estrogen,
progesteron, LH (Lutenizing Hormon) menurun atau pada kadar terendahnya selama
siklus dan kadar FSH (Folikel Stimulating Hormon) baru mulai meningkat.
b. Fase proliferasi
Fase proliferasi merupakan periode pertumbuhan cepat yang berlangsung sejak
sekitar hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus haid, misalnya hari ke-10 siklus 24
hari, hari ke-15 siklus 28 hari, hari ke-18 siklus 32 hari. Permukaan endometrium
secara lengkap kembali normal sekitar empat hari atau menjelang perdarahan
berhenti. Dalam fase ini endometrium tumbuh menjadi setebal 3,5 mm atau sekitar
8-10 kali lipat dari semula, yang akan berakhir saat ovulasi. Fase proliferasi
tergantung pada stimulasi estrogen yang berasal dari folikel ovarium.
c. Fase sekresi/luteal
Fase sekresi berlangsung sejak hari ovulasi sampai sekitar tiga hari sebelum periode
menstruasi berikutnya. Pada akhir fase sekresi, endometrium sekretorius yang

matang dengan sempurna mencapai ketebalan seperti beludru yang tebal dan halus.
Endometrium menjadi kaya dengan darah dan sekresi kelenjar.

d. Fase iskemi/premenstrual
Implantasi atau nidasi ovum yang dibuahi terjadi sekitar 7 sampai 10 hari setelah
ovulasi. Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum yang
mensekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring penyusutan kadar estrogen
dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi spasme, sehingga suplai darah ke
endometrium fungsional terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan fungsional terpisah
dari lapisan basal dan perdarahan menstruasi dimulai.
4

2. Siklus Ovulasi
Ovulasi merupakan peningkatan kadar estrogen yang menghambat pengeluaran FSH,
kemudian hipofise mengeluarkan LH (lutenizing hormon). Peningkatan kadar LH merangsang
pelepasan oosit sekunder dari folikel. Folikel primer primitif berisi oosit yang tidak matur (sel
primordial). Sebelum ovulasi, satu sampai 30 folikel mulai matur didalam ovarium dibawah
pengaruh FSH dan estrogen. Lonjakan LH sebelum terjadi ovulasi mempengaruhi folikel yang
terpilih. Di dalam folikel yang terpilih, oosit matur dan terjadi ovulasi, folikel yang kosong
memulai berformasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum mencapai puncak aktivitas
fungsional 8 hari setelah ovulasi, dan mensekresi baik hormon estrogen maupun progesteron.
Apabila tidak terjadi implantasi, korpus luteum berkurang dan kadar hormon menurun. Sehingga
lapisan fungsional endometrium tidak dapat bertahan dan akhirnya luruh.
3. Siklus Hipofisis-hipotalamus
Menjelang akhir siklus menstruasi yang normal, kadar estrogen dan progesteron darah
menurun. Kadar hormon ovarium yang rendah dalam darah ini menstimulasi hipotalamus untuk
mensekresi gonadotropin realising hormone (Gn-RH). Sebaliknya, Gn-RH menstimulasi sekresi
folikel stimulating hormone (FSH). FSH menstimulasi perkembangan folikel de graaf ovarium
dan produksi estrogennya. Kadar estrogen mulai menurun dan Gn-RH hipotalamus memicu
hipofisis anterior untuk mengeluarkan lutenizing hormone (LH). LH mencapai puncak pada
sekitar hari ke-13 atau ke-14 dari siklus 28 hari. Apabila tidak terjadi fertilisasi dan implantasi
ovum pada masa ini, korpus luteum menyusut, oleh karena itu kadar estrogen dan progesteron
menurun, maka terjadi menstruasi.
B. Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah proses di mana sel-sel germinal primordial pria yang disebut
spermatogonium menjalani meiosis, dan menghasilkan sejumlah sel yang disebut spermatozoa.
Salah satu sel awal dalam jalur ini disebut spermatosit primer. Setiap spermatosit primer
membelah menjadi dua spermatosit sekunder, dan masing-masing spermatosit sekunder menjadi
dua spermatid atau spermatozoa muda. Sel ini berkembang menjadi spermatozoa matang, yang
disebut sel sperma. Dengan demikian, spermatosit primer menghasilkan dua sel, spermatosit
sekunder dengan subdivisi yang menghasilkan empat spermatozoa (Yan et al, 2008).

Tempat pembentukan sperma berada pada tubulus seminiferus di dalam testis. Proses
pembentukan sperma ini dinamakan spermatogenesis. Pada tubulus seminiferus terdapat dinding
yang terlapisi oleh sel Germinal Primitif yang mengalami kekhususan. Sel germinal ini disebut
spermatogonium (Johnson et al, 2008). Setelah mengalami pematangan, spermatogonium
memperbanyak diri sehingga membelah secara terus-menerus (Mitosis). Dalam proses
pembentukan sperma, terdapat beberapa hormon yang mempengaruhi, yaitu:
1. Hormon FSH yang berfungsi untuk merangsang pembentukan sperma secara
langsung serta merangsang sel sertoli untuk menghasilkan ABP (Androgen Binding
Protein) untuk memacu spermatogonium dalam melakukan spermatogenesis.
2. Hormon LH yang berfungsi merangsang sel Leydig untuk memperoleh sekresi
Testosterone (suatu hormon seks yang penting untuk pematangan sperma).
Secara umum terdapat tiga tahapan yang menjelaskan terbentuknya spermatozoa; (1)
Tahapan spermatogonium yang bermiosis menjadi spermatid primer, proses ini dipengaruhi oleh
sel sertoli, dengan sel sertoli yang memberi nutrisi-nutrisi kepada spermatogonium, sehingga
dapat berkembang menjadi spermatotid; (2) Tahapan Meiosis merupakan spermatosit primer
yang bermitosis I membentuk spermatosit sekunder dan langsung terjadi meiosis II, yaitu
pembentukan spermatid dari spermatosit sekunder; (3) Spermiogenesis adalah tahapan terakhir
pembentukan spermatozoa, dimana terjadi transformasi dari spermatid menjadi spermatozoa
(Yan et al, 2008).
Setelah spermatozoa terbentuk, sperma terdiri dari tiga bagian yaitu kepala sperma, leher
sperma dan ekor sperma. Kepala terdapat akrosom yang berfungsi untuk melindungi kepala.
Leher mengandung banyak mitokondria sebagai sumber energi yang dioksidasi untuk kebutuhan
sel bergerak secara aktif. Sedangkan ekor sperma merupakan alat gerak sperma untuk bergerak
menuju ovum (Yan et al, 2008).
C. Fertilisasi
Fertilisasi atau konsepsi adalah bersatunya sel telur dan sel sperma. Proses ini sering
berlangsung pada ampula atau tuba falopi. Proses fertilisasi akan menghasilkan sel zigot dan
memulai proses perkembangan prenatal.
Sperma yang baru diejakulasikan akan bergerak dengan cepat dari vagina ke rahim dan
selanjutnya masuk ke dalam saluran telur. Pergerakan ini disebabkan oleh kontraksi otot-otot
uterus dan tuba. Spermatozoa masih harus melalui proses persiapan lain sebelum benar-benar
mampu melakukan fertilisasi terhadap sel telur. Proses ini disebut capacitation, yang terjadi di
organ reproduksi wanita selama beberapa jam. Proses ini akan meningkatkan motilitas dan
6

menurunkan stabilitas membran sel sperma, sehingga memudahkan proses penetrasi dan reaksi
akrosom.

Reaksi akrosom terjadi setelah penempelan ke zona pelusida dan diinduksi oleh proteinprotein yang berada di zona tersebut. Reaksi ini berakhir pada pelepasan enzim-enzim yang
diperlukan untuk menembus zona pelusida, antara lain akrosin dan zat-zat tripsin. Fase fertilisasi
mencakup:
1. Penembusan korona radiata
Spermatozoa yang mengalami kapasitasi tidak akan sulit untuk menembus korona radiata
karena selubung glikoprotein telah didegradasi sebelumnya.
2. Penembusan zona pelusida
Zona pelusida adalah pelindung berupa glikoprotein yang mempertahankan pengikatan
sperma dan menginduksi reakdi kromosom. Hanya 1 spermatozoa yang berhasil menembus
zona pelusida, karena begitu satu sperma berhasil masuk, maka oosit akan membentuk enzim
yang mencegah spermatozoa lain untuk menembus zona pelusida.
3. Fusi oosit dan membran plasma
Spermatozoa bergerak masuk ke membran oosit dan mencapai inti oosit. Perlu diketahui
bahwa spermatozoa dan oosit masing-masing memiliki 23 kromosom (haploid), selama masa
penyatuan masing-masing pronukleus melakukan sintesis DNA. Segera setelah sintesis DNA,
kromosom tersusun dalam gelendong untuk melakukan pembelahan secara mitosis yang
normal. Dua puluh tiga kromosom dari ibu dan dua puluh tiga kromosom dari ayah membelah
sepanjang sentromer, dan kromatid-kromatid yang berpasangan tersebut saling bergerak ke
kutub yang berlawanan, sehingga menyiapkan sel zigot yang masing-masing mempunyai
jumlah kromosom yang normal.
II.2. Penyebab Infertilitas
A. Faktor Perempuan
Gangguan Ovulasi merupakan salah satu penyebab paling sering terjadinya infertilitas pada
wanita. Infertilitas akibat gangguan ovulasi dapat diklasifikasikan berdasarkan siklus haid, yaitu
amenore primer dan sekunder. Namun tidak semua pasien infertilitas dengan gangguan ovulasi
memiliki gejala klinis amenore, beberapa diantaranya menunjukkan gejala oligomenorea.
Amenore primer dapat disebabkan oleh Sindrom Ovarium Polikistik, Turner Sindrom,
Hipogonadotropin hipogonadism (latihan yang berat, Sindrom Kallman, trauma kepala,
7

idiopatik), pubertas terhambat, hiperprolaktinemia, hipopituarism, tumor (gliomas, kista


dermoid), gangguan sistemik atau endokrin (sindrom cushing, penyakit tiroid).
WHO membagi kelainan Ovulasi menjadi 3 kelas; (I) Kegagalan pada hipotalamus hipofisis
(hipogonadotropin hipogonadism), yaitu rendahnya kadar gonadotropin, prolaktin normal, dan
rendahnya estradiol; (II) Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropin-normogonadism),
yaitu kelainan gonadotropin, namun estradiol normal. Anovulasi kelas II ini terjadi pada sekitar
85% dari seluruh kelainan ovulasi. Manifestasi klinis terjadi pada sindrom ovarium polikistik,
dengan 80-90% mengalami oligomenore dan 30% mengalami amenore; (III) Kegagalan
ovarium (hipergonadotropin-hipogonadism), yaitu kadar gonadotropin yang tinggi dengan
estradiol yang rendah; (IV) Hiperprolaktinemia.
Kerusakan tuba adalah penyebab lain terjadinya infertilitas pada wanita. Kerusakan ini dapat
disebabkan oleh infeksi maupun endometriosis. Endometriosis merupakan penyakit kronis
dengan gejala nyeri panggul, infertilitas, dan pembesaran pada adneksa. Mekanisme infertilitas
oleh endometriosis masih belum sepenuhnya dapat dijelaskan, tetapi beberapa hipotesis
menyebutkan adanya perlekatan dan distorsi anatomi panggul dapat menurunkan tingkat
kesuburan. Perlekatan pelvis pada endometriosis dapat mengganggu pelepasan oosit dari
ovarium serta menghambat penangkapan maupun transportasi oosit. Kerusakan tuba dapat

dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu; (1) Grade 1 (ringan): oklusi tuba proksimal tanpa adanya
fibrosis atau oklusi tuba distal tanpa ada distensi, mukosa tampak baik, perlekatan ringan
(perituba-ovarium); (2) Grade 2 (sedang): kerusakan tuba berat unilateral; (3) Grade 3 (berat):
8

Kerusakan tuba berat bilateral, fibrosis tuba luas, distensi tuba > 1,5 cm, mukosa tampak
abnormal, oklusi tuba bilateral, perlekatan berat dan luas.
Gangguan uterus lain, termasuk mioma submukosum, polip endometrium, leiomyoma,
sindrom asherman merupakan penyebab lain terjadinya infertilitas pada wanita.
B. Faktor Pria
Faktanya, sebesar 30-40% infertilitas pada suatu pasangan disebabkan oleh faktor laki-laki,
sehingga pemeriksaan pada laki-laki wajib dilakukan sebagai bagian dari penatalaksanaan
infertilitas. Fertilitas laki-laki dapat menurun akibat hal-hal berikut ini; (1) Kelainan urogential
kongenital atau didapat; (2) Infeksi saluran urogenital; (3) Suhu skrotum yang meningkat

(contohnya akibat dari varikokel); (4) Kelainan endokrin; (5) Kelainan genetik; (6) Faktor
imunologi.

II.3. Faktor Resiko Infertilitas


Secara garis besar, kejadian Infertilitas diakibatkan oleh penyebab dari wanita, pria, atau
kombinasi dari keduanya. Infertilitas pada wanita dapat disebabkan oleh gangguan yang
berhubungan dengan organ-organ kewanitaan.
A. Vagina
Infeksi vagina seperti vaginitis, trikomonas vaginalis yang hebat akan menyebabkan
infeksi lanjut pada portio, serviks, endometrium bahkan sampai ke tuba yang dapat
menyebabkan gangguan pergerakan dan penyumbatan pada tuba sebagai organ reproduksi
vital untuk terjadinya konsepsi. Disfungsi seksual yang mencegah penetrasi penis, atau
lingkungan vagina yang sangat asam, yang secara nyata dapat mengurangi daya hidup sperma
(Stright B, 2005).
B. Serviks
Gangguan pada setiap perubahan fisiologis yang secara normal terjadi selama
periode praovulatori dan ovulatori yang membuat lingkungan serviks kondusif bagi daya
hidup sperma misalnya peningkatan alkalinitas dan peningkatan sekresi ( Stright B, 2005, hal.
60 ).

C. Uterus
Nidasi ovum yang telah dibuahi terjadi di endometrium. Kejadian ini tidak dapat
berlangsung apabila ada patologi di uterus. Patologi tersebut antara lain polip endometrium,
adenomiosis, mioma uterus atau leiomioma,bekas kuretase dan abortus septik. Kelainankelainan tersebut dapat mengganggu implantasi, pertumbuhan,nutrisi serta oksigenisasi janin (
Wiknjosastro, 2002:509).
D. Tuba
Saluran telur mempunyai fungsi yang sangat vital dalam proses kehamilan.
Apabila terjadi masalah dalam saluran reproduksi wanita tersebut, maka dapat menghambat
pergerakan ovum ke uterus, mencegah masuknya sperma atau menghambat implantasi ovum
yang telah dibuahi. Sumbatan di tuba fallopi merupakan salah satu dari banyak penyebab
infertilitas. Sumbatan tersebut dapat terjadi akibat infeksi, pembedahan tuba atau adhesi yang
disebabkan oleh endometriosis atau inflamasi (Hall et all.1974). Infertilitas yang berhubungan
10

dengan masalah tuba ini yang paling menonjol adalah adanya peningkatan insiden penyakit
radang panggul (pelvic inflammatory disease PID). PID ini menyebabkan jaringan parut
yang memblok kedua tuba fallopi.
E. Ovarium
Wanita perlu memiliki siklus ovulasi yang teratur untuk menjadi hamil, ovumnya
harus normal dan tidak boleh ada hambatan dalam jalur lintasan sperma atau implantasi ovum
yang telah dibuahi. Dalam hal ini masalah ovarium yang dapat mempengaruhi infertilitas
yaitu kista atau tumor ovarium, penyakit ovarium polikistik, endometriosis, atau riwayat
pembedahan yang mengganggu siklus ovarium. Dari perspektif psikologis, terdapat juga suatu
korelasi antara hyperprolaktinemia dan tingginya tingkat stress diantara pasangan yang
mempengaruhi fungsi hormone.(Handersen C & Jones K, 2006:86).
Sementara itu, infertilitas dapat pula disebabkan oleh faktor pria dalam pasangan tersebut.
Pada pria, infertilitas dapat disebabkan oleh faktor organ maupun non-organ yang berhubungan
dengan aktifitas seksual pria.
A. Organ Reproduksi dan Koitus Pria
Faktor-faktor ini meliputi spermatogenesis abnormal, motilitas abnormal, kelainan
anatomi, gangguan endokrin dan disfungsi seksual. Kelaianan anatomi yang mungkin

11

menyebabkan infertilitas adalah tidak adanya vas deferens kongenital, obstruksi vasdeferens
dan kelainan kongenital system ejakulasi. Spermatogenesis abnormal dapat terjadi akibat
orkitis karena mumps, kelainan kromosom, terpajan bahan kimia, radiasi atau varikokel
(Benson R & Pernoll M, 2009:680).
B. Ejakulasi
Masalah ejakulasi pada pria dapat berpengaruh signifikan pada infertilitas. Kondisi
seperti ejakulasi retrograde dapat terjadi pada pasien dengan diabetes atau kerusakan sistem
saraf pusat maupun perifer, obat-obatan dan komplikasi tindakan bedah.
C. Pekerjaan
Produksi sperma yang optimal membutuhkan suhu di bawah temperature tubuh,
Spermagenesis diperkirakan kurang efisien pada pria dengan jenis pekerjaan tertentu, yaitu
pada petugas pemadam kebakaran dan pengemudi truk jarak jauh (Henderson C & Jones K,
2006:89).
12

D. Lain-lain
Adapun yang berpengaruh terhadap produksi sperma atau semen adalah infeksi yang
ditularkan melalui hubungan seksual, stress, nutrisi yang tidak adekuat, asupan alkohol
berlebihan dan nikotin. Infertilitas merupakan kondisi multifaktorial. Terdapat lebih dari satu
faktor penyebab dan faktor resiko yang berperan dalam infertilitas.

II.4. Pencegahan Infertilitas


Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari atau menurunkan faktor resiko
terjadinya infertilitas diantaranya adalah; (1) mengobati infeksi yang terjadi pada organ reproduksi;
(2) mengobati penyebab infertilitas pada perempuan; (3) Menghindari bahan-bahan yang
menyebabkan penurunan kualitas dan jumlah dari sperma dan sel telur seperti rokok dan alkohol;
(4) Berperilaku hidup sehat. Hal-hal lain yang berkaitan dengan menurunnya fertilitas pria dan
wanita dapat dilihat pada tabel 2.1 dan 2.2 pada halaman sebelumnya..

II.5. Penegakan Diagnosa dan Penatalaksanaan Infertilitas


A. Pemeriksaan Pada Perempuan
Gangguan ovulasi tejadi pada sekitar 15% pasangan infertilitas dan menyumbang
sekitar 40% infertilitas pada perempuan. Pemeriksaan infertilitas yang dapat dilakukan
diantaranya:
Pemeriksaan ovulasi
Frekuensi dan keteraturan menstruasi harus ditanyakan kepada seorang
perempuan. Perempuan yang mempunyai siklus dan frekuensi haid yang teratur
setiap bulannya, kemungkinan mengalami ovulasi (Rekomendasi B)
Perempuan yang memiliki siklus haid teratur dan telah mengalami infertilitas
selama 1 tahun, dianjurkan untuk mengkonfirmasi terjadinya ovulasi dengan
cara mengukur kadar progesteron serum fase luteal madya (hari ke 21-28)
(Rekomendasi B)
Pemeriksaan kadar progesteron serum perlu dilakukan pada perempuan yang
memiliki siklus haid panjang (oligomenorea). Pemeriksaan dilakukan pada
akhir siklus (hari ke 28-35) dan dapat diulang tiap minggu sampai siklus haid
berikutnya terjadi.
Pengukuran temperatur basal tubuh tidak direkomendasikan untuk
mengkonfirmasi terjadinya ovulasi (Rekomendasi B)
13

Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk melakukan
pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon gonadotropin (FSH dan
LH).
Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat apakah ada
gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis (Rekomendasi C)
Penilaian cadangan ovarium menggunakan inhibin B tidak direkomendasikan
(Rekomendasi C)
Pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien dengan infertilitas hanya dilakukan jika
pasien memiliki gejala (Rekomendasi C)
Biopsi endometrium untuk mengevaluasi fase luteal sebagai bagian dari
pemeriksaan infertilitas tidak direkomendasikan karena tidak terdapat bukti
bahwa pemeriksaan ini akan meningkatkan kehamilan (Rekomendasi B)
Pemeriksaan Chlamydia Trachomatis
Sebelum dilakukan pemeriksaan uterus, pemeriksaan untuk Chlamydia
trachomatis sebaiknya dilakukan dengan teknik yang sensitif (Rekomendasi B)
Jika tes Chlamydia trachomatis positif, perempuan dan pasangan seksualnya
sebaiknya dirujuk untuk mendapatkan pengobatan (Rekomendasi C)
Antibiotika profilaksis sebaiknya dipertimbangkan sebelum melakukan periksa
dalam jika pemeriksaan awal Chlamydia trachomatis belum dilakukan
Penilaian Kelainan Uterus
Pemeriksaan histeroskopi tidak dianjurkan apabila tidak terdapat indikasi,
karena efektifitas pembedahan sebagai terapi kelainan uterus untuk
meningkatkan angka kehamilan belum dapat ditegakkan (Rekomendasi B)
Penilaian lendir serviks pasca senggama
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan infertilitas dibawah 3
tahun.
Penilaian lendir serviks pasca senggama untuk menyelidiki masalah fertilitas
tidak dianjurkan karena tidak dapat meramalkan terjadinya kehamilan.
(Rekomendasi A)
Penilaian kelainan tuba
Perempuan yang tidak memiliki riwayat penyakit radang panggul (PID),
kehamilan ektopik atau endometriosis, disarankan untuk melakukan
14

histerosalpingografi (HSG) untuk melihat adanya oklusi tuba. Pemeriksaan ini


tidak invasif dan lebih efisien dibandingkan laparaskopi. (Rekomendasi B)
Pemeriksaan oklusi tuba menggunakan sono-histerosalpingografi dapat
dipertimbangkan karena merupakan alternatif yang efektif (Rekomendasi A)
Tindakan laparoskopi kromotubasi untuk menilai patensi tuba, dianjurkan untuk
dilakukan pada perempuan yang diketahui memiliki riwayat penyakit radang
panggul (Rekomendasi B)
B. Pemeriksaan Pada Laki-laki
Anamnesis
Anamnesis ditujukan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan kebiasaan hidup
pasien yang dapat secara bermakna mempengaruhi fertilitas pria. Anamnesis
meliputi: 1) Riwayat medis dan operasi sebelumnya, 2) Riwayat penggunaan
obat-obatan (dengan atau tanpa resep) dan alergi, 3) Gaya hidup dan riwayat
gangguan sistemik, 4) Riwayat penggunaan alat kontraspesi; dan 5) Riwayat
infeksi sebelumnya, misalnya penyakit menular seksual dan infeksi saluran
nafas.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penyakit tertentu
yang berhubungan dengan infertilitas. Penampilan umum harus diperhatikan,
meliputi tanda-tanda kekurangan rambut pada tubuh atau ginekomastia yang
menunjukkan adanya defisiensi androgen. Tinggi badan, berat badan, IMT, dan
tekanan darah harus diketahui.
Palpasi skrotum saat pasien berdiri diperlukan untuk menentukan ukuran dan
konsistensi testis. Apabila skrotum tidak terpalpasi pada salah satu sisi,
pemeriksaan inguinal harus dilakukan. Orkidometer dapat digunakan untuk
mengukur volume testis. Ukuran rata-rata testis orang dewasa yang dianggap
normal adalah 20 ml.
Konsistensi testis dapat dibagi menjadi kenyal, lunak, dan keras. Konsistensi
normal adalah kenyal. Testis yang lunak dan kecil mengindikasikan
spermatogenesis yang terganggu.
Palpasi epididimis diperlukan untuk melihat adanya distensi atau indurasi.
Varikokel sering ditemukan pada sisi sebelah kiri dan berhubungan dengan
atrofi testis kiri. Adanya perbedaan ukuran testis dan sensasi seperti meraba
15

sekantung ulat pada tes valsava merupakan tanda-tanda kemungkinan adanya


varikokel.
Pemeriksaan kemungkinan kelainan pada penis dan prostat juga harus
dilakukan. Kelainan pada penis seperti mikropenis atau hipospadia dapat
mengganggu proses transportasi sperma mencapai bagian proksimal vagina.
Pemeriksaan colok dubur dapat mengidentifikasi pembesaran prostat dan
vesikula seminalis.
Analisis sperma
Pada hasil analisis sperma yang abnormal, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
ulang setelah 3 bulan, yaitu ketika proses pembentukan spermatozoa terjadi
sempurna. Namun jika ditemukan azoospermia atau oligozoospermia berat,
pemeriksaan untuk konfirmasi harus dilakukan secepatnya (Rekomendasi B)
Pemeriksaan Computer-Aided Sperm Analysis (CASA) dilakukan untuk melihat
jumlah, motilitas dan morfologi sperma, pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dilakukan karena belum terbukti memberikan hasil yang lebih baik daripada
manual.
Pemeriksaan fungsi endokrinologi pada pasien dengan konsentrasi sperma <10
juta/ml. Bila secara klinis ditemukan bahwa pasien menderita kelainan
endokrinologi, dilakukan pemeriksaan hormon testosteron dan FSH serum.
Penilaian antibodi antisperma merupakan bagian standar analisis semen.
Menurut WHO, pemeriksaan ini dilakukan dengan pemeriksaan imunologi atau
dengan cara melihat reaksi antiglobulin.
C. Penatalaksanaan Infertilitas

Manajemen Ekspektatif
Penatalaksanaan infertilitas idiopatik, penatalaksanaan dilakukan terhadap pasangan
melalui berbagai tahapan konseling. Proses yang panjang membutuhkan kerja sama yang
baik dari pasangan yang mendapatkan terapi. Penelitian menunjukkan bahwa
kemungkinan hamil spontan pada pasangan dengan infertilitas idiopatik cukup tinggi,
sehingga manajemen ekspektatif merupakan tatalaksana yang tepat. Konseling dapat
berupa informasi mengenai masa subur dan nutrisi yang baik bagi sistem reproduksi, serta
melakukan hubungan secara benar tanpa metode kontrasepsi apapun.

16

Klomifen Sitrat
Klomifen sitrat dapat mengatasi kasus infertilitas idiopatik dengan cara memperbaiki
disfungsi ovulasi ringan dan merangsang pertumbuhan folikel multipel. Pasien dianjurkan
untuk memulai terapi inisial 50 mg sehari mulai pada hari ke-2-6 siklus haid. Pemantauan
folikel dengan USG transvaginal dilakukan pada hari ke 12 untuk menurunkan
kemungkinan terjadinya kehamilan ganda. Pasangan disarankan untuk melakukan
hubungan seksual terjadwal dari hari ke-12 siklus haid. Pada kejadian di mana dicurigai
adanya respon ovarium yang berlebihan, siklus dibatalkan dan pasangan diminta tidak
melakukan hubungan seksual sampai siklus haid berikutnya.
Penggunaan klomifen telah dikenal oleh semua pasangan infertilitas karena murah,
non-invasif, dan tidak membutuhkan pemantauan klinis yang banyak. Kejadian kehamilan
ganda dan risiko terjadinya kanker ovarium dijadikan dasar dalam pertimbangan risiko
dan manfaat.

Inseminasi Intrauterin
Inseminasi intrauterin dengan atau tanpa stimulasi merupakan pilihan pada
tatalaksana infertilitas idiopatik. Peningkatan jumlah spermatozoa yang motil dalam
uterus dan menempatkan sperma dalam jarak yang dekat terhadap 1 atau lebih oosit
berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan. Inseminasi dapat dilakukan
dengan atau tanpa prosedur stimulasi ovarium.

Defisiensi Testikular
Penanganan defisiensi testikular dapat dilakukan dengan Ekstraksi Sperma Dari
Testis (TESE). Dahulu dilakukan pemeriksaan biopsi testis untuk menilai adanya
gangguan fungsi dari organ, namun dengan TESE, biopsi ini tidak dilakukan lagi. TESE
biasa dilakukan bersama dengan intracytoplasmic sperm injection (ICSI) pada pasien
dengan non-obstruktif azoospermia (NOA). Spermatogenensis mungkin terpusat: pada
50-60% dengan NOA, spermatozoa dapat ditemukan dan digunakan untuk ICSI. Pada
kasus mikrodelesi komplit AZFa and AZFb, kecenderungan ditemukannya sperma adalah
nol. Testicular sperm extraction (TESE) adalah teknik pilihan dan menunjukkan hasil
yang baik. Microsurgical testicular sperm extraction kemungkinan dapat meninngkatkan

17

angka keberhasilan pengambilan sperma namun belum terdapat studi yang dapat
membuktikannya.

Azoospermia Obstruktif
Obstruksi intratestikular merupakan penyebab paling umum, dengan
penatalaksanaan berupa TESE atau fine needle aspiration. Sedangkan rekanalisasi duktus
seminalis tidak mungkin dilakukan pada obstruksi intratestikular.
Obstruksi epididimis. Microsurgical epididymal sperm aspiration (MESA)
dilakukan untuk mendapatkan spermatozoa yang nantinya digunakan untuk ICSI. Pada
obstruksi yang didapat, end-to-end atau end-to-side microsurgical epididymo vasostomy
direkomendasikan. Rekonstruksi dapat dilakukan baik unilateral maupun bilateral.
Namun penelitian menunjukkan angka keberhasilan lebih tinggi pada rekonstruksi
bilateral. Spermatozoa pada epididimis harus melalui cryopreservation untuk ICSI jika
operasi gagal.
Obstruksi vas deferens proksimal. Obstruksi vas deferens proksimal setelah
vasektomi membutuhkan microsurgical vasectomy reversal. Vaso-vasostomy juga
dibutuhkan pada kasus yang jarang seperti obstruksi vassal proksimal (iatrogenik, Pascatraumatik, pasca-inflamasi). Microsurgical vaso-epididystomy dapat diindikasikan jika
cairan seminalis vas proksimal memiliki tampilan tebal atau toothpaste.

Obstruksi vas deferens distal


Biasanya tidak mungkin untuk mengkoreksi defek vas bilateral yang besar akibat
eksisi vas yang tidak disengaja selama operasi hernia atau orchidopexy. Pada kasus ini,
aspirasi sperma vas deferens proksimal atau TESE/MESA dapat digunakan untuk
kriopreservasi ICSI nantinya. Pada defek monolateral yang besar dengan atrofi testis
kontralateral, vas dari testis yang atrofi dapat digunakan untuk crossover vaso-vasostomy
atau vaso-epididymostomy.

18

Obstruksi duktus ejakulatorius


Tatalaksana obstruksi duktus ejakulatorius tergantung kepada etiologinya. Pada
obstruksi besar pasca-inflamasi dan ketika satu atau kedua duktus ejakulatorius berujung
midline intraprosstaic cyst, transurethral resection of the ejaculatory ducts (TURED) dapat
digunakan. Jika terjadi obstruksi akibat midline intraprosstaic cyst insisi atau unroofing
kista dibutuhkan. TRUS intraoperatif membuat prosedur ini lebih aman. Jika evaluasi
duktus seminalis distal dilakukan saat prosedur, instalasi pewarna methylen blue ke dalam
vas dapat membantu untuk mendokumentasikan pembukaan saluran. Keterbatasan angka
keberhasilan tindakan operasi obstruksi duktus ejakulatorius pada kehamilan spontan
harus dipertimbangkan terhadap aspirasi sperma dan ICSI.
Komplikasi akibat tindakan TURED antara lain ejakulasi retrograd akibat cedera
leher buli, dan reflux urin ke saluran, vesikula seminalis dan vasa (menyebabkan motilitas
sperma yang buruk, pH semen asam, dan epididimitis). Alternatif dari TURED, yaitu
MESA, TESE, proximal vas deferens sperm aspiration, proximal vas deferens sperm
aspiration, seminal vesicle ultrasonically guided aspiration, dan direct cyst aspiration.
Jika terjadi obstruksi fungsional saluran seminalis distal, TURED sering gagal untuk
memeperbaiki output sperma. Spermatozoa dapat dikembalikan dengan antegrade seminal
tract washout. Spermatozoa yang didapatkan dari setiap tindakan operasi ahrus
dikriopreservasi untuk membantu prosedur reproduksi.

Varikokel
Varikokel merupakan salah satu penyebab paling umum infertilitas pada pria.
Kelainan ini dapat ditangani dengan baik dan memberikan hasil yang optimal jika
didagnosa lebih dini. Penanganan varikokel dapat berupa sclerotherapy antegrad,
embolisasi retrograd, ligasi tinggi, dan bedah mikro. Bedah mikro merupakan penanganan
yang paling direkomendasikan karena tingkat keberhasilan yang tinggi serta angka
rekurensi yang rendah.

Hipogonadisme
Defisiensi endokrin dapat mengakibatkan rendahnya spermatogenesis dan rendahnya
sekresi testosteron karena rendahnya sekresi LH dan FSH. Setelah mengeksklusi bentuk
19

sekunder (obat, hormon, tumor), pilihan terapi tergantung dari tujuan terapi apakah untuk
mencapai tingkat androgen yang normal atau mencapai fertilitas. Tingkat androgen yang
normal dan perkembangan karakteristik seks sekunder (pada kasus onset hipogonadism
terjadi sebelum pubertas) dan status eugonadal dapat dicapai dengan terapi pengganti
androgen. Akan tetapi, stimulasi produksi sperma membutuhkan penatalaksanaan dengan
human chorionic gonadotrophin (hCG) yang dikombinasikan dengan FSH rekombinan.
Pada kasus langka fertile eunuchs yang memiliki produksi FSH yang cukup tapi tanpa
produksi LH yang cukup, penatalaksanaan dengan hCG saja sudah cukup untuk
menstimulasi produksi sperma dan mencapai tingkat testosteron yang normal.
Jika kelainan hipogonadism hipogonadotropik berasal dari hipotalamus, terapi
alternatif dari pemberian hCG adalah terapi dengan GnRH pulsatil. Pada pasien dengan
hipogonadism yang terjadi sebelum pubertas dan belum diterapi dengan gonadotropin atau
GnRH, terapi 1-2 tahun diperlukan untuk mencapai produksi sperma yang optimal. Ketika
kehamilan sudah terjadi, pasien dapat kembali untuk substitusi testosteron.

20

BAB III
KESIMPULAN

Infertilitas merupakan kelainan berupa ketidakmampuan suatu pasangan untuk


menghasilkan keturunan setelah berhubungan intim secara rutin tanpa menggunakan alat
kontrasepsi apapun. Permasalahan mengenai infertilitas masih banyak dianggap sebagai
aib bagi keluarga. Sehingga masalah ini seringkali memberi dampak negatif bagi keluarga
itu sendiri. Infertilitas harus diselesaikan secara bertahap, penanganan yang konsisten dan
edukasi yang baik merupakan bagian dari keberhasilan penanganan infertilitas pada suatu
pasangan.
Infertilitas tidak bisa dilihat hanya dari satu pihak saja (seringkali wanita). Faktanya,
banyak juga infertilitas sebenarnya dialami oleh pihak laki-laki. Penanganan infertilitas
membutuhkan kerja sama berbagai pihak dalam keluarga. Berbagai faktor resiko juga patut
diperhatikan untuk mencegah dan meningkatkan angka keberhasilan terapi infertilitas.

21

DAFTAR PUSTAKA
RCOG. Fertility: assessment and treatment for people with fertility problems. 2004.
Schorge J, Schaffer J, Halvorson L, Hoffman B, Bradshaw K, Cunningham. Williams Gynecology:
McGraw-Hill. 2004
Aleida G, Huppelschoten, Noortje T, Peter FJ, van Bommel , Kremer J, Nelen W. Do infertile
women and their partners have equal experiences with fertility care. Fertil Steril. 2013;99(3).
WHO. Infertility. 2013.
ASRM. Definitions of infertility and recurrent pregnancy loss: a committee opinion. Fertil Steril.
2013;Jan 99(1):63.
Kamath M, Bhattcharya S. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology. 2012. p.
729-38.
Bobak, M & IRene et al. 20014. Keperawatan Maternitas, edisi 4, Jakarta: EGC.
Paradisi R, Busacchi P, Seracchioli R, et al. Effects of high doses of recombinant human
folliclestimulating hormone in the treatment of male factor infertility: results of a pilot study.
Fertil Steril 2006 Sep;86(3):728-31.
Saga, Y., 2008. Mouse germ cell development during embryogenesis. Curr. Opin. Genet. Dev. 18:
337-341.
Johnson et al, 2008. Role of sertoli cell number and function or regulation of spermatogenesis.
Animal Reprod. Sci. 105: 23-51.
Yan et al, 2008. Junction Restructuring and Spermatogenesis: The Biology, Regulation, and
Implication in Male Contraceptive Development. Curr. Topics Dev. Biol. 80: 57-92
Al-Inany HG, Abou-Setta AM, Aboulghar M. Gonadotrophin-releasing hormone antagonists for
assisted conception. Cochrane Database Syst Rev. 2006(3):CD001750. Epub 2006/07/21.
WHO. Infecundity, Infertility, and Childlessness in Developing Countries2004; DHS Comparative
Reports No.9.
Balen A, Jacobs H. Infertility in Practice. Leeds and UK: Elsevier Science; 2003.
Fritz M, Speroff L. Clinical Gynecologic Endocrinology & Infertility. 8th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2010.
ASRM. Endometriosis and infertility: a committee opinion Fertil Steril. 2012;98:591-8.
Nieschlag E, Behre HM. Andrology (Eds), Male reproductive health and dysfunction, 2nd Ed.
Springer Verlag, Berlin, Chapter 5, pp.83-87.
Wiweko B, Prawesti D, Hestiantoro A, Sumapraja K, Natadisastra M, Baziad A. Chronological age
vs biological age: an age-related normogram for antral follicle count, FSH and anti-Mullerian
hormone. Pubmed. 2013.
Karavolos S, Stewart J, Evbuomwan I, McEleny K, Aird I. Assessment of the infertile male. The
Obstetrician & Gynaecologist. 2013;15:1-9.
Sigman M, Lipshultz L, Howards S. Office evaluation of the subfertile male. Cambridge2009.

22

Anda mungkin juga menyukai