Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Rumah

Sakit

merupakan

institusi

pelayanan

kesehatan

yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang


menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Dalam
pelayanan kesehatan diperlukan dokumen yang berisi keterangan tertulis maupun
yang terekam tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosa, segala
pelayanan dan tindakan medis yang diberikan kepada pasien, dan pengobatan baik
yang dirawat inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat
darurat yang disebut rekam medis. Rekam medis mempunyai makna yang lebih
luas dari sekedar catatan biasa, karena di dalam catatan tersebut sudah tercermin
segala informasi meyangkut seorang pasien yang akan dijadikan dasar dalam
menentukan tindakan lebih lanjut dalam upaya pelayanan maupun tindakan medis
lainnya yang diberikan kepada seorang pasien yang datang ke rumah sakit
(Asmawati, 2011).
Penyelenggaraan rekam medis merupakan proses kegiatan yang dimulai
pada saat diterimanya pasien di rumah sakit, diteruskan kegiatan pencatatan data
medis pasien selama pasien itu mendapatkan pelayanan medis di rumah sakit, dan
dilanjutkan

dengan

penanganan

berkas

rekam

medis

yang

meliputi

penyelenggaraan penyimpanan serta pengeluaran berkas dari tempat penyimpanan


untuk melayani permintaan/peminjaman dari pasien atau untuk keperluan lainnya
(Hardiani, 2012).
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi
Manusia Pasal 25 Ayat (1) menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup
yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya
termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta
pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur,
menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan
lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar
kekuasaannya (Tim Advokasi JKN, 2014). Dalam Undang-Undang No. 36 tahun

2009 tentang Kesehatan ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program
jaminan kesehatan sosial (MenKes RI, 2012).
Salah satu bentuk pelaksanaan dan pengembangan upaya kesehatan dalam
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah rujukan upaya kesehatan. Untuk
mendapatkan mutu pelayanan yang lebih terjamin, berhasil guna (efektif) dan
berdaya guna (efesien), perlu adanya jenjang pembagian tugas diantara unit-unit
pelayanan kesehatan melalui suatu tatanan sistem rujukan. Pelaksanaan sistem
rujukan di indonesia telah diatur dengan bentuk bertingkat atau berjenjang, yaitu
pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua dan ketiga, dimana dalam
pelaksanaannya tidak berdiri sendiri-sendiri namun berada di suatu sistem dan
saling berhubungan. Apabila pelayanan kesehatan primer tidak dapat melakukan
tindakan medis tingkat primer maka ia menyerahkan tanggung jawab tersebut ke
tingkat pelayanan di atasnya, demikian seterusnya. Apabila seluruh faktor
pendukung (pemerintah, teknologi, transportasi) terpenuhi maka proses ini akan
berjalan dengan baik dan masyarakat awam akan segera tertangani dengan tepat
(DepKes RI, 2009).
Undang-undang SJSN dan BPJS mengamanatkan kepada kita semua
komunitas kesehatan untuk dapat menyediakan pelayanan kesehatan yang
bermutu, merata dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Selain itu, pemerintah
juga harus dapat menjamin tersedianya pelayanan kesehatan sampai ke daerah
terpencil dan penduduk miskin (Idris, 2014).
Namun, pada pelaksanaannya jangkauan pelayanan kesehatan belum
merata,terutama di DTPK dan miskin. Sistem rujukan pasien selama ini dirasakan
masih belum dapat menjangkau pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
Akibatnya, terjadi penumpukan pasien yang luar biasa di rumah sakit besar
tertentu. Oleh karena itu, harus dikembangkan sistem rujukan yang lebih baik,
yaitu dengan mengembangkan sistem rujukan regional, yang terstruktur dan
berjenjang (KemenKes RI, 2014).

Rekam medis dan sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan salah


satu komponen upaya kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Laporan ini disusun untuk memberikan informasi mengenai rekam
medis dan sistem rujukan secara umum, maupun secara khusus di RSUD Kota
Surakarta, sehingga diharapkan seluruh tenaga kesehatan dapat berperan serta
dalam mewujudkan peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. REKAM MEDIS
1. Definisi
Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 269
tahun 2008 tentang Rekam Medis, yang dimaksud dengan rekam medis
adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan
kepada pasien (Depkes RI, 2013).

Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, yang


dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Depkes RI, 2013).
2. Isi Rekam Medis
a. Catatan, merupakan uraian tentang identitas pasien, pemeriksaan
pasien, diagnosa, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain baik
dilakukan oleh dokter dan dokter gigi maupun tenaga kesehatan
lainnya sesuai dengan kompetensinya.
b. Dokumen, merupakan kelengkapan dari catatan tersebu, antara lain
foto rontgen, hasil laboratorium dan keterangan lain sesuai dengan
kompetensi keilmuannya (Depkes RI, 2006).
Isi rekam medis dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya:
a. Rekam medis pasien rawat jalan
Isi rekam medis untuk pasien rawat jalan sekurang-kurangnya
memuat catatan/dokumen tentang:
- Identitas pasien
- Tanggal dan waktu
- Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan
-

riwayat penyakit
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik
Diagnosis
Rencana penatalaksanaan
Pengobatan dan/atau tindakan
Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien
Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik
Persetujuan tindakan bila diperlukan.

b. Rekam medis pasien rawat inap dan one day care

Rekam medis untuk pasien rawat inap dan one day care sekurangkurangnya memuat:
- Identitas pasien
- Tanggal dan waktu
- Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan
-

riwayat penyakit
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik
Diagnosis
Rencana penatalaksanaan

Pengobatan dan/atau tindakan


Persetujuan tindakan bila diperlukan
Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan
Ringkasan pulang (Discharge summary)
Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga

kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan


Pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu

yang memberikan pelayanan kesehatan


Pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaha kesehatan tertentu
Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik

c. Rekam medis pasien gawat darurat


Rekam medis untuk pasien gawat darurat sekurang-kurangnya
memuat:
- Identitas pasien
- Kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan
- Identitas pengantar pasien
- Tanggal dan waktu
- Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan
-

riwayat penyakit
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik
Diagnosis
Pengobatan dan/atau tindakan
Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan

unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut


Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga

kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan


Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan

dipindahkan ke sarana pelayanan kesehatan yang lain


Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Menkes
RI, 2008).

3. Jenis Rekam Medis


a. Rekam medis konvensional
b. Rekam medis elektronik
4. Manfaat Rekam Medis
a. Pengobatan Pasien
Rekam medis bermanfaat sebagai dasar dan petunjuk untuk
merencanakan dan menganalisis penyakit serta merencanakan

pengobatan, perawatan dan tindakan medis yang harus diberikan


kepada pasien (Depkes RI, 2006).
b. Peningkatan Kualitas Pelayanan
Membuat rekam medis bagi penyelenggaraan praktik kedokteran
dengan jelas dan lengkap akan meningkatkan kualitas pelayanan
untuk melindungi tenaga medis dan untuk pencapaian kesehatan
masyarakat yang optimal (Depkes RI, 2006).
c. Pendidikan dan Penelitian
Rekam medis yang merupakan inforamasi perkembangan kronologis
penyakit, pelayanan medis, pengobatan dan tindakan medis,
bermanfaat untuk bahan informasi bagi perkembangan pengajaran dan
penelitian di bidang profesi kedokteran dan kedokteran gigi (Depkes
RI, 2006).
d. Pembiayaan
Berkas rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk
menetapkan pembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana
kesehatan. Catatan tersebut dapat dipakai sebagai bukti pembiayaan
kepada pasien (Depkes RI, 2006).
e. Statistik Kesehatan
Rekam medis dapat digunakan sebagai bahan statistik kesehatan,
khususnya untuk mempelajari perkembangan kesehatan masyarakat
dan untuk menentukan jumlah penderita pada penyakit-penyakit
tertentu (Depkes RI, 2006).
f. Pembuktian Masalah Hukum, Disiplin dan Etik
Rekam medis merupakan alat bukti tertulis utama, sehingga
bermanfaat dalam penyelesaian masalah hukum, disiplin dan etik
(Depkes RI, 2006). Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat
penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka
dalam hal:
- Untuk kepentingan kesehatan pasien
- Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
-

penegakan hukum atas perintah pengadilan


Permintaan
institusi/lembaga
berdasarkan

ketentuan

perundang-undangan

Untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan audit medis,


sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien (Menkes RI,
2008).

5. Tata Cara Penyelenggaraan Rekam Medis


Rekam medis wajib dibuat oleh dokter dan dokter gigi dalam
menjalanklan praktik. Setelah memberikan pelayanan praktik kedokteran
kepada pasien, dokter dan dokter gigi segera melengapi rekam medis
dengan mengisi atau menulis semua pelayanan praktik kedokteran yang
telah dilakukannya. Setiap catatan dalam rekam medis dibubuhi nama,
waktu dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau
tindakan. Apabila dalam pencatatan rekam medis menggunakan teknologi
indormasi elektronik, maka pembubuhan tanda tangan dapat diganti
dengan menggunakan nomor identitas pribadi/personal identification
number (PIN). Apabila terjadi kesalahan saat melakukan pencatatan
rekam medis, catatan dan berkas tidak boleh dihilangkan atau dihapus
dengan cara apapun. Perubahan catatan atas kesalahan dalam rekam
medis hanya dapat dilakukan dengan pencoretan dan kemudian dibubuhi
paraf petugas yang bersangkutan (Depkes, 2006).
6. Kepemilikan Rekam Medis
Sesuai UU Praktik kedokteran, berkas rekam medis menjadi milik
dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam
medis dan lampiran dokumen menjadi milik pasien. Ringkasan rekam
medis dapat diberikan, dicatat atau dicopy oleh pasien atau orang yang
diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga psien yang
berhak untuk itu (Menkes RI, 2008).
7. Penyimpanan Rekam Medis
Rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaan oleh dokter
dan pimpinan sarana kesehatan. Batas waktu lamam penyimpanan
menurut Peraturan Menteri Kesehatan paling lama 5 tahun terhitung dari
tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan. Setelah batas waktu 5
tahun dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan, kecuali ringkasan

pulang dan persetujuan tindakan medik. Ringkasan pulang dan


persetujuan tindakan medik harus disimpan untuk jangka waktu 10 tahun
terhitung dari tanggal dibuatnya ringkasan tersebut (Menkes RI, 2008).
8. Sistem dan Subsistem Rekam Medis
1. Sistem Penamaan
Sistem penamaan dalam pelayanan medis yaitu tata cara penulisan
nama pasien yang bertujuan untuk membedakan satu pasien dengan
pasien yang lain dan untuk memudahkan dalam pengindeksan Kartu
Indeks Utama Pasien (KIUP). Penulisan nama dalam formulir rekam
medis harus memenuhi persyaratan penulisan untuk diindeks dan
memenuhi kelengkapan nama seseorang. Menurut Bambang Shofari
dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sistem Rekam Kesehatan
(PSRK) tahun edisi 1998 cara menulis dan mengindeks nama dalam
formulir rekam medis adalah sebagai berikut:
a.

Menulis nama orang Indonesia.


1) Nama Tunggal
Nama orang dapat terdiri dari satu suku kata, dua kata atau lebih.
Nama orang hanya terdiri dari satu suku kata, diindeks
sebagaimana nama itu disebut.
2) Nama Majemuk
Nama orang Indonesia yang majemuk dan oleh si pemilik nama
itu ditulis menjadi satu, diindeks sebagaimana nama itu ditulis.
3) Nama Keluarga
Nama orang Indonesia yang menggunakan nama keluarga, yang
diutamakan nama keluarganya.

b.

Menulis Nama Orang Cina, Korea, Vietnam dan sejenisnya.


1) Nama Asli

Nama asli orang Cina, Korea, Vietnam dan sejenisnya, diindeks


dan ditulis sebagai nama aslinya.
2) Nama orang Cina yang digabung dengan nama orang Eropa,
nama Cina lebih diutamakan, baru menyusul nama Eropa.
c.

Menulis nama orang India, Jepang, Thailand dan sejenisnya.


Kata akhir dijadikan kata tangkap utama dalam indeks, tanpa
memperhatikan apakah kata akhir itu nama keluarga atau
nama clan.

d.

Menulis nama orang Arab, Persia, Turki dan sejenisnya.


1) Nama Arab, Persia, Turki dan sejenisnya yang diikuti nama
keluarga, nama keluarga dijadikan kata pengenal utama.
2) Nama orang Arab, Persia, Turki, yang menggunakan kata bin,
binti, nama yang didahului kata itu dijadikan sebagai pengenal
utama.

e.

Menulis nama orang Eropa, Amerika, dan sejenisnya.


Nama orang Eropa, Amerika, diindeks dan ditulis berdasarkan
nama keluarga.

2. Sistem Penjajaran
Dokumen rekam medis yang disimpan didalam rak penyimpanan tidak
ditumpuk melainkan disusun, berdiri sejajar satu dengan yang lain.
Menurut Bambang Shofari dalam bukunya Pengantar Sistem Rekam
Kesehatan (PSRK) tahun edisi 1998 penjajaran dokumen rekam medis
ada 3 cara yaitu :
a.

Sistem Nomor Langsung (Straight Numerical Filing)


Sistem penyimpanan dokumen rekam medis dengan menjajarkan
folder dokumen rekam medis berdasarkan urutan nomor rekam
medis dari awal.

b. Sistem Angka Tengah (Middle Digit Filing)

Sistem penyimpanan dokumen rekam medis dengan menjajarkan


folder dokumen rekam medis berdasarkan urutan nomor rekam
medis pada dua angka kelompok tengah.
c.

Sistem Angka Akhir (Terminal Digit Filing)


Sistem penyimpanan dokumen rekam medis dengan menjajarkan
folder dokumen rekam medis berdasarkan urutan nomor rekam
medis pada dua angka kelompok akhir.

3. Sistem Penomoran
Sistem penomoran dalam pelayanan rekam medis yaitu tata cara
penulisan nomor yang diberikan kepada pasien yang datang berobat
sebagai bagian dari identitas pasien yang bersangkutan. Tujuannya
yaitu :
a. Sebagai petunjuk pemilik folder yang bersangkutan.
b. Sebagai pedoman dalam tata cara penyimpanan dokumen rekam
medis.
c. Sebagai petunjuk dalam pencarian dokumen rekam medis yang
telah tersimpan di filing.
4. Sistem Penyimpanan
Dokumen rekam medis berisi data individual yang bersifat rahasia,
maka setiap folder harus disimpan dan dilindungi dengan baik karena
bertujuan untuk :
a. Mempermudah dan mempercepat ditemukannya kembali dokumen
yang disimpan dalam rak filing.
b. Mempermudah mengambil dari tempat penyimpanan.
c. Melindungi dokumen rekam medis dari bahaya pencurian,
kerusakan fisik, kimiawi dan biologis.
Ditinjau dari pemusatan atau penyatuan dokumen rekam medis maka
cara penyimpanannya dibagi menjadi dua yaitu :

10

a. Sentralisasi
Sistem

penyimpanan

secara sentralisasi yaitu,

suatu

sistem

penyimpanan dengan cara menyatukan formulir rekam medis milik


pasien kedalam satu kesatuan dimana dokumen rekam medis rawat
jalan, rawat inap, gawat darurat, milik seorang pasien menjadi satu
dalam satu folder (map).
b. Desentralisasi
Sistem penyimpanan secara desentralisasi yaitu suatu sistem
penyimpanan dengan cara memisahkan formulir rekam medis milik
pasien dimana dokumen rekam medis rawat jalan, rawat inap,
gawat darurat, milik seorang pasien dipisahkan pada folder (map)
yang berbeda.
5. Sistem Retensi dan Pemusnahan
Menurut Bambang Shofari dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Sistem Rekam Kesehatan (PSRK) tahun edisi 1998 Retensi
adalah memisahkan dokumen aktif dan non aktif. Dokumen dikatakan
non aktif di hitung sejak 5 tahun apabila pasien tidak datang berobat
lagi. Dokumen yang sudah tidak aktif dinilai berdasarkan nilai gunanya
menjadi dokumen yang dilestarikan atau di abadikan dan dokumen
yang dimusnahkan.
Pemusnahan dokumen rekam medis dilakukan dengan cara dibakar
menggunakan incerator atau dibakar biasa, dicacah, dibuat bubur
disaksikan oleh pihak ke tiga dan tim pemusnah.

6. Sistem Pengolahan Rekam Medis.


Sistem pengolahan yang ada di rekam medis terdiri dari :
a.

Assembling

11

Bagian Assembling yaitu salah satu bagian di unit rekam


medis yang berfungsi sebagai peneliti kelengkapan isi dan
perakitan dokumen rekam medis sebelum disimpan. Dokumendokumen rekam medis yang telah diisi oleh unit pencatatan data
rekam medis yaitu Unit Rawat Jalan (URJ), Unit Gawat Darurat
(UGD), Unit Rawat Inap (URI) dan Instalasi Pemeriksaan
Penunjang (IPP) akan dikirim ke fungsi Assembling bersama-sama
Sensus Harian setiap hari.
Lembar formulir dalam dokumen rekam medis diatur
kembali sesuai urutan riwayat penyakit pasien dan diteliti
kelengkapan isi dokumen rekam medis. Bila belum lengkap akan
dikembalikan

ke

unit

yang

bertanggung

jawab.

Untuk

mengendalikan dokumen rekam medis yang belum lengkap,


digunakan formulir Lembar Kekurangan biasa disebut Kartu
Kendali (KK). Fungsi dan perananAssembling dalam pelayanan
rekam medis adalah sebagi perakit formulir rekam medis, peneliti
isi data rekam medis, pengendali dokumen rekam medis tidak
lengkap, pengendali penggunaan nomor rekam medis dan formulir
rekam medis.
b.

Coding
Koding adalah

pemberian

penetapan

kode

dengan

menggunakan huruf atau angka atau kombinasi huruf dalam


angka yang mewakili komponen data. Fungsi pengkode rekam
medis bertanggung jawab terhadap penemuan dan penulisan kode
penyakit, dan operasi yang tertulis pada dokumen rekam medis
berdasarkan kode yang telah ditetapkan pada ICD-X dan ICOPIM
atau ICD 9 CM.
c.

Indeks

12

Indexing adalah membuat tabulasi sesuai dengan kode yang


sudah dibuat ke dalam indeks-indeks (dapat menggunakan kartu
indeks atau komputerisasi). Didalam kartu indeks tidak boleh
mencantumkan nama pasien.
d.

Filing
Filing merupakan suatu ruangan di unit rekam medis yang
bertanggung

jawab

terhadap

penyimpanan

retensi

dan

pemusnahan dokumen rekam medis. Selain itu filing juga


menyediakan dokumen rekam medis yang telah lengkap isinya
sehingga dapat memudahkan penggunaan mencari informasi
sewaktu-waktu.
e.

Analising dan Reporting


Analising dan Reporting merupakan Unit Rekam Medis
(URM) yang berfungsi sebagai penganalisis dan pelapor dalam
sistem pelayanan rekam medis, sebagai penganalisis semua data
rekam medis yang masuk ke Unit Rekam Medis (URM) untuk
diolah menjadi informasi yang disajikan dalam laporan guna
pengambilan keputusan manajemen dirumah sakit.

B. SISTEM RUJUKAN
1. Definisi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 001
tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan kesehatan, sistem rujukan
pelayanan kesehatan ialah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara
timbal balik baik vertikal maupun horizontal. Pengertian sistem rujukan
menurut

Sistem

Kesehatan

Nasional,

merupakan

suatu

sistem

penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan


tanggung jawab timbal balik terhadap satu/lebih kasus penyakit atau masalah

13

kesehatan secara vertikal dari unit berkemampuan kurang kepada unit yang
lebih mampu atau secara horizontal antar unit-unit yang setingkat
kemampuannya (Depkes RI, 2009). Sistem rujukan juga memiliki arti suatu
sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan
tanggungjawab timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah
kesehatan secara vertikal (dari unit yang lebih mampu menangani), atau
secara horizontal (antar unit-unit yang setingkat kemampuannya) (Dinkes
NTB, 2011).
2. Ketentuan Umum
a. Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:
1) Pelayanan kesehatan tingkat pertama;
2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
3) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
b. Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan
dasar yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.
c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan
spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi
spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan
spesialistik.
d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan
sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter
gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi
kesehatan sub spesialistik.
e. Dalammenjalankanpelayanankesehatan, fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan
sistem rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang
tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh
BPJS Kesehatan.
g. Fasilitas Kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka
BPJS Kesehatan akan melakukan recredentialing terhadap kinerja
fasilitas kesehatan tersebut dan dapat berdampak pada kelanjutan
kerjasama.
14

h. Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun


vertikal.
i. Rujukan horizontal/ internal adalah rujukan yang dilakukan antar
pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat
memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien
karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang
sifatnya sementara atau menetap.
j. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat
pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi
atau sebaliknya.
1) Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke

tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:


a) Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik
atau subspesialistik;
b) Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan
fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan.
2) Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke

tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila :


a) Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh
tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai
dengan kompetensi dan kewenangannya;
b) Kompetensi dan kewenangan pelayanan

tingkat

pertama atau kedua lebih baik dalam menangani pasien


tersebut;
c) Pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat
ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang
lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan
pelayanan jangka panjang; dan atau
d) perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan
sarana, prasarana, peralatan dan atau ketenagaan (Idris,
2014)
15

Gambar 2.1 Sistem Rujukan Berjenjang (Idris, 2014)

Gambar 2.2 Skema Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan di Indonesia (DepKes


RI, 2009)
Pelaksanaan sistem rujukan di indonesia telah diatur dengan bentuk
bertingkat atau berjenjang, yaitu pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua
dan ketiga, seperti pada gambar 2.2 dimana dalam pelaksanaannya tidak
berdiri sendiri-sendiri namun berada di suatu sistem dan saling berhubungan.
Apabila pelayanan kesehatan primer tidak dapat melakukan tindakan medis

16

tingkat primer maka ia menyerahkan tanggung jawab tersebut ke tingkat


pelayanan di atasnya, demikian seterusnya. Apabila seluruh faktor pendukung
(pemerintah, teknologi, transportasi) terpenuhi maka proses ini akan berjalan
dengan baik dan masyarakat awam akan segera tertangani dengan tepat
(DepKes RI, 2009).
Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam alur rujukan yaitu:
a. Klasifikasi Fasilitas Kesehatan.
b. Lokasi / Wilayah Kabupaten/Kota
c. Koordinasi unsur-unsur pelaksana
Alur rujukan kasus kegawatdaruratan dari Kader dapat langsung
merujuk ke: Puskesmas pembantu, pondok bersalin atau bidan di desa,
puskesmas rawat inap, rumah sakit swasta / RS pemerintah (DepKes RI,
2009).
3. Tujuan Utama Sistem Rujukan Terpadu
Tujuan Utama Sistem Rujukan Terpadu (SRT) menurut Schmitt, et al.
(2014):
a. Meningkatkan jangkauan bagi penerima manfaat
Program-program perlindungan sosial di Indonesia secara umum
belum mampu menjangkau mereka yang membutuhkan karena
berbagai alasan:
Proses penyeleksian penerima manfaat program tidak didasarkan

pada kebutuhan penerima manfaat, tetapi lebih pada ketersediaan


anggaran. Karena alasan keterbatasan dana tersebut, hanya
sebagian penerima manfaat yang mendapatkan bantuan dari
program-program perlindungan sosial yang ada. Selain itu, jumlah
anggaran mengalami perubahan setiap tahunnya, pencantuman
nama penerima manfaat juga bervariasi.

Basis data rumah tangga miskin sangat terbatas dan pemuktahiran


hanya dilakukan sekali setiap tiga tahun oleh Badan Pusat Statistik
melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). Petugas
BPS melakukan proses penggalian informasi kepada rumah-tangga
miskin kemudian mencocokkan informasi tersebut kepada Kepala
Desa dan Ketua RT/RW. Namun, basis data tersebut belum

17

memiliki kualitas yang baik karena beberapa alasan, seperti


kemampuan wawancara yang rendah, tidak tersedianya anggaran
pemerintah untuk dapat melakukan proses wawancara dengan
kualitas tinggi, tidak melibatkan langsung pemerintah daerah
dalam pemuktahiran data PPLS, dan waktu pemuktahiran yang
cukup panjang tiap tiga tahun sekali. Tentu saja hal-hal di atas
menyebabkan kesalahan memasukkan atau atau mengeluarkan
nama penerima manfaat dari daftar. Hal itu menimbulkan frustrasi
seperti terjadi pada kasus pembagian beras miskin (RASKIN)
yang

mengakibatkan

terjadinya kerusuhan sosial di beberapa

tempat sejak program tersebut diluncurkan 10 tahun lalu.


Meskipun rumah tangga miskin mengetahui tentang program yang
ada, mereka tidak memahami bagaimana proses pendaftaran
karena program tersebut menggunakan metode pencarian target

tertentu yang hanya diketahui oleh pihak pemerintah.


Dalam kaitannya dengan pekerja sektor informal yang akan
menjadi target penerima bantuan dalam skema sistem jaminan
sosial nasional, mereka pada umumnya tidak termasuk sebagai
kategori penduduk miskin, namun mereka rentan menjadi miskin
dan tidak terdaftar dalam skema perlindungan sosial swasta.
Sistem Rujukan Terpadu (SRT) menyediakan satu titik

pelayanan terpadu bagi seluruh warga negara untuk mengakses


informasi dan mendaftar pada program perlindungan sosial serta
layanan ketenagakerjaan. Fasilitator komunitas (RT/RW) akan
menyampaikan informasi program dan layanan bantuan untuk
menfasilitasi pendaftaran dan proses pengajuan aplikasi. Selain itu,
mereka juga bertugas mencocokkan layanan program dengan skema
manfaat program, sesuai dengan karakter kebutuhan tiap orang.
Rancangan layanan itu akan terus diperbaiki berdasarkan masukan dan
aduan yang disampaikan masyarakat seiring dengan berjalannya
waktu. SRT merupakan tempat di mana informasi mengenai penerima

18

manfaat program perlindungan sosial dapat selalu dimuktahirkan,


karena pengumpulan data rumah tangga akan selalu dilakukan oleh
SRT

(Schmitt et al, 2014)

b. Koordinasi horizontal dan vertikal untuk meningkatkan efisiensi


Pada saat ini, fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) dalam berkoordinasi dengan dinas teknis (Dinas
Kesehatan, Pendidikan, Sosial, dan Ketenagakerjaan) sebagai
pelaksana lapangan program tidak berlangsung dengan baik.
Meskipun program-program di bawah kementerian terkait saling
melengkapi, mereka tidak saling bertukar informasi mengenai
pelaksanaan teknis lapangan setiap program yang ada di daerahnya.
Misalnya beberapa data pencari kerja belum terhubungkan dengan
informasi kesempatan kerja yang ada (Schmitt et al, 2014).
Banyak di antara program tersebut menggunakan petugas
pendamping pada tingkat komunitas di mana mereka hanya fokus
kepada program mereka saja dan daerah targetnya, sehingga tidak ada
mekanisme yang menghubungkan petugas pendamping dari berbagai
program yang ada. Hal ini menyebabkan inefisiensi administrasi
pemerintahan

dan tumpang-tindihnya

proses administrasi pada

tingkatan rumah tangga. Proses seperti identifikasi rumah tangga


miskin

dan

pendaftarannya,

penyebarluasan

informasi,

dan

pengumpulan iuran dilakukan oleh masing-masing program secara


terpisah.

Pada

dasarnya

pembentukan

Tim

Koordinasi

Penanggulangan Kemiskinan Daerah-TKPKD (dipimpin oleh Wakil


Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota) pada tingkat
Provinsi/Kabupaten/kota merupakan langkah awal untuk memperbaiki
mekanisme koordinasi di antara pelaksana administrasi di daerah,
namun sayangnya tim ini gagal mengkoordinasikan berbagai satuan
kerja teknis di daerah yang terlibat dalam program perlindungan
sosial. Dalam banyak kasus, tim pelaksana TKPKD tersebut tidak
didukung oleh struktur anggaran yang memadai guna menjalankan
operasional program (Schmitt et al, 2014).
19

Sistem

Rujukan

Terpadu

akan

dijalankan

oleh

staf

pemerintahan daerah pada tingkat Kecamatan dan Kabupaten/kota.


Staf SRT harus memahami berbagai program yang ada dan melayani
masyarakat sebagai petugas garda depan pelayanan. Hal ini tentunya
akan meningkatkan koordinasi horizontal antara Dinas Teknis
Pemerintah Daerah dengan Kementerian Teknis terkait (Kementerian
Kesehatan, Sosial, Ketenagakerjaan, Pendidikan, dan lainnya). SRT
menggunakan pendekatan metode manajemen kasus dan menyediakan
mekanisme penyesuaian antara kebutuhan masyarakat dengen paket
manfaat

dari

program-program

yang

ada.

Sistem

ini

akan

meningkatkan sinergitas antar berbagai program, sehingga akan


berpengaruh lebih besar pada pengurangan kemiskinan. Keterkaitan
program dapat terjadi, misalnya, skema jaminan sosial kecelakaan
kerja merupakan manfaat yang otomatis diterima bila seorang
warganegara terlibat dalam program pekerjaan publik. Pendekatan
manajemen kasus juga akan mengurangi duplikasi target yang saat ini
merupakan salah satu masalah terbesar dalam program perlindungan
sosial di Indonesia. Pada dasarnya, SRT berfungsi mengumpulkan
informasi

perorangan

dan

rumah

tangga,

yang

kemudian

dikombinasikan dengan program yang ada, dan menyebarluaskan


keberadaan program-program tersebut dalam sebuah payung untuk
berbagi pengetahuan dan informasi program pada tingkat daerah
(Schmitt et al, 2014).
Sistem Rujukan ini dilengkapi dengan sistem informasi
manajemen (SIM) yang mensinkronisasi informasi tentang potensi
penerima manfaat (penduduk miskin, hampir miskin, dan tidak
miskin)

denganprogram-program yang ada dari tingkat Nasional,

Provinsi, Kabupaten/kota, dan mitra pembangunan internasional


(PBB, organisasi bilateral, dan LSM internasional). SIM akan
menghasilkan

informasi

yang

diperlukan

untuk

melakukan

pemantauan mekanisme layanan dan cakupan penerima manfaat.

20

Sistem ini juga akan meningkatkan kemampuan pendeteksian sistem


layanan secara keseluruhan. Selain itu, dengan adanya mekanisme
pengaduan layanan, SRT akan berfungsi sebagai mekanisme untuk
mendeteksi kelemahan sistem yang ada. Dengan sistem evaluasi
berkala, maka kinerja program akan dapat diperbaiki secara terusmenerus. SIM dan arus informasi dari daerah ke tingkat nasional akan
memperbaiki integrasi vertikal sistem perlindungan sosial (Schmitt et
al, 2014).
c. Pemberdayaan Pemerintah Daerah dan Masyarakat
Mekanisme yang ada saat ini adalah pemerintah pusat
merancang

program

tertentu,

sedangkan

pemerintah

daerah

mengimplementasikan program tersebut melalui Satuan Kerja


Perangkat Daerah (SKPD) teknis. Hal ini mengakibatkan Pemerintah
Daerah tidak memiliki kewenangan berarti dalam mekanisme
koordinasi dan penyampaian program-program yang ada. Sinergitas
antarlembaga dan program menjadi hilang dalam implementasi
program-program tersebut, karena kenyataannya Pemerintah Daerah
adalah pihak yang kerapkali dihubungi oleh seluruh masyarakat
terkait dengan pelayanan administasi sipil, pendaftaran Kartu
Keluarga, dan sebagainya (Schmitt et al, 2014).
Dalam operasionalisasi sehari-hari,

SRT

dijalankan

pemerintahan daerah pada tingkat Kabupaten/kota, Kecamatan, dan


Desa serta memberdayakan komunitas lokal. Sehubungan dengan
pelaksanaan otonomi daerah, SRT seyogyanya memberdayakan
pemerintahan daerah secara nyata dengan suatu fungsi pelayanan yang
jelas dalam penyampaian layanan sosial, seperti pendaftaran individu
dan keluarganya, penargetan program, kepesertaan, penyampaian
manfaat dan transfer sosial, pengawasan, evaluasi, dan analisa dampak
intervensi program perlindungan sosial. SRT juga secara tidak
langsung membangun kapasitas kelembagaan pemerintah daerah
untuk mengelola dan mengawasi programperlindungan sosial. Bahkan
BAPPENAS sedang membahas pengalokasian dana dekonsentrasi

21

untuk

mendukung

Kabupaten/kota

yang

menjadi

pelopor

pembentukan SRT di daerahnya (Schmitt et al, 2014).


SRT pada hakikatnya bertujuan memberdayakan penerima
manfaat akhir terutama melalui mekanisme berbagi
penempatan

perwakilan

penerima

manfaat

informasi,

sebagai

dewan

pengawas di SRT, dan kemungkinan respon yang lebih positif dari


SRT terhadap kritik masyarakat melalui mekanisme pengaduan dan
penyelesaian masalah (Schmitt et al, 2014).
d. Memfasilitasi Pengentasan Kemiskinan
Walaupun tingkat kemiskinan di Indonesia menurun, sebagian
besar masyarakat masih rentan untuk kembali miskin akibat tidak
adanya akses untuk mendapatkan perlindungan sosial dasar dan
terbatasnya kesempatan untuk meningkatkan kemampuan dan
keterlibatan mereka dalam pasar kerja formal (Schmitt et al, 2014).
Sistem Rujukan Terpadu berkontribusi dalam mengurangi
kemiskinan melalui penyediaan akses kepada perlindungan sosial
dasar untuk mereka yang belum sama sekali terdaftar pada program
perlindungan sosial yang ada (kesehatan, kecukupan nutrisi, jaminan
pendapatan melalui program pekerjaan publik). SRT merupakan suatu
alat bagi rumah tangga untuk mengembangkan potensi yang ada
dengan penyediaan dukungan bagi pengembangan kemampuan
mereka melalui pendidikan, pelatihan

ketenagakerjaan,

dan

pengembangan usaha melalui kewirausahaan. Integrasi program


perlindungan sosial dan ketenagakerjaan dimungkinkan melalui
sistem rujukan terpadu yang pada dasarnya menyediakan fasilitas bagi
penerima manfaat untuk mempermudah akses terhadap layanan
perlindungan sosial dasar, layanan pekerjaan yang layak, dan akhirnya
dapat menjadi peserta aktif dalam sistem jaminan sosial nasional
(Schmitt et al, 2014).

22

Gambar 3.1 Keterkaitan Antara Program Perlindungan Sosial dan


Layanan Ketenagakerjaan Dalam Kerangka Pengentasan Kemiskinan
(Schmitt, et al., 2014)
e. Meningkatkan Pemantauan, Evaluasi, dan Proses Perencanaan
Program
Berbagai program perlindungan sosial di Indonesia kurang
mendapatkan pengawasan dan evaluasi yang baik dan memadai
sehingga

terjadi

implementasi

program

yang

tidak

efisien,

ketidakcukupan manfaat bagi seluruh masyarakat yang membutuhkan,


dan kesalahan penentuan target penerima manfaat program. Misalnya,
banyak program bantuan sosial di sektor pertanian seperti bantuan
bibit dan pupuk bukan merupakan jenis bantuan yang relevan bagi
petani saat ini. Mereka lebih membutuhkanperbaikan infrastruktur
penyokong lahan pertanian, ketersediaan jalur distribusi dan
pemasaran hasil pertanian, ketersediaan akses pasar dan informasi
yang terbatas, dan terbatasnya daya tawar petani terhadap pedagang
partai besar yang seringkali melakukan pembelian besar pada saat
musim panen yang mengakibatkan penurunan harga hasil pertanian
pada musim paceklik. Program kredit mikro terlalu terfokus pada
kelompok yang sama selama bertahun-tahun, sehingga tidak
beradaptasi dengan permintaan terhadap program kredit-mikro dari
kelompok yang berbeda. Hal ini memicu perasaan perlakuan yang

23

cenderung tidak adil karena hanya menguntungkan salah satu


kelompok saja. Pengukuran keberhasilan program tidak berdasarkan
metodologi ilmiah akibat tidak tersedianya indikator terukur dan
mekanisme monitoring-evaluasi yang dapat dipertanggungjawabkan,
sehingga gagal mengukur tingkat keberhasilan program. Hal ini juga
berpotensi menyembunyikan fakta bahwa banyak program bantuan
sosial disalahgunakan untuk kepentingan politik lokal (Schmitt et al,
2014).
Dalam konteks ini, diperlukan sistem monitoring dan evaluasi
yang tepat. SRT menyediakan standarisasi proses dan alat untuk
memonitor setiap program dan melakukan evaluasi atas dampak yang
ditimbulkan secara adil dan transparan. Penentuan indikator yang
terukur dan dapat ditelusuri pada setiap program, kemudian
melakukan monitoring secara berkala dengan menggunakan fungsi
monitoring dari sistem informasi manajemen (SIM). Monitoring dan
evaluasi program juga digunakan sebagai materi masukan bagi
penyusunan perencanaan dan alokasi dana yang diajukan (Schmitt et
al, 2014).
Selain itu, mekanisme pengaduan dan penyelesaian pengaduan
akan memberikan kesempatan kepada penerima manfaat akhir untuk
menyampaikan pandangan mereka terhadap pelaksanaan SRT dan
program yang sedang berjalan (atau kelemahan dari program
tersebut). Tanggapan yang didapat tidak hanya berguna bagi
penyelesaian isu yang bersifat individual, tapi juga sebagai
mekanisme untuk meningkatkan paket manfaat secara berkala, dan
penyampaian program perlindungan sosial dan layanan tenaga kerja.
Keterlibatan pihak tenaga kerja dan perwakilan perusahaan serta
organisasi masyarakat juga diperlukan dalam pelaksanaan sistem
monitoring dan evaluasi, guna meningkatkan rasa memiliki,
transparansi dan meminimalisasi terjadinya manipulasi politik
(menggunakan program perlindungan sosial untuk meningkatkan
dukungan suara politik) (Schmitt et al, 2014).
24

4. JenisRujukan
a. Rujukan Medis
Merupakan bentuk pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk
masalah kedokteran. Tujuannya adalah untuk mengatasi problem
kesehatan, khususnya kedokteran serta memulihkan status kesehatan
pasien.
Jenis-jenis rujukan medis:
1) Rujukan Pasien, merupakan penatalaksanaan pasien dari strata
pelayanan kesehatan yang kurang mampu ke strata yang lebih
sempurna atau sebaliknya untuk pelayanan tindak lanjut.
2) Rujukan Ilmu Pengetahuan, merupakan pengiriman dokter atau
tenaga kesehatan yang lebih ahli dari strata pelayanan kesehatan
yang lebih mampu untuk bimbingan dan diskusi atau sebaliknya,
untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.
3) Rujukan bahan pemeriksaan laboratorium, merupakan bahan
pengiriman bahan-bahan laboratorium dari strata pelayan kesehatan
yang kurang mampu ke strata yang lebih mampu, atau sebaliknya
untuk tindak lanjut.
b. Rujukan Kesehatan
Merupakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk
kesehatan masyarakat. Dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan
dan ataupun mencegah penyakit yang ada di masyarakat.
Jenis-jenis rujukan kesehatan adalah :
1) Rujukan Tenaga, merupakan pengiriman dokter/tenaga kesehatan
dari strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu ke strata
pelayanan kesehatan yang kurang mampu untuk menanggulangi
masalah kesehatan yang ada di masyarakat atau sebaliknya, untuk
pendidikan dan latihan.
2) Rujukan Sarana, pengiriman berbagai peralatan medis/ non medis
dari strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu ke strata
pelayanan kesehatan yang kurang mampu untuk menanggulangi
masalah kesehatan di masyarakat, atau sebaliknya untuk tindak
lanjut

25

3) Rujukan Operasional, pelimpahan wewenang dan tanggungjawab


penanggulangan masalah kesehatan masyarakatdari strata pelayanan
kesehatan yang kurang mampu ke strata pelayanan kesehatan yang
lebih mampu atau sebaliknya untuk pelayanan tindak lanjut
(Syafrudin, 2009).
5. Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang
a. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang
sesuai kebutuhan medis, yaitu:
1) Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas
kesehatan tingkat pertama
2) Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien
dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua
3) Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya
dapat diberikan atas rujukan dari faskes primer
4) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat
diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.
5) Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk
langsung ke faskes tersier hanya untuk kasus yang sudah
ditegakkan

diagnosis

dan

rencana

terapinya,

merupakan

pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier.


6) Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan
dalam kondisi:
a) terjadi keadaan gawat darurat;
b) kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku
c) bencana;
Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau
Pemerintah Daerah;
7) kekhususan permasalahan kesehatan pasien;
untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi
tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan
a) pertimbangan geografis; dan
b) pertimbangan ketersediaan fasilitas
8) Pelayanan oleh bidan dan perawat
a) Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan
pelayanan kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

26

b) Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter


dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama
kecualidalam kondisi gawat darurat dan kekhususan permasalahan
kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter dan/atau
dokter gigi pemberipelayanan kesehatan tingkat pertama

b. Rujukan Parsial
1) Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke
pemberi pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan
diagnosis atau pemberian terapi, yang merupakan satu rangkaian
perawatan pasien di Faskes tersebut.
2) Rujukan parsial dapat berupa:
a) pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang
atau tindakan
b) pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang
c) Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka
penjaminan pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk
(Idris, 2014).
6. Regionalisasi Sistem Rujukan
Kabupaten/ kota dibagi dalam beberapa wilayah rujukan/region,
berdasarkan hasil mapping sarpras, SDM dan kondisi geografis, setiap
wilayah mempunyai pusat rujukan.
a. Definisi
Regionalisasi sistem rujukan adalah pengaturan sistem rujukan
dengan penetapan batas wilayah administrasi daerah berdasarkan
kemampuan pelayanan medis, penunjang dan fasilitas pelayanan
kesehatan yang terstuktur sesuai dengan kemampuan, kecuali dalam
kondisi emergensi (KemenKes RI,2014) .
b. Tujuan
1) Mengembangkan regionalisasi sistem rujukan bejenjang di Provinsi
dan Kabupaten/Kota.
2) Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan rujukan RS.
3) Meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan rujukan sampai
kedaerah terpencil dan daerah miskin.
4) Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
rujukan RS (KemenKes RI, 2014).
27

c. Manfaat
1) Pasien tidak menumpuk di RS besar tertentu.
2) Pengembangan seluruh RS di provinsi dan kabupaten/kota dapat
direncanakan secara sistematis efisien dan efektif.
3) Pelayanan rujukan dapat lebih dekat ke daerah terpencil, miskin,
dan daerah perbatasan karena pusat rujukan lebih dekat.
4) Regionalisasi rujukan dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga
kesehatan terutama pada RS Pusat Rujukan Regional (KemenKes
RI, 2014).
d. Alur sistem rujukan regional

1) Pelayanan kesehatan rujukan menerapkan pelayanan berjenjang


yang dimulai dari Puskesmas, kemudian kelas C, kelas D
selanjutnya RS kelas B dan akhirnya ke RS kelas A.
2) Pelayanan kesehatan rujukan dapat berupa rujukan rawat jalan dan
rawat inap yang diberikan berdasarkan indikasi medis dari dokter
disertai surat rujukan, dilakukan atas pertimbangan tertentu atau
kesepakatan antara rumah sakit dengan pasien atau keluarga pasien.
3) RS kelas C/D dapat melakukan rujukan ke RS kelas B atau RS kelas
A antar atau lintas kabupaten/kota yang telah ditetapkan. Yang
dimaksud dengan antar kabupaten/ kota adalah pelayanan ke RS
kabupaten/ kota yang masih dalam satu region yang telah
ditetapkan. Sedangkan lintaskabupaten/kota adalah pelayanan ke
RS kabupaten/kota di luar wilayah region yang telah ditetapkan.
(KemenKes RI, 2014).
e. Penetapan Regionalisasi Sistem Rujukan

10 langkah yang harus dipersiapkan yaitu ;


1) Pemetaan sarana kesehatan : Gate keeper (Praktekdokter/
drgpelayanan Primer), puskemas, Klinik Pratama, RS dan faskes
lainnya per provinsi
2) Pemetaan tenaga kesehatan di sarana kesehatan yang ada.
3) Menetapkan RS pusat rujukan regional .
4) Melakukan uji coba ke wilayahan melalui Workshop Sistem
Rujukan di pusat rujukan regional, bersama Tim Koordinasi
Sistem Rujukan Tingkat Pemerintah Daerah, yang terdiri dari
28

Kepala Dinas Kesehatan, Provinsi/Kabupaten dan Kota, tim


profesi ahli, RSUD, dan Askes yang akan bertransformasi menjadi
BPJS Kesehatan Daerah.
5) Menetapkan kab/kota sebagai pusat regional dari beberapa sarana
kesehatan disekitarnya.
6) Mengadakan pelatihan bagi tenaga dokter puskesmas, dokter
keluarga mitra Askes dari wilayah tersebut untuk penatalaksanaan
kasus-kasus yang dirujuk dari Puskesmas terutama pada 4 bagian
besar (Obgyn, Penyakit Dalam, Anak dan Bedah) (KemenKes RI,
2014).
7) Penyusunan 4 Buku Pedoman Sistem Rujukan bersama RS, FK,
DPM PT Askes, PT Askes Persero regional, dan 10 Organisasi
Profesi yang terdiridari : PAPDI, POGI, IDAI, IKABI, PERDAMI,
PERHATI-KL, PERDOSI, PERDOSKI, PDSKJI, PDGI.
8) Penyusunan peraturan gubernur
9) Lakukan Pembagian Peran untuk mewujudkan Regionalisasi
Sistem Rujukan,
10) Lakukan Sosialisasi dan Monev ketat terhadap usaha yang telah
dilakukan, termasuk Kendali Mutu dan Biaya dengan Pemanfaatan
Sistem Informasi dan Teknologi.

29

BAB III
PEMBAHASAN
Syarat dokumen rekam medis dapat disimpan yaitu apabila pada lembar
formulir rekam medis telah terisi dengn lengkap dan telah dirakit sehingga
riwayat

pasien

urut

secara

kronologis.

Apabila

ditinjau

dari

sistem

penyimpanannya, sistem penyatuan dokumen rekam medis yang dilakukan di


RSUD Kota Surakarta dilakukan dengan sistem sentralisasi, yaitu dengan
menyatukan formulir rekam medis milik pasien ke dalam satu kesatuan dimana
dokumen rekam medis rawat jalan, rawat inap, gawat darurat, milik seorang
pasien menjadi satu dalam satu folder (map). Sistem ini diterapkan agar data dan
informasi hasil pelayanan dapat berkesinambungan kerena menyatu dalam satu
folder sehingga riwayatnya dapat dibaca seluruhnya. Sistem penyimpanan
sentralisai juga memungkinkan peningkatan efisiensi kerja petugas penyimpanan
karena dokumen rekam medis milik seorang pasien berada dalam satu folder.
Sistem

penyimpanan

ini

mengurangi

terjadinya

duplikasi

data

dalam

pemeliharaan dan penyimpanan rekam medis, serta mengurangi jumlah biaya


yang digunakan untuk peralatan dan terutama ruangan bila mengingat kapasitas
penyimpanan ruang rekam medis di RSUD Kota Surakarta yang belum memadai.
Seiring dengan meningkatnya jumlah pasien yang berobat ke RSUD Kota
Surakarta, maka jumlah rekam medis yang tersimpan di ruang filing pun semakin
meningkat. Terjadi ketidakseimbangan antara jumlah rekam medis dan rak
penyimpanan yang ada, sehingga banyak rekam medis yang tidak diletakkan
sebagaimana mestinya. Hal ini apabila tidak segera ditangani dapat menurunkan
efesiensi waktu dalam pengambilan rekam medis, sehingga pelayanan yang
didapatkan pasien akan lebih lama apabila rekam medis tidak tersusun secara
sistematis. Beban kerja yang dilaksanakan petugas rekam medis pun akan
bertambah dalam pencarian dan pengambilan dokumen rekam medis. RSUD Kota
Surakarta merupakan rumah sakit milik pemerintah kota Surakarta yang

30

diresmikan pada tahun 2014 sehingga saat ini belum ada satu dokumen rekam
medis pun yang dimusnahkan di RSUD Kota Surakarta.
RSUD Kota Surakarta adalah rumah sakit tipe C milik pemerintah Kota
Surakarta. RSUD Kota Surakarta menjadi tujuan rujukan dari PPK 1, meliputi 17
Puskesmas di wilayah Kota Surakarta. Selain itu, RSUD Kota Surakarta dapat
merujuk pasien ke rumah sakit tipe B, meliputi Rumah Sakit Kasih Ibu Surakarta,
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta, dan Rumah Sakit Dr OEN
Surakarta.Rujukan dari RSUD Kota Surakarta ini dilakukan secara horizontal
maupun vertikal. Rujukan vetikal ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, yaitu
rumah sakit tipe B apabila pasien perlu penanganan lebih lanjut dokter spesialis
atau dokter gigi spesialis serta sub spesialis terbatas yang menggunakan
pengetahuan danteknologi kesehatan spesialistik. Sedangkan rujukan ke rumah
sakit tipe A dilakukan apabila pasien perlu penanganan lebih lanjut dokter sub
spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan

dan

teknologi kesehatan sub spesialistik rujukan horizontal adalah rujukan yang


dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan jika perujuk (fasilitas
kesehatan) tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan, dan atau ketenagaan yang sifatnya
sementara atau menetap. Puskesmas dapat melakukan rujukan secara langsung ke
RSUD Kota Surakarta sebagai rumah sakit tipe D. Hal ini dimungkinkan karena
Puskesmas memiliki otoritas untuk menentukan kemana pasien dari PPK 1 akan
dirujuk, apakah RS tipe C, D, dengan pertimbangan regional, jika dalam 1 daerah
tidak terdapat RS tipe D, hanya ada RS tipe C, maka puskesmas dapat merujuk
langsung ke RS tipe C. Rujukan eksternal di RSUD Kota Surakarta dapat
dilakukan dari IGD ke IGD rumah sakit lainnya. IGD bisa menerima semua
rujukan dari mana pun

baik pasien rujukan BPJS dari PPK 1 yang sesuai

regionalnya maupun pasien umum asalkan keluhan pasien sesuai dengan daftar
penyakit-penyakit yang termasuk kegawatdaruratan. Rujukan internal dari IGD
dapat dilakukan ke poli atau rawat inap RSUD Kota Surakarta. Rujukan internal
dapat juga dilakukan antar poli di RSUD Kota Surakarta maupun poli lainnya.

31

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 001


tahun 2012, sistem rujukan mengikuti pelayanan kesehatan dilakukan secara
berjenjang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua dan ketiga
sesuai kebutuhan medis. Pelaksanaan dari Permenkes ini sudah berjalan cukup
baik di pelayanan kesehatan kota Surakarta. Hal ini terlihat dari peningkatan
jumlah pasien BPJS yang dirujuk ke RSUD Kota Surakarta dari pelayanan
kesehatan primer.
Namun, sistem rujukan dengan pelayanan kesehatan berjenjang ini belum
berjalan dengan optimal. Masih terdapat beberapa masalah dalam pelaksanaan
rujukan berjenjang. Masalah pertama adalah pasien yang menjadi peserta program
ternyata dianggap salah rujukan, yakni berupa rujukan nonspesialistik yang bisa
diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Salah satu penyebab
munculnya kasus rujukan nonspesialistik adalah kapasitas sumber daya manusia
di tingkat pelayanan primer belum memadai.Tingginya angka rujukan yang tidak
perlu itu mengakibatkan penumpukan pasien di rumah sakit, sementara sumber
daya manusia di rumah sakit terbatas. Selain itu kendala lain yang dialami adalah
rujukan yang tidak tepat sasaran. Hal ini diakibatkan perbedaan diagnosis dokter
dari pelayanan kesehatan primer dengan dokter rumah sakit. Oleh karena itu
diperlukan peningkatan kemampuan dari tenaga kesehatan pelayanan primer
maupun lanjutan, peningkatan sarana dan prasarana pada fasilitas (alat
pemeriksaan penunjang) pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas, serta
evaluasi oleh Dinas Kesehatan terhadap sistem dan pedoman rujukan pelayanan
kesehatan primer, di mana terdapat penyamaan persepsi suatu penyakit, berupa
pemberian batasan yang jelas pada suatu penyakit, usia pasien antara anak dan
dewasa, sehingga rujukan data tepat sasaran. Rujukan internal antar poli di RSUD
Kota Surakarta juga dapat menyelesaikan permasalahan rujukan yang tidak tepat
tersebut.
Kendala lain juga sering ditemukan pada mekanisme rujukan balik.
Rujukan balik merupakan bagian yang esensial dari sistem komunikasi dalam
rujukan untuk memberikan pelayanan lanjutan yang tepat bagi pasien setelah
mendapatkan pelayanan spesialis. Rujukan balik yang tepat selain meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan kepada pasien juga membentuk kerjasama yang solid
32

antara penyedia layanan yang berbasis pada kepercayaan dan komunikasi.Secara


teori dan peraturan, rujukan balik harus dilakukan dari pelayanan kesehatan
tingkat lanjutan ke tingkat primer, sehingga ada kesinambungan perawatan pasien,
tetapi pada kenyataan rujukan balik sering tidak dilakukan.

terkendala oleh

karena secara psikologis pasien yang sudah di rujuk ke rumah sakit, tidak bersedia
dikembalikan lagi ke puskesmas karena menganggap bahwa pelayanan kesehatan
primer seperti puskemas kurang baik seperti sarana penunjang diagnostik serta
terapi yang kurang memadai. Hal ini juga dapat disebabkan pihak dokter spesialis
di rumah sakit kadang tidak mau merujuk kembali.
.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. RSUD Kota Surakarta merupakan rumah sakit umum daerah C yang
dimiliki Pemerintah Kota Surakarta.
2. Sistem penyimpanan dokumen rekam medis yang dilakukan di RSUD
Kota Surakarta dilakukan dengan sistem sentralisasi.
3. Kapasitas penyimpanan ruang rekam medis di RSUD Kota Surakarta
masih belum memadai.
4. Hingga saat ini belum ada satu dokumen rekam medis pun yang
dimusnahkan di RSUD Kota Surakarta

33

5. RSUD Kota Surakarta melayani pasien rujukan BPJS sesuai dengan


regional yang telah ditetapkan. Kecuali kasus kegawatdaruratan.
6. Rujukan pasien nonspesialistik yang dapat ditangani pada pelayanan
kesehatan pertama dan ketidaksesuaian diagnosis pasien masih sering
terjadi. Hal dapat menyebabkan menumpuknya pasien di RSUD Kota
Surakarta dan mempengaruhi pelayanan serta tatalaksanana pasien.
7. Rujukan balik masih kurang berjalan
B. SARAN
1. Perlunya peningkatan kapasitas penyimpanan ruang rekam medis di
RSUD Kota Surakarta dengan peningkatan sarana dan prasarana
penunjang yang bersangkutan.
2. Perlunya peningkatan kemampuan dari tenaga kesehatan pelayanan
primer maupun lanjutan dan peningkatan sarana dan prasarana
penunjang medis maupun non medis pada pelayanan kesehatan primer
3. Perlunya evaluasi oleh Dinas Kesehatan terhadap sistem dan pedoman
rujukan pelayanan kesehatan primer, di mana terdapat penyamaan
persepsi suatu penyakit, berupa pemberian batasan yang jelas pada suatu
penyakit, usia pasien antara anak dan dewasa, sehingga rujukan data
tepat sasaran.
4. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat mengenai pelaksanaan sistem
rujukan berjenjang dan informasi mengenai kualitas, fasilitas serta
program pelayanan kesehatan primer,seperti Puskesmas sehingga
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap PPK1 dan menghindari
penumpukan pasien di pelayanan kesehatan lanjutan.

34

DAFTAR PUSTAKA
Asmawati AS. Diktat Kuliah Administrasi Rumah Sakit Sesi 8 tentang Rekam
Medis. Jakarta: Program Diploma III Perumahsakitan Fakultas
Kedokteran Indonesia; 2011.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009). Sistem Kesehatan Nasional.
Jakarta.
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/KEPMENKES_3742009_TTG_SKN-2009.pdf - diunduh November 2015.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006). Manual Rekam Medis.
Jakarta.
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/714.pdf
diunduh Mei 2016.
Dinas Kesehatan Kota Jakarta (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 55
Tahun
2013
tentang
Pekerjaan
Perekam
Medis.
http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/peraturan-menterikesehatan-nomor-55-tahun-2013-tentang-pekerjaan-perekam-medis.pdf diunduh Mei 2016.
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2011. Petunjuk Teknis Sistem
Rujukan
Pelayanan
Kesehatan
Provinsi
Nusa
Tenggara
Barat.https://servicedeliveryighealth.files.wordpress.com/2011/12/buku_ruj
ukanbinder.pdf - diunduh November 2015.
Hardiani RD. Juknis Rekam Medis Kuliah Manajemen Sistem Rekam Medis
Rumah Sakit. Jakarta: Program Diploma III Perumahsakitan Fakultas
Kedokteran Indonesia; 2012.
Idris, Fachmi (2014). Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang. Jakarta:
BPJS Kesehatan.

35

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2014). Sistem Rujukan Terstruktur


dan Berjenjang dalam Rangka Menyongsong Jaminan Kesehatan Nasional
(Regionalisasi Sistem Rujukan). Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2008). Peraturan menteri kesehatan
Republik Indonesia nomor 269 tahun 2008 tentang rekam medis.
www.apikes.com/files/permenkes-no-269-tahun-2008.pdf - diunduh Mei
2016.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2012). Peraturan menteri kesehatan
Republik Indonesia nomor 001 tahun 2012 tentang sistem rujukan
pelayanan
kesehatan
perorangan.
http://www.rsstroke.com/files/peraturan/BUK/2012/PMK_No_001_Ttg_Sist
em_Rujukan_Pelayanan_Kesehatan_Perorangan.pdf - diunduh November
2015
Syafrudin dan Hamidah. 2009. Kebidanan komunitas. Jakarta : EGC
Tim penyusun bahan sosialisasi dan advokasi JKN(2014). Buku Pegangan
SosialisasiJaminan Kesehatan Nasional (JKN)dalam Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Jakarta.

36

LAMPIRAN

Lampiran 1 Formulir Rujukan Eksternal

37

Lampiran 2 Formulir Rujukan Internal

38

Anda mungkin juga menyukai