Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri,
meliputi:
a. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor
lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang untuk
bunuh diri.
b. Bunuh diri altruistic
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan kehormatan
seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
c. Bunuh diri egoistic
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri
seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
B.
PENYEBAB/ETIOLOGI
1.
Faktor Predisposisi
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang perilaku
resiko bunuh diri meliputi:
a. Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan
alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
b. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko bunuh diri
adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
c. Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini, dan
berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan dengan
bunuh diri.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko
untuk perilaku resiko bunuh diri
e. Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat menimbulkan perilaku
resiko bunuh diri.
2.
Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2006) faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri
adalah :
a. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
b. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
MANIFESTASI KLINIS
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
mematikan).
Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan
9.
mengasingkan diri).
Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis
dalam karier).
Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
Pekerjaan.
Konflik interpersonal.
Latar belakang keluarga.
Orientasi seksual.
Sumber-sumber personal.
Sumber-sumber social.
Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
POHON MASALAH
Resiko bunuh diri
Isolasi sosial
Harga diri rendah
kegagalan
perpisahan
PENATALAKSANAAN
1. Bantu klien untuk menurunkan resiko perilaku destruktif yang diarahkan pada diri
sendiri, dengan cara :
a. Kaji tingkatan resiko yang di alami pasien : tinggi, sedang, rendah.
b. Kaji level Long-Term Risk yang meliputi : Lifestyle/ gaya hidup, dukungan social
yang tersedia, rencana tindakan yang bisa mengancam kehidupannya, koping
mekanisme yang biasa digunakan.
2. Berikan lingkungan yang aman ( safety) berdasarkan tingkatan resiko , managemen
untuk klien yang memiliki resiko tinggi
a. Orang yang ingin suicide dalam kondisi akut seharusnya ditempatkan didekat
ruang perawatan yang mudah di monitor oleh perawat.
b. Mengidentifikasi dan mengamankan benda benda yang dapat membahayakan
klien misalnya : pisau, gunting, tas plastic, kabel listrik, sabuk, hanger dan barang
berbahaya lainnya.
3. Membantu meningkatkan harga diri klien
a. Tidak menghakimi dan empati
b. Mengidentifikasi aspek positif yang dimilikinya
c. Mendorong berpikir positip dan berinteraksi dengan orang lain
d. Berikan jadual aktivitas harian yang terencana untuk klien dengan control impuls
yang rendah
e. Melakukan terapi kelompok dan terapi kognitif dan perilaku bila diindikasikan.
4. Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mendapatkan dukungan social
a. Informasikan kepada keluarga dan saudara klien bahwa klien membutuhkan
dukungan social yang adekuat
b. Bersama pasien menulis daftar dukungan sosial yang di punyai termasuk jejaring
sosial yang bisa di akses.
c. Dorong klien untuk melakukan aktivitas social
5. Membantu klien mengembangkan mekanisme koping yang positip.
a. Mendorong ekspresi marah dan bermusuhan secara asertif
b. Lakukan pembatasan pada ruminations tentang percobaan bunuh diri.
c. Bantu klien untuk mengetahui faktor predisposisi apa yang terjadi sebelum anda
memiliki pikiran bunuh diri
d. Memfasilitasi uji stress kehidupan dan mekanisme koping
e. Explorasi perilaku alternative
f. Gunakan modifikasi perilaku yang sesuai
F.
PENGKAJIAN FOKUS
1. Resiko bunuh diri
DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya hidup.
DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba bunuhdiri.
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
a. Data subjektif
1) Mengungkapkan ingin diakui jati dirinya
2) Mengungkapkan tidak ada lagi yang peduli
3) Mengungkapkan tidak bisa apa-apa
4) Mengungkapkan dirinya tidak berguna
5) Mengkritik diri sendiri
b.
Data objektif
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko bunuh diri
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah (HDR)
H.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1 : Resiko bunuh diri
Tujuan umum : Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri
Tujuan khusus :
1.
4.
5.
Tindakan :
a. Beri klien kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
b. Beri pujian atas keberhasilan klien
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
b. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
d. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
I.
DAFTAR PUSTAKA
1. Stuart and Sudden. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta : EGC
2. Stuart, GW. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
3. Townsend, Marry C. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Perawatan
Psikiatri edisi V. Jakarta. EGC
4. Isaacs, Ann. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama.
6. Rastirainia. 2009. Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawtan Pada Klien Dengan
Perilaku Percobaan Bunuh Diri. Diakses dari situs
http://rastirainia.wordpress.com/2009 tanggal 27 September 2014
7. Kaplan, Harold. (2008). Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Jakarta.
Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151
2. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri.
Menurut Depkes (2000: 59) Faktor faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah:
a. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan
terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia
harus menjaga kebersihan kakinya.
e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
f. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri
seperti penggunaan sabun, sampo dan lain lain.
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu
bantuan untuk melakukannya.
C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:
a. Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor.
2) Rambut dan kulit kotor.
3) Kuku panjang dan kotor
4) Gigi kotor disertai mulut bau
5) penampilan tidak rapi
b. Psikologis
E. PENATALAKSANAAN
1.
Tindakan keperawatan untuk pasien
a. Tujuan:
1) Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
2) Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
3) Pasien mampu melakukan makan dengan baik
4) Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
b. Tindakan Keperawatan
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
Untuk melatih pasien dalam menjaga kebersihan diri Saudara dapat
melakukan tahapan tindakan yang meliputi:
a) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri.
2) Melatih pasien berdandan/berhias
Perawat dapat melatih pasien berdandan. Untuk pasien laki-laki tentu harus
dibedakan dengan wanita.
Untuk pasien laki-laki latihan meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Berhias
3) Melatih pasien makan secara mandiri
Untuk melatih makan pasien Saudara dapat melakukan tahapan sebagai
berikut:
a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
4) Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
Saudara dapat melatih pasien untuk BAB dan BAK mandiri sesuai tahapan
berikut:
2.
F. PENGKAJIAN FOKUS
1. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
a. Data subyektif
Klien mengatakan saya tidak mampu mandi, tidak bisa melakukan apa-apa
b. Data obyektif
Klien terlihat lebih kurang memperhatikan kebersihan, halitosis, badan bau, kulit
kotor
2. Isolasi Sosial
a. Data subyektif
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
b. Data obyektif
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan,
ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup, Apatis, Ekspresi sedih, Komunikasi
verbal kurang, Aktivitas menurun, Posisi janin pada saat tidur, Menolak
berhubungan, Kurang memperhatikan kebersihan
3. Defisit Perawatan Diri
a. Data subyektif
1) Pasien merasa lemah
2) Malas untuk beraktivitas
3) Merasa tidak berdaya.
b. Data obyektif
1) Rambut kotor, acak acakan
2) Badan dan pakaian kotor dan bau
3) Mulut dan gigi bau.
4) Kulit kusam dan kotor
5) Kuku panjang dan tidak terawat
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri.
2. Defisit perawatan diri
3. Isolasi sosial
H. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa
: Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Tujuan Umum
: Klien dapat meningkatkan minat dan motivasinya untuk
memperhatikan kebersihan diri
Tujuan Khusus
TUK I
:
: Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan
perawat.
Intervensi
Intervensi
: Isolasi sosial
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
TUK I
Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, memperkenalkan diri, jelaskan
tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kesepakatan dengan jelas
tentang topik, tempat dan waktu.
2. Beri perhatian dan penghaargaan: temani klien walau tidak menjawab.
Intervensi
1. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
2. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik
diri atau mau bergaul
3. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul
4. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
TUK III : Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Intervensi
1. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan
orang lain
-
3.
4.
5.
Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu
6.
7.
BAB/BAK
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
a.
b.
c.
d.
Intervensi :
a. Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
1) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
2) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
3) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
4) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
b. Melatih pasien berdandan/berhias
Untuk pasien laki-laki latihan meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Berhias
c. Melatih pasien makan secara mandiri
1) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
2) Menjelaskan cara makan yang tertib
3) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
4) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
d. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
2.
3.
4.
5.
6.
EGC.
Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan jiwa.
Kaplan Sadoch. 1998. Sinopsis Psikiatri. Edisi 7. Jakarta : EGC
Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI . Jakarta : EGC
Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.
Yogyakarta : Momedia
7. Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
8. Rasmun S. Kep. M 2004. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah
Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto
9. Stuart, Sudden, 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta : EGC
10. Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, 2005 2006. Jakarta :
Prima Medika.
11. Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
12. Tarwoto dan Wartonah. 2000. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.
13. Townsend, Marry C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Perawatan
Psikiatri edisi 3. Jakarta. EGC
Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151
HALUSINASI
A. PENGERTIAN DAN JENIS
1. Definisi
a. Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus)
misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak
ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001).
b. Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya
rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi
pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut
terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri
individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata,
yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution, 2003).
c. Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis,
2005).
d. Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien merasa
melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada
sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2006).
e. Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart,
2007).
2. Klasifikasi
a. Halusinasi dengar (akustik, auditorik), pasien itu mendengar suara yang
membicarakan, mengejek, menertawakan, atau mengancam padahal tidak ada
suara di sekitarnya.
b. Halusinasi lihat (visual), pasien itu melihat pemandangan orang, binatang atau
sesuatu yang tidak ada.
c. Halusinasi bau / hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang
mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan,
bau mayat, yang tidak ada sumbernya.
d. Halusinasi kecap (gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan halusinasi bau /
hirup. Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya.
e. Halusinasi singgungan (taktil, kinaestatik). Individu yang bersangkutan merasa
ada seseorang yang meraba atau memukul. Bila rabaab ini merupakan rangsangan
seksual halusinasi ini disebut halusinasi heptik.
B. PENYEBAB/ETIOLOGI
A. Faktor predisposisi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
a. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh
penelitian-penelitian yang berikut:
dan
Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2.
Faktor presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan
tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
B. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai
berikut:
1. Bicara sendiri.
2. Senyum sendiri.
3. Ketawa sendiri.
4. Menggerakkan bibir tanpa suara.
5. Pergerakan mata yang cepat
6. Respon verbal yang lambat
7. Menarik diri dari orang lain.
8. Berusaha untuk menghindari orang lain.\
9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
11. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
12. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
13. Sulit berhubungan dengan orang lain.
14. Ekspresi muka tegang.
15. Mudah tersinggung, jengkel dan marah
16. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
17. Tampak tremor dan berkeringat.
18. Perilaku panik.
19. Agitasi dan kataton.
20. Curiga dan bermusuhan.
21. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
22. Ketakutan.
23. Tidak dapat mengurus diri.
24. Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.
Tingkatan halusinasi, menurut Stuart (2007), terdiri dari 4 fase :
Fase I :
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan
takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk
meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
Fase II :
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan
mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan.
Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti
peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik
dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan
halusinasi dengan realita.
Fase III :
D. PENATALAKSANAAN
1. Psikofarmako
Psikofarmako adalah terapi dengan menggunakan obat, tujuannya untuk
mengurangi/menghilangkan gejala gangguan jiwa. Berdasarkan khasiat obat yang
tergolong dalam pengobatan psikofarmako antara lain:
a. Clorpromazine (CPZ)
1) Aturan pakai : 3 x 25 mg/hari, kemudian dinaikan sampai dosis optimal.
2) Indikasi : Untuk pengobatan psikosa untuk mengurangi gejala anemis
3) Efek samping : Hipotensi, aritmis kordis, takikardi, penglihatan kabur.
b. Tritopirazine (Stelazine)
memberikan rasa nyaman dan tenang, menciptakan lingkungan yang tenang, bersikap
empati, menerima klien apa adanya, motivasi klien untuk dapat mengungkapkan
perasaan secara verbal, bersikap ramah, sopan dan jujur.
3. Terapi Okupasi
Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi
seseorang dalam melakukan aktivitas/tugas yang sengaja dipilih dengan maksud
untuk memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri seseorang. Terapi
okupasi menggunakan pekerjaan atau kegiatan sebagi media. Pelaksanaan terapi
okupasi sesuai dengan keadaan klien dan jenis kegiatan atau pekerjaan disesuaikan
minat klien.
E. PENGKAJIAN FOKUS
1. Risiko tinggi mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
a. Data Subjektif :
1) Klien mengatakan saya suka marah-marah kesal, tidak mau diganggu dan
pergi tanpa tujuan jika suara-suara itu muncul.
2) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Data Objektif :
1) Klien tampak suka tiduran, gelisah, mondar-mandir, melamun ditempat tidur
dan menyendiri.
2) Klien sering marah-marah tanpa sebab.
2. Perubahan persepsi sensori ; halusinasi dengar
a. Data Subjektif :
1) Klien mengatakan saya sering mendengar suara-suara yang mengejek saya.
2) Klien mengatakan suara itu muncul ketika saya merasa bingung dan sendirian.
b. Data Objektif :
1) Klien tampak berbicara sendiri.
2) Pandangan klien tampak terfokus satu arah.
3) Klien tampak tertawa sendiri.
4) Klien tampak mengarahkan telingan pada sumber suara.
3. Isolasi sosial
a. Data Subjektif
1) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
2) Klien merasa ditolak oleh orang lain.
3) Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
b. Data Objektif
1) Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
2) Kontak mata klien kurang.
3) Klien tampak sedih, dan leih senang bicara sendiri.
4. Harga Diri Rendah Kronis
a. Data Subjektif
1) Klien mengatakan rasa bersalah terhadap dirinya.
2) Klien mengatakan sulit untuk bergaul dengan orang lain.
3) Klien mengatakan kurang selera makan.
b. Data Objektif
1) Klien tampak merusak/melukai diri sendiri.
2) Klien tampak menghindari kesenangan yang memberi rasa kepuasan.
3) Klien tampak tidak bisa menerima pujian.
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Klasifikasi halusinasi Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
b. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi
c. Isolasi sosial : menarik diri.
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan
halusinasi
Tujuan : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Kriteria Hasil :
a.
Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal.
b. Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara
memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi pasien untuk
digunakan
c.
Intervensi :
a. Bina Hubungan saling percaya
b. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu disesuaikan
dengan kondisi klien).
e.
Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan dengan
halusinasi.
b. Pasien mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk
bersama.
c.
Intervensi :
a.
b.
c.
Lakukan perkenalan.
d.
e.
f.
g.
Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta yang
mungkin jadi penyebab.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
c.
d.
Intervensi :
a. Dorong pasien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada dirinya dari segi
fisik.
b. Diskusikan dengan pasien tentang harapan-harapannya.
c. Diskusikan dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama di rumah dan
di rumah sakit.
d. Berikan pujian.
e.
Identifikasi
masalah-masalah
yang
sedang
g.
h.
Bersama
pasien
identifikasi
stressor
dan
k.
l.
m.
n.
o.
p.
Dorong
pasien
untuk
merumuskan
Diskusikan
konsekuensi
dan
realitas
dari
perencanaan / tujuannya.
r.
s.
H. DAFTAR PUSTAKA
1. Keliat, Budi Anna dll. (2001). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa.. EGC: Jakarta.
2. Rasmun, 2000, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga, Jakarta, CV. Agung Seto.
3. Stuart, Gail W. (2007) Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC
4. Hawari, Dadang. 2001. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
5. Setiono, Wiwing. 2013. Laporan Pendahuluan gangguan persepsi. Diunduh dari
http://lpkeperawatan.blogspot.com/2013/12/laporan-pendahuluan-gangguanpersepsi.html pada hari sabtu 27 September 2014.
6. Nasution, S. S. (2003). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Perubahan
sensoro
Persepsi
Halusinasi.
Dibuka
pada
website
Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151
3. Definisi
a. Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri.
Pencapaian ideal diri atau cita cita atau harapan langsung
menghasilkan perasaan bahagia. (Budi Ana Keliat, 2009).
b. Harga diri rendah adalah perilaku negatif terhadap diri dan perasaan
tentang
diri
atau
kemampuan
diri
yang
negatif,
yang
dapat
yang
diekspresikan
secara
langsung
diri
maupun
dan
tak
pemeriksaan
dilakukan
b. Kronik
tanpa
penjelasan,
berbagai
PENYEBAB/ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Faktor- faktor yang mempengaruhi harga diri rendah meliputi :
a. Faktor predisposisi gangguan citra tubuh
1) Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi)
2) Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh (akibat
pertumbuhan dan perkembangan atau penyakit)
3) Proses patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktur
maupun fungsi tubuh
4) Prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterpi, transplantasi
b. Faktor predisposisi gangguan harga diri
1) Penolakan dari orang lain
2) Kurang penghargaan
3) Pola asuh yang salah : terlalu dilarang, terlalu dikontrol, terlalu
dituruti, terlalu dituntut dan tidak konsisten
4) Persaingan antar saudara
5) Kesalahan dan kegagalan yang berulang
6) Tidak mampu mencapai standar yang ditentukan
c. Faktor predisposisi gangguan peran
1) Transisi peran yang sering terjadi pada proses perkembangan,
perubahan situasi dan keadaan sehat sakit
2) Ketegangan peran, ketika individu menghadapi dua harapan yang
bertentangan secara terus menerus yang tidak terpenuhi
dan
psikologis
atau
e.
Kehilangan
bagian
tubuh.
Perubahan
bentuk,
ukuran,
MANIFESTASI KLINIS
Ada 10 cara individu mengekspresikan secara langsung harga diri
rendah (Stuart dan Sundeen, 2006)
1.
Mengejek dan mengkritik diri sendiri
2. Merendahkan atau mengurangi martabat diri sendiri
3. Rasa bersalah atau khawatir
4. Manisfestasi fisik : tekanan darah tinggi, psikosomatik,
penyalahgunaan zat.
PSIKOPATOLOGI/POHON MASALAH
dan
PENATALAKSANAAN
1. Psikoterapi
Therapy kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi
dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya
ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia dapat
membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan
permainan atau latihan bersama. (Maramis,2005,hal.231).
2. Psikofarmaka
Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Dosis rendah dengan efektifitas terapi dalam waktu yang cukup singkat
b. Tidak ada efek samping kalaupun ada relative kecil
c. Dapat menghilangkan dalam waktu yang relative singkat, baik untuk
d.
e.
f.
g.
h.
hanya diperoleh dengan resep dokter, dapat dibagi dalan 2 golongan yaitu
golongan generasi pertama (typical) dan golongan kedua (atypical).Obat
yang termasuk golongan generasi pertama misalnya chlorpromazine HCL,
Thoridazine HCL, dan Haloperidol. Obat yang termasuk generasi kedua
misalnya : Risperidone, Olozapine, Quentiapine, Glanzapine, Zotatine, dan
aripiprazole.
Menurut hawari (2001), terapi pada gangguan jiwa skizofrenia
dewasa ini sudah dikembangkan sehingga penderita tidak mengalami
diskriminasi
bahkan
metodenya
lebih
manusiawi
daripada
masa
: 3 x100 mg
psikosis
yaitu
berdaya
berat
dalam
mata
kabur,
tekanan
intra
okuler
meninggi,
skizofrenia
dan
sindrom
paranoid.
Di
samping
itu
akatsia,
dystosia,
takikardi,
hipertensi,
EKG berubah,
depresi,
oedem,
retensio
urine,
hiperpireksia,
gangguan akomodasi.
3) Trihexypenidil ( THP ) : 3 x 2 mg
a) Indikasi
Semua bentuk parkinson (terapi penunjang), gejala ekstra piramidal
berkaitan dengan obat-obatan antipsikotik.
b) Cara kerja
Kerja obat-obat ini ditujukan untuk pemulihan keseimbangan kedua
neurotransmiter mayor secara alamiah yang terdapat di susunan
saraf pusat asetilkolin dan dopamin, ketidakseimbangan defisiensi
dopamin dan kelebihan asetilkolamin dalam korpus striatum.
Reseptor asetilkolin disekat pada sinaps untuk mengurangi efek
kolinergik berlebih.
c) Kontra indikasi
Hipersensitivitas terhadap
obat
ini
atau
antikolonergik
lain,
pengobatan
kemampuan
latihan
dan
untuk
kekurangan
keterampilan
sosial
skizofrrenia
yang
klien.Teknik
perilaku
untuk
ditujukan
meningkatkan
pada
menggunakan
kemampuan
Klien mengatakan : saya tidak bisa, tidak mampu, bodoh, tidak tahu
apa-apa.
Klien megungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
3.
Gangguan citra tubuh
a. Data Obyektif :
Menolak melihat, menyentuh bagian tubuh yang berubah.
Menolak penjelasan perubahan tubuh.
Persepsi negative terhadap perubahan tubuh.
Mengungkapkan keputusasaan.
Mengungkapkan ketakutan.
b. Data Subyektif
Klien mengatakan malu terhadap dirinya sendiri.
P.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Isolasi sosial : menarik diri
2. Harga diri rendah
3. Gangguan citra tubuh
Q.
INTERVENSI KEPERAWATAN
positif
terhadap
kemampuan
positif
terhadap
kemampuan
untuk
mengungkapkan
perasaannya
perasaan
bila
masnfaat
c) Beri
reinforcement
mengungkapkan
positif
perasaan
atas
manfaat
kemampuan
berhubungan
klien
dengan
oranglain
6) Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
Tindakan:
a) Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
Salam, perkenalan diri
Jelaskan tujuan
Buat kontrak
Eksplorasi perasaan klien
b) Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
Perilaku menarik diri
Penyebab perilaku menarik diri
Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
Cara keluarga menghadapi klien menarik diri
Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan
menerapkan
prinsip
komunikasi terapeutik:
a) Sapa klien dengan ramah secara verbal dan nonverbal
b) Perkenalkan diri dengan sopan
c) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
d)
e)
f)
g)
klien
Jelaskan tujuan pertemuan
Jujur dan menepati janji
Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar
klien
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
a) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
b) Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien.
c) Utamakan memberi pujian yang realistik.
3) Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
a) Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan.
b) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
klien,
d. Klien
dapat
menetapkan/merencanakan
kegiatan
sesuai
dengan
DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, Lynda Juall. (2003). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC:
Jakarta.
2. Keliat, Budi Anna dll. (2001). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa.. EGC:
Jakarta.
3. Schultz dan Videback. (2009). Manual Psychiatric Nursing Care Plan. 5th
edition. Lippincott- Raven Publisher: Philadelphia.
4. Stuart and Sundeen (2006), Buku Saku Keperawatan Kesehatan Jiwa,
alih bahasa Hapid AYS, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Townsend. (2011). Nursing Diagnosis in Psychiatric Nursing a Pocket
Guide for Care Plan Construction. Edisi V. Jakarta : EGC
6. Atom. 2013. Laporan Pendahuluan Harga Diri Rendah. Diunduh dari
http://asuhankeperawatan4u.blogspot.com/2012/06/laporanpendahuluan-harga-diri-rendah.html pda hari sabtu, 27 September 2014
Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151
ISOLASI SOSIAL
A. PENGERTIAN
1. Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien
mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).
2. Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan mekanisme
individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari
interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk. 2009).
3. Isolasi soaial adalah pengalaman kesendirian seorang individu yang diterima sebagai
perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang negatif atau mengancam
(Wilkinson, 2007).
4. Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena
orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Twondsend, 2011).
5. Suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali
tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Budi Anna
Kelliat, 2006 ).
6. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain ( Pawlin, 1993 dikutip Budi Kelliat, 2009).
7. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadinya
perilaku isolasi sosial. (Budi Anna Kelliat,2009).
B. PENYEBAB/ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung terjadinya perilaku isolasi
sosial, antara lain :
a. Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa bayi sampai
dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang sehingga mempunyai masalah
respon sosial menarik diri. Sistem keluarga yang terganggu juga dapat
mempengaruhi terjadinya menarik diri. Organisasi anggota keluarga bekerja sama
dengan tenaga profesional untuk mengembangkan gambaran yng lebih tepat
tentang hubungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga. Pendekatan kolaboratif
dapat mengurangi masalah respon sosial menarik diri.
b. Faktor biologik
C. MANIFESTASI KLINIS
Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial :
1. Kurang spontan
2. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
3. Ekspresi wajah kurang berseri
4. Tidak merawat diri dan tidak memperlihatkan kebersihan
5. Tidak ada dan tidak memperhatikan kebersihan
6. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
7. Mengisolasi diri
8. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar
9. Asupan makanan dan minuman terganggu
10. Retensi urin dan feses
11. Aktivitas menurun
12. Kurang energi (tenaga)
13. Rendah diri
14. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus atau janin (khususnya pada posisi tidur)
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, sehingga
timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak dilakukan
intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori : halusinasi
dan risiko mencederai diri, orang lain, bahkan lingkungan. Perilaku yang tertutup dengan
orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktivitas yang akhirnya bisa berpengaruh
terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri.
Seseorang yang mempunyai harga diri rendah awalnya disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya, sehingga orang tersebut
berperilaku tidak normal (koping individu tidak efektif). Peranan keluarga cukup besar
dalam mendorong klien agar mampu menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, bila sistem
pendukungnya tidak baik (koping keluarga tidak efektif) maka akan mendukung
seseorang memiliki harga diri rendah.
D. PSIKOPATOLOGI/POHON MASALAH
E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada klien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut :
a. Penatalaksanaan Medis (Dalami, dkk, 2009)
Isolasi sosial termasuk dalam kelompok penyakit skizofrenia tak tergolongkan maka
jenis penatalaksanaan medis yang bisa dilakukan adalah :
1) Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah suatu jenis pengobatan dimana arus
listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan
dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan kanan). Arus tersebut menimbulkan
kejang grand mall yang berlangsung 25-30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon
bangkitan listriknya di otak menyebabkan terjadinya perubahan faal dan biokimia
dalam otak.
Indikasi :
a) Depresi mayor
(1) Klien depresi berat dengan retardasi mental, waham, tidak ada perhatian
lagi terhadap dunia sekelilingnya, kehilangan berat badan yang berlebihan
dan adanya ide bunuh diri yang menetap.
(2) Klien depresi ringan adanya riwayat responsif atau memberikan respon
membaik pada ECT.
(3) Klien depresi yang tidak ada respon terhadap pengobatan antidepresan
atau klien tidak dapat menerima antidepresan.
b) Maniak
Klien maniak yang tidak responsif terhadap cara terapi yang lain atau terapi
lain berbahaya bagi klien.
c) Skizofrenia
Terutama akut, tidak efektif untuk skizofrenia kronik, tetapi bermanfaat pada
skizofrenia yang sudah lama tidak kambuh.
2) Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relatif cukup lama dan merupakan bagian penting
dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa
aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati,
menerima klien apa adanya, memotivasi klien untuk dapat mengungkapkan
perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan dan jujur kepada klien.
3) Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri seseorang (Dalami, dkk.,
2009).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Terapi Modalitas Keperawatan yang dilakukan adalah:
c. Komunikasi kurang/ tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien
lain/ perawat
d. Tidak ada kontk mata, klien lebih sering menunduk.
e. Berdiam diri di kamar/ tempat terpisah. Klien kurang mobilitasnya.
f. Menolak berhubungan dengan orang lain. Klien memutuskan percakapan atau
pergi jika diajak bercakap-cakap.
g. Tidak melakukan kegatan sehari-hari. Artinya perawatn diri dan kegiatan rumah
tangga sehari-hari tidak dilakukan.
h. Posisi janin pada saat tidur.
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Isolasi sosial
2. Kerusakan komunikasi verbal
3. Sindroma kurang perawatan diri
H. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa 1 : Isolasi sosial
Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi
halusinasi
Tujuan Khusus :
b. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
1) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik dengan cara :
h) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
i) Perkenalkan diri dengan sopan
j) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
k) Jelaskan tujuan pertemuan
l) Jujur dan menepati janji
m) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
n) Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien
2) Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Tindakan:
e) Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
f) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri atau mau bergaul
g) Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul
h) Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
3) Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
Tindakan :
j) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi ( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
Jelaskan tujuan
Buat kontrak
Eksplorasi perasaan klien
d) Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
Perilaku menarik diri
Penyebab perilaku menarik diri
Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
Cara keluarga menghadapi klien menarik diri
Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien
b.
c.
keperawatan.
Berikan pengakuan dan penghargaan positif untuk kemampuannya mandiri.
Rasional : Penguatan positif akan meningkatkan harga diri dan mendukung
pengulangan perilaku yang diharapkan.
d.
e.
f.
g.
h.
kekeluargaan.
Rasional : Pasien dapat melihat setiap orang makan dari hidangan yang sama.
Tetapkan jadwal defekasi dan berkemih, bantu pasien ke kamar mandi sesuai
jadwal, sampai pasien mampu melakukan tanpa bantuan orang lain.Dukung
kemandirian pasien, tapi berikan bantuan saat pasien tidak mampu melakukan
beberapa kegiatan.
I. DAFTAR PUSTAKA
1. Townsend M. C, (2011). Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri,
Pedoman untuk Pembuatan Rencana Keperawatan , Edisi V. Jakarta : EGC.
2. Anna Budi Keliat, S.Kp. (2009). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial
Menarik Diri, Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia..
3. Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API).
Jakarta : fajar Interpratama.
4. Stuart and Sundeen (2006), Buku Saku Keperawatan Kesehatan Jiwa, alih bahasa
Hapid AYS, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Carpenito, Lynda Juall (2009) Diagnosis Keperawatan : Aplikasi Pada Praktis Klinis
Edisi 9. Jakarta : EGC.
6. Direja, Ade Herman Surya (2011) Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
7. Keliat, Budi Anna (2005) Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 3. Jakarta : EGC.
8. Stuart, Gail W. (2007) Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC
9. Nursing Poltekes. (2012) Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial. (Online), (http://
keperawatanpoltekkes26.blogspot.com/2012/01/asuhan-keperawatan-isolasisosial.html, diakses pada 27 September 2014).
10. Setiono, Wiwing (2013) Laporan Pendahuluan Isolasi sosial. Diunduh dari
http://lpkeperawatan.blogspot.com/2013/12/laporan-pendahuluan-isolasi-sosial.html
pada hari sabtu, 27 September 2014
Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151
4. Definisi
a. Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Fitria, 2009).
c. Perilaku
seseorang
yang
mengakibatkan
mengakibatkan
memar/trauma,
atau
kematian,
kemungkinan
kerugian
besar
psikologis,
dimana
seseorang
melakukan
tindakan
yang
dapat
5. Jenis
PENYEBAB/ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang
dijelaskan oleh Townsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif:
sistem
limbik,
lobus
frontal
dan
hypothalamus.
pada
sistem
ini
maka
akan
meningkatkan
atau
adanya
hubungan
langsung
antara
untuk
ideal
perkembangan
tentang
awal.
orang
Namun,
tua
mereka
dengan
selama
perkembangan
tahap
yang
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
anaknya
dan
f.
U.
MANIFESTASI KLINIS
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
a. Fisik
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
Tangan mengepal
Rahang mengatup
Postur tubuh kaku
Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2)
Menyerang orang lain
3)
Melukai diri sendiri/orang lain
4)
Merusak lingkungan
5)
Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel,
tidak
berdaya,
bermusuhan,
mengamuk,
ingin
berkelahi,
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
V. POHON MASALAH
W. PENATALAKSANAAN
1. Psikoterapi
a. Psikoterapeutik
b. Lingkungan terapieutik
c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
d. Pendidikan kesehatan
2. Psikofarmaka
a. Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.
b. Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.
c. Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri
dan
menenangkan hiperaktivitas.
d. ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila
mengarah pada keadaan amuk.
3. Psikosomatik
a. Terapi konvulsi kardiasol, dengan menyuntikkan larutan kardiazol 10%
sehingga timbul konvulsi
PENGKAJIAN FOKUS
1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
a. Data Subyektif :
a.
b.
c.
b. Data Obyektif :
a.
b.
c.
orang,
pandangan tajam.
d.
Merusak dan melempar barang-barang.
2. Perilaku kekerasan
a. Data Subyektif :
a.
Klien mengatakan benci atau kesal
pada
seseorang.
b.
c.
b. Data Obyektif ;
a.
b.
c.
d.
tidak
tahu
apa-apa,
bodoh,
mengkritik
diri
sendiri,
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko Perilaku kekerasan
2. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah
3. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Z.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1 : Resiko Perilaku Kekerasan
TujuanUmum : Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan
lingkungan.
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama
perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
b. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
c. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien
dengan sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
a. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
b. Observasi tanda perilaku kekerasan.
c. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang
dialami
klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
a. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
c. Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?"
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
b. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
c. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap
kemarahan.
Tindakan :
a. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
b. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika
sedang kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.
c. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal /
tersinggung
d. Secara spiritual : berdoa, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk
diberi kesabaran.
7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Bantu memilih cara yang paling tepat.
b. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
menerapkan
prinsip
komunikasi terapeutik:
a) Sapa klien dengan ramah secara verbal dan nonverbal
b) Perkenalkan diri dengan sopan
c) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
d)
e)
f)
g)
klien
Jelaskan tujuan pertemuan
Jujur dan menepati janji
Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar
klien
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
a) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
b) Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien.
c) Utamakan memberi pujian yang realistik.
3) Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
a) Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan.
b) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
4) Klien dapat merencanakn kegiatan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki.
a) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap
hari.
lingkungan
Tujuan umum : Pasien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
Tujuan khusus :
1.
2.
3.
4.
Pasien
Pasien
Pasien
Pasien
Tindakan :
a. Mendikusikan cara mengatasi keinginan mencederai diri sendiri, orang
laain dan lingkungan
b. Meningkatkan harga diri pasien dengan cara :
1) Memberikan kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya
2) Memberikan pujian jika pasien dapat mengatakan perasaan yang
positif
3) Meyakinkan pasien bahawa dirinya penting
4) Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
5) Merencanakan yang dapat pasien lakukan
c. Tingkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara :
1) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya
2) Mendiskusikan dengan pasien efektfitas masing-masing cara
penyelesian masalah
3) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih
baik
AA.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dadang
Hawari,
2001,
Pendekatan
Holistik
Pada
Gangguan
Jiwa
Aplikasi
Penulisan
Laporan
Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151
WAHAM
BB.
Jenis Waham
sesuai
dengan
kenyataan.
Contoh,
saya
sakit
kanker.
(Kenyataannya pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tandatanda kanker, tetapi pasien terus mengataka bahwa ia sakit kanker.)
e. Waham nihilistic: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada
didunia/meniggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
dengan kadaan nyata. Misalnya, Ini kana lam kubur ya, semua yang
ada disini adalah roh-roh.
f. Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang
disisipkan ke dalam pikirannya.
g. Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa
yang dia pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya
kepada orang tersebut
h. Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh
kekuatan di luar dirinya.
3. Tingkatan
kebutuhan
yang
lingkungan
sudah
lingkungan
sudah
banyak
komunikasi
yang
canggih,
tidak
melampaui
yang
terpenuhi
sedangkan
kemampuannya.
kaya,
berpendidikan
Misalnya,
menggunakan
tinggi
standar
serta
saat
teknologi
memiliki
yang
kecil
secara
optimal.
Lingkungan
sekitar
klien
mencoba
klien
merasa
menganggap
sesuatu
yang
kebenaran
karena
didukung,
dikatakan
seringnya
lama
kelamaan
klien
tersebut
sebagai
suatu
sinilah
mulai
diulang-ulang.
Dari
dari
lingkungannya.
Selanjutnya
klien
lebih
sering
keyakinan
klien
dengan
cara
konfrontatif
serta
CC.
a. Teori Biologis
Teori biologi terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap waham:
1) Faktor-faktor genetik yang pasti mungkin terlibat dalam perkembangan suatu
kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota keluarga dengan kelainan
yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak saudara lain).
2) Secara relatif ada penelitian baru yang menyatakan bahwa kelainan
skizofrenia mungkin pada kenyataannya merupakan suatu kecacatan sejak
lahir terjadi pada bagian hipokampus otak. Pengamatan memperlihatkan suatu
kekacauan dari sel-sel pramidal di dalam otak dari orang-orang yang
menderita skizofrenia.
3) Teori biokimia menyatakan adanya peningkatan dari dopamin neurotransmiter
yang dipertukarkan menghasilkan gejala-gejala peningkatan aktivitas yang
berlebihan dari pemecahan asosiasi-asosiasi yang umumnya diobservasi pada
psikosis.
b. Teori Psikososial
a.
b.
c.
hubungan saling mempengaruhi antara orang tua, anak. Karena ego menjadi
lebih lemah penggunaan mekanisme pertahanan ego pada waktu kecemasan
yang ekstrim menjadi suatu yang maladaptif dan perilakunya sering kali
merupakan penampilan dan segmen id dalam kepribadian.
2.
Faktor Presipitasi
a. Biologis
Stressor
biologis
yang
berhubungan
dengan
neurobiologis
yang
b. Stres Lingkungan
c. Pemicu Gejala
bermusuhan
atau
lingkungan
yang
penuh
kritik,
masalah
MANIFESTASI KLINIS
1. Kognitif
a. Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata
b. Individu sangat percaya pada keyakinannya
c. Sulit berfikir realita
d. Tidak mampu mengambil keputusan
2. Afektif
a. Situasi tidak sesuai dengan kenyataan
b. Afek tumpul
3. Prilaku dan Hubungan Sosial
a. Hipersensitif
b. Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
c. Depresi
d. Ragu-ragu
e. Mengancam secara verbal
f. Aktifitas tidak tepat
g. Streotif
h. Impulsive
i. Curiga
2. Fisik
a.
b.
c.
d.
EE.
Higiene kurang
Muka pucat
Sering menguap
BB menurun
PSIKOPATOLOGI/POHON MASALAH
Resiko tinggi mencederai
diri, orang lain dan
lingkungan
Kerusakan komunikasi
verbal
PENATALAKSANAAN
Menurut Harnawati (2008) penanganan pasien dengan gangguan jiwa
waham antara lain :
1. Psikofarmalogi
a. Litium Karbonat
a.
Farmakologi
Litium Karbonat adalah jenis litium yang paling sering digunakan
untuk mengatasi gangguan bipolar, menyusul kemudian litium
sitial. Sejak disahkan oleh Food and Drug Administration (FDA).
Pada 1970 untuk mengatasi mania akut litium masih efektif dalam
menstabilkan
Meski
b.
Indikasi
Mengatasi episode waham dari gangguan bipolar. Gejala hilang
dalam jangka waktu 1-3 minggu setelah minum obat litium juga
digunakan untuk mencegah atau mengurangi intensitas serangan
c.
f.
b.
Mekanisme kerja
Menghambat pelepasan serotonin dan mengurangi sensitivitas dari
reseptor dopamine.
Haloperidol
a.
Farmakologi
Haloperidol
merupakan
obat
tingkah
membangkang
an
laku
berat
eksplosif.
pada
anak-anak
Haloperidol
juga
yang
sering
efektif
untuk
d.
i.
ii.
iii.
Kardivaskuler
Takikardi, hipertensi/hipotensi, kelainan EKG (gelombang T
abnormal dengan perpanjangan repolarisasi ventrikel), aritmia.
Hematologik : Timbul leucopenia dan
leukositosis ringan.
iv.
v.
Makulopapular
vi.
vii.
kontak,
hiperpigmentasi alopesia.
Endokrin dan metabolic
Laktasi, pembesaran payudara, martalgia, gangguan haid,
amenore, gangguan seksual, nyeri payudara, hiponatremia.
Saluran cerna : Anoreksia, konstipasi,
Hipersensitifitas
terhadap
haloperidol
atau
komponen
lain
f.
metabolism
serta
basal.
efektif,
neuralgia
Temperature
dalam
trigeminal.
tubuh,
tonus
pengobatan
kejang
Karbamazepin
secara
jenis :
Kejang parsial dengan symptom atologi komplek (psikomotor,
lobus temporalis) pasien dengan jenis kejang ini menunjukkan
perbaikan yang lebih besar dibandingkan jenis yang lain.
Pola kejang campuran termasuk jenis diatas dan kejang parsial
ii.
maupun
kejang
umum
yang
lain.
Kejang
jenis
petitmal
iii.
ii.
iii.
dan muntah.
Contoh obat:
a) Tegritol (ciba)
b) Temporal (orion)
c) Karbamazepin (generic)
e.
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap karbamazepin, antidepresan trisiklik, atau
komponen sediaan, depresi sumsum tulang belakang.
f.
Mekanisme kerja
Selain sebagai antikonvulsan, karbamazepin mempunyai efek
sebagai antikolinergik, antineuralgik, antideuritik, pelemas otot,
antimanik, antidepresif dan antiariunia. Menekan aktifitas senralis
nucleus pada thalamus/menurunkan jumlah stimulasi temporal
yang menyebabkan neural discharge dengan cara membatasi
influks ion natrium yang menembus membran sel atau mekanisme
lain yang belum diketahui, menstimulasi pelepasan ADH untuk
mereabsorbsi air, secara kimiawi terkait dengan antidepresan
trisiklik.
2.
Pasien hiperaktif atau agitasi anti psikotik low potensial
Penatalaksanaan ini berarti mengurangi dan menghentikan agitasi untuk
pengamanan pasien. Hal ini berkaitan dengan penggunaan obat anti
psikotik untuk pasien waham. Dimana pedoman penggunaan antipsikotik
adalah:
a. Tentukan target symptom
b.
Antipsikosis yang telah berhasil masa lalu sebaiknya tetap
c.
digunakan
Penggantian
antipsikosis
baru
dilakukan
setelah
a.
b.
c.
mirip
Parkinson,
distonia
akut,
akathisia,
tardive
3.
gejala negative.
Penarikan diri high potensial
Selama seseorang mengalami waham. Dia cenderung menarik diri dari
pergaulan dengan orang lain dan cenderung asyik dengan dunianya
sendiri (khayalan dan pikirannya sendiri). Oleh karena itu, salah satu
penatalaksanaan pasien waham adalah penarikan diri high potensial. Hal
ini berarti penatalaksanaannya ditekankan pada gejala dari waham itu
sendiri, yaitu gejala penarikan diri yang berkaitan dengan kecanduan
morfin biasanya dialami sesaat sebelum waktu yang dijadwalkan
5.
GG.
PENGKAJIAN FOKUS
Klien memberi kata-kata ancaman, mengatakan benci dan kesal pada seseorang,
klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang
kesal, atau marah, melukai / merusak barang-barang dan tidak mampu
mengendalikan diri
b. Data objektif
Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dank eras, bicara menguasai,
ekspresi marah, pandangan tajam, merusak dan melempar barang-barang.
2.
mengkritik
diri
sendiri,
mengungkapkan
perasaan
malu
II.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.
b.
c.
Diagnosa 1
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham
a.
b.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Rasional : hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan
interaksinya
Tindakan :
1)Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan
tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas
topik, waktu, tempat).
2)Jangan membantah dan mendukung waham klien: katakan perawat menerima
keyakinan klien "saya menerima keyakinan anda" disertai ekspresi menerima,
katakan perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan empati, tidak
membicarakan isi waham klien.
3)Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi: katakan perawat
akan menemani klien dan klien berada di tempat yang aman, gunakan
keterbukaan dan kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.
4)Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan perawatan diri
2.
Tindakan :
1) Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis.
2)
3)
4)
3.
3)
4)
5)
4.
3)
5.
3)
4)
6.
f.
cara
mengontrol
perilaku
kekerasan.
Tindakan:
1) Bantu memilih cara yang paling tepat.
2) Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
3) Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
4) Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam
simulasi.
5) Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
h. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
1) Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui
i.
pertemuan keluarga.
2) Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
1) Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan
efek samping)
2) Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien,
obat, dosis, cara dan waktu).
3) Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang
dirasakan.
klien,
f.
Tindakan :
1) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat
klien
2) Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
3) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
4) Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
JJ.
DAFTAR PUSTAKA
2. Aziz R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr.
Amino Gondoutomo. 2003
3. Baihaqi, M. (2007). Psikiatri Konsep Dasar Dan Gangguan - Gangguan.
Bandung: Refika Aditama.
4. Keliat, B. A. (2009). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
5. Townsend M.C. (2011). Diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri;
pedoman untuk pembuatan rencana keperawatan. Edisi V.Jakarta: EGC
6. Setiono, Wiwing. 2013. Laporan Pendahuluan Waham . Diunduh dari
http://lpkeperawatan.blogspot.com/2013/12/laporan-pendahuluanwaham.html pada hari sabtu, 27 September 2014