Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia,


karena tanpa kesehatan yang baik manusia akan sulit untuk melakukan semua
aktivitasnya sehari-hari. Dewasa ini kesadaran masyarakat akan pentingnya
kesehatan semakin meningkat. Dengan semakin meningkatknya kesadaran
masyarakat mengenai pentingnya kesehatan, maka semakin meningkat pula
kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya dalam pelayanan kesehatan dan
tindakan legal, maka isu legal dan etik muncul ketika perawatan menjadi sesuatu
hal yang bisa ditawar. Kemudian pada akhirnya menyebabkan seorang pemberi
kesehatan berada dalam pengawasan
yang semakin ketat (Potter dan
Perry, 2005). Oleh karena itu, perawat harus senantiasa memberikan pelayanan
kesehatan yang maksimal, efektif, efiisen, dan juga aman. Jika hal tersebut
diabaikan, maka tidak menutup kemungkinan, masyarakat akan mengambil
langkah hukum untuk menghadapinya.
Berdasarkan survey yang dilakukan di dua belas RS di Afrika Selatan kepada
171 orang perawat kritis dengan cara menyebarkan kuesioner untuk mengukur
pengetahuan perawat kritis terkait isu legal didapatkan hasil rata-rata persentase
pengetahuan perawat kritis sebesar 38,45% dimana indikator/standar kompetensi
tersebut adalah 60%. Hal ini menunjukkan bahwa level pengetahuan perawat
kritis terkait isu legal liability di lingkungan keperawatan kritis masih di bawah
standar (Hyde, 2006).
Menurut Morton dan Fontaine (2009), kepekaan dan kesadaran hukum
masyarakat yang telah semakin meningkat saat ini dibanding sebelumnya
menjadikan isu legal yang melibatkan perawatan kritis merupakan masalah yang
semakin banyak muncul. Seseorang klien memiliki hak legal dalam menerima
pelayanan kesehatan yang aman dan kompeten.. Hak legal adalah segala hak
seseorang yang diakui secara hukum . Pada saat ini jumlah tuntutan malpraktik
yang menyebut dan melibatkan perawat semakin banyak terjadi.
1.2 Tujuan

Mahasiswa dapat memahami dan mampu menerapkan prinsip-prinsip legal etik


pada pengambilan keputusan dalam konteks keperawatan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
1. Etika

Etika Berasal dari kata ethos. Dalam bentuk tunggal yang berarti kebiasaan,
adat-istiadat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Dalam bentuk
jamak (ta etha), berarti adat kebiasaan. Jadi etika dapat diartikan sebagai ilmu

tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan
(Bertens, 2000).
Etika berhubungan dengan bagaimana seseorang harus bertindak dan
bagaimana mereka melakukan hubungan dengan orang lain (Potter dan
Perry, 2005).
2. Etika Keperawatan

Menurut Cooper (1991) dalam Potter dan Perry 2005), etika keperawatan
dihubungkan dengan hubungan antar perawat terhadap orang lain.
3. Kode Etik Keperawatan

Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai


pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan.
Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan
tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional indonesia, dimana
seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik sehingga kejadian
pelanggaran etik dapat dihindarkan.
4. Aspek Legal Keperawatan

Aspek aturan Keperawatan dalam memberikan asuhan


keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya
pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk hak dan
kewajibannya yang diatur dalam undang-undang keperawatan.

2.2 Kode Etik Keperawatan Menurut PPNI

Kode etik keperawatan di Indonesia telah disusun oleh Dewan Pimpinan Pusat
Perstuan Perawat Nasional Indonesia melalui Musyawarah Nasional PPNI di
Jakarta pada tanggal 29 November 1989. Kode etik keperawatan Indonesia
tersebut terdiri dari 4 bab dan 16 pasal. Bab 1, terdiri dari 4 pasal, menjelaskan
tentang tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga, dan masyarakat.
Bab 2 terdiri dari 5 pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap
tugasnya. Bab 3, terdiri dari 2 pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab
perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain. Bab 4, terdiri dari 4
3

pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap profesi


keperawatan. Bab 5, terdiri dari 2 pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab
perawat terhadap pemerintah, bangsa, dan tanah air.
2.3 Aspek Legal Dalam Praktik Keperawatan

Untuk dapat melaksanakan tugas dan tindakan dengan aman, perawat


profesional harus memahami batasan legal dan implikasinya dalam praktik
keperawatan sehari-hari. Asuhan keperawatan yang legal diartikan sebagai
praktik keperawatan yang bermutu dan taat pada aturan, hukum, serta perundangundangan yang berlaku.
2.4 Tinjauan Aspek Legal Dalam Keperawatan

Pasal 1 ayat 6 UU no 36/2009 tentang kesehatan berbunyi : Tenaga


kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan. Undang-undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 63 ayat
(4) yang berbunyi Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan
ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan.
Berdasarkan undang-undang kesehatan yang diturunkan dalam Kepmenkes
1239 dan Permenkes No. HK.02.02/Menkes/148/I/2010, terdapat beberapa hal
yang berhubungan dengan kegiatan keperawatan. Adapun kegiatan yang secara
langsung dapat berhubungan dengan aspek legalisasi keperawatan :
1. Proses Keperawatan
2. Informed Consent,dll.

Untuk melindungi tenaga perawat akan adanya tuntutan dari klien/pasien


perlu ditetapkan dengan jelas apa hak, kewajiban serta kewenangan perawat
agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan tugasnya serta memberikan
suatu kepastian hukum, perlindungan tenaga perawat. Hak dan kewajiban
perawat ditentukan dalam Kepmenkes 1239/2001 dan Keputusan Direktur
Jenderal Pelayanan Medik Nomor Y.M.00.03.2.6.956.
4

2.5 Prinsip Prinsip Etika Keperawatan

1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu
mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan
sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki
kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai
keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain.
Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap
seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak
memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan
hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut
pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi
saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat
keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik.
Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau
kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang,
dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara
prinsip ini dengan otonomi.
3. Keadilan (Justice)

Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil


terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral,
legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek
profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar
sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar
untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
4. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan
psikologis pada klien.
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini
diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk
menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk
meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity
berhubungan
dengan
kemampuan
seseorang
untuk
mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi
akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi
pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan
mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala
5

sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama


menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa
argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran
seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk
pemulihan atau adanya hubungan paternalistik bahwa
doctors knows best sebab individu memiliki otonomi,
mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh
tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam
membangun hubungan saling percaya.
6. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji
dan komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada
komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia
klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk
mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan,
menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang
menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat
adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit,
memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.
7. Karahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang
klien harus dijaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat
dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca
dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat
memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien
dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area
pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang
klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan
seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak
jelas atau tanpa terkecuali.
2.6 Tanggungjawab Legal Dalam Keperawatan Kritis
Selain kewajiban etik perawat pada keperawatan kritis harus memiliki tanggung
jawab dan tanggunggugat kepada pasien beberapa masalah hukum yang
melibatkan perawat diantaranya:
1. Lisensi

Perawat yang terlibat dalam keperawatn kritis harus memiliki


lisensi sebagai standar bahwa perawat tersebut dapat
bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap pasien
yang ditangani. Lisensi ini dibutuhkan pada keperawatan
kritis diantaranya lisensi dari PPNI yang didapatkan dengan
6

melalui ujian kompetensi, lisensi pelatihan keperawatn


gawat darurat (pelatihan PPGD) .
2. Tuntutan perkara
Perawat dalam melaksanakan perawatan kritis harus
memperhatikan segala prosedur yang ada. Ketika perawat
tidak dapat melaksanakan tugas dengan benar maka akan
terjadi tuntutan atau masalah-masalah hukum. Masalah
hukum yang dapat dihadapi dapat berupa pidana atau
perdata. Oleh karena itu perawat kritis dalam melakukan
keperawatan kritis harus bersikap baik pada pasien ataupun
keluarga.
2.7 Isu Etik dan Legal Pada Keperawatan Kritis
Perawat ruang intensif/kritis harus memberikan pelayanan keperawatan yang
mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal keperawatan yang
mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal kesehatan. Perawat ruang
kritis harus bekerja sesuai dengan aturan yang ada (standar rumah sakit/standar
pelayanan maupun asuhan keperawatan). Etik ditujukan untuk mengukur
perilaku yang diharapkan dari manusia sehingga jika manusia tersebut
merupakan suatu kelompok tertentu atau profesi tertentu seperti profesi
keperawatan, maka aturannya merupakan suatu kesepakatan dari kelompok
tersebut yang disebut kode etik.
Status pekerjaan sebagai seorang perawat rumah sakit ataupun bagian dari staf
paramedik tidak membuat perawat bisa menghindari tanggung jawab dan
kewajiban mematuhi hukum dalam setiap tindakan/pelayanan keperawatan yang
dilakukan. Kumpulan hukum/peraturan keperawatan yang telah dikembangkan
dikenal sebagai standar pelayanan keperawatan. Standar pelayanan keperawatan
ditentukan dengan pengambilan keputusan atas tindakan profesional yang paling
tepat dilakukan untuk mengatasi masalah yang ada.
Euthanasia merupakan salah satu masalah etika yang paling berat dalam
zaman kita dan tampaknya dalam waktu singkat tidak mungkin diselesaikan.
Mengenai masalah euthanasia bila ditinjau ke belakang boleh dikatakan sudah
ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tidak tersembuhkan,
sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi
7

demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan
tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi. Pada pasien yang sudah tidak sadar,
keluarga yang sudah tidak tega melihat orang sakit penuh penderitaan menjelang
ajalnya minta kepada dokter untuk tiadak meneruskan pengobatan, bahkan ada
pula yang minta diberikan obat untuk mempercepat kematian. Dari sinilah
euthanasia muncul. Eutanasia yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas
dari penderitaan, atau mati secara baik.
Masalah ini makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena
semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat
terutama setelah ditemukannya tindakan di dalam dunia pengobatan dengan
mempergunakan teknologi canggih dalam mengatasi keadaan gawat dam
mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus di pusat pelayanan kesehatan
terutama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan intensif yang
pada masa lalu sudah merupakan kasus yang tidak dapat dibantu lagi. Namun
pada kasus-kasus tertentu tetap saja muncul persoalan dasar kembali, yaitu
dilema meneruskan atau tidak tindakan medis yang memperpanjang kehidupan.
2.8 Permasalahan Etika Dalam Keperawatan Kritis
1. Kelalaian Keperawatan Dalam Keperawatan Kritis

Kasus kelalaian dapat terjadi di berbagai tatanan dalam praktek keperawatan,.


Kasus-kasus seperti ini berkembang dengan pesat seiring dengan
perkembangan ilmu maupun kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan,
termasuk di dalamnya dalam ranah praktek keperawatan kritis.
Menurut Vestel KW (1995) dalam Ake (2003), menyampaikan bahwa suatu
perbuatan atau sikap tenaga kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi empat
(4) unsur, yaitu:
a. Kewajiban (Duty)

Menurut Morton dan Fontaine (2009), kewajiban adalah hubungan legal


antara dua pihak atau lebih. Kewajiban ini dapat timbul dari berbagai macam
situasi. Pada ranah keperawatan sendiri, kewajiban timbul akibat adanya
hubungan kontrak antara pasien dan fasilitas perawatan kesehatan. Dimana

pasien sepakat untuk membayar layanan perawatan kesehatan, sedangkan


perawat wajib memberikan perawatan pada pasien sebagaimana mestinya.
Seorang perawat perawatan kritis bertanggung jawab secara legal dalam
merawat pasien dalam kondisi apapun. Jika perawat tersebut gagal
memberikan perawatan sebagaimana mestinya sesuai dengan kondisi pasien,
perawat tersebut dianggap melakukan pelanggaran pada kewajibannya.
Menurut Urden (2010), jika seorang perawat gagal memperhatikan setiap
bagian dari proses keperawatan yang terdiri

dari pengkajian, diagnosa,

intervensi, implementasi dan evaluasi maka perawat tersebut dapat dianggap


tidak kompeten dan melakukan suatu kelalaian.
Dibawah ini merupakan beberapa contoh kasus kelalaian yang dilakukan
oleh seorang perawat kritis :
1) Assessment Failure
Adapun yang termasuk dalam assessment failure adalah kegagalan dalam
mengkaji maupun menganalisis data ataupun informasi mengenai pasien
seperti tanda-tanda vital, pemeriksaan laboratorium, maupun keluhan
utama pasien.
Contoh Kasus :
Seorang pasien yang dirawat di ICU dan baru saja dilakukan pemasangan
chest tube pada shift malam. Pada saat itu perawat lalai dalam melakukan
monitoring pasien dari pukul 23.00 sampai pukul 03.00, ketika dilakukan
pengecekan kembali pada pukul 03.00 didapatkan keadaan pasien
memburuk, pasien mengalami penurunan kesadaran, oksimetri buruk, dan
tanda-tanda vital dalam keadaan jelek. Kemudian klien mengalami henti
nafas dan henti jantung, dan kemudian segera dilakukan resusitasi pada
pasien. Namun, ternyata pasien tetap tidak terselamatkan
2) Planning Failure
Adapun yang termasuk dalam planning failure adalah kegagalan dalam
menentukan perencanaan keperawatan yang yang berkaitan juga
kegagalan dalam menentukan diagnosa yang tepat.

3) Implementation Failure
Termasuk di dalamnya adalah kegagalan untuk berkomunikasi dengan
pihak lain yang terkait terkait kondisi pasien, kegagalan dalam melakukan
tindakan yang tepat terhadap pasien, kegagalan dalam melakukan
pendokumentaian terhadap hasil-hasil pengkajian, intervensi, maupun
respon pasien terhadap intervensi yang diberikan, serta kegagalan untuk
menjaga privasi pasien.
Contoh kasus :
Kegagalan dalam Melakukan Tindakan yang Tepat :
Seorang wanita mengalami kejang di rumahnya, kemudian oleh suaminya
segera di bawa ke rumah sakit. Sesampainya di UGD pasien diberikan
penanganan pertama seperti memberikan obat anti kejang dan
memastikan jalan nafas bersih, kemudian sang perawat meninggalkan
pasien tanpa memasang side rail. Tiba-tiba pasien mengalami kejang
berulang, suaminya berusaha untuk menolong dengan memeganginya,
namun pasien tetap terjatuh dari tempat tidur yang mengakibatkan fraktur
pada tulang bagian wajahnya.
4) Evaluation Failure
Adapun yang termasuk dalam evaluation failure mencakup kegagalan
dalam melaksanakan fungsi dan peran perawat sebagai advokat. Saat
pasien masuk dan dirawat hingga pasien pulang, perawat memiliki peran
sebagai

seorang

advokat.

Perawat

bertanggung

jawab

untuk

mengevaluasi perawatan yang diberikan kepada pasien.


b. Pelanggaran Kewajiban (Breach of Duty)

Pelanggaran kewajiban merupakan kegagalan untuk bertindak secara


konsisten sesuai standar perawatan (Urden, 2010). Menurut Morton dan
Fontaine (2009), kelalaian terbukti benar atau salah dengan membandingkan
perilaku perawat dengan standar perawatan. Pada umumnya, kelalaian dapat
berupa kelalaian biasa atau kelalaian berat. Kelalaian biasa menunjukkan
kecerobohan profesional, sedangkan kelalaian berat menunjukkan bahwa
10

perawat tersebut secara sengaja dan sadar mengabaikan resiko bahaya yang
telah diketahui pasien.

c. Penyebab (Cause)

Menurut

Morton

dan

Fontaine

(2012),

hukum

malpraktik

juga

mencantumkan keharusan adanya hubungan kausal antara perilaku perawat


perawatan kritis dan cedera yang terjadi pada pasien. Cedera yang diderita
pasien tersebut semestinya harus dapat dicegah.
d. Cedera (Damage)

Elemen keempat dalam kelalaian adalah cedera. Cedera adalah luka atau
sesuatu yang membahayakan yang didapatkan pasien kritis saat menjalani
perawatan dan biasannya cedera yang didapatkan ini, dihitung sebagai
kerugian material. Pasien harus membuktikan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh perawat tidak sesuai dengan standar perawatan sehingga
menimbulkan luka atau bahaya pada pasien. Oleh karena itu, pasien berhak
menerima kompensasi yang sesuai.
2. Malpraktek

Menurut Guwandi (2004) malpraktik mempunyai arti lebih luas dibandingkan


dengan kelalaian, karena dalam melpraktik selain tindakan yang termasuk
dalam kelalaian juga ada tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori
kesengajaan dan melanggar undang-undang. Malpraktik yang dilakukan
dengan sengaja merupakan bentuk malpraktik murni yang termasuk dalam
criminal malpractice.
Guwandi (2004) juga mengemukakan perbedaan antara malpraktik dan
kelalaian dapat dilihat dari motif atau tujuan dilakukannya perbuatan tersebut,
yaitu :
a. Pada malpraktik (dalam arti sempit) tindakan yang dilakukannya secara
sadar, dengan tujuan yang sudah mengarah kepada akibat yang ditimbulkan

11

atau petindak tidak peduli kepada akibat dari tindakannya yang telah
diketahuinya melanggar undang-undang.
b. Pada kelalaian - petindak tidak menduga terhadap timbulnya akibat dari
tindakannya. Akibat yang terjadi adalah diluar kehendak dari petindak dan
tidak ada motif dari petindak untuk menimbulkan akibat tersebut.
Secara garis besar, tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik medik
dapat didakwakan pasal-pasal tertentu dalam KUH Pidana yang relevan
dengan unsur tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian tindakan
malpraktik tenaga kesehatan dapat dikenakan selain sanksi adminstratif
seperti pencabutan izin dan sanksi perdata, dapat pula dikenakan sanksi
pidana. Namun, ketika perawat digugat untuk suatu kelalaian dikarenakan
dianggap

mencederai

pasien

pada

saat

melaksanakan

tugasnya,

penggugat/pasien tidak bisa dengan serta merta meminta ganti rugi terkait
injury tersebut terkecuali jika perawat memang mengakui bahwa ia
melakukan malpraktik yang menyebabkan pasien cedera.
Menurut Ashley (2003), elemen-elemen dari kelalaian harus dibuktikan
oleh penggugat/pasien. Dengan kata lain, penggugat memiliki kewajiban
untuk membuktikan bahawa pernyataannya adalah benar. Adapun elemenelemen yang harus dibuktikan oleh penggugat/pasien yaitu :
1. Penggugat harus menunjukkan bahwa perawat memiliki kewajiban
terhadap penggugat
2. Jika penggugat mampu menunjukkan kewajiban dari perawat tersebut,
penggugat harus mampu menggambarkan standar perawatan
3. Jika penggugat mampu menggambarkan standar perawatan, penggugat
harus mampu menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran dari standar
perawatan tersebut
4. Meskipun pelanggaran mampu ditunjukkanm penggugat harus mampu
membuktikan bahwa pelanggaran ini menyebabkan cedera pada penggugat

12

5. Ketika penggugat membuktikan bahwa pelanggaran menyebabkan cedera,


penggugat harus mampu membuktikan bahwa timbul berbagai macam
kerugian dikarenakan pelanggaran dari kewajiban tersebut.

BAB III
TINJAUAN KASUS ASPEK DAN LEGAL DALAM KEPERAWATAN
KRITIS
1. Kasus pertama

Pasien Tn. M, umur 60 tahun dengan diagnose dokter suspek syok


kardiogenik, dirawat di ICU RSUD PB baru beberapa jam, kesadaran
koma,

terpasang

ventilator,

obat-obatan

sudah

maksimal

untuk

mempertahankan fungsi jantung dan organ vital lainnya. Urine tidak


keluar sejak pasien masuk ICU. Keluarga menginginkan dicabut semua
alat bantu yang ada pada pasien. Penjelasan sudah diberikan kepada
keluarga, dokter meminta kesempatan kepada keluarga untuk mencoba
menyelamatkan nyawa pasien, tetapi keluarga tetap pada pendiriannya.
Keluarga menandatangani surat penolakan untuk diteruskannya perawatan
di icu dan surat penolakan dilakukannya tindakan. Akhirnya ventilator
dimatikan oleh anak pasien dan semua alat dicabut dari pasien dengan
disaksikan oleh keluarga, dokter dan perawat ICU dan pasien meninggal
dunia.
2. Kasus 2

Perawat Neny bertugas di bagian Intensive Care Unit (ICU). Saat ini sedang
merawat seorang nenek berusia 80 tahun dengan gagal jantung dan kondisinya
sangat kritis dan harus dipasang ventilator. Klien berasal dari keluarga miskin dan
tidak mempunyai dana untuk kelangsungan perawatan di ICU, klien tidak
13

mempunyai keluarga dan tidak dapat di lakukan perawatan lanjutan di rumah


(nursing home). Tiba-tiba datang instruksi dari pimpinan rumah sakit bahwa nenek
tersebut harus segera keluar dari ICU dan dipindahkan ke bangsal perawatan
umum karena tempatnya akan digunakan oleh pejabat yang mengalami coma
diabetikum dan memerlukan perawatan di ICU.

Analisa Kasus
a. Justice : Setiap pasien pada dasarnya memiliki hak yang sama, namun pada
kenyataannya justru pasien yang mampu lebih diprioritaskan dibanding yang
tidak mampu. Misalnya saja seperti kasus nenek yang tidak mampu dengan
seorang pejabat. Padahal keduanya mempunyai penyakit yang sama sama
parah. Namun pihak rumah sakit justru lebih memprioritaskan pejabat yang
dinilai martabatnya lebih tinggi dikarenakan martabat yang notabene
mempunyai hak untuk menjatuhkan institusi tersebut.
b. Autonomy : Pasien yang tidak mampu harus kehilangan kebebasannya dalam
memilih pengobatan yang terbaik untuk kesembuhannya justru haknya sebagai
pasien dihilangkan begitu saja dikarenakan terbatasnya materi yang pasien
miliki. Padahal pasien dapat memanfaatkan kebebasannya tersebut untuk
kebaikan dirinya. Namun apadaya nenek tersebut tidak mempunyai keluarga
dan dana yang mencukupi sehingga harus mematuhi prosedur dari rumah sakit
tersebut
c. Beneficience-Non malefecience : Pelayanan di rumah sakit tidak hanya dituntut
secara intelektual melainkan softskill perlu dimiliki setiap tenaga medis dalam
memberikan pelayanan kepada klien atau pasien sesuai dengan standar.
d. Veracity : Dalam nilai ini, perawat menyampaikan instruksi dengan benar dari
pimpinan rumah sakit untuk memindahkan nenek ke bangsal umum. Perawat

14

menyampaikan dengan jujur kepada nenek apa yang harus dilakukannya untuk
mematuhi aturan dari instansi.

BAB IV
PENUTUP
.1 Kesimpulan

Berbagai permasalahan etik dapat terjadi dalam tatanan klinis


yang melibatkan interaksi antara klien dan perawat.
Permasalahan
bisa
menyangkut
penentuan
antara
mempertahankan hidup dengan kebebasan dalam menentukan
kematian, upaya menjaga keselamatan klien yang bertentangan
dengan kebebasan menentukan nasibnya, dan penerapan terapi
yang tidak ilmiah dalam mengatasi permasalah klien. Dalam
membuat keputusan terhadap masalah etik, perawat dituntut
dapat mengambil keputusan yang menguntungkan pasien dan
diri perawat dan tidak bertentang dengan nilai-nilai yang diyakini
klien. Pengambilan keputusan yang tepat diharapkan tidak ada
pihak yang dirugikan sehingga semua merasa nyaman dan mutu
asuhan keperawatan dapat dipertahankan.
.2 Saran
Perawat sebagai profesi baik perorangan dan kelompok hendaknya memahami
dan mentaati aturan perundang-undangan yang telah diberlakukan di Indonesia,
agar perawat dapat terhindar dari bentuk pelanggaran baik etik dan hukum.
Pemahaman dan bekerja dengan kehati-hatian, kecermatan, menghindarkan
bekerja dengan cerobah, adalah cara terbaik dalam melakukan praktek
keperawatan sehingga dapat terhindar dari kelalaian/malpraktek.

15

DAFTAR PUSTAKA
Ashley, Ruth C. (2003). Understanding Negligence. The Journal for high acuty,
progressive, and critical care nursing Vol.23 pp : 72-73.
Bertens, K (2000). Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Guwandi. (2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Hyde, Elizabeth, Maria. (2006). The Knowledge of Critical Care Nurses Regarding
Legal Liabilty Issues. Disertation. Department of Nursing Science University of
Pretoria diakses melalui http://upetd.up.ac.za/thesis/available/etd-10152007
123802/unrestricted/dissertation.pdf pada tanggal 31 Mei 2016.
Morton, Fontaine. (2009). Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Lippincot
Williams & Wilkins.
Potter dan Perry. (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, Dan Praktik
Ed.4. Jakarta : EGC.
Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Urden et al. (2010). Critical Care Nursing : Diagnosis and Management. St.Louis :
Mosby.

16

Anda mungkin juga menyukai