PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
1. Etika
Etika Berasal dari kata ethos. Dalam bentuk tunggal yang berarti kebiasaan,
adat-istiadat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Dalam bentuk
jamak (ta etha), berarti adat kebiasaan. Jadi etika dapat diartikan sebagai ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan
(Bertens, 2000).
Etika berhubungan dengan bagaimana seseorang harus bertindak dan
bagaimana mereka melakukan hubungan dengan orang lain (Potter dan
Perry, 2005).
2. Etika Keperawatan
Menurut Cooper (1991) dalam Potter dan Perry 2005), etika keperawatan
dihubungkan dengan hubungan antar perawat terhadap orang lain.
3. Kode Etik Keperawatan
Kode etik keperawatan di Indonesia telah disusun oleh Dewan Pimpinan Pusat
Perstuan Perawat Nasional Indonesia melalui Musyawarah Nasional PPNI di
Jakarta pada tanggal 29 November 1989. Kode etik keperawatan Indonesia
tersebut terdiri dari 4 bab dan 16 pasal. Bab 1, terdiri dari 4 pasal, menjelaskan
tentang tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga, dan masyarakat.
Bab 2 terdiri dari 5 pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap
tugasnya. Bab 3, terdiri dari 2 pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab
perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain. Bab 4, terdiri dari 4
3
1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu
mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan
sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki
kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai
keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain.
Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap
seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak
memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan
hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut
pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi
saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat
keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik.
Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau
kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang,
dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara
prinsip ini dengan otonomi.
3. Keadilan (Justice)
demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan
tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi. Pada pasien yang sudah tidak sadar,
keluarga yang sudah tidak tega melihat orang sakit penuh penderitaan menjelang
ajalnya minta kepada dokter untuk tiadak meneruskan pengobatan, bahkan ada
pula yang minta diberikan obat untuk mempercepat kematian. Dari sinilah
euthanasia muncul. Eutanasia yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas
dari penderitaan, atau mati secara baik.
Masalah ini makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena
semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat
terutama setelah ditemukannya tindakan di dalam dunia pengobatan dengan
mempergunakan teknologi canggih dalam mengatasi keadaan gawat dam
mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus di pusat pelayanan kesehatan
terutama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan intensif yang
pada masa lalu sudah merupakan kasus yang tidak dapat dibantu lagi. Namun
pada kasus-kasus tertentu tetap saja muncul persoalan dasar kembali, yaitu
dilema meneruskan atau tidak tindakan medis yang memperpanjang kehidupan.
2.8 Permasalahan Etika Dalam Keperawatan Kritis
1. Kelalaian Keperawatan Dalam Keperawatan Kritis
3) Implementation Failure
Termasuk di dalamnya adalah kegagalan untuk berkomunikasi dengan
pihak lain yang terkait terkait kondisi pasien, kegagalan dalam melakukan
tindakan yang tepat terhadap pasien, kegagalan dalam melakukan
pendokumentaian terhadap hasil-hasil pengkajian, intervensi, maupun
respon pasien terhadap intervensi yang diberikan, serta kegagalan untuk
menjaga privasi pasien.
Contoh kasus :
Kegagalan dalam Melakukan Tindakan yang Tepat :
Seorang wanita mengalami kejang di rumahnya, kemudian oleh suaminya
segera di bawa ke rumah sakit. Sesampainya di UGD pasien diberikan
penanganan pertama seperti memberikan obat anti kejang dan
memastikan jalan nafas bersih, kemudian sang perawat meninggalkan
pasien tanpa memasang side rail. Tiba-tiba pasien mengalami kejang
berulang, suaminya berusaha untuk menolong dengan memeganginya,
namun pasien tetap terjatuh dari tempat tidur yang mengakibatkan fraktur
pada tulang bagian wajahnya.
4) Evaluation Failure
Adapun yang termasuk dalam evaluation failure mencakup kegagalan
dalam melaksanakan fungsi dan peran perawat sebagai advokat. Saat
pasien masuk dan dirawat hingga pasien pulang, perawat memiliki peran
sebagai
seorang
advokat.
Perawat
bertanggung
jawab
untuk
perawat tersebut secara sengaja dan sadar mengabaikan resiko bahaya yang
telah diketahui pasien.
c. Penyebab (Cause)
Menurut
Morton
dan
Fontaine
(2012),
hukum
malpraktik
juga
Elemen keempat dalam kelalaian adalah cedera. Cedera adalah luka atau
sesuatu yang membahayakan yang didapatkan pasien kritis saat menjalani
perawatan dan biasannya cedera yang didapatkan ini, dihitung sebagai
kerugian material. Pasien harus membuktikan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh perawat tidak sesuai dengan standar perawatan sehingga
menimbulkan luka atau bahaya pada pasien. Oleh karena itu, pasien berhak
menerima kompensasi yang sesuai.
2. Malpraktek
11
atau petindak tidak peduli kepada akibat dari tindakannya yang telah
diketahuinya melanggar undang-undang.
b. Pada kelalaian - petindak tidak menduga terhadap timbulnya akibat dari
tindakannya. Akibat yang terjadi adalah diluar kehendak dari petindak dan
tidak ada motif dari petindak untuk menimbulkan akibat tersebut.
Secara garis besar, tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik medik
dapat didakwakan pasal-pasal tertentu dalam KUH Pidana yang relevan
dengan unsur tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian tindakan
malpraktik tenaga kesehatan dapat dikenakan selain sanksi adminstratif
seperti pencabutan izin dan sanksi perdata, dapat pula dikenakan sanksi
pidana. Namun, ketika perawat digugat untuk suatu kelalaian dikarenakan
dianggap
mencederai
pasien
pada
saat
melaksanakan
tugasnya,
penggugat/pasien tidak bisa dengan serta merta meminta ganti rugi terkait
injury tersebut terkecuali jika perawat memang mengakui bahwa ia
melakukan malpraktik yang menyebabkan pasien cedera.
Menurut Ashley (2003), elemen-elemen dari kelalaian harus dibuktikan
oleh penggugat/pasien. Dengan kata lain, penggugat memiliki kewajiban
untuk membuktikan bahawa pernyataannya adalah benar. Adapun elemenelemen yang harus dibuktikan oleh penggugat/pasien yaitu :
1. Penggugat harus menunjukkan bahwa perawat memiliki kewajiban
terhadap penggugat
2. Jika penggugat mampu menunjukkan kewajiban dari perawat tersebut,
penggugat harus mampu menggambarkan standar perawatan
3. Jika penggugat mampu menggambarkan standar perawatan, penggugat
harus mampu menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran dari standar
perawatan tersebut
4. Meskipun pelanggaran mampu ditunjukkanm penggugat harus mampu
membuktikan bahwa pelanggaran ini menyebabkan cedera pada penggugat
12
BAB III
TINJAUAN KASUS ASPEK DAN LEGAL DALAM KEPERAWATAN
KRITIS
1. Kasus pertama
terpasang
ventilator,
obat-obatan
sudah
maksimal
untuk
Perawat Neny bertugas di bagian Intensive Care Unit (ICU). Saat ini sedang
merawat seorang nenek berusia 80 tahun dengan gagal jantung dan kondisinya
sangat kritis dan harus dipasang ventilator. Klien berasal dari keluarga miskin dan
tidak mempunyai dana untuk kelangsungan perawatan di ICU, klien tidak
13
Analisa Kasus
a. Justice : Setiap pasien pada dasarnya memiliki hak yang sama, namun pada
kenyataannya justru pasien yang mampu lebih diprioritaskan dibanding yang
tidak mampu. Misalnya saja seperti kasus nenek yang tidak mampu dengan
seorang pejabat. Padahal keduanya mempunyai penyakit yang sama sama
parah. Namun pihak rumah sakit justru lebih memprioritaskan pejabat yang
dinilai martabatnya lebih tinggi dikarenakan martabat yang notabene
mempunyai hak untuk menjatuhkan institusi tersebut.
b. Autonomy : Pasien yang tidak mampu harus kehilangan kebebasannya dalam
memilih pengobatan yang terbaik untuk kesembuhannya justru haknya sebagai
pasien dihilangkan begitu saja dikarenakan terbatasnya materi yang pasien
miliki. Padahal pasien dapat memanfaatkan kebebasannya tersebut untuk
kebaikan dirinya. Namun apadaya nenek tersebut tidak mempunyai keluarga
dan dana yang mencukupi sehingga harus mematuhi prosedur dari rumah sakit
tersebut
c. Beneficience-Non malefecience : Pelayanan di rumah sakit tidak hanya dituntut
secara intelektual melainkan softskill perlu dimiliki setiap tenaga medis dalam
memberikan pelayanan kepada klien atau pasien sesuai dengan standar.
d. Veracity : Dalam nilai ini, perawat menyampaikan instruksi dengan benar dari
pimpinan rumah sakit untuk memindahkan nenek ke bangsal umum. Perawat
14
menyampaikan dengan jujur kepada nenek apa yang harus dilakukannya untuk
mematuhi aturan dari instansi.
BAB IV
PENUTUP
.1 Kesimpulan
15
DAFTAR PUSTAKA
Ashley, Ruth C. (2003). Understanding Negligence. The Journal for high acuty,
progressive, and critical care nursing Vol.23 pp : 72-73.
Bertens, K (2000). Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Guwandi. (2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Hyde, Elizabeth, Maria. (2006). The Knowledge of Critical Care Nurses Regarding
Legal Liabilty Issues. Disertation. Department of Nursing Science University of
Pretoria diakses melalui http://upetd.up.ac.za/thesis/available/etd-10152007
123802/unrestricted/dissertation.pdf pada tanggal 31 Mei 2016.
Morton, Fontaine. (2009). Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Lippincot
Williams & Wilkins.
Potter dan Perry. (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, Dan Praktik
Ed.4. Jakarta : EGC.
Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Urden et al. (2010). Critical Care Nursing : Diagnosis and Management. St.Louis :
Mosby.
16