Anda di halaman 1dari 3

Indonesia, Riwayat Sebuah Nama

April 21, 2016 / 7:15


Hari itu Jumat kedua di bulan Ramadhan, Agustus 1945. Pagi-pagi sekali, kota Jakarta baru
terbangun. Hawa dingin dari angin semilir tak sanggup mencegah puluhan orang bergegas
menuju satu tempat, halaman rumah Soekarno.
Suara bariton yang khas milik Soekarno terdengar lewat sebuah pengeras suara yang tak terlalu
besar. Kali ini dengan nada yang dingin dan datar saja, ia membacakan naskah proklamasi yang
telah disiapkan olehnya bersama Hatta dan Ahmad Soebardjo, beberapa jam sebelumnya.
Kami, bangsa Indonesia, Soekarno menyebutnya tegas dan utuh, seperti bangsa Indonesia
yang ia sebut ini sudah ada dan sudah jadi wujudnya. Soekarno, Hatta, dan orang-orang yang
hadir saat itu mungkin sepenuhnya sadar, bangsa yang tengah mereka proklamasikan adalah
sebuah bangsa yang baru, bangsa yang sebelumnya tak ada.
Bangsa yang baru itu diberi nama Indonesia, bukan berdasar ramalan leluhur, atau wahyu dari
Tuhan, tapi nama yang dipungut dari sejarah. Indonesia dipilih dari banyak nama lainnya yang
pernah digunakan bangsa-bangsa lain untuk menyebut kawasan kepulauan ini, atau menyebut
penduduk yang menghuninya.
Cerita dari teks kuno Tiongkok menamai kawasan ini Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan).
Sedangkan catatan dari India menyebutnya Dwipantara. Bangsa Arab menyebutnya Jazair alJawi (Kepulauan Jawi). Hingga saat ini jamaah haji Indonesia masih sering dipanggil Orang
Jawa saat di tanah suci, sekalipun ia berasal dari luar Jawa.
Setelah Ferdinand Magellan berhasil mengelilingi bumi, orang Eropa menganggap bahwa Asia
hanya berisi orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, bentang luas di antara Persia
dan Tiongkok semuanya adalah India. Asia Selatan disebut India Muka dan Asia Tenggara
dinamai India Belakang. Sehingga belakangan kepulauan ini disebut Indian Archipelago
(Kepulauan Hindia), East-Indies (Hindia Timur), atau Nederlands-Indies (India-nya Belanda),
untuk membedakannya dengan British-India (India-nya Inggris). Berbagai nama ini digunakan
secara bergantian.
Nama Indonesia ditemukan oleh George Earl, pelancong Inggris yang bermukim di Singapura.
Dalam tulisannya di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia yang terbit tahun 1850,
Earl menulis bahwa nama Hindia atau Indie tidak tepat dan sering rancu dengan India yang satu
lagi. Earl mengusulkan dua pilihan, Indunesia (kepulauan Hindia) atau Malayunesia (kepulauan
Melayu). Penduduk kepulauan Hindia atau kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi

orang Indunesia atau orang Malayunesia, tulisnya. Earl akhirnya memilih nama Malayunesia
daripada Indunesia.
Menulis di jurnal yang sama, James Logan, juga orang Inggris, setuju dengan Earl tentang
perlunya nama baru buat kepulauan ini, sebab istilah Indian Archipelago terlalu panjang dan
membingungkan. Namun ia mengambil kesimpulan berbeda. Tuan Earl menyarankan istilah
etnografi Indunesian, tetapi menolaknya dan mendukung Malayunesian. Saya lebih suka istilah
geografis murni Indonesia, yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk pulau-pulau Hindia
atau kepulauan Hindia (Indian Archipelago), Tulis Logan.
Earl dan Logan mengenalkan nama baru, namun mengawetkan anggapan lama bahwa penduduk
di kepulauan ini adalah Indian, julukan yang sebenarnya salah tempat, namun dipertahankan
karena sudah terlanjur akrab di Eropa. Salah kaprah ini dilanjutkan oleh Sarjana Perancis ET
Hamy, Antropolog Inggris AH Keane, dan Etnografi Jerman Adolf Bastian, yang membuat
Indonesia semakin populer di dunia akademis pada dasawarsa akhir abad ke-19.
Baru pada warsa 1920-an, Indonesia diambil alih dan diberi makna politik, sebagai identitas
bagi sebuah bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1922 atas inisiatif Hatta,
mahasiswa Handels Hoogeschool di Rotterdam, organisasi Indische Vereeniging yang berdiri
sejak 1908, berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia.
Majalah terbitan mereka Hindia Putra berganti nama menjadi Indonesia Medeka.
Tan Malaka dalam brosurnya Naar de Republiek Indonesia yang terbit di Bangkok, 20 tahun
sebelum Soekarno membacakan proklamasi, pun berulang kali menulis Indonesia.
Dalam artikel Over de naam Indonesia di koran De Socialist tahun 1928, Hatta menulis Bagi
kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan
dan mencita-citakan suatu tanah air yang merdeka di masa depan, dan untuk mewujudkannya
tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.
Di Surabaya, Dr. Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga
Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Indonesia akhirnya dinyatakan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa persatuan pada
Kerapatan Besar Pemoeda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang belakangan dirayakan
dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Entah tak sadar dengan kesalahan Earl dan Logan, yang mengenalkan Indonesia sebagai
kependekan dari Kepulauan India, atau karena neologisme berbau Yunani-Romawi ini
memiliki makna yang nonjok, segar dan mewakili kebaruan, sehingga Hatta, Tan Malaka,
Soekarno dll. sepakat memilihnya. Bahkan kelak Kartosoewirjo tak bisa mengelak dari nama ini
saat memproklamirkan Negara Islam Indonesia.

Bagi mereka mungkin tak lagi penting asalnya, karena Indonesia jelas mewakili penolakan
terhadap kawin-mawinnya kolonialisme asing dengan feodalisme lokal, yang selama ratusan
tahun menyengsarakan rakyat. Nusantara, Dwipantara, Insulinde mewakili masa lalu, tapi
Indonesia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air yang merdeka di masa depan,
seperti dalam ungkapan Hatta di atas. Karenanya, generasi merekalah yang pertama kali yang
membayangkan diri sebagai orang Indonesia.
Mereka membayangkan manusia Indonesia sebagai Manusia yang berdiri tegak, tidak bongkok
dan tidak menginjak, terbuka, dinamis, inklusif, bernyali, dan berperikemanusiaan. Begitu
kesimpulan Ben Anderson, seorang Indonesianis dari Cornell dalam satu tulisannya tentang
Soekarno. Manusia macam ini, bukan makhluk yang tumbuh dengan sendirinya, tetapi harus
digemblengkan, saban hari pun, oleh dia sendiri dan sesamanya. lanjut Ben.
Kini, semoga keindonesiaan macam itu juga yang sedang digembleng dan dirawat oleh bangsa
Indonesia: oleh pejabat negara, oleh pegiat LSM, oleh pemilik modal, termasuk oleh para buzzer
politisi yang setiap hari berdebat di media sosial.
Danial Iskandar Yusuf

Anda mungkin juga menyukai