orang Indunesia atau orang Malayunesia, tulisnya. Earl akhirnya memilih nama Malayunesia
daripada Indunesia.
Menulis di jurnal yang sama, James Logan, juga orang Inggris, setuju dengan Earl tentang
perlunya nama baru buat kepulauan ini, sebab istilah Indian Archipelago terlalu panjang dan
membingungkan. Namun ia mengambil kesimpulan berbeda. Tuan Earl menyarankan istilah
etnografi Indunesian, tetapi menolaknya dan mendukung Malayunesian. Saya lebih suka istilah
geografis murni Indonesia, yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk pulau-pulau Hindia
atau kepulauan Hindia (Indian Archipelago), Tulis Logan.
Earl dan Logan mengenalkan nama baru, namun mengawetkan anggapan lama bahwa penduduk
di kepulauan ini adalah Indian, julukan yang sebenarnya salah tempat, namun dipertahankan
karena sudah terlanjur akrab di Eropa. Salah kaprah ini dilanjutkan oleh Sarjana Perancis ET
Hamy, Antropolog Inggris AH Keane, dan Etnografi Jerman Adolf Bastian, yang membuat
Indonesia semakin populer di dunia akademis pada dasawarsa akhir abad ke-19.
Baru pada warsa 1920-an, Indonesia diambil alih dan diberi makna politik, sebagai identitas
bagi sebuah bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1922 atas inisiatif Hatta,
mahasiswa Handels Hoogeschool di Rotterdam, organisasi Indische Vereeniging yang berdiri
sejak 1908, berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia.
Majalah terbitan mereka Hindia Putra berganti nama menjadi Indonesia Medeka.
Tan Malaka dalam brosurnya Naar de Republiek Indonesia yang terbit di Bangkok, 20 tahun
sebelum Soekarno membacakan proklamasi, pun berulang kali menulis Indonesia.
Dalam artikel Over de naam Indonesia di koran De Socialist tahun 1928, Hatta menulis Bagi
kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan
dan mencita-citakan suatu tanah air yang merdeka di masa depan, dan untuk mewujudkannya
tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.
Di Surabaya, Dr. Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga
Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Indonesia akhirnya dinyatakan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa persatuan pada
Kerapatan Besar Pemoeda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang belakangan dirayakan
dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Entah tak sadar dengan kesalahan Earl dan Logan, yang mengenalkan Indonesia sebagai
kependekan dari Kepulauan India, atau karena neologisme berbau Yunani-Romawi ini
memiliki makna yang nonjok, segar dan mewakili kebaruan, sehingga Hatta, Tan Malaka,
Soekarno dll. sepakat memilihnya. Bahkan kelak Kartosoewirjo tak bisa mengelak dari nama ini
saat memproklamirkan Negara Islam Indonesia.
Bagi mereka mungkin tak lagi penting asalnya, karena Indonesia jelas mewakili penolakan
terhadap kawin-mawinnya kolonialisme asing dengan feodalisme lokal, yang selama ratusan
tahun menyengsarakan rakyat. Nusantara, Dwipantara, Insulinde mewakili masa lalu, tapi
Indonesia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air yang merdeka di masa depan,
seperti dalam ungkapan Hatta di atas. Karenanya, generasi merekalah yang pertama kali yang
membayangkan diri sebagai orang Indonesia.
Mereka membayangkan manusia Indonesia sebagai Manusia yang berdiri tegak, tidak bongkok
dan tidak menginjak, terbuka, dinamis, inklusif, bernyali, dan berperikemanusiaan. Begitu
kesimpulan Ben Anderson, seorang Indonesianis dari Cornell dalam satu tulisannya tentang
Soekarno. Manusia macam ini, bukan makhluk yang tumbuh dengan sendirinya, tetapi harus
digemblengkan, saban hari pun, oleh dia sendiri dan sesamanya. lanjut Ben.
Kini, semoga keindonesiaan macam itu juga yang sedang digembleng dan dirawat oleh bangsa
Indonesia: oleh pejabat negara, oleh pegiat LSM, oleh pemilik modal, termasuk oleh para buzzer
politisi yang setiap hari berdebat di media sosial.
Danial Iskandar Yusuf