Anda di halaman 1dari 21

PORTOFOLIO 1

ANGIOEDEMA

Disusun sebagai syarat kelengkapan program dokter internship oleh :


dr. Tiara Dwi Pratiwi

Pendamping :
dr. Endayani T , MPH

RSUD Padang Panjang


2016

BERITA ACARA PRESENTASI PORTFOLIO

Pada hari ini tanggal 17 Maret 2016, telah dipresentasikan portfolio oleh :
Nama peserta

: dr. Tiara Dwi Pratiwi

Dengan judul/topik

: Angioedema

Nama pendamping

: dr. Endayani, MPH

Nama wahana

: RSUD Padang Panjang, Kota Padang Panjang

No

Nama Peserta Presentasi

No

Tanda Tangan

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

Portofolio

dr. Endayani, MPH )

Nama Peserta

: dr. Tiara Dwi Pratiwi

Nama Wahana

: RSUD Padang Panjang

Topik

: Kasus Medik

Tanggal (kasus)

: 28 Februari 2016

Nama

: Tn. S

Tanggal Presentasi

: 17 Maret 2016

Nama Pendamping

: dr. Endayani T, MPH

Tempat Presentasi

: Ruang Konfrensi RSUD Padang Panjang

Objektif Presentasi

: Keilmuan

Bahan Bahasan

: Kasus

Cara Membahas

: Presentasi dan diskusi

ANGIOEDEMA

A. DEFINISI
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan submukosa. Hal ini pertama kali
diungkapkan pada tahun 1586. Istilah lainnya seperti giant urticaria, Quincke edema, dan
angioneurotic edema telah digunakan sejak dulu untuk menggambarkan kondisi seperti ini.
Angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Faktanya,
sebanyak 50% pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema. Pada
banyak kasus, angioedema sangat mirip dengan urtikaria berdasarkan
etiologi dan strategi penatalaksanaannya.
Urtikaria timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik
dan menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Histamin
yang

dilepaskan

menyebabkan

setempat

timbulnya

red

akan
flare

menimbulkan
(kemerahan)

vasodilatasi
dan

yang

peningkatan

permeabilitas kapiler setempat sehingga dalam beberapa menit kemudian


akan terjadi pembengkakan setempat yang berbatas jelas.
Di sisi lain, angioedema cukup berbeda dengan urtikaria. Angioedema
selalu melibatkan lapisan dermis yang lebih dalam atau jaringan
submukosa atau subkutaneus, sementara urtikaria melibatkan lapisan
dermis yang lebih superficial.

B. ETIOPATOGENESIS
Pembengkakan yang terjadi pada angioedema merupakan hasil dari
peningkatan permeabilitas vaskuler lokal pada jaringan submukosa dan
subkutaneus.
Angioedema dapat diklasifikasikan menjadi allergic angioedema,
pseudoallergic angioedema, non-allergic angioedema dan idiopathic
angioedema.

a. Allergic angioedema
Berdasarkan studi yang dilakukan, angioedema paling sering
disebabkan oleh alergi. Sekitar 48 orang pasien dengan allergic
angioedema, sebanyak 41.7% kasus disebabkan oleh makanan,
39.6% oleh obat-obatan, 8.3% oleh binatang, dan sekitar 10.4%
dipengaruhi

oleh

aeroalergen.

Makanan

yang

paling

sering

mencetuskan angioedema adalah makanan laut (70%). Sedangkan


obat-obatan yang diduga menjadi penyebab angioedema adalah
antibiotik (12 dari 19 kasus; 63.2%), paling sering amoxisilin (3 dari
12 kasus; 25%).
Allergic angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria.
Angioedema biasanya akan mucul dalam waktu 30 menit sampai 2
jam setelah terpajan alergen (seperti makanan, obat-obatan, dan
bahan latex). Brown melaporkan sebanyak 142 pasien dengan
anafilaksis yang dirawat di IRD, didapatkan angioedema pada sekitar
40% kasus.
Mast cell merupakan sel efektor utama terjadinya urtikaria dan
angioedema,

meskipun

sel-sel

lainnya

juga

tidak

diragukan

kontribusinya.
Alergen makanan yang masuk akan mengakibatkan terjadinya
cross-linking IgE yang melekat pada permukaan mast cell atau
basofil.

Akibat

keadaan

tersebut,

terjadi

pelepasan

mediator,

misalnya histamin, leukotrien, dan prostaglandin, yang selanjutnya


akan mengakibatkan gejala klinis.
Pelepasan

mediator

oleh

mast

cell,

terutama

histamin,

mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular.


b. Pseudoallergic angioedema

Pseudoallergic

angioedema

tidak

dimediasi

oleh

reaksi

hipersensitifitas IgE. Akan tetapi gejala yang ditimbulkan sangat mirip


dengan allergic angioedema. Contohnya angioedema yang diinduksi
oleh penggunaan NSAIDs seperti aspirin.
Angioedema akibat induksi NSAIDs didapatkan pada sekitar 20%
kasus. Obat-obatan yang bertanggung jawab terhadap angioedema
adalah ibuprofen (57%), aspirin (19%), diklofenat (9.5%), asam
mefenamat (4.8%), naproxen (4.8%) dan meloxicam (4.8%).
Angioedema

terjadi

akibat

blokade

jalur

pembentukan

prostaglandin oleh penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan


NSAIDs lainnya. Sehingga terjadi akumulasi leukotrien vasoaktif.
c. Non-allergic angioedema
Non-allergic angioedema merupakan angioedema yang tidak
melibatkan IgE atau histamin dan umumnya tidak berhubungan
dengan terjadinya urtikaria, termasuk diantaranya:
1. Angioedema Herediter (Hereditary Angioedema (HAE))
Angioedema herediter terdiri atas dua subtipe, yaitu:

Angioedema herediter tipe 1 (85%) adalah kelainan yang


diturunkan secara autosomal dominan akibat mutasi pada
gen sehingga terjadi supresi C1-inhibitor sebagai akibat
sekresi abnormal ataupun degradasi intraseluler.

Angioedema herediter tipe 2 (15%) adalah kelainan yang


juga

diturunkan

yang

ditandai

dengan

mutasi

yang

menyebabkan pembentukan protein yang abnormal. Kadar


protein C1-inhibitor bisa normal atau meningkat.
Kurangnya

C1-inhibitor

merangsang

aktivasi

jalur

pembentukan kinin. Kinin merupakan peptida dengan berat

molekul yang rendah, berpartisipasi dalam proses inflamasi


dengan

mengaktivasi

sel

endotel.

Akibatnya

terjadi

vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan mobilisasi


asam arakhidonat. Reaksi radang seperti kemerahan, rasa
panas, edema, dan nyeri merupakan hasil dari pembentukan
kinin.

2. Angioedema yang didapat (Acquired Angioedema (AAE))


Angioedema yang didapat (AAE) juga terdiri atas dua jenis.
AAE-I berkaitan dengan limpoma sel-B atau penyakit jaringan
konektif yang berhubungan dengan penggunaan C1-inhibitor.
Sedangkan AAE-2 merupakan kelainan autoimun, yaitu adanya
produksi autoantibody IgG terhadap C1-inhibitor.
3. Angiotensin-converting

enzyme

(ACE)

inhibitor-induced

angioedema (AIIA)
Frekuensi terjadinya angioedema setelah pemberian terapi ACEinhibitor sekitar 0.1% sampai 0.7%. AIIA biasanya melibatkan
kepala dan leher, termasuk mulut, lidah, faring, dan laring.
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) merupakan enzim utama
yang bertanggung jawab pada degradasi bradikinin. Pemberian
ACE-inhibitor

dikontraindikasikan

pada

pasien

yang

memiliki

riwayat angioedema idiopatik, HAE, dan defisiensi C1-inhibitor


yang didapat. Kebanyakan AIIA muncul pada minggu pertama
setelah pengobatan dimulai, hanya sekitar 30% kasus AIIA muncul
setelah

beberapa

bulan

dimulainya terapi.
d. Idiopathic angioedema

bahkan

beberapa

tahun

setelah

Istilah idiopatik merujuk pada suatu penyakit atau kondisi tanpa


diketahui

penyebabnya.

Berdasarkan

respon

terhadap

terapi,

beberapa kasus mungkin saja dimediasi oleh aktivasi mast cell. Hal
yang menjadi pemicu paling sering adalah panas, dingin, stress
emosional, dan latihan. Aktivasi dan degranulasi mast cell dianggap
menjadi penyebabnya.
Diagnosis

angioedema idiopatik ditegakkan apabila terdapat

angioedema, tidak ditemukan adanya urtikaria dan tidak ada


penyebab eksogen yang ditemukan.

C. EPIDEMIOLOGI
Di

Amerika

Serikat,

angioedema

(tidak

termasuk

angioedema

herediter [HAE] dan angioedema yang didapat [AAE]) terjadi pada 10-20%
populasi pada beberapa waktu dalam kehidupan. Mayoritas angioedema
kronik adalah idiopatik. Diperkirakan prevalensi HAE sebanyak 1 per
10.000-150.000 orang. AAE lebih jarang ditemukan. Sampai tahun 2006,
hanya sekitar 136 kasus yang dilaporkan dalam literatur. Sedangkan
menurut laporan, insidensi AIIA bervariasi dari 0.1% - 6%.
Ras

Afrika-Amerika

lebih

rentan

menderita

angioedema

yang

diinduksi oleh penggunaan ACE-inhibitor. Sementara, angioedema tipe


lainnya tidak memiliki hubungan yang jelas antara ras dengan jumlah dan
derajat keparahan penyakit.
Angioedema

idiopatik

lebih

sering

terjadi

pada

perempuan

dibandingkan pria. Angioedema tipe lainnya tidak menunjukkan adanya


hubungan yang kuat antara insidensi angioedema dengan jenis kelamin.
Pada HAE, estrogen berpengaruh terhadap frekuensi serangan dan

derajat

keparahan

gejala

yang

ditimbulkan.

Berdasarkan

literatur,

estrogen dianggap mampu memperburuk angioedema tipe tertentu.


Angioedema dapat terjadi pada segala tingkatan usia. Orang-orang
dengan predisposisi untuk terjadinya angioedema mengalami peningkatan
frekuensi serangan setelah dewasa dan insidensi puncaknya terjadi pada
dekade ketiga. Reaksi alergi terhadap makanan paling sering pada anakanak. Pasien dengan HAE, onset gejala sering kali terjadi di usia pubertas.
Usia rata-rata pada pasien dengan angioedema karena induksi oleh ACEinhibitor adalah 60 tahun. Angioedema idiopatik paling sering terjadi pada
usia 30-50 tahun dibandingkan grup usia lainnya.

D. DIAGNOSIS
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis, diagnosis
urtikaria

dan

angioedema

mudah

ditegakkan,

namun

beberapa

pemeriksaan diperlukan untuk membuktikan penyebabnya, misalnya:


1. Pemeriksaaan darah, urin rutin, dan feses rutin untuk menilai ada
tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.
2. Pemeriksaan gigi, teling-hidung-tenggorok, serta usapan vagina
perlu untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
4. Tes kulit, meskipun terbatas penggunaannya dapat digunakan
dalam menentukan diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk
(prick test), serta tes intradermal dapat dipergunakan untuk
mencari allergen inhalan, makanan dermatofit dan kandida.
5. Tes

eliminasi

makanan

dengan

cara

menghentikan

semua

makanan yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya


kembali satu demi satu.

6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan,


dapat membantu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa
pelebaran kapiler di papilla dermis, geligi epidermis mendatar, dan
serat kolagen membengkak. Pada tingkat permulaan tidak tampak
infiltrasi selular dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit,
terutama di sekitar pembuluh darah.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat dilakukan pada diagnosis
urtikaria kolinergik.
9. Tes dengan es (ice cube test).
10.

Tes dengan air hangat.

Anamnesis yang komprehensif sangat esensial bagi pasien yang


menderita urtikaria, yang meliputi durasi serangan, frekuensi serangan,
durasi munculnya lesi, penyakit yang disertai, pengobatan sebelumnya,
efek samping yang terjadi, riwayat penyakit keluarga, pekerjaan, dan
dampak penyakit terhadap aktivitas pasien sehari-hari. Pemeriksaan fisis
yang lengkap untuk mencari morfologi dan durasi (dengan memberikan
tanda disekeliling lesi), luka, dan tanda-tanda penyakit sistemik harus
diperhatikan,

walaupun

biasanya

normal.

Biasanya

pasien

diambil

gambarnya saat dilakukan pemeriksaan karena biasanya lesi menghilang


atau berkurang pada kunjungan berikutnya.

E. DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan

gejala

yang

ditimbulkan,

angioedema

didiagnosis

banding dengan beberapa penyakit lainnya, seperti eritema multiforme,


vaskulitis urtikarial, dan dermatitis herpetiformis:
1. Eritema multiforme

Eritema multiforme adalah kelainan pada kulit yang dimediasi oleh


sistem imun, dengan karakteristik target lesion pada tangan dan kaki.
Penyebab yang pasti belum diketahui, namun faktor-faktor penyebab
selain alergi terhadap obat sistemik ialah peradangan oleh bakteri
dan virus tertentu, rangsangan fisik, misalnya sinar matahari, hawa
dingin, faktor endokrin seperti kehamilan dan haid, dan penyakit
keganasan. Gejala khas ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri
atas tiga bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema
yang keungu-unguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat
dan kemudian lingkaran yang merah.
Eritema multiforme paling sering terjadi pada usia dewasa muda
dibandingkan anak-anak. Herpes Simplex Virus (HSV) diduga menjadi
faktor pencetus utama timbulnya penyakit ini. Eritema multiforme
biasanya terjadi pada kulit yang sering terkena paparan sinar
matahari. Mungkin pula ditemukan adanya fenomena Koebner.
Eritema multiforme juga berupa urtika pada mulanya, namun jika
lesi menetap lebih dari 48 jam, maka diagnosis angioedema dapat
disingkirkan.
2. Vaskulitis urtikarial
Vaskulitis urtikarial adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit
dapat berupa palpable purpura yang mengenai kapiler, berbentuk
purpura multiple, bila dipalpasi terasa papul-papul, lesi juga dapat
berupa plaque, urtika, angioedema, pustul, vesikel, ulkus, nekrosis,
dan livido retikularis. Kadang terdapat edema subkutan di bawah lesi.
Tempat predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah. Lama lesi
antara 1-4 minggu. Pada waktu timbul, dapat disertai demam,
malaise, arthralgia, dan mialgia. Vakulitis urtikarial berbeda dengan
urtikaria yang cepat hilang. Pada penyakit ini lama urtika lebih dari 24
jam. Rasanya seperti terbakar atau nyeri.
3. Dermatitis Herpetiformis

Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kronik dan berlangsung


seumur hidup, dapat terjadi pada usia anak-anak maupun dewasa,
tetapi biasanya dimulai pada usia dekade dua sampai empat.
Ruam

bersifat

polimorfik

berupa

eritema,

papulo-vesikel,

vesikel/bula, tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa


sangat

gatal.

perjalanannya

Mulainya
kronik

dan

penyakit
residif.

biasanya
Tempat

perlahan-lahan,

predileksinya

ialah

dipunggung, daerah sakrum, bokong, daerah ekstensor di lengan


atas, sekitar siku, dan lutut. Kelainan yang utama ialah vesikel, oleh
karena itu disebut herpetiformis yang berarti seperti herpes zoster.
Dinding vesikel atau bula tegang.
Dermatitis herpetiformis juga diawali dengan papul atau plak
urtikaria, akan tetapi munculnya bula akan menyingkirkan diagnosis
tersebut.
F. PENATALAKSANAAN
Pengobatan

urtikaria

atau

angioedema,

terdiri

atas

terapi

medikamentosa dan non-medikamentosa.


1. Non-medikamentosa
Pasien sebaiknya diberi penjelasan dan informasi tentang faktor
pencetus, pengobatan dan prognosis penyakit. Pengobatan yang
paling ideal tentu saja adalah mengobati penyebab atau bila mungkin
menghindari penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin, paling
tidak

mencoba

mengurangi

penyebab

tersebut,

minimal

tidak

menggunakan atau tidak melakukan kontak dengan penyebabnya.


Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simptomatik,
misalnya anti pruritus (calamine atau menthol 1%). Pasien juga
diminta untuk menghindari penggunaan obat-obatan seperti aspirin,
NSAIDs, kodein dan morfin. Selain itu, mengindari faktor pencetus
seperti stress, konsumsi alkohol, dan pajanan terhadap panas secara

berlebihan juga penting untuk dilakukan. Eliminasi diet dicobakan


pada pasien yang sensitif terhadap makanan.
2. Medikamentosa
Di samping terapi non-medikamentosa, pasien perlu mendapatkan
intervensi tambahan, termasuk pengobatan sistemik yaitu:
-

First line therapies


Pengobatan

dengan

antihistamin

pada

urtikaria

sangat

bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas,


yaitu

menghambat

histamin

pada

reseptor-reseptornya.

Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi


dua kelompok besar, yaitu antagonis reseptor H1 (antihistamin 1,
AH1) dan reseptor H2 (AH2).
Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema
bergantung pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor
H1, namun efektivitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek
samping farmakologik, yaitu sedasi. Dalam perkembangannya
terdapat

antihistamin

yang

baru

yang

berkhasiat

terhadap

reseptor H1 tetapi nonsedasi, golongan ini disebut sebagai


antihistamin non-klasik.
Pada

umumnya,

antihistamin

H1

cepat

diabsorbsi,

dan

mencapai puncak dalam 2 jam.


Biasanya antihistamin golongan AH1 yang klasik menyebabkan
kontraksi otot polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas
kapiler, penekanan sekresi dan penekanan pruritus. Selain efek ini
terdapat pula efek yang tidak berhubungan dengan antagonis
reseptor H1, yaitu efek antikolinergik atau menghambat reseptor
alfa-adrenergik.

Antihistamin

H1

diphenhydramine,

klasik,

contohnya

hydroxyzine,

dan cyproheptadine. Hydroxyzine ternyata

lebih efektif daripada antihistamin lain untuk mencegah urtikaria,


dermografisme, dan urtikaria kolinergik. Obat ini merupakan
antihistamin

short-acting,

dosis

10-25

mg

setiap

jam.

Hydroxyzine juga dapat dikombinasi dengan antihistamin longacting seperti chlorpheniramine maleate. Chlorpheniramine atau
diphenhydramine seringkali diberikan pada wanita hamil karena
lebih aman, tetapi pemberian cetirizine, loratidine, dan mizolastine
sebaiknya dihindari.
Antihistamin

H1

yang

non-klasik

contohnya

terfenadine,

astemizole, loratadine, dan mequitazine. Golongan ini diabsorpsi


lebih cepat dan mencapai kadar puncak

dalam waktu 1-4 jam.

Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam


waktu 4 jam (misalnya terfenadine), sedangkan astemizole dalam
waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektivitasnya berlangsung
lebih lama berbanding AH1 klasik, bahkan astemizole masih efektif
hingga 21 hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral.
Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang
long-acting. Loratadine (dosis dewasa 10 mg/hari) merupakan
derivat azatadine. Cetirizine (dosis dewasa 10 mg/hari) hanya
dimetabolisme di hati dalam jumlah sedikit, dan lebih banyak
diekskresikan dalam bentuk urin. Cetirizine lebih bersifat sedatif
dibandingkan plasebo pada beberapa studi dan paling baik
digunakan di malam hari.
Keunggulan lain AH1 non-klasik adalah tidak mempunyai efek
sedasi karena tidak dapat menembus sawar darah otak. Di
samping itu golongan ini tidak memberi efek antikolinergik, tidak
menimbulkan potensiasi dengan alkohol, dan tidak terdapat
penekanan pada SSP serta relatif non-toksik.

Obat antihistamin mampu menembus plasenta. Namun tidak


ada sumber yang dapat dipercaya yang mengatakan bahwa
antihistamin

bersifat

teratogenik,

tetapi

sebaiknya

penggunaannya dihindari pada wanita hamil, khususnya pada


trimester pertama.

Second line therapies


Doxepin adalah suatu antidepressant trisiklik dengan aktivitas

antihistamin yang kuat, dimulai dengan dosis 10-30 mg, sangat


berguna pada pasien yang sering merasa cemas di malam hari.
Pemberian kortikosteroid

sistemik oral lebih efektif

pada

urtikaria berat dengan pemberian prednisolon dosis tinggi yaitu


0.5-1.0 mg/kgBB/hari.
Untuk kasus darurat pada angioedema non-herediter yang
menyebabkan angioedema orofaring-laring, diberikan epinefrin.
Epinefrin

bekerja

secara

cepat

dengan

menstimulasi

adrenoreceptor sehingga terjadi vasokonstriksi dan stabilisasi


mast cell. Angioedema pada orofaring sangat membahayakan dan
harus

ditangani

secepatnya

dengan

memberikan

epinefrin

(adrenalin) maksimal 0,5 mg secara intramuskular. Pemberian


dapat diulang setiap 5-20 menit, tergantung pada tekanan darah
dan nadi yang harus dipantau sampai terjadi perbaikan klinis. Efek
samping epinefrin adalah takikardi, kecemasan, dan sakit kepala.
Oleh karena itu, penggunaannya harus berhati-hati pada pasien
dengan hipertensi, penyakit serebrovaskular, penyakit jantung
iskemik dan diabetes mellitus.
-

Third line therapies

Pasien urtikaria berat yang tidak berespon dengan pemberian


antihistamin menunjukkan adanya penyebab autoimun, sehingga
perlu diberikan imunoterapi. Cyclosporine dan plasmapheresis
berhasil digunakan untuk mengobati urtikaria. Cyclosporine (35
mg/kgBB/hari) sebaiknya menjadi pilihan pertama. Jika respon
pasien

terhadap

cyclosporine

kurang,

bisa

diberikan

immunoglobulin intravena atau plasmapheresis.


Respon angioedema herediter terhadap pengobatan konvensional
untuk

urtikaria

pemberian

sangat

kurang.

kortikosteroid,

Pada

antihistamin,

angioedema
dan

herediter,

norepinefrin

tidak

memiliki efek. Pada serangan yang bersifat akut, diberikan plasma


C1-esterase inhibitor. Jika tidak tersedia, dapat diberikan infus
dengan fresh frozen plasma 500-2000 ml. Untuk tindakan profilaksis,
bisa

diberikan

Androgen

(Danzol

200-600

mg/hari),

diatur

berdasarkan gambaran klinis dan inhibitor levels. C4 tidak perlu


distabilisasikan.

G. KOMPLIKASI
Normalnya, urtikaria tidak menimbulkan komplikasi meskipun rasa gatal yang
ditimbulkan akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari bahkan menyebabkan depresi. Pada
reaksi anafilaktif akut, edema pada laring merupakan komplikasi paling serius, bisa
menyebabkan asfiksia, dan edema pada trakeobronkial bisa menyebabkan asma.

BORANG PORTOFOLIO 1
No. ID dan Nama Peserta : dr. Tiara Dwi Pratiwi
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Padang Panjang
Topik
: Angioedema

Tanggal (kasus)
: 28-02-2016
Presentan
: dr. Tiara Dwi Pratiwi
Tanggal presentasi : 17-03-2016
Pendamping : dr. Endayani T, MPH
Tempat presentasi : RSUD Padang Panjang
Obyektif presentasi :
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus Bayi Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Deskripsi: laki-laki, 36 thn, sesak nafas setelah digigit lebah di seluruh tubuh
Tujuan : Diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat
Bahan bahasan : Kasus
Tinjauan Pustaka
Riset
Audit
Cara membahas : Diskusi
Presentasi dan diskusi E-mail
Pos
Data pasien :
Nama : Tn. S
No. Registrasi : 156412
Nama klinik : RSUD Padang
Telp :
Terdaftar sejak :
Panjang
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis/Gambaran Klinis : angioedema et causa insect bite
2. Riwayat Pengobatan :
Pasien sudah mendapatkan pengobatan di puskesmas namun keluhan tidak berkurang
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya, alergi disangkal
4. Riwayat Keluarga/Lain-lain :
tidak ada yang menderita penyakit seperti ini, tidak ada riwayat alergi.
5. Riwayat Pekerjaan :
Pedagang
6. Kondisi lingkungan: terdapat kebun di belakang rumah
Daftar Pustaka :
1. Li HH. Angioedema. [online]. 2012. [cited 2013, Feb 4]. Available from:
http://www.medscape.com/article/135208 .
2. Kaplan AP. Urticaria and angioedema. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2009. p. 330-42.
3. Grattan CE, Black AK. Urticaria and angioedema. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008.
4. Mallory SB, Bree A, Chern P. Hypersensitivity disorders/unclassified disorders.
Illustrated Manual of Pediatric Dermatology: Diagnosis and Management. 1st
ed. London: Taylor & Francis; 2005. p. 179-80.
5. Brehmer

E,

Andersson.

Acute

allergic

urticaria/angioedema.

Dermatopathology: A Resident's Guide. Berlin: Springer; 2006. p. 195-7.


Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis angioedema

2. Tatalaksana angioedema
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
1. Subyektif :
- Sesak nafas setelah disengat lebah di seluruh tubuh kurang lebih 1/2 jam sebelum masuk
rumah sakit.
- bengkak berwarna kemerahan di kedua kelopak mata dan bibir sejak 1/2 jam yang lalu
-nyeri pada kepala sejak 1/2 jam yang lalu
- mual sejak jam yang lalu, muntah tidak ada
- kulit terasa gatal-gatal sejak 1/2 jam yang lalu.
- demam tidak ada
- batuk tidak ada
- BAB tidak ada keluhan sebelumnya
- BAK tidak ada keluhan sebelumnya
- riwayat alergi disangkal
-pasien sudah berobat ke puskesmas dan mendapatkan obat deksamethason oral, keluhan
tidak berkurang

2. Obyektif :
a. Vital sign

KU

: tampak lemah

Kesadaran

: sadar/aktif

Tekanan darah

: 100/60 mmHg

Frekuensi nadi

: 100 x/menit

Frekuensi nafas

: 26 x /menit

Suhu

: 37 0C

b. Pemeriksaan sistemik

Kulit

: eritem (+)

Kepala

: Bentuk normal, rambut hitam

Mata

: edema palpebra (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

pupil isokor, diameter 2 mm, refleks cahaya +/+ Normal

Telinga

: tidak ditemukan kelainan

Hidung

: Tidak ditemukan kelainan

Mulut

: edema labia superior dan inferior (+)

Tenggorok

: Tonsil T1 T1 tidak hiperemis

Leher

: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thoraks
Paru
Inspeksi

: normochest, simetris kiri kanan saat statis dan dinamis

Palpasi

: fremitus kiri = kanan

Perkusi

: sonor

Auskultasi

: vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Jantung
Inspeksi

: iktus tidak terlihat

Palpasi

: iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi

: batas jantung atas RIC II, Kiri 1 jari medial LMCS RIC V,kanan

LSD
Auskultasi

: irama murni, teratur, bising tidak ada

Abdomen
Inspeksi

: tidak membuncit

Palpasi

: nyeri tekan epigastrium (+), distensi (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Punggung

: tidak ada kelainan

Alat kelamin : tidak ada diperiksa

Ekstremitas

: Akral hangat, refilling kapiler baik, sianosis (-), refleks fisiologis

+/+, refleks patologis -/-.


3. Assessment
Telah dilaporkan suatu kasus seorang pasien laki-laki berumur 36 tahun dengan
diagnosis kerja: angioedema et causa insect bite. Dasar diagnosis pada pasien adalah dari
anamnesis didapatkan sesak nafas setelah disengat lebah diseluruh tubuh sejak 1/2 jam

sebelum masuk rumah sakit yang diikuti bengkak pada kelopak mata dan bibir. Pasien
merasa mual, kulit terasa gatal dan nyeri pada kepala setelah disengat lebah. Riwayat alergi
sebelumnya disangkal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 100/60 mmHg,
frekuensi nadi 100 x/menit, frekuensi nafas 26 x/menit, suhu 37 0C. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan edem pada palpebra serta labia superior inferior. Hal ini mendukung untuk
diagnosis angioedema.
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, pemberian epinefrin tidak boleh ditunda.
Epinefrin 1:1000 dosis 0,2 0,5 ml subkutan dengan pengulangan pemberian setiap 20
menit jika diperlukan sampai 3-4x. jika sudah berat dapat diberikan IM
Kortikosteroid jika ada gangguan nafas dan kardiovaskular. Tidak bermanfaat untuk
reaksi anafilaksis akut tetapi untuk mencegah reaksi anafilaksis berat dan berlangsung
lama. Tablet prednisone atau IV hidrokortison 5 mg/KgBB. Diberikan tiap 4-6 jam
Edukasi pada pasien. Pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis mempunyai
resiko untuk memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama.
Terkadang kepada pasien diberikan bekal suntikan adrenalin yang harus dibawa
kemanapun pasien pergi

4. Plan :
Diagnosis klinis : angioedema e.c insect bite
Diagnosis banding : Pengobatan :

O2 2 ltr/menit

Injeksi epinefrin 1:1000 0,3 ml (intra muskular)

Injeksi deksamethason 1 ampul (intra vena)

Injeksi ranitidin 1 ampul (intra vena)

Observasi 1 jam tekanan darah 110/70 mmHg, sesak berkurang.

Cetrizine 2x10 mg

Paracetamol 3x500 mg

Edukasi :
Pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis mempunyai resiko untuk
memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama. Terkadang
kepada pasien diberikan bekal suntikan adrenalin yang harus dibawa kemanapun
pasien pergi.

Anda mungkin juga menyukai