Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

DEMAM TYPHOID
A. Konsep Penyakit
1. Pengertian
Demam typhoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
enterica serotype typhi. Demam tifoid merupakan manifestasi dari adanya infeksi akut
pada usus halus yang mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut.
Demam typhoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam
typhoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan
(usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Kurniawan, 2014).
Merupakan suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endhothelia atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi kedalam sel fagosit monocular dari hati, limpa, kelenjar limfe
usus dan peyers patch dan dapat menular pada orang lain melalui makanan atau air
yang terkontaminasi (Sumarmo, 2002 dalam Hurarif, dkk 2015).
2. Etiologi
Salmonella enterica serotype typhi dan Salmonella paratyphi A, B dan C.
Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul
dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup
sampai beberapa minggu dialam bebas, seperti didalam air, es, sampah dan debu.
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60 0C) selama 15-20 menit,
pasteurisasi, pendidihan dan klorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
a) Antigen O (antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan
terhadap formaldehid.
b) Antigen H (antigen flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formal dehit, tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol
c) Antigen Vi, yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut diatas didalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut agglutinin.

3. Manifestasi Klinis
Menurut Sudoyono Aru, dkk (2009 dalam Hurarif, dkk 2015) tanda dan gejala sebagai
berikut:
a. Gejala pada anak masa inkubasi 5 - 40 hari dengan rata - rata 10 14 hari
b. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama
c. Demam turun pada minggu keempat, kecuali demam tidak tertangani akan
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.

menyebabkan syok, strupor dan koma


Ruam muncul pada hari ke 7 10 dan bertahan selama 2 3 hari
Nyeri kepala dan nyeri perut
Kembung, mual, muntah, diare dan konstipasi
Pusing, bradikardi, nyeri otot
Batuk
Epistaksis
Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor)
Konstipasi, diare
Hepatomegali, splenomegali, meteroismus
Gangguan mental berupa samnolen
Delirium atau psikosis

o. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai
penyakit demam akut dengan disertai syok dan hipotermi.
Periode infeksi demam tipoid, tanda dan gejala:
Minggu
Pertama

Keluhan
Gejala
Panas berlangsung insidious, Gangguan

Patologi
Bakteremia

tipe panas stepladder yang saluran cerna


mencapai
Kedua

39

40

C,

menggigil dan nyeri kepala


Rash, nyeri abdomen, diare Rose
atau konstipasi, delerium

Ketiga

Komplikasi:

menurun,

penurunan BB

splenomegali,

pada payers patches,

hepatomegali

nodul

tifoid

pada

limpa dan hati


perdarahan, Melena, ilius, Ulserasi pada payers

saluran cerna, perforasi, syok

Keempat Keluhan

sport, Vaskulitis, hiperplasi

ketegangan

patches, nodul tifoid

abdomen,

pada limpa dan hati

koma
relaps, Tampak

sakit Kolelitiasis,

berat, kakeksia

kronik

carrier

4. Patofisiologi
Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan S. Typhi,
sisanya disebabkan oleh S. Paratyphi. Kuman masuk melalui makanan atau minuman,
setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus
dinding usus, sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque peyeri). Kuman
ikut aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bakteremia primer) mencapai
jaringan RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami
bakteremia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain
(intra dan ekstra intestinal). Masa inkubasi 10-14 hari (Pudjiadi, 2009)
Demam tifoid disebabkan karena salmonella typhosa dan endotoksinnya yang
merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang. Selanjutnya beredar mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus
yang akhirnya menimbulkan gejala demam (Simanjuntak, 2009).
5. Sumber Penularan
Menurut Kurniawan (2014) penularan penyekit demam tifoid oleh basil Salmonella
typhi ke manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau
urin dari penderita tifoid. Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu:
a. Penderita demam tipoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun
yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada
umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandungan empedu dan
ginjalnya.
b. Karier demam tipoid
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandng Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai
gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telahsembuh setelah 2 3 bulan
masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feses atau urin. Penderita ini
disebut karier pasca penyembuhan. Pada demam tifoid sumber sumber infeksi dari
karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan
anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medikamentosa dengan obat anti tifoid
gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki
kelainan anatominya.
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis:
1) Healthy carrier (inapparent)

Meraka yang dalam sejarahnya tidak pernah menampakkan menderita penyakit


tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat
menular pada orang lain.
2) Incubatory carrier (masa tunas)
Mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk
menularkan penyakit atau sebagai sumber penularan.
3) Convalescent carrier (baru sembuh klinis)
Mereka yang baru sembuh dari penyakit menular tertentu, tetapi masih
merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa
penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan.
4) Cronis carrier (menahun)
Merupakn sumber penularan yang cukup lama seperti pada penyakit tifus
abdominalis dan pada hepatitis B.
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Pudjiadi (2009) pemeriksaan penunjang terdiri dari:
a. Pemeriksaan darah perifer lengkap
1) Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe,
atau perdarahan usus
2) Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul
3) Limfositosis relatif
4) Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat
b. Pemeriksaan serologi
1) Serologi widal: kenaikan titer S. Typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer
fase akut ke fase konvalesens
2) Kadar IgM dan IgG (typhi-dot)
c. Pemeriksaan biakan salmonella
1) Biakan darah terutama pada minggu 1 2 dari perjalanan penyakit
2) Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4
d. Pemeriksaan radiologik
1) Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
2) Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi
usus atau perdarahan saluran cerna
3) Pada perforasi usus tampak:
a) Distribusi udara tak merata
b) Airfluid level
c) Bayangan radiolusen di daerah hepar
d) Udara bebas pada abdomen
e. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus.
f. Kultur
Kultur darah: bisa positif pada minggu pertama
Kultur urin: bisa positif pada akhir minggu kedua
Kultur feses: bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Menurut Pudjiadi (2009), yaitu:
a. Non farmakologi
1) Bed rest
2) Diet, diberikan bubur saring kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai
dengan tingkat kesembuhan pasien. Diet berupa makanan rendah serat.
b. Farmakologi
1) Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgBB/hari, oral atau IV dalam 4
dosis selama 10-14 hari
2) Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, oral atau IV, selama 10 hari
3) Kotrimoksasol 6 mg/kgBB/hari, oral, selama 10 hari
4) Seftriakson 80 mg/kgBB/hari, IM atau IV, sekali sehari, selama 5 hari
5) Sefiksim 10 mg/kgBB/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari
6) Kortokosteroid diberikan pada kasus berat denan gangguan kesadaran
7) Deksametason 1-3 mg/kgBB/hari, IV, dibagi 3 dosis hngga kesadaran membaik
c. Bedah, tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus
8. Komplikasi
Komplikasi menurut Kurniawan (2014) dapat dibagi menjadi:
a. Komplikasi intestinal: perdarahan usus, perporasi usus, ilius paralitik
b. Komplikasi ekstra intestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
trombosis, tromboplebitis.
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia
3)
4)
5)
6)
7)

hemolitik.
Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
Komplikasi pada tulang: osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis
perifer.
Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita

demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan
umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan
denyut jantung.Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi
seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella.
Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi
pada hospes normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada
penderita hemoglobinopati.
9. Pencegahan

Upaya pencegahan menurut Kurniawan (2014) dapat dibagi atas:


a. Upaya terhadap lingkungan hidup
1) Penyediaan air minum yang memenuhi syarat
2) Pembuangan kotoran manusia yang higienis
3) Pengendalian lalat
4) Penyawasan terhadap penjual makanan
b. Upaya terhadap manusia
1) Imunisasi
2) Menemukan dan mengobati karier
3) Pendidikan kesehatan masyarakat
10. Diascharge Planning
a) Hindari tempat yang tidak sehat
b) Hindari daerah endemis demam tifoid
c) Cucilah tangan dengan sabun dan air bersih
d) Makanlah makanan bernutrisi lengkap dan seimbang dan masak atau panaskan
sampai suhu 57 0C beberapa menit dan secara merata
e) Salmonella typhoid di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57 0C untuk
f)
g)
h)
i)
j)

beberapa menit atau dengan proses iodinasi atau klorinasi


Gunakan air yang sudah direbus untuk minum dan sikat gigi
Mintalah minuman tanpa es kecuali air es sudah dididihkan atau dari botol
Istirahat cukup dan lakukan olah raga secara teratur
Jelaskan terapi yang telah diberikan: dosis dan efek samping
Ketahui gejala-gejala kekambuhan penyakitbdan hal yang harus dilakukan untuk

mengatasi gejala tersebut


k) Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan
l) Vaksin demam tifoid
m) Buang sampah pada tempatnya.

11.Path Way
Makanan dan minuman
terkontaminasi Kuman
salmonella typhi

Masuk kesaluran
pencernaan
Lolos dari asam
lambung
Bakteri masuk
usus halus

Pembuluh
limfe

Malaise, perasaan
tidak enak badan,
nyeri abdomen

Inflamasi

Masuk kealiran darah


(bakteremia primer)

Masuk retikulo endhothelial


(RES) terutama hati dan limfa

Inflamasi pada hati


dan limfa

Hepatomegali

Pembesaran limfa

Nyeri tekan

Splenomegali

Nyeri akut

Dimusnahkan oleh
asam lambung

Empedu

Masuk kealiran darah


(bakteremia sekunder)

Rongga usus pada


kel. Limfoid halus

Endotoksin
Terjadi kerusakan
sel

Mempengaruhi pusat
thermoregulator dihipotalamus

Erosi
Konstipasi
Perdarahan
masif
Komplikasi perforasi dan
perdarahan usus

Merangsang melepas zat


epirogen oleh leukosit

Penurunan
mobilitas usus

Lase plak peyer

Nyeri
Resiko kekurangan
volume cairan

Peningkatan
asam lambung
Anoreksia, mual,
muntah

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Sumber: Hurarif dan Kusuma (2015)

Ketidakefektifan
termoregulasi

B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada anak dengan demam tifoid meliputi :
a. Identitas
Sering ditemukan pada anak berumur diatas satu tahun.
b. Keluhan utama
Berupa perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan kurang
bersemangat, serta nafsu makan kurang (terutama selama masa inkubasi).
c. Suhu tubuh
Pada kasus yang khas, demam berlangsung selama 3 minggu, bersifat febris
remiten dan suhunya tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur naik setiap harinya, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari.dalam minggu kedua, pasien terus berada
dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga, suhu berangsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga.
d. Kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai samnolen, jarang terjadi sopor, koma, atau gelisah (kecuali bila
penyakitnya berat dan terlambat mendapat pengobatan). Disamping gejala-gejala
tersebut mungkin terdapat gejala lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat
ditemukan reseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam
kapiler kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam. Kadang-kadang
ditemukan pula bradikardia dan epistaksis pada anak besar.
e. Pemeriksaan fisik:
1) Mulut
2) Terdapat napas yang berbau tidak sedap serta bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), sementara ujung
dan tepinya berwarna kemerahan, dan jarang disertai tremor.
3) Abdomen
4) Dapat ditemukan keadan perut kembung (meteorismus). Bisa terjadi konstipasi,
atau mungkin diare atau normal.
5) Hati dan limpa membesar disertai dengan nyeri pada perabaan.

f. Gagal untuk tumbuh


Deselarasi pola pertumbuhan yang ada atau secara konsisten berada dibawah
persentil ke 5 grafik pertumbuhan untuk tinggi dan berat badan, disertai
pelambatan perkembangan.
g. Muntah atau regurgitasi

Transfer fasif isi lambung kedalam esophagus atau mulut.


h. Muntah
Ejeksi kuat isi lambung; melibatkan proses kompleks dibawah kontrol system saraf
pusat yang menyebabkan salviasi, pucat, berkeringat, dan takikardia; biasa nya
disertai mual.
i. Muntah projektil
Muntah yang disertai gelombang peristaltik kuat secara khas berhubungan dengan
stenosis pilorik atau pilorospasme.
j. Mual
Rasa tidak enak yang secara samar-samar menyebar ketonggorokan atau abdomen
dengan kecendrungan untuk muntah.
k. Pemeriksaan laboratorium
1) Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leucopenia, limfositosis relatif,
dan aneosinofilia pada permukaan sakit.
2) Darah untuk kultur (biakan empedu) dan widal.
3) Biakan empedu basil salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah pasien
pada minggu pertama sakit. Selanjutnya, lebih sering ditemukan dalam urine
dan faeces.
4) Pemeriksaan widal.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan fluktuasi suhu lingkungan,
proses penyakit
b. Nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat
d. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
dan peningkatan suhu tubuh
e. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas traktus gastrointestinal
(penurunan motilitas usus)
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan
Ketidakefektifan
termoregulasi
berhubungan
dengan fluktuasi
suhu lingkungan,
proses penyakit

Tujuan Dan
Kriteria Hasil
Tujuan:
Suhu tubuh normal
dalam waktu 2 x 24
jam
Kriteria Hasil:
Suhu tubuh 36,5
-37,5 0C
Nadi dan RR
dalam rentang

Intervensi
1. Lakukan kompres hangat
pada kepala / axial.

2. Berikan klien minum


banyak 5001500 ml/hr.

Rasional
1. Dengan menberikan
kompres maka akan
terjadi proses
konduksi /
perpindahan panas
dengan bahan
perantara
2. Kebutuhan cairan
meningkat karena

Resiko
kekurangan
volume cairan
berhubungan
dengan intake
yang tidak
adekuat dan
peningkatan
suhu tubuh

normal
(sesuai kebutuhan cairan
penguapan tubuh
Tidak ada
BB/perhari)
meningkat.
3. Penyedian udara
perubahan warna 3. Atur sirkulasi udara
bersih.
kulit dan tidak
4.
Observasi
tandatanda
vital.
4.
Pemantauan tanda
ada pusing
vital yang teratur
Tidak ada kejang
dapat menentukan
perkembangan
perawatan
selanjutnya.
5. Beri informasi pada
5. Proses hilangnya
keluarga untuk memberikan
panas akan terhalangi
pakaian yang tipis dan yang
untuk pakaian yang
dapat menyerap keringat
tebal dan tidak akan
seperti terbuat dari katun.
menyerap keringat.
6. Beri informasi pada
6. Tirah baring untuk
keluarga bahwa klien harus
mengurangi
istirahat ditempat tidur
metabolisme dan
selama fase febris penyakit.
panas.
7. Kolaborasi dengan dokter : 7. Untuk mengontrol
Dalam pemberian
infeksi
therapy, obat
antimicrobial
Antipiretika
Tujuan:
1. Kaji tanda dan gejala
1. Hipotensi, takikardia,
Kekurangan volume
dehidrasi hypovolemik,
demam dapat
cairan dapat teratasi
riwayat muntah, kehausan
menunjukkan respon
dalam waktu 2 x 24
dan turgor kulit
terhadap dan atau
jam
efek dari kehilangan
Kriteria Hasil:
cairan
Membran
2.
Agar segera
2. Observasi adanya tandamukosa bibir
dilakukan tindakan/
tanda syok, tekanan darah
lembab,
penanganan jika
menurun, nadi cepat dan
TTV (TD, Suhu,
terjadi syok
lemah
Nadi dan RR),
3. Berikan cairan peroral pada
3. Cairan peroral akan
dalam batas
klien sesuai kebutuhan
membantu memenuhi
normal sesuai
4. Monitor dan catat intake dan
kebutuhan cairan
usia
4.
Untuk mengetahui
output cairan
Tanda-tanda
keseimbangan intake
dehidrasi tidak
dan output cairan
5. Jelaskan kepada pasien dan
ada.
keluarga tentang pentingnya 5. Agar pasien dapat
mengetahui tentang
cairan
pentingnya cairan dan
dapat memenuhi

6. Kolaborasi pemberian cairan


intravena

Ketidakseimban Tujuan:
1.
Nutrisi adekuat
gan nutrisi
dalam waktu 2 x 24
kurang dari
kebutuhan tubuh jam
Kriteria Hasil:
berhubugan
dengan intake Menunjukkan
2.
peningkatan
yang tidak
nafsu makan,
adekuat
Mempertahankan 3.
atau
meningkatkan
berat badan.
Kebutuhan
protein
kalori, 4.
dan cairan balans

Nyeri akut
berhubungan
dengan proses
peradangan

Tujuan:
Nyeri dapat diatasi
dalm waktu 2 x 24
jam
Kriteria Hasil:
Mampu
mengontrol nyeri
Mampu
mengenali nyeri
Menyatakan rasa
nyaman setelah
nyeri berkurang
Melaporkan
bahwa nyeri
berkurang
dengan
menggunakan
manajemen nyeri

6.

Lakukan manajemen nutrisi


fase stabilisasi

1.

Cegah dan atasi komplikasi


yang mungkin terjadi

2.

Observasi terhadap
3.
pemenuhan kebutuhan nutrisi

Jelaskan kepada keluarga


setiap langkah perbaikan
nutrisi yang akan diterapkan

1. Lakukan pengkajian nyeri


secara komprehensif
termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal
dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengatahui
pengalaman nyeri klien
4. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
5. Tingkatkan istirahat
6. Kolaborasi dengan tim dokter
dalam pemberian obat
analgesik

4.

1.

kebutuhan cairan.
Pemberian intravena
sangat penting bagi
klien untuk
memenuhi kebutuhan
cairan yang hilang
Pada fase ini
pemberian porsi kecil
tapi sering, rendah
serat dan rendah
laktosa lebih sesuai
Agar komplikasi
dapat dicegah sedini
mungkin
Pemantauan yang
teratur berguna untuk
menetapkan
perencanaan yang
sesuai
Informasi yang akurat
meningkatkan poensi
kerjasama perawat
dan keluarga dalam
mengatasi masalah
keperawatan yang
terjadi.
Untuk mengetahui
intensitas dan lokasi
nyeri

2. Untuk mengetahui
adanya reaksi nyeri
3. Adanya keterbukaan
antara klien dan
petugas kesehatan
4. Mengurangi rasa
nyeri
5. Merilekskan badan
6. Untuk meredakan
nyeri

DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Tropis Edisi 2. Jember: UNMUH
Nurarif dan Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC NOC Jilid 1. Jakarta: MediAction
Pudjiadi, dkk. (2009). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: IDAI
Simanjuntak. (2009). Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta :
Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai