Anda di halaman 1dari 3

Angka kematian maternal merupakan salah satu parameter keberhasilan dalam

pelayanan obstetric. Angka kematian marternal (AKM) disebut juga Angka Kematian
Ibu (AKI) dan Angka Kematian Perinatal. Angka kematian ibu (AKI) adalah
kematian perempuan pada saat hamil atau Kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak
terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan, yakni kematian yang
disebabkan karena kehamilannya atau penanganannya, tetapi bukan karena sebabsebab lain seperti kecelakaan dan terjatuh (Profil kesehatan provinsi Sumatera
Selatan, 2014). AKI merupakan salah satu indicator dalam Millenium Development
Goal (MDG) WHO. Indikator ini secara langsung digunakan untuk memonitor
kematian terkait dengan kehamilan. AKI dipengaruhi oleh beberapa factor termasuk
status kesehatan secara umum, pendidikan dan pelayanan selama kehamilan dan
melahirkan. MDG WHO menargetkan AKI mengalami penurunan sebanyak 75%
sampai tahun 2015.
Menurut WHO, Indonesia termasuk dalam 4 negara ASEAN (association of
southeast Asia Nations) yang memiliki angka kematian ibu tertinggi. Berdasarkan
data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2012, angka kematian
ibu (AKI) di Indonesia sebesar 395 per 100.000. Rata-rata kematian ini jauh
meningkat dibandingkan hasil SDKI 2007 yang mencapai 228 per 100.000 kelahiran
hidup. Berdasarkan data dari Ditjen Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, penyebab kematian ibu di Indonesia tahun 2010 adalah
Perdarahan (23%), Preeklamsia dan Eklamsia (32%), Infeksi (31%), Partus lama
(1%), Abortus (4%), kelainan amnion (2%), dan penyebab lainnya (7%) (Profil
Kesehatan Indonesia, 2013).
Angka Kematian Ibu (AKI) di Provinsi Sumatera Selatan mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan profil kesehatan provinsi Sumatera Selatan
tahun 2014 jumlah kasus kematian ibu di kabupaten Empat Lawang dan OKU Timur
tertinggi yaitu sebanyak 16 kasus dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Sumatera
Selatan. Jumlah kematian ibu tahun 2014 di kota Palembang, sebanyak 12 orang dari
29.235 kelahiran hidup (Profil Pelayanan Kesehatan Dasar, 2015).

Preeklampsia merupakan kelainan yang ditemukan pada umur kehamilan 20


minggusampai 48 jam setelah persalinan, yang ditandai oleh hipertensi, edema, dan
proteinuria. National High Blood Pressure Education Working Group mengklasifikasi
akan preeklamsia berdasarkan kategori hipertensi dalam kehamilan dan memiliki
criteria peningkatan tekanan darah> 140/90 dengan proteinuria >300 mg padaurin 24
jam.(Mosayebiet al., 2013).
Preeklampsia merupakan The diease of theories, hal ini disebabkan karena
penyebab awal preeklamsia yang belum diketahui dengan jelas. Teori iskemik
plasenta merupakan salah satu hipotesis penyebab preeklamsia yang diterima oleh
para ahli. Teori iskemik plasenta menjelaskan bahwa kegagalan invasi trofoblas
kedalam arteri spirales menyebabkan suplai darah uteroplasenta menjadi terganggu
sehingga terjadi penurunan perfusi utero plasenta yang akhirnya menyebabkan
plasenta dalam keadaan iskemi-hipoksia memproduksi radikal bebas berlebihan
dalam sirkulasi maternal .
Peningkatan atau pengurangan jumlah radikal bebas secara drastis
menyebabkan bergesernya keadaan dari normal menuju stress oksidatif. Stres
oksidatif adalah keadaan di mana jumlah radikal bebas di dalam tubuh melebihi
kapasitas tubuh untuk menetralisirnya. Stress oksidatif yang bersifat toksik akan
merusak lipid, protein, dan DNA. Stres oksidatif sebetulnya tidak terjadi bila terdapat
keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan. Salah satu enzim anti oksidan yaitu
GSH (glutation tereduksi) dengan cara mencegah terbentunya radikal oksigen (Cutler,
1986). Glutation (GSH) merupakakan salah satu antioksidan yang berperan dalam
meredam radikal bebas. . Pada kehamilan dengan komplikasi preeklamsia kadar
antioksidan GSH menurun yang menyebabkan wanita hamil dengan komplikasi
preeklamsi tidak mampu mengontrol kadar GSH yang semakin menurun, sehingga
menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah dan kerusakan target organ vital.

Beberapapenelitianmenunjukan terjadi stress oksidatif pada plasenta penderita


preeklampsia. Penelitian dilakukan oleh Tri Jauhari (2005) diperoleh aktivitas
angiogenik plasenta penderita preeklampsia (N=12) lebih tinggi secara bermakna dari
plasenta kehamilan normal (N=13). Namun terdapat 2 kasus berat bayi lahir rendah
(BBLR). Ternyata, walaupun aktivitas angiogenik meningkat, hal ini tidak dapat
mengimbangi strss oksidatif yang terjadi.
Berdasarkan data diatasdalampenelitianiniakanmembahasmengenaikadar GSH
plasma padakehamilan normal dan preeclampsia di RS Muhammadiyah Palembang,
diharapkankejadian preeclampsia dankematianakibat preeclampsia dapatmenurun.

Anda mungkin juga menyukai