Anda di halaman 1dari 29

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Budidaya udang windu (Penaeus monodon) secara intensif

telah

berkembang sangat cepat terjadi tahun 1980 an dan produktivitas meningkat


sampai sekitar tahun 1990 an, sehingga udang merupakan primadona ekspor
perikanan bagi Indonesia. Usaha budidaya udang windu intensif pernah
menunjukkan hasil yang memuaskan, hingga Indonesia menjadi salah satu
produsen udang papan atas di dunia yang pada tahun 1994 mampu mencapai
angka produksi 160.000 ton/tahun. Namun akhir-akhir ini produksinya mengalami
penurunan dan dilaporkan terjadinya kematian massal dihampir semua tempat
budidaya udang di Indonesia (Anonim,1996).
Massa kejayaan udang windu terhenti setelah adanya serangan penyakit
virus yang menginfeksi udang

dan bahkan mencemari induk udang di laut.

Keberhasilan produksi pada masa lalu, ternyata tidak menyisakan prosedur baku
yang dapat diterapkan untuk mengulang keberhasilan tersebut di masa kini.
Karenanya, alasan keberhasilan atau pun kegagalan budidaya pada masa
sekarang adalah merupakan interaksi beberapa faktor sekaligus dilakukan di
suatu tempat pada waktu tertentu, sehingga pelaksanaan budidaya terkesan
menjadi sangat subyektif bergantung kepada intuisi dan kejelian teknisi. Salah
satu penyebab terjadinya kegagalan tersebut adalah serangan organisme
pathogen, penurunan kualitas air yang diikuti oleh keadaan kesehatan udang
memburuk (stress) (Taslihan, 1991)
Jenis penyakit virus yang sering ditemukan di tambak seperti Monodon
Slow Growth Syndrome (MSGS) adalah penyakit yang baru muncul yang
berdampak terhadap produksi P. monodon. Ukuran penyakit ini menyebabkan

udang windu yang dipelihara di tambak mengalami kekerdilan dan ukurannya


tidak mencapai ukuran optimal yaitu laju pertumbuhan hariannya 0,07-0,15 g/hari
atau hanya mencapai berat 16,8 g/ekor, jika dibandingkan dengan pertumbuhan
udang normal yang laju pertumbuhan hariannya 0,2 g/hari dengan berat badan
sekitar 24 g/ekor setelah 4 bulan pemeliharaan (Chayaburakul et al, 2004).
Setelah pemeriksaan melalui Polymerase Chain Reaction (PCR) pada udang
ditemukan beberapa jenis virus. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus
yang umum ditemukan dalam budidaya udang windu di Indonesia diantaranya
adalah

1) Monodon Baculo Virus (MBV) gejala utamanya menyerang organ

hepatopankreas dan usus bagian depan sehingga tidak berfungsi dengan baik,
2) Infectious Hypodermal Haematopoietic Necrosis Virus (IHHNV), dengan
gejala: (a) udang berenang tidak normal, yaitu sangat perlahan-lahan (b) bila alat
geraknya (pleopod dan Periopod) berhenti bergerak, udang akan tenggelam di
bawah kolam; (c) udang akan mati dalam waktu 4-12 jam sejak mulai timbulnya
gejala tersebut. Udang penderita banyak yang mati pada saat moulting; (d) pada
kondisi yang akut, kulitnya akan terlihat keputih-putihan dan tubuhnya berwarna
putih keruh; (e) permukaan tubuhnya akan ditumbuhi oleh diatomae, bakteri atau
parasit jamur; (f) pada kulit luar terlihat nekrosis pada kutikula, syaraf, antena,
dan pada mukosa usus depan dan tengah. Pengendalian: perbaikan kualitas air.
3) Hepatopancreatic Parvo-like Virus (HPV), Gejala: terutama menyerang
hepatopankreas, sehingga dalam pemeriksaan hepatopankreasnya secara
mikroskopik terlihat degenerasi dan adanya inklusion bodies dalam se-sel organ
tersebut (Anonim, 2009).
Keberadaan virus MSGS pada benih udang windu akan membawa dampak
yang besar pada produksi budidaya udang windu di tambak. Salah satu tindakan
pencegahan penyebaran virus di tambak adalah penyebaran benih bebas virus.
Usaha yang dapat dilakukan untuk benih bebas virus adalah dengan tindakan

deteksi dini virus tersebut. Salah satu metode deteksi yang cepat dengan akurat
adalah multipleks PCR (M-PCR). Multipleks PCR adalah varian dari PCR dimana
dua atau lebih lokus yang bersamaan diamplifikasi dalam reaksi yang sama
(Lightner, 1999).
Dari latar belakang tersebut sehingga digunakan metode pengujian dengan
multipleks PCR yang saat ini paling banyak digunakan untuk mendeteksi virusvirus tersebut.

Tujuan dan kegunaan


Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi jenis-jenis dan prevalensi virus
yang berasosiasi dengan penyakit kerdil pada pembenihan udang windu di
Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan dengan menggunakan multipleks PCR, dan
melihat kondisi histologi benih udang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi
pengelola dan pengembangan budidaya perikanan khususnya untuk kepentingan
penanganan penyakit yang timbul pada budidaya udang windu.

II.TINJAUAN PUSTAKA

Sistematika dan Morfologi


Klasifikasi Udang windu (Penaeus monodon), (Sunaryanto dan Pudjianto,
1987) :
Kelas

: Crustacea

Sub Kelas

: Malacostraca

Super Ordo

: Eucarida

Ordo

: Decapoda

Sub Ordo

: Natantia

Famili

: Penaeidae

Genus

: Penaeus

Spesies

: Penaeus monodon

Tubuh udang secara morfologi dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu
bagian depan (anterior) dan bagian belakang (posterior). Bagian depan disebut
bagian kepala dan bagian dada yang menyatu (cephalotrax). Bagian perut
(abdomen) terdapat ekor pada bagian belakangnya, semua bagian badan
beserta anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen). Kepala-dada terdiri dari 13
ruas yaitu kepala terdiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas, sedangkan bagian perut
terdiri dari 6 ruas. Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut
eksoskeleton yang terbuat dari bahan kitin. Bagian kepala-dada tertutup oleh
sebuah kelopak kepala (karapaks). Dibagian bawah pangkal cucuk kepala
terdapat mata majemuk yang bertangkai dan dapat digerak-gerakan. Mulut
terdapat dibagian bawah kepala diantara mandibula serta terdapat insang disisi
kanan kiri kepala yang tertutup oleh kelopak kepala (Sunaryanto dan Pudjianto,
1987).

Siklus hidup udang windu melalui beberapa stadia pertumbuhan mulai


dari telur, nauplius, zoea, mysis, pascalarva, juvenile sampai udang dewasa
(Susilowati, 1990). Kelangsungan hidup merupakan komponen utama yang perlu
diperhatikan dalam usaha budidaya. Kelangsungan hidup udang ditentukan oleh
dua faktor utama yaitu sifat genetik dari udang itu sendiri sebagai faktor internal
dan faktor lingkungan dimana udang itu hidup sebagai faktor eksternal. Effendie
(1997) menyatakan bahwa pertumbuhan dan kelangsungan hidup dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu faktor dalam seperti keturunan, seks dan umur serta faktor
luar diantaranya lingkungan perairan, makanan, penyakit dan parasit.

Penyakit danTimbulnya Penyakit pada Udang Windu


Beberapa permasalahan yang timbul dalam usaha budidaya udang windu
adalah serangan penyakit. Penyakit umumnya timbul akibat adanya interaksi
antara udang sebagai inang, organisme patogen penyebab penyakit dan
lingkungan tempat pemeliharaan (tambak). Pada kondisi alamiah, umumnya
udang tidak mengalami gangguaan penyakit. Akan tetapi sistem budidaya yang
mengakibatkan perubahan lingkungan atau sistem pemeliharaan yang melebihi
daya dukung lingkungan, akan mengganggu keseimbangan antara ketiga faktor
tersebut sehingga timbul masalah penyakit (Rukyani, 2000).
Timbulnya penyakit berhubungan erat dengan keadaan lingkungan.
Organisme penyebab penyakit seperti parasit, jamur dan virus akan cepat
menimbulkan penyakit, karena lingkungan yang kurang baik. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Tashlihan (1988) bahwa penyakit timbul apabila keadaan
lingkungan yang tidak stabil, misalnya salinitas yang tiba-tiba menurun secara
drastis akibat turun hujan, temperatur telalu tinggi, kadar oksigen terlalu rendah
sehingga udang mengalami stress Lightner (1994). Menurut Tancung (2005),

penyakit udang dapat disebabkan oleh berbagai jenis penyebab penyakit seperti
protozoa, bakteri, cendawan dan virus. Ditambahkan oleh Taslihan (1991),
penyakit pada organisme diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu (1) Penyakit
infeksi/parasit, apabila penyakit disebabkan oleh organisme seperti virus, jamur,
protozoa dan cacing; (2) Penyakit noninfeksi/nonparasiter, apabila penyakit
bukan disebabkan oleh organisme tetapi dapat disebabkan berupa parameter
lingkungan, defisiensi nutrisi, keracunan dan faktor genetis.

Penyakit Virus
MBV (Monodon Baculo Virus)
Jenis virus MBV merupakan jenis virus yang umum ditemukan dalam
budidaya udang pada sekitar tahun 1990, dan dikenal sebagai penyebab
penyakit kematian udang umur 1 bulan (one month dead syndrome). Akibat
serangan virus, banyak tambak yang gagal panen dan mengalami kematian
premature. Agensia penyebab : Monodon Baculo Virus (MBV) merupakan virus
keluarga baculovirus ,yaitu virus bentuk batang berbahan genetik DNA untai
ganda (dsDNA, double strand deoxyribonucleic acid). Virus ini dalam inti sel
inang yang terinfeksi membentuk occlusion body. Koloni virion dengan matriks
berupa protein sebagai perekat membentuk kristal seperti bola dalam inti sel
hepatopankreas udang yang terinfeks. Kristal virus seperti ini disebut sebagai
occlusion

body.

Inti

sel

yang

terinfeksi

virus

umumnya

membesar

(hypertrophied), berisi beberapa kristal virus yang berbentuk bulat. Jaringan yang
terinfeksi virus selanjutnya akan segera mengalami kerusakan (Anonim, 2007).

HPV (Hepathopancreatic Parvovirus)


Penyakit HPV disebabkan oleh DNA yang mengandung parvovirus
berukuran kecil dengan diameter 22-24 nm (Lightner, 1991). Penyakit ini

terutama menyerang organ hepato-pankreas udang, tetapi kadang-kadang juga


menyerang organ insang dan usus. Sesuai hasil pengamatan di lapangan
tampak bahwa bila serangan sudah cukup tinggi, tubuh udang menjadi berwarna
pucat dan hepatopankreas berwarna coklat. Bahkan kotoran yang dikeluarkan
udang menjadi berwarna putih. Hal ini terkait kerusakan dan pembusukan serta
disfungsi

hepatopankreas

sebagai

pusat

metabolisme

tubuh.

Kemudian

pertumbuhan menjadi lambat dan bahkan mengalami kematian.


Lightner (1991) menyatakan bahwa gejala serangan HPV ini tidak
spesifik, tetapi pada beberapa kasus tampak bahwa hepatopankreas berwarna
keputihan dan atropi, pertumbuhan lambat, anorexia, gerakan lambat, cenderung
naik ke permukaan, dan insang dihinggapi organisme-organisme komensalisme,
dan infeksi kedua oleh organisme-organisme patogen opurtunistik seperti Vibrio
spp. Oleh karena HPV jarang teramati sendirian dalam serangan penyakit yang
mematikan, kematian akibat HPV sulit ditentukan (Lightner, 1991). Serangan
HPV dengan agenagen penyakit lainnya ini menyebabkan kematian tinggi pada
tahap juvenis, dan dalam 4 minggu dapat mencapai 50-100%.

IHHNV (Infectious Hypodermal Hematopoietic Necrosis Virus)


Jenis virus lain yang menginfeksi udang dan mengakibatkan kerugian
adalah IHHNV (Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus).
Udang yang terinfeksi virus ini tumbuh kerdil. Dalam satu tambak dengan ukuran
udang kerdil dengan porsi lebih dari 30% kemungkinan disebabkan oleh IHHNV.
Multiinfeksi virus juga dapat terjadi pada satu tubuh udang, misalnya kombinasi
dengan WSSV dan MBV (Monodon Baculo Virus).
Virus IHHNV merupakan virus dengan bahan asam nukleat untai tunggal
(ssDNA) dari kelas parvovirus, yang dicirikan dengan adanya benda inklusi,
inclussion body yaitu merupakan koloni virus dengan tanpa adanya matrik. Inti

sel yang terinfeksi virus biasanya membesar dibandingkan dengan normal.


Diagnosis dilakukan dengan prosedur histopatologis, jaringan hepatopankreas
menggunakan larutan fiksatif Davidson. Diagnosis positif dengan ditemukannya
benda inklusi (koloni virus tanpa matriks) dalam inti sel yang terinfeksi.
Serangan penyakit dapat mengakibatkan kematian masal hingga
mencapai 100% dalam waktu yang sangat singkat yaitu hanya 2 hari sejak gejala
pertama tampak. Udang yang terserang biasanya berenang ke tepi dekat
pematang, lemah, kehilangan nafsu makan dan akhirnya mati. Agensia
penyebab: Penyebab penyakit virus ini adalah termasuk virus berbahan genetik
DNA, non-occluded virus, dan virion berbentuk batang. Penularan penyakit yang
sangat cepat, menyebabkan sulitnya penanggulangan penyakit. Organisme
penular (karier) dapat berupa rebon (mysid shrimp), udang putih, kepiting,
wideng, udang windu sendiri yang menularkan penyakit secara horizontal.
Penularan secara vertikal dapat terjadi melalui induk menular ke Larva (Anonim,
2007).
Multipleks PCR
Multipleks PCR adalah suatu metode deteksi secara simultan beberapa
agen penyakit secara molecular dalam stau kit yang sama, sehingga deteksi
secara cepat dan tepat dapat dilakukan .
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatik in vitro
yang digunakan untuk menghasilkan gugus DNA yang spesifik dalam jumlah
besar dan dalam waktu yang singkat melalui tahapan- tahapan denaturation,
annealing dan extension pada temperatur yang berbeda.' Sejak pertama kali di
perkenalkan pada tahun 1985, teknologi PCR telah menghasilkan terobosanterobosan besar dalarn penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang
kedokteran dan kedokteran gigi untuk memahami berbagai patogenesis maupun

diagnosis penyakit. Diagnosis maupun patogenesis penyakit yang berkaitan


dengan faktor genetik kini mulai bisa terungkap dengan teknik ini seperti
abnormalitas ataupun mutasi gen (Lightner, 1994).
Teknologi ini berkembang dari konsep replikasi DNA, dimana gugus DNA
yang spesifik diperbanyak dengan menggunakan enzim DNA polymerase.3 Pada
reaksi ini, sesudah proses denaturasi, dua oligonukleotida yang berfungsi
sebagai primer akan menempel (annealing) pada ke dua pita DNA dan
selanjutnya akan di amplifikasi. Bila siklus ini terus berulang, maka terjadi
perbanyakan dari gugus DNA spesifik yang menjadi target analisis dalam waktu
yang singkat. Selain DNA, RNA juga dapat menjadi target untuk diperbanyak
dengan teknologi ini yaitu dengan RT-PCR.4 Dengan teknik ini RNA dirubah
kedalam bentuk DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptation dan
selanjutnya diamplifikasi dalam jumlah yang dikehendaki.
Komponen PCR
Selain DNA template yang akan digandakan dan enzim DNA polymerase,
komponen lain yang dibutuhkan adalah:
Primer
Primer adalah sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek
yang menginisiasi sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau
polimerisasi DNA. PCR hanya mampu menggandakan DNA pada daerah tertentu
sepanjang maksimum 10000 bp saja, dan dengan teknik tertentu bisa sampai
40000 bp. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan
DNA template, jadi dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang kita
inginkan.

10

dNTP (deoxynucleoside triphosphate)


dNTP alias building blocks sebagai batu bata penyusun DNA yang baru.
dNTP terdiri atas 4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP,
dCTP, dGTP dan dTTP.

Buffer
Buffer

yang

biasanya

terdiri

atas

bahan-bahan

kimia

untuk

mengkondisikan reaksi agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA


polymerase.

Ion Logam

Ion logam bivalen, umumnya Mg++, fungsinya sebagai kofaktor bagi enzim
DNA polymerase. Tanpa ion ini enzim DNA polymerase tidak dapat
bekerja.

Ion logam monovalen, kalsium (K+).

Tahapan Reaksi
Setiap siklus reaksi PCR terdiri atas tiga tahap, yaitu:
Pra-denaturasi
Dilakukan

selama

1-9

menit

diawal

reaksi

untuk

memastikan

kesempurnaan denaturasi dan mengaktifasi DNA Polymerase (jenis hot-start


alias baru aktif kalau dipanaskan terlebih dahulu).

11

Denaturasi
Denaturasi dilakukan dengan pemanasan hingga 96C selama 30-60
detik. Pada suhu ini DNA utas ganda akan memisah menjadi utas tunggal.

Annealing
Setelah DNA menjadi utas tunggal, suhu diturukan ke kisaran 40-60C
selama 20-40 detik untuk memberikan kesempatan bagi primer untuk menempel
pada DNA template di tempat yang komplemen dengan sekuen primer.

Ekstensi/elongasi
Dilakukan dengan menaikkan suhu ke kisaran suhu kerja optimum enzim
DNA polymerase, biasanya 70-72C. Pada tahap ini DNA polymerase akan
memasangkan dNTP yang sesuai pada pasangannya, jika basa pada template
adalah A, maka akan dipasang dNTP, begitu seterusnya (ingat pasangan A
adalah T, dan C dengan G, begitu pula sebaliknya). Enzim akan memperpanjang
rantai baru ini hingga ke ujung. Lamanya waktu ekstensi bergantung pada
panjang daerah yang akan diamplifikasi, secara kasarnya adalah 1 menit untuk
setiap 1000 bp.
Selain ketiga proses tersebut biasanya PCR didahului dan diakhiri oleh tahapan
berikut:
Final Elongasi
Biasanya dilakukan pada suhu optimum enzim (70-72C) selama 5-15
menit untuk memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah
diperpanjang secara sempurna. Proses ini dilakukan setelah siklus PCR terakhir
PCR dilakukan dengan menggunakan mesin Thermal Cycler yang dapat
menaikkan dan menurunkan suhu dalam waktu cepat sesuai kebutuhan siklus
PCR. Pada awalnya orang menggunakan tiga penangas air (water bath) untuk

12

melakukan denaturasi, annealing dan ekstensi secara manual, berpindah dari


satu suhu ke suhu lainnya menggunakan tangan. Tapi syukurlah sekarang mesin
Thermal Cycler sudah terotomatisasi dan dapat diprogram sesuai kebutuhan.

III. METODE PENELITIAN


Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai bulan
Januari 2011. Pengambilan sampel dilakukan pada pembenihan di Kabupaten
Barru, kemudian dianalisis Multipleks PCR dan Histopatologi di Laboratorium
Parasit dan PenyakitI Ikan, Jurusan Perikanan UNHAS.
Alat dan Bahan

13

Alat
Adapun alat alat yang digunakan selama penelitian adalah sebagai berikut ;
Table 1. Alat - alat yang digunakan pada penelitian serta kegunaannya
No.

alat

micropipet

Untuk

Fungsi
memindahkan secara

suatu

larutan/cairan

dalam

akurat
volume

kecil.
Untuk memutar sampel dalam

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

sentrifugator

kecepatan tinggi.
Untuk memisahkan segmen DNA

Alat elektroforesis

berdasarkan aliran listrik.


Untuk mencampur larutan dalam

vortex mixer
Waterbath with

proses ekstraksi DNA.


Untuk inkubasi sesuai temperature

shaker
Tabung eppendorf

yang diinginkan.
Untuk mengekstrak DNA.
Untuk mengumpulkan hasil ekstrak

Tabung koleksi
Thermalcycler

DNA.
Untuk mengaplifikasi segmen DNA.
Untuk memvisualisasi virus yang

UV iluminator
Deck glass
Tabung PCR

terdeteksi.
Untuk mengalas jaringan.
Untuk PCR

Mikrotom

Untuk memotong jaringan.

Mikroskop

Untuk mengamati jaringan.

Bahan
Adapun bahan yang digunakan selama penelitian adalah sebagai berikut ;
Tabel 2. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian serta kegunaannya
Nama Bahan

Kegunaan

Tabung PCR

PCR.

Primer

PCR/Sekuensing DNA.

Master Mix

Reagen PCR.

Agarosa

Elektroforesis DNA.

Tabung Eppendort

Reaksi.

14

Tip mikroliter

Pengambilan sampel.

QIAamp DNA Mini Kit

Ekstraksi DNA.

Benur Udang

Pemeriksaan dan Koleksi virus.

Ethidium Bromida

Visualisasi produk PCR.

Marka DNA

Karakterisasi DNA

TAE 1X

Elektroforesis DNA.

Alcohol 50%,70%,80%,90%, 100%

Sebagai bahan pada proses


washing,dehidrasi,dan rehidrasi.

Paraffin

Sebagai bahan impregnasi dan


embedding.

Larutan Davidson

Sebagai larutan fiksasi.

Aquadest

Sebagai bahan pengencer.

Entellan

Sebagai bahan perekat.

Eosin

Sebagai bahan pewarna


jaringan.

Haematoxylin

Sebagai bahan pewarna


jaringan.

Xylol

Sebagai bahan penetrasi.

Prosedur Kerja
Pengumpulan Sampel
Udang sampel adalah benih udang windu yang siap ditebar atau dijual ke
petani tambak dari beberapa pembenihan di Kabupaten Barru. Jumlah sampel
yang diambil sebanyak 300 ekor dari 3 pembenihan A,B, dan C di Kabupaten
Barru. Kemudian sampel yang diambil yaitu benih udang stadia Post Larva 1214. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium kemudian dilakukan pengacakan
secara bertingkat yaitu 300 ekor dibagi ke dalam 3 sub sampel masing-masing

15

100 ekor dan dari 100 ekor kemudian diambil 3 ekor secara acak untuk dilakukan
ekstraksi.
Ekstraksi DNA
Deteksi keberadaan virus MBV, IHHNV, dan HPV dilakukan dengan
terlebih dahulu melakukan ekstraksi DNA dari udang dan selanjutnya dilakukan
amplifikasi DNA dengan menggunakan teknik PCR. Ekstraksi DNA dilakukan
dengan terlebih dahulu melakukan homogensi seluruh tubuh udang sampai
halus. Selanjutnya ekstraksi dilakukan dengan menggunakan kit komersial
(qiagen). Prosedur ekstraksi DNA mengikuti petunjuk seperti yang tertulis dalam
petunjuk pabrikan.
Prosedur Ekstraksi DNA adalah sebagai berikut :
Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan QIAamp DNA Mini Kit
(50) menggunakan protokol untuk tissues dengan mengikuti petunjuk pabrikan
dengan beberapa modifikasi. Secara berurutan ekstraksi DNA dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut :
1. Udang yang telah difiksasi pada alkohol 95 % dibersihkan beberapa kali,
sehingga tidak ada jaringan lain yang terikut kecuali hanya jaringan dari
udang.
2. Ambil 3 buah tabung eppendorf 1,5 mL dan tambahkan larutan ATL sebanyak
180 L.
3. Letakkan sampel dalam 1 buah tabung eppendorf 1,5 mL tersebut
4. Selanjutnya ditambahkan larutan proteinase K sebanyak 20 L kedalam
tabung, lakukan vorteks dan selanjutnya lakukan sentrifus cepat.

16

5. Tabung kemudian diinkubasi pada suhu 56o C selama semalam atau 3 jam
tergantung jenis jaringan.
6. Setelah inkubasi lakukan sentrifus cepat sehingga seluruh cairan yang
melengket pada dinding tabung akan menuju ke dasar tabung. Buang
supernatan.
7. Tambahkan larutan 200 L air buffer Al, vortex selama 15 detik, lalu inkubasi
pada 70o C selama 10 menit. Lakukan sentrifus cepat dan buang supernatant
8. Selanjutnya tambahkan 200 L ethanol 99,9 % (ethanol absolut)
9. Larutan dari tabung eppendorf selanjutnya dipindahkan pada QIAamp mini
spim kolom (dalam 2 L tabung koleksi), pada saat memindahkan larutan
agar tidak menyentuh dinding tabung. Tutup penutup tabung dan sentrifus
pada 8000 rpm selama 1 menit, letakkan QIAamp kolom pada tabung koleksi
yang baru dan buang tabung koleksi yang sudah mengandung filtrate.
10. Tambahkan 500 L buffer AW1 tanpa menyentuh dinding tabung, tutup
penutup, lalu sentrifus 8000 rpm selama 1 menit, letakkan kembali kolom
pada tabung koleksi yang baru dan buang tabung koloeksi yang
mengandung filtrate.
11. Tambahkan 500 L buffer AW 2 pada kolom tanpa menyentuh pinggir
tabung, tutup lalu sentrifus pada 14000 rpm selama 3 menit
12. Buang filtrate lalu tempatkan kembali column pada tabung koleksi yang
sama, lalu sentifus kembali pada 1400 rpm selama 1 menit.

17

13. Selanjutnya QIAamp column diletakkan pada tabung eppendorf 1,5 mL dan
ditambahkan buffer AE sebanyak 100 L, inkubasi pada suhu kamar selama
1 menit, sentrifus pada 8000 rpm selama 1 menit
14. Langkah 13 diulangi dengan menambahkan lagi larutan buffer AE sebanyak
100 L pada tabung yang sama, lalu diinkubasi selama 1 menit dan
selanjutnya disentrifus pada 8000 rpm selama 1 menit. Total larutan DNA
yang diperoleh adalah 200 L.
15. Simpan hasil ekstrak DNA pada suhu -20o C sebelum digunakan.
Amplifikasi DNA Virus
Amplifikasi DNA dengan teknik M-PCR dilakukan dengan komposisi dan kondisi
PCR sebagai berikut:
Komposisi PCR

Master mix

Primer
Template DNA
MiliQ
Coral Land

12,5
0,8 X (3
psg)
2,0
3,2
2,5

Jumlah

25 l

Primer Spesifik (Khawsak, et. al., 2008)

Primer Spesifik Virus MBV Yaitu Primer yang berukuran 305 bp


dengan urutan nukleotida 5TACCATAAGCTAGCATACGCC

GGGGGCACAAGTCTCACAAG3
Primer Spesifik Virus IHHNV yaitu Primer yang berukuran 302 bp
Dengan urutan nukleotida 5ATTTCTCCAAGCCTTCTCACC

TGATGTAAGTAATTCCTCTCTGT3
Primer Spesifik Virus HPV yaitu Primer yang berukuran 659 bp
Dengan urutan nukleotida 5CATACATCGTCTTTCTTCTCC

18

GGCTCATCGTCTTTCTTCTCC3
kondisi PCR

Proses
Predenaturasi
Denaturasi
Annealing
Extension
Final Extension
Siklus MPCR

Suhu
94 C
94 C
56 C
72 C
72 C

Lama
10
30
30
1
5
35 siklus

Elektroforesis Hasil PCR


Persiapan gel agarose. Agarose ditimbang sesuai dengan keperluan,
kemudian dilarutkan dalam larutan TAE 1 X. Dalam penelitian ini konsentrasi
agarose yang digunakan adalah 1,5%. Dengan menggunakan pemanas
(hotplate) agarose dilarutkan sampai mendidih dan setelah mendidih dibiarkan
selama kurang lebih 25 menit sampai suhunya sekitar 50oC, kemudian dicetak
dalam tray agarose yang telah dilengkapi dengan sisir untuk membentuk sumursumur gel. Setelah agarose dingin, dengan sangat hati-hati sisir tray diangkat
kemudian gel dimasukkan kedalam elektroforesis apparatus yang telah diisi
dengan TAE 1 X sebagai buffer elektroforesis.
Running elektroforesis. Untuk mengetahui apakah suatu sampel
terinfeksi dengan IHHNV,HPV atau MBV, maka hasil PCR sebanyak 10 L dirunning dalam gel elektroforesis bersama-sama dengan DNA marker 100bp.
Setelah semua hasil PCR diinjeksikan ke dalam sumur-sumur gel elektroforesis,
selanjutnya elektroforesis dijalankan dengan kondisi 100 volt, selama 45 menit.
Visualisasi DNA
Gel hasil elektroforesis direndam dalam larutan ethidium bromida
(konsentrasi 1 mg/mL) selama 10 15 menit. Selanjutnya gel dicuci dengan
akuadest selama 5 10 menit. Untuk mengetahui ada tidaknya infeksi HPV,

19

IHHNV dan MBV terhadap sampel-sampel yang dideteksi maka gel hasil
elektroforesis diamati menggunakan uv transilluminator yang sekaligus dilakukan
pengambilan gambar.
Histopathology
Prosedur kerja histologi udang windu adalah sebagai berikut:
1. Memfiksasi jaringan yang terinfeksi pada Larutan Davidson selama 48 jam
2. Melakukan washing pada Alkohol 70% selama 15 menit
3. Melakukan dehidrasi pada Alkohol 70%, 80%, 90%, dan 100% masing4.
5.
6.
7.

masing selama 1 jam


Melakukan Clearing dengan menggunakan Xylol selama 2x30 menit
Menyimpan jaringan pada paraffin murni selama (2x1 jam)
Memasukkan paraffin di dalam jaringan (Embedding)
Cutting

8. Pewarnaan menggunakan metode Mayers-Bennet


a)
b)

Menghilangkan paraffin dengan perendaman pada Xylol I dan Xylol II


masing-masing selama 5 menit
Penghilangan Xylol
Disimpan pada Alkohol 100% selama 2x5 menit
Disimpan pada Alkohol 90% selama 2x5 menit
Disimpan pada Alkohol 80% selama 2x5 menit
Disimpan pada Alkohol 70% selama 2x5 menit Disimpan pada Alkohol

50% selama 1x5 menit


Membilas dengan Aquadest sebanyak 6x bilasan
c) Merendam Preparat pada Larutan Haematoxylin selama 5 menit
d) Membilas pada air mengalir selama 4-5 menit
e) Kemudian di celupkan pada Larutan selama 2-3 menit
f) Melakukan dehidrasi dengan Alkohol 90% (2x5 menit) dan Alkohol 100%
(2x5 menit)
g) Merendam pada Xylol selama 5 menit
Xylol I selama 5 menit
Xylol II selam 5 menit
Xylol III selama 5 menit
Xylol IV selama 5 menit
9. Memberi entellan kemudian dicover
10. Melakukan pengamatan histopathology menggunakan mikroskop.
Parameter Penelitian

20

Prevalensi Virus
Pengukuran prevalensi IHHNV,MBV,dan HPV menggunakan rumus
Fernando et al (1972) sebagai berikut:

Dimana :
Prev

: Persentase udang yang terserang virus (%)

: Jumlah sampel udang yang terinfeksi virus (ekor)

: Jumlah sampel yang diamati (ekor)

Histopatologi
Histopatologi udang yang terinfeksi virus diketahui dari kondisi histology
seperti hypertropeid nukleat, inclusion body, respon eosinofilik atau basofilik
jaringan (Lightner,1996)
Analisis Data
Data penelitian mengenai prevalensi virus yang berasosiasi dengan
penyakit kerdil dan kondisi histopatologis dianalisis secara deskriptif dengan
bantuan gambar.

21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Amplifikasi DNA
Berdasarkan hasil pengamatan di Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan
Jurusan Perikanan UNHAS yang dilakukan pengujian dengan teknik multipleks
PCR (Polymerase chain reaction) terhadap sampel benih udang windu dari lokasi
pembenihan di Kabupaten Barru, diperoleh hasil bahwa benih udang windu
terinfeksi oleh virus MBV dan IHHNV sedangkan virus HPV tidak ditemukan.
Berikut gambar visualisasi DNA sampel yang terinfeksi virus tersebut.

100
500
305
bp
302

100

Gambar 1. Elektroforegram Hasil PCR Benih Udang Windu Kabupaten


Barru M=Marker.Lane 1-6 MBV dan Lane 1-5 IHHNV).

22

Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa pita DNA yang tampak


berada pada kisaran yang sesuai dengan pita DNA Virus MBV pada ukuran 302
bp,dan Virus IHHNV yaitu pada ukuran 305 bp sedangkan virus HPV tidak
ditemukan. Hal tersebut membuktikan bahwa pengujian terhadap infeksi virus
penyebab penyakit kerdil dengan multipleks PCR dari beberapa lokasi
pembenihan di Kabupaten Barru dapat dilakukan. Virus HPV tidak ditemukan
karena kemungkinan disebabkan kondisi PCR yang belum optimal dan
kombinasi ketiga pasang primer tidak cocok,sehingga diperlukan upaya untuk
optimasi.
Penyakit akibat virus MBV disebabkan oleh Baculovirus tipe A yang
mengandung DNA stranded ganda sebagai tipe asam nukleatnya (Lightner,
1996). Serangan penyakit MBV terjadi pada semua stadia udang, tetapi
timbulnya penyakit ini paling sering pada stadia juvenil dan dewasa (Dana dan
Hadiroseyani, 1989). Meskipun begitu benih udang di hatchery juga tidak luput
dari serangan virus ini. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengujian multipleks
PCR dari sampel benih yang positif terinfeksi virus MBV. Sedangkan virus IHHNV
termasuk virus berbahan genetik DNA, non-occluded virus, dan virion berbentuk
batang. Penularan penyakit

yang sangat cepat, menyebabkan sulitnya

penanggulangan penyakit.
Organisme penular (karier) dapat berupa rebon (mysid shrimp), udang
putih, kepiting, wideng, udang windu sendiri yang menularkan penyakit secara
horizontal. Penularan secara vertikal dapat terjadi melalui induk menular ke Larva
(Anonim, 2007).
2. Prevalensi virus
Prevalensi virus MSGS pada benih udang windu di kab. Barru dapat
dilihat pada table berikut.

23

Tabel 3. Prevalensi Virus MBV, IHHNV, dan HPV Pada Benih Udang Windu di
Kabupaten Barru
Pembeni
han
A
B
C
D
Rata-

JMLH
SAMPE
L
3
3
3
3

+
MBV

PREVALE
NSI MBV

+
IHHNV

3
3
2
1

100%
100%
66,66%
33,33%

3
0
1
0

PREVALE
NSI
IHHNV
100%
0%
33,33%
0%

74%

+ HPV
0
0
0
0

33%

PREVALE
NSI
HPV
0%
0%
0%
0%
0%

rata

Berdasarkan

tabel

di atas menunjukkan

tempat

pembenihan

di

Kabupaten Barru terjangkit virus MBV dan IHHNV sedangkan virus HPV tidak
ditemukan. Tingkat prevalensi di lokasi ini virus MBV menunjukkan sangat tinggi
dengan rata-rata yaitu 74%,hal ini disebabkan Baculovirus tipe A yang
mengandung DNA stranded ganda sebagai tipe asam nukleatnya sehingga
multiplikasi DNA nya lebih banyak (Lightner, 1996). Serangan penyakit MBV
terjadi pada semua stadia udang, tetapi timbulnya penyakit ini paling sering pada
stadia juvenil dan dewasa (Dana dan Hadiroseyani, 1989).
IHHNV dengan rata-rata prevalensi yaitu 33%. Virus IHHNV memiliki
pengaruh bervariasi lebih banyak mengakibatkan berat badan yang rendah pada
udang windu dan perubahan bentuk tubuh atau deformasi pada udang dewasa.
Apabila virus IHHNV ditemukan pada benih udang selama stadia post larva,
kemungkinan deformasi tubuh udang lebih cepat terjadi dan memberikan
dampak bobot tubuh dewasa yang tidak normal.

Pengaruh infeksi virus ini

bervariasi, misalnya pada udang P.vannamei dan P. monodon yang terinfeksi


virus

ini

tidak

menyebabkan

kematian

(Karunasagar

2009),

sehingga

penggunaan PCR dapat dilakukan untuk mendeteksi penyakit tersebut (Lightner


et al. 1994). Sedangkan prevalensi virus HPV dengan rata-rata 0%,hal ini
disebabkan karena kondisi PCR yang belum optimal dan kombinasi ketiga
pasang primer tidak cocok sehingga dianalisis diperlukan upaya untuk optimasi.

24

Namun demikian, keberadaan virus MBV dan IHHNV pada benih Udang Windu
dapat mengancam prosuksi udang windu di tambak.
3. Histopatologi
Berdasarkan pengamatan histopatologi yang dilakukan terhadap sampel
benih udang windu di panti-panti benih Kabupaten Barru, didapatkan sebuah
gambar mikroskopis yang sesuai dengan ciri bentuk infeksi virus MBV dan
IHHNV.. Gambar dapat dilihat di bawah ini.

Gambar 2.Kondisi Jaringan Udang Windu (P.monodon) yang terserang


virus. 1. MBV dan 2. IHHNV (400X H&E)

Dari hasil pengamatan histologi hepatonkreas memperlihatkan adanya


virus dalam jaringan tersebut yang ditandai dengan adanya inclusion bodi atau
area-area yang kosong dimana sel-sel virus pernah ada akan tetapi telah
ditinggalkan oleh virus. Hal ini sesuai dengan pendapat Bower, (1996);
Kasarnchandra et al (1998) yang menyatakan bahwa pada udang yang positif
terinfeksi MBV, inti sel akan mengalami pembesaran (hipertropi) sehingga berisi
benda-benda inklusi dan mengalami penyusutan kromatin. Hipertropoid intra
nuklear yang dilihat pada jaringan sel menjadi berbeda dari stadia sejak infeksi

25

virus ini. Kondisi hepatopankreas yang mengalami hipertropi nuclei ditandai


dengan adanya inclusion bodi atau banyaknya area-area yang kosong yang telah
ditinggalkan oleh virus. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan virus ini
sangat cepat. MBV membentuk badan oklusi (Occlusion body) yang berbentuk
elips dan berwarna merah jambu (eosinofilik) dengan pewarnaan HematoxylinEosin (H&E). Kepekatan warna dan diameter badan oklusi tersebut bervariasi
tergantung tahap perkembangan infeksi.
Virus yang ditemukan pada histology ini yaitu virus IHHNV, selain
hipertropi yang lebih besar melebar dari normal,terlihat pula ada tubulusnya
mengalami degenerasi dan nekrosis (penyusutan dan penghancuran). Nekrosis
merupakan pengurangan dalam ukuran sel. Hal ini sesuai dengan pendapat
Takashima dan Hibiya (1995) yang menyatakan bahwa perubahan patologi pada
pankreas menyangkut atrophy dan nekrosis. Selain itu juga terlihatbentuk
kolumnernya yang mengalami penghancuran. Udang windu yang terjangkit virus
ini juga akan mengalami penurunan nafsu makan dimana keadaan seperti ini
akan mengakibatkan hepatopankreas tidak berfungsi normal.
Sedangkan virus HPV tidak ditemukan karena penyakit HPV disebabkan
oleh DNA yang mengandung parvovirus berukuran kecil dengan diameter 22-24
nm (Lightner, 1996). Penyakit ini terutama menyerang organ hepato-pankreas
udang, tetapi kadang-kadang juga menyerang organ insang dan usus. Sesuai
hasil pengamatan di lapangan tampak bahwa bila serangan sudah cukup tinggi,
tubuh udang menjadi berwarna pucat dan hepatopankreas berwarna coklat
Lightner (1996).

26

V. KESIMPULAN DAN SARAN


KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Benih Udang Windu Kabupaten Barru terinfeksi MBV dan IHHNV melalui
deteksi multipleks PCR.
2. Prevalensi MBV dan IHHNV melalui multipleks PCR pada benih Udang Windu
di Kabupaten Barru masing-masing dengan rata-rata 74% MBV,33%
IHHNV,dan 0% HPV.
3. Kondisi Histopatologi benih Udang Windu yang terserang MBV dan IHHNV
memperlihatkan adanya Hyperthopi Nulei dan Inclusion Body.
SARAN
Mengingat virus MBV,IHHNV, dan HPV dapat ditularkan secara vertikal
(dari induk) dan horisontal (kontak antar larva), sehingga perlu kajian lanjutan
tentang asal mula keberadaan MBV,IHHNV, dan HPV yang menginfeksi udang di
tempat pembenihan.

27

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. 1988. Peubah Penting Mutu Air tambak Udang dalam seminar Budidaya
Udang intensif. Patra utama H. R. D dan Petro Utama Teknik, Jakarta.
Anonim, 1996. Sistem Resirkulasi pada Tambak Udang, Majalah Primadona
Perikanan, Edisi Oktober 1996, Jakarta.
Anonim,2010.PenerapanPCR.Http://www.dkp.go.id/upload/Juknis%20Penerapan
%20Best%20Management%20Practices%20 _BMP_.pdf , pada tanggal
28 November 2010, pukul 08.00 wita di Makassar.
Anonim,2010. Mengenal PCR.Http://sciencebiotech.net/mengenal-pcrpolymerase-chain-reaction/ , pada tanggal 28 November 2010, pukul
08.00 wita di Makassar.
Anonim, 2010. Hama dan penyakit. http://agromaret.com/artikel pada tanggal 28
November 2010, pukul 08.00 wita di Makassar.
Bower, S.M. 1996. Synopsis of infectious disease add parasities of commercially
exploited baculovirus in experimentally infected wild shrimp, crab and
lobsters by in situ hybridization. Aquaculture 166: 1-17
Chayaburakul,
K.,
Nash,
G.,
Pratanpipat,
P.,
Sriurairatana,
S.,
Withyachumnarnkul, B., 2004. Multiple pathogens found in growthretarded black tiger shrimp Penaeus monodon cultivated in Thailand. Dis.
Aquat. Org. 60: 8996.
Effendi, I. 1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 163 hal
Khawsak, P., Deesukon, W., Chaivisutangkura, P., and Sukhumsirichart, W. 2008.
Multipleks RT-PCR Assay to Simultaneous detection of six viruses of
penaeid shrimp. Molecular and celluler probes. 22:177-183
Lightner. 1994. Racun dan Penyakit dalam Teknologi Pembenihan Udang.
EditorJ.M. Fox Central Jaya Interprise development project dan PT.
Jegera Amindo Sarana. Jakarta.

28

Lightner, D.V. 1996. A Handbook of Shrimp Pathology and Diagnostic Procedures


for Diseases of Cultured Penaeid Shrimp. Baton Rouge, LA: World
Aquaculture Society.

Lightner, D. V. 1999. The Penaeid Shrimps Viruses TSV, IHHNV, WSSV, and
YHV : Current status in the Americas, Available Diagnostic Methods, and
Management Strategies. In the Nutrition Fish Healt. Editor : Chhorn Lim,
Carl D. Webster. Food Production Press. New York London Oxford.
Rantetondok, A. 1986. Hama dan Penyakit Ikan. Lembaga penerbitan Universitas
Hasanuddin. Ujung Pandang
Rohmana, D. 1995. Kerentanan Benih Udang Windu (penaeus monodon) Stadia
PL 10 Asal Cilacap Jawa Tengah terhadap Infeksi Virus MBV. Skripsi S1
Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rukyani, A., 2000. Penanggulangan Penyakit udang Windu. Makalah Seminar
Sehari Penanggulangan Penyakit Udang Wuidu Ditambak. Balitkandita.
Maros.
Susilowati, T. 1990. Ketidaksamaan Waktu Panen Member Peluang bagi Tumbuh
Berkembangnya Hama dan Penyakit pada Udang Tambak. Balai
Penelitian Perikanan Laut. Sub Balitdita. Bojonegara. Serang.
Sunaryanto, A,., A. Mariam dan Pudjianto. 1987. Penyakit Udang. Jaringan
Informasi Perikanan Indonesia. Direktoral Jendral Perikanan Departemen
Pertanian. Jakarta.
Tancung, B. 2005. Pengembangan Budidaya Udang windu Berbasis Teknologi.
Dinas Perikanan dan Kelautan bekerja sama dengan Hasanuddin
University Press. Makassar.
Taslihan, A. 1991. Penyakit Udang dan Cara Pengendaliannya. Balai Budidaya
Air Payau. Jepara.

29

Anda mungkin juga menyukai