Anda di halaman 1dari 27

ABSES PARU

A. Definisi
Abses

paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru

yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim
paru pada satu lobus atau lebih. Kavitas ini berisi material purulen sel radang akibat
proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi. Bila diameter kavitas < 2 cm
dan

jumlahnya

banyak

(multiple

small

abscesses) dinamakan necrotizing

pneumonia.

B. Epidemiologi
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya
abses paru. Beberapa penelitian menyimpulkan beberapa faktor terkait,
diantaranya :
Tabel 2.1. Faktor Predisposisi Abses Paru
No

Faktor Predisposisi

Alkoholik (50%)

Ca Bronkogenik (25%) Karies gigi (20%)


Miscellaneous (tidak teridentifikasi) 23,3%

3
Penel

Penyalahgunaan obat (cth : steroid) 3,3% Epilepsi (6,6%)

itian terdahulu menemukan adanya infeksi pada pasien abses paru. Dari

hasil kultur sputum didapatkan adanya infeksi staphylococcus (46,%), klebsiella


(26,6%), D. pneumonia (16,6%) dan E.coli (10%).
Penelitian lain melaporkan beberapa faktor predisposisi abses paru yang
terjadi pada anak-anak, diantaranya:

Tabel 2.2. Faktor Predisposisi Abses Paru pada Anak-Anak.


Kondisi
Infeksi berat

Contoh
Bronkopneumonia Meningitis Osteomyelitis
Septicemia
Abses dinding perut Abses peritonsilar
Endocarditis

Measles Burns Prematur Leukimia Hepatitis


Disgammaglobulinemia
Sindroma nefrotik
Penyakit granulomatosa kronik
Terapi steroid
Malnutrisi

Defisiensi mental Perubahan kesadaran


Disfagia
Gangguan sistem imun

Penyakit dental

Aspirasi pada daerah orofaring merupakan penyebab utama terjadinya


abses. Faktor predisposisi yang menyebabkan aspirasi orofaring seperti tabel 2.3,
kadang-kadang satu orang lebih dari satu faktor.

Tabel 2.3. Predisposisi Aspirasi Orofaring


Predisposisi Aspirasi Orofaring
Ganguan kesadaran

Alkoholisme

penyalahgunaan obat intravena

epilepsi

ganguan inervasi otot

faring

Infeksi nasal
Infeksi oral

laring
penyakit sinus
caries gigi

Infeksi farigeal

pouch

Infeksi

striktur

C. Etiologi
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses paru
disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob
dan aerob.

Disebut abses primer apabila infeksi diakibatkan aspirasi atau

pneumonia yang terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder apabila
infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti
obstruksi, bronkektasis dan gangguan imunitas.
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan hematogen.
Yang paling sering ditemukan adalah abses paru bronkogenik akibat aspirasi. Hal
ini dapat disebabkan oleh kelainan anatomis, sumbatan bronkus maupun tumor.
Sedangkan abses paru melalui hematogen biasanya berhubungan dengan infeksi.

D. Patogenesis
1. Patologi
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian
menimbulkan proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang
pertama dimulai dari supurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang
menimbulkan nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi
terjadi mengelilingi abses, melokalisir proses abses dengan jaringan
fibrotik.

Seiring dengan membesarnya fokus supurasi, abses akhirnya akan pecah ke


saluran nafas. Oleh karena itu, eksudat yang terkandung di dalamnya mungkin
keluar sebagian, menghasilkan batas udara-air (air-fluid level) pada pemeriksaan
radiografik Abses yang pecah akan keluar bersama batuk sehingga terjadi
aspirasi pada bagian lain dan akhirnya membentuk abses paru yang baru..
Kadang-kadang abses pecah ke dalam rongga pleura dan menghasilkan fistula
bronkopleura, yang menyebabkan pneumotoraks atau empiema.
2.

Patofisiologi
Proses terjadinya abses paru dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor
predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan
proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air-fluid
level bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan
penyebaran hematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses
abses ditempat lain (nesisitatum) misalnya abses hepar.
b. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkulosis dengan
kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada
penderita empisema paru atau polikistik paru yang mengalami infeksi sekunder.
c. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlanjut sampai proses abses
paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang
sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang
dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limfe peribronkial.
d. Pembentukan kavitas pada kanker paru.Pertumbuhan massa kanker bronkogenik
yang cepat tidak diimbangi peningkatan

suplai

pembuluh

darah,

sehingga

terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses.

E. Manifestasi / Gambaran klinis


1. Gejala klinis
Gejala penyakit timbul satu sampai tiga hari setelah aspirasi. Gejalanya
menyerupai pneumonia pada umumnya, diantaranya :
a. Panas badan
Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai
0
dengan temperatur > 40 C disertai menggigil, bahkan rigor.
b. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga
abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk
yang khas (Foetor ex oroe (40-75%).
c. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai
berkisar 40 75% penderita abses paru.
d. Nyeri dada ( 50% kasus)
e. Batuk darah ( 25% kasus)
f. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat
badan.Jari tabuh dapat timbul dalam beberapa minggu terutama bila
drainase tidak baik.

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai kelainan seperti nyeri tekan lokal,
tanda-tanda konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara bronchial dengan
ronki basah atau krepitasi di tempat abses, mungkin ditambah dengan tandatanda efusi pleura.
Apabila abses luas dan letaknya dekat dengan dinding dadakadang-kadang
terdengar suara amforik, usara nafas bronchial atau amforik terjadi bila
kavitasnya besar dank arena bronkus masih tetap dalam keadaan terbuka
disertai oleh adanya konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang baik.
Apabila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks
(empiema toraks) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan
dinding dada tertinggal di tempat lesi, fremitus vocal menghilang, perkusi
redup/pekak bunyi nafas menghilang, dan terdapat tanda-tanda pendorongan
mediastinum terutama pendorongan jantung kearah kontralateral tempat lesi.

3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih
3
dari 12.000/mm (90% kasus) bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai

3
dengan 32.700/mm . Laju endap darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam.
Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan pergeseran shit to the left.
Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH

b.

merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara


tepat.
c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara
terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis.
4. Pemeriksaan Radiologik
a. Foto polos
Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi
dan bentuk abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya
menggambarkan gambaran opak dari satu ataupun lebih segmen paru, atau
hanya berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat.
Kemudian akan ditemukan gambaran radiolusen dalam bayangan infiltrat
yang padat.
Selanj
utnya

bila

abses

tersebut mengalami

ruptur

sehingga

terjadi drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka akan
tampak kavitas irregular dengan batas cairan dan permukaan udara (airfluid level) di dalamnya. Kavitas ini berukuran 2 20 cm.
Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah bila kita melakukan
foto dada PA dengan posisi berdiri. Khas pada paru anaerobik kavitasnya
singel (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi paru primer,
sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nosokomial atau hematogen)
lesinya bisa multipel.

Posisi Posterior-Anterior (PA) :


Terdapat area berbatas tegas transparan di lobus kiri atas (panah putih).
Kavitas diisi oleh cairan dan udara (air-fluid level) (panah hitam)

Posisi Lateral : Kavitas terlihat di lobus kiri atas dengan udara dan cairan
didalamnya (panah putih).

b. Tomografi Komputer (TK)


TK merupakan scan evaluasi dengan kontras menjadi pilihan untuk
tujuan skreening dan sebagai alat bantu untuk prosedur aspirasi perkutan
dan drainase (percutaneous catheter drainage). TK dapat menunjukkan lesi
yang tidak terlihat pada pemeriksaan foto polos dan dapat membantu
menentukan lokasi dinding dalam dan luar kavitas abses.
P
emeriksaan ini membantu membedakan abses paru dengan
diagnosis banding lainnya. Pada gambaran TK, kavitas terlihat bulat
dengan dinding tebal, tidak teratur dengan air-fluid level dan terletak di
daerah jaringan paru yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah
paru berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan
atau berpindah letak. Abses paru juga dapat membentuk sudut lancip
dengan dinding dada.

Gambaran
CT
scan
contrast-enhanced
axial
menunjukkan lesi kavitas yang besar di lobus bawah kiri dengan
dinding yang relatif tebal (black arrow). Kavitas memiliki batas dalam
yang halus dan air-fluid level (white arrow). Terdapat reaksi inflamasi
pada sekitar paru-paru (yellow arrow). Terlihat adanya sudut lancip
dengan dinding posterior dada.
c. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG jarang dianjurkan pada pasien dengan abses paru.
Namun, USG juga dapat mendeteksi abses paru. tampak lesi hipoechic
bulat dengan batas luar. Apabila terdapat kavitas, didapati adanya
tambahan tanda hiperechoic yang dihasilkan oleh gas-tissue interface.

Terletak dekat dengan dinding thoraks, proses di dalam paru kirakira sebesar 2,5x2x2 cm (pointed angle between pleura and
process) dengan dinding membran. Setelah pengobatan, hanya
terdapat sisa gambaran hipoechoic di tempat abses sebelumnya
(setelah beberapa minggu)

d. Magnetik Resonance Imaging (MRI)


MRI berhasil mengidentifikasi penyakit paru secara akurat untuk
menentukan lokalisasi penyakit pada lapangan paru. Pada pasien dengan
pneumonia dan abses paru, peradangan akut berhubungan dengan
peningkatan intensitas sinyal pada T2 bila dibandingkan dengan T1
weighted image.. Pasien dengan inflamasi pseudotumor menunjukkan
peningkatan yang lebih kecil dalam intensitas sinyal pada T2 weuighted
image daripada yang terlihat di pneumonia akut. Kavitas abses adalah
rongga yang diidentifikasi sepanjang dinding yang menebal. Pada pasien
dengan penyakit paru difus (diffuse histoplasmosis, TBC milier, penyakit
Letterer-Siwe, dan alveolitis alergi), masing-masing penyakit muncul
dengan

gambaran

MRI

yang

berbeda..

Studi-studi

terdahulu

menunjukkan bahwa Magnetic Resonance Imaging efektif untuk


mengidentifikasi penyakit paru pada
meningkatkan

kemampuan

ahli

anak-anak
radiologi

dan

dapat

untuk membedakan

gangguan paru.

Setelah pengobatan: perubahan sudut menunjukkan peningkatan


sinyal pada daerah pleura kanan ini merupakan sisa abses membran

F. Diagnosa Banding
1. Karsimoma bronkogenik yang mengalami kavitasi
Pada penyakit ini biasanya dinding kavitas tebal dan tidak rata. Diagnosis
pasti dengan pemeriksaan sitologi/patologi.
2. Tuberkulosis paru atau infeksi jamur.
Gejala klinisnya hampir sama atau lebih menahun daripada abses paru.
Pada tuberculosis didapatkan BTA dan pada infeksi jamur ditemukan jamur.
Pada penyakit aktif, dapat dijumpai gambaran bercak-bercak berawan dan
kavitas, sedangkan pada keadaan tidak aktif dapat dijumpai kalsifikasi yang
berbentuk garis

Terjadi pada segmen apical atau posterior pada lobus atas atau
segmen superior dari lobus bawah, biasanya pada lobus atas bilateral.
Kavitas berdinding tipis, halus pada batas dalam tanpa air-fluid level
3. Empiema
Pada gambaran TK empiema tampak pemisahan pleura parietal dan
visceral (pleura split) dan kompresi paru.

Potongan coronal dada pada gambar CT menunjukkan adanya lesi pada


lobus atas kanan dengan internal air-filled cavity, dinding tebal tidak
beraturan (panah warna hijau) dan lesi lain di sebelah bawah paru kiri
dengan internal fluid, dinding tipis (panah warna kuning) kompresi
pada lapangan paru (panah kuning dan kotak). Lesi pada bagian atas
paru kanan adalah abses paru dan pada bagian bawah paru kiri adalah
empiema.

G. Penatalaksanaan
1. Terapi Medis
Abses paru merupakan kasus jarang dan beberapa dokter meningkatkan
pengetahuannya dalam penatalaksanaannya. Antibiotik tunggal tidak adakan
menghasilkan keluaran yang memuaskan kecuali pus bisa didrainase dari
kavitas abses. Pada kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui
cabang bronkus, dengan produksi sputum purulen. Hal ini mungkin terbantu
melalui drainase postural.
2. Antibiotik
Pilihan awal biasanya dibuat jika tidak ada bakteriologi definitif, tetapi
perkiraan yang beralasan bisa dibuat berdasarkan gambaran klinis yang
mendasarinya dan pada aroma pus dan gambarannya pada pewarnaan gram.
Pada kebanyakan abses paru mengandung streptokokus kelompok milleri dan
anaerob, antubiotik atau kombinasinya yang melawan organisme ini harus
dipilih. Terdapat banyak regimen awal yang mungkin diberikan. Penisilin
termasuk sefalosporin, makrolide, kloramfenikol dan klindamisin semuanya
telah

digunakan. Penggunaan ampisilin atau amoksisilin tunggal harus

dihindari karena beberapa anaerob

resisten

terhadapnya.

Kombinasi

amoksisilin dan metronidazol merupakan pilihan baik dengan efek samping


yang kecil dibandingkan beberapa obat lainnya. Dapat diberikan secara oral,
kecuali pasien sangat sakit atau sulit menelan, sementara menunggu hasil
kultur definitifnya. Makrolide seperti eritromisin,

klaritromisin

atau

azitromisin harus disubstitusi untuk amoksisilin pada pasien dengan riwayat


hipersensitivitas ampisilin.
Keputusan penggantian antibiotik awal dapat diterapkan ketika hasil
kultur telah diperoleh. Walaupun abses paru sering diobati dengan antibiotik
selama 6 minggu, tidak terdapat percobaan klinis yang membuktikan hal
itu. Periode pengobatan yang lebih singkat mungkin cukup pada pasien
dimana pus telah kering melalui cabang bronkus, dengan berhentikan produksi
sputum dan hilangnya gambaran air-fluid level pada radiologi toraks.
Antibiotik tidak perlu dilanjutkan hingga gambaran radiologis menjelaskan
bayangan parenkim. Hal ini mungkin terjadi dalam beberapa minggu.
3. Drainase
Pemeriksaan tambahan harus dilakukan pada pasien yang tidak respon
terhadap antibiotik dan fisioterapi. Waktu intervensi tersebut bergantung pada
pasien. Pada pasien dengan kondisi kritis dimana tidak terdapat drainase
spontan melalui cabang bronkus, perlu dilakukan drainase. Pada sebagian
pasien, demam berlanjut lebih dari 2 minggu walaupun pemberian antibiotik
sudah sesuai dan fisioterapi menunjukkan bahwa drainase tidak adekuat
sehingga perlu dipertimbangkan peningkatan intensitas pengobatan.
Drainase pada pasien abses paru mungkin bisa dilakukan pendekatan melalui
cabang bronkus atau secara perkutaneus. Dalam teknik sebelumnya,
akvitas abses paru dimasukkan langsung dengan fibreoptic bronchoschopy
atau melalui kateter yang melewatinya.
Pendekatan perkutaneus mungkin lebih

baik.

Kecuali

abses

paru

berhubungan dengan keganasan ketika terdapat peningkatan resiko fistula


permanen. Pada beberapa kasus drainase endobronkial harus dipertimbangkan.
Drainase perkutaneus biasanya tidak membantu pada abses kecil multipel
dan pada mereka yang mempunyai komplikasi yang tinggi seperti
pneumotoraks dan fistula bronkopleura.
Pada masa lalu, skrening fluoroskopi merupakan teknik konvensional
untuk

penempatan

kateter

tetapi

USG

mengizinkan

lebih

banyak

lokalisasi spasial. CT scan telah digunakan secara luas dan memiliki


keuntungan visualisasi yang lebih baik dalam melihat struktur intratorakal
lainnya, dan banyak operator yang mengembangkan kemampuannya dalam
bidang ini, yang mungkin bermanfaat ketika abses paru ditemukan.

4. Reseksi pembedahan

Dengan membandingkan dengan era sebelum antibiotik, era pembedahan


abses paru jarang diperlukan, tetapi masih dilakukan jika terdapat hemoptisis
berat atau abses paru berhubungan dengan keganasan. Pada kasus belakangan,
reseksi hanya dicoba jika tumor operable melalui kriteria yang biasa, dengan
tanpa bukti adanya metastasis, keterlibatan mediastinum, fungsi pare yang
tidak adekuat atau keadaan serius kesehatan yang menyertainya. Untuk dua
indikasi utama ini mungkin perlu ditambahkan abses kronik dengan gejala
menetap,

khususnya ketika mencoba untuk mendrain gagal dilakukan.

Kronisitas mungkin bersifat sementara

atau

patologis,

abses

kronik

berhubungan dengan granulasi jaringan dan diikuti dengan jaringan ikat.


Definisi sementara adalah bahan perdebatan, tetapi abses yang masih
menghasilkan gejala sistemik (selain produksi sputum) 6 minggu

setelah

munculnya gejala walaupun percobaan endobronkial atau percutaneus


drainage, harus dipertimbangkan untuk reseksi pembedahan.

H. Komplikasi
Keberhasilan pengobatan abses paru diindikasikan pertama melalui resolusi
demam, kedua melalui penutupan kavitas dan terakhir melalui bersihnya
gambaran radiologis infiltrat parenkim paru.
Demam biasanya hilang dalam beberapa hari, menetap dalam 2 minggu
jarang terjadi dan membuktikan tidak adekuatnya drainase. Sekitar 50% kavitas
akan menutup dalam sebulan dan meninggalkan gejala selama 4 8 minggu.
Turunnya nilai PCR, dan pasien yang merasa lebih baik dan berat badan yang
bertambah merupakan tanda pembaikan semua stage penanganan abses paru.
Infiltrasi radiologis mungkin menetap selama 3 bulan atau lebih dan tidak
memberikan peningkatan untuk memperhatian perkembangan pasien.
Komplikasi dan sequelae jangka panjang kini tampak kurang sering
terjadi dibandingkan era sebelum antibiotik tetapi abses paru masih berhubungan
dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Komplikasi yang paling
sering terjadi adalah empiema. Pasien mungkin tidak akan datang pada dokter
hingga hal ini terjadi. Seiring membesarnya abses, ia mungkin akan merapuhkan
pembuluh darah dan memunculkan hemoptisis. Jarangnya, tetapi khusus pada
pasien dengan penurunan daya tahan tubuh, nekrosis mungkin menyebar sangat
cepat melalui paru.
Abses yang telah didrainase dan disterilisasi dengan menggunakan antibiotik
mungkin membentuk kavitas yang persisten. Lini awal melalui granulasi
jaringan, hal ini digantikan oleh jaringan fibrosa dan diikuti epitel skuamos atau

siliata. Beberapa kavitas bisa direinfeksi kembali atau dikolonisasi ketika abses
asli yang dibentuk berhubungan dengan bronkus, lebih sering daripada
saluran napas kecil, destruksi dinding bronkus diikuti epitelialisasi memunculkan
bronkiektasis sakuler lokal. Penyebaran infeksi ke dalam vena paru bisa
menyebabkan abses serembral emboli, tetapi komplikasi ini sangat jarang terjadi.

I. Prognosis
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Angka kematian Abses paru berkisar antara 15-20% merupakan
penurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotika yang berkisar antara 3040%.
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosa
yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi.
Sekitar 80-90% penderita sembuh dengan pengobatan anti biotik. Beberapa
faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai berikut:
a. Anemia dan Hipo Albuminemia
b. Abses yang besar ( > 5-6 cm) (hisberg juga)
c. Lesi obstruksi
d. Bakteri aerob, seperti : S.aureus, K.Pneumoniae and P.aeruginosa.
e. Immune Compromised
f. Gangguan intelegensia
g. Perawatan yang terlambat

DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff,H., dkk. 2006. Abses Paru dalam Dasar-dasar Ilmu Penyakit


Paru: Airlangga University Press, Surabaya. Halaman 136-140.
2. Rasyid, A., 2006. Abses Paru. Dalam : Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen IPD FK-UI, Jakarta.
Halaman 1052-1055.
3. Kamangar, dkk. 2009. Lung Abscess. Emedicine. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview [Accessed on 19
Februari 2011]
4. Kharkar RA, Ayyar VB. 2011. Aetiological aspects of lung abscess. J
Postgrad Med [serial online] 1981 [cited 2011 Mar 6];27:163. Available
from: http://www.jpgmonline.com/text.asp?1981/27/3/163/5637 cited on 6
March 2011 in Journal of Postgraduated Medicine. Available from
http://www.jpgmonline.com/article.asp?issn=00223859;year=1981;volume=27;issue=3;spage=163;epage=6;aulast=Kharkar#
cited. {Accessed on 5 Maret 2011)
5. Asher, MI, 1990. Lung Abscess in Infections of Respicatory Tract;
Canada. 429 434 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru. Available
from
http://wwwdagul88.blogspot.com/2011/02/askep-abses-paru.html
[Accessed on 20 Februari 2011]
6. Finegold, S.M.,dkk. 1998. Empyema and Lung Abscess ; in Fishmans
rd
pulmonary Diseases and disorders 3 ed ; Philadelphia. Halaman : 2021
2032 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru. Available from
http://wwwdagul88.blogspot.com/2011/02/askep-abses-paru.html
[Accessed on 20 Februari 2011]
th
7. Barlett, J.G., 1992. Lung Abscess in : Cecil text book of Medicine 19 ed ;
Phildelphia. Halaman : 413 415 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru.
Available from http://wwwdagul88.blogspot.com/2011/02/askep-absesparu.html [Accessed on 20 Februari 2011]
8. Ricaurte, K.K., dkk. 1999. Allergic broucho pulumonary aspergillosis with
multiple Streptococceus pneumonie. Lung Abscess : an unussual insitial
case presentation. Journal of Allergy and Clinical Imonoligy 104. 238
240.
9. Maitra,A., Kumar, V., 2007. Abses Paru. Dalam : Robbins, Buku Ajar
Patologi Edisi 7. EGC, Jakarta. Halaman 556.
10. Garry,dkk. 1993. Lung Abscess in a Lange Clinical Manual : Internal
rd
Medicina : Diagnosis and Therapy 3 ; Oklahoma. 119 120.
11. Juhl, John., dkk. Essentials of Radiologic Imaging. Mexico. Halaman 755757.
12. Rasad, S., 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua: Fakultas Kedokteran
UI, Jakarta. Halaman 101-103.
13. Bouhemad B, Zhang M, Lu Q, Rouby JJ. 2007. Clinical review: Bedside
lung ultrasound in critical care practice. Crit Care. 11(1). Halaman 205
14. Cohen, M.D., Eigen, H., 2005. Magnetic resonance imaging of
inflammatory lung disorders: preliminary studies in children. Pediatr
Pulmonol.Jul-Aug;2(4):211-7
15. Stark, D.D. Differentiating lung abscess and empyema: radiography and
computed tomography. American Journal of Roentgenology, Vol 141,
Issue
1.
Halaman
163-167.
Available
from

http://www.ajronline.org/cgi/reprint/141/1/163.pdf
16. Hammond JMJ et al ; The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility
Patterns of Microorganism in acute Commuity Acquired Lung Abscess ;
Chest ; 108 ; 4 ; 1995 ; 937 41.
17. Bartelett, 2011, Treatment of anaerobic pulmonary infections, Division of
Infectious Disease. The Johns Hopkins Hospital, USA. Available from
http://jac.oxfordjournals.org/content/24/6/836.full.pdf [accessed on 21
Februari 2011]
18. Haight,dkk. Surgical Treatmenr of Peripheral Lung Abscess. Yale Journal
of
Biology
and
Medicine.
235-240.
Available
from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2606313/pdf/yjbm005770030.pdf [accessed on 21 Februari 2011]
19. Werber, Y.B., 2001. Massive hemoptysis from a lung abscess due to
retained gallstones. Ann Thorac Surg 72. 278-279. Available from
http://ats.ctsnetjournals.org/cgi/content/full/72/1/278 [accessed on 21
Februali 2011]
20. Wali, S.O., dkk. 2002. Percutaneous drainage of pyogenic lung abscess.
Scand Jurnal Infection Disease 34 (9): 673-676. Available from :
http://www.kau.edu.sa/Files/140/Researches/50029_20495.pdf [accessed
21 Februari 2011]
21. Hishberg, B.,dkk 1999 Factors Predicting Mortality of Patients with Lung
Abscess.
Chest.
Halaman
746-752.
Available
from
http://chestjournal.chestpubs.org/content/115/3/746.abstract [accessed on
21 Februari 2011)

Anda mungkin juga menyukai