Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MID KEBIJAKAN TAMBANG

ESAI TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG


PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA BAB XIX BAGIAN
KEDUA MENGENAI PERLINDUNGAN MASYARAKAT PASAL 145

Oleh
KELOMPOK 4
MAYANGSARI

03021181419009

SOVIA EL RAFIQA

03021281419081

HESTI KHAIRUNISA 03021281419169

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA INDRALAYA
2016

Masyarakat Korban Meningkatnya Pemanasan Global akibat Pembakaran


PLTU Batubara
Pada era sekarang ini, keadaan bumi sudah semakin panas yang terjadi
sebagai akibat peningkatan suhu rata-rata, baik suhu atmosfer, laut, maupun
daratan di bumi. Menurut berbagai penelitian, pada saat ini suhu di permukaan
bumi sudah menunjukkan peningkatan yang sangat drastis yaitu sekitar 0,6C
yang terjadi dalam satu abad terakhir. Berdasarkan Wikipedia, Suhu rata-rata
global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 0.18 C (1.33 0.32 F)
selama

seratus

tahun

terakhir.

Intergovernmental

Panel

on

Climate

Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata


global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh
meningkatnya

konsentrasi gas-gas

rumah

kaca akibat

aktivitas

manusia.

Penggunaan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) Batubara menjadi salah satu
penyebab pemanasan global. Bentuk polusi yang paling banyak diakibatkan oleh
pembakaran batubara adalah polusi udara. Polusi udara terjadi akibat
terkontaminasinya udara oleh bahan berbahaya dalam jumlah maupun
karakteristiknya dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan sekitar.
Polutan-polutan penting yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara
antara lain adalah SOx, NOx, COx, dan material lain. Berikut adalah penjelasan
lebih detail mengenai polutan-polutan tersebut. Sulfur Dioksida, batubara
memiliki kandungan sulfur yang dapat mencapai 10% dalam fraksi berat. Namun
rata-rata kandungan sulfur di dalam batubara berada di kisaran 1-4% tergantung
dari jenis batubara tersebut. Reaksi sulfur oksida dengan kelembaban ataupun
hujan dapat menimbulkan hujan asam yang sangat berbahaya bagi tanaman,
hewan terutama hewan air, serta sifatnya yang korosif dapat merusak
infrastruktur-infrastruktur yang ada. Selain itu, batubara mengandung Sulfur
Trioksida, sebagian kecil sulfur dioksida yang terbentuk pada pembakaran
batubara, terkonversi menjadi sulfur trioksida (SO3). Rata-rata SO3 terbentuk
sebanyak 1% dari total gas buang pembakaran. Satu sistem pada boiler yang
berfungsi untuk mengontrol gas buang NOx, memiliki efek samping meningkatkan
pembentukan SO3 dari 0,5% sampai 2%. SO3 sangat mudah bereaksi dengan air
untuk membentuk asam sulfat (H2SO4) pada temperatur gas buang di bawah

260oC. Seperti yang kita ketahui bahwa asam sulfat bersifat amat sangat korosif
dan berbahaya.
Nitrogen Oksida yang dihasilkan oleh pembakaran batubara biasa disebut
dengan NOx. Bahaya polutan NOx yang paling besar berasal dari NO2, yang
terbentuk dari reaksi NO dengan oksigen. Selain itu NO x dapat mengakibatkan
hujan

asam,

gangguan

pernapasan

manusia,

korosi

pada

material,

pembentukan smog dan kerusakan tumbuhan. Abu (Fly Ash), hasil pembakaran
batubara di boiler juga menghasilkan partikel-partikel abu dengan ukuran antara 1
hingga 100 m. Akibat pembakaran, beberapa partikel radioaktif ringan, seperti
gas radon menguap dan tinggal (menumpuk) di atmosfir. Karbon Dioksida, sejak
tahun 1980-an, efek dari meningkatnya jumlah emisi CO2 akibat ulah manusia
semakin diperhatikan. CO2 yang dikenal dengan sebutan gas rumah kaca, menjadi
satu

dari

beberapa

gas

buang

yang

mengakibatkan

terjadinya global

warming (pemanasan global). CO2 selalu dihasilkan oleh semua jenis proses
pembakaran yang menggunakan bahan bakar fosil berbasis hidrokarbon. Karena
jumlah produksi CO2 dari proses pembakaran yang secara alamiah selalu
berjumlah banyak.
Berdasarkan

Undang-Undang

Nomor

Tahun

2009

Tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara, Bab XIX Tentang Pembinaan, Pengawasan,


Dan Perlindungan Masyarakat Bagian Kedua Perlindungan Masyarakat Pasal 145
berbunyi:
(1) Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha

pertambangan berhak:
a. memperoleh

ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam

pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan.
b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat

pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.


(2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.

Ibarat kata pepatah, PLTU makan buahnya, masyarakat terkena getahnya.


Saat PLTU meraup untung besar, justru masyarakat menerima imbas negatif
akibat adanya PLTU tersebut. PLTU Batubara menyebabkan masyarakat terpapar
bahan beracun, ozon dan logam berat. Dampak kesehatan yang berat disebabkan
partikel mikroskopik (PM2.5) yang terbentuk dari emisi sulfur, nitrogen oksida
dan debu. Partikel halus ini menembus ke dalam paru-paru dan aliran darah,
menyebabkan kematian dan berbagai masalah kesehatan. Jika mengacu pada UU
No. 4 Tahun 2009 tersebut, masyarakat jauh dari kata kesejahteraan. Perlindungan
terhadap masyarakat pun belum dapat dikatakan maksimal. Berdasarkan Hasil
pemodelan atmosfer GEOS-Chem yang dilakukan oleh tim peneliti Harvard
University - Atmospheric Chemistry Modeling Group (ACMG) menunjukkan
bahwa polusi udara dari operasi PLTU Batubara saat ini telah menyebabkan
kematian dini sekitar 6.500 jiwa per tahun. Penyebab utamanya adalah stroke
(2.700), penyakit jantung iskemik (2.300), penyakit paru obstruktif kronik (400),
kanker paru-paru (300) serta penyakit kardiovaskular dan pernapasan lainnya
(800).

Selanjutnya, ekspansi PLTU Batubara yang baru di Indonesia akan

menyebabkan estimasi angka kematian dini naik menjadi 15.700 jiwa/tahun di


Indonesia dan total 21.200 jiwa/tahun termasuk di luar Indonesia. Angka kematian
tersebut bahkan belum termasuk puluhan PLTU baru yang akan dibangun di
bawah program 35 GW yang digaungkan Pemerintah Jokowi saat ini
Tak hanya penyakit yang dapat ditimbulkan, masalah lingkungan pun
menjadi sorotan. Hasil pengamatan melelehnya Gletser Mer de Glace di
Chamonix, Peg. Alpen, Perancis merupakan bukti nyata dampak buruk pemanasan
global. Di samping itu, berkurangnya luas Samudera Es Arktik sebanyak 6% dari
tahun 1978-1995 dan hilangnya pantai karena kenaikan permukaan laut di Teluk
Waimea, Hawaii juga menjadi saksi bisu akibat merajalelanya pemanasan global
di dunia. Prediksi yang lebih buruk adalah jika konsentrasi CO 2 mencapai 560
ppm pada akhir abad 21, suhu di permukaan bumi diproyeksikan akan meningkat
1,4-5,8 derajat Celcius. Hal ini akan menimbulkan beberapa dampak yaitu
kejadian iklim yang ekstrem, misalnya gelombang panas, badai yang destruktif,
mencairnya lapisan es bumi, dan kenaikan permukaan air laut. Meningkatnya
kadar Gas Rumah Kaca (GRK) ini memang tidak lepas dari kontribusi PLTU

sebagai salah satu unit menghasil CO2 yang cukup signifkan. Sebuah lembaga riset
independen yang berbasis di Amerika Serikat, CGD (Center for Global
Development), menunjukkan di mana penghasil gas CO2 berada dan berapa
banyak gas CO2 yang dilepaskan ke atmosfer dan menyebabkan kenaikan efek
rumah kaca. CGD menjelaskan bahwa pembangkit listrik merupakan kontributor
terbesar penghasil CO2 (sekitar 25 % dari total emisi CO2). CGD mengumpulkan
data dari sekitar 50.000 pembangkit listrik di seluruh dunia. Hasilnya sungguh
sangat mencengangkan, PLTU Suralaya Indonesia tercatat pada urutan ke-11
sebagai pembangkit listrik yang menghasilkan emisi CO2 terbesar di dunia dengan
volume emisi 27,2 juta ton.
Dalam rangkaian kegiatan penambangan batubara sangat banyak
merugikan masyarakat. Untuk membuka lahan pertambangan batubara, dilakukan
kegiatan land clearing (pembersihan lahan) menyebabkan hutan menjadi gundul.
Jumlah pohon berkurang mengakibatkan proses penyerapan air oleh pohon
tersebut berkurang. Air yang tidak terserap oleh akan mengalir langsung ke sungai
dan ke laut. Jika tanah tidak mampu menahan kecepatan aliran air, maka dapat
terjadi erosi. Alat-alat berat untuk produksi batubara menimbulkan polusi. Jumlah
polusi yang dihasilkan tidak sebanding dengan jumlah pohon yang ada dapat
menyebabkan emisi CO2 berlebihan. Parahnya lagi, pembakaran PLTU juga
memberikan dampak besar terhadap pemanasan global. Es di kutub utara mencair
menyebabkan muka air laut dan sungai akan meluap jika tidak dapat
mengakomodasi air. Hal yang paling tidak diinginkan, yaitu terjadi banjir. Banjir
membawa dampak aktivitas sosial-ekonomi menjadi sulit. Rumah-rumah yang
terendam banjir, akses transportasi terganggu, dan masyarakat yang mau mencari
nafkah pun menjadi terhambat.
Untuk merealisasikan UU No 4 Tahun 2009, kita perlu meminta
pertanggungjawaban PLTU Batubara atas kerugian bagi masyarakat lokal dan
sekitarnya. Mungkin, sebagian besar perusahaan PLTU tidak menyadari dampak
yang telah ditimbulkan akibat pembakaran PLTU Batubara sehingga mengabaikan
dampak tersebut. Jika pengoperasian PLTU Batubara tidak bisa menghormati
hukum, mereka harus ditutup. PLTU Batubara tertua dan paling kotor yang telah
gagal mengadopsi teknologi terbaik yang tersedia untuk membatasi emisi beracun

mereka juga harus ditutup. Pemerintah harus memperkuat pengawasan dan


peraturan tentang polusi udara dari PLTU Batubara. Hukum Indonesia harus tegas
dan secara khusus menangani bahaya dari PLTU Batubara. Hukum terkait kualitas
udara Indonesia harus lebih baik melindungi masyarakat. Rakyat Indonesia berhak
untuk menghirup udara bersih. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup harus
mengelola analisis mengenai dampak lingkungan untuk PLTU Batubara, dengan
mempertimbangkan data-data yang disajikan oleh pengaju IUP. Secara khusus,
setiap penilaian dampak terhadap kesehatan dan lingkungan atau emisi gas rumah
kaca di AMDAL harus diperkuat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
perlu memainkan peran kuat dalam penilaian dampak lingkungan yang
berkelanjutan dari proyek PLTU Batubara dan melakukan pemeriksaan
menyeluruh dari kerusakan yang disebabkan oleh PLTU ini. Setiap pembangkit
listrik harus diminta untuk melaksanakan survei epidemiologi tentang dampak
kesehatan terhadap penduduk setempat dan pencemaran lingkungan di dekat
pembangkit listrik, kemudian mempublikasikan hasilnya secara transparan, dan
datang dengan langkah-langkah jangka panjang yang jelas untuk mengurangi
kerusakan.
Artinya, adanya PLTU Batubara sebagai pembagkit energi, selain
memberikan kontribusi besar dalam pembangunan energi di Indonesia, ternyata
juga tak luput membawa pengaruh dalam meningkatnya pemanasan global di
dunia akibat proses dan kandungan polutan dalam batubara itu sendri. Oleh karena
itu, untuk melindungi masyarakat kita dari bahaya yang berkepanjangan tersebut
dan mencegah pemansan global dapat dilakukan dengan menghadirkan atau
menciptakan pembangkit listrik dengan meningkatkan efisiesi dari proses
pembakaran. Atau dapat juga memyerap gas buang hasil pembakaran dengan
suatu alat. Selain itu, energi yang ramah lingkungan dapat digunakan sebagai
sumber energi baru terbarukan, dimana pembangkit listik tersebut tidak
mencemari lingkungan dan tidak membawa dampak negatif kepada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai