Anda di halaman 1dari 37

CHF ec.

ASHD

Atherosklerotis: kelainan dimana arteri kehilangan kemampuan elastisitasnya.

Atheroskerosis dapat terjadi pada arteri dengan rentang diameter dari aorta sampai kurang
lebih 3 mm. Arteri yang paling sering terkait: aorta, koroner, karotis, serebral, dan femoral.

Lesi yang paling awal: lapisan/plaque lemak pada tunika intima (terdiri dari foam cells
(makrofag yang menelan lemak dan sel limfosit T) yang akan meluas ke tunika media (terdiri
dari foam cells dan otot polos). Kemudian lesi ini akan diselubungi oleh fibrous cap. Plaque
lalu akan akan mengalami vaskularisasi (dari vasa vasorum arteri), yang akan memberi
akses kepada sel-sel inflamasi dan menyebabkan perdarahan intraplaque yang akan
melemahkan plaque tersebut. Plaque yang robek dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
dan thrombosis.

Pada fase awal pembentukan plaque, arteri masih dapat berkompensasi dengan
meningkatkan diameternya, sehingga tidak ada gangguan aliran (koroner normal dapat
melebar dan meningkatkan aliran darah 5-6 kali di atas tingkat istirahat). Ketika plaque
menutupi > 40% lumen, arteri tidak bisa berkompensasi lagi dan aliran darah ke organ akan
terganggu menyebabkan iskemia (keadaan kekurangan oksigen, sementara dan reversibel)
(gejala: stable angina). Iskemia > 30-45 menit dapat menyebabkan kerusakan seluler yang
irreversibel. Jika terjadi erosi superfisial pada plaque (ditambah dengan trombosis yang
terbatas), meskipun tidak ada hambatan pada aliran, dapat menyebabkan terjadinya unstable
angina atau myocard infarction. Ruptur dalam dari plaque dengan penyumbatan total arteri
koroner dapat menyebabkan myocard infaction. Atherosklerosis pada arteri yang telah lemah
akibat proses penuaan menyebabkan aneurisma dan ruptur dapat terjadi.

Faktor risiko:
1. Usia: penyakit yang serius jarang sebelum usia 40 tahun.
2. Jenis kelamin: wanita relatif terlindung sampai setelah menopause (akibat efek
perlindungan estrogen)
3. Riwayat keluarga: dapat akibat kelainan genetik (gangguan lipid familial) atau lingkungan
(gaya hidup)
4. Ras: Amerika-Afrika lebih rentan dibandingkan kulit putih.
5. Peningkatan lipid serum
6. Hipertensi: mempercepat atherogenesis dengan meningkatkan sheer stress (robekan),
meningkatkan pembentukan hidogen peroksida dan radikal bebas, mengurangi
pembentukan nitrit oksida oleh endotelium dan meningkatkan adhesi leukosit.

7. Merokok: tergantung jumlah rokok yang diisap perhari (bukan pada lamanya), mereka
yang merokok satu pak rokok 2x lebih rentan dibandingkan dengan yang tidak merokok.
Asap rokok dapat menyebabkan pembentukan oxidatively modified LDL.
8. Gangguan toleransi glukosa: penderita diabetes cenderung memiliki prevalensi lebih
tinggi, mekanismenya belum pasti tapi mungkin akibat kelainan metabolisme lemak atau
predisposisi degenerasi vaskular berkaitan dengan gangguan toleransi glukosa.
Hiperglisemia dapat memacu glukosilasi non enzimatik dari LDL yang menginisiasi
terjadinya atherosklerosis dengan cara yang sama dengan oxidatively modified LDL.

Oxidation of low-density lipoprotein. The figure shows the mechanisms by which


oxidized low-density lipoprotein contributes to atherosclerosis. (a) Oxidized lowdensity lipoprotein is chemotactic for circulating monocytes. (b) Oxidized low-density
lipoprotein inhibits the movement of resident macrophages out of the arterial intima.
(c) Resident macrophages generate free radicals and contribute to production of oxidized
low-density lipoprotein, leading to the generation of foam cells. (d) Oxidized low-density
lipoprotein is cytotoxic and this leads to endothelial cell damage and loss of
integrity.
9. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori
10. Obesitas: meningkatkan beban kerja jantung dam kebutuhan akan oksigen
11. Gaya hidup kurang bergerak
12. Stres psikologik
13. Tipe kepribadian: tipe A (mencerminkan persaingan kuat, agresif, merasa diburu waktu)
mempercepat atherogenesis.

Iskemia: terjadi bila kebutuhan oksigen melebihi supply yang ada. Fungsi ventrikel kiri dapat
terganggu akibat: gabungan efek hipoksia, berkurangnya energi yang tersedia akibat
penurunan pembentukan fosfat berenergi, asidosis yang cepat akibat hasil akhir metabolisme
anaerob (asam laktat). Pada EKG gambaran yang tampak: gelombang T terbalik dan depresi
segmen ST. Angina pektoris: nyeri dada yang menyertai iskemia miokardium. Mekanismenya
belum jelas, sepertinya karena reseptor saraf nyeri terangsang oleh metabolit yang tertimbun
atau oleh suatu zat kimia antara yang belum diketahui, atau oleh stres mekanik lokal akibat
kontraksi miokardium yang abnormal. Gambaran khasnya: tekanan substernal, kadangkadang menyebar turun ke sisi medial lengan kiri (banyak penderita dengan nyeri yang tidak
khas). Umumnya angina dipicu oleh aktivitas ayang meningkatkan kebutuhan akan oksigen
dan akan menghilang dengan beristirahat atau dengan nitrogliserin. Angina Prinzmetal lebih
serig pada waktu istirahat akibat spasme setempat dari arteri epikardium (mekanisme
penyebabnya belum jelas).

Infark yang klasik meliputi trias berikut:


1. Klinis khas: nyeri dada yang lama dan hebat, biasanya disertai mual, muntah, keringat
dingin. Sekitar 20-60% dapat asimptomatik/tidak fatal.
2. Meningkatnya kadar enzim-enzim jantung yang dilepaskan oleh sel-sel miokardium yang
nekrosis:

kretinin

fosfokinase

(CK/CPK),

glutamat

oksaloasetat

transaminase

(SGOT/GOT) dan laktat dehidrogenase (LDH). Yang paling spesifik: isoenzim MB-CK.
3. EKG: Q wave nyata, elevasi segmen ST,dan T wave terbalik.

Komplikasi ASHD:
1. CHF
2. Syok kardiogenik
3. Disfungsi otot papilaris
4. VSD
5. Ruptura jantung
6. Aneurisma ventrikel
7. Tromboembolisme
8. Perikarditis
9. Sindrom Dressler
10. Aritmia: merupakan komplikasi paling sering (90%) pada miokard infark. Aritmia timbul
akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium. Gambaran aritimia bisa dilihat dari
EKG.

CHF (gagal jantung kiri dan kanan) akibat ASHD merupakan akibat disfungsi miokardium
atau kontraktilitasnya (gagal jantung bisa disebabkan tiga hal: preload, afterload, dan
contractility). Komplikasi yang paling sering setelah miokard infark ialah gagal jantung kiri

yang menyebabkan kongesti vena pulmonalis. Adanya peningkatan tekanan vaskular paruparu membebani ventrikel kanan yang berakibat pada kongesti vena sistemik.

Klasifikasi fungsional NYHA (New York Heart Association) menyatakan hubungan antara
gejala dan derajat aktivitas fisik:
1. NYHA I: gejala tidak muncul pada kegiatan sehari-hari
2. NYHA II: gejala muncul pada kegiatan sehari-hari
3. NYHA III: gejala muncul pada kegiatan lebih ringan dari kegiatan sehari-hari
4. NYHA IV: gejala muncul ketika istirahat

Tanda gagal ke belakang pada gagal jantung kiri:


1. Dispnea (perasaan sulit bernafas) bersifat progresif akibat kongesti vaskular paru (dari
kongesti

vena

paru-edema

interstitial-edema

alveolar)

sehingga

mengurangi

kelenturannya dan terjadilah peningkatan kerja pernapasan.


2. Dispnea saat beraktivitas: gejala awal gagal jantung kiri.
3. Orthopnea: akibat redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah
sirkulasi sentral.
4. Dispnea nokturnal paroksismal/mendadak terbangun karena dispnea: sifatnya lebih
spesifik untuk gagal jantung kiri daripada dispnea dan dan orthopnea.
5. Asma kardiale: mengi akibat bronkospasme, terjadi waktu malam atau aktivitas fisik.
6. Batuk nonproduktif: sekunder akibat kongesti paru terutama pada posisi berbaring.
7. Ronkhi: akibat transudasi cairan paru-paru (ciri khas gagal jantung), awalnya di bagian
bawah paru sesuai gravitasi.
8. Gallop ventrikel: S3, ciri khas gagal jantung kiri.

Tanda ke depan pada gagal jantung kiri:


1. Kelemahan dan keletihan (mudah capek): akibat berkurangnya perfusi organ-organ
seperti kulit dan otot rangka, manifestasi paling dini.
2. Pucat dan dingin: vasokonstriksi perifer.
3. Sianosis: penurunan lebih lanjut curah jantung dan peningkatan kadar Hb tereduksi.
4. Demam ringan atau keringat berlebih: vasokonstriksi kulit menghambat kemampuan
tubuh melepaskan panas.
5. Insomnia, gelisah, bingung: akibat penurunan curah jantung lebih lanjut.
6. Kehilangan berat badan progresif (kaheksia kardia): curah jantung rendah, anoreksia
akibat kongesti viseral, keracunan obat, atau diet tidak mengundang selera.
7. Takikardi: karena perangsangan sistem simpatik.
8. Denyut nadi lemah: tekanan nadi rendah (perbedaan tekanan sistolik dan diatolik
rendah).
9. Pulsus alternans: gagal jantung kiri berat.

Tanda gagal ke belakang pada gagal jantung kanan:

1. Gejala saluran cerna: anoreksia, rasa penuh, mual, akibat bendungan hati dan usus.
2. Peningkatan JVP
3. Bendungan vena leher
4. Uji refluks hepatojugular positif: peningkatan JVP pada kompresi manual kuadran kanan
atas abdomen.
5. Hepatomegali
6. Nyeri tekan hati: peregangan kapsula hati.
7. Edema perifer: sekunder terhadap penimbunan cairan di ruang interstitial, mula-mula di
daerah yang tergantung terutama di malam hari.
8. Edema anasarka: gagal jantung yang berlanjut.
9. Peningkatan berat badan: retensi cairan, biasanya mendahului edema.
10. Kuat angkat substernal: terangkatnya sternum pada sistolik, karena pembesaran
ventrikel kanan.

Rontgen
1. Kongesti vena paru: berkembang jadi edema interstitial atau alveolar pada gagal jantung
yang lebih berat
2. Redistribusi vaskular pada lobus atas paru
3. Kardiomegali

Laboratorium
1.

Hiponatremia pengenceran

2.

Kalium dapat normal atau menurun sekunder akibat terapi. Hiperkalemia dapat
terjadi akibat tahap lanjut gagal jantung karena gangguan ginjal.

3.

BUN dan kreatinin dapat meningkat sekunder akibat perubahan laju filtrasi
glomerulus.

4.

Urine: lebih pekat, berat jenis lebih tinggi, kadar natrium berkurang.

5.

Kelainan fungsi hati: pemanjangan masa protrombin ringan.

6.

Peningkatan bilirubin dan enzim hati, aspartat aminotransaminase (AST) dan alkali
fosfatase serum: terutama pada gagal jantung akut.

Penanganan
1. Bedrest untuk meringankan beban jantung
2. Diet jantung 3
3. Oxygen 3 L/menit
4. IVFD D 5% gtt VIII/minute (micro drip) bila BSS tidak tinggi
5. Diuretik oral/parenteral sampai edema hilang: furosemid IV 1x 40 mg karena mempunyai
onset kerja yang cepat dan masa kerja yang singkat sehingga sesuai untuk situasi yang
akut

6. ACE inhibitor: captopril 3 x 6.25 mg untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
karena

paradigma

baru

menyatakan

terdapat

korelasi

antara

penghambat

neurohormonal dalam mencegah progresitivitas gagal jantung


7. Beta bloker dosis kecil dapat dimulai setelah diuretik dan ACEI diberikan
8. Digitalis bila ada aritmia supravemtrikulaer (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau ketiga
obat di atas belum memuaskan. Intoksikasi dapat dipermudah bila terjadi gangguan
fungsi ginjal (ureum/kretinin meningkat) atau kadar kalium kurang (<3.5 meq/L): digoxin
1x 0,5 mg (sifatnya meningkatkan kekuatan kontraktilitas dan memperbaiki irama
jantung)
9. Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan
hipokalemia: Spironolakton 1 x 25 mg
10.

Antitrombotik: acetilsalycilat acid 1x 75 mg untuk mencegah tromboemboli akibat


gangguan irama jantung

CHF ec. ASHD


Definisi

CHF (gagal jantung kiri dan kanan) akibat ASHD merupakan akibat
disfungsi miokardium atau kontraktilitasnya (gagal jantung bisa
disebabkan tiga hal: preload, afterload, dan contractility). Komplikasi
yang paling sering setelah miokard infark ialah gagal jantung kiri yang
menyebabkan kongesti vena pulmonalis. Adanya peningkatan tekanan
vaskular paru-paru membebani ventrikel kanan yang berakibat pada
kongesti vena sistemik.

Faktor resiko ASHD

1.
2.

Klasifikasi
fungsional NYHA

Trias Infark

Usia: penyakit yang serius jarang sebelum usia 40 tahun.


Jenis kelamin: wanita relatif terlindung sampai setelah
menopause akibat efek perlindungan estrogen)
3. Riwayat keluarga: dapat akibat kelainan genetik (gangguan lipid
familial) atau lingkungan (gaya hidup)
4. Ras: Amerika-Afrika lebih rentan dibandingkan kulit putih.
5. Peningkatan lipid serum
6. Hipertensi: mempercepat atherogenesis dengan meningkatkan
sheer stress (robekan), meningkatkan pembentukan
hidogen peroksida dan radikal bebas, mengurangi
pembentukan nitrit oksida oleh endotelium dan
meningkatkan adhesi leukosit.
7. Merokok: tergantung jumlah rokok yang diisap perhari (bukan
pada lamanya), mereka yang merokok satu pak rokok 2x
lebih rentan dibandingkan dengan yang tidak merokok.
Asap rokok dapat menyebabkan pembentukan oxidatively
modified LDL.
8. Gangguan toleransi glukosa: penderita diabetes cenderung
memiliki prevalensi lebih tinggi, mekanismenya belum
pasti tapi mungkin akibat kelainan metabolisme lemak
atau predisposisi degenerasi vaskular berkaitan dengan
gangguan toleransi glukosa. Hiperglisemia dapat memacu
glukosilasi non enzimatik dari LDL yang menginisiasi
terjadinya atherosklerosis dengan cara yang sama dengan
oxidatively modified LDL.
9. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori
10. Obesitas: meningkatkan beban kerja jantung dam kebutuhan
akan oksigen
11. Gaya hidup kurang bergerak
12. Stres psikologik
13. Tipe kepribadian: tipe A (mencerminkan persaingan kuat, agresif,
merasa diburu waktu) mempercepat atherogenesis.
NYHA I: gejala tidak muncul pada kegiatan sehari-hari
NYHA II: gejala muncul pada kegiatan sehari-hari
NYHA III: gejala muncul pada kegiatan lebih ringan dari kegiatan
sehari-hari
NYHA IV: gejala muncul ketika istirahat
1. Klinis khas: nyeri dada yang lama dan hebat, biasanya disertai
mual, muntah, keringat dingin. Sekitar 20-60% dapat
asimptomatik/tidak fatal.

2.

Komplikasi ASHD

Tanda gagal jantung

3.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Meningkatnya kadar enzim-enzim jantung yang dilepaskan oleh


sel-sel miokardium yang nekrosis: kretinin fosfokinase (CK/CPK),
glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT/GOT) dan laktat
dehidrogenase (LDH). Yang paling spesifik: isoenzim MB-CK.
EKG: Q wave nyata, elevasi segmen ST,dan T wave terbalik.
CHF
Syok kardiogenik
Disfungsi otot papilaris
VSD
Ruptura jantung
Aneurisma ventrikel
Tromboembolisme
Perikarditis
Sindrom Dressler
Aritmia: merupakan komplikasi paling sering (90%) pada miokard
infark. Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel
miokardium. Gambaran aritimia bisa dilihat dari EKG.
Tanda gagal ke belakang pada gagal jantung kiri:
1. Dispnea (perasaan sulit bernafas) bersifat progresif akibat
kongesti vaskular paru (dari kongesti vena paru-edema
interstitial-edema
alveolar)
sehngga
mengurangi
kelenturannya dan terjadilah peningkatan kerja pernapasan.
2. Dispnea saat beraktivitas: gejala awal gagal jantung kiri.
3. Orthopnea: akibat redistribusi aliran darah dari bagian-bagian
tubuh yang di bawah sirkulasi sentral.
4. Dispnea nokturnal paroksismal/mendadak terbangun karena
dispnea: sifatnya lebih spesifik untuk gagal jantung kiri
daripada dispnea dan dan orthopnea.
5. Asma kardiale: mengi akibat bronkospasme, terjadi waktu
malam atau aktivitas fisik.
6. Batuk nonproduktif: sekunder akibat kongesti paru terutama
pada posisi berbaring.
7. Ronkhi: akibat transudasi cairan paru-paru (ciri khas gagal
jantung), awalnya di bagian bawah paru sesuai gravitasi.
8. Gallop ventrikel: S3, ciri khas gagal jantung kiri.
Tanda ke depan pada gagal jantung kiri:
1. Kelemahan
dan
keletihan
(mudah
capek):
akibat
berkurangnya perfusi organ-organ seperti kulit dan otot
rangka, manifestasi paling dini.
2. Pucat dan dingin: vasokonstriksi perifer.
3. Sianosis: penurunan lebih lanjut curah jantung dan
peningkatan kadar Hb tereduksi.
4. Demam ringan atau keringat berlebih: vasokonstriksi kulit
menghambat kemampuan tubuh melepaskan panas.
5. Insomnia, gelisah, bingung: akibat penurunan curah jantung
lebih lanjut.
6. Kehilangan berat badan progresif (kaheksia kardia): curah
jantung rendah, anoreksia akibat kongesti viseral, keracunan
obat, atau diet tidak mengundang selera.
7. Takikardi: karena perangsangan sistem simpatik.
8. Denyut nadi lemah: tekanan nadi rendah (perbedaan tekanan
sistolik dan diatolik rendah).
9. Pulsus alternans: gagal jantung kiri berat.
Tanda gagal ke belakang pada gagal jantung kanan:
1. Gejala saluran cerna: anoreksia, rasa penuh, mual, akibat

bendungan hati dan usus.


2. Peningkatan JVP
3. Bendungan vena leher
4. Uji refluks hepatojugular positif: peningkatan JVP pada
kompresi manual kuadran kanan atas abdomen.
5. Hepatomegali
6. Nyeri tekan hati: peregangan kapsula hati.
7. Edema perifer: sekunder terhadap penimbunan cairan di
ruang interstitial, mula-mula di daerah yang tergantung
terutama di malam hari.
8. Edema anasarka: gagal jantung yang berlanjut.
9. Peningkatan berat badan: retensi cairan, biasanya mendahului
edema.
10. Kuat angkat substernal: terangkatnya sternum pada sistolik,
karena pembesaran ventrikel kanan.
Pemeriksaan
Penunjang
Laboratorium

Radiologi

Tatalaksana

Hiponatremia pengenceran
Kalium dapat normal atau menurun sekunder akibat terapi.
Hiperkalemia dapat terjadi akibat tahap lanjut gagal jantung
karena gangguan ginjal.
o BUN dan kreatinin dapat meningkat sekunder akibat perubahan
laju filtrasi glomerulus.
o Urine: lebih pekat, berat jenis lebih tinggi, kadar natrium
berkurang.
o Kelainan fungsi hati: pemanjangan masa protrombin ringan.
o Peningkatan bilirubin dan enzim hati, aspartat aminotransaminase
(AST) dan alkali fosfatase serum: terutama pada gagal jantung
akut.
Rontgen
o
Kongesti vena paru: berkembang jadi edema interstitial atau
alveolar pada gagal jantung yang lebih berat
o
Redistribusi vaskular pada lobus atas paru
o
Kardiomegali
Bedrest untuk meringankan beban jantung
Diet jantung 3
Oxygen 3 L/menit
IVFD D 5% gtt VIII/minute (micro drip) bila BSS tidak tinggi
Diuretik oral/parenteral sampai edema hilang: furosemid IV 1x 40
mg karena mempunyai onset kerja yang cepat dan masa kerja
yang singkat sehingga sesuai untuk situasi yang akut
ACE inhibitor: captopril 3 x 6.25 mg untuk menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas karena paradigma baru menyatakan
terdapat korelasi antara penghambat neurohormonal dalam
mencegah progresitivitas gagal jantung
Beta bloker dosis kecil dapat dimulai setelah diuretik dan ACEI
diberikan
Digitalis bila ada aritmia supravemtrikulaer (fibrilasi atrium atau
SVT lainnya) atau ketiga obat di atas belum memuaskan.
Intoksikasi dapat dipermudah bila terjadi gangguan fungsi ginjal
(ureum/kretinin meningkat) atau kadar kalium kurang (<3.5
meq/L): digoxin 1x 0,5 mg (sifatnya meningkatkan kekuatan
kontraktilitas dan memperbaiki irama jantung)
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau
pada pasien dengan hipokalemia: Spironolakton 1 x 25 mg
o
o

Antitrombotik: acetilsalycilat acid 1x 75 mg untuk mencegah


tromboemboli akibat gangguan irama jantung

Prognosis

CHF ec. REMATIK HEART DISEASE


Etiologi
Insiden
Patofisiologi

Gejala RHD

Keluhan
(Subjektif)

Streptococcus B hemoliticus group A


Usia 5-15 tahun
Infeksi SBHA

tonsilitis, nasofaringitis, otitis media

terbentuk Ab

membentuk kompleks dengan Ag tubuh


yang mirip dengan Ag SBHA (katup jantung)

inflamasi katup jantung

katup jantung menebal

gangguan penutupan dan pembukaan katup (paling banyak mitral)

stenosis, regurgitasi

CHF
Mayor:
- artritis
(radang
sendi,
berpindah-pindah,
nyeri
sendi,
pembengkakan sendi)
- karditis
- chorea
- eritema marginatum
- nodul subkutan
Minor:
- demam (remitent)
- eritema nodosum
Umumnya penderita datang dengan keluhan sesak
- sesak ketika beraktifitas (dyspnue d effort)
aktifitas butuh O2 lebih banyak jantung takikardia untuk
meningkatkan
cardiac output waktu diastolik memendek banyak
darah yang terbendung bendungan paru sesak
- sesak dalam posisi berbaring (orthopnue)
posisi baring bendungan paru sesak
- terbangun malam hari karena sesak (paroksismal nokturnal dyspnue)
posisi tidur bendungan paru sesak
Pada penderita dengan keluhan sesak perlu dipertimbangkan kelainan2
sbb.:
- kelainan pulmonal
sesak dipengaruhi cuaca, debu asma
sesak dengan keluhan batuk lama TB paru

10

- Kelainan ginjal
sesak disebabkan pendorongan diafragma ke atas oleh asites. Sesak
disertai sembab kelopak mata pagi hari dan asites, TD tinggi, BAK sedikit.
- Kelainan hepar
sesak disebabkan pendorongan diafragma ke atas oleh asites. Sesak
disertai asites, BAK kuning teh, BAB darah.
- Kelainan darah
disertai keluhan badan lemas, anemis.
- Kelainan neuromuskular
sesak disertai ganguan otot-otot pernapasan

Pemeriksaan
Fisik
(Objektif)

Pemeriksaan
Penunjang

Tatalaksana

Keluhan tambahan:
- palpitasi AF
- Nyeri dada LVH dan iskemik miokard
- fatique
- hemoptisis ruptur v bronkhial yang melebar akibat bendungan
- suara parau kompresi n laryngeus reccurent kiri oleh a pulmonalis yang
membesar
Umum: Nadi :normal/bisa AF, irregular
RR : normal/
Organ:
Mata: conjungtiva palpebra pucat +/+
Sklera ikterik -/Leher:
- JVP meningkat tek RV
Pulmo: RB
Cor: ictus cordis bisa terlihat dan teraba
batas atas jantung naik, batas kanan jantung bergeser ke lateral
M1 , murmur sistolik, diastolik, opening snap
Abdomen: cembung jika terjadi asites, hepatomegali akibat bendungan
jantung kanan.
Ekstremitas: edema tungkai akibat bendungan perifer
Rontgen thorax: cardiomegali
EKG
Echocardiografi
Kateterisasi
Nonfarmakologis:
- Istirahat/ tirah baring kebutuhan O2
- Diet rendah garam retensi cairan beban jantung
Farmakologis
- Diuretik umumnya digunakan furosemid
- Digoksin AF
- Antikoagulan warfarin
- Salisilat
- Kortikosteroid
- Antibiotik

11

ASMA BRONKHIAL
Definisi

Patogenesis
dan etiologi

Patofisiologi

Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea
dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik
secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The American Thoracic
Society)
Sampai saat ini pathogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti,
namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma
adalah inflamasi dan respons salauran napas berlebihan.
Asma sebagai penyakit inflamasikalor, rubor, tumor, dolor, functio laesa
dan infiltrasi sel radang. 2 jalur yang ditempuh untuk mencapai keadaan
inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas yaitu jalur imunologis yang
terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom.
Hiperaktivitas Saluran Napas (HSN)Pasien Asma sangat peka terhadap
rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia (histamine dan metakolin), dan fisis
(kegiatan jasmani). Pada asma alergik , selain peka terhadap rangsangan
tersebut, pasien juga sangat peka terhapdap lergen spesifik.
Inflamasi Saluran napas
Kerusakan Epitelsalah satu konsekuensi inflamasi dalah kerusakan epitel.
Perubahan struktur karena kerusakan epitel ini meningkatakan penetrasi
allergen, mediator serta mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf otonom
mudah terangsang. Sel-sel bronkus sendiri sebenarnya mengandung
mediator yang bersifat bronkodilator. Kerusakan sel epitel bronkus akan
mengakibatkan bronkokontriksi lenih mudah terjadi.
Mekanisme neorologisterjadi peningkatan respons saraf parasimpatis
Gangguan Intriksikotot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada
saluran napas diduga berperan pada HSN.
Obstruksi Saluran NapasMeskipun bukan factor utama. Obstruksi saluran
napas diduga ikut berperan pada HSN .
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mucus, edema, dan inflamasi diniding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama fase ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien
akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT).
Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan
pertukaran gas tetap lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan
bantuan otot-otot bantu napas.
Patofisiologi asma terbagi kedalam ketiga fase. Pertama, munculnya
asma ditandai adanya peningkatan respon dinding bronkial. Kedua, reaksi
asma fase ini, berupa bronkokonstriksi, dimana terjadi : (1) rangsangan
antigen terhadap dinding bronkial; (2) terjadinya proses degranulasi sel mest
yang melepaskan histamin, kemotaktik, proteolik serta heparin; dan (3)
bronkokonstriksi otot polos. Ketiga, reaksi asma fase lanjut, berupa inflamasi
alergi dimana terjadi : (1) sel-sel inflamasi melibatkan sel mast, eosinofil; (2)
pelepasan sitokin, bahan-bahan vasoaktif dan asam arakhidonat; (3) inflamasi

12

sel-sel epitelial dan endotelial; (4) pelepasan interleukin 3 (IL-3) dan IL-6,
tumor necrotic factor (TNF), Interferon-gamma.
Keluhan

Pemeriksaan
fisik

Pemeriksaan
penunjang

-Gejala klasik paling umum adalah batuk, sesak napas dan mengi yang
timbul secara tiba-tiba (relative cepat) dan dapat hilang segera dengan
spontan atau dengan pengobatan
- Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin
banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi
dada, takikardi dan pernapasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali
terjadi pada malam hari.
-pada beberapa orang biasa didahului gejala pendahuluan yang biasa
disebut aura asmatik berupa sensasi atau perasaan abnormal, seperti rasa
tidak enak didada, rasa gatal di dagu, dada depan atau didaerah antar
belikat atau bersin-bersin sesudah terpapar oleh suatu pencetus. Sesudah
itu timbullah gejala asma yang biasa dimulai dengan rasa tercekik pada
seluruh dada, rasa dingin atau terbuka disternum. Kemudian timbul
rasasesak napas yang berangsur menjdi semakin berat.
- batuk dimula-mula kering tidak produktif kemudian makin keras dan
seterusnya semakin produktif kemudian semakin keras seterusnya menjadi
produktif yang mula-mula encer kemudian menjadi kental. Warna dahak
jernih atau putih tetapi juga bias kekuningan atau kehijauan terutama bila
ada infeksi sekunder.
Dalam keadaan serangan, tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi
pernapasan dan denyut nadi juga meningkat. Mengi (wheezing) sering dapat
didengar tanpa stetoskop. Bunyi pernapasan mungkin melemah dengan
ekspirasi memanjangdisertai ronhki kering sibilantis dan mengi (wheezing).
Ekspirasi lebih daripada 4 detik atau 3x lebih panjang daripada inspirasi
bahkan lebih. Jika tidak ditemukan kelainan paru, dapat dicoba pasien
bernapas dalam dengan cepat 3-4x. Pada pasien asma hal ini dapat
menginduksi serangan-serangan batuk bahkan mengi.
Pada pasien yang sesaknya hebat mungkin ditemukan:
Pasien dalam keadaan capek dengan posisi duduk lemah, bahu
terangkat, lengan di samping berpegangan pada meja atau sisi tempat
tidur
Hiperinflasi paru yang terlihat dengan peningkatan diameter
anteroposterior rongga dada yang pada perkusi terdengar hipersonor.
Pernapasan makin cepat dan susah, ditandai dengan pengaktifan otototot bantu napas, sehingga tampak retraksi supra sterna, supraklavikula
dan sela iga serta pernapasan cuping hidung.
Takikardi makin hebat disertai dehidrasi. Timbul pulsus paradoksus
dimana terjadiu penurunan tekanan sistolis >10 mmHg pada saat
inspirasi. Normal tidak lebih daripada 5mmHg, pada asma berat bias
sampai 10 mmHg atau lebih.
Penderita gelisah, banyak keringat, sukar tidur dan susah bicara.
Pada keadaan yang lebih berat dapat ditemukan pernapasan
cepat dan dangkal dengan bunyi pernapasan dan Wheezing tidak terdengar
(silent chest). Tekanan darah menurun, sianosis, gangguan irama jantung,
kesadaran menurun, dari disorientasi dan apati sampai koma. Pada
pemeriksaan mata mungkin ditemukan miosis dan edema pupil.
1.
Pemeriksaan radiology
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada
waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:

13

2.
3.

4.

5.

Tatalaksanaan

Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan


bertambah.
Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran
radiolusen akan semakin bertambah.
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada
paru
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen
pada paru-paru.
Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen
yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat
dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi
pada empisema paru yaitu :
perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis
deviasi dan clock wise rotation.
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya
RBBB ( Right bundle branch block).
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia,
SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa
redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paruparu.
Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible,
cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat
respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau
FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga
penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak
penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan
obstruksi.
Pengobatan non farmakologik:
Memberikan penyuluhan
menghindari faktor pencetus
Pemberian cairan
Fisiotherapy
Beri O2 bila perlu
Pengobatan Farmakologis
Bronkodilator
-Agonis B 2
-Metilxantin
-Antikolinergik
Antiinflamasi
-Antikolinergik
-Natrium Kromolin

14

Prognosis

Dubia ad Bonam

Komplikasi

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pneumotoraks
Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
Atelektasis
Aspergilosis bronkopulmoner alergik
Gagal napas
Bronchitis
Fraktur iga

TUBERKULOSIS PARU
I.1Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronik pada paru yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosis, ditandai dengan pembentukan granuloma dan adanya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Penyakit ini biasanya ditularkan melalui inhalasi percikan ludah
(droplet), dari orang ke orang, dan mengkolonisasi bronkiolus atau alveolus. Kuman juga
dapat masuk ke tubuh melalui saluran cerna, ingesti susu tercermar yang tidak
dipasteurisasi, atau kadang-kadang melalui lesi kulit. Sebagian besar kuman (>80%)
Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil mengenai organ tubuh lain
(Braunwald et. al., 2002, Depkes RI, 2002). Tuberkulosis paru dapat memberikan gejala
berupa gejala respiratorik yaitu batuk kering, batuk berdahak, bahkan batuk berdarah, dapat
juga ditemukan gejala sesak napas dan nyeri dada. Selain gejala pernapasan pada
tuberkulosis paru ditemukan pula gejala sistemik yaitu demam menjelang malam hari,
keringat malam, nafsu makan menurun diikuti penurunan berat badan.
Di bidang penyakit paru dikenal beberapa keadaan kegawatan yang memerlukan
tindakan

yang

segera

dan

atau

intensif.

Hemoptisis

terutama

yang

masif

merupakankegawatan yang cukup sering dijumpai sealin asma atau pneumotoraks. Oleh
karena itu dalam makalah ini akan dibahas lebih mendalam mengenai batuk darah. Batuk
darah atau hemoptysis adalah ekspektorasi darah atau dahak yang bercampur darah yang
berasal dari saluran napas di bawah glotis. Batuk darah harus dipastikan apakah benarbenar merupakan batuk darah. Hal ini penting dibedakan terutama menyangkut
penatalaksanaannnya.
Hemoptisis bisa dalam jumlah banyak atau hanya berupa garis merah cerah pada
dahak. Batuk darah masif merupakan keadaan gawat dalam bidang kedokteran, dan tidak
ada kegawatan penyakit paru yang lebih menakutkan dibandingkan hemoptysis. Kriteria
batuk darah masif sendiri adalah:
Bila batuk darah kurang lebih 600 cc dalam 24 jam, dan dalam pengamatan batuk darah
tidak berhenti.
Bila penderita batuk darah kurang lebih 600 cc per 24 jam tetapi lebih dari250 cc per 24
jam. Kadar HB kurang dari 10 gr%, sedngkan batuk darah berlangung terus.

15

Batuk darah kurang dari 600 cc tetapi lebih dari 250 cc per 48 jam pad pemeriksaan HB
lebih dari 10 gr%, dari pengamatan selama 48 jam ternyata batuk darah tidak berhenti.
Ada tiga mekanise bagamana batuk darah dapat menyebabkan kematian seketika, yaitu:

Asfiksia

Kehilangan darah banyak dalam waktu singkat.

Penyebaran penyakit kebagian-bagian paru yang sehat.

I.2 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis, kuman penyebab penyakit TB, termasuk ke dalam famili
Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Mycobacterium tuberculosis adalah parasit
intraseluler fakultatif yang menimbulkan penyakit dengan pertumbuhan dalam makrofag,
tetapi dapat juga berproliferasi dalam ruangan ekstraseluler dari jaringan yang terinfeksi, dan
mampu in vitro dalam sistem biakan bebas sel.
I.3 Patogenesis
Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara.. Bila partikel infeksi ini terhirup oleh orang sehat, ia akan
menempel pada jalan napas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran
partikel < 5m. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag yang keluar dari
cabang trakeo-bronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, ia akan tumbuh dan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru-paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau focus Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian
jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga
dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh
organ seperti paru, otak, ginjal, dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi
penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional).
Sarang primer limfangitis lokal+limfadenitis regional= kompleks primer (Ranke). Semua
proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
1. sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat (ini yang banyak terjadi).

16

2. sembuh dengan meningggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di


hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan kurang lebih
10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
3. berkomplikasi dan menyebar secara :
a. perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya,
b. secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya.
Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus,
c.

secara limfogen, ke organ tubuh lainnya,

d. secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.


Semua kejadian di atas tergolong dalam perjalanan tuberkulosis primer.

Tuberkulosis Post-primer (Tuberkulosis Sekunder)


Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer = TB
sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas
menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal.
Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru
(bagian apical-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim
paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Sarang dini ini mula-mula berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu
sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel
Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan
bermacam-macam jaringan ikat.
Berdasarkan jumlah kuman, virulensi, dan imunitas pasien sarang dini ini dapat
menjadi:
1. Direabsorpsi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang yang mula-mula meluas tapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang
dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat
sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk
jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar, akan terjadilah kavitas. Hemoptysis
dapat disebabkan oleh kavitas aktif atau proses inflamasi tuberkulosis di jaringan paru.
Pada kelainan fibrokavitas arteri bronkialis dapat membesar dan terjadi anastomosis
bronkopulmoner yang mudah tererosi dan berdarah. Apabila tuberkulosis berkembang
menjadi fibrosis dan perkijuan, dapat terjadi aneurisma arteri pulmonalis dan
bronkiektasis yang juga dapat mengakibatkan hemoptysis. Hemoptysis

dapat juga

merupakan bagian dari sndrome lobus tengah kanan (right middle lobe sndrome), yaitu

17

obstruksi bronkus lobus tengah kanan paru yang mengakibatkan atelektasis dan/atau
pneumonitis. Obstruksi tersebut dapat disebabkan oleh parut dan/atau peradangan
karena infeksi, termasuk tuberkulosis, maupun penekanan kelenjar getah bening yang
juga dapat disebabkan oleh tuberculosis.
I.4 Terminologi
Terminologi yang dipakai pada penulisan ini mengacu pada terminologi standar yang
dikeluarkan oleh WHO dan Depkes RI. Secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam tiga
kelompok, yaitu: terminologi yang berkaitan dengan tipe penderita, terminologi yang
berkaitan dengan diagnosis, dan terminologi yang berkaitan dengan pengobatan.
I.4.1 Terminologi yang berkaitan dengan tipe penderita
Kasus baru
Penderita TB paru yang sebelumnya tidak pernah mendapat OAT atau yang pernah
mendapat OAT kurang dari satu bulan.
Kasus kambuh
Penderita TB paru BTA positif yang sebelumnya sudah dinyatakan sembuh, tetapi kini
datang lagi dan pada pemeriksaan BTA memberikan hasil positif.
Kasus gagal
Penderita TB paru BTA positif yang sudah mendapat OAT, tetapi sputum BTA tetap
positif pada akhir pengobatan fase awal setelah mendapat terapi sisipan, 1 bulan
sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan. Batasan ini juga berlaku untuk
penderita TB paru BTA negatif yang sudah mendapat OAT, tetapi sputum BTA justru
menjadi positif pada akhir pengobatan fase awal.
Kasus pindahan (Transfer in)
Penderita TB paru di Kabupaten / Kotamadya lain yang sekarang menetap di
Kabupaten / Kotamadya ini.
Kasus berobat setelah lalai
Penderita TB paru yang menghentikan pengobatan (2 bulan atau lebih) dalam keadaan
belum dinyatakan sembuh dan kini datang lagi untuk berobat dengan BTA positif.
Kasus kronik
Penderita TB paru dengan BTA yang tetap positif, walaupun sudah mendapatkan
pengobatan ulang yang adekuat dengan pengawasan yang baik.

18

I.4.2 Terminologi yang berkaitan dengan diagnosis


TB paru BTA positif
Penderita TB paru dengan salah satu kriteria sebagai berikut :
o

Sputum BTA positif paling sedikit 2 kali berturut-turut

Sputum BTA positif paling sedikit 1 kali dengan kultur M. tuberculosis positif

Sputum BTA positif paling sedikit 1 kali, klinis/radiologis sesuai dengan TB paru.

Pada program penanggulangan tuberkulosis Nasional, kriteria yang dipakai hanya


kriteria pertama. Dalam beberapa kepustakaan dipakai istilah TB aktif.
TB paru BTA negatif
Penderita TB paru dengan kriteria sebagai berikut :
Klinis dan radiologis sesuai dengan TB paru
Sputum BTA negatif
Kultur negatif atau positif
Istilah lain yang sering dipakai adalah TB paru tersangka dan TB tak aktif.
Bekas TB paru
Penderita TB paru dengan kriteria sebagai berikut :

Bakteriologis (sputum BTA dan kultur) negatif

Gejala klinis tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru yang ditinggalkan

Radiologis menunjukkan gambaran lesi TB yang aktif, terlebih bila gambaran


serial foto toraks tidak mengalami perubahan.

I.4.3 Terminologi yang berkaitan dengan hasil pengobatan


Sembuh
Penderita TB paru BTA positif yang telah mendapatkan pengobatan lengkap dan pada
pemeriksaan dahak ulang (1 bulan sebelum AP dan pada AP BTA menjadi negatif).
Pengobatan lengkap
Penderita TB paru yang telah selesai pengobatannya, tetapi status kesembuhan
(perubahan BTA positif menjadi negatif) tidak dapat ditentukan.
Penderita BTA positif, akibat tidak dilakukan pemeriksaan dahak ulang atau dilakukan
satu kali dengan hasil BTA negatif, sedangkan pada penderita BTA negatif, akibat
konversinya tak dapat ditentukan.

19

Gagal
Penderita TB paru yang BTA nya tetap positif / menjadi positif pada akhir fase awal
pengobatan dengan sisipan , satu bulan sebelum AP atau pada AP (lihat atas).
Meninggal
Penderita TB paru yang meninggal karena sebab apapun selama pengobatan.
Lalai (default)
Penderita TB paru yang pindah ke Kabupaten / Kotamadya lain dengan hasil
pengobatan yang tidak diketahui.

I.5 Diagnosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, gambaran foto
toraks, pemeriksaan basil tahan asam dan pemeriksaan laboratorium penunjang.
I.5.1

Gejala klinis
Gejala klinis sangat bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali sampai gejala yang
sangat berat seperti gangguan pernapasan dan gangguan mental. Secara garis
besar gejala dibagi atas gejala sistemik (umum) dan gejala respiratorik (paru).
1. Gejala sistemik
Gejala ini mencakup demam lama pada malam hari, keringat malam, badan terasa
lemah, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan.
2. Gejala respiratorik
Gejalanya antara lain : batuk, sesak napas dan rasa nyeri pada dada. Batuk
biasanya lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif dengan sputum yang bersifat
mukoid atau purulen, batuk darah dapat terjadi bila ada pembuluh darah yang robek,
sesak napas biasanya terjadi pada penyakit yang sudah lanjut.

1.5.2 Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subferis),
badan kurus atau berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda:

infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dan lain-lain)

penarikan paru, diafragma, dan mediastinum

sekret di saluran napas

20

suara napas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung


dengan bronkus.

2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan pada paru ialah foto
toraks PA dan lateral. Kelainan yang didapat harus dinilai secara arif dan cermat,
penilaian aktif atau tidaknya suatu lesi sebaiknya berdasarkan foto serial, bukan
berdasarkan pada pembacaan foto tunggal. Gambaran lesi yang menyokong
kearah TB paru aktif biasanya berupa infiltrat nodular berbagai ukuran di lobus
atas paru, kavitas (terutama lebih dari satu), bercak milier ataupun adanya efusi
pleura unilateral. Gambaran lesi tidak aktif biasanya berupa fibrotik, atelektasis,
kalsifikasi, penebalan pleura, penarikan hilus dan deviasi trakea.
Berdasarkan luas lesi pada paru, ATS (American Thorasic Society) membagi
kelainan radiologik paru atas 3 kelompok :
1. Lesi minimal
Lesi dengan densitas ringan sampai sedang tanpa kavitas, pada satu atau
dua paru dengan luas total tidak melebihi volume satu paru yang terletak
diatas sendi kondrosternal kedua atau korpus vertebra torakalis V (kurang
dari 2 sela iga)
2. Lesi sedang
Lesi terdapat pada 1 atau 2 paru dengan luas total tak melebihi batas
sebagai berikut :
Lesi dengan densitas sedang, luas seluruh lesi tidak melebihi satu
volume paru.
Lesi dengan densitas tinggi / konfluen, luas seluruh lesi tidak melebihi
luas 1/3 paru.
Bila ada kavitas ukurannya tak melebihi 4 cm.
3. Lesi luas
Luas melebihi lesi derajat sedang
3. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan BTA
Pemeriksaan sputum BTA mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis TB paru. Dahak yang terbaik adalah dahak yang diambil
pada pagi sebelum makan, kental, purulen dengan jumlah minimal 3 5 ml.
Dahak tersebut diperiksa tiga hari berturut-turut dengan pewarnaan Ziel Neellsen
atau Kinyoun Gabbet. Untuk lebih efisien, Depkes RI menganjurkan pengambilan

21

dahak sewaktu, dahak pagi dan dahak sewaktu yang dikumpulkan hanya dalam
2 hari.
Kesulitan mendapatkan dahak dapat diatasi dengan minum satu gelas teh
manis atau tablet GG 200 mg pada malam hari sebelum tidur. Esok harinya
penderita disuruh melakukan aktifitas ringan dan menarik napas dalam beberapa
kali, bila merasa akan batuk, napas ditahan selama mungkin baru dibatukkan.
Pengeluaran dahak dapat juga di induksi dengan inhalasi larutan garam
hipertonik atau dengan bronchial washing, memperlihatkan peningkatan jumlah
kuman yang bermakna setelah pemberian 1 tablet GG (200 mg) pada 75
penderita (55,1%) TB paru yang diperiksanya.
BTA dinyatakan positif bila BTA dijumpai setidaknya pada dua dari tiga
pemeriksaan BTA yang dilakukan. Pemeriksaan ulang BTA harus dilakukan bila
BTA hanya dijumpai pada 1 kali pemeriksaan, adanya BTA pada pemeriksaan
ulang (walaupun satu kali) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis BTA
positif. Pembacaan BTA berdasarkan skala IUALTD (tabel 1)
Tabel 1. Pembacaan hasil BTA berdasarkan skala IUALTD
Hasil
Negatif

Jumlah BTA per lap. pandang


BTA (-) per 100 lapangan pandang

Ragu- ragu

BTA 1 - 9 per 100 lapangan pandang

BTA 10 - 99 per 100 lapangan pandang

++

BTA 1 10 per 1 lapangan pandang

+++

BTA > 10 per 1 lapangan pandang

Sensitifitas sputum BTA cukup rendah, bervariasi antara 9,6 24,4,


sensitifitas ini akan meningkat antara 50 80% bila sarana dan kemampuan
petugas laboratoriumnya baik.
2. Kultur
Pemeriksaan kultur mempunyai sensitifitas sekitar 20 30%, superior
dibanding pemeriksaan BTA langsung, namun membutuhkan waktu yang lebih
lama ( 8 minggu). Metoda yang paling sering dipakai adalah metoda
konvensional seperti Lowenstein Jensen, Ogawa, dan Kudoh, pembacaan
jumlah kuman yang tumbuh didalam kultur dinyatakan dengan negatif sampai 4+,
semakin tinggi nilai positifnya mencerminkan semakin banyak kuman yang
tumbuh. Teknik lain yang banyak dipakai belakangan ini adalah teknik
radiometric (BACTEC), dengan teknik ini waktu yang dibutuhkan untuk
identifikasi kuman menjadi lebih cepat, sekitar 12 20 hari.

22

Pemeriksaan kultur dan uji resistensi tidak dilakukan secara rutin.


Pemeriksaan ini diutamakan pada kasus dengan riwayat OAT sebelumnya
(kasus kambuh dan kasus gagal) dan pada daerah dengan kasus resistensi OAT
yang tinggi.
3. Darah rutin
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru.
Kelainan yang dapat dijumpai adalah anemia, peningkatan laju endap darah,
peningkatan leukosit dan limfositosis.

I.6 Pengobatan
Penatalaksanaan batuk darah
Kecepatan

perdarahan

dan

efek

terhadap

pertukaran

gas

menentukan

penatalaksanaan hemoptysis. Bila perdarahan hanya sedikit atau hanya berupa bercak di
dahak dan umumnya pertukaran gas tidak teganggu, maka penegakan diagnosis menjadi
prioritas. Namun bila terjadi perdarahan masif, maka usaha untuk mempertahankan jalan
napas dan pertukaran gas harus didahulukan.
Dasar-dasar pengobatan yang diberikan dalam penatalaksanaan batuk darah masif
adalah sebagai berikut:

mencegah penyumbatan jalan napas

memperbaiki keadaan umum penderita

menghentikan perdarahan

mengobati penyakit yang mendasarinya.

I.6.1. Mencegah penyumbatan jalan napas


Mengistirahatkan pasien umumnya dapat mengurangi perdarahan.

Penderita

yang masih memiliki reflek batuk yang baik dapat diletakkan dalam posisi duduk, atau
setengah duduk dan disuruh membatukkan darah yang masih terasa menyumbat
saluran napas. Pasien dapat di bantu dengan penghisapan darah dari jalan napas
dengan alat penghisap. Jangan sekali-kali disuruh menahan batuk.
Penderita yang tidak mempunyai reflek batuk yang baik , diletakkan dalam posisi
tidur miring kesebelah yang diduga menjadi sumber perdarahan dan sedikit
trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat karena dapat
mengakibatkan penyumbatan dan asfiksia. Kematian akibat hemoptysis sendiri lebih
sering diakibatkan oleh asfiksia daripada oleh karena perdarahan. Pada perdarahan
masif terkadang dibutuhkan intubasi dan bahkan ventilator mekanik untuk menjaga
jalan napas dan pertukaran udara.

23

0bat-obat antitusif tidak dianjurkan untuk digunakan dengan alasan batuk yang
adekuat mungkin dibutuhkan untuk mengeluarkan darah dari jalan napas dan
mencegah asfiksia. Obat antitusif mungkin dibutuhkan pada kasus batuk darah dengan
bercak minimal tetapi batuk sangat kuat. Batuk-batuk yang terlalau banayk malah akan
merangsang terjadinya perdarahan.
I.6.2. Memperbaiki keadaan umum penderita
Pada keadaan batuk darah masif bila perlu dapat dilakukan:
1.pemberian oksigen jika ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi
2.pemberian cairan untuk hidrasi
3.tranfusi darah
4.memperbaiki keseimbangan asam dan basa
I.6.3. Menghentikan perdarahan
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di dalam
kepustakaan disebutkan hemoptisis berhenti dalam 7 hari. Pemberian kantongan es
diatas dada, hemostatik, vasopresin (pitrissin), ascorbic acid belum diketahui
khasiatnya secara jelas.
Apabila ada kelainan di dalam faktor-faktor pembekuan darah, lebih baik
meberikan faktor tersebut dengan infus. Obat-obat antitrombosit hendaknya
dihentikan.
Di biro pulmonologi RSAL Mintohardjo masih memberikan hemostatika (Adona
Decynone) intravena 3-4 x 100 mg/ hari atau peroral. Walaupun khasiatnya belum
jelas, diharapkan paling tidak dapat memnerikan ketenangan bagi pasien maupun
dokter sendiri.
I.6.4. Mengobati penyakit yang mendasari
Bila sebabnya infeksi (misalnya bronkiektasis, bronkitis kronik dan fibrosis kistik
yang terinfeksi) antibiotik harus di berikan disertai teofilin atau agonis beta adrenergik
(sebagai peangsang gerakan mukosiliar). Pada tuberkulosis paru yang terinfeksi selain
obat antituberculosis antibiotik non spesifik juga harus diberikan. Pada penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), antibiotik belum pernah diteliti betul namun tampaknaya
antibiotika spektrun luas membantu mempercepat penghentian hemoptysis. Bila
penyebabnya gagal jantung maka terapi gagal jantung harus diberikan. Keganasan di
bronkus harus diupayakan untuk direseksi.
Terapi lain yang di gunakan di dunia kedokteran saat ini mencakup terapi foto
laser, terapi emboli, dan reseksi bedah dari paru atau lobus yang berdarah. Terapi foto
laser sulit digunakan untuk g\hemoptysis yang sangat masif. Reseksi bedah
tampaknya berguna pada kasus-kasus yang berindikasi bedah misalnya keganasan,

24

trauma serta fistula arteri trakealis. Namun untuk tuberkulosis, bronkiektasis terinfeksi,
bronkitis maupun kelainan koagulasi, tindakan bedah masih kontroversial. Tidak ada
kematian pada kasus-kasus tersebut pada perdarahan kuarang dari 200 ml/hari. Di
indonesia dimana terapi embolisasi dan laser umumnya belum tersedia, terapi bedah
harus dipertimbangkan pada perdarahan lebih dari 250 ml/hari. Namun pada sentra
dengan kemapuan embolisasi dan terapi laser, tindakan bedah hanya dibatasi pada
kasus yang dapat dioperasi pada perdarahan 1 liter/ hari atau lebih.
Penatalaksanaan tuberkulosis paru
Sebelum ditemukannya OAT, prinsip pengobatan TB paru terdiri dari : isolasi penderita
di sanatorium, tirah baring, sinar matahari sebanyak mungkin, diet tinggi kalori tinggi protein,
terapi simptomatis dan tindakan bedah. Cara ini tidak memeberikan hasil yang memuaskan,
angka kesembuhan hanya 25%, 60% kasus meninggal dan sisanya menjadi kronik.

Perubahan mendasar pengobatan TB paru dimulai sejak 1943 dengan


ditemukannya streptomisin oleh Schatz, Bugie dan Waksman, diikuti dengan
penemuan OAT lainnya seperti PAS (1946), isoniazid (1951), pirazinamid (1954),
rifampisin (1963) dan etambutol (1967). Sejalan dengan penemuan tersebut, paduan
OAT dan lama pengobatan mengalami perkembangan (tabel 2). Era sebelum tahun
1970 umunya OAT diberikan selama 1 sampai 2 tahun dengan paduan yang tidak
mengandung rifampisin, pengobatan ini dikenal dengan pengobatan jangka panjang.
Sejak 1970 sampai sekarang, WHO merekomendasikan pemakaian OAT jangka
pendek yaitu pengobatan yang diberikan dalam jangka waktu 6 sampai 9 bulan
dengan paduan OAT yang mengandung rifampisin.
Tabel 2.
Priode
< 1940
194019501960197019801990-

Perkembangan pemakaian OAT

Kebijakan

OAT

Sanatorium

S + PAS
H + S + PAS
H+S+E
R + H + E/S
R + H + Z + E/S
R + H + Z +E/S

Rawat jalan, Supervisi


Rawat jalan + DOTS

Prinsip pengobatan tuberculosis

25

Lama terapi

Keberhasila

(bulan)

n
25%

24
18 24
18
69
6
6

50%
50 90%
> 95%

Pengobatan TB paru bertujuan untuk meningkatkan angka kesembuhan,


menurunkan kematian, mencegah komplikasi, mencegah kekambuhan, mencegah
resistensi serta memutuskan rantai penularan, untuk mencapai tujuan tersebut, ada
beberapa prinsip yang harus diperhatikan :
1. Pengobatan sekurang-kurangnya menggunakan 2 macam OAT efektif
Basil tuberkulosis mempunyai sensitifitas yang berbeda terhadap OAT. Basil
yang hidup di luar sel sensitif terhadap OAT tertentu, sedangkan basil yang berada
didalam sel sensitif terhadap OAT lainnya, oleh karena itu dianjurkan pemberian 2
macam OAT efektif atau lebih untuk mencegah terjadinya kekambuhan dan resistensi.
Berdasarkan

sensitifitas

tersebut,

Mitchison

mengelompokkan

kuman

tuberkulosis dalam 4 populasi :


Populasi A : adalah populasi basil diluar sel yang menunjukkan metabolisme aktif.
Populasi ini sensitif dengan INH, rifampisin, streptomisin dan atambutol.
Populasi B : adalah populasi basil di luar sel yang semi-dormant, metabolisme aktif
hanya sekali terjadi, itupun dalam waktu yang singkat. Populasi ini hanya sensitif
terhadap rifampisin.
Populasi C : adalah populasi basil didalam sel yang semi dormant, hidup dalam
lingkungan asam dengan pertumbuhan yang sangat lambat. Populasi ini sensitif
terhadap pirazinamid, rifampisin dan INH.
Populasi D : adalah populasi basil didalam sel yang sepenuhnya bersifat dormant.
Populasi ini sukar dibunuh oleh OAT apapun.
Mangunnegoro dan Block menganjurkan pemakaian 4 OAT pada kasus baru
BTA positif. Paduan ini dianggap efektif untuk mencegah resistensi sekunder, menjamin
pengobatan tetap adekuat (dalam hal terdapatnya resistensi primer terhadap salah
satu OAT) dan memperkecil resiko kambuh.
2. Pengobatan dibagi atas 2 fase, yaitu :
a. Fase awal
Efek yang ingin dicapai pada fase awal adalah efek bakterisidal, yaitu
kemampuan obat untuk memusnahkan bakteri yang sedang bermetabolisme aktif.
Efek diperoleh dengan memberikan kombinasi OAT yang bersifat bakterisidal kuat
seperti rifampisin dan INH, yang diberikan setiap hari selama 1 sampai 3 bulan.
b. Fase lanjutan
Efek yang ingin dicapai pada fase lanjutan adalah efek sterilisasi, yaitu efek
obat

untuk

memusnahkan

populasi

kuman

yang

semi-dormant.

Untuk

mendapatkan efek tersebut, paling sedikit kita harus memberikan 2 OAT selama 4
sampai 11 bulan, dapat dosis harian ataupun dosis berkala.

26

3. Paduan yang diberikan sebaiknya paduan jangka pendek


Paduan jangka pendek mempunyai efektifitas yang setara dengan paduan
jangka panjang. Cohn memperlihatkan konversi yang cepat (rata-rata 4,6 minggu),
kesembuhan yang tinggi (100%), efek samping dan kekambuhan yang rendah (1,6%),
pada 125 penderita yang menggunakan paduan RHZS/1 R 2H2Z2S2/4R2H2.
Paduan jangka pendek mempunyai beberapa keuntungan. Paduan ini selalu
mengandung rifampisin, yang kita ketahui efektif terhadap seluruh populasi basil
tuberkulosis baik yang didalam maupun diluar sel, disamping itu kelengkapan dan
ketaatan berobat akan lebih baik, karena waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat.
4. Lakukan uji resistensi pada kasus gagal dan kambuh
Uji resistensi sangat bermanfaat pada kasus dengan riwayat pengobatan
sebelumnya, baik kasus kambuh maupun kasus gagal pengobatan. Pada kasus
tersebut dianjurkan paduan 4-5 macam OAT atau lebih dengan paling sedikit 2 OAT
baru yang masih sensitif.
5. Pemberian dosis berdasarkan berat badan
Idealnya

dosis OAT diberikan berdasarkan berat badan penderita (tabel 3),

namun untuk memudahkan pemberian beberapa pusat rujukan memberikan dosis


OAT berdasarkan pengelompokkan berat badan.
Tabel 3.

Dosis OAT menurut WHO


DOSIS REKOMENDASI

OAT

CARA KERJA

HARIAN

Bakterisidal

3 (4 6)

3x/Mg
10 (8 12)

2x/Mg
15 (13 17)

Bakterisidal

10 (8 12)

10 (8 12)

10 (8 12)

Bakterisidal

25 (20 30)

35 (30 40)

50 (40 60)

Bakterisidal

15 (12 18)

15 (12 18)

15 (12 18)

Bakteriostatik

15 (15 20)

30 (25 35)

45 (40 50)

INTERMITENT

Pengobatan TB paru menurut program Depkes/WHO


Program pemberantasan TB di Indonesia menggunakan paduan OAT jangka pendek.
OAT program ini dikemas dalam bentuk blister dosis harian (kombipak) dan disediakan satu
paket untuk satu orang penderita. Penyediaan OAT dalam bentuk paket satu orang satu paket
akan menjamin tidak terjadinya penderita putus berobat akibat tidak tersedianya obat, sedangkan
kemasan dalam bentuk kombipak adalah untuk menjamin penderita menelan obat dengan tepat
sesuai dengan jenis dan jumlahnya. Satu-satunya kelemahan OAT program ini adalah dosisnya

27

yang sudah tetap, sehingga penyesuaian dosis untuk kasus-kasus dengan penyulit dan
penyesuaian dosis berdasarkan berat badan tidak dapat dilakukan. Alur pengobatan dapat dilihat
pada gambar 1
Kategori I
Kategori ini diindikasikan untuk penderita baru BTA positif, penderita baru BTA negatif
dengan kelainan radiologis yang luas dan penderita TB ekstra paru yang berat. Contoh TB ekstra
paru berat, antara lain TB ginjal, TB miliar, meningitis TB, peritonits TB, perikarditis TB, pleural
efusi bilateral dan osteomielitis / spondilitis.
Pengobatan dibagi atas fase awal dan fase lanjutan. Pada fase awal diberikan RHZE
setiap hari selama 2 bulan (2RHZE), sedangkan pada fase lanjutan diberikan RH tiga kali
seminggu selama 4 bulan (4R3H3). Alternatif lain yang diperbolehkan WHO dapat dilihat pada
tabel 6.
Kategori-2
Kategori-2 diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan pengobatan setelah lalai.
Kategori ini terdiri atas 3 bulan fase awal dan 5 bulan fase lanjutan, pada fase awal diberikan
suntikan streptomisin setiap hari selama 2 bulan pertama dan paduan RHZE setiap hari
(2RHZES/1RHZE), pada fase lanjutan diberikan RHE tiga kali seminggu (5R 3H3E3).
Dosis dan alternatif OAT menurut WHO dapat dilihat pada tabel 6 dan 7.
Kategori-3
Kategori ini diindikasikan untuk kasus baru TB paru dengan BTA negatif dan TB ekstra
paru ringan. Contoh TB ekstra paru ringan adalah TB kelenjar, TB kulit, TB tulang (selain tulang
belakang), TB sendi dan pleural efusi unilateral. Pengobatan terbagi atas 2 bulan fase awal dan 4
bulan fase lanjutan, pada fase awal diberikan paduan RHZ setiap hari (2RHZ), pada fase lanjutan
diberikan paduan RH tiga kali seminggu (4R3H3).
Dosis dan alternatif OAT menurut WHO dapat dilihat pada tabel 6 dan 7.
Tabel 6.
I.1 Kategor

Regimen pengobatan berdasarkan kategori (WHO)


Kriteria Penderita

I.2 Pilihan Regimen Pengobatan

i
I

II

Kasus baru BTA (+)


Kasus baru BTA (-) Ro (+)
yang sakit berat
Kasus baru TB ekstra paru
yang berat
BTA (+)
Kambuh
Gagal

Fase Awal
2 RHZE (RHZS)

Fase Lanjutan
6 EH
4 RH

2 RHZE (RHZS)

4 R3H3*

2 RHZE (RHZS)*
2 RHZES / 1 RHZE*
2 RHZES / 1 RHZE

28

5 R3H3E*

III

IV

Putus berobat
Kasus baru BTA (-)
TB ekstraparu ringan

Kasus kronik

2 RHZ
2 RHZ

6 EH
4 RH

2 RHZ*

4 R3H3*

Rujukan ke spesialis untuk memakai obat


sekunder

* Yang diterapkan di Indonesia


I.8

Epidemiologi Tuberkulosis
Distribusi dan Prevalensi
Tuberkulosis ditemukan di seluruh dunia. Dahulu, sewaktu hubungan antarnegara
masih sulit, masih ada beberapa rumpun suku bangsa yang bebas TB (misalnya suku
eskimo sebelum kedatangan orang-orang Denmark dan beberapa suku penghuni pulaupulau terpencil di Samudera Pasifik). Tetapi dengan makin mudahnya hubungan
antarnegara sejak abad XVI, sekarang TB menjadi salah satu penyakit mancanegara yang
mematikan. Berbagai faktor memang berperan di sini, termasuk kemiskinan, program
penanggulangan yang tidak baik, dan timbulnya infeksi HIV/AIDS.

I.9

Program Pemerintah Dalam Penanggulangan TB Paru


TB paru masih merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia, bahkan TB paru
ditetapkan sebagai global emergency oleh WHO. Untuk menurunkan angka mortalitas
akibat TB paru, WHO telah menetapkan berbagai kebijakan diantaranya DOTS (directly
observed treatment short-course).
Kebijakan, program, dan strategi pemerintah dalam penanggulangan TB paru
diantaranya :

1.

DOTS (Directly Observed Treatment Short Course)


DOTS merupakan strategi pemerintah yang mulai diterapkan pada 1999.
Strategi DOTS untuk menghentikan penyebaran tuberkulosis terdiri dari lima
komponen,

yaitu

komitmen

politis,

diagnosis

akurat

dengan

pemeriksaan

mikroskopis, pengobatan dengan OAT dan ketaatan berobat, ketersediaan OAT yang
tidak terputus, dan pencatatan serta pelaporan.
Program TB nasional merencanakan untuk meningkatkan peran masyarakat
melalui inisiatif berbasis masyarakat (Community Based Initiative atau COMRI) pada
2004, dan juga akan melakukan beberapa riset operasional tentang anggota
keluarga yang menjadi PMO. Salah satu strategi DOTS yang sangat efektif dalam
menurunkan prevalensi kematian akibat TB paru adalah PMO (pengawas menelan
obat). PMO umumnya masih anggota keluarga.
2.

Gerdunas (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis)

29

Pada 1999 pemerintah Indonesia menetapkan TBC sebagai prioritas


kesehatan

nasional.

Gerdunas

TB

adalah

satu

gerakan

multisektor

dan

multikomponen dalam masyarakat yang terkait dalam P2TB (Depkes RI, 2000) yang
berupaya untuk mempromosikan percepatan pemberantasan tuberkulosis. Gedurnas
merupakan pendekatan terpadu yang mencakup rumah sakit dan sektor swasta dan
semua pengambil kebijakan lain, termasuk penderita dan masyarakat. Tujuan
Gedurnas TB secara internal organisasi Depkes adalah untuk mengkoordinasikan
manajemen P2TB secara lintas bidang dan secara ekstrernal adalah untuk
melibatkan sektor lain yang bersedia secara aktif dalam P2TB.
3.

Penyuluhan TB
Salah satu bentuk perhatian pemerintah dalam usahanya untuk menurunkan
jumlah penderita TB paru adalah dengan penyuluhan TB. Penyuluhan TB sangat
perlu dilakukan karena masalah TB berkaitan dengan masalah pengetahuan dan
perilaku masyarakat. Tujuan

penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran,

kemauan, dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB.


4.

Komitmen Internasional
Pemerintah

Indonesia

menyediakan

sejumlah

besar

dana

untuk

pengendalian tuberkulosis, dan telah menjanjikan US$ 19,8 juta untuk obat-obatan
dan gaji staf. Anggaran

sebesar ini mencakup 54% dari kebutuhan seluruhnya

sebesar US$ 36,5 juta. Hal ini merupakan bukti dari komitmen politis untuk
menghentikan dan menurunkan penyebaran tuberkulosis pada 2015. Komitmen
internasional lain mencakup Deklarasi Amsterdam tahun 2000, dimana Menteri
Kesehatan menyetujui untuk mencapai 70% angka deteksi kasus pada 2005 dan
keberhasilan pengobatan sebesar 85%.

CIRRHOSIS HEPATIS
Subjektif:
Keluhan Utama:
Keluhan Tambahan:
RPP
Pemeriksaan Fisik

Perut membesar
Nafsu makan menurun, mual, muntah, mudah lemas. Pada lakilaki sering muncul impotensi,dan hilangnya dorongan
seksualitas.
R/ Sakit Kuning
R/ Minum Alkohol
R/ Minum Jamu
S: Spider nevi
E: Eritema Palmar
K: Kolateral Vein
A: Ascites
S: Splenomegali
I: Inversi albumin globulin
H: Hematemesis melena
Pemeriksaan yang lain adalah jari gada, atrofi testis, ikterus,
asterixis bilateral, Demam yang tidak begitu tinggi akibat

30

nekrosis hepar, batu pada vesika felea akibat hemolisis dan


pembesaran kelenjar parotis.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Radiologi
Tatalaksana
Prognosis

Test fungsi hati SGOT, SGPT, ALT, AST. Alkali fosfatase(2


sampai 3 kali), GGT, Bilirubin,albumin, globulin, Waktu
protrombin.
USG Abdomen
Simptomatis; Hepatoprotector, vitamin,Curcuma.

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)


Definisi

Faktor Risiko

Patofisiologi

Keluhan
(Subjektif)

Penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di


saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel dan reversibel parsial.
Terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis Kronk:
Kelainan saluran nafas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3
bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut, tidak
disebabkan penyakit lain.
Emfisema:
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
1. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja.
3. Hiperaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa-1.
Perubahan patologis yang khas pada PPOK dijumpai pada saluran nafas
besar (central airway), saluran nafas kecil (peripheral airway), parenkim
paru dan vaskuler pulmonal.
Saluran napas besar:
Dijumpai infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar
yang mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat
kelainan ini meyebabkan hipersekresi mukus.
Saluan napas kecil:
Inflamasi kronis menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding
saluran napas. Proses repair akan menghasilkan struktur remodelling dari
saluran napas dengan peningkatan jaringan kolagen dan jaringan ikat yang
menyebabkan penyempitan lumen dan terjadi obstruksi saluran napas
permanen.
Parenkim paru:
Destruksi parenkim paru secara khas terjadi pada emfisema sentri lobuler.
Kelainan tersebut lebih sering terjadi pada bagian atas pada kasus ringan
namun bila berlajut dapat terjadi pada seluruh lapangan paru dan juga
terjadi destruksi pulmonary caplary bed.
Perubahan vaskuler pulmonal:
Ditandai dengan penebalan dinding pembuluh darah yang dimulai sejak
awal perjalanan alamiah PPOK
Umumnya penderita datang dengan keluhan sesak napas dan batuk.
Sesak napas:
Mula-mula ringan dan secara gradual pada akhirnya dapat mengganggu
aktivtas sehari-hari. Sesak napas bertambah berat mendadak menandakan
adanya eksaserbasi.
Suara mengi/wheeezing:

31

Pemeriksaan
Fisik
(Objektif)

Pemeriksaan
Penunjang

Laboratorium

Tidak jarang ditemukan pada pasien PPOK dan ini menunjukkan komponen
reversibel dari penyakitnya, biasanya disebabkan karena udara lewat
saluran nafas yang sempit akibat radang atau adanya sikatrik
Batuk kronik:
Batuk kronik dengan dahak yang episodik dan memberat pada saat pagi
hari. Dahak biasanya mukoid dan bisa menjadi purulen pada eksasrbasi.
Batuk darah:
Terutama dijumpai saat eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran napas
yang mengalami peradangan khasnya Blood-streaked purulen sputum.
Nyeri dada:
Disebabkan oleh pleuritis, pneumothorak, dan emboli paru.
Organ: Thorak (Pulmo)
Inspeksi:
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/ mencucu)
- Barrel chest (diameter anteroposterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot-otot bantu pernapasan
- Hipertropi otot-otot bantu pernapasan
- Pelebaran sela iga
- Bila terjadi gagal jantung kanan terlihat JVP meningkat dan terjadi
edema tungaki.
- Penempilan pink puffer (emfisema) dan Blue bloater (Bronkitis
kronik)
Palpasi :
- Pada emfisema stemfremtus melemah, sela iga melebar
Perkusi :
- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong kebawah.
Auskultasi :
- Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki basah di basal dan atau mengi pada waktu
bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
* Udem tungkai, JVP meningkat, hepar teraba dan tanda hipertensi
pulmonal
Adalah tanda kor pulmonale kronikum dekompensata.
Spirometri :
Merupakan pemeriksaan gold standar.
Pemeriksaan VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/ KVP
VEP1/ VEP1 prediksi < 80 %, VEP1/KVP < 75%
Radiologi :
Pada emfisema:
- Diafragma datar
- Volume paru bertambah besar
- Gambaran jantung menggantung (Pendulum, tear drop, eye drop
appearence)
- Ruang retrosternal melebar.
- Hiperinflasi dan hiperlusen
Pada bronkitis kronik:
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus.
Darah
- Pemeriksaan darah rutin seperti Hb, Ht, Leukosit

32

Diagnosis
Tatalaksana

Gambaran klinis: Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Diagnosis pasti dan gold standar dengan spirometri.

Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi:


1. Edukasi
2. Obat-obatan
3. Terapi Oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi

Pada terapi obat-obatan secara umum akan diberikan golongan:


- Bronkodilator
- Antiinflamasi
- Antibiotika
- Antioksidan
- Mukolitik
- Antitusif
Untuk lebih jelas silakan di baca:
* Buku ajar ilmu penyakit paru prof. Hood alsagaff
** Buku pedoman diagnosis dan penatalaksanaan PPOK di Indonesia

HEPATOMA
Subjektif:
Keluhan

RPP

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan
Penunjang
Laboratorium
Tumor marker
Radiologi

Pada awal penyakit kadang-kadang tidak ada keluhan, atau


keluhannya samar-samar, sehingga pasien tidak sadar sampai
pada
suatu
saat
tumor
sudah
besar.
Keluhan yang sering dirasakan adalah adanya perasaan sakit atau
nyeri yang sifatnya tumpul, tidak terus menerus, terasa penuh
di perut kanan atas, tidak ada nafsu makan karena perut
selalu terasa kenyang sehingga berat badan menurun secara
drastis. Pasien merasakan adanya pembengkakan perut kanan
atas atau daerah epigastrium, kadang-kadang ada keluhan seperti
peritonitis lokal atau difus. Dalam keadaan seperti itu perlu
dipikirkan perdarahan intra-abdominal.
R/ Kuning (Hepatitis B/C, Sirosis Hepatis)
R/ Minum Alkohol
R/ Minum Jamu
R/ Merokok
Kulit: Ikterus
Mata: Ikterus
Abdomen: Hepar teraba, konsistensi keras, permukaan
berdungkul-dungkul, tepi tumpul.
Leukositosis, anemia, gangguan pembekuan darah, serum feritin
meningkat, dan peningkatan SGOT, SGPT.
AFP meningkat
Foto polos abdomen (adanya kalsifikasi)
USG abdomen
CT scan abdomen
Skintigrafi hati (scaning)
MRI(tepat untuk menentukkan stadium tumor)

33

Histopatologi
Tatalaksana
Prognosis

Biopsi Hati (Diagnosis pasti/gold standard)


Sukar diobati baik dengan operasi maupun dengan sitostatika.
Prognosis jelek. Tanpa pengobatan biasanya terjadi kematian
kurang dari satu tahun sejak keluhan pertama. Pada pasien KHS
stadium dini yang dilakukan pembedahan dan diikuti dengan
pemberian sitostatik, umur pasien dapat diperpanjang antara 4-6
tahun, sebaliknya pasien KHS stadium lanjut mempunyai masa
hidup yang lebih pendek.

SINDROM NEFROTIK
Definisi
Etiologi

Patofisiologi

Keluhan
(Subjektif)

Sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih


dari 3,5 g/hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), edema anasarka,
hiperkolesterolemia, dan lipiduria.
a. Primer (sebagian besar tidak diketahui sebabnya) penyakit parenkim
ginjal primer GN
Glomerulonefritis membranosa
Glomerulonefritis kelainan minimal
Glomerulonefritis membranoproliferatif
Glomerulonefritis pascastreptokok
b. Sekunder
Infeksi (HIV, Hepatitis B,C, Sifilis, Malaria, Skistosoma, TB, Lepra)
Obat dan toksin (emas, penisilamin, kaptopril, heroin, probenesid,
air raksa, antiinflamasi nonsteroid)
Keganasan (adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma
Hodgkin, MM, Ca ginjal)
Penyakit sistemik dan jaringan ikat yang mempengaruhi glomerulus
(diabetes, amiloidosis, SLE, Purpura Henoch-Schonlein, dll.)
- Reaksi Ag-Ab permeabilitas membran glomerulus me

proteinuria masif hipoalbuminemia tek. onkotik plasma me


difusi cairan ke interstitiel edema.
- Selain itu, difusi cairan ke interstitiel hipovolemi aktivasi RAA
system dan aktivasi simpatik & katekolamin reabsorbsi Na + air me
& resistensi perifer serta vaskuler glomerulus me edema diperberat.
- Hiperkolesterolemia akibat mobilisasi lemak tubuh untuk sintesa
protein setelah terjadi keseimbangan negatif.
Umumnya penderita datang dengan keluhan sembab seluruh tubuh.
Edema pada awalnya timbul pada kelopak mata pada pagi hari dan
hilang di siang hari. Edema kemudian menjalar ke tungkai, kemaluan,
dan perut.
Bila os sudah mengalami sembab seluruh tubuh beserta asites nafas
terasa sesak (menyesak) sehingga os lebih enak bila dalam posisi
duduk.
Anamnesis untuk mencari kelainan ginjal yang menyebabkan edema/
etiologi SN:
- Buang air kecil menjadi jarang dan sedikit. BAK seperti air cucian daging
(hematuri), nyeri kepala, mual, muntah/ hipertensi ensefalopati GNA
Riwayat radang tenggorokan atau infeksi kulit (impetigo)
Poststreptococcus GN
- Riwayat sering makan, minum, dan BAK (baik pada penderita dan

34

Pemeriksaan
Fisik
(Objektif)

Pemeriksaan
Penunjang
Laboratorium

keluarga) DM
- Riwayat bengkak disertai kemerahan pada wajah pada sisi yang sama
(Malar rash) SLE
- Riwayat bercak-bercak merah pada tungkai dan bokong disertai nyeri
sendi Purpura Henoch-Schonlein
- Riwayat sakit kuning Hepatitis
- Riwayat bepergian ke daerah endemik malaria Malaria
- Riwayat minum obat-obatan atau toksin (emas, penisilamin, kaptopril,
heroin, probenesid, air raksa, antiinflamasi nonsteroid) Efek obat dan
toksin
Umum: TD biasanya dijumpai hipertensi ringan.
Organ:
Kepala:
- Puffy face dan edema palpebra
- Konjungtiva tak anemis menyingkirkan DD/ GGK
- Sklera tak ikterik menyingkirkan DD/ kelainan hepar
- Pernafasan cuping hidung dan sianosis perioral (-)
menyingkirkan sesak krn jantung/paru
- Kelenjar parotis membesar merupakan tanda malnutrisi pada
hipoalbuminemia berat dan berlangsung lama.
- Malar rash (-) menyingkirkan DD/ nefropati lupus
Leher:
- JVP tdk meningkat menyingkirkan DD/ edema krn jantung
Thoraks:
- Spider naevi (-) untuk menyingkirkan DD/ kelainan hepar
- Cor: dbn untuk menyingkirkan DD/ kelainan jantung
- Pulmo: adakah tanda efusi pleura dan pneumonia yang dpt terjadi
pada penderita SN akibat hipoalbuminemia dan infeksi.
Abdomen:
- Cembung, pekak samping, shifting dullness (+) ascites
- Venektasi (-) untuk menyingkirkan DD/ kelainan hepar.
Genitalia:
- Edema scrotum/labia
Ekstremitas:
- Edema pretibial dan dorsum pedis serta Muercke line (garis putih di
kuku).
- Sianosis dan clubbing (-) untuk menyingkirkan DD/ kelainan
jantung.
- Eritema palmaris (-) untuk menyingkirkan DD/ kelainan hepar.
Darah
- Hb normal, kecuali bila telah terjadi penurunan fs. ginjal
- Leukosit normal, kecuali bila ada infeksi yang sering didapati pd
penderita SN (akibat terbuangnya Ig)
- LED meningkat (akibat inflamasi)
- Profil lipid meningkat (bila telah terjadi hipoalbuminemia berat),
sedangkan pada lupus nefritis dan nefropati DM normal.
- Elektrolit (Na, K) umumnya normal, tapi dpt terjadi hipokalemi
akibat aldosteronisme sekunder (peningkatan reabsorbsi Na,
menyebabkan loss K) dan pemberian diuretik tdk hemat K.
- Ureum & Kreatinin bervariasi, dpt meningkat bila telah terjadi
komplikasi GGA akibat kompresi tubulus proximal krn edema
intrarenal.
Urin

35

Biopsi ginjal
Tatalaksana

Prognosis

Komplikasi

Cenderung oliguri
Proteinuria (5-30 g/hari), Esbach (protein urin kuantitatif u/
mengukur kadar protein urin dalam 24 jam): > 3,5 g/dl
Sedimen sel, silinder, oval fat bodies dapat +

Untuk mengetahui tipe GN


Nonfarmakologis:
- Istirahat/ tirah baring
- Diet rendah garam, diet protein 0,8-1 g/kgBB/hari (rendah protein
krn bila protein akan memperberat proteinuria yang telah ada)
Farmakologis
- Diuretik umumnya digunakan furosemid atau HCT dengan atau
tanpa
kombinasi
dengan
pottasium
sparing
diuretics
(spironolakton)*. Atau diawali dg furosemid, bila resisten dpt
dikombinasi dgn tiazid, asetazolamid, metazolam.**
- Pengobatan proteinuria dan hipertensi ACE inhibitor & AIIRA
- Steroid (1 mg/kgBB/hari) dapat diberikan pada SN
primer/idiophatic (krn sebagian bsr SN adalah tipe minimal lesion
yang umumnya respon thd steroid), tapi bila setelah beberapa wkt
tidak ada perbaikan berarti bukan tipe minimal lesion.
- Pengobatan kausal pada SN sekunder
- Bila terdapat faktor risiko CAD (a.l usia tua, merokok, riwayat
keluarga dg CAD, dll.) berikan gol. statin.
Tergantung usia, jenis kelamin, komplikasi yg terjadi, dan kelainan
histopatologi ginjal.
- Umur muda dan wanita prognosis > baik dibandingkan umur tua
dan laki-laki.
- Makin awal timbul komplikasi gagal ginjal dan hipertensi
prognosis makin buruk.
- Pengobatan >6 bln sejak gejala klinis muncul prognosis buruk.
- SN lesi minimal prognosis lebih baik daripada SN lesi non
minimal.
- Kematian umumnya terjadi akibat GGK dengan sindrom azotemia,
infeksi sekunder (renal/ekstrarenal), kegagalan sirkulasi akut.
1. Malnutrisi akibat hipoalbuminemia berat
2. Infeksi sekunder penurunan Ig
3. Koagulopati peningkatan faktor pembekuan
4. Aterosklerosis akibat hiperlipidemia yang berlangsung lama dan
tidak terkontrol
5. Syok hipovolemik akibat ekstravasasi cairan iv ke interstitiel
6. Gagal ginjal kompresi tubulus akibat edema intrarenal.

* Buku PAPDI lama


** Buku PAPDI baru

ABSES HEPAR
Etiologi
Subjektif:
Keluhan

Entamoeba Hystolitica (Abses Hepar Amoebik/AHA)


Abses Hati Piogenik/AHP (bakteri dan jamur)
Sering pada laki-laki
- Nyeri spontan perut kanan atas, dan bila berjalan ditandai
dengan jalan membungkuk sambil kedua tangan diletakkan di
atas tempat sakit.
- Nyeri bila ditekan pada perut kanan atas, dan biasanya os

36

RPP
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Kultur dan Resistensi
Radiologi
Histopatologi
Tatalaksana

Prognosis

miring ke sisi kanan untuk mengurangi sakit atau berhenti


bernapas sejenak (Ludwig sign).
- Demam panas tinggi dan menggigil. Mual, muntah, nafsu
makan dan BB , BAK warna gelap, BAB spt kapur,
Riwayat diare dengan lendir dengan/tanpa darah. (riwayat dapat
ada/tidak shg jika tidak ada riwayat disentri maka tidak
menyingkirkan abses hepar)
Ikterik, Hepatomegali, Nyeri tekan, fluktuasi, asites.
Serologi Amoeba, Leukositosis (shift to the left), LED, Alkalaine
fosfatase, SGOT, SGPT, dan bilirubin . Hemoglobin dan Albumin
.
Kultur dan Resistensi (gold standard) untuk menemukan
penyebab.
R thorak & Abdomen: Peninggian diafragma kanan, air fluid
level di bawah diafragma.
USG abdomen
Aspirasi hepar ditemukan pus warna merah tengguli
Istirahat
Diet TKTP
Terapi awal dengan Antibiotika metronidazol 4 x 500 mg
selama 5-10 hari sampai didapatkan hasil kultur dan resistensi
aspirasi.
- Jika abses hepar > 7 cm diteruskan dengan terapi nivaquin 3 x
10 mg selama 3 minggu.
- Aspirasi cairan pus jika abses pecah atau kurang respon
dengan pengobatan.
Bonam
-

EDEMA
Pada penderita dengan keluhan edema perlu dipertimbangkan kelainan2 sbb.:
- Kelainan ginjal
Edema pada awalnya timbul pada kelopak mata pada pagi hari dan hilang di siang hari.
Edema kemudian menjalar ke tungkai, kemaluan, dan perut.
- Kelainan jantung
Keluhan bengkak disertai sesak nafas. Penderita tidur dengan bantal yang lebih tinggi.
Terbangun di malam hari karena sesak atau ingin BAK.
- Kelainan hepar
Perlu ditanyakan adakah riwayat sakit kuning atau berkontak dengan penderita sakit
kuning, adakah riwayat tranfusi.
- Alergi (angioedema)
Tanyakan mengenai adanya atopi baik terhadap makanan maupun obat-obatan (juga
riwayat alergi pada keluarga).
Ajukan pertanyaan terhadap masing2 keluhan yang mewakili tiap kelainan sehingga satu per
satu kelainan dapat disingkirkan.

37

Anda mungkin juga menyukai