Trauma Capitis
Trauma Capitis
TRAUMA KAPITIS
EPIDEMIOLOGI
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cedera kepala terjadi dan datang ke ruang gawat
darurat antara jam 16 sampai dengan tengah malam.Kemudian frekuensi paling tinggi terdapat
antara hari Jumat dan Minggu.Prevalensi kejadian pada pria adalah 2-4 kali lebih tinggi daripada
wanita. Terutama pada pria muda dan pada usia tua. Hal ini terutama dikarenakan kekerasan dan
kecelakaan lalu lintas.
Secara umum kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama trauma kepala dengan
prosentase diatas 50%.
Data dari Health Interview Survey menunjukkan bahwa sekitar seperlima trauma kepada
masuk kategori moderate sampai parah. Hanya 15% dari total trauma kepala di populasi yang
dirawat di Rumah Sakit, dan hanya 9,6% dari yang masuk rumah sakit mempunyai GCS antara 311.
Angka kematian trauma kepala di Amerika Serikat berkisar antara 14-30 per 100.000
penduduk. Angka kematian dari pasien yang masuk rumah sakit berkisar sangat lebar antara 4
25%. Lebih dari 60% kematian terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit.
DEFINISI
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung
mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.
Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam
menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai gangguan
traumatik yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black, 1997).
Cedera kepala adalah cedera yang menimbulkan kerusakan atau perlukaan pada kulit
kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan.
(Lukman, 1993).
Trauma kepala (Trauma Capitis) adalah cedera daerah kepala yang terjadi akibat
dipukul atau terbentur benda tumpul. Untuk mengatasi trauma kepala, maka tengkorak kepala
sangat berperan penting sebagai pelindung jaringan otak. Cedera pada otak bisa berasal dari
trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena
tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma
langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan
pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan
itu bisa terjadi seketika atau rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan (At a glance,
2006 ).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
(Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera kepala adalah suatu cedera yang terjadi pada daerah kepala yang dapat mengenai
kulit kepala, tulang tengkorak, atau otak. 2 Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat
kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). 1 Meskipun pada
kenyataannya sebagian besar kasus trauma kepala bersifat ringan dan tidak memerlukan
perawatan khusus, tetapi pada kasus trauma kepala yang berat tidak jarang berakhir dengan
kematian atau kecacatan.
ETIOLOGI
Cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar (Arif Musttaqin, 2008) berupa:
a.
b. Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru dan ledakan panas.
Akibat cedera ini berupa memar, luka jaringan lunak, cedera muskuloskeletal dan kerusakan
organ.
KLASIFIKASI TRAUMA KAPITIS
Klasifikasi Cedera Kepala (Arif Muttaqin, 2008):
a) Cedera kepala primer
Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa, yang
kerusakan otak sekunder. Hipoksia dan hipotensi semata akan menyebabkan perubahanperubahan minimal, yang kemudian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat
gangguan-gangguan metabolisme serebral.
Hipoksia dapat merupakan akibat dari kejadian aspirasi, obstruksi jalan nafas atau cedera toraks
yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga terjadi hipoksia pasca cedera
kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas.
Hipotensi pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah konkusi
atau merupakan tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi cerebral.
c) Edema cerebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema vasogenik dan edema iskemik.
Edema vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan permeabilitas kapiler akibat sawar darah
otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa putih serebral.
Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga sel tersebut tidak dapat
mempertahankan keseimbangan cairannya.
Edema cerebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pasca cedera, dapat menimbulkan
suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa
adanya tampilan suatu konstusi atau pendarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi akibat
gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial atau hipertensi
intracranial. Gangguan aliran darah cerebral trauma yang mengakibatkan anoksia jaringan juga
tampil sebagai daerah swelling hipodens difus.
d) Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak
Adanya satu massa yang berkembang membesar (hemotom, abses atau pembengkakan otak) di
semua lokasi dalam kavitas intracranial (epidural/ubdural/intracerebral supra/infratentorial)
biasanya akan menyebab pergeseran dan distori otak, bersamaan dengan peningkatan intracranial
akan mengarah terjadinya herniasi otak.
Jenis-jenis trauma capitis
Menurut Brunner dan suddarth, 2002 jenis-jenis trauma capitis yaitu :
a.
Fraktur
Fraktur kalvaria atau atap tengkorak apabila tidak terbuka tidak ada hubungan dengan dunia luar
tidak memerlukan perhatian segera yang lebih penting adalah intracranialnya. Fraktur basis
cranium dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang ditimbulkan sehingga menimbulkan
ancaman pada jalan nafas.
b. Comosio cerebri (gegar otak)
Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis
tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Patologi dan Simptomatologi
Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang
kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan
demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible
terhadap sistem ARAS. Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih menderita
daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung
yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas
sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi
gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan
darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di
medula oblongata terangsang. Gejala :
pening/nyeri kepala
tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit
amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum kejadian
kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan
pusat-pusat di korteks lobus temporalis.
Post trumatic amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma.
Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu
daripada retrograde amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia
ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap
maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke
korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis
tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesi retrograde dan anterograde
terjadi secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan
komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia retrograde.
Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia anterograde. Gejala
tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo.
(vertigo dirasakan berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio
medullae akan terasa ada transient parestesia ke empat ekstremitas. Gejal-gejala penyerta
lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala, nausea, dizziness, sensitif
terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan memori.
Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan fungsi kognitif
(konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi, iritability. Jika benturan
mengenai daerah temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol.
c. Kontusio cerebri
Kehilangan kesadaran lebih lama, dalam kepustakaan saat ini dikenal sebagai DAI (Difus
Absonal Injury) yang mempunyai prognosis yang lebih buruk.
d. Perdarahan intracranial
Perdarahan intracranial dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural atau perdarahan
intracranial. Perdarahan epidural dapat berbahaya karena perdarahan berlanjut atau menyebabkan
peninggian tekanan intracranial yang semakin berat.
Klasifikasi klinis cedera kepala
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.
b. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13, lama kejadian kurang dari 8 jam. Kesadaran
menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya
defisit neurologis vocal
c.
Cedera
kepala
ringan
dengan
nilai
GCS
14-15, Bila
dijumpai
adanya
riwayat
kehilangan kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengalami trauma, kemudian sadar kembali.
Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit neurologist.
GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama (Hoffman, dkk,
1996):
1) Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus
2) Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir kompleks
3) Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas
Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :
Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran
Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal
Respon pupil mungkn lenyap.
Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK
Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intracranial
Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul
segera atau secara lambat.
PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Faktor kardiovaskuler
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal miokardial,
perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.
Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel.
Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya
tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan
tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
Faktor Respiratori
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru
menyebabkan hiperapnoe dan bronkokonstriksi
Konsentrasi oksigen dan karbon dioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran
darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan terjadi alkalosis yang
menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (cerebral blood fluid).
Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan intra kranial (TIK)
yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla oblongata.
Faktor metabolisme
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu
kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen
Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang
menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.
Faktor gastrointestinal
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3 hari)
terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan
merangsang lambung menjadi hiperasiditas.
Faktor psikologis
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien adalah suatu
pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan mempengaruhi psikis
pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan penurunan kesadaran dan
penurunan fungsi neurologis akan mempengaruhi psikososial pasien dan keluarga.
Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu:
a) Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,
b) Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,
c) Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda
yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala diterangkan oleh beberapa
hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak. Dalam
mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan coup
pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan
pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada
sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah
benturan.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera
kepala skunder.
Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel
yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder
dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita.
Penyebab cedera kepala skunder antara lain penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia,
hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial
meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain, hematoma epidural (perdarahan yang terjadi
antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi antara
dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan
arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam ruangan
antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak
jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara
berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama
berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia
dan hematoma serenri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK:
1. CTScan, mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran cairan
otak
2. MRI, sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontraks
3. Angiografi Serebral, menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan dan trauma
4. EEG, memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang
5. Sinar X, mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis
tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang)
6. BAER (Brain Eauditory Evoked), menentukan fungsi dari kortek dan batang otak
nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif
normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya
dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut
nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri
radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang
dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba
pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna,
segera hentikan dengan penekanan pada luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang
dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian
cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera
otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang
baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena
dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita.
Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan
keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos
buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (dolls eye
phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler)
dan refleks kornea.
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit.
kesadaran menurun,
intoksikasi alkohol/obat-obatan,
a. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah
tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:
Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal
Foto servikal jelas normal
Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan
instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit:
Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
Intoksikasi obat atau alcohol
Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
b. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala korna
Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk
observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko
timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah
minimal.
c.
Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada
pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial
yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi.
Trauma pada struktur anatomi maxillofacial sangat membutuhkan perahatian khusus. Hal ini dikarenakan muka
mendukung
beberapa
fungsi
tubuh
yang
vital,seperti
melihat,
mendengar,
membau,
bernafas,
Upper face : fraktur (patah tulang) mencngkup os frontal dan sinus frontal
Lower midface : trdiri dari alveolus maxilla, gigi, dan terjadi frkatur maxilla tipe Le Fort I
Frekuensi
Lebih dari 3 juta orang di amerika mengalami trauma / cidera seperti ini.
Etiologi
Facial trauma pada daerah urban disebabkan oleh perkelahian, kecelakaan kendaraan bermotor, dan
kecelakaan industry. Penyebab lain yan penting meliputi, trauma penetrasi (luka pisau atau luka tembak),
domestic violence, dan kekerasan pada anak dan orang tua
Os nasal, mandibula, dan zygoma, merupakan tulang yang paling sering mengalami frakturselama perkelahian.
Patofisiologi
Gaya yang menyebabkan cidera dapat dibedakan jadi 2, yaitu high impact atau low impact. Keduanya dibedakan
apakah lebih besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Setiap region pada wajah membutuhkan gaya
tertentu hingga menyebabkan kerusakan dan masing masing region berbeda beda. Margo Supraorbital,
maxilla, dan mandibula (bagian syimphisis dan angulus) dan frontal membutuhkan gaya yang high impact agar
bias mengalami kerusakan. Sedangkan os zygoma dan os nasal dapat mngalami kerusakan hanya dengan
terkena gaya yang low impact.
Berikut ini masing masing penyebab fraktur pada maxilla facial trauma :
Fraktur os frontal : Disebabkan oleh pukulan yang keras pada bagian dahi. Mencangkup Tabula
anterior dan tabula posterior sinus frontalis. Apabila tabula posterior mengalami fraktur, diperkirakan
akan menyebabka luka pada dura mater (meninges). Selain itu sering juga terjadi kerusakan duktus
naso frontal
Fraktur dinding bawah / lantai orbita : cidera pada lantai orbita dapat terjadi sebagai fraktur yang
sendiri, namun dapat juga menyebabkan fraktur dinding medial.
menyebabkan adanya peningkatan tekanan pada intraorbita yang dapat merusak aspek terlemah
dari dinding orbit, yaitu dinding medial dan lantai. AKibatnya herniasi dari struktur yang terdapat
didalam orbita ke dalam sinus maxillary dapat terjadi dan insidensi yang tinggi pada cidera mata,
namun bulbus oculi jarang sapai rupture.
Fraktur nasal : disebabkan oleh gaya yang ditransmisikan oleh trauma langsung
Fraktur nasoethmoidal : perluasan dari tulang nasal hingg tulang etmoid dan dapat mnyebabka
kerusakan canthus medial mata, apparatus lacrimal ata ductus nasofronta lis. Dapat juga
menyebabkan laserasi pada lamina cribrosa os frontal
Fraktur arcus zygomaticus : disebabkan karena pukulan langsung pada arcus zygomaticus dapat
mnyebabkan fraktur pada sutura zygomaticotemporal
Fraktur kompleks zygomaticomaxilla : fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung. Garis fraktur
meluas melalui sutura zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, zygomaticomaxlla dan artikulasi
dengan ala magna os sphenoid. Garis fraktur biasanya meluas hingga foramen intraorbita dan lantai
orbita. Cidera ocular yang bersamaan juga sering terjadi.
Fraktur Le Fort I merupakan fraktur maxilla horizontal yang menyilangi aspek inferior
maxilla dan memisahkan procesus alveolar yang mengandung gigi maxilla dan
palatum durum dari bagian lain maxilla. Fraktur meluas melalui 1/3 bawah septum dan
mecangkup sinus maxilla medial dan lateral meluas ke os alatum dal pterigoid
Fraktur Le Fort II merupakan fraktur pyramidal yang dimulai dari os nasal dan meluas
melalui os etmoid dan os lacrimal, turun kebawah melalui sutura zygomaticofacial,
berlanjut ke posterior dan lateral melalui maxilla, dibawah zygomaticus dan kedalam
pterigoid
Fraktur Le Fort III atau disebut juga craniofacial dysjunction merupakan terpisahnya
semua tulang muka dari basis crania dengan fraktus simultan zygoma, maxilla, dan os
nasal. Garis fraktur meluas ke posterolateral melaui os etmoid, orbits, dan sutura
pterygomaxilla samapi kedalam fossa sphenopalatina.
Fraktur Mandibula : Dapat terjadi pada banyak lokasi disebabkan bentuknya yang seperti huruf U
dan lemahnya condylar neck. Fraktur dapat terjadi bilateral pada tepat yang terpisah dari tempat
mengalami trauma langsung.
Fraktur Alveolar : dapat terjadi akibat gaya Low impact atau dapat disebabkan dari perluasan garis
fraktur melalui porsio alveolar dari maxilla dan mandibula
Fraktur panfacial : biasanya disebabkan akibat mekanisme yang high impact yang menyebabkan
cedera pada wajah bagian atas, mid face, dan lower face. Farktur ini dapat teriri dari 3 dari 4 unit
facial.
Presentasi klinis
Fraktur os frontal
Presentasi : gangguan atau adanya krepitasi pada margo supraorbita, emphsema subcutan dan parestesia
nervus supraorbita dan nervus supratrochlear. Pada pasien yang sadar, nyeri wajah merupakan gejala yang
lazim. Laserasi, kontusio atau heatoma pada dahi merupakan tanda cidera sinus frontal. Depresi yang tampak
pada dahi merupakan tanda yang penting, namun dapat dengan mudah tidak teramati pda presentasi akut
karena berkaitandengan edema jaringan luna. CSF (Cerebrospinal fluid) rhinorrhea. Halo sign atau B2
transferring untuk konfimasi kebocoran
Fraktur nasal
Presentasi : hidung mengalami edema dan nyeri tekan, terdapat displacement, crepitasi dan epitaxis. Inspeksi
septum untuk ekslusi septal hematomayang terjadi pada anak.
Fraktur Nasoethmoidal
Presentasi : Telecathus (peningkatan jarak antara canthus medial kedua mata), epitaxis, cerebrospinal fluid
rhinorrhea,
dan
epiphora
yang
disebabkan
oleh
terhalangnya
ductus
naso
lacrimal
Faktur maxilla
Presentasi :
Le Fort I : edema facial dan mobilitas padi palatum durum dan alveolus maxilla dan gigi
Le Fort II : Edem Facial, Tele canthus, pendarahan subconjunctival, mobilitas maxilla, pada sutura
nasofrontal,epitaxis, dan kemungkinan rhinorrea CSF
Le Fort III : Edema massive, dengan wajah tampak membulat, memanjang da mendatar, Epitaxis, rhinorrea CSF,
dan pergerakan tulang wajah akibat manipulasi gigi, dan palatum durum
Fraktur Alveolus
Presentasi : pendarahan gingival, mobilitas alveolus, dan longgarnya gigi
Fraktur Mandibula
Presentasi : Fraktur Condilus (tampak nyeri saat palpasi anterior Meatus acusticus externa), COnylus yang
fraktur gak akan bergerak ketika mandibula membuka atau menutup. Fitur yang lazim: nyeri saat menggerakan
rahang, malocculusi gigi, dan ketidak mampuan membuka mulut, mobilitas dan crepitasi pada symphisis,angulus
atau corpus. Intraoral edema, ecchymosis, pendarahan gusi. Kerusakan nervus alveolar,mencangkup rus mental
dapat menyebabkan paresthesia atau anesthesia setengah dar bibir bagian bawah, gigi dan gusi.
Referensi :
http://emedicine.medscape.com/article/434875-overview#a1