A. TINJAUAN HIV/AIDS
1.1 Batasan HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala /
penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh yang didapat dari infeksi virus HIV.
HIV/AIDS yang pertama kali dikenal pada tahun 1981, dan ditemukan pada
sekelompok pria homoseksual dengan defisit imun, Pneumocystis carinii pneumonia
(PCP), dan Kaposis sarcoma. Retrovirus, Human Immunodeficiency Virus tipe 1
(HIV-1) merupakan mayoritas penyebab AIDS. Retrovirus kedua (HIV-2) juga dapat
menyebabkan AIDS, walaupun prevalensinya lebih kecil daripada HIV-1.
1.2 Epidemiologi
Menurut UNAIDS, pada tahun 2007 diperkirakan jumlah orang yang hidup
dengan HIV adalah sekitar 33,2 juta jiwa, jumlah ini berkurang sebanyak 16% dari
perkiraan jumlah pada tahun 2006 yaitu 39,5 juta jiwa. Setiap hari, lebih dari 6800
orang terinfeksi HIV dan lebih dari 5700 orang meninggal karena AIDS, kebanyakan
hal ini disebabkan oleh kurangnya pencegahan dan pelayanan terapi yang optimal
terhadap pasien HIV/AIDS. Diperkirakan jumlah orang yang meninggal karena AIDS
pada tahun 2007 di seluruh dunia adalah sekitar 2,1 juta jiwa, dimana 76% kejadian
terjadi di sub-Saharan Afrika (UNAIDS/WHO, 2007).
Menurut DEPKES RI, lebih dari 80% infeksi HIV diderita oleh kelompok usia
produktif (15-49 tahun) terutama laki-laki, namun proporsi penderita HIV perempuan
kini cenderung meningkat. Di Indonesia, sejak tanggal 1 Januari sampai 31 Maret
2008 dilaporkan terdapat tambahan jumlah pengidap infeksi HIV, yaitu sebanyak 64
kasus dan jumlah kasus AIDS adalah sebanyak 727 orang dengan jumlah kematian
sebanyak 121 orang. Dari bulan Januari sampai Maret 2008, dilaporkan bahwa kasus
AIDS terjadi pada beberapa propinsi dengan jumlah penderita tertinggi, antara lain
92
Kalimantan Barat (212 kasus), Jawa Barat (160 kasus), Jawa Timur (68 kasus), Bali
(64 kasus), Papua (43 kasus) dan DKI Jakarta (29 kasus). Cara penularan kasus
HIV/AIDS kumulatif yang dilaporkan terbanyak di Indonesia melalui hubungan
heteroseksual sebesar 57,36%, kemudian IDU 38,38% dan homoseks sebanyak
2,89% (DEPKES RI, 2008).
1.3 Cara Penularan HIV
Virus HIV ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual per anal maupun per
vaginal, kontak langsung dengan darah, produk darah, atau cairan tubuh (seperti pada
penyalahgunaan obat-obatan yang memakai secara bergantian jarum suntik yang telah
terkontaminasi, donor darah dan transfuse seluruh produk darah, transplantasi
jaringan / organ, tattoo dan tindik), transmisi pada masa kehamilan dari ibu ke
bayinya, masa persalinan atau melalui ASI ibu (Fletcher and Kakuda, 2005;
DEPKES, 2008). Setelah 20 tahun dilakukan penelitian, tidak ditemukan adanya
bukti bahwa HIV dapat ditularkan melalui kontak non cairan tubuh (causal contact),
seperti berjabat tangan, berpelukan, berenang bersama, atau kontak melalui gigitan
serangga / nyamuk (Fauci and Lane, 2005).
1.4 Stadium
Menurut WHO, AIDS merupakan stadium IV dari stadium klinis infeksi HIV
untuk pasien remaja dan dewasa. Untuk pasien remaja dan dewasa, WHO
mengklasifikasikan infeksi dan penyakit HIV menjadi empat stadium klinis,
sedangkan pada anak terbagi atas tiga stadium klinis. Masing-masing stadium klinis
baik untuk pasien anak maupun pasien remaja dan dewasa dapat dilihat dalam tabel
berikut ini, yaitu:
Tabel 1. Stadium klinis infeksi HIV pada remaja dan dewasa (WHO, 2004)
93
Ket:
a
HIV wasting syndrome: ditandai dengan penurunan berat badan > 10%, disertai diare kronik
tanpa penyebab yang jelas selama lebih dari 1 bulan atau tanpa kelemahan kronik dan demam
berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas selama lebih dari 1 bulan.
b
HIV encephalopathy: ditandai dengan ketidakmampuan kognitif dan/atau disfungsi motorik
yang menganggu aktivitas kehidupan sehari-hari, frekuensi meningkat terus-menerus selama
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan, tidak adanya kondisi atau penyakit penyerta
selain infeksi HIV yang dapat menjelaskan tanda klinik yang terlihat.
*semua pasien pada kategori A3, B3 dan C1-3 didefinisikan sebagai penderita AIDS berdasarkan
adanya kondisi indikator AIDS dan/atau jumlah CD4 <200/mm3.
**kondisi simptomatik tidak termasuk dalam kategori C yang: a) berhubungan dengan infeksi HIV
atau yang menunjukkan kelainan sel imun atau b) berdasarkan adanya kondisi klinis yang merupakan
komplikasi infeksi HIV. Misalnya meliputi pada kondisi B tetapi tidak terbatas untuk angiomatosis
basilaris, sariawan, kandidiasis vulvovaginal yang menetap, rendahnya respon terapi, dysplasia serviks
(sedang atau berat), karsinoma serviks in situ, adanya gejala demam (38,5 0C) atau diare lebih dari 1
bulan, oral hairy leucoplacia, herpes zoster termasuk dua kejadian atau lebih dari 1 dermatome,
idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), listeriosis, pelvic inflammatory disease (IPD) (terutama
jika komplikasi dengan tubo-ovarian abscess), dan neuropati perifer.
95
HIV merupakan virus RNA yang proses transkripsi terbaliknya dari RNA
genomik ke DNA oleh enzim reverse transcriptase. HIV masuk ke dalam tubuh
manusia, glikoprotein terluar (gp160) diekspresikan pada virus sehingga HIV akan
berikatan dengan reseptor CD4, protein yang terdapat pada permukaan limfosit Thelper, monosit, makrofag, sel dendritik dan mikroglia otak. Saat ikatan terjadi,
perlekatan yang erat antara HIV dan sel diinduksi oleh chemokine co-receptor, yaitu
CCR5 dan CXCR4. Perlekatan HIV dengan sel meningkatkan fusi (penggabungan)
dan internalisasi (adsorpsi) virus, proses ini dimediasi oleh glikoprotein subunit gp41
(Fletcher and Kakuda, 2005).
Setelah internalisasi, virus yang sudah tidak terlapisi bersiap untuk replikasi.
Virus harus mentranskripsi RNA menjadi DNA untuk replikasi yang optimal pada sel
manusia. Enzim reverse transcriptase mensintesis strand DNA menggunakan RNA
virus sebagai cetakan. Bagian RNA dari hibrida DNA-RNA dihilangkan secara
parsial oleh ribonuklease H (RNase H), kemudian enzim reverse transcriptase
menyempurnakan sintesis molekul double strand DNA (dsDNA). Setelah proses
transkripsi terbalik selesai, produk DNA berpindah ke inti sel dan diintegrasikan ke
dalam kromosom sel manusia oleh intergrase (Fletcher and Kakuda, 2005).
Aktivasi sel yang terinfeksi oleh antigen, sitokin atau faktor lain menstimulasi
sel untuk memproduksi nuclear factor kB (NF-kB), yaitu suatu enhancer ikatan
protein. NF-kB secara normal mengatur ekspresi gen limfosit T termasuk dalam
perkembangannya, tetapi juga dapat mengaktivasi replikasi HIV. Saat replikasi HIV
diinduksi, host DNA polymerase mentranskripsi DNA provirus yang terintegrasi
menjadi mRNA kemudian terjadi translasi menjadi protein virus. Awalnya, proses
tersebut menghasilkan bermacam-macam protein HIV seperti Tat, Nef, dan Rev
(Fletcher and Kakuda, 2005).
Pengumpulan partikel virion baru terjadi pada tahap awal melalui
penggabungan protein HIV dengan lipid bilayer sel host. Nukleokapsid dibentuk
dengan ssRNA virus dan komponen lain yang dibungkus didalamnya. Pertama kali
dibungkus, virion berpindah ke ujung sampai membrane plasma, membentuk
karakteristik host lipid bilayer. Setelah itu, proses maturasi dimulai. Dalam virion,
96
enzim protease HIV mulai membelah prekursor polipeptida yang besar menjadi
protein fungsional yang dibutuhkan untuk memproduksi virus lengkap (Fletcher and
Kakuda, 2005).
Setiap hari diperkirakan hampir 10 juta virus baru yang diproduksi.
Kebanyakan sel yang terinfeksi akan hancur oleh beberapa mekanisme, antara lain
lisis oleh tonjolan virion baru, sitotoksik limfosit T menginduksi kematian sel,
syncytia formation dan apoptosis. Syncytia formation terjadi saat protein virus
diekspresikan pada sel yang tidak terinfeksi. Sel tersebut akan bergabung dengan sel
yang terinfeksi dan bergabung dalam sel multinukleus yang sangat besar. Kerusakan
CD4 mempengaruhi fungsi imun dan memiliki konsekuensi besar untuk timbulnya
AIDS (Fletcher and Kakuda, 2005).
Penyebab penurunan jumlah CD4 adalah terjadinya apoptosis, yaitu suatu
bentukan sel mati yang merupakan mekanisme normal selama eliminasi sel yang
sudah tidak berfungsi lagi pada proses organogenesis, seperti terjadi pada proliferasi
seluler yang terjadi selama respon imun normal. Oksidasi juga merupakan faktor
kritis pada patogenesis AIDS dan ekspresi HIV. Sejumlah studi menunjukkan bahwa
pasien AIDS memiliki oxidative stress yang disebabkan oleh peningkatan ROS
(reactive oxygen species) dan beberapa sel termasuk limfosit, menghasilkan infeksi
oportunistik dan neoplasia (Suttajit, 2007).
97
98
99
Gambar 2. Replikasi virus HIV dan titik tangkap kerja ARV (Corbett et al., 2008)
Tabel 5. Dosis ARV untuk pasien HIV/AIDS dewasa (WHO, 2006)
100
a.
b.
c.
Dosis ddI seharusnya disesuaikan saat pemberian dengan Tenofavir. Jika BB >60 kg, dosis
yang dianjurkan adalah 250 mg/hari. Jika BB <60 kg, tidak ada data untuk anjuran dasar
beberapa studi memperkirakan sebesar 125-500 mg/hari). Buffered ddI seharusnya diberikan
saat perut kosong.
Beberapa ahli menganjurkan d4T pada 30 mg untuk semua pasien dengan mengabaikan berat
badan.
Regimen dosis yang lain pada pemakaian klinis adalah 600 mg + 100 mg dua kali sekali.
B. TINJAUAN TB PARU
101
2.1 Definisi
Tuberculosis (TB/TBC) merupakan penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman gram positif aerob TB (Mycobacterium tuberculosis).
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat pula mengenai organ tubuh
lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi (Tabrani, 1996). Kuman
TB berbentuk batang dengan panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron (Bahar,
2001). Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang
membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan tahan terhadap gangguan kimia dan
fisik (basil tahan asam).
Kuman TB dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan
dingin (dapat tahan bertahun-tahun di dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman
berada dalam sifat dormant (pasif). Dari sifat dormant ini, kuman dapat bangkit
kembali dan menjadikan tuberculosis aktif lagi. Di dalam jaringan, kuman hidup
sebagai parasit intraseluler, yakni dalam sitoplasma makrofag (Abiyoso, 1994). Sifat
lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi
jaringan yang tinggi kandungan oksigen (Bahar, 2001).
2.2 Epidemiologi
Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan
Indonesia sebagai Negara dengan penderita TB terbesar nomor 3 di dunia setelah
India dan Cina dengan kasus baru sekitar 539.000 kasus dan kematian sekitar 101.000
jiwa per tahu pada tahun 2004. Insidensi kasus TB dengan hasil BTA positif sekitar
110 per 100.000 penduduk. Survey Kesehatan Rumah Tangga DEPKES RI tahun
1995 menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar
dalam kelompok penyakit infeksi.
102
Sumber penularan utama adalah pasien TB dengan hasil BTA positif dengan
risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
disbanding pasien TB paru dengan BTA negative. Pada waktu penderita batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan (droplet
nuclei) yang mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab, sedangkan sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman. Factor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi.
HIV/AIDS merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi penderita terpajan
kuman TB untuk berkembang menjadi infeksi TB. Infeksi HIV mengakibatkan
kerusakan luas pada system daya tubuh seluler, sehingga memudahkan timbulnya
infeksi oportunistik yang manifestasinya selalu berat hingga kematian. Bila jumlah
pasien terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB juga akan meningkat,
dengan demikian penularan infeksi TB pada populasi masyarakat akan meningkat.
103
104
105
106
107
BAB II
PROFIL PASIEN DAN PROFIL TERAPI
PROFIL PASIEN
Inisial Pasien : Ny. NL
Berat Badan : -
No
Umur
Tinggi Badan : -
Alamat: Pulosari
: 56 tahun
Keluhan Utama
: 120784XX
Tidak bisa diajak bicara e.c hipoglikemia pasien rujukan RSAL. Batuk 1 bulan sebelum
MRS. Sesak (+), sering sariawan. Nafsu makan menurun. BB turun 10 kg sejak tahun 2010.
Keluhan Tambahan :
Kemaluan gatal dan perih.
Diagnosis
Pernah MRS e.c kecelakaan (trauma) dan mendapat transfuse PRC karena perdarahan.
Riwayat kencing berwarna merah
Riwayat Pengobatan :
Dari RSAL Ceftriaxone 1x2 g iv, ranitidine 1x50 mg i.v, metoklopramid 4 mg i.v, D40% 3
flash, IVFD D10% dalam PZ 1000 cc
Alergi : Kepatuhan
Merokok
Alkohol
+
Obat Tradisional
OTC
Lain-lain
Pernah transfuse PRC
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN
108
Tgl (Agst)
Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi
19
Pasien MRS dengan keluhan tidak bisa diajak bicara e.c hipoglikemia pasien
rujukan RSAL. Batuk 1 bulan sebelum MRS. Sesak (+), sering sariawan. Nafsu
makan menurun. BB turun 10 kg sejak tahun 2010.
Dari hasil pemeriksaan GDA (post koreksi) = 158; HIV rapid test (+); Hb 8,8 g/dl,
WBC 10.200, Alb 2,05 g/dl.
Pasien merupakan pasien control POLI UPIPI, dimana pada tgl 09/8 2011 dilakukan
foto thorax dengan hasil: Cor = N; Pulmo = fibrokalsifikasi pada kedua paru dan infiltrate
pada parachardial dextra paru.
20
21
22
23
KU: batuk, sesak, takikardia, nyeri kepala; data klinik lainnya normal
WBC = 3,2; Hb = 11,7; PLT = 115; LED = 18
Terapi: ceftriaxone, cotrim F, nistatin, OAT
KU: batuk, sesak, takikardia, nyeri kepala; data klinik lainnya normal
Terapi: ceftriaxone, cotrim F, nistatin, OAT, infuse albumin 20%
KU: batuk, sesak, takikardia, nyeri kepala; data klinik lainnya normal
Terapi: ceftriaxone, cotrim F, nistatin, OAT, infuse albumin 20%, fenitoin
KU: masih batuk, sesak (-), keluhan lain membaik
Pasien KRS
24
25
26
109
PROFIL PENGOBATAN
Obat
Dosis
Infus PZ
RL : D10 : Tutofusin
Infus KCl
Albumin
Parasetamol
Ranitidine
Cotrim F
Ceftriaxone
Nystatin
Obat Anti Tuberkulosis
Diazepam
Fenitoin
Metamizole Na
19
20
21
Tanggal (AGUSTUS 2
22
23
//
//
NILAI
NORMAL
120/80mmHg
80-90x/m
16-20x/m
36,5-37,50C
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
19
120/80
100
24
36,7
+/+
-/+
-
20
120/70
100
24
37
+/+
-/-
21
120/80
110
24
36,8
+/+
-/+
-
(+)
(+)
-
110
BGA
PH
PO2
PCO2
HCO3
19
7,3
106
24,8
16
95
19
7,39
87
28
16,9
97
24
7,48
95,5
23,3
24,2
98,1
SO2
DATA LABORATORIUM
Data
Satuan
Normal
HGB
RBC
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
WBC
Lym
Mono
Baso / Gr
LED
BUN
Crea
ALB
Na
K
Cl
GDA
GDP
Anti HIV
HIV rapid
Imunocromatogra
f
SGOT/SGPT
g/dL
106/L
%
fL
Pg
g/dL
103/L
103/L
12-16
4,2-5,4
37-47
81-99
27-31
33-37
150-450
4,8-10,8
mm/h
mg/dl
mg/dl
g/dL
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mg/dl
mg/dl
<20
10-20
0,5-1,1
3,4-5,0
136-145
3,5-5,0
98-106
<200
<126
RSAL
Tgl 19/8 (2) Tgl 19/8 (1)
8,8
9,5
2,87
3,61
26,5
28,9
92,4
80
30,5
26,3
33,1
32,8
165
245
10,2
16,9
8,1
3,2
13,3
11,7
-/88
-/80
2,05
127
3,7
102
158
18,9
0,54
123
4,26
87
28
POLI UPIPI
Tgl 07/8
7,8
2,89
25,2
87,2
26,9
30,9
210
4,2
12,5
11,4
76
94,7
82
+
+
+
282/148
111
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien Ny. N.L berusia 56 tahun masuk IRD RSUD Dr. Soetomo dan
dinyatakan masuk rumah sakit (MRS) pada tanggal 19 Agustus 2011 dengan keluhan
utama tidak bisa diajak bicara oleh karena hipoglikemia di RS sebelumnya (pasien
merupakan pasien rujukan dari RSAL). Pasien mengalami batuk 1 bulan sebelum
MRS, sesak, dan sering sariawan. Nafsu makan pasien menurun dan BB turun 10 kg
sejak tahun 2010. Keluhan tambahan yang dialami pasien adalah kemaluan terasa perih dan
gatal. Pasien merupakan pasien Poli UPIPI RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang rutin
kontrol. Terapi yang sudah diberikan di RSAL, antara lain Ceftriaxone 1x2 g iv,
Ranitidine 50 mg iv, metoklopramid 4 mg iv, D40% 3 flash, IVFD D10% dlm PZ 1000cc
Berdasarkan hasil pemeriksaan data klinik dan laboratorium (HIV rapid test positif),
pasien didiagnosis menderita AIDS stadium IV + TB paru + hipoalbumin.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala /
penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh yang didapat dari infeksi virus HIV.
Virus HIV ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual per anal maupun per
vaginal, kontak langsung dengan darah, produk darah, atau cairan tubuh (seperti pada
penyalahgunaan obat-obatan yang memakai secara bergantian jarum suntik yang telah
terkontaminasi, donor darah dan transfuse seluruh produk darah, transplantasi,
transmisi pada masa kehamilan dari ibu ke bayinya, masa persalinan atau melalui ASI
(Fletcher and Kakuda, 2005; Depkes, 2008). Dengan menurunnya system imun, maka
infeksi oportunistik dapat mudah muncul hingga dapat menyebabkan kematian. Salah
satu infeksi oportunistik AIDS pada pasien ini adalah TB paru.
Berdasarkan riwayat penyakit pasien, pasien pernah mengalami trauma dan
membutuhkan transfuse PRC. Kemungkinan pasien tertular virus HIV dari produk
darah mengandung virus namun lolos skrining. Hal tersebut menunjukkan bahwa
skrining ketat produk darah terhadap infeksi virus HIV dan hepatitis penting untuk
dilakukan.
112
Berdasarkan data klinik awal MRS, pasien mengeluh sesak, batuk dan nyeri
kepala. Dari hasil foto torax pada tgl 9/8 (poli), didapatkan fibrokalsifikasi pada
kedua paru dan infiltrate pada parachardial dextra paru yang menandakan kecurigaan
pada TB paru. Dari hasil data laboratorium, nilai Albumin pasien (19/8) sebesar 2,05
yang menandakan hipoalbumin, nilai leukosit pasien (22/8) sebesar 3,2 yang
menandakan leucopenia.
Pada tanggal 22/8 malam, pasien mengalami kejang. Pasien sulit bicara
setelah kejang. Pasien diberikan terapi antikejang diazepam ampul i.v bolus pelan.
Setelah dikonsulkan ke dokter Neurologi, disimpulkan bahwa pasien mengalami
riwayat kejang focal, secondary general tonik-klonik yang tanpa disertai tanda
rangang meningeal dan disertai deficit neurologi fokal berupa reflex patologis (+)
D/S, yang dapat disebabkan oleh: toxoplasma cerebri, TBC, ensefalopaty metabolik.
Saran yang dapat diberikan antara lain, pemeriksaan CT scan kepala dengan kontrasi,
pemberian inj. Iv diazepam 1 ampul/iv pelan bila kejang, dan bila kejang masih
terulang, bisa beri fenitoin bolus 300 mg dalam 100 cc PZ dengan kecepatan 50
mg/menit. Maintenance fenitoin 3x100 mg dalam 20 cc PZ dengan kecepatan 50
mg/menit serta ditelusuri dan diatasi faktor kejang ekstrakranial pada pasien (anemia,
hipoalbumin, hiponatremia).
Pada tanggal 23/8, pasien diberikan antibiotic ceftriaxone, cotrim F sebagai
profilaksis untuk mencegah Pneumoniae pneumocystic carinii (PCP), nystatin drop
untuk mengatasi manifestasi sariawan yang disebabkan oleh infeksi jamur yang
sering timbul pada pasien dengan stadium AIDS, serta pemberian Obat Anti
Tuberkulosis (OAT). Pada pasien ini diberikan OAT 750 mg/750 mg/2x400 mg.
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Prosedur pengobatan TB pada penderita infeksi
HIV/AIDS adalah sama seperti penderita TB lainnya. Obat TB pada penderita
HIV/AIDS sama efektifnya dengan obat TB yang diminum oleh penderita non
HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan
pengobatan TB.
113
114
115
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., 2005, Diseases of Immunity, In: Kumar, V., Abbas, A.K. and Fausto, N.,
(Eds), Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, Ed. 7th,
Philadelphia: Elsevier, Inc, p. 193-269.
Aditama, T.Y. dkk, 2006, Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Jakarta: Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
Alcamo, I.E., Heyman, D., 2004, Deadly diseases and epidemic: HIV/AIDS, USA:
Chelsea House Publisher
Borgsdorf, R.L, Cada, D.J., Cirigliano, M.D., Covington, T.R., Generali, J.A., Hussar,
D.A., Selevan, J.R., Sloan, R.W., Sweet, B.V., Tatro, D.S., and Whitshett, T.L.
(Eds), 2009. Drug Facts and Comparisons: Pocket Version, 2009 Edition.
Philadelphia: Wolters Kluwer.
Brumme, Z.L., Brumme, C.J., Chui, C., Mo, T., Wynhoven, B., Woods, C.K.,
Henrick, B.M., Hogg, R.S., Montaner, J.S.G. and Harrigan, P.R., 2007. Effects
of Human Leukocyte Antigen Class I Genetic Parameters on Clinical Outcomes
and Survival after Initiation of Highly Active Antiretroviral Therapy, J Infect
Dis, No. 195, p. 1694704
Corbett, A., Yeh, R., Dumond, J. And Kashuba, A.D.M., 2008. Human
Immunodeficiency Virus Infection. In: Chisholm-Burns M. A., Wells, B.G.,
Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro,
J.T., (Eds), Pharmacotherapy: Principles & Practice, New York: McGraw
Hill Companies, Inc, p. 1253-1276.
Departemen Kesehatan RI, 2005, Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Tuberkulosis, Jakarta: Depkes RI
Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman
Tuberkulosis, edisi kedua, Jakarta: Depkes RI
Nasional
Penanggulangan
116
Nasronudin, 2007. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial.
Surabaya: Airlangga University Press.
Nunez, M., 2006. Hepatotoxicity of antiretrovirals: Incidence, mechanisms and
management, Journal of Hepatology, Vol. 44, Suppl. 1, p. S132-S139
Petersen, M.L., Laan, M.J.V.D., Napravnik, S., Eron, J.J., Moore, R.D., Deeks, S.G.,
2008. Long-term Consequences of the Delay Between Virologic Failure of
Highly Active Antiretroviral Therapy and Regimen Modification, AIDS, Vol.
22, No. 16, p. 2097-2106.
Princeton, D.C., 2003, Current clinical strategies: Manual of HIV/AIDS Therapy,
USA: Current Clinical Strategies Publishing.
Romalasari, S.E., 2009, Skripsi: Pola terapi antiretroviral (ARV) pada pasien
AIDS: (Studi di ruang isolasi Instalasi Rawat Inap RSU Dr. Saiful Anwar
Malang), Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Reeves, J.D., Derdeyn, C.A., 2007, Entry inhibitors in HIV Therapy, Switzerland:
Birkhaluser Verlag
Reichman, L.B., Tanne, J.H., 2002, The Global Epidemic of Multi-Drug-Resistant
Tuberculosis, USA: The McGraw-Hills, Comp.
Raviglione, M.C., 2010, Tuberculosis: The Essentials, 4th edition, USA: Informa
Healthcare
Rubin, E.J., Clinical implicatios of basic research: Toward a new therapy for
tuberculosis, N Eng J Med 352;9;3;2005
Suttajit, M., 2007. Advances in Nutrition Support for Quality of Life in HIV+/AIDS,
Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, Vol. 16 Suppl. 1, p.318-322.
Standal, B.R., Kao-Chen, S.M., Yang G.Y., Early changes in pyridoxine status of
patients receiving isoniazid therapy, Am J Clin Nutr 27:479-484, 1974
Sterling, T.R., Pham, P.A., Chaisson, R.E., HIV infection-related tuberculosis: clinical
manifestations and treatment, Clinical Infectious Disease 2010;50(S3):S223S230
Small, P.M., Fujiwara, P.I., Review article: Management of tuberculosis in the United
State, N Eng J Med 2001;345;3
UNAIDS and WHO, 2007. AIDS Epidemic Up Date: Desember 2007. Genewa:
UNAIDS/WHO.
118
Vasu, T., Saluja, J., INH status epilepticus: response to pyridoxine, Indian J Chest
Dis Allied Sci 2006;48:205-206
WHO, 2004. Scaling Up Antiretroviral Therapy in Resource-Limited Setting:
Treatment Guidelines for A Public Health Approach. www.who.int
WHO, 2010. Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and
Adolescents: Recommendations for a Public Health Approach, WHO Press
Wormser, G.P., 2003, AIDS and other manifestation of HIV infection, 4th edition,
USA: Elsevier-Saunders.
World Health Organization, 2009, Management of MDR-TB: A field guide, A
companion document to Guidelines for the programmatic management of
drug-resistant tuberculosis, WHO
World Health Organization, 2001, Global TB Drug Facility: A global mechanism
to ensure uninterrupted access to quality TB drugs for DOTS
impelementation, WHO
World Health Organization, 2009, A guide to monitoring and evaluation for
collaborative TB/HIV activities, WHO-UNAIDS
World Health Organization, 2008, Guidelines for the programmatic management
of drug-resistant tuberculosis: Emergency update, WHO
World Health Organization, 2001, Guidelines for drug susceptibility testing for
second-line anti-tuberculosis drug for DOTS-PLUS, WHO.
World Health Organization, 2004, Interim Policy on collaborative TB/HIV
activites, WHO
Wong, P.C., Current Management of Pulmonary Tuberculosis, The Hongkong
Medical Bulletin, Vol 13; No. 12; 2008
Yuanasari, R., 2009, Skripsi: Evaluasi penggunaan Obat Antituberkulosis dan
kepatuhan pada pasien dewasa dengan diagnose Tuberculosis Paru di
Puskesmas Mantingan Ngawi periode Februari-April 2009, Surakarta:
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
119