Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN STUDI KASUS

PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA


DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

KASUS: AIDS STD. IV + TB PARU + HIPOALBUMINEMIA


BAB I
PENDAHULUAN

A. TINJAUAN HIV/AIDS
1.1 Batasan HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala /
penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh yang didapat dari infeksi virus HIV.
HIV/AIDS yang pertama kali dikenal pada tahun 1981, dan ditemukan pada
sekelompok pria homoseksual dengan defisit imun, Pneumocystis carinii pneumonia
(PCP), dan Kaposis sarcoma. Retrovirus, Human Immunodeficiency Virus tipe 1
(HIV-1) merupakan mayoritas penyebab AIDS. Retrovirus kedua (HIV-2) juga dapat
menyebabkan AIDS, walaupun prevalensinya lebih kecil daripada HIV-1.
1.2 Epidemiologi
Menurut UNAIDS, pada tahun 2007 diperkirakan jumlah orang yang hidup
dengan HIV adalah sekitar 33,2 juta jiwa, jumlah ini berkurang sebanyak 16% dari
perkiraan jumlah pada tahun 2006 yaitu 39,5 juta jiwa. Setiap hari, lebih dari 6800
orang terinfeksi HIV dan lebih dari 5700 orang meninggal karena AIDS, kebanyakan
hal ini disebabkan oleh kurangnya pencegahan dan pelayanan terapi yang optimal
terhadap pasien HIV/AIDS. Diperkirakan jumlah orang yang meninggal karena AIDS
pada tahun 2007 di seluruh dunia adalah sekitar 2,1 juta jiwa, dimana 76% kejadian
terjadi di sub-Saharan Afrika (UNAIDS/WHO, 2007).
Menurut DEPKES RI, lebih dari 80% infeksi HIV diderita oleh kelompok usia
produktif (15-49 tahun) terutama laki-laki, namun proporsi penderita HIV perempuan
kini cenderung meningkat. Di Indonesia, sejak tanggal 1 Januari sampai 31 Maret
2008 dilaporkan terdapat tambahan jumlah pengidap infeksi HIV, yaitu sebanyak 64
kasus dan jumlah kasus AIDS adalah sebanyak 727 orang dengan jumlah kematian
sebanyak 121 orang. Dari bulan Januari sampai Maret 2008, dilaporkan bahwa kasus
AIDS terjadi pada beberapa propinsi dengan jumlah penderita tertinggi, antara lain

92

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Kalimantan Barat (212 kasus), Jawa Barat (160 kasus), Jawa Timur (68 kasus), Bali
(64 kasus), Papua (43 kasus) dan DKI Jakarta (29 kasus). Cara penularan kasus
HIV/AIDS kumulatif yang dilaporkan terbanyak di Indonesia melalui hubungan
heteroseksual sebesar 57,36%, kemudian IDU 38,38% dan homoseks sebanyak
2,89% (DEPKES RI, 2008).
1.3 Cara Penularan HIV
Virus HIV ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual per anal maupun per
vaginal, kontak langsung dengan darah, produk darah, atau cairan tubuh (seperti pada
penyalahgunaan obat-obatan yang memakai secara bergantian jarum suntik yang telah
terkontaminasi, donor darah dan transfuse seluruh produk darah, transplantasi
jaringan / organ, tattoo dan tindik), transmisi pada masa kehamilan dari ibu ke
bayinya, masa persalinan atau melalui ASI ibu (Fletcher and Kakuda, 2005;
DEPKES, 2008). Setelah 20 tahun dilakukan penelitian, tidak ditemukan adanya
bukti bahwa HIV dapat ditularkan melalui kontak non cairan tubuh (causal contact),
seperti berjabat tangan, berpelukan, berenang bersama, atau kontak melalui gigitan
serangga / nyamuk (Fauci and Lane, 2005).
1.4 Stadium
Menurut WHO, AIDS merupakan stadium IV dari stadium klinis infeksi HIV
untuk pasien remaja dan dewasa. Untuk pasien remaja dan dewasa, WHO
mengklasifikasikan infeksi dan penyakit HIV menjadi empat stadium klinis,
sedangkan pada anak terbagi atas tiga stadium klinis. Masing-masing stadium klinis
baik untuk pasien anak maupun pasien remaja dan dewasa dapat dilihat dalam tabel
berikut ini, yaitu:

Tabel 1. Stadium klinis infeksi HIV pada remaja dan dewasa (WHO, 2004)

93

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Ket:
a
HIV wasting syndrome: ditandai dengan penurunan berat badan > 10%, disertai diare kronik
tanpa penyebab yang jelas selama lebih dari 1 bulan atau tanpa kelemahan kronik dan demam
berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas selama lebih dari 1 bulan.
b
HIV encephalopathy: ditandai dengan ketidakmampuan kognitif dan/atau disfungsi motorik
yang menganggu aktivitas kehidupan sehari-hari, frekuensi meningkat terus-menerus selama
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan, tidak adanya kondisi atau penyakit penyerta
selain infeksi HIV yang dapat menjelaskan tanda klinik yang terlihat.

Tabel 2. Stadium klinis infeksi HIV pada anak (WHO, 2004)


94

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

CDC (Center for Disease Control and Prevention) mengklasifikasikan pasien


dewasa yang terinfeksi virus HIV berdasarkan tiga rentang jumlah CD4 dan tiga
kategori klinis yang dapat dilihat pada tabel berikut, antara lain:
Tabel 3. Definisi kasus surveilans AIDS pada pasien dewasa berdasarkan jumlah
CD4 menurut CDC (Fauci and Lane, 2005)

*semua pasien pada kategori A3, B3 dan C1-3 didefinisikan sebagai penderita AIDS berdasarkan
adanya kondisi indikator AIDS dan/atau jumlah CD4 <200/mm3.
**kondisi simptomatik tidak termasuk dalam kategori C yang: a) berhubungan dengan infeksi HIV
atau yang menunjukkan kelainan sel imun atau b) berdasarkan adanya kondisi klinis yang merupakan
komplikasi infeksi HIV. Misalnya meliputi pada kondisi B tetapi tidak terbatas untuk angiomatosis
basilaris, sariawan, kandidiasis vulvovaginal yang menetap, rendahnya respon terapi, dysplasia serviks
(sedang atau berat), karsinoma serviks in situ, adanya gejala demam (38,5 0C) atau diare lebih dari 1
bulan, oral hairy leucoplacia, herpes zoster termasuk dua kejadian atau lebih dari 1 dermatome,
idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), listeriosis, pelvic inflammatory disease (IPD) (terutama
jika komplikasi dengan tubo-ovarian abscess), dan neuropati perifer.

1.5 Patofisiologi, Patogenesis dan Replikasi HIV

95

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

HIV merupakan virus RNA yang proses transkripsi terbaliknya dari RNA
genomik ke DNA oleh enzim reverse transcriptase. HIV masuk ke dalam tubuh
manusia, glikoprotein terluar (gp160) diekspresikan pada virus sehingga HIV akan
berikatan dengan reseptor CD4, protein yang terdapat pada permukaan limfosit Thelper, monosit, makrofag, sel dendritik dan mikroglia otak. Saat ikatan terjadi,
perlekatan yang erat antara HIV dan sel diinduksi oleh chemokine co-receptor, yaitu
CCR5 dan CXCR4. Perlekatan HIV dengan sel meningkatkan fusi (penggabungan)
dan internalisasi (adsorpsi) virus, proses ini dimediasi oleh glikoprotein subunit gp41
(Fletcher and Kakuda, 2005).
Setelah internalisasi, virus yang sudah tidak terlapisi bersiap untuk replikasi.
Virus harus mentranskripsi RNA menjadi DNA untuk replikasi yang optimal pada sel
manusia. Enzim reverse transcriptase mensintesis strand DNA menggunakan RNA
virus sebagai cetakan. Bagian RNA dari hibrida DNA-RNA dihilangkan secara
parsial oleh ribonuklease H (RNase H), kemudian enzim reverse transcriptase
menyempurnakan sintesis molekul double strand DNA (dsDNA). Setelah proses
transkripsi terbalik selesai, produk DNA berpindah ke inti sel dan diintegrasikan ke
dalam kromosom sel manusia oleh intergrase (Fletcher and Kakuda, 2005).
Aktivasi sel yang terinfeksi oleh antigen, sitokin atau faktor lain menstimulasi
sel untuk memproduksi nuclear factor kB (NF-kB), yaitu suatu enhancer ikatan
protein. NF-kB secara normal mengatur ekspresi gen limfosit T termasuk dalam
perkembangannya, tetapi juga dapat mengaktivasi replikasi HIV. Saat replikasi HIV
diinduksi, host DNA polymerase mentranskripsi DNA provirus yang terintegrasi
menjadi mRNA kemudian terjadi translasi menjadi protein virus. Awalnya, proses
tersebut menghasilkan bermacam-macam protein HIV seperti Tat, Nef, dan Rev
(Fletcher and Kakuda, 2005).
Pengumpulan partikel virion baru terjadi pada tahap awal melalui
penggabungan protein HIV dengan lipid bilayer sel host. Nukleokapsid dibentuk
dengan ssRNA virus dan komponen lain yang dibungkus didalamnya. Pertama kali
dibungkus, virion berpindah ke ujung sampai membrane plasma, membentuk
karakteristik host lipid bilayer. Setelah itu, proses maturasi dimulai. Dalam virion,

96

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

enzim protease HIV mulai membelah prekursor polipeptida yang besar menjadi
protein fungsional yang dibutuhkan untuk memproduksi virus lengkap (Fletcher and
Kakuda, 2005).
Setiap hari diperkirakan hampir 10 juta virus baru yang diproduksi.
Kebanyakan sel yang terinfeksi akan hancur oleh beberapa mekanisme, antara lain
lisis oleh tonjolan virion baru, sitotoksik limfosit T menginduksi kematian sel,
syncytia formation dan apoptosis. Syncytia formation terjadi saat protein virus
diekspresikan pada sel yang tidak terinfeksi. Sel tersebut akan bergabung dengan sel
yang terinfeksi dan bergabung dalam sel multinukleus yang sangat besar. Kerusakan
CD4 mempengaruhi fungsi imun dan memiliki konsekuensi besar untuk timbulnya
AIDS (Fletcher and Kakuda, 2005).
Penyebab penurunan jumlah CD4 adalah terjadinya apoptosis, yaitu suatu
bentukan sel mati yang merupakan mekanisme normal selama eliminasi sel yang
sudah tidak berfungsi lagi pada proses organogenesis, seperti terjadi pada proliferasi
seluler yang terjadi selama respon imun normal. Oksidasi juga merupakan faktor
kritis pada patogenesis AIDS dan ekspresi HIV. Sejumlah studi menunjukkan bahwa
pasien AIDS memiliki oxidative stress yang disebabkan oleh peningkatan ROS
(reactive oxygen species) dan beberapa sel termasuk limfosit, menghasilkan infeksi
oportunistik dan neoplasia (Suttajit, 2007).

Gambar 1. Gambar virus HIV (Rubert et al., 2007)


Tabel 4. Mekanisme kerusakan dan penurunan jumlah CD4
(Fauci and Lane, 2005)

97

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

1.6 Manifestasi Klinik


Pada manifestasi klinik infeksi HIV, terdapat tiga fase yang mencerminkan
interaksi antara virus dan host, yaitu meliputi sindroma retroviral akut, fase kronik
dan serangan AIDS (full-blown AIDS) (Abbas, 2005; Fauci and Lane, 2005).
a. Sindroma Retroviral Akut
Fase ini menunjukkan respon awal dari kemampuan imun untuk terinfeksi
HIV. Pada awalnya dicirikan oleh level produksi virus yang tinggi, viremia dan
widespread seeding dari jaringan limfoid. Infeksi awal dikontrol dengan
perkembangan respon imun dari antivirus. Diperkirakan bahwa 40-90% pasien
yang mendapat infeksi primer terjadi sindroma virus selama 3-6 minggu setelah
terinfeksi, dan dapat pulih kembali secara spontan dalam waktu 2-4 minggu.
Secara klinik fase ini berhubungan dengan penyakit akut dengan gejala non
spesifik, antara lain sakit tenggorokan, mialgia, demam, ruam, menurunnya berat
badan, dan fatigue, sindrome menyerupai flu. Ciri-ciri klinik yang lain seperti
ruam, adenopati serviks, diare dan muntah juga terjadi (Abbas, 2005).
b. Fase Kronik
Menunjukkan adanya stadium penahan virus relative, berhubungan dengan
periode latensi klinik. Pada fase ini, replikasi HIV masih terus berlanjut, terjadi
pada jaringan limfoid, yang terjadi selama beberapa tahun. Pasien akan
mengalami gejala asimtomatik atau berkembangnya persistent generalized
lymphadenopathy. Beberapa pasien mempunyai infeksi oportunistik minor, seperti
sariawan dan herpes zoster, trombositopenia. Persistent lymphadenopathy dengan
gejala dasar yang signifikan (demam, ruam, fatigue) (Abbas, 2005).
c. Serangan AIDS (full-blown AIDS)

98

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Dicirikan oleh gangguan pertahanan host, peningkatan virus plasma secara


tajam dan penyakit klinik. Pasien secara khas menunjukkan demam yang terusmenerus (>1 bulan), fatigue, menurunnya berat badan dan diare. Selama periode
yang berubah-ubah, infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder, atau
penyakit neurologi klinik (Abbas, 2005).

Gambar 3. Perjalanan infeksi HIV tanpa terapi ARV


(Abbas, 2005; Fauci and Lane, 2005)
1.7 Penatalaksanaan Terapi
Manajemen terapi untuk mengatasi HIV dan AIDS adalah pemberian terapi
ARV (Anti Retroviral) untuk menghambat replikasi virus dan pemberian obat
(antibiotik, antituberkulosis, antijamur) selain ARV untuk mencegah infeksi
oportunistrik (IO). Terdapat empat kelas antiretroviral yang tersedia untuk
pengobatan HIV, yaitu (Hoffmann and Mulcahy, 2007) :
a. Nucleosida Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTIs)/Nucleoside Analogs.
Target NRTIs adalah enzim reverse transcriptase HIV, dimana NRTI
bekerja sebagai substrate alternative atau false building bricks, yang
berkompetisi dengan nukleosida fisiologis. Contoh: Zidovudine (ATZ),
Stavudine (d4T), Didanosine (ddI), Abacavir (ABC).
b. Non-nucleosida Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTIs)
NNRTI berikatan secara langsung dan non kompetitif dengan enzim
pada posisi yang dekat dengan tempat terikatnya nukleosida sehingga
menghasilkan kompleks yang mengeblok pengaktifan tempat pengikatan
reverse transcriptase. Contoh: nevirapine (NVP), efavirenz (EFV).
c. Protease Inhibitors (PIs)

99

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Bekerja dengan memotong poliprotein gag-pol virus menjadi subunit


fungsional, sehingga jika protease dihambat dan penyambungan proteolitik
dicegah, tidak aka nada infeksi oleh partikel virus yang dihasilkan. Contoh:
Indinavir (IDV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV), Nelfinavir (NFV).
d. Entry Inhibitors (EIs) Attachment inhibitors, Co-receptor antagonist, Fusion
inhibitors (FIs)

Gambar 2. Replikasi virus HIV dan titik tangkap kerja ARV (Corbett et al., 2008)
Tabel 5. Dosis ARV untuk pasien HIV/AIDS dewasa (WHO, 2006)

100

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

a.

b.
c.

Dosis ddI seharusnya disesuaikan saat pemberian dengan Tenofavir. Jika BB >60 kg, dosis
yang dianjurkan adalah 250 mg/hari. Jika BB <60 kg, tidak ada data untuk anjuran dasar
beberapa studi memperkirakan sebesar 125-500 mg/hari). Buffered ddI seharusnya diberikan
saat perut kosong.
Beberapa ahli menganjurkan d4T pada 30 mg untuk semua pasien dengan mengabaikan berat
badan.
Regimen dosis yang lain pada pemakaian klinis adalah 600 mg + 100 mg dua kali sekali.

B. TINJAUAN TB PARU
101

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

2.1 Definisi
Tuberculosis (TB/TBC) merupakan penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman gram positif aerob TB (Mycobacterium tuberculosis).
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat pula mengenai organ tubuh
lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi (Tabrani, 1996). Kuman
TB berbentuk batang dengan panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron (Bahar,
2001). Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang
membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan tahan terhadap gangguan kimia dan
fisik (basil tahan asam).
Kuman TB dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan
dingin (dapat tahan bertahun-tahun di dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman
berada dalam sifat dormant (pasif). Dari sifat dormant ini, kuman dapat bangkit
kembali dan menjadikan tuberculosis aktif lagi. Di dalam jaringan, kuman hidup
sebagai parasit intraseluler, yakni dalam sitoplasma makrofag (Abiyoso, 1994). Sifat
lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi
jaringan yang tinggi kandungan oksigen (Bahar, 2001).
2.2 Epidemiologi
Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan
Indonesia sebagai Negara dengan penderita TB terbesar nomor 3 di dunia setelah
India dan Cina dengan kasus baru sekitar 539.000 kasus dan kematian sekitar 101.000
jiwa per tahu pada tahun 2004. Insidensi kasus TB dengan hasil BTA positif sekitar
110 per 100.000 penduduk. Survey Kesehatan Rumah Tangga DEPKES RI tahun
1995 menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar
dalam kelompok penyakit infeksi.

2.3 Risiko dan Cara Penularan

102

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Sumber penularan utama adalah pasien TB dengan hasil BTA positif dengan
risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
disbanding pasien TB paru dengan BTA negative. Pada waktu penderita batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan (droplet
nuclei) yang mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab, sedangkan sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman. Factor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi.
HIV/AIDS merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi penderita terpajan
kuman TB untuk berkembang menjadi infeksi TB. Infeksi HIV mengakibatkan
kerusakan luas pada system daya tubuh seluler, sehingga memudahkan timbulnya
infeksi oportunistik yang manifestasinya selalu berat hingga kematian. Bila jumlah
pasien terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB juga akan meningkat,
dengan demikian penularan infeksi TB pada populasi masyarakat akan meningkat.

103

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Gambar 6. Faktor risiko kejadian TB (Depkes RI, 2006)


2.4 Managemen Terapi
1) Prinsip Pengobatan (Depkes RI, 2006)
pengobatan tuberculosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut,
antara lain:
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi
beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (OAT-KDT)
lebih menguntungkan dan dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas.
3. Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (insentif):
a. Pada tahap intensif, pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

104

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negative (konversi)


dalam waktu 2 bulan.
Tahap lanjutan:
a. Pada tahap lanjutan, pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
b. Pada tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
2) Jenis dan dosis Obat Anti Tuberkulosis
1. Isoniazid (INH)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisidal, dapat membunuh 90%
populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat
efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolic aktif, yaitu kuman yang
sedang berkembang.
2. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid dan dapat membunuh kuman semi-dormant
(persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Dosis 10 mg/kg BB diberikan
sama untuk pengobatan harian maupun intermitten 3 kali seminggu.
3. Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid yang dapat membunuh kuman yang berada dalam
sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan adalah 25 mg/kg BB.
4. Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik. Dosis yang dianjurkan adalah 15 mg/kgBB /
hari, sedangkan pengobatan intermitten 3 kali seminggu dosis 30 mg/kgBB.
5. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid dengan dosis yang dianjurkan 15 mg/kg BB. Penderita
dengan usia sampai 60 tahun diberikan dosis 0,75g/hari, sedangkan untuk
penderita berusia 60 tahun lebih dapat diberikan dosis 0,5 g/hari.

105

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

106

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

107

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

BAB II
PROFIL PASIEN DAN PROFIL TERAPI
PROFIL PASIEN
Inisial Pasien : Ny. NL

Berat Badan : -

No

Umur

Tinggi Badan : -

Alamat: Pulosari

: 56 tahun

Keluhan Utama

: 120784XX

Tidak bisa diajak bicara e.c hipoglikemia pasien rujukan RSAL. Batuk 1 bulan sebelum
MRS. Sesak (+), sering sariawan. Nafsu makan menurun. BB turun 10 kg sejak tahun 2010.
Keluhan Tambahan :
Kemaluan gatal dan perih.
Diagnosis

Di RSAL AIDS st. IV + lung TB + disfagia


Di RSDS AIDS st IV + TB paru + hipoalbumin
Riwayat Penyakit

Pernah MRS e.c kecelakaan (trauma) dan mendapat transfuse PRC karena perdarahan.
Riwayat kencing berwarna merah
Riwayat Pengobatan :
Dari RSAL Ceftriaxone 1x2 g iv, ranitidine 1x50 mg i.v, metoklopramid 4 mg i.v, D40% 3
flash, IVFD D10% dalam PZ 1000 cc
Alergi : Kepatuhan
Merokok
Alkohol

+
Obat Tradisional
OTC
Lain-lain
Pernah transfuse PRC
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN

108

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Tgl (Agst)
Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi
19
Pasien MRS dengan keluhan tidak bisa diajak bicara e.c hipoglikemia pasien
rujukan RSAL. Batuk 1 bulan sebelum MRS. Sesak (+), sering sariawan. Nafsu
makan menurun. BB turun 10 kg sejak tahun 2010.
Dari hasil pemeriksaan GDA (post koreksi) = 158; HIV rapid test (+); Hb 8,8 g/dl,
WBC 10.200, Alb 2,05 g/dl.
Pasien merupakan pasien control POLI UPIPI, dimana pada tgl 09/8 2011 dilakukan
foto thorax dengan hasil: Cor = N; Pulmo = fibrokalsifikasi pada kedua paru dan infiltrate
pada parachardial dextra paru.

20
21

Diagnosis MRS : HIV AIDS std IV + TB paru + hipoalbumin


KU: batuk, sesak, takikardia, nyeri kepala; data klinik lainnya normal.
Terapi : infuse NS, parasetamol, ranitidine
KU: batuk, sesak, takikardia, nyeri kepala; data klinik lainnya normal.
Terapi : infuse NS, parasetamol, ranitidine.

22

Pasien kejang pk. 22.30 pasien sulit bicara setelah kejang.


Kesimp. Pasien riwayat kejang focal, secondary general tonik-klonik yang tanpa disertai
tanda rangang meningeal dan disertai deficit neurologi fokal berupa reflex patologis (+)
D/S, yang dapat disebabkan oleh: toxoplasma cerebri, TBC, ensefalopaty metabolic.
- Saran: CT scan kepala dengan kontras
- Inj. Iv diazepam 1 ampul/iv pelan bila kejang
- Bila kejang masih, beri fenitoin bolus 300 mg dlm 100 cc PZ dg kec 50
mg/menit. Maintenance fenitoin 3x100 mg dlm 20 cc PZ dg kec 50 mg/menit.
- Atasi factor kejang ekstrakranial (anemia, hipoalbumin, hiponatremia).

23

KU: batuk, sesak, takikardia, nyeri kepala; data klinik lainnya normal
WBC = 3,2; Hb = 11,7; PLT = 115; LED = 18
Terapi: ceftriaxone, cotrim F, nistatin, OAT
KU: batuk, sesak, takikardia, nyeri kepala; data klinik lainnya normal
Terapi: ceftriaxone, cotrim F, nistatin, OAT, infuse albumin 20%
KU: batuk, sesak, takikardia, nyeri kepala; data klinik lainnya normal
Terapi: ceftriaxone, cotrim F, nistatin, OAT, infuse albumin 20%, fenitoin
KU: masih batuk, sesak (-), keluhan lain membaik
Pasien KRS

24
25
26

109

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

No. DMK : 120784xx


Mulai MRS: 19 Agustus 2011
KRS : 26 Agustus 2011
Inisial Pasien : Ny. N.L
Umur/ BB(kg)/Tinggi(cm): 56 th /-/Alamat: Jl. Pulosari 28 Surabaya
Status/IRNA : Jamkesmas/ UPIPI

Keluhan Utama : Tidak bisa diajak bicara e.c hipoglikemia


pasien rujukan RSAL. Batuk 1 bulan sebelum MRS. Sesak
sering sariawan. Nafsu makan menurun. BB turun 10 kg se
tahun 2010.

Keluhan Tambahan : kemaluan terasa perih dan gatal.


Diagnosis : AIDS stadium IV + TB paru + hipoalbumin
Riwayat Penyakit : pernah MRS e.c trauma dan kencing warna mera
Riwayat Obat : Ceftriaxone 1x2 g iv, Ranitidine 50 mg
metoklopramid 4 mg iv, D40% 3 flash, IVFD D10% dlm PZ 1000cc

PROFIL PENGOBATAN
Obat

Dosis

Infus PZ
RL : D10 : Tutofusin
Infus KCl
Albumin
Parasetamol
Ranitidine
Cotrim F
Ceftriaxone
Nystatin
Obat Anti Tuberkulosis
Diazepam
Fenitoin
Metamizole Na

1500 cc/24 jam 7 tpm


2:1:1 / 24 jam 7 tpm
25 mEq dlm 100 ml PZ/24jam
20% 100 cc/4 jam
3x500 mg p.o prn
2x50 mg i.v bolus
1x1 tab 560 mg p.o
1x2 g i.v bolus
3 x gtt 2 / hari
750 mg/750 mg/2x400 mg
ampul iv bolus pelan
3x10 mg p.o
3x500 mg i.v bolus

19

20

21

Tanggal (AGUSTUS 2
22
23

//

//

Ket: pasien belum KRS.


DATA KLINIK
DATA KLINIK
TD
Nadi
RR
Suhu
Sesak/Batuk
Mual/muntah
Nyeri kepala
Sariawan
Kejang

NILAI
NORMAL
120/80mmHg
80-90x/m
16-20x/m
36,5-37,50C
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

19
120/80
100
24
36,7
+/+
-/+
-

20
120/70
100
24
37
+/+
-/-

21
120/80
110
24
36,8
+/+
-/+
-

Tanggal (AGUSTUS 2011)


22
23
24
110/80
110/70
120/80
100
100
100
24
24
24
37
37,2
37
+/+
+/+
+/+
-/-/-/+
+

(+)
(+)
-

110

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

BGA
PH
PO2
PCO2
HCO3

19
7,3
106
24,8
16
95

19
7,39
87
28
16,9
97

24
7,48
95,5
23,3
24,2
98,1

SO2

Tanggal (AGUSTUS 2011)


PEMERIKSAAN LAIN
Tgl 09/8 2011 foto thorax Hasil: Cor = N; Pulmo = fibro
dan infiltrate pada parachardial dextra paru.
Tgl 22/8 2011
Pasien kejang pk. 22.30 pasien sulit bicara setelah kejang.
Kesimp. Pasien riwayat kejang focal, secondary general toniktanda rangang meningeal dan disertai deficit neurologi fokal b
D/S, yang dapat disebabkan oleh: toxoplasma cerebri, TBC, en
Saran:
- CT scan kepala dengan kontras
- Inj. Iv diazepam 1 ampul/iv pelan bila kejang
- Bila kejang masih terulang, bisa beri fenitoin bolus 300 m
kecepatan 50 mg/menit. Maintenance fenitoin 3x100 mg d
kecepatan 50 mg/menit.
- Atasi factor kejang ekstrakranial (anemia, hipoalbumin, hi

DATA LABORATORIUM
Data

Satuan

Normal

HGB
RBC
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
WBC
Lym
Mono
Baso / Gr
LED
BUN
Crea
ALB
Na
K
Cl
GDA
GDP
Anti HIV
HIV rapid
Imunocromatogra
f
SGOT/SGPT

g/dL
106/L
%
fL
Pg
g/dL
103/L
103/L

12-16
4,2-5,4
37-47
81-99
27-31
33-37
150-450
4,8-10,8

mm/h
mg/dl
mg/dl
g/dL
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mg/dl
mg/dl

<20
10-20
0,5-1,1
3,4-5,0
136-145
3,5-5,0
98-106
<200
<126

RSAL
Tgl 19/8 (2) Tgl 19/8 (1)
8,8
9,5
2,87
3,61
26,5
28,9
92,4
80
30,5
26,3
33,1
32,8
165
245
10,2
16,9
8,1
3,2
13,3
11,7
-/88
-/80

2,05
127
3,7
102
158

18,9
0,54
123
4,26
87
28

POLI UPIPI
Tgl 07/8
7,8
2,89
25,2
87,2
26,9
30,9
210
4,2
12,5
11,4
76

IRNA UPIPI RSDS


Tgl 22/8
Tgl 24/8
11,7
13
4,8
40,1
83,6
27,1
32,4
115
109
3,2
4,38
8,33
11,0
-/80
18
6,0
1,1
2,0

94,7

82

+
+
+
282/148

111

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

BAB III
PEMBAHASAN
Pasien Ny. N.L berusia 56 tahun masuk IRD RSUD Dr. Soetomo dan
dinyatakan masuk rumah sakit (MRS) pada tanggal 19 Agustus 2011 dengan keluhan
utama tidak bisa diajak bicara oleh karena hipoglikemia di RS sebelumnya (pasien
merupakan pasien rujukan dari RSAL). Pasien mengalami batuk 1 bulan sebelum
MRS, sesak, dan sering sariawan. Nafsu makan pasien menurun dan BB turun 10 kg
sejak tahun 2010. Keluhan tambahan yang dialami pasien adalah kemaluan terasa perih dan
gatal. Pasien merupakan pasien Poli UPIPI RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang rutin

kontrol. Terapi yang sudah diberikan di RSAL, antara lain Ceftriaxone 1x2 g iv,
Ranitidine 50 mg iv, metoklopramid 4 mg iv, D40% 3 flash, IVFD D10% dlm PZ 1000cc

Berdasarkan hasil pemeriksaan data klinik dan laboratorium (HIV rapid test positif),
pasien didiagnosis menderita AIDS stadium IV + TB paru + hipoalbumin.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala /
penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh yang didapat dari infeksi virus HIV.
Virus HIV ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual per anal maupun per
vaginal, kontak langsung dengan darah, produk darah, atau cairan tubuh (seperti pada
penyalahgunaan obat-obatan yang memakai secara bergantian jarum suntik yang telah
terkontaminasi, donor darah dan transfuse seluruh produk darah, transplantasi,
transmisi pada masa kehamilan dari ibu ke bayinya, masa persalinan atau melalui ASI
(Fletcher and Kakuda, 2005; Depkes, 2008). Dengan menurunnya system imun, maka
infeksi oportunistik dapat mudah muncul hingga dapat menyebabkan kematian. Salah
satu infeksi oportunistik AIDS pada pasien ini adalah TB paru.
Berdasarkan riwayat penyakit pasien, pasien pernah mengalami trauma dan
membutuhkan transfuse PRC. Kemungkinan pasien tertular virus HIV dari produk
darah mengandung virus namun lolos skrining. Hal tersebut menunjukkan bahwa
skrining ketat produk darah terhadap infeksi virus HIV dan hepatitis penting untuk
dilakukan.

112

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Berdasarkan data klinik awal MRS, pasien mengeluh sesak, batuk dan nyeri
kepala. Dari hasil foto torax pada tgl 9/8 (poli), didapatkan fibrokalsifikasi pada
kedua paru dan infiltrate pada parachardial dextra paru yang menandakan kecurigaan
pada TB paru. Dari hasil data laboratorium, nilai Albumin pasien (19/8) sebesar 2,05
yang menandakan hipoalbumin, nilai leukosit pasien (22/8) sebesar 3,2 yang
menandakan leucopenia.
Pada tanggal 22/8 malam, pasien mengalami kejang. Pasien sulit bicara
setelah kejang. Pasien diberikan terapi antikejang diazepam ampul i.v bolus pelan.
Setelah dikonsulkan ke dokter Neurologi, disimpulkan bahwa pasien mengalami
riwayat kejang focal, secondary general tonik-klonik yang tanpa disertai tanda
rangang meningeal dan disertai deficit neurologi fokal berupa reflex patologis (+)
D/S, yang dapat disebabkan oleh: toxoplasma cerebri, TBC, ensefalopaty metabolik.
Saran yang dapat diberikan antara lain, pemeriksaan CT scan kepala dengan kontrasi,
pemberian inj. Iv diazepam 1 ampul/iv pelan bila kejang, dan bila kejang masih
terulang, bisa beri fenitoin bolus 300 mg dalam 100 cc PZ dengan kecepatan 50
mg/menit. Maintenance fenitoin 3x100 mg dalam 20 cc PZ dengan kecepatan 50
mg/menit serta ditelusuri dan diatasi faktor kejang ekstrakranial pada pasien (anemia,
hipoalbumin, hiponatremia).
Pada tanggal 23/8, pasien diberikan antibiotic ceftriaxone, cotrim F sebagai
profilaksis untuk mencegah Pneumoniae pneumocystic carinii (PCP), nystatin drop
untuk mengatasi manifestasi sariawan yang disebabkan oleh infeksi jamur yang
sering timbul pada pasien dengan stadium AIDS, serta pemberian Obat Anti
Tuberkulosis (OAT). Pada pasien ini diberikan OAT 750 mg/750 mg/2x400 mg.
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Prosedur pengobatan TB pada penderita infeksi
HIV/AIDS adalah sama seperti penderita TB lainnya. Obat TB pada penderita
HIV/AIDS sama efektifnya dengan obat TB yang diminum oleh penderita non
HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan
pengobatan TB.

113

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Panduan OAT menurut WHO dan IUATLD (International Against


Tuberculosis and Lung Disease) ada 3 katogeri, salah satunya yaitu kategori 1 yang
terdiri atas isoniazid, rifampicin, pirazinamid, dan etambutol. Obat tersebut diberikan
setiap hari selama 2 bulan (2HRZE), kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang
terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4
bulan (4H3R3). Pengobatan ini ditujukan untuk penderita baru TBC paru dengan
BTA positif.
OAT kategori ini disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis
tetap (OAT-KDT/kombipak). Tablet ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet, dimana dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Pemberian
paket OAT ini bertujuan untuk memudahkan pemberian obat, menjamin
kelangsungan (kontinuitas / kepatuhan) pengobatan sampai selesai dan mencegah
efek samping OAT. Paket ini disediakan secara gratis melalui institusi pelayanan
kesehatan milik pemerintah, terutama melalui RS pemerintah, puskesmas, dan balai
pengobatan TB.
Hasil pengobatan seorang penderita TB dapat dikategorikan sembuh bila
penderita telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan dahak 3
kali berturut-turut hasilnya negative. Pasien dikategorikan drop out apabila pasien
tidak mengambil obat dua kali berturut-turut atau sebelum masa pengobatan selesai.
Pasien dikatakan gagal pengobatan bila penderita BTA positif hasil pemeriksaan
dahaknya tetap/kembali positif pada 1 bulan sebelum akhir pengobatan, atau
penderita BTA negative yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan kedua
menjadi positif. Pasien dapat dikategorikan meninggal apabila pasien yang dalam
masa pengobatan akhirnya meninggal karena sebab apapun, termasuk AIDS.
Sama seperti pengobatan lainnya, pengobatan TB dengan OAT berisiko
menimbulkan efek samping yang ringan hingga berat. Penanganan kasus efek
samping obat dapat dilakukan dengan cara drug challenging, yaitu bila jenis obat
penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian OAT harus dengan
menggunakan obat lepas (bukan kombinasi). Hal ini dimaksudkan untuk menentukan
obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.

114

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau


karena dosis yang berlebih. Untuk dapat membedakannya, semua OAT sebaiknya
dihentikan dulu, kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip pengobatan
dechallenge-rechallenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan
dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti efek hepatotoksisitasnya terjadi karena
reaksi hipersensitivitas.
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping tersebut telah diketahui,
misalnya dengan pemberian pirazinamid atau etambutol, maka pengobatan TB dapat
dilanjutkan lagi dengan tanpa obat tersebut dan dilakukan penggantian jenis obat.
Lamanya pengobatan akan diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko
terjadinya efek samping dan efek kekambuhan infeksi TB. INH dan rifampisin
menimbulkan reaksi hipersensitifitas pada kebanyakan pasien, namun kedua obat ini
merupakan jenis OAT yang paling poten sehingga merupakan pilihan utama dalam
pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan rekasi hipersensitivitas terhadap INH
atau rifampisin tersebut tergolong HIV negative, maka dapat dilakukan desensitisasi.
Namun desensitisasi ini tidak dianjurkan dilakukan pada pasien TB dengan HIV
positif sebab memiliki risiko besar terjadi keracunan yang besar.
Beberapa efek samping berat yang ditimbulkan setelah pemakaian OAT,
antara lain ikterus tanpa penyebab lain yang dapat disebabkan oleh hampir semua
OAT, dimana dilakukan tatalaksana penghentian semua OAT sampai ikterus
menghilang. Pasien dapat mengalami gangguan penglihatan yang dapat disebabkan
oleh pemakaian etambutol, dan tatalaksana yang diberikan adalah menghentikan
sementara penggunaan etambutol. Pasien yang menerima rifampicin juga berisiko
mengalami purpura dan renjatan (syok), sehingga apabila dicurigai terjadi/sudah
terjadi, pemberian rifampicin harus segera dihentikan.

115

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., 2005, Diseases of Immunity, In: Kumar, V., Abbas, A.K. and Fausto, N.,
(Eds), Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, Ed. 7th,
Philadelphia: Elsevier, Inc, p. 193-269.
Aditama, T.Y. dkk, 2006, Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Jakarta: Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
Alcamo, I.E., Heyman, D., 2004, Deadly diseases and epidemic: HIV/AIDS, USA:
Chelsea House Publisher
Borgsdorf, R.L, Cada, D.J., Cirigliano, M.D., Covington, T.R., Generali, J.A., Hussar,
D.A., Selevan, J.R., Sloan, R.W., Sweet, B.V., Tatro, D.S., and Whitshett, T.L.
(Eds), 2009. Drug Facts and Comparisons: Pocket Version, 2009 Edition.
Philadelphia: Wolters Kluwer.
Brumme, Z.L., Brumme, C.J., Chui, C., Mo, T., Wynhoven, B., Woods, C.K.,
Henrick, B.M., Hogg, R.S., Montaner, J.S.G. and Harrigan, P.R., 2007. Effects
of Human Leukocyte Antigen Class I Genetic Parameters on Clinical Outcomes
and Survival after Initiation of Highly Active Antiretroviral Therapy, J Infect
Dis, No. 195, p. 1694704
Corbett, A., Yeh, R., Dumond, J. And Kashuba, A.D.M., 2008. Human
Immunodeficiency Virus Infection. In: Chisholm-Burns M. A., Wells, B.G.,
Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro,
J.T., (Eds), Pharmacotherapy: Principles & Practice, New York: McGraw
Hill Companies, Inc, p. 1253-1276.
Departemen Kesehatan RI, 2005, Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Tuberkulosis, Jakarta: Depkes RI
Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman
Tuberkulosis, edisi kedua, Jakarta: Depkes RI

Nasional

Penanggulangan

Depkes RI, 2002. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan


Bagi ODHA, Buku Pedoman untuk Petugan Kesehatan dan Petugas
lainnya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, DepKes RI.
Depkes RI, 2004. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan,
DepKes RI.

116

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Depkes RI, 2008. Perencanaan dan Penanggulangan HIV/AIDS perlu


Sinergisme, www.depkes.go.id
Depkes RI, 2008. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia, www.depkes.go.id
Fauci, A.S. and Lane, H.C., 2005. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS
and Related Disorders. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, L., Braunwald, E.,
Hauser, S.L. Jameson, J.L., (Eds), Harrisons Principles of Internal
Medicine, Ed. 16th, New York: Mc Graw Hill Companies, Inc, p. 1076-1139.
Fletcher, C.V., Kakuda, T.N., 2005. Human Immunodeficiency Virus Infection. In:
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.,
(Eds), Pharmacotherapy: A Pathophisiologic Approach, Ed. 6th, New York:
McGraw Hill Companies, Inc, p. 2255-2277.
Gore, S.M., Hutchinson, S.J. and Brettle, R.P., 1999. Study Requirement for
Investigating HLA-Associated progression of HIV Disease, and Review, QJM:
An International Journal of Medicine, No. 92, p. 609-617.
Harries, D.A., Zachariah, R, 2009, Providing HIV Care for Co-infected Tuberculosis
Patients: A Perspective from Sub-Saharan Africa, The International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease, Vol. 1, No. 13, p. 6-16.
Hoffmann, C., Rockstroh, J.K. and Kamps, B.S., 2007. HIV Medicine 2007, Ed.15th,
Paris: Flying Publisher.
Jasmer, R.M., Nahid, P., Hopewell, P.C, Clinical practice: Latent tuberculosis
infection, N Eng J Med 2002;347;23
Katz, M.H. and Zolopa, A.R, 2008. HIV Infection & AIDS. In: Tierney, L.M., Jr.,
McPhee, S.J. and Papadakis, M.A., (Eds), Current Medical Diagnosis &
Treatment, Ed. 46th, New York: McGraw Hill Companies, Inc, p. 1150-1177.
Karim, S.S., Naidoo, K., Grobler, A., Timing of Initiation of Antiretroviral drug
during tuberculosis therapy, N Eng J Med 2010;362;697-706
Kane, B.M., 2008, Drug The Straight Facts: HIV/AIDS Treatment Drugs, USA:
Infobase Publishing
Lynen, L., 2006. Clinical HIV/AIDS Care Guidelines for Resource-poor Settings, Ed
2nd. In: Humblet, P., Arnould, L., (Eds), Clinical HIV/AIDS Care Guidelines
for Resource-poor Settings, Ed 2nd. Brussel: Mdecins Sans Frontires.
Mandel, W., Pyridoxine and the Isoniazid-Induced Neuropathy, Dis Chest
1959;36;293-296
117

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Nasronudin, 2007. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial.
Surabaya: Airlangga University Press.
Nunez, M., 2006. Hepatotoxicity of antiretrovirals: Incidence, mechanisms and
management, Journal of Hepatology, Vol. 44, Suppl. 1, p. S132-S139
Petersen, M.L., Laan, M.J.V.D., Napravnik, S., Eron, J.J., Moore, R.D., Deeks, S.G.,
2008. Long-term Consequences of the Delay Between Virologic Failure of
Highly Active Antiretroviral Therapy and Regimen Modification, AIDS, Vol.
22, No. 16, p. 2097-2106.
Princeton, D.C., 2003, Current clinical strategies: Manual of HIV/AIDS Therapy,
USA: Current Clinical Strategies Publishing.
Romalasari, S.E., 2009, Skripsi: Pola terapi antiretroviral (ARV) pada pasien
AIDS: (Studi di ruang isolasi Instalasi Rawat Inap RSU Dr. Saiful Anwar
Malang), Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Reeves, J.D., Derdeyn, C.A., 2007, Entry inhibitors in HIV Therapy, Switzerland:
Birkhaluser Verlag
Reichman, L.B., Tanne, J.H., 2002, The Global Epidemic of Multi-Drug-Resistant
Tuberculosis, USA: The McGraw-Hills, Comp.
Raviglione, M.C., 2010, Tuberculosis: The Essentials, 4th edition, USA: Informa
Healthcare
Rubin, E.J., Clinical implicatios of basic research: Toward a new therapy for
tuberculosis, N Eng J Med 352;9;3;2005
Suttajit, M., 2007. Advances in Nutrition Support for Quality of Life in HIV+/AIDS,
Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, Vol. 16 Suppl. 1, p.318-322.
Standal, B.R., Kao-Chen, S.M., Yang G.Y., Early changes in pyridoxine status of
patients receiving isoniazid therapy, Am J Clin Nutr 27:479-484, 1974
Sterling, T.R., Pham, P.A., Chaisson, R.E., HIV infection-related tuberculosis: clinical
manifestations and treatment, Clinical Infectious Disease 2010;50(S3):S223S230
Small, P.M., Fujiwara, P.I., Review article: Management of tuberculosis in the United
State, N Eng J Med 2001;345;3
UNAIDS and WHO, 2007. AIDS Epidemic Up Date: Desember 2007. Genewa:
UNAIDS/WHO.
118

LAPORAN STUDI KASUS


PRAKTEK MAGISTER FARMASI KLINIS UNIV. AIRLANGGA
DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM DR. SOETOMO SURABAYA

Vasu, T., Saluja, J., INH status epilepticus: response to pyridoxine, Indian J Chest
Dis Allied Sci 2006;48:205-206
WHO, 2004. Scaling Up Antiretroviral Therapy in Resource-Limited Setting:
Treatment Guidelines for A Public Health Approach. www.who.int
WHO, 2010. Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and
Adolescents: Recommendations for a Public Health Approach, WHO Press
Wormser, G.P., 2003, AIDS and other manifestation of HIV infection, 4th edition,
USA: Elsevier-Saunders.
World Health Organization, 2009, Management of MDR-TB: A field guide, A
companion document to Guidelines for the programmatic management of
drug-resistant tuberculosis, WHO
World Health Organization, 2001, Global TB Drug Facility: A global mechanism
to ensure uninterrupted access to quality TB drugs for DOTS
impelementation, WHO
World Health Organization, 2009, A guide to monitoring and evaluation for
collaborative TB/HIV activities, WHO-UNAIDS
World Health Organization, 2008, Guidelines for the programmatic management
of drug-resistant tuberculosis: Emergency update, WHO
World Health Organization, 2001, Guidelines for drug susceptibility testing for
second-line anti-tuberculosis drug for DOTS-PLUS, WHO.
World Health Organization, 2004, Interim Policy on collaborative TB/HIV
activites, WHO
Wong, P.C., Current Management of Pulmonary Tuberculosis, The Hongkong
Medical Bulletin, Vol 13; No. 12; 2008
Yuanasari, R., 2009, Skripsi: Evaluasi penggunaan Obat Antituberkulosis dan
kepatuhan pada pasien dewasa dengan diagnose Tuberculosis Paru di
Puskesmas Mantingan Ngawi periode Februari-April 2009, Surakarta:
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

119

Anda mungkin juga menyukai