Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Apendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar
pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insidens apendisitis pada usia itu3.
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa
dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah
dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan
pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks
retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum viseral3.
Persarafan

parasimpatis

berasal

dari

cabang

n.vagus

yang

mengikuti

a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari


n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus4.
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks
akan mengalami gangren4.
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator
yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang
saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali

jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh4.


B. Apendisitis

B.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut
adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga
abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat5. Apendisitis adalah
kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa
perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai
cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh
peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur 5.
B.2 Klasifikasi Apendisitis
Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta difusi yaitu sudah
bertumpuk nanah 5.
Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring,
biasanya ditemukan pada usia tua 5.
B.3 Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
histolytica4.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis akut 4.
B.4 Morfologi Apendisitis
Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan di seluruh
mukosa, submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh subserosa mengalami bendungan

dan sering terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular ringan. Reaksi peradangan mengubah
serosa yang normalnya berkilap menjadi membran yang merah, granular, dan suram.
Perubahan ini menandakan apendisitis akut dini bagi dokter bedah. Kriteria histologik
untuk diagnosis apendisitis akut adalah infiltrasi neutrofilik muskularis propria. Biasanya
neutrofil dan ulserasi juga terdapat di dalam mukosa 6.
B.5 Patofisiologi
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh
feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi
bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah7.
Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan
serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan
berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding
abdomen, menyebabkan peritonitis lokal7.
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen,
yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi
bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren.
Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang
terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi 7. Bila letak apendiks retrosekal
retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah
tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut
sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang
menegang dari dorsal 4.
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena
rangsangan dindingnya 4.
B.6 Diagnosis

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi
karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna,
sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral
akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat
infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi,
antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi 3.
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk
sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan
perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses 3.
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi
dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat
yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah3:

Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran

kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas
tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tibatiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik

Mc. Burney.
Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular
adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya

rangsangan peritoneum parietale.


Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah
apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan
oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang

berlawanan.
Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh

peradangan yang terjadi pada apendiks.


Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan
lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal
tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium.

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik normal,
peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat

apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan


diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar
bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan
terdapat nyeri pada jam 9-123.
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado,
yaitu:
Tabel 1. Skor Alvarado

Pasien dengan skor awal 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan
tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.

B.7 Pemeriksaan Penunjang


Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan jumlah
leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya
berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter kebidanan
dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis kelainan peradangan saluran
telur/kista indung telur kanan atau KET (kehamilan diluar kandungan) (Sanyoto, 2007).
Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat
membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen
usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dakam
menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di daerah rongga
panggul8 .
B.8 Diagnosis Banding

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis


banding, seperti:

Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut
lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan
leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.

Demam Dengue
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes
positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat.

Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan
bawah pada pertengahan siklus menstruasi.

Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.

Kehamilan di luar kandungan


Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika
ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan pendarahan, akan
timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok
hipovolemik.

Kista ovarium terpuntir


Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam
rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal.

Endometriosis ovarium eksterna


Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak
ada jalan keluar.

Urolitiasis pielum/ ureter kanan


Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan
gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan.

Penyakit saluran cerna lainnya


Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut, seperti
divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut,
pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid
abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks 4.

B.9 Pengobatan

Pengobatan

tunggal

yang

terbaik

untuk

usus

buntu

yang

sudah

meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi


appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam
sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi.
Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan umum atau
spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi pengangkatan usus buntu
dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks8.
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram
negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu
dilakukan sebelum pembedahan3.
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah
laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke
dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga
dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan
bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya
antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik8.

B.10 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga
berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus8.
Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus,
abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian9.

Selain itu, terdapat komplikasi akibat tindakan operatif. Kebanyakan komplikasi


yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intra-abdomen dan ditemukan
di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut,
ileus paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja internal, dan perdarahan dari
mesenterium apendiks9.
B.11 Prognosis

Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa penyulit,


namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah terjadi
peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah
operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit
penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya
sembuh antara 10 sampai 28 hari8.
C. Manajemen Anestesi Pre-operatif
C.1 Penilaian Preoperatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan preoperasi
salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah sehingga dapat
diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan dioperasi10.
Tujuannya adalah:
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu maupun
urtikaria).
3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status praoperasi
(pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)
5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent)
kepada pasien.
6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat induksi.
Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti
adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio cordis. Selain itu dapat mengetahui

keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan
obat yang tepat pada pasien. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan
kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG, foto thorax, dll.
Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang
manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent10.
a. History Taking
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan,
obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan
intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga
harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi
terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting
untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan yang
dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital
(tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan
system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional
sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan
buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah
akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus
sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak
pendek antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of
Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek
mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.
Skoring Mallampati:
I.

Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan

II.
III.
IV.

Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
Hanya terlihat palatum durum

Gambar 1. Kriteria Mallampati


Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping
anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan
menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead
organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas
perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi
terhadap komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak
sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan
manajemen anestesi, terutama teknik monitoring10.
Tabel 2. Klasifikasi ASA
Kelas I

Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II

Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi


aktivitas sehari-hari.
Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.
Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun
tanpa operasi.
Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan
operasi sebagai upaya resusitasi.
Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil
untuk tujuan donor

Kelas III
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI

Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I VI diatas.

c. Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur pasien, ada tidaknya
kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari prosedur bedah yang direncanakan.
Tabel 3. Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan
Pemeriksaan rutin
Urinalisis
FBC
Ureum, Creatinin, Elektrolit
ECG
Foto Torak
Tes fungsi hati (Liver Function
Test)

Indikasi
Pada semua pasien (periksa konsentrasi
glukosa darah jika glukosa urine positif)
Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua
bedah mayor
Bedah mayor
Umur > 50 tahun
Umur > 60 tahun
Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.

Tabel 4. Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:


No
1

3
4

Test
Darah Lengkap

Indikasi
Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
Ureum, creatinin dan Penyakit ginjal
konsentrasi elektrolit
Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan
elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari
adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik,
diuretic,
antihipertensi,
kortikosteroid,
hipoglikemik agent.
Konsentrasi
glukosa Diabetes Mellitus
darah
Penyakit hati yang berat
Elektrokardiografi
Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik
Diabetes Mellitus
Chest X-ray
Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler

Arterial blood gases

Test fungsi paru

Skreen koagulasi

Test fungsi hati

10

Tes fungsi thyroid

Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti
COPD, bronchiectasis
Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin
Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor
pituitari

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari yang 1 minggu
(FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG), sampai 6 bulan
(chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut;

Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah


Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk hipokalemia, terapi
insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan gagal ginjal, produk darah untuk
koreksi koagulopati.
d. Informed Consent
Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent. Inform consent

yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan.
Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang
prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.
C.2 Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran
yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi.
Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesi.
Tabel 5. Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist, 2011)11
Usia pasien

Intake oral

< 6 bln

Clear fluid
Breast milk
Formula milk
6 bln 5 thn Clear fluid
Formula milk
Solid
>5 thn
Clear fluid
Solid
Adult,
Clear fuid
op. pagi
Solid
Adult,
op.
siang

Clear fluid
Solid

Lama puasa (jam)

puasa yg diberikan

2
20 cc/kg
3
4
2
10 cc/kg
4
6
2
10 cc/kg
6
2
Puasa mulai jam
12 mlm
2
Puasa mulai jam 8
pagi

C.3 Terapi Cairan


Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan
maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan
dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal,
keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance
normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:
Tabel 6. Kebutuhan Maintenance Normal 12
Berat Badan
10kg pertama
10kg berikutnya
Tiap kg di atas 20kg

Jumlah
4 mL/kg/jam
+ 2 mL/kg/jam
+ 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan
karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa.
C.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan


Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan

Tabel 7. Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi


No
.
1

3
4

Jenis Obat
Sedatif:
Diazepam
Difenhidramin
Promethazin
Midazolam
Analgetik Opiat
Petidin
Morfin
Fentanil
Analgetik non opiat
Antikholinergik:
Sulfas atropine
Antiemetik:
Ondansetron
Metoklopramid
Profilaksis aspirasi
Cimetidin
Ranitidine

Dosis (Dewasa)

5-10 mg
1 mg/kgBB
1 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 g/kgBB
Disesuaikan
0,1 mg/kgBB
4-8 mg (iv) dewasa
10 mg (iv) dewasa
Dosis disesuaikan

Antasid
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler, diberikan 3045 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi
anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara
pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien13.
C.5 Persiapan Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a.
b.
c.
d.
e.

Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan


Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
Alat-alat resusitasi (STATICS)
Obat-obat anestesia yang diperlukan.
Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat dan

lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; Pulse Oxymeter
dan Capnograf.
i. Kartu catatan medic anestesia
j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
Tabel 8. Komponen STATICS
S

Scope

Tubes

Airways

Tapes

Introducer

Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan


jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang
sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

C
S

Connector
Suction

Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.


Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

C.5.a Pemilihan Teknik Anestesi


Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan keamanan dan
kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini adalah:
1. Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada pasien dewasa untuk
tindakan singkat dan hanya dipemukaan dapat dilakukan teknik anestesi lokal atau umum.
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui apakah pasien
pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah ada komplikasi anestesi dan
paska pembedahan yang dialami saat itu. Pertanyaa mengenai riwayat penyakit terutama
diarahkan pada ada tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok,
meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus menajadi suatu perhatian saat pasien memakai
obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai adanya penyakit
neuromuskular, antaralain poliomielitis dan miastenia gravis. Sebaiknya tindakan anestesi
regional dicegah untuk pasien dengan neuropati diabetes karena mungkin dapat
memperburuk gejala yang telah ada.
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari penggunaan anestesi
umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal atau regional.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan jiwa sebaiknya
dilakukan dengan anestesi umum.
d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul gangguan
sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional, spinal, atau anestesi
umum ndotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi umum endotrakea
untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga dengan pembedahan yang
berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan kebutuhan
dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada
laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dna lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi

Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat menentukan pilihanpilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik anestesi tertentu bila belum ada
pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan dipertimbangkan bila
keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak membahayakan keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah pilihan utama pada
pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama karena sering
terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau perawat. Oleh sebab itu,
sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal atau regioal perlu
diberikan sedasi yang cukup10.
C.5.b Anastesi Regional dengan Sub-arachnoid Block
Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh August Bier (1898)
pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas untuk menyediakan anestesi, terutama
untuk operasi pada daerah bawah umbilikus. Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan
dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga
level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas,
serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal8.
Anestesi regional meliputi 2 cara yaitu blok sentral yang meliputi blok spinal, epidural,
dan kaudal. Yang kedua adalah blok perifer seperti blok pleksus brachialis, aksiler, anestesi
regional intravena, dan lainnya. Anestesi spinal adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam
ruang subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke
dalam ruang subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior dan posterior,
radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan hilangnya
aktivitas sensoris, motoris dan otonom13.
Tabel 9. Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal
Indikasi/Kontraindikasi/Komplikas Keterangan
i
Indikasi

Transurethral prostatectomy (blok pada T10

Indikasi Kontra Absolut

Indikasi Kontra Relatif

Komplikasi Tindakan

Komplikasi Pasca Tindakan

diperlukan karena terdapat inervasi pada buli


buli kencing)
Hysterectomy
Caesarean section (T6)
Evakuasi alat KB yang tertinggal
Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas
bagian bawah seperti arthroplasty
Prosedur yang melibatkan pelvis dan
perianal
Pasien menolak
Deformitas pada lokasi injeksi
Hipovolemia berat
Sedang dalam terapi antikoagulan
Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis
aorta
Peningkatan tekana intrakranial.
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
Infeksi sekitar tempat penyuntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
Hipotensi berat
Bradikardia
Hipoventilasi
Trauma pembuluh darah
Trauma saraf
Mual muntah
Gangguan pendengaran
Blok spinal tinggi, atau spinal total
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis

Persiapan untuk anestesi spinal pada dasarnya sama dengan persiapan pada anestesi
umum. Adapun yang perlu diperhatikan adalah adanya informed consent dari pasien,

pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan kelainan spesifik seperti kelainan
tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk sehingga sulit identifikasi prosesus spinosus, dan
lainnya), serta pemeriksaan laboratorium anjuran seperti hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT.
Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri atas peralatan monitor seperti
tekanan darah, nadi, pulse oxymetri, dan EKG; peralatan resusitasi/anestesi umum; serta jarum
spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan
ujung pensil (pencil point, Whitecare).
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi tidur
lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Berikut teknik anesthesia spinal dengan
blok subarachnoid:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl. Beri bantal kepala,
selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

Gambar 2. Posisi anestesi spinal


2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung
ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukannya, misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan
pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23 G atau 25 G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan
menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum

spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin
jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan
pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum
tetap baik.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37C adalah 1,003-1,008. Anestetik
lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric. Anestetik lokal dengan berat jenis
lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS
disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan
tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi 12. Ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi blokade saraf pada pemberian anestesi spinal. Faktor tersebut antara lain
barisitas, posisi pasien selama dan sesaat setelah injeksi, serta dosis obat. Pada umumnya makin
tinggi dosis dan posisi injeksi, maka level anestesi akan semakin tinggi. Oleh karena itu pada
posisi supine head down, cairan hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan cairan hipobarik
menyebar ke kaudal dan sebaliknya pada posisi head up. Sementara pada posisi lateral, cairan
spinal hiperbarik akan berefek pada bagian yang lebih rendah dan cairan hipobarik akan
mencapai daerah yang lebih tinggi12.
Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine hiperbarik dan
tetrakain. Toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja
bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya
lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam). Penggunaan lidocain harus
diperhatikan karena seringkali menyebabkan transient neurological symptoms (TNS) dan cauda
equine sindrom. Namun ada ahli yang menyatakan penggunaan lidokain ini aman pada anestesi
spinal dengan dosis terbatas 60 mg dan diencerkan 2.5%. Oleh karena itu penggunaan
bupivacaine lebih aman dan lebih efektif12.
C.6 Durante Operasi dan Monitoring
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi
keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau
tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti
protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan

untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler12.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan
terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis
maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan
elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis
replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan
Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan
cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki
efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang
paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya
digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang12.
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan estimated blood
volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi hanya apabila kehilangan
lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu yang tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi
pasien dan prosedur operasi yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk
menurunkan hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut:
1. Estimate Blood Volume
Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70 cc/kgBB. Tetapi ada sumber yang
menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB dan wanita 65 cc/kgBB.
2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi
3. Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume darah normal
telah dicapai.
4. Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit 30% dengan cara RBCVlost =
RBCVpreop RBCV30%.
5. Kehilangan darah yang terjadi = RBCVlost x 3.
Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi apakah ringan,
sedang atau berat6.
Tabel 10. Kebutuhan cairan berdasarkan derajat trauma
Derajat Trauma
Ringan

Kebutuhan cairan tambahan


0-2 ml/kg

Sedang
Berat

2-4 ml/kg
4-8 ml/kg
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama

operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam mempertahankan kondisi pasien,
oleh karena itu perlu standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard
Basic Anesthetic Monitoring.
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi emergensi,
appropriate life support harus diutamakan. Standar ini ditujukan hanya tentang monitoring
anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus
yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara
klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general anestesi, regional
anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan temperature pasien harus
dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:
Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
Heart rate, nadi, dan kualitasnya
Warna membran mukosa, dan capillary refill time
Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
D. Manajemen Anestesi Post Operasi
D.1 Recovery dari Regional Anastesi
Pasien yang dilakukan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery dibandingkan
dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi sadar, sehingga komplikasi
yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih minimal. Meskipun demikian, tetap harus
dilakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas sampai pasien benar-benar
stabil. Fungsi neuromuskuler harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan

berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input
dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.
D.2 Kriteria Discharge dari PACU
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria
discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan
menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan
biasa.
Tabel 11. Aldrete Skor12
Obyek
Aktivitas

Respirasi

Tekanan darah

Kesadaran

Warna kulit

Kriteria
1 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas
2 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas
3 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

Mampu nafas dalam dan batuk


Sesak atau pernafasan terbatas
Henti nafas
Berubah sampai 20 % dari pra bedah
Berubah 20-50% dari pra bedah
Berubah > 50% dari pra bedah
Sadar baik dan orientasi baik
Sadar setelah dipanggil
Tak ada tanggapan terhadap rangsang
Kemerahan
Pucat agak suram
Sianosis

Nilai
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0

Nilai Total
Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9, tanpa ada nilai 0 pada kriteria
penilaian objektif.
D.3 Kunjungan Post-Operatif
Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 2448 jam setelah operasi dan dicatat dalam
rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari rekam medis, anamnesa terkair
perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk

pemeriksaan kemungkinan komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cidera
saraf, cidera okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus dilakukan
terapi atau konsultasi lebih lanjut14.

Anda mungkin juga menyukai