BAB II DT Apendisitis Anestesi
BAB II DT Apendisitis Anestesi
TINJAUAN PUSTAKA
parasimpatis
berasal
dari
cabang
n.vagus
yang
mengikuti
B.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut
adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga
abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat5. Apendisitis adalah
kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa
perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai
cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh
peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur 5.
B.2 Klasifikasi Apendisitis
Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta difusi yaitu sudah
bertumpuk nanah 5.
Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring,
biasanya ditemukan pada usia tua 5.
B.3 Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
histolytica4.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis akut 4.
B.4 Morfologi Apendisitis
Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan di seluruh
mukosa, submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh subserosa mengalami bendungan
dan sering terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular ringan. Reaksi peradangan mengubah
serosa yang normalnya berkilap menjadi membran yang merah, granular, dan suram.
Perubahan ini menandakan apendisitis akut dini bagi dokter bedah. Kriteria histologik
untuk diagnosis apendisitis akut adalah infiltrasi neutrofilik muskularis propria. Biasanya
neutrofil dan ulserasi juga terdapat di dalam mukosa 6.
B.5 Patofisiologi
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh
feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi
bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah7.
Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan
serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan
berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding
abdomen, menyebabkan peritonitis lokal7.
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen,
yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi
bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren.
Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang
terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi 7. Bila letak apendiks retrosekal
retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah
tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut
sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang
menegang dari dorsal 4.
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena
rangsangan dindingnya 4.
B.6 Diagnosis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi
karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna,
sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral
akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat
infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi,
antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi 3.
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk
sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan
perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses 3.
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi
dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat
yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah3:
Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran
kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas
tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tibatiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik
Mc. Burney.
Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular
adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya
berlawanan.
Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik normal,
peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat
Pasien dengan skor awal 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan
tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.
Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut
lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan
leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.
Demam Dengue
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes
positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat.
Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan
bawah pada pertengahan siklus menstruasi.
Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.
B.9 Pengobatan
Pengobatan
tunggal
yang
terbaik
untuk
usus
buntu
yang
sudah
B.10 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga
berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus8.
Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus,
abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian9.
keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan
obat yang tepat pada pasien. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan
kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG, foto thorax, dll.
Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang
manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent10.
a. History Taking
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan,
obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan
intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga
harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi
terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting
untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan yang
dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital
(tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan
system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional
sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan
buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah
akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus
sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak
pendek antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of
Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek
mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.
Skoring Mallampati:
I.
II.
III.
IV.
Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
Hanya terlihat palatum durum
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI
c. Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur pasien, ada tidaknya
kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari prosedur bedah yang direncanakan.
Tabel 3. Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan
Pemeriksaan rutin
Urinalisis
FBC
Ureum, Creatinin, Elektrolit
ECG
Foto Torak
Tes fungsi hati (Liver Function
Test)
Indikasi
Pada semua pasien (periksa konsentrasi
glukosa darah jika glukosa urine positif)
Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua
bedah mayor
Bedah mayor
Umur > 50 tahun
Umur > 60 tahun
Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.
3
4
Test
Darah Lengkap
Indikasi
Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
Ureum, creatinin dan Penyakit ginjal
konsentrasi elektrolit
Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan
elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari
adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik,
diuretic,
antihipertensi,
kortikosteroid,
hipoglikemik agent.
Konsentrasi
glukosa Diabetes Mellitus
darah
Penyakit hati yang berat
Elektrokardiografi
Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik
Diabetes Mellitus
Chest X-ray
Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
Skreen koagulasi
10
Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti
COPD, bronchiectasis
Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin
Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor
pituitari
Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari yang 1 minggu
(FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG), sampai 6 bulan
(chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut;
yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan.
Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang
prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.
C.2 Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran
yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi.
Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesi.
Tabel 5. Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist, 2011)11
Usia pasien
Intake oral
< 6 bln
Clear fluid
Breast milk
Formula milk
6 bln 5 thn Clear fluid
Formula milk
Solid
>5 thn
Clear fluid
Solid
Adult,
Clear fuid
op. pagi
Solid
Adult,
op.
siang
Clear fluid
Solid
puasa yg diberikan
2
20 cc/kg
3
4
2
10 cc/kg
4
6
2
10 cc/kg
6
2
Puasa mulai jam
12 mlm
2
Puasa mulai jam 8
pagi
Jumlah
4 mL/kg/jam
+ 2 mL/kg/jam
+ 1 mL/kg/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan
karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa.
C.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:
3
4
Jenis Obat
Sedatif:
Diazepam
Difenhidramin
Promethazin
Midazolam
Analgetik Opiat
Petidin
Morfin
Fentanil
Analgetik non opiat
Antikholinergik:
Sulfas atropine
Antiemetik:
Ondansetron
Metoklopramid
Profilaksis aspirasi
Cimetidin
Ranitidine
Dosis (Dewasa)
5-10 mg
1 mg/kgBB
1 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 g/kgBB
Disesuaikan
0,1 mg/kgBB
4-8 mg (iv) dewasa
10 mg (iv) dewasa
Dosis disesuaikan
Antasid
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler, diberikan 3045 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi
anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara
pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien13.
C.5 Persiapan Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; Pulse Oxymeter
dan Capnograf.
i. Kartu catatan medic anestesia
j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
Tabel 8. Komponen STATICS
S
Scope
Tubes
Airways
Tapes
Introducer
C
S
Connector
Suction
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat menentukan pilihanpilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik anestesi tertentu bila belum ada
pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan dipertimbangkan bila
keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak membahayakan keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah pilihan utama pada
pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama karena sering
terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau perawat. Oleh sebab itu,
sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal atau regioal perlu
diberikan sedasi yang cukup10.
C.5.b Anastesi Regional dengan Sub-arachnoid Block
Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh August Bier (1898)
pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas untuk menyediakan anestesi, terutama
untuk operasi pada daerah bawah umbilikus. Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan
dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga
level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas,
serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal8.
Anestesi regional meliputi 2 cara yaitu blok sentral yang meliputi blok spinal, epidural,
dan kaudal. Yang kedua adalah blok perifer seperti blok pleksus brachialis, aksiler, anestesi
regional intravena, dan lainnya. Anestesi spinal adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam
ruang subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke
dalam ruang subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior dan posterior,
radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan hilangnya
aktivitas sensoris, motoris dan otonom13.
Tabel 9. Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal
Indikasi/Kontraindikasi/Komplikas Keterangan
i
Indikasi
Komplikasi Tindakan
Persiapan untuk anestesi spinal pada dasarnya sama dengan persiapan pada anestesi
umum. Adapun yang perlu diperhatikan adalah adanya informed consent dari pasien,
pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan kelainan spesifik seperti kelainan
tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk sehingga sulit identifikasi prosesus spinosus, dan
lainnya), serta pemeriksaan laboratorium anjuran seperti hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT.
Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri atas peralatan monitor seperti
tekanan darah, nadi, pulse oxymetri, dan EKG; peralatan resusitasi/anestesi umum; serta jarum
spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan
ujung pensil (pencil point, Whitecare).
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi tidur
lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Berikut teknik anesthesia spinal dengan
blok subarachnoid:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl. Beri bantal kepala,
selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin
jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan
pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum
tetap baik.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37C adalah 1,003-1,008. Anestetik
lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric. Anestetik lokal dengan berat jenis
lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS
disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan
tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi 12. Ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi blokade saraf pada pemberian anestesi spinal. Faktor tersebut antara lain
barisitas, posisi pasien selama dan sesaat setelah injeksi, serta dosis obat. Pada umumnya makin
tinggi dosis dan posisi injeksi, maka level anestesi akan semakin tinggi. Oleh karena itu pada
posisi supine head down, cairan hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan cairan hipobarik
menyebar ke kaudal dan sebaliknya pada posisi head up. Sementara pada posisi lateral, cairan
spinal hiperbarik akan berefek pada bagian yang lebih rendah dan cairan hipobarik akan
mencapai daerah yang lebih tinggi12.
Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine hiperbarik dan
tetrakain. Toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja
bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya
lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam). Penggunaan lidocain harus
diperhatikan karena seringkali menyebabkan transient neurological symptoms (TNS) dan cauda
equine sindrom. Namun ada ahli yang menyatakan penggunaan lidokain ini aman pada anestesi
spinal dengan dosis terbatas 60 mg dan diencerkan 2.5%. Oleh karena itu penggunaan
bupivacaine lebih aman dan lebih efektif12.
C.6 Durante Operasi dan Monitoring
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi
keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau
tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti
protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan
untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler12.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan
terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis
maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan
elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis
replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan
Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan
cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki
efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang
paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya
digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang12.
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan estimated blood
volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi hanya apabila kehilangan
lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu yang tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi
pasien dan prosedur operasi yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk
menurunkan hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut:
1. Estimate Blood Volume
Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70 cc/kgBB. Tetapi ada sumber yang
menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB dan wanita 65 cc/kgBB.
2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi
3. Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume darah normal
telah dicapai.
4. Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit 30% dengan cara RBCVlost =
RBCVpreop RBCV30%.
5. Kehilangan darah yang terjadi = RBCVlost x 3.
Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi apakah ringan,
sedang atau berat6.
Tabel 10. Kebutuhan cairan berdasarkan derajat trauma
Derajat Trauma
Ringan
Sedang
Berat
2-4 ml/kg
4-8 ml/kg
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama
operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam mempertahankan kondisi pasien,
oleh karena itu perlu standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard
Basic Anesthetic Monitoring.
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi emergensi,
appropriate life support harus diutamakan. Standar ini ditujukan hanya tentang monitoring
anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus
yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara
klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general anestesi, regional
anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan temperature pasien harus
dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:
Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
Heart rate, nadi, dan kualitasnya
Warna membran mukosa, dan capillary refill time
Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
D. Manajemen Anestesi Post Operasi
D.1 Recovery dari Regional Anastesi
Pasien yang dilakukan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery dibandingkan
dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi sadar, sehingga komplikasi
yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih minimal. Meskipun demikian, tetap harus
dilakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas sampai pasien benar-benar
stabil. Fungsi neuromuskuler harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan
berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input
dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.
D.2 Kriteria Discharge dari PACU
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria
discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan
menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan
biasa.
Tabel 11. Aldrete Skor12
Obyek
Aktivitas
Respirasi
Tekanan darah
Kesadaran
Warna kulit
Kriteria
1 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas
2 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas
3 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Nilai
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
Nilai Total
Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9, tanpa ada nilai 0 pada kriteria
penilaian objektif.
D.3 Kunjungan Post-Operatif
Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 2448 jam setelah operasi dan dicatat dalam
rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari rekam medis, anamnesa terkair
perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk
pemeriksaan kemungkinan komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cidera
saraf, cidera okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus dilakukan
terapi atau konsultasi lebih lanjut14.