Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar basil tuberkulosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Depkes RI,
2007).
Tuberkulosis telah dikenali dalam beragam bentuknya selama ribuan
tahun. Deskripsi TB sudah ada sejak milenium pertama sebelum masehi dalam
teks medis dari Yunani ke India. Orang-orang Yunani menamakan penyakit ini
dengan sebutan phthisis, yang berarti to waste. Dalam dunia berbahasa Inggris,
consumption adalah nama umum yang diberikan pada penyakit ini. Selama Era
Pertengahan, ketika TB menjadi umum di benua Eropa, dimana penyakit ini
menjadi semakin dikenali sebagai white plague. Manifestasi lain terdeskripsikan,
meliputi destruksi paru yang cepat nan progresif dan manifestasi kulit dari lupus
vulgaris. Deskripsi Percival Pott mengenai TB pada tulang belakang
menghasilkan pemberian namanya kepada bentuk TB ini. Dengan manifestasinya
yang beraneka ragam, TB dianggap mewakili banyak penyakit yang berbeda.
Sampai akhirnya pada tahun 1804, dimana Rene Laennec mengusulkan teorinya
tentang pandangan untuk menyatukan dari manifestasi beragam akibat penyakit
ini. Pada 1839, Schnlein mengusulkan entitas patologisnya dikenal sebagai
tubercle yang menjadi dasar fundamental penyakit dan menganjurkan kata
tuberculosis digunakan sebagai nama generik untuk semua manifestasi
beragamnya. Pada 1882, Robert Koch menemukan bahwa agen penyebab TB
merupakan organisme kompleks Mycobacterium tuberculosis (Fitzpatrick &
Braden, 2000).
2.2.2. Epidemiologi
Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada sejumlah faktor yang
berhubungan dengan mikroba, pejamu dan lingkungan. Peran faktor-faktor yang
berhubungan dengan pejamu yang bertanggung jawab atas terjadinya TB pada
situs ekstraparu adalah terbatas. Beberapa studi telah melaporkan bahwa proporsi
TB ekstraparu meningkat disebabkan epidemi HIV dan mungkin juga oleh
perkembangan dalam fasilitas diagnostik (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi,
dan Bates, 2008).
Sebuah studi dari Amerika Serikat melaporkan bahwa wanita, warga
berkulit hitam non-Hispanic dan individu yang terinfeksi HIV lebih beresiko
tinggi menderita TB ekstraparu. Sedangkan studi di Amerika Serikat yang lain
tahun, bahkan seumur hidup (infeksi laten), tetapi bisa mengalami reaktivasi bila
terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindak bedah
besar, atau pada infeksi HIV (Karnadihardja, 2004).
TB fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam perjalanan
selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan
fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat menyebabkan
bronkiektasis melalui erosi bronkus (Karnadihardja, 2004).
Frekuensi penyebaran ke ginjal amat sering. Kuman berhenti dan bersarang
pada korteks ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya relatif tinggi. Kuman
ini dapat langsung menyebabkan penyakit atau tidur selama bertahun-tahun.
Patologi di ginjal sama dengan patologi di tempat lain, yaitu inflamasi,
pembentukan jaringan granulasi, dan nekrosis pengejuan. Kemudian basil dapat
turun dan menyebabkan infeksi di ureter, kandung kemih, prostat, vesikula
seminalis, vas deferens, dan epididimis (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke kelenjar limfe paling sering ke kelenjar limfe hilus, baik
sebagai penyebaran langsung dari kompleks primer, maupun sebagai TB
pascaprimer. TB kelenjar limfe lain (servikal, inguinal, aksial) biasanya
merupakan TB pascaprimer (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai
dengan berhenti dan berkembang biaknya kuman di tuba fallopii yang sangat
vaskuler. Dari sini basil bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke
peritoneum (peritonitis) (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke tulang adalah daerah metafisis tulang panjang dan ke tulang
spongiosa yang menyebabkan TB tulang ekstraartikuler. Penyebaran lain dapat
juga ke sinovium dan menjalar ke tulang subkondral. Penyebaran ini
menyebabkan TB sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis tidak pernah terjadi
karena sifat cakram epifisis yang avaskular (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke otak dan meningen juga melalui penyebaran hematogen
setelah kompleks primer. Berbeda dengan penyebaran di atas, penyebaran ke
perikardium terjadi melalui saluran limfe atau kontak langsung dari pleura yang
tembus ke perikardium (Karnadihardja, 2004).
2.2.4. Klasifikasi
Berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstraparu terbagi
atas:
a.
b.
keringat malam, dan penurunan berat badan. Penyakit dapat dalam bentuk
akut atau kronik dan sering menyebabkan efusi dan sering menyebabkan
efusi yang halus. Efusi umumnya unilateral dan mengiringi penyakit
parenkim aktif pada 70% pasien. TB pleura akan berkembang beberapa
tahapan penyakit tetapi seringkali muncul sebagai manifestasi penyakit
primer dan muncul selama 6 bulan setelah infeksi TB (Fitzpatrick &
Braden, 2000).
- Tulang dan/atau Sendi (11%).
Vertebral TB (Pott's disease) terhitung untuk 50-70% dari semua kasus
TB tulang, yang bercirikan kifosis and kompresi sumsum tulang belakang,
jadi pasien akan bisa mengalami gejala neurologik atau motorik. Vertebra
torakal bawah dan lumbal atas merupakan situs tersering dari penyakit.
Pasien secara khas mempunyai riwayat 2 minggu sampai 3 bulan
mengalami nyeri punggung, demam, dan penurunan berat badan. Abses
paravertebral terjadi di antara 50% pasien. Pasien dengan Potts disease
biasanya mempunyai bukti radiologis dari keterlibatan tulang belakang,
dan 50% pasien mempunyai bukti radiologis dari salah satu TB paru lama
atau aktif. Diagnosis memerlukan biopsi dan kultur dari tulang yang
terinfeksi (Fitzpatrick & Braden, 2000).
TB artritis secara khas bermanifestasikan sebagai sebuah artritis
monoartikular dari sendi-sendi yang menopang berat (lutut, pinggul,
pergelangan). Nyeri merupakan gejala paling umum, dan pembengkakan
dengan rentang pergerakan yang menurun pada sendi yang dapat terlihat.
Infeksi diawali trauma pada 25% kasus. Biopsi jaringan sinovial dapat
mengandung granuloma, dan hasil kultur adalah positif untuk M.
Tuberculosis 60-70% dari waktu itu (Fitzpatrick & Braden, 2000).
- Meninges / Sistem Saraf Pusat (6%).
Gillespie dan Bamfoed (2009) mengatakan meningitis TB muncul dalam
bentuk demam dan tingkat kesadaran yang memburuk secara perlahan,
yang dapat dengan cepat berakibat fatal jika tidak ditangani segera.
Menurut Fitzpatrick dan Braden (2000), meningitis TB disebabkan
menyebabkan
nyeri pelvik,
ketidakteraturan
radiograf dada atau pada spesimen biopsi dari sumsum tulang belakang,
hati atau limpa. Penyakit milier biasanya muncul di antara grup berisiko
tinggi,
milier
ditegakkan
berdasarkan riwayat
klinis,
keberadaan pola milier pada radiograf dada dan hasil kultur positif untuk
M. tuberculosis dari darah atau sebuah situs biopsi seperti hati, atau
sumsum tulang belakang (Fitzpatrick & Braden, 2000). TST adalah
indikator yang insensitif terhadap infeksi M. Tuberculosis sebelumnya di
antara orang-orang dengan penyakit milier; hasil telah dilaporkan positif
pada 25 - 75% kasus. Pada kasus yang mana diagnosis laboratorium sulit
untuk ditegakkan, pengawasan respon klinis terhadap terapi anti-TB dapat
membantu. Demam mereda di antara 30% pasien dalam 2 minggu dan di
antara 60 - 70% pasien dalam 4 minggu (Fitzpatrick & Braden, 2000).
- Dan Lain-lain (11%)
Kulit, Laring, telinga tengah, perikardium, payudara, tiroid, kelenjar ludah,
jaringan lunak (Kreider & Rossman, 2008; Sreeramareddy et al., 2008).
2.2.6. Diagnosis
2.2.6.1. Tuberculin Skin Test (TST) / Mantoux Test
Tuberculin Skin Test (TST) paling umum digunakan untuk screening infeksi
laten M. tuberculosis. Tes ini mempunyai keterbatasan nilai dalam mendiagnosis
2.2.7. Terapi
2.2.7.1. Terapi Obat
Kant (2004) mengatakan TB ekstraparu biasanya paucibasiler dan
pengobatan dengan regimen yang efektif pada TB paru kemungkinan efektif
dengan sama baiknya pada pengobatan TB ekstraparu. Saat ini telah ditemukan
banyak macam anti-TB yang mekanisme kerja dan efek sampingnya berbedabeda. Umumnya anti-TB aktif terhadap kuman yang sedang giat membelah,
kecuali rifampisin yang juga aktif terhadap kuman yang membelah lambat. Selain
itu, obat-obat ini tidak aktif dalam suasana asam sehingga kuman yang berada
dalam sel makrofag (suasana intraselnya asam) tidak dapat dibunuh. Hanya
pirazinamid yang aktif dalam suasana asam. Sementara itu, kuman TB mudah
resisten terhadap obat-obat ini. Oleh karena itu, kemoterapi TB selalu dalam
kombinasi dua atau tiga macam dengan maksud meningkatkan efek terapinya dan
mengurangi timbulnya resistensi (Karnadihardja, 2004).
Untuk menyembuhkan TB diperlukan pengobatan yang lama karena basil
TB tergolong kuman yang sukar dibasmi. Selain itu, kuman yang semidormant,
yaitu yang berada dalam makrofag, baru dapat dibunuh kalau kuman tersebut
telah keluar dari makrofag. Dengan pengobatan lama ini, kuman yang tidur tetap
tidak dapat dijangkau (Karnadihardja, 2004).
Dikenal dua macam paduan terapi (regimen) anti-TB, yaitu paduan jangka
panjang selama 12-18 bulan dan paduan jangka pendek selama 6-9 bulan.
Pengobatan TB diberikan dalam dua fase, yaitu fase intensif selama dua bulan
yang dilanjutkan dengan 4-6 bulan fase lanjutan. Pada fase intensif biasanya
digunakan 3-4 macam obat, misalnya isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol, sedangkan pada fase lanjutan diberikan lebih sedikit macam obat.
Pilihan macam obat dan lamanya pengobatan bergantung pada beratnya penyakit,
hasil pemeriksaan bakteriologi, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Selain itu
Pengobatan pasien TB aktif dengan segera dan efektif serta tindak lanjut
terhadap kontak mereka melalui uji tuberkulin, foto rontgen sinar X, dan
pengobatan yang sesuai dengan saksama adalah tujuan utama pengendalian
TB kesehatan masyarakat. Timbulnya kembali penyakit TB menunjukkan
bahwa metode pengendalian ini belum dilakukan secara adekuat.
2.
Pengobatan obat pada orang asimtomatik yang uji tuberkulinnya positif pada
kelompok umur yang paling rentan terhadap timbulnya komplikasi (misalnya,
anak-anak) dan orang yang uji tuberkulinnnya positif yang harus menerima
obat-obatan imunosupresif sangat mengurangi reaktivasi infeksi.
3.
4.
5.
Eradikasi TB pada sapi dan pasteurisasi susu telah sangat mengurangi infeksi
M.bovis.
2.3. Pengetahuan
Notoatmodjo (2003) menjelaskan pengetahuan sebagai suatu hasil tahu,
dan hasil tahu ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui pancaindera manusia, yakni: indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup di dalam domain
kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil.
4. Analisis (Analysis)
Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjalarkan materi atau
suatu suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam
suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden.
untuk
mengikuti
rencana
pengobatan.
Inti
elemen-elemen