Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kita sudah cukup mengetahui bahwa fungsi utama respiratory system adalah
mempertahan tekanan partiel O2 dan CO2 sedekat mungkin kearah normal, dalam
berbagai keadaan tertentu. Disamping itu paru-paru juga punya fungsi yang lain seperti
blood reservoir, filter, fluid and solute exchange. Paru-paru merupakan satu mata rantai
dalam system mata rantai yang komplex dalam mentransfer O2 dan CO2 antara darah dan
udara. Adekuat tidaknya fungsi sistem respirasi diukur dari normal tidaknya tekanan
partiel O2 dan CO2 darah arteri, observasi fungsi pernafasan dengan cara lain hanya
dapat menentukan tidak adekuatnya tetapi tak menjamin adekuatnya fungsi respirasi. Tiga
faktor utama yang telibat dalam fungsi pernafasan yaitu ventilasi, pulmonary blood flow
dan diffusi gas antara alveoli dan darah dalam kapiler pulmonalis. Ventilasi bukan
sekedar mampu mendorong volume darah yang cukup tetapi juga harus mampu
mendistribusikan keseluruh paru sesuai dengan distribusi dan jumlah pulmonary blood
flow dan pada akhirnya setiap gas harus bisa dengan mudah berdifussi melalui membran
alveolaris. Dengan perkataan lain adanya keseimbangan antara ventilasi, dan difusi.
Deskripsi tentang ventilasi tekanan positif pertama kali dikemukakan oleh Vesalius
sejak 400 tahun yang lalu, namun penerapan konsep tersebut dalam penatalaksanaan
pasien dimulai pada tahun 1955, saat epidemi polio terjadi hampir di seluruh dunia. Pada
saat itu dibutuhkan suatu bentuk bantuan ventilasi yang dapat bertindak sebagai tangki
ventilator bertekanan negatif yang dikenal dengan istilah iron lung. Di Swedia, seluruh
pusat pendidikan kedokteran tutup, dan seluruh mahasiswanya bekerja selama 8 jam
sehari sebagai human ventilator, yang memompa paru pada pasien-pasien dengan
gangguan ventilasi. Di Boston, Amerika Serikat, Emerson Company berhasil membuat
suatu prototipe alat inflasi paru bertekanan positif yang kemudian digunakan di
Massachusetts General Hospital dan memberikan hasil yang memuaskan dalam waktu
singkat. Sejak saat itu, dimulailah era baru penggunaan ventilasi mekanik bertekanan
positif serta ilmu kedokteran dan perawatan intensif.

Ventilator tekanan positif yang pertama kali ditemukan, bertujuan untuk


mengembangkan paru-paru hingga mencapai tekanan yang diinginkan (preset pressure).
Ventilasi dengan jenis pressure-cycle ini kurang disukai karena volume inflasi bervariasi
sesuai dengan perubahan pada properti mekanik di paru-paru. Sebaliknya, ventilasi
volume-cycled yang dapat mengembangkan paru-paru sampai volume yang ditentukan
awal serta menyalurkan volume alveolar yang konstan meskipun terjadi perubahan
properti mekanik paru-paru, sehingga ventilasi volume-cycled dijadikan sebagai metode
standar pada ventilasi mekanik tekanan positif.
1.2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan referat ini yaitu untuk memahami definisi, etiologi,
insidensi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.. Ventilasi
Pertukaran udara antara alveoli dan udara luar disebut ventilasi.
2.1.1.Tidal Volume
Udara yang keluar masuk alveoli dalam satu kali pernafasan disebut udara tidal (tidal
volume). Tidak semua udara tidal sampai ke alveoli dan ikut terlibat berdiffusi. Volume
tidal yang ikut dalam pertukaran gas disebut effective tidal volume.
Dalam satu penelitian sekumpulan pasien yang dianestesi dengan paru-paru yang sehat
dilakukan ventilasi terkontrol selama 24 jam dengan tidal volume yang konstan kira-kira
7cc/kgBB hanya dilakukan passive hyperinflasi dalam interval tertentu ternyata tidak
dijumpai perubahan gradient antara tekanan partiel O2 dalam alveoli dan arteriel [P (Aa)] O2. Dengan volume tidal yang lebih besar terjadi penurunan P(A-a)O2.
Pada pasien-pasien yang sadar dengan volume tidal 7cc/kgBB walaupun dilakukan secara
manual pernafasan yang dalam selama 24 jam ternyata kurang bisa ditolerir karena
menimbulkan kesan tak enak berupa dyspnoe walaupun tekanan partiel O2 dan CO2
arteri normal.
Dengan volume tidal sebesar 10-15cc/kgBB beratus ribu pasien yang diventilasi tak
pernah dijumpai kerusakan paru-paru
2.1.2. Minute Volume
Volume udara yang keluar masuk paru dalam satu menit disebut minute volume. Ini
diperoleh dengan mengalikan tidal volume dan frekuensi pernafasan.
Kalau dijabarkan melalui satu rumus maka :

VE = VT x f
Keterangan :
VE = minute volume
VT = tidal volume
f = frekuensi pernafasan
Minute volume bisa diukur dengan spirometer dalam satu menit dan tidal volume
diperoleh dengan membaginya dengan frekuensi respirasi.
Minute volume bisa menurun dalam berbagai keadaan seperti high spinal anesthesia,

halothan, cyclopropan, thiopentone dan ether yang dalam. Penurunan minute volume ini
mungkin tak mengganggu oksigenasi pasien tetapi tak mampu mengeluarkan CO2 secara
adekuat.
2.1.3. Dead Space Volume
Bagian dari tidal volume yang tak ikut dalam pertukaran gas disebut dead space volume.
Bermacam-macam dead space :
1.Anatomical Space
Saluran nafas yang tak ikut serta dalam pertukaran gas mulai dari hidung mulut, laryng,
trachea sampai bronchioles terminalis.
Bervariasi menurut berat badan, umur, volume paru dan tidal volume. Faktor yang
memegang peranan penting mempengaruhi dead space volume(VD) adalah tidal
volume(VT).
Menurut REDFORD besarnya VD pada dewasa dan neonatus = 1/3 VT atau 20-40% dari
VT atau diperkirakan kira-kira 2,2 cc/kgBB.
Depressi rahang bawah, flexi kepala akan mengurangi anatomy dead space lebih kurang
30cc sebaliknya extensi kepala akan meningkatkan kira-kira 40 cc.
Pneumectomy, tracheostomy, intubasi akan jelas menurunkan dead space volume
atropin,insersi oral airway akan meningkatkan dead space volume.
2. Alveolar Dead Space
Alveoli yang baik ventilasinya tapi non perfdused disebut wasted ventilation. Pada
keadaan paru overventilasi walaupun perfusi normal hal ini bisa menambah dead space
volume. Pada orang normal alveolar dead space ini minimal sehingga bisa diabaikan.
3. Physiological Dead Space
Ini merupakan penjumlahan anatomical dan alveolar dead space. Tapi dalam keadaan
normal physiological dead space dianggap sama dengan anatomical dead space. Namanya
seharusnya bukan physiological dead space tetapi pathological dead space.

Oleh karena alveolar dead space hanya bermakna dalam keadaan pathologis.
Physiological dead space akan meninggi pada tidal volume yang besa, respiratoy rate
yang cepat, induksi anestesi, atropin dan penyakit paru bila saja hubungan ventilasi
berubah, umpama penyakit bronchitis atau asthma bronchiale,VD nya bisa mencapai 5080% dari tidal volume. Oleh Frumin dan Nunn (1963) diketahui akibat perdarahan VD
nya akan meninggi dan selama kontrol hipotensi terutama bila pasien dalam posisi head
up juga akan meninggi (Ashroff et all 1964). Selama intermitten positive pressure
ventilation (IPPV) kenaikan VD ini hampir dapat dikompensasi oleh intubasi yang dapat
mengurangi dead space sd 50% (7). Oleh karena hubungan antara dead space dan tidal
volume agak konstan bila VT berubah,VD phys sering dinyatakan sebagai fraksi dari
tidal volume (VD/VT) ratio, normalnya 0,25/0,4.
Pengaruh anestesi pada VD phys kelihatan sangat variabel tetapi biasanya baik VD phys
maupun VD/VT ratio akan meninggi (normal =0,3).
Pasien yang dianestesi dengan kontrol ventilasi ratio VD/VT akan menjadi 0,3/0,45 tetapi
bila efek intubasi dikoreksi maka VD/VT ratio menjdi 0,4/0,6.
Penelitian Keinn et all (1969), efek intubasi pada total fungsional dead space selama
anestesi dengan halotan dan pernafasan spontan dengan memakai mask dan Frumin valve
total dead space meningkat sangat hebat (mean VD/VT=0,68,SD 0,062).
Ini bisa diturunkan dengan intubasi menjadi (mean VD/VT=0,51). Sehingga perbedaan
yang nyata total dead space antara mask dan intubasi kira-kira 82 cc.Coopen 1967 telah
menetapkan bahwa VD phys selama anestesi dengan passive ventilasi secara kasar
dihitung dari formula :

umur
VD/VT = 33 + % : 3

Kenaikan VD/VT > 0,65 kemungkinan gagal nafas akut. Penyebab yang tersering
kenaikan VD/VT ratio ini adalah hipotensi oleh sebab

rendahnya tekanan arteri

pulmonal. Pengukuran VD phys biasanya dengan memakai Enghoffs modification dari


Bohrs equation:

VD apparatus = Dead space volume karena apparatus anestesi.


Kenapa CO2 yang digunakan dalam rumus ini ?
Karena eliminasi CO2 dipengaruhi ventilasi. Caranya dengan mengumpulkan sample
udara expirasi campuran dalam kantong Douglas beberapa kali pernafasan dan mengukur
CO2 content serta total volume dan selama pengumpulan tersebut PaCO2 diukur. Nilai
yang diperoleh untuk PECO2 dan VT lalu disubsitusikan dalam persamaan dan VD phys
dihitung sebagai fraksi dari VT maupun nilai absolut VD phys.

4.Apparatus Dead Space :


Merupakan volume udara yang terkandung dalam apparatus anestesi diantara pasien dan
mesin anestesi (expiatory valve pada Magil System).
Ini memerlukan perhatian yang serius terutama bila yang dianestesi anak atau bayi. Pada
Magil system dead space bisa bertambah lebih kurang 125 cc.

2.1.4. Alveolar Ventilation (VA) :


Bagian dari minute volume yang ikut serta dalam pertukaran gas.
Nilai normal VA adalah 2,0 -2,4 L/menit /m2 BSA (body surface area) atau kira-kira 3,54,5 L/menit pada orang dewasa, ini merupakan faktor yang terpenting dalam mengontrol
excresi CO2 dari paru.

VA = (VT VD phys) x f

Dari rumus ini terlihat bahwa kenaikan VD phys atau penurunan frekuensi pernafasan
akan mereduksi VA(alveolar ventilation), asal saja faktor-faktor lain tetap. Penurunan
tidal volume pada orang normal akan diikuti penurunan VD phys sehingga efek pada VA
tak seberapa.
Sekiranya kita hitung VA dalam berbagai keadaan :
1.Normal : (450- 150) x 13 = 3,9 L/ menit ( PCO2 normal )
2.Tidal volume menurun : (300 150) x 13 = 2,6 L/ menit (PCO2 meninggi)
3.VD phys meningkat oleh alat anestesi (450 225) x 13 = 2,7 L/ menit (PCO2

meninggi)
4.Respiratory rate menurun : (450- 150) x 8 = 2,4 L/ menit (PCO2 meninggi)
Pengaruh ventilation pattern pada alveolar ventilation dapat terlihat sebagai berikut:
Pada pernafasan cepat dan dangkal : (200- 150) x 30 = 1500 cc / menit
Pada pernafasan dalam dan lambat : (600- 150) x 10 = 4500 cc / menit
Dari gambaran diatas dapat ditarik kesimpulan suatu pernafasan yang cepat dan dangkal
akan menyebabkan ventilasi yang tidak efisien.
Ini disebabkan udara yang bergerak sebagian besar hanya

mondar mandir dalam

conducting airway. Terlihat dari minute volume yang sama menghasilkan alveolar
ventilation yang sangat berbeda dibawah pengaruh ventilation pattern. PaCO2 terutama
dipengaruhi oleh alveolar ventilation tidak sama sekali oleh pulmonary blood flow
sedangkan PaO2 terutama ditentukan oleh cardiac output, pulmonary blood flow dan
sekunder oleh alveolar ventilation.
Peninggian alveolar ventilation secara mendadak selama 3 menit bisa menurunkan
separuh dari total PaCO2 sedangkan penurunan secara mendadak selam 16 menit bisa
menaikkan separoh dari total PaCO2(4). Pada praktisnya ada mekanisme fisiologis yang
cenderung mengembalikan PaCO2 kearah normal dalam setiap menghadapi perubahan
yang terjadi sehingga perubahan alveolar ventilation tak begitu bermakna. Tetapi dibawah
pengaruh sedative/anestesi respons fisiologis mungkin ditekan sehingga setiap perubahan
alveolar ventilation oleh bertambahnya apparatus dead space mungkin tak bisa
dikompensir secara penuh. Suatu keadaan hipoventilasi dimana VA dibawah normal input
O2 maupun output CO2 berkurang dengan demikian suatu keadaan hipoksemia dann
hiperkarbia bisa timbul bersama2 dalam situasi hipoventilasi.
Akan tetapi PaO2 bukanlah petunjuk yang tepat adanya non adekwat ventilasi karena
banyak penyebab lain yang menyebabkan hipoksemia sebaliknya PaCO2 petunjuk yang
tepat adanya hypoventilation karena outputnya semata-mata tergantung alveolar
ventilation. Pengeluaran CO2 yang adekuat memerlukan alveolar ventilation yang
adekuat dengan perkataan lain PaCO2 yang rendah menunjukkan alveolar ventilation

yang excessive sedangkan PaCO2 yang tinggi menunjukan alveolar ventilation non
adequate. Deep anesthesia, respiratory depressant drug dan muscle relaxant semua
cenderung mendepresi alveolar ventilation. Ini akan meningkatkan PACO2 dan
menurunkan PAO2 kecuali supply O2 ditambah dalam udara inspirasi. Ini dapat
diterangkan bilamana tak ada perubahan pada setiap gas campuran yang lain dalam paru
dimana PAO2 dapat dihitung dari persamaan berikut(Alveolar air equation). (Coenroe et
all 1962)

Alveolar CO2 tension


Alveolar oxygen tension (PAO2) = Inspired O2 tension-Respiratory Quotient
PAO2 = PIO2 PACO2/R
Kalau kita subsitusi angka-angka normal pada persamaan ini :
150

40/0,8 = 100 mmHg

Bila PACO2 meningkat sampai 60 mmHg maka persamaan akan menjadi :


150

60/ 0,8 = 75 mmHg

Terlihat bahwa adanya kenaikan PACO2 mengakibatkan penurunan PAO2 maupun PaO2
dengan demikian bisa menimbulkan hipoksemia oleh sebab itu pada anestesi dengan
spontan respirasi ditambah perubahan lain akan cenderung menimbulkan hipoksemia
maka dianjurkan memakai minimal 33% O2 dalam semua campuran gas anestesi untuk
mengkompensir setiap kenaikan PaCO2 dan perubahan paru yang terjadi.
Umpamanya 30% O2 diberikan maka persamaan tadi menjadi :
230 60/ 0,8

= 155 mmHg

Pengamatan reservoir bag, gerakan dada dan abdomen, frekuensi respirasi, pengukuran

minute volume dengan spirometer, pengamatan warna darah capillarry bed merupakan
tindakan yang praktis selama operasi. Yang paling dapat dipercaya adalah spirometer
tetapi yang lebih baik adalah analisa gas darah hanya tidak praktis dan fasilitasnya masih
minim. Warna capillary bed hanya untuk oksigenasi tetapi tidak menunjukkan adanya
retensi CO2. Dengan meningkatkan konsentrasi O2 saja dalam udara inspirasi tanpa
mengawasi ventilasi sangat riskan.

Bila terjadi peningkatan ventilasi selama anestesi dengan respirasi spontan kemungkinan
kausanya :
1. hipoksia
2. hiperkarbia
3. anestesi dangkal
4. reflex surgical stimulation
ad.1. hipoksia bekerja pada chemoreceptor merangsang respirasi.
ad.2. hiperkarbia menyebabkan perubahan acid base balance membasahi respiraytory
center meningkatkan ventilasi.
ad.3. iritasi jalan nafas oleh zat volatile anestesi atau prosedur perangsangan yang lain.
ad.4.stimulasi dari lokasi operasi atau stimulasi mukosa bronchial, umpama penarikan
mesenterium, dilatasi sphincter dengan anestesi ringan

dimana reflex suppression tak adekuat, menaikkan ventilasi, bila stimulasi lebih berat
sedangkan anestesi tak adekuat bisa timbul laryngospasm.
Maka sikap kita bila menemukan respiratory rate meningkat durante operasi tensi naik
nadi cepat singkirkan dulu hipoksia dan hiperkarbia baru boleh didalamkan anestesi.
Selama dianestesi haruslah diperiksa :
Tangki O2 berisi atau kosong (sumber O2 lancar)
FiO2 cukup/tidak
Ventilasi cukup ?
CO2 absorber bekerja atau tidak ?
One way valve bekerja atau tidak ?
Mendalamkan anestesi dalam kondisi hipoksia atau hiperkarbia mengundang bencana
depressi yang lebih besar baik terhadap otak maupun cardio vascular.
2.1.5. Lung Volume / Capacity:
Istilah yang digunakan untuk menjelaskan lung volume dan capacity digunakan oleh
sekelompok American Physiologist untuk memudahkan pengertian telah dapat diterima
oleh umum. Nomenklatur untuk lung volume dan capacity dengan nilai normal pada
orang dewasa diperoleh dari Needhan et all (1954).
Terminologi

Keterangan
Normal Value
M
F

===============================================================
=================================
Tidal volume(VT)
(230)

Volume udara inspirasi & expiirasi setiap kali respirasi


660
550

(160)

Inspiratory reserve volume(I R V) Maks. udara yg dpt diinspirasi ssdah inspirasi normal

2240

1480

Expiratory reserve volume(ERV) Maks. udara yg dpt diexpirasi ssdah expirasi normal
1240
730
(410)
(300)
Residual volume(RV)
(520)

(380)

Vital capacity (VC)


.
(750)

Volume udara yg tinggal diparu ssdah expirasi maks.


2100
1570

Vol. udara maks. yg dpt dexpirasi ssdh inspirasi maks


4130
2760

(540)

Total lung capacity (TLC)


(830)
(620)
Inspiratory capacity (IC)

Total udara dalam paru sesudah inspirasi maks.


6230
4330
Vol. udara maks. yg dpt diinspirasi ssdah expirasi N.
2900
2030

Functional Residual Capacity (FRC) Volume udara yg tinggal diparu sesudah expirasi N
3330
2300
(680)

(490)

Yang dimaksud dengan capacity adalah jumlah dua atau lebih volume paru.
Tetapi yang paling penting dalam menilai faal paru adalah vital capacity,residual volume
dan functional residual capacity.
Vital Capacity:
Merupakan jumlah dari tidal volume

500 cc

Inspiratory reserve volume

2500 cc

Expiratory reserve volume

1000 cc
+

4000 cc
Penetapan VC secara sederhana dapat diukur dengan spirometer. Dapat dengan
menghitung tinggi(cm) x 25 atau berat badan (kg)x 70.
Nilai normal VC

Atlit

Pria

Rata-Rata VC dlm cc/m2 BSA 2800


Rata-Rata VC dlm cc/m tinggi 2900

Wanita
2600

2500

2100
2000

Penetapan VC tak bisa dianggap abnormal bila variasi tak lebih 20% dari angka diatas,
oleh karena VC tidak selalu konstant walau pada orang yang sehat dan selalu dipengaruhi
oleh faktor umur, latihan fisik, perubahan berat dan tinggi badan, sex dan lain-lain. Pada
orang yang sama dari waktu kewaktu bisa berbeda oleh sebab itu penetapannya tak cukup
sekali saja tapi sebaiknya berulang, VC bisa menurun dalam berbagai keadaan :
1.Perubahan kekuatan otot :
Jelasnya setiap obat yang mendepresi aktivitas mekanisma pernafasan apakah
diotak,saraf,maupun serabut otot bisa menurunkan VC. Sama halnya lesi pada otak
seperti tumor otak, tekanan intracranial(ICP) meninggi, lesi pada saraf seperti
poliomyelitis atau polineuritis, lesi pada neuro muscular junction seperti myasthenia
gravis dapat menurunkan VC.
2.Penyakit paru:
Yang paling sering chronic bronchitis, pulmonary fibrosis, asthma bronchiale lobar
pneumonia.
3.Space occupying lesion pada thorax :
Extra pleural tumor, pleural/pericardial effusion, kyposcoliosis, pneumothorax dan
neurofibromatosis dan lain-lain.
4.Tumor abdomen :
Yang menghalangi turunnya diaphragma kecuali uterus yang membesar pada orang hamil
walaupun mendorong diaphragma keatas namun VC tak turun malah naik 10% diatas
normal karena rangka thorax membesar transversal dan antroposterior serta sudut

subcostal sangat miring waktu hamil.


5.Abdominal pain :
Nyeri post operatif mengenai otot abdomen akan menurunkan VC (70-75)% bila operasi
abdomen bagian atas dan 50% bila andomen bagian bawah menurut Churchill 1925,
angka ini disetujui oleh Simpson s Cs yang mengusulkan teknik continous thoracic
epidural untuk mengurangi nyeri post operatif sekaligus mampu memperbaiki VC. Tetapi
yang menarik sangat sedikit penderita yang kembali VC nya seperti preoperatif. Ini
mungkin epidural sendiri dapat membatasi aktivitas respirasi namun Moir 1965 pada
penelitian yang sama menyimpulkan bahwa tidak dijumpai derajat paresis yang bermakna
disebabkan epidural block.
6. Abdominal splinting :
Pengikatan abdomen yang ketat akan membatasi respirasi, tetapi elastic strapping dalam
vertical plane membantu kebebasan yang luas bagi respirasi post operatif.
7. Perubahan posture :
Pada pasien sadar akan terjadi perubahan VC yang besar disebabkan perubahan volume
darah diparu. Dengan demikian VC akan lebih besar waktu berdiri dibandingkan posisi
duduk atau telentang. Selisih VC duduk dan berbaring kira-kiar 300 cc, dengan pooling
darah dikaki akan mampu menambah VC 1/4-1/2 liter.

Residual volume jumlah udara yang masih ada diparu sesudah expirasi maksimal. FRC
jumlah udara yang ada diparu sesudah expirasi normal, pada saat yang sama elastic coil
paru seimbang dengan elastic recoil dinding dada. Sayangnya tak ada satupun cara
mengukur RV dan FRC secara langsung, cara tak langsung bisa dengan spirometer
dengan mengusir kadar N2 yang keluar dari paru pasien. Sesudah expirasi maksimal
(kalau yang diukur RV) dan sesudah expirasi maksimal kalau yang diukur FRC, pasien
disuruh menghirup O2 dari sumbernya kemudian mengexpirasikan kedalam spirometer
yang telah bebas N2.
Setelah beberapa menit hampir seluruh N2 dalam paru diusir keluar dari paru. Pada orang
dewasa yang sehat ini hanya dicapai dalam 2 menit, tetapi pada pasien empysema yang
berat paling cepat dibutuhkan waktu 7-20 menit. Pada permulaan test semua N2 ada
dalam paru tapi pada akhir test semuanya masuk respirator dan konsentrasi N2 dalam

spirometer dapat diukur. Volume total gas dalam spirometer diketahui maka total volume
N2 dalam gas campuran juga dapat diketahui, maka total volume N2 sama dengan RV
atau FRC.
Residual volume yang meningkat menunjukan volume paru lebih besar dari biasa dan tak
dapat mengosongkan isinya secukupnya, biasanya bersamaan dengan emphysema paru
tetapi bisa juga terjadi temporer tanpa perubahan struktur paru. Residual bisa juga
meningkat bila ada obstruksi jalan nafas seperti pada asthma bronchiale atau overinflasi
sesudah thoracotomy. Pada emphysema yang berat sebagian udara akan terkurung
sempurna dalam alveoli dan tak bisa berkontak dengan udara respirasi.
Menurut Folger 1971, FRC lebih kurang 30cc/kg BB,menurun 1/3 bagian pada posisi
telentang dibandingkan posisi tegak ini disebabkan lebih tingginya diphragma dan
beratnya viscera. Selama anestesi terutama waktu induksi apalagi pada orang tua terjadi
penurunan FRC 16% sebabnya tak jelas.

Setiap kenaikan FRC biasanya diduga adanya perubahan emphysematous dalam paru.
Pada neonatus FRC lebih mendekati RV dibandingkan dengan dewasa mungkin ada
kecenderungan kollapsnya alveoli setiap exhalasi pada neonatus. FRC menurun jelas
pada post laparatomi oleh sebab abdominal distension atau spasmo otot abdomen yang
dapat menghalangi expansi paru.
Faktor yang paling dominan menurunkan FRC adalah perubahan mekanik dinding thorax
umpama dinding dada yang kaku. Bila FRC/TLC dan RV/TLC meninggi mungkin ada
gas trapping. Kalau FRC menurun uptake gas anestesi juga menurun, hilangnya juga
lambat terutama zat yang high soluble.
Thoracic Gas Volume
Menentukan total volume udara dalam thorax berdasarkan perubahan tekanan udara

didalam dan diluar thorax bila airway pasien ditutup tiba-tiba,biasanya pada akhir
expirasi. Metode ini dikombinasi dengan metode dilusi N2 mudah menentukan jumlah
daerah nonventilated dari paru pasien tertentu. Pada emphysema bisa dijumpai 1-3 liter
udara terkurung dalam alveoli.
Closing Volume
Volume udara dalam paru selama expirasi ketika small airway menutup. Kita ketahui
dalam keadaan normal/sadar selama inspirasi tidak dijumpai penutupan airway ,semua
daerah paru terbuka, penutupan airway terjadi terutama kebanyakan pada dependent
region dari paru dimana selama expirasi tekanan pleural lebih besar dari tekanan airway.
Dengan bertambahnya umur dimana terjadi penurunan elastic recoil secara progressif
akan lebih besar tendency penutupan airway berarti meningkatnya closing volume (CV).
Normal closing volume umur 20 tahun kira-kia 1,5 liter dibawah FRC dan umur 65 thn
sama dengan FRC saat posisi berdiri. Bila FRC lebih kecil dari CV menunjukkan adanya
regional hipoventilasi pada dependent area dari paru, shunt atau peninggian P(A-a) O2.
CV meninggi pada perokok berat walaupun test paru lain abnormal. Penutupan airway
sangat mungkin oleh sebab hilangnya elastisitas jaringan paru mengakibatkan air trapping
dan perubahan ventilasi/perfusi. Ini mungkin penyebab hubungan terbalik yang normal
diantara umur dan PaO2. CV meningkat dengan bertambahnya umur, obesitas, posisi
berbaring, anestesi apakah dengan spontan atau kontrol ventilasi. Penggunaan PEEP
tampaknya sangat menolong pada situasi meningkatnya CV agar FRC bisa ditingkatkan
diatas CV.
Closing capacity = Closing + Residual volume

Bila closing capacity(CC) lebih besar dari FRC maka penutupan airway akan terjadi
selama pernafasan tidak meningkatkan AaDO2. Pada bayi atau anak dibawah 6 tahun,
CC> FRC pada dependent area dari paru oleh karena gravity dan diluar thorax bila

airway pasien ditutup tiba-tiba biasanya pada akhir expirasi. Methode pemakaian
morphin dan derivatnya sebagai penghilang nyeri post operataif cenderung mendepresi
respirasi sehingga VC menurun. Spesific nerve block mungkin efektif.
2.1.6. COMPLIANCE (distensibility) (CL):
Paru-paru mempunyai sifat visco elastis:
1. Compliance (sifat mengembang dari paru paru).
2. Elastance (elastic resistance), rentan terhadap pengembangan paru pengukurannya
pada saat aliran udaraberhenti(expirasi).
3. Vicance (rintangan sepanjang jalan nafas).
Dahulu digunakan istilah elastisitas paru menurun, saat ini tak dipakai lagi, seharusnya
compliance menurun dan elastance meninggi.
Yang dimaksud dengan compliance sebenarnya hubungan antara tekanan dan perubahan
volume paru. Setiap kenaikan tekanan 1 cm H2O berapa liter pertambahan volume paru
disebut compliance paru. Yang dinyatakan dalam L/cm H2O, bervariasi untuk tiap orang
dan tiap keadaan pada orang yang sama,pada orang muda nilai normalnya =0,2 L/cm
H2O artinya tiap kenaikan tekanan 1 cm H2O akan bertambah volume paru sebesar 200
cc. Compliance dinding thorax (Ccw) (Chest wall compliance) besarnya juga 0,2 L/ cm
H2O.

Jadi diperlukan tekanan 1 cm H2O untuk mendorong 100 cc udara kedalam paru. Static
compliance sehubungan dengan elastic resistance diukur waktu menahan nafas tanpa
memandang faktor flow sedangkan dinamic compliance (non elastic resistance) diukur
selama bernafas spontan.
Non elastic resistance terdiri dari 2 komponen utama:
1.Viscous resistance terdiri dari paru dan dinding dada.(20 %)
2.Airflow resistance tergantung terutama pada airway, pattern dan flowrate.(70-80%)
Oleh sebab compliance punya hubungan erat dengan FRC dinyatakan sebagai spesific
compliance.

Spesific compliance = Compliance ( L/cm H2O) : Volume paru pada FRC.


Normal = 0,5 L/cm H2O. Ratio ini sama untuk dewasa, anak dan neonatus.
Compliance paru sangat tergantung pada elastisitas paru dan volume paru sebelum
diregang. Selama anestesi compliance paru menurun
mekanisme yang pasti belum jelas tetapi ada beberapa faktor yang mungkin menyokong
keadaan ini, antara lain :
1.Posture
Kebanyakan pasien yang di anestesi posisinya telentang yang dapat menurunkan volume
paru dan akibatnya compliance paru menurun. Pada akhir expirasi diaphragma agak
flaccid dan posisinya ditentukan oleh perbedaan tekanan antara rongga abdomen dan
pleura. Pada posisi head down, tengkurap, atau posisi gall blader/kidney akan
memperhebat penurunan lebih lanjut compliance thorax.
2. Ventilatory pattern :
Respirasi yang dangkal biarpun teratur akan menurunkan compliance paru secara
progresif baik pada manusia maupun pada binatang. Ini bisa dikembalikan ke normal
dengan over inflasi.
3. Perubahan pulmonary blood flow:
Shunting dapat menurunkan compliance paru.
4. Distribusi gas inspirasi :
Perubahan pattern dari distribusi gas inspirasi atau artficial ventilasi dapat berpengaruh.
The Work of breathing adalah kerja untuk mengatasi elastic recoil paru dan frictional
resistance dari gas flow melalui airway, atau tekanan total yang diperlukan untuk
memaksa sejumlah udara masuk kedalam paru, nilai normal = 0,5 kgm/menit.
Ini bisa meningkat 5-10 kali bila ada penyakit paru dan jantung. Diperkirakan konsumsi
O2 untuk work of breathing 2% dari total konsumsi O2 seluruh tubuh. Pada respiratory
distress syndrome konsumsi O2 bisa meningkat lebih dari 30% dari total konsumsi O2
tubuh. Pada waktu istirahat metabolic cost of breathing normal 0,5-1 ml O2/liter ventilasi.

Dengan hyperventilasi bisa meningkatkan sampai 3-4 cc O2 / liter ventilasi.


2.1.7. Dynamic test of ventilation
Idealnya semua anesthesiologist pada preoperatif melakukan test faal paru untuk semua
pasien yang diduga akan berkembang komplikasi pulmonal. Tetapi tak ada satu test pun
yang ideal begitupun untuk lebih cermat lebih baik dilakukan penggabungan berbagai
test.
1. MBC (Maximum breathing capacity atau MBV(Maximum breathing ventilation):
Volume udara maksimal yang dinafaskan pasien dalam satu menit. Test ini diperkenalkan
oleh Hermansen 1933 direncanakan untuk mengukur kecepatan dan effisiensi pengisian
dan pengosongan paru selama pernafasan maksimum dalam 1 menit. Biasanya diukur
dalam 15 detik daan hasilnya dinyatakan flow permenit. Dengan demikian dynamic test
bertentangan dengan static test pada penetapan vital capacity.
Dengan bertambahnya umur akan diikuti penurunan MBC dan pasien empysema
pulmonum penurunannya sangat menyolok. Demikian juga pada bronchospasm atau
obstruksi bronchus. Test ini juga digunakan untuk mentest efektifitas bronchodilator pada
terapi bronchokonstriksi. Dan menurut Courmand dan Richards 1941 sesudah dilakukan
reseksi iga ditemui turunnya MBC sebesar 15%. Test ini sangat melelahkan kurang cocok
pada pasien kondisinya jelek. Nilai normal berkisar antara 100-200 L/menit tergantung
cara pengukurannya.
MBC sebanding dengan 35x forced expiratory volume pada detik pertama (FEV 1).
Breathing reserve = MBC Minute volume
Syarat timbulnya dyspnoe bila ratio breathing reserve (Breathing reserve/MBC)<6570%,sebenarnya dyspnoe tak tergantung oksigen dan pH atau lainnya.
2. Forced expiratory volume (FEV)
Volume udara yang dikeluarkan sekuat-kuatnya dalam detik pertama sesudah inspirasi
maximum.
Nilai ini dinyatakan sebagai ratio FEV/VC.

Bisa dibedakan apakah kelainan paru berupa obstruktif atau restriktif.(kapasitas ventilasi
yang tidak sempurna), pasien diminta inspirasi semaksimal mungkin kemudian expirasi
sekuat dan secepat mungkin yang ia mampu kedalam spirometer dan jumlah total gas
yang diexpirasikan setelah waktu tertentu dicatat. Interval waktu pengukuran jumlah
udara yang diexpirasikan 0, 5, 1 ,2 ,3 detik pertama, tetapi biasanya pada detik pertama
(FEV 1,0) volume ini disebut sebagai presentase dari Forced Vital Capacity (FVC).
Pada orang normal 83% VC seharusnya diexpirasikan pada detik pertama, batas minimal
normal kira-kira 70%, sedangkan pada bronchitis chronica 50%. Dengan vitaloparagraph
bisa diukur sekaligus VC dan FEV 1,0. Bila tak ada resistensi terhadap airflow atau
gerakan dada yang terbatas FEV 1,0 akan turun seimbang dengan penurunan VC.
Pada penyakit paru restrictif seperti pulmonary fibrosis semua lung volume menurun.
Walaupun flow mungkin menurun tetapi sebanding dengan penurunan lung volume
sehingga ratio FEV 1.0/FVC tetap normal.
3. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) :
Sesudah inspirasi maksimum pasien disuruh expirasi sekuat mungkin dan mximum flow
rate dari udara diukur. Pengukuran bisa dibuat dengan pneumotachograph atau alat
khusus seperti Wright flow meter. Batas normal PEFR 450-700 L/menit pada pria dewasa
dan 400-500 L permenit pada wanita dewasa bervariasi menurut umur dan berat badan.
PEFR biasanya 4-5x MBC. Nilai rendah FEV 1,0 dan PEFR biasanya disebabkan
naiknya resistensi air flow dalam conducting airway umpama bronchospasm, asthma
bronchiale atau bronchitis chronica. Beberapa pasien kelihatan VC menurun walau FEV
1.0 dan PEFR normal. Bila alat tak tersedia untuk mengukur beratnya lesi obstruktif kita
dapat lakukan test sederhana dimana pasien diminta bernafas dalam kemudian
mengexpirasi sekuat mungkin melalui mulutnya, bila selesai paling lama 3 detik bisa
dikatakan normal.
4. Bronchospirometry
Fungsi masing-masing paru dapat diteliti secara terpisah dengan
bronchospirometri,keuntungan,alat ini dibandingkan test lain dapat mengukur ventilasi

dan oksigen uptake pada saat sama.


Pada orang normal diharapkan 55% dari ventilasi dan konsumsi O2 dilakukan oleh paru
kanan dan 45% oleh paru kiri. Test ini sangat berguna bila dipakai untuk menetapkan
fungsi salah satu paru kalau pneumectomy atau lobectomy dari sisi yang bertentangan
dipertimbangkan.
5. Jalan udara inspirasi didistrubsikan ke alveoli mungkin dipengaruhi perubahan lokal
dalam resistensi airway atau elastisitas paru.
Metode paling sederhana mendeteksi distribusi ventilasi abnormal dengan mempelajari
eliminasi N2 dari alveoli bila bernafas dengan 100% O2.
Pasien diminta menghirup O2 100% selama 7 menit, pada akhir waktu ini konsentrasi
N2 dalam udara alveolar diukur dengan nitrogen meter, bila konsentrasi N2 > 2%
dianggap ada distribusi abnormal dari paru. Harus diingat rate of N2 yang dikeluarkan
dapat juga dipengaruhi oleh tidal dan minute volume dan FRC
6. Match test :
Berhasil atau tidaknya menghembus kertas tipis yang berjarak 15 cm dari mulut pasien
yang membuka lebar, dengan syarat bibir tak boleh ikut bersama.
Bila pasien bisa melakukannya dianggap ventilasinya cukup. Terutama untuk pasien yang
dipersiapkan untuk thoracotomy atau laparatomy.
Bila gagal melakukannya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai