2,3
ABSTRAK
Bebas pasung merupakan program yang diselenggarakan untuk memperjuangkan hak-hak orang dengan
gangguan jiwa, diantaranya adalah hak untuk dapat hidup secara bebas dan selayaknya manusia. Akan tetapi,
orang dengan gangguan jiwa yang dipengaruhi oleh tanda dan gejala gangguan yang dialaminya, berisiko untuk
berbuat kekerasan yang berpotensi membahayakan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga berhak untuk
dijamin keselamatannya dari ancaman tindakan kekerasan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu tinjauan
bioetika terhadap kasus bebas pasung yang saling bersinggungan kepentingan tersebut.
Hal.20
orang dengan gangguan jiwa berat pernah
dipasung (http:///www.depkes.go.id/).
Ditinjau dari aspek hak asasi manusia,
pemasungan termasuk bentuk pelanggaran
terhadap martabat sebagai manusia karena
membatasi kebebasan dan kemerdekaannya.
Pemasungan
juga
merupakan
bentuk
pengabaian, penelantaran, pengucilan terhadap
manusia
yang
masih
hidup
sehingga
mengakibatkan
penderitaan.
Sebagaimana
disebutkan dalam deklarasi WHO bahwa orang
dengan gangguan jiwa pun masih berhak untuk
mendapatkan kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan termasuk kemerdekaan. Secara
hukum nasional, penderita dengan gangguan
jiwa selayaknya tidak dipasung melainkan
berhak mendapatkan perawatan rehabilitasi atau
penyembuhan yang pembiayaannya dibantu oleh
negara. Hal ini sesuai dengan undang-undang no
36 tahun 2009 tentang kesehatan. Juga tertuang
dalam UUD Negara Indonesia pasal 28G ayat 2
yang berbunyi Setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara
lain.
Ketentuan pasal 28G ayat 2 menyatakan
pemasungan merupakan salah satu bentuk
penyiksaan karena orang yang dipasung
dirampas kebebasannya dan merasakan sakit
baik fisik maupun psikis. Pasal 28 ayat 1
menyatakan hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.
Pada tahun 2011, Menteri Kesehatan
Republik Indonesia mencanangkan program
Indonesia Bebas Pasung pada tahun 2014.
Namun, karena beberapa kendala, program ini
direvisi menjadi Program Indonesia Bebas
Pasung 2019. Program ini tidak berhenti hingga
penderita dibebaskan, tetapi membutuhkan
pendampingan yang terus menerus sampai
pasien benar-benar sembuh dan bisa bersosialisi
dengan orang lain secara normal. Ketiadaan
akses yang berkesinambungan antara rumah
sakit dan komunitas menyebabkan keluarga
Hal.21
lain nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai etika,
nilai-nilai
keadilan,
serta
nilai-nilai
profesionalisme petugas kesehatan.
Bapak T adalah seorang manusia yang
perlu dihargai nilai-nilai kemanusiaannya.
Walaupun bapak T adalah penderita gangguan
jiwa, bapak T juga memiliki hak untuk
menentukan nasibnya sendiri, termasuk menolak
pengobatan. Akan tetapi, bapak T tidak merasa
dirinya sakit. Walaupun gejala sudah membaik
dan sudah dipulangkan dari rumah sakit, namun
bapak T masih belum memiliki tilikan diri yang
sepenuhnya. Artinya sejauhmana pasien
menyadari dirinya sakit dan berbuat sesuatu
untuk melakukan pengobatan. Seharusnya ketika
hendak dipulangkan dari rumah sakit, pasien
sudah memenuhi kriteria-kriteria sebagai
berikut:
1. Tidak membahayakan diri dan orang lain
2. Paham obat yang diberikan dokter dan
bersedia untuk kontrol secara rutin
3. Mampu bersosialisasi dengan orang lain
4. Mampu mengisi waktu luang
5. Mampu mengendalikan diri
6. Aktivitas dasar harian mampu dikerjakan
secara mandiri
7. Mampu menunjukkan kemampuan diri.
Rumah sakit tentunya memiliki standar
operasional prosedur untuk memulangkan
pasiennya. Permasalahannya, seringkali dibatasi
oleh pembiayaan asuransi yang menentukan
bahwa maksimal pasien rawat inap adalah 30
hari. Seharusnya ada mekanisme khusus/
perkecualian untuk pasien yang memiliki
riwayat tindakan berbahaya untuk mendapatkan
fasilitas
pelayanan
yang
lebih
lama
dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki
riwayat tindakan kekerasan sebelumnya. Untuk
menilai besarnya potensi risiko berbuat
kekerasan dimasyarakat dapat menggunakan
instrumen yang sudah divalidasi di rumah sakit.
Ditinjau dari aspek yuridis, orang seperti
bapak T tidak mempunyai kapasitas untuk
mengambil keputusan karena gangguan mental
dan gangguan tilikan diri. Pasien yang
berkompeten menurut peraturan perundangundangan di Indonesia adalah pasien dewasa
atau bukan anak atau telah/ pernah menikah,
tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu
berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami
retardasi mental atau penyakit mental sehingga
Hal.22
memberdayakan fasilitas home care yaitu
pemberian obat injeksi jangka panjang yang
diberikan oleh petugas kesehatan tiap bulan
sekali. Dalam hal ini manfaatnya lebih besar
dibandingkan dengan potensi bahaya yang
mungkin terjadi.
Prinsip
berikutnya
adalah
nilai
nonmaleficence. Petugas dalam memberikan
intervensi tidak boleh merugikan pasien. Dalam
artian obat-obat diberikan memang sesuai
dengan indikasi dan efek samping yang wajar.
Prinsip selanjutnya adalah justice. Inti
dari prinsip keadilan adalah berlaku adil pada
setiap pasien. Jadi walaupun bapak T penderita
gangguan jiwa, bapak T wajib diperlakukan
sama seperti pasien pasien yang lainnya. Petugas
kesehatan dan keluarga tetap harus menghargai
hak hukum dari pasien. Bapak T sebagai
manusia berhak mendapat perlindungan hukum.
Ditinjau dari konsep martabat manusia
(human dignity) sering digunakan sebagai
argumen untuk menentang pemasungan.
Setidaknya ada dua konsep martabat yaitu:
1. Martabat inherent atau yang melekat yang
berarti kualitas moral universal yang
dimiliki setiap manusia dan tidak dapat
dicabut.
2. Martabat individualistis yaitu martabat yang
terkait dengan tujuan pribadi dan keadaan
sosial yang dapat ditingkatkan.
Pemasungan secara etik memang melanggar
martabat manusia baik martabat inherent
maupun martabat individual. Hal ini dikarenakan
pemasungan merupakan hambatan dalam
intergritas kebebasan seseorang. Akan tetapi,
bila dimasukkan ke panti rehabilitasi selama
dilakukan oleh staf-staf yang berkompeten dan
tetap diperlakukan dengan hormat, maka hal ini
tidak dapat dikatakan sebagai bentuk
pelanggaran martabat, tetapi justru untuk
mempertahankan martabatnya dari rasa malu
karena dikucilkan masyarakat.
Jadi indikasi untuk memasukkan ke panti
rehabilitasi pada kasus bapak T di atas adalah:
1. Untuk mencegah bahaya yang akan terjadi
kepada pasien atau orang lain
2. Untuk mencegah gangguan serius dari
program pengobatan atau kerusakan yang
signifikan pada lingkungan fisik
4.
ISSN: 2502-2512
Hal.23
hukum. Pada ilustrasi kasus di atas dapat dibuat
ethical statement berikut ini:
Apabila ada orang dengan gangguan
jiwa yang mengancam keselamatan diri dan
lingkungannya dan dibuktikan dengan hasil
pemeriksaan medis yang adekuat, serta menolak
pengobatan, maka dapat dilakukan tindakan
pemindahan atas permintaan keluarga dan
masyarakat untuk sementara waktu dan
menjalani pengobatan hingga terjadi perbaikan
gejala dan perbaikan insight sepenuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Yankouski,B. Masserelli, T. Lee, S. 2012. Ethical
Issues Regarding the Use of Restraint
and Seclusion in Schools. The School
Psychologist Journal. America.
Pui,
C.