Selain dengan anamnesis umum yang sering dan harus dilakukan kepada setiap pasien yang
datang, maka dengan kasus-kasus penyakit tertentu dibutuhkan anamnesis tambahan yang
berguna untuk memperjelas keadaan pasien tersebut. Pada kasus penyakit mata, maka
dibutuhkan beberapa anamnesis tambahan, yang merupakan keluhan-keluhan yang sering
terjadi pada pasien dengan kelainan mata, seperti :2,3
kedua mata?
Apakah ada tampakan halo pada sumber cahaya?
Apakah ada astenopia atau kelelahan mata saat membaca?
Apakah ada buta dengan sakit pada mata?
Apakah ada buta senja atau malam?
Untuk melakukan pendiagnosaan terhadap suatu jenis penyakit maka dibutuhkan riwayat atau
keadaan pasien secara rinci, untuk itu dalam melakukan anamnesis terhadap suatu gejala perlu
ditanyakan
dari
awal
mula
keluhan,
lamanya,
progresivitas,
faktor
yang
melakukan pemeriksaan, selain itu juga dibutuhkan ketelitian dalam memeriksa keseluruhan
berbagai tubuh pasien, sambil berusaha menanyakan keadaan pasien, agar tampak diketahui
respon dari pasien.
Hal-hal yang perlu diperhatikan diantaranya :
Palpebra, dilihat apakah ada edema, warna kemerahan, lesi, arah bulu mata, dan
kemampuan palpebra untuk menutup sempurna
Konjungtiva dan sclera, dilihat warnanya dan vaskularisasinya, cari setiap nodulus
atau pembengkakan. Pada konjungtiva tarsus superior dicari kelainan seperti folikel,
membran, papil, papil raksasa, pseudomembran, sikatriks, dan simblefaron. Pada
konjungtiva tarsus inferior dicari kelainan seperti folikel, papil, sikatriks, hordeolum,
kalazion. Pada konjungtiva bulbi dilihat ada tidaknya sekret. Bila ada amati warna
sekret, kejernihan, dan volume sekret. Kemudian cari ada tidaknya injeksi
konjungtival, siliar, atau episklera, perdarahan subkonjungtiva, flikten, simblefaron,
bercak degenerasi, pinguekula, pterigium, dan pseudopterigium.
Kornea, lensa, dan pupil, dengan cahaya yang dipancarkan dari temporal dilihat
apakah ada kekeruhan (opasitas) pada lensa melalui pupil, apakah ada bayangan
berbentuk bulan sabit pada sisi medial, kemudian dilihat ukuran, bentuk dan
kesimetrisan pupil.
Pada konjungtivitis, hasil pemeriksaan fisik bisaanya ditemukan visus yang normal, hiperemi
konjungtiva bulbi, lakrimasi, eksudat, pseudoptosis akibat kelopak mata yang bengkak,
kemosis, hipertrofi papil, folikel, membran, psudomembran, granulasi, flikten dan adenopati
preaurikular.3
daerah fundus okuli 8 kali diameter papil, danpat dilihat sampai daerah ora serata,
karena dilihat dengan 2 mata maka terdapat efek stereoskopik dan dengan perbesaran
2-4 kali. Pemeriksaan dengan oftalmoskop ini dilakukan dalam kamar gelap.
4. Kamplimeter dan Perimeter
Kedua alat ini merupakan alat untuk pengukur dan pemetaan lapang pandang terutama
pada daerah sentral dan para sentral. Lapang pandang yang dimaksud ini merupakan
bagian ruangan yang dapat terlihat oleh satu mata dalam sikap diam dan memandang
lurus ke depan. Pemeriksaan lapang pandang ini bertujuan untuk mengetahui suatu
jenis penyakit atau mengetahui progresivitas suatu penyakit. Hasil pemeriksaan lapang
pandangan normal yakni 90 derajat temporal, 60 derajat superior, 50 derajat nasal, 70
derajat inferior
5. Fluoresein
Fluoresein merupakan suatu bahan yang berwarna jingga merah yang bila disinari oleh
gelombang biru akan menghasilkan gelombang hijau. Bahan ini dipakai untuk melihat
ada tidaknya defek epitel kornea, fistel kornea atau dengan disuntikan intravena unutk
dibuat foto pembuluh darah retina
6. Uji Anel
Dominique Anel adalah ahli bedah perancis 1679-1730, yang melakukan pemeriksaan
fungsi ekresi lakrimal.1
7. Eksoftalmometer Hertel
Eksoftalmometri merupakan suatu tindapakn mengukur penonjolan bola mata dengan
sebuah alat yang bernama Hertel. Dengan alat ini maka dapat diketahui derajat
penonjolan bola mata. Nilai penonjolan mata normal 12-20 mm dan beda penonjolan
dari 2 mm antara kedua mata dinyatakan sebagai mata menonjol patologis atau
eksoftalmos.
8. Uji Ishihara atau buta warna3,4
Uji ini dilakukan dengan menggunakan kartu ishihara yang merupakan kartu dengan
titik-titik berwarna yang kecerahannya dan bayangannya membentuk angka, huruf
atau lainnya.
9. Amsler Grid, uji kisi-kisi Amsler
Alat ini merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengetahui fungsi penglihatan
sentral makula.
10. Papan Placido
Papan placido merupakan suatu alat yang digunakan untuk melihat keadaan
permukaan kornea. Papan placido ini merupakan sebuah papan yang mempunyai
gambaran garis hitam yang melingkar konsentris dengan lobang kecil yang terdapat
pada bagian sentralnya.
11. Gonioskopi
Lensa gonioskopi merupakan suatu alat yang digunakan untuk melihat keadaan sudut
bilik mata yang dapat menimbulkan glaukoma. Pemeriksaan ini selalu dilakukan pada
setiap kasus kelainan mata yang dicurigai terjadinya glaukoma.
12. Uji Ultrasonografi4
Ultrasonografi merupakan tindakan pemeriksaan mata yang dipakai untuk melihat
struktur abnormal yang terjadi pada mata dengan kepadatan kekeruhan media dimana
tidak dimungkinkan untuk melihatnya dengan mata secara langsung. Cara mengetahui
hasilnya adalah dengan melihat adanya gambaran ultrasonigrafi yang telah terekam
dengan adanya pantulan getaran yang berbeda-beda. Proses kerja alat ini adalah
dengan melihat dan memotret jaringan dalam mata dengan menggunakan gelombang
yang tidak dapat terdengar, pemeriksaan ini sangat penting untuk melihat susunan
jaringan intraokuler. USG mata ini umumnya dilakukan pada pasien yang terduga
menderita katarak.
13. Elektroretinografi
Elektroretinografi merupakan suatu pemeriksaan terhadap retina dengan melihat hasil
rekaman gelombang listrik retina yang terjadi pada perubahan sinar. ERG ini berguna
untuk menilai kerusakan luas pada retina
14. Visual evoked response
Rangsangan pada mata akan menimbulkan rangsangan pada jalur penglihatan hingga
korteks oksipital. Pada pemeriksaan ini akan dilihat perbedaan besar rangsangan pada
kedua mata, sehingga akan diketahui adanya gangguan rangsangan atau penglihatan
pada seseorang.
15. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan sekret mata untuk
mengetahui penyebab sekret, yaitu dengan pewarnaan Gram untuk mengidentifikasi
organism bakteri atau pulasan Giemsa untuk menetapkan jenis dan morfologi sel.
Working Diagnosis
Hordeolum adalah infeksi kelenjar pada palpebra. Bila kelenjar Meibom yang terkena, timbul
pembengkakan besar yang disebut hordeolum interna. Sedangkan hordeolum eksterna yang
lebih kecil dan lebih superfisial adalah infeksi kelenjar Zeiss atau Moll.5
Differential Diagnosis
Kalazion
Gejalanya adalah adanya benjolan pada kelopak, tidak hiperemi, tidak ada nyeritekan,
dan adanya pseudoptosis. Kelenjar preaurikel tidak membesar dan tidak ada
tanda&tanda radang akut. Pasien biasanya datang dengan riwayat singkat adanya
keluhan pada palpebra baru&baru ini, diikuti dengan peradangan akut misalnya
merah, pembengkakan, perlunakan. Seringkali terdapat riwayat keluhan yang sama
pada waktu yang lampau, karena kalazion memiliki kecenderungan kambuh.
Patofisiologi
Hordeolum externum timbul dari blokade dan infeksi dari kelenjar Zeiss atau Moll.
Hordeolum internum timbul dari infeksi pada kelenjar Meibom yang terletak di dalam tarsus.
Obstruksi dari kelenjar-kelenjar ini memberikan reaksi pada tarsus dan jaringan sekitarnya.
Kedua tipe hordeolum dapat timbul dari komplikasi blefaritis.Staphylococcus aureus adalah
agent infeksi pada 90-95% kasus hordeolum 2,3
Gejala Klinis
Gejala 2,3
-
Pembengkakan
Tanda 7
-
Eritema
Edema
Faktor Resiko
1. Penyakit kronik.
2. Kesehatan atau daya tahan tubuh yang buruk.
3. Peradangan kelopak mata kronik, seperti Blefaritis.
4. Diabetes
Pembedahan
Bila dengan pengobatan tidak berespon dengan baik, maka prosedur pembedahan
mungkin diperlukan untuk membuat drainase pada hordeolum. 6
Pada insisi hordeolum terlebih dahulu diberikan anestesi topikal dengan pantokain
tetes mata. Dilakukan anestesi filtrasi dengan prokain atau lidokain di daerah hordeolum dan
dilakukan insisi yang bila:
-
Hordeolum internum dibuat insisi pada daerah fluktuasi pus, tegak lurus pada margo
palpebra.
Daftar pustaka
1. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI,
2006. h.35-6, 109-48.
2. Bickley, Lynn S. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Edisi ke-8.
Jakarta: EGC, 2009. h.147-57.
3. Riordan-Eva P, Whitches JP. Vaughan & asbury oftalmologi umum. Edisi ke-17.
Jakarta: EGC, 2009. h.97-124.
4. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophthalmology: a systematic approach. Edisi ke-7.
China: Elsevier Saunders, 2011. h.25-9.
5. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2012. h.120-37
6. Utama H. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2008. h.28-9
10