Abstract
Filariasis is a contagious disease (elephantiasis) caused by filarial worms
that are transmitted by various species of mosquitoes. This disease is chronic, and if
not can the treatment can cause permanent disability in the form of enlargement of
the legs, arms and genitals, both women and men. Transmission of filarial worm
occurs through a mosquito with a periodicity subperiodik (anytime contained in
peripheral blood) or it could be nocturnal (microfilariae found in the blood stream
edges at night and mosquitoes biting night), found in Indonesia most of the others
have a periodicity nocturnal mosquito Culex , the Aedes mosquito and the mosquito
species Anopheles.
Key words : Filariasis, a mosquito culex, aedes, and anopheles
Abstrak
Filariasis merupakan penyakit menular (penyakit kaki gajah) yang disebabkan
oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.penyakit ini bersifat
menahun, Dan bila tidak dapat pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin, baik perempuan maupun laki-laki.
Penularan cacing filaria terjadi melalui nyamuk dengan periodisitas subperiodik
(kapan saja terdapat di darah tepi) atau bisa juga nokturna (mikrofilarianya ada di
aliran darah tepi pada malam hari dan nyamuk mengigit malam hari), ditemukan di
Indonesia sebagian besar lainnya memiliki periodisitas nokturnal dengan nyamuk
Culex, nyamuk Aedes dan pada jenis nyamuk Anopheles.
1
Keluhan utama
Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat
temuan-temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan
visual atau pandang (Inspeksi), periksa raba (Palpasi), periksa ketok (Perkusi) dan
pemeriksaan dengar dengan menggunakan stetoskop (Auskultasi). Pemeriksaan
palpasi didapati bahwa pasien mengalami nyeri tekan.2
Keadaan umum pasien dapat dibagi atas tampak sakit ringan atau sakit sedang
atau sakit berat; sesuai dengan kasus diketahui keadaan umum pasien tampak sakit
sedang.2
Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien
yang wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil; sesuai dengan kasus
diketahui bahwa pasien memiliki tingkat kesadaran yaitu kompos mentis, yaitu sadar
sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dimana pasien
dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.2
Tanda-tanda vital berupa suhu; tekanan darah; nadi yang terdiri dari frekuensi
nadi, irama denyut nadi, isi nadi, kualitas nadi, dan kualitas dinding arteri; frekuensi
pernapasan. Didalam kasus diketahui bahwa keterangan pasien mengenai suhu
37,2C; tekanan darah 110/70 mmHg; frekuensi pernapasan (RR) 20x/mnt; frekuensi
denyut nadi (HR) 90x/mnt.2
Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan yang dilakukan setelah
pemeriksaan fisik dilakukan demi mendapatkan suatu kepastian atau keakuratan dari
suatu penyakit tersebut.2
Diagnosis pasti hanya dapat diperoleh melalui pemeriksaan parasit dan hal ini
cukup sulit. Cacing dewasa yang hidup di pembuluh getah bening atau kelenjar getah
bening sulit dijangkau sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan parasit.
Mikrofilaria dapat di temukan di dalam darah, cairan hidrokel, atau kadang-kadang
cairan tubuh lainnya. Cairan-cairan tersebut dapat diperiksa secara mikroskopik.
yang rendah. Spesifitasnya juga tinggi yaitu 99-100%. Penggunaan AD12 juga
memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi yaitu 96-100% untuk sensivitasnya dan
100% untuk spesifitasnya.2
Pemeriksaan serologi antibodi juga telah digunakan untuk mendeteksi W.
bancrofti. Kesulitan yang sering timbul spesifitasnya yang rendah. Hal ini disebabkan
oleh adanya reaksi silang dengan parasit yang lain. Selain itu hasil ini juga tidak dapat
membedakan antara infeksi sekarang dan infeksi lampau. Saat ini telah dikembangkan
pemeriksaan serologi yang spesifik untuk W. bancrofti yaitu menggunakan antibodi
subklas IgG4. Namun sensivitasnya lebih rendah bila dibandingkan dengan
pemeriksaan secara parasitologi lain yaitu sekitar 90-95%.2
Pencitraan limfosintigrafi dengan radionuklir pada ekstremitas menunjukkan
abnormalitas sistem limfatik, baik pada mereka yang asimtomatik mikrofilaremik dan
mereka dengan manifestasi klinis. Kegunaan dari limfosintigrafi ini adalah:
1. Peragaan alur aliran limfe.
2. Evaluasi kecepatan aliran limfe, kecepatan absorbsi, dari tempat injeksi,
mengukur waktu akumulasi tracer di daerah kelenjar limfe.
3. Peragaan kelenjar limfe.
4. Peragaan pusat inflamasi dengan jaringan lunak dan kelenjar yang baru
terbentuk pada proses inflamasi menahun.
5. Menemukan kerusakan trauma saluran limfe.
6. Membedakan edema tungkai limfe, trauma mekanik tungkai bawah.
7. Mengikuti proses perubahan obliterasi limfe.2
Pada kasus filariasis limfatik, pemeriksaan USG Dopler skrotum pada pria dan
payudara pada wanita memperlihatkan adanya cacing dewasa yang bergerak aktif
didalam pembuluh getah bening yang mengalami dilatasi. Cacing dapat dilihat di
pembuluh getah bening corda spermatika hampir pada 80% pria. Cacing dewasa
hidup memberikan gambaran khas didalam pembuluh darah, dikenal dengan filaria
dance sign. Pemeriksaan PCR untuk mendeteksi DNA W. bancrofti sudah mulai
dikembangkan. Beberapa studi menyebutkan bahwa metode ini hampir sama bahkan
lebih tinggi sensitivitasnya dibanding metode parasitologik.2
Working Diagnosis (WD)
Working diagnosis adalah diagnosis utama yang terlihat dari tanda-tanda yang
ada pada pasien saat datang kepada dokter tersebut. Biasanya dilakukan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang untuk memperkuat WD.
Berdasarkan skenario diketahui bahwa pasien terkena limfadenitis filariasis.
6
Wuchereria bancrofti
Patofisiologi
Perubahan patologi utama disebabkan oleh kerusakan pembuluh getah bening
akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa, bukan oleh mikrofilaria.
Cacing dewasa hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar getah
bening dan menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan dinding
pembuluh. Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di dalam dan sekitar
pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama dengan proliferasi sel
endotel dan jaringan penunjang, menyebabkan berliku-likunya sistem limfatik dan
kerusakan atau inkompetensi katup pembuluh getah bening.6
Limfedema dan perubahan kronik akibat statis bersama dengan edema keras
terjadi pada kulit yang mendasarinya. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat
filariasi ini disebabkan oleh efek langsung cacing ini dan oleh respon imun pejamu
terhadap parasit. Respon imun ini dipercaya menyebabkan proses granulomatosa dan
proliferasi yang menyebabkan obstruksi total pembuluh getah bening. Diduga bahwa
pembuluh-pembuluh tersebut tetap paten selama cacing tetap bisa hidup dan bahwa
kematian cacing tersebut menyebabkan reaksi granulomatosa dan fibrosis. Dengan
demikian terjadilah obstruksi limfatik dan penutupan fungsi limfatik.6
Manifestasi dini penyakit ini adalah peradangan, sedangkan bila sudah lanjut
akan menimbulkan gejala obstruktif. Mikrofilaria yang tampak dalam darah pada
stadium akut akan menimbulkan peradangan yang nyata, seperti limfangitis,
limfadenitis, funikulitis, epididimitis dan orkitis. Adakalanya tidak menimbulkan
gejala sama sekali terutama bagi penduduk yang sejak kecil sudah berdiam di daerah
endemik. Gejala peradangan tersebut sering timbul setelah bekerja berat dan dapat
berlangsung antara beberapa hari hingga beberepa minggu (2-3 minggu). Gejala dari
limfadenitis adalah nyeri lokal, keras didaerah kelenjar limfe yang terkena dan
biasanya disertai demam, sakit kepala dan badan, muntah-muntah, lesu, dan tidak
nafsu makan. Stadium akut ini lambat laun akan beralih ke stadium menahun dengan
gejala-gejala hidrokel, kiluria, limfedema, dan elephantiasis.6
Karena filariasis bancrofti dapat berlangsung selama beberapa tahun, maka ia
dapat mempunyai perputaran klinis yang berbeda-beda. Reaksi pada manusia terhadap
infeksi filaria berbeda-beda tidak mungkin stadium ini dibatasi dengan pasti, sehingga
seringkali kita membaginya atas dasar akibat infeksi filaria yaitu:
1. Bentuk tanpa gejala.
2. Filariasis dengan peradangan.
10
dapat
timbul
ulkus.
Namun
ulkus
steril
dan
mengeluarkan
cairan
serosanguineous. Kadang disertai dengan riwayat trauma, terkena api, radiasi, gigitan
serangga, dan terkena bahan kimia.6
Serangan akut ini dapat terjadi selama satu bulan atau lebih. Pengobatan
dengan berbagai antibiotik tidak memberikan hasil. Bila keadaannya berat dapat
11
hal ini merupakan keadaan berat yang dapat mengakibatkan fibrosis interstisial kronik
dan gagal napas.6
Filariasis Dengan Penyumbatan
Dalam stadium menahun ini terjadi jaringan granulasi yang proliferatif serta
terbentuk varises saluran limfe yang luas. Kadar protein yang tinggi dalam saluran
limfe merangsang pembentukan jaringan ikat dan kolagen. Sedikit demi sedikit
setelah bertahun-tahun bagian yang membesar menjadi luas dan timbul elephantiasis
menahun.6
12
Penyumbatan duktus torasikus atau saluran limfe perut bagian tengah turut
mempengaruhi skrotum dan penis pada laki-laki dan bagian luar alat kelamin pada
wanita. Infeksi kelenjar inguinal dapat mempengaruhi tungkai dan bagian luar alat
kelamin. Elephantiasis pada umumnya mengenai tungkai serta alat kelamin dan
menyebakan perubahan bentuk yang luas.6
Limfedema pada filariasi bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai.
Limfedema tungkai ini dapat dibagi dalam 4 tingkat, yaitu:
Pengobatan Spesifik
13
Prognosis
Stadium mikrofilaria, limfangitis dan limfedema dapat disembuhkan dengan
pengobatan DEC, tetapi kasus lanjut seperti elefantiatis prognosisnya bisa jadi lebih
buruk.6 Pada kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari
daerah endemik.5 Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan dengan
pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama
dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.7
Dietilkarbamazin merupakan obat pilihan utama untuk filariasis. Obat ini
dipasarkan sebagai garam sitrat, berbentuk kristal, tidak berwarna dan rasanya tidak
enak serta mudah larut di dalam air.8
Komplikasi
Penyakit yang telah terjadi bertahun-tahun yang hanya pada satu organ biasanya akan
menyebar ke bagian dan organ-organ lain yang menimbulkan gejala-gejala atau
keluhan-keluhan lain pada pasien tersebut. Biasanya ini dikatakan komplikasi.
Komplikasi pada filariasis antara lain:
1. Cacat menetap pada bagian tubuh yang terkena elephantiasis tungkai
2. Limfedema: Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis,v
ulva vagina dan payudara
3. Hidrokel (40-50% kasus), adenolimfangitis pada saluran limfe testis berulang:
pecahnya tunika vaginalis. Hidrokel adalah penumpukan cairan yang
berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam
keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada dan
berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem
limfatik di sekitarnya
4. Kiluria: Kencing seperti susu karena bocornya atau pecahnya saluran limfe
oleh cacing dewasa yang menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam
saluran kemih
Pencegahan
Pencegahan massal: Kontrol penyakit pada populasi adalah melalui kontrol
vektor (nyamuk). Namun hal ini terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa
hidup parasit.5 Baru-baru ini dikenalnya pengobatan dosis tunggal sekali per tahun, 2
regimen obat (Albendazol 400 mg dan ivermectin 200mg/kgBB) cukup efektif.6
15
Juga pemberian DEC diberikan dosis lebih rendah yaitu: 6mg/kgBB dengan
jangka waktu pemberian yang lebih lama untuk mencapai dosis yang sama dalam
bentuk garam selama 9-12 bulan, bisa diberikan seminggu sekali atau dosis tunggal
setiap 6 bulan atau satu tahun.6
Pencegahan Individu: Kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi
melalui penggunaan obat oles anti nyamuk, kelambu, atau insektisida.6
Kesimpulan
Hipotesis diterima. Pasien berusia 40 tahun menderita filariasis limfatik yang
disebabkan
oleh
Wuchereria
bancrofti
melalui
vektor
nyamuk
Culex
quinquefasciatus.
Daftar Pustaka
1. lymphatic filariasis. Diakses dari http://www.cdc.gov/parasites/ 9 November
2013.
2. Behrman, Kliegman, Alvin, Nelson. Penyakit infeksi. Dalam: Ilmu Kesehatan
Anak Nelson Vol 2. Edisi ke-15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2002.h.1227-8.
3. Schwartz MW. Limfadenopati. Dalam: Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC; 2004.h.514-5.
4. Staf pengajar Departemen Parasitologi FKUI Jakarta. Parasitologi kedokteran.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008: Ed.4. h.34-8.
5. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Helmintologi. Dalam: Adams
Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2013.h.33; 38.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, dll. Tropik infeksi. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit Internal
Publishing; 2009.h.27-9; 2931-6.
7. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani Wahyu I, Setiowulan. Kapita
Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculaptus FKUI; 2008.
8. Tambayong J. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; 2003.
16
17