Anda di halaman 1dari 17

Bengkak pada Kaki Kiri yang disertai

Edema Non-Pitting dan Demam


yang Naik Turun
Andry Larsen Manurung
102014256/B5
Fakultas Kedokteran,Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta Barat
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
Email: andry.2014fk256@civitas.ukrida.ac.id

Abstract
Filariasis is a contagious disease (elephantiasis) caused by filarial worms
that are transmitted by various species of mosquitoes. This disease is chronic, and if
not can the treatment can cause permanent disability in the form of enlargement of
the legs, arms and genitals, both women and men. Transmission of filarial worm
occurs through a mosquito with a periodicity subperiodik (anytime contained in
peripheral blood) or it could be nocturnal (microfilariae found in the blood stream
edges at night and mosquitoes biting night), found in Indonesia most of the others
have a periodicity nocturnal mosquito Culex , the Aedes mosquito and the mosquito
species Anopheles.
Key words : Filariasis, a mosquito culex, aedes, and anopheles
Abstrak
Filariasis merupakan penyakit menular (penyakit kaki gajah) yang disebabkan
oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.penyakit ini bersifat
menahun, Dan bila tidak dapat pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin, baik perempuan maupun laki-laki.
Penularan cacing filaria terjadi melalui nyamuk dengan periodisitas subperiodik
(kapan saja terdapat di darah tepi) atau bisa juga nokturna (mikrofilarianya ada di
aliran darah tepi pada malam hari dan nyamuk mengigit malam hari), ditemukan di
Indonesia sebagian besar lainnya memiliki periodisitas nokturnal dengan nyamuk
Culex, nyamuk Aedes dan pada jenis nyamuk Anopheles.
1

Kata kunci : Filariasis, nyamuk culex, aedes, dan anopheles


Pendahuluan
Filariasis atau yang dikenal dengan penyakit kaki gajah mulai ramai
diberitakan sejak akhir tahun 2009, akibat terjadinya kematian pada beberapa orang.
Sebenarnya penyakit ini sudah mulai dikenal sejak 1500 tahun oleh masyarakat, dan
mulai diselidik lebih mendalam ditahun 1800 untuk mengetahui penyebaran, gejala
serta upaya mengatasinya. Baru ditahun 1970, obat yang lebih tepat untuk mengobati
filarial ditemukan. Rubrik ini berusaha menjelaskan mengapa hal tersebut dapat
terjadi dan mengapa penanggulangan Penyakit Kaki Gajah harus segera dilaksanakan.
Penyakit filariasis yang disebabkan oleh cacing khusus cukup banyak ditemui di
negeri ini dan cacing yang paling ganas ialah Wuchereria bancrofti, Brugia, malayi,
Brugia timori, Penelitian di Indonesia menemukan bahwa cacing jenis Brugia dan
Wuchereria merupakan jenis terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara
cacing jenis Brugia timori hanya didapatkan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di
pulau Timor.1
Di dunia, penyakit ini diperkirakan mengenai sekitar 115 juta manusia,
terutama di Asia Pasifik, Afrika, Amerika Selatan dan kepulauan Karibia. Penularan
cacing Filaria terjadi melalui nyamuk dengan periodisitas subperiodik (kapan saja
terdapat di darah tepi) atau bisa juga nokturna (mikrofilarianya ada di aliran darah tepi
pada malam hari dan nyamuk mengigit malam hari), ditemukan di Indonesia sebagian
besar lainnya memiliki periodisitas nokturnal dengan nyamuk Culex, nyamuk Aedes
dan pada jenis nyamuk Anopheles. Nyamuk Culex juga biasanya ditemukan di
daerah-daerah urban, sedangkan Nyamuk Aedes dan Anopheles dapat ditemukan di
daerah-daerah rural.1
Filariasis merupakan penyakit menular (penyakit kaki gajah) yang disebabkan
oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.penyakit ini bersifat
menahun, Dan bila tidak dapat pengobatan daapt menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin, baik perempuan maupun laki-laki.
Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung
kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga.1
Skenario 9

Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang dengan keluhan bengkak pada


tungkai kirinya sejak 1 bulan yang lalu. Pasien buang air kecil berwarna keputihan
seperti susu.
Hasil pemeriksaan fisik: KU= Tampak sakit sedang, Kesadaran= Compos
Mentis, TD: 120/80, RR: 20x/menit, HR: 80x/menit, Suhu: 37,20C. Extremitas kaki
dan tungkai kiri bawah tampak edema, nyeri tekan, pemeriksaan penunjang belum
dilakukan
Hipotesis
Pasien berusia 45 tahun menderita filariasis bancrofti.
Anamnesis
Anamnesis adalah suatu teknik wawancara terhadap pasien disertai dengan
empati. Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat obstetri, dan ginekologi, riwayat penyakit
keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi.2
Identitas meliputi nama lengkap, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama
orang tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan,
pekerjaan, suku bangsa dan agama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan
pasien yang membawa pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Riwayat
penyakit sekarang atau riwayat perjalanan penyakit adalah cerita kronologis, terinci
dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai
pasien datang berobat. Riwayat penyakit dahulu untuk mengetahui kemungkinankemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan
penyakitnya sekarang. Anamnesis susunan sistem bertujuan mengumpulkan data-data
positif dan negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien
berdasarkan alat tubuh yang sakit. Riwayat penyakit dalam keluarga penting untuk
mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi.2
Didalam kasus didapati bahwa:
Identitas

: Seorang laki-laki berusia 40 tahun.

Keluhan utama

: Bengkak pada tungkai kirinya sejak 1 bulan


yang lalu.

Riwayat penyakit sekarang

: Pasien mengeluh demam naik turun setiap 3


hari, BAK dengan kencing yang berwarna
3

putih seperti susu.

Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat
temuan-temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan
visual atau pandang (Inspeksi), periksa raba (Palpasi), periksa ketok (Perkusi) dan
pemeriksaan dengar dengan menggunakan stetoskop (Auskultasi). Pemeriksaan
palpasi didapati bahwa pasien mengalami nyeri tekan.2
Keadaan umum pasien dapat dibagi atas tampak sakit ringan atau sakit sedang
atau sakit berat; sesuai dengan kasus diketahui keadaan umum pasien tampak sakit
sedang.2
Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien
yang wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil; sesuai dengan kasus
diketahui bahwa pasien memiliki tingkat kesadaran yaitu kompos mentis, yaitu sadar
sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dimana pasien
dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.2
Tanda-tanda vital berupa suhu; tekanan darah; nadi yang terdiri dari frekuensi
nadi, irama denyut nadi, isi nadi, kualitas nadi, dan kualitas dinding arteri; frekuensi
pernapasan. Didalam kasus diketahui bahwa keterangan pasien mengenai suhu
37,2C; tekanan darah 110/70 mmHg; frekuensi pernapasan (RR) 20x/mnt; frekuensi
denyut nadi (HR) 90x/mnt.2
Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan yang dilakukan setelah
pemeriksaan fisik dilakukan demi mendapatkan suatu kepastian atau keakuratan dari
suatu penyakit tersebut.2
Diagnosis pasti hanya dapat diperoleh melalui pemeriksaan parasit dan hal ini
cukup sulit. Cacing dewasa yang hidup di pembuluh getah bening atau kelenjar getah
bening sulit dijangkau sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan parasit.
Mikrofilaria dapat di temukan di dalam darah, cairan hidrokel, atau kadang-kadang
cairan tubuh lainnya. Cairan-cairan tersebut dapat diperiksa secara mikroskopik.

Banyak individu terinfeksi yang tidak mengandung mikrofilaria dalam darahnya


sehingga diagnosis pasti sulit ditegakkan.2
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis dengan eosinofilia sampai
10-30%. Di sebagian besar belahan dunia, mikrofilaria aktif pada malam hari terutama
pada jam 10 malam sampai jam 2 pagi. Namun di beberapa daerah Asia dan Pasifik
seperti timbulnya subperiodik, yaitu timbul hampir sepanjang hari dengan puncak
beberapa hari sekali. Pada kasus dengan periodisitas subperiodik diurnal (infeksi
Bancrofti di daerah Pasifik Selatan, Kepulauan Andaman, dan Pulau Nikobar)
puncaknya pada pagi hari dan sore hari. Sehingga pengambilan spesimen darah untuk
pemeriksaan mikrofilaria harus sesuai dengan puncaknya mikrofilaria aktif di dalam
darah. Mikrofilaria dapat ditemukan dengan pengambilan darah tebal atau tipis pada
yang dipulas dengan pewarnaan Giemsa atau Wright.2
Spesimen darah yang diambil lebih baik diambil dari darah kapiler
dibandingkan dengan darah vena. Terdapat beberapa bukti yang menyebutkan bahwa
konsentrasi mikrofilaria di darah kapiler lebih tinggi dibandingan dengan darah vena.
Volume darah yang digunakan untuk sekitar pulasan 50l dan jumlah mikrofilaria
yang terdapat sekitar 20 mf/ml atau lebih merupakan petunjuk adanya mikrofilaria
dalam darah.2
Akhir-akhir ini pengguna mikroskopik untuk mendeteksi mikrofilaria sudah
mulai tergantikan oleh penggunaan membran filtrasi yang dikemukakan oleh Bell
tahun 1967. Keuntungan pada alat ini bahwa sampel dapat disimpan dalam waktu
yang lama. Selain itu karena menggunakan formalin maka dapat memfiksasi
mikrofilia dalam darah dan membuang organisme yang tidak diinginkan seperti HIV,
Hepatitis B dan Hepatitis C. Pada episode akut, filariasis limfatik harus dibedakan
dengan tromboflebitis, infeksi, dan trauma. Limfangitis retrograd merupakan
gambaran khas yang membantu membedakan dari limfagitis bakterial yang bersifat
asendens.2
Pemeriksaan terhadap antigen W. bancrofti yang bersirkulasi dapat membantu
penegakkan diagnosis. Dua tes yang bersedia yakni ELISA dan ICT. Sensitivitas
keduanya berkisar antara 96-100% dan spesifik mendekati 100%. Tekniknya dengan
menggunakan antibodi monoklonal. Terdapat 2 jenis antibodi yang digunakan yaitu
AD12 dan Og4C3. Di Australia menunjukkan bahwa penggunaan antibodi Og4C3
sensitivitasnya 100% pada pasien dengan jumlah mikrofilaria yang tinggi namun
sensitivitasnya menurun menjadi 72-75% pada pasien dengan jumlah mikrofilaria
5

yang rendah. Spesifitasnya juga tinggi yaitu 99-100%. Penggunaan AD12 juga
memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi yaitu 96-100% untuk sensivitasnya dan
100% untuk spesifitasnya.2
Pemeriksaan serologi antibodi juga telah digunakan untuk mendeteksi W.
bancrofti. Kesulitan yang sering timbul spesifitasnya yang rendah. Hal ini disebabkan
oleh adanya reaksi silang dengan parasit yang lain. Selain itu hasil ini juga tidak dapat
membedakan antara infeksi sekarang dan infeksi lampau. Saat ini telah dikembangkan
pemeriksaan serologi yang spesifik untuk W. bancrofti yaitu menggunakan antibodi
subklas IgG4. Namun sensivitasnya lebih rendah bila dibandingkan dengan
pemeriksaan secara parasitologi lain yaitu sekitar 90-95%.2
Pencitraan limfosintigrafi dengan radionuklir pada ekstremitas menunjukkan
abnormalitas sistem limfatik, baik pada mereka yang asimtomatik mikrofilaremik dan
mereka dengan manifestasi klinis. Kegunaan dari limfosintigrafi ini adalah:
1. Peragaan alur aliran limfe.
2. Evaluasi kecepatan aliran limfe, kecepatan absorbsi, dari tempat injeksi,
mengukur waktu akumulasi tracer di daerah kelenjar limfe.
3. Peragaan kelenjar limfe.
4. Peragaan pusat inflamasi dengan jaringan lunak dan kelenjar yang baru
terbentuk pada proses inflamasi menahun.
5. Menemukan kerusakan trauma saluran limfe.
6. Membedakan edema tungkai limfe, trauma mekanik tungkai bawah.
7. Mengikuti proses perubahan obliterasi limfe.2
Pada kasus filariasis limfatik, pemeriksaan USG Dopler skrotum pada pria dan
payudara pada wanita memperlihatkan adanya cacing dewasa yang bergerak aktif
didalam pembuluh getah bening yang mengalami dilatasi. Cacing dapat dilihat di
pembuluh getah bening corda spermatika hampir pada 80% pria. Cacing dewasa
hidup memberikan gambaran khas didalam pembuluh darah, dikenal dengan filaria
dance sign. Pemeriksaan PCR untuk mendeteksi DNA W. bancrofti sudah mulai
dikembangkan. Beberapa studi menyebutkan bahwa metode ini hampir sama bahkan
lebih tinggi sensitivitasnya dibanding metode parasitologik.2
Working Diagnosis (WD)
Working diagnosis adalah diagnosis utama yang terlihat dari tanda-tanda yang
ada pada pasien saat datang kepada dokter tersebut. Biasanya dilakukan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang untuk memperkuat WD.
Berdasarkan skenario diketahui bahwa pasien terkena limfadenitis filariasis.
6

Differential Diagnosis (DD)


Limfadenitis Servikal
Limfadenitis servikal adalah suatu masalah yang sering dijumpai pada
populasi anak anak. Penyakit ini merupakan infeksi primer pada kelenjar limfe dan
seharusnya tidak dibingungkan dengan limfadenopati, yang merupakan pembesaran
kelenjar limfe sebagai respons terhadap infiltrasi (misal, keganasan atau penyakit
cadangan) atau drainase struktur distal yang mengalami infeksi atau peradangan.
Organisme penyebab sering memasuki tubuh melalui faring, hidung, gigi, atau luka
pada kulit. Penyebab tersering adalah bakteri, dan Staphylococcus aureus adalah
organisme yang paling sering diisolasi. Patogen lain yang dapat ditemukan adalah
Streptococcus grup A, Mycobaterium tuberculosis, mikrobakterium atipik, basil Gram
negatif (diduga merupakan agen penyebab penyakit cakar kucing), Haemophilus
influenzae, bakteri anaerob, Francisella tularensis, dan Yersinia pestis.3
Pemeriksaan fisik biasanya menunjukan adanya kelenjar limfe yang padat,
hangat, eritematosa dan nyeri. Pada 25% kasus terdapat fluktuasi. Kadang-kadang
dijumpai demam dan peningkatan jumlah leukosit, terutama pada anak kecil.3
Aspirasi sering menunjukkan penyebab dan dapat menghilangkan gejala jika
kelenjar limfe besar atau pada posisi yang aneh. Pada kasus yang tidak berkomplikasi,
cukup diberikan antibiotik misal, oksasilin atau cefalexin. Anak-anak yang secara
klinis sakit atau yang mengalami imonodefisiensi dan bayi-bayi sebaiknya dirawat
dirumah sakit untuk mendapatkan antibiotik secara IV. Dilakukannya tes kulit PPD
pada saat datang berobat merupakan hal yang bijaksana.3
Etiologi
Filariasis disebebkan oleh infestasi satu atau lebih cacing jenis filariasis yaitu
Wuchereria bancrofti , Brugia malayi, Brugia timori.4
Daur hidup cacing filariasis: Cacing Dewasa (kel limfe) Menghasilkan
mikrofilaria Malam hari ada di darah tepi Terhisap nyamuk (nokturna)
Hidup di lambung nyamuk sampai LIII (bentuk infektif) 2 minggu Nyamuk
menggigit manusia lagi LIII masuk ke dalam lambung manusia 10-15 tahun.4

Cacing dalam saluran limfe Menyebabkan pelebaran & Kerusakan Kelenjar


limfe Terjadi gangguan aliran limfe Karena aliran terganggu, akumulasi cairan
limfe Untuk mengurangi sumbatan cairan masuk ke jaringan Edema.4
Gambar 1. Daur Hidup Wuchereria bancrofti.1

Wuchereria bancrofti

Gambar 2. Mikrofilaria Wuchereria bancrofti.1


8

Mikrofilaria W. bancrofti pada belahan bumi selatan, termasuk Indonesia,


umumya ditemukan pada malam hari (nokturna). Di daerah Pasifik biasanya sifatnya
subperiodik diurnal. Parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus di
daerah perkotaan dan nyamuk anopheles serta nyamuk aedes sebagai vektor di daerah
pedesaan. Pertumbuhannya dalam nyamuk sekitar dua minggu dan dalam tubuh
manusia selama sekitar 7 bulan.4
Mikrofilaria yang terisap nyamuk akan masuk ke lambung, melepaskan
kulitnya dan menembus dindingnya untuk bersarang pada otot toraks dan membentuk
Larva I, bertukar kulit dua kali berturut-turut menjadi larva stadium II kemudian
Larva stadium III yang sangat aktif.4
Bentuk aktif ini bermigrasi sampai ke alat tusuk nyamuk atau probocis.
Melalui gigitan nyamuk maka larva stadium 3 ini masuk ke dalam tubuh hospes dan
bersarang di saluran limfe setempat. Larva mengalami pergantian kulit dan tumbuh
menjadi larva stadium IV dan stadium V atau cacing dewasa.4
Brugia malayi & Brugia timori
Mikrofilaria B.malayi mempunyai periodisitas nokturna dan nonperiodik
sementara B. Timori bersifat nokturna. B.timori yang hidup pada manusia ditularkan
oleh nyamuk Anopheles barbirostris. Masa pertumbuhan parasit ini dalam tubuh
nyamuk sekitar 10 hari dan dalam tubuh manusia kurang lebih 3 bulan. Fase
perkembangan kedua parasit ini sama dengan perkembangan W. Bancrofti.4
Epidemiologi
Filariasis bancrofti dapat dijumpai di perkotaan atau pedesaan. Di Indonesia,
parasit ini lebih sering dijumpai di pedesaan daripada di perkotaan dan penyebarannya
bersifat fokal. Kurang lebih 20 juta penduduk Indonesia bermukim di daerah endemi
filariasis bancrofti, malayi dan timori dan mereka sewaktu-waktu dapat ditulari.
Kelompok umur dewasa muda merupakan kelompok penduduk yang paling sering
menderita, terutama mereka yang tergolong penduduk berpenghasilan rendah.5
Prevalensi mikrofilaria meningkat bersamaan dengan umur pada anak-anak
dan meningkat antara umur 20-30 tahun, pada saat usia pertumbuhan, serta lebih
tinggi pada laki-laki dibanding wanita.6

Patofisiologi
Perubahan patologi utama disebabkan oleh kerusakan pembuluh getah bening
akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa, bukan oleh mikrofilaria.
Cacing dewasa hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar getah
bening dan menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan dinding
pembuluh. Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di dalam dan sekitar
pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama dengan proliferasi sel
endotel dan jaringan penunjang, menyebabkan berliku-likunya sistem limfatik dan
kerusakan atau inkompetensi katup pembuluh getah bening.6
Limfedema dan perubahan kronik akibat statis bersama dengan edema keras
terjadi pada kulit yang mendasarinya. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat
filariasi ini disebabkan oleh efek langsung cacing ini dan oleh respon imun pejamu
terhadap parasit. Respon imun ini dipercaya menyebabkan proses granulomatosa dan
proliferasi yang menyebabkan obstruksi total pembuluh getah bening. Diduga bahwa
pembuluh-pembuluh tersebut tetap paten selama cacing tetap bisa hidup dan bahwa
kematian cacing tersebut menyebabkan reaksi granulomatosa dan fibrosis. Dengan
demikian terjadilah obstruksi limfatik dan penutupan fungsi limfatik.6
Manifestasi dini penyakit ini adalah peradangan, sedangkan bila sudah lanjut
akan menimbulkan gejala obstruktif. Mikrofilaria yang tampak dalam darah pada
stadium akut akan menimbulkan peradangan yang nyata, seperti limfangitis,
limfadenitis, funikulitis, epididimitis dan orkitis. Adakalanya tidak menimbulkan
gejala sama sekali terutama bagi penduduk yang sejak kecil sudah berdiam di daerah
endemik. Gejala peradangan tersebut sering timbul setelah bekerja berat dan dapat
berlangsung antara beberapa hari hingga beberepa minggu (2-3 minggu). Gejala dari
limfadenitis adalah nyeri lokal, keras didaerah kelenjar limfe yang terkena dan
biasanya disertai demam, sakit kepala dan badan, muntah-muntah, lesu, dan tidak
nafsu makan. Stadium akut ini lambat laun akan beralih ke stadium menahun dengan
gejala-gejala hidrokel, kiluria, limfedema, dan elephantiasis.6
Karena filariasis bancrofti dapat berlangsung selama beberapa tahun, maka ia
dapat mempunyai perputaran klinis yang berbeda-beda. Reaksi pada manusia terhadap
infeksi filaria berbeda-beda tidak mungkin stadium ini dibatasi dengan pasti, sehingga
seringkali kita membaginya atas dasar akibat infeksi filaria yaitu:
1. Bentuk tanpa gejala.
2. Filariasis dengan peradangan.
10

3. Filariasis dengan penyumbatan.6


Bentuk Tanpa Gejala
Umumnya di daerah endemik, pada pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran
kelenjar limfe terutama daerah inguinal. Pada pemeriksaan darah ditemukan
mikrofilaria dalam jumlah besar disertai adanya eosinofilia. Pada waktu cacing
dewasa mati, mikrofilaria menghilang tanpa pasien menyadari adanya infeksi.6
Filariasis Dengan Peradangan
Manifestasi terakhir yang biasanya terlihat di awal infeksi primer adalah
limfangitis. Limfangitis terjadi di sekitar larva dan cacing dewasa muda yang sedang
berkembang, mengakibatkan inflamasi eosinofil akut. Infeksi ini berdasarkan
fenomen alergik terhadap metabolisme cacing dewasa yang hidup atau mati, atau
sekunder, infeksi oleh Streptococcus dan jamur. Demam, menggigil, sakit kepala,
muntah dan kelemahan menyertai serangan tadi, dapat berlangsung beberapa hari
sampai beberapa minggu, dan yang terutama terkena adalah saluran limfe ketiak,
tungkai, epitrochlear dan alat genital. Pada orang laki-laki umumnya terdapat
funikulitis disertai dengan penebalan dan rasa nyeri, epididimitis, orkitis dan
pembekakan skrotum.6
Demam pada filaria terjadi karena adanya inflamasi yang berawal dari kelenjar
getah bening (biasanya KGB inguinal) dengan perluasan retrograd kebawah aliran
getah bening dan disertai edema dingin. Di sini, inflamasi tampaknya diperantarai
oleh imun dan kadang (10-20% kasus) beberapa episode inflamasi diawali dengan
infeksi kulit.6
Salah satu kepustakaan menyebutkan bahwa demam yang murni ditimbulkan
oleh filaria jarang terjadi. Demam yang sering terjadi akibat adanya infeksi sekunder
oleh bakteri. Gejalanya biasanya demam tinggi, menggigil, mialgia, dan sakit kepala.
Juga timbul plak edematosa yang mudah dibedakan dengan jaringan sehat
disekitarnya. Biasanya disertai dengan vesikel, ulkus dan hiperpigmentasi. Pada filaria
juga

dapat

timbul

ulkus.

Namun

ulkus

steril

dan

mengeluarkan

cairan

serosanguineous. Kadang disertai dengan riwayat trauma, terkena api, radiasi, gigitan
serangga, dan terkena bahan kimia.6
Serangan akut ini dapat terjadi selama satu bulan atau lebih. Pengobatan
dengan berbagai antibiotik tidak memberikan hasil. Bila keadaannya berat dapat
11

menyebabkan abses pelvis ginjal, pembengkakan epididimis, jaringan retroperitoneal,


kelenjar ari-ari dan otot iliopsoas. Hal ini dapat terjadi karena cacing yang mati
mengalami degenerasi. Abses ini steril, tetapi dapat mengandung bakteri piogen.
Reaksi ini bersifat setempat dan alergi umum yang menyebabkan pertumbuhan
jaringan pengikat yang berlebihan. Yang menahun akan menimbulkan penyumbatan
saluran limfe disertai serangan limfangitis yang berulang-ulang dan kadang-kadang
disertai dengan elephantiasis. Pemeriksaan darah dalam hal ini biasanya menunjukkan
leukositosis dengan eosinofilia sebesar 6-7%.6
Salah satu gejala lain yang kadang timbul pada filariasis adalah hematuria.
Sekitar 40% pasien dengan mikrofilaremia terdapat hematuria dan proteinuria yang
menunjukkan adanya kerusakan ginjal derajat rendah. Hematuria yang terjadi dapat
makroskopik, namun lebih sering mikroskopik dan ditemukan pada saat dilakukan
pemeriksaan urin rutin. Kelainan ginjal ini mungkin disebabkan adanya mikrofilaria
yang beredar dalam darah dibandingkan dengan adanya cacing dewasa. Hal ini
ditunjukkan dengan perbaikan dari fungsi ginjal bila mikrofilaria hilang dari
peredaran darah.6
Fenomena lain yang dapat terjadi pada filaria adalah suatu keadaan yang
disebut sebagai tropical pulmonary eosinophilia. Hal ini disebabkan oleh respon
berlebihan imunologik terhadap infeksi filaria. Sindrom ini ditandai dengan:

Kadar eosinofil darah tepi yang sangat tinggi.


Gejala mirip asma.
Penyakit perut restriktif (dan kadang obstruktif).
Kadar antibodi spesifik antifilaria sangat tinggi.
Respons pengobatan yang baik dengan terapi antifilaria (DEC).3
Angka kejadian sindrom ini rendah (<1% dari seluruh kasus filaria), namun

hal ini merupakan keadaan berat yang dapat mengakibatkan fibrosis interstisial kronik
dan gagal napas.6
Filariasis Dengan Penyumbatan
Dalam stadium menahun ini terjadi jaringan granulasi yang proliferatif serta
terbentuk varises saluran limfe yang luas. Kadar protein yang tinggi dalam saluran
limfe merangsang pembentukan jaringan ikat dan kolagen. Sedikit demi sedikit
setelah bertahun-tahun bagian yang membesar menjadi luas dan timbul elephantiasis
menahun.6

12

Penyumbatan duktus torasikus atau saluran limfe perut bagian tengah turut
mempengaruhi skrotum dan penis pada laki-laki dan bagian luar alat kelamin pada
wanita. Infeksi kelenjar inguinal dapat mempengaruhi tungkai dan bagian luar alat
kelamin. Elephantiasis pada umumnya mengenai tungkai serta alat kelamin dan
menyebakan perubahan bentuk yang luas.6
Limfedema pada filariasi bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai.
Limfedema tungkai ini dapat dibagi dalam 4 tingkat, yaitu:

Tingkat 1, Edema pitting pada tungkai yang dapat kembali normal

(reversibel) bila tungkai diangkat.


Tingkat 2, Pitting/non pitting edemayang tidak dapat kembali normal

(ireversibel) bila tungkai diangkat.


Tingkat 3, Edema non pitting, tidak dapat kembali normal bila tungkai

diangkat, kulit menjadi tebal.


Tingkat 4, Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada
kulit (elephantiasis).6

Hubungan antara adanya mikrofilaria didalam darah dan elephantiasis sangat


kecil, karena mikrofilaria menghilang setelah cacing mati. Bila saluran limfe kandung
kencing dan ginjal pecah akan timbul kiluria, sedangkan episode berulang
adenolimfangitis pada saluran limfe testis yang mengakibatkan pecahnya tunika
vaginalis akan terjadi hidrokel atau kolakel, dan bila yang pecah saluran limfe
peritoneum terjadi asites kilus. Gambaran yang sering tampak adalah hidrokel (4050% kasus) dan limfangitis alat kelamin. Pemeriksaan transiluminasi biasanya positif.
Cairan hidrokel ini biasanya jernih namun pada beberapa kasus bisa keruh, juga dapat
menyebabkan hidrokel. Limfangitis dan elephantiasis ini dapat diperberat dengan
infeksi sekunder oleh Streptococcus untuk kepentingan klinik.6
Penatalaksanaan
Perawatan Umum

Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah yang dingin akan

mengurangi derajat serangan akut.


Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan asbes.
Pengikatan didaerah pembendungan akan mengurangi edema.6

Pengobatan Spesifik

13

Pengobatan Infeksi. Fokus pengobatan yang terbukti efektif adalah


pengobatan di komunitas. Hal ini dilakukan melalui penurunan angka mikrofilaremia
dengan pemberian dosis satu kali per tahun. Pengobatan perorangan ditujukan untuk
menghancurkan parasit dan mengeliminasi, mengurangi, atau mencegah kasakitan.
Hingga saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan DEC sebagai satusatunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Pengobatan dilakukan dengan
pemberian DEC 6mg/kg BB/hari selama 12 hari. Pengobatan ini dapat diulang 1
hingga 6 bulan kemudian bila perlu, atau DEC selama 2 hari per bulan (6-8
mg/kgBB/hari).6
Obat lain yang dapat digunakan adalah Ivermektin. Meski Ivermektin sangat
efektif menurunkan kadar mikrofilaremia, tampaknya tidak dapat membunuh cacing
dewasa, sehingga terapi tersebut tidak dapat diharapkan menyembuhkan infeksi
secara menyeluruh. Aalbendazol bersifat makrofilarisidal untuk W. bancrofti dengan
pemberian setiap hari selama 2-3 minggu. Namun, dari penelitian obat ini masih
belum optimal. Efek samping Dec dibagi dalam 2 jenis. Yang pertama bersifat
farmakologis, tergantung dosisnya, angka kejadian sama baik pada yang terinfeksi
filariasis maupun tidak. Yang kedua adalah respons dari hospes yang terinfeksi
terhadap kematian paraasit; sifatnya tidak tergantung pada dosis obatnya tapi pada
jumlah parasit dalam tubuh hospes.6
Ada 2 jenis reaksi:
1. Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada
berbagai bagian tubuh, sendi-sendi, pusing, anoreksia, lemah, hematuria
trasien, reaksi alergi, muntah, dan serangan asma. Reaksi ini terjadi karena
kematian filaria dengan cepat dapat menginduksi banyak antigen sehingga
merangsang sistem imun dan menginduksi berbagai reaksi. Reaksi ini
dapat terjadi beberapa jam setelah pemberian DEC dan berlangsung tidak
lebih dari 3 hari. Reaksi akan hilang dengan sendirinya.
2. Rekasi lokal dengan atau tanpa demam berupa limfadenitis, asbes, ulserasi,
transien limfedema, hidrokel, funikulitis, dan epididimitis. Reaksi ini
cenderung terjadi kemudian dan berlangsung lebih lama sampai beberapa
bulan, tetapi akan menghilang dengan spontan. Reaksi lokal cenderung
terjadi pada pasian dengan riwayat adenolimfangitis; berhubungan
dengnan keberadaan cacing dewasa dalam tubuh hospes.6
14

Prognosis
Stadium mikrofilaria, limfangitis dan limfedema dapat disembuhkan dengan
pengobatan DEC, tetapi kasus lanjut seperti elefantiatis prognosisnya bisa jadi lebih
buruk.6 Pada kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari
daerah endemik.5 Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan dengan
pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama
dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.7
Dietilkarbamazin merupakan obat pilihan utama untuk filariasis. Obat ini
dipasarkan sebagai garam sitrat, berbentuk kristal, tidak berwarna dan rasanya tidak
enak serta mudah larut di dalam air.8
Komplikasi
Penyakit yang telah terjadi bertahun-tahun yang hanya pada satu organ biasanya akan
menyebar ke bagian dan organ-organ lain yang menimbulkan gejala-gejala atau
keluhan-keluhan lain pada pasien tersebut. Biasanya ini dikatakan komplikasi.
Komplikasi pada filariasis antara lain:
1. Cacat menetap pada bagian tubuh yang terkena elephantiasis tungkai
2. Limfedema: Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis,v
ulva vagina dan payudara
3. Hidrokel (40-50% kasus), adenolimfangitis pada saluran limfe testis berulang:
pecahnya tunika vaginalis. Hidrokel adalah penumpukan cairan yang
berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam
keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada dan
berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem
limfatik di sekitarnya
4. Kiluria: Kencing seperti susu karena bocornya atau pecahnya saluran limfe
oleh cacing dewasa yang menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam
saluran kemih
Pencegahan
Pencegahan massal: Kontrol penyakit pada populasi adalah melalui kontrol
vektor (nyamuk). Namun hal ini terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa
hidup parasit.5 Baru-baru ini dikenalnya pengobatan dosis tunggal sekali per tahun, 2
regimen obat (Albendazol 400 mg dan ivermectin 200mg/kgBB) cukup efektif.6
15

Juga pemberian DEC diberikan dosis lebih rendah yaitu: 6mg/kgBB dengan
jangka waktu pemberian yang lebih lama untuk mencapai dosis yang sama dalam
bentuk garam selama 9-12 bulan, bisa diberikan seminggu sekali atau dosis tunggal
setiap 6 bulan atau satu tahun.6
Pencegahan Individu: Kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi
melalui penggunaan obat oles anti nyamuk, kelambu, atau insektisida.6
Kesimpulan
Hipotesis diterima. Pasien berusia 40 tahun menderita filariasis limfatik yang
disebabkan

oleh

Wuchereria

bancrofti

melalui

vektor

nyamuk

Culex

quinquefasciatus.

Daftar Pustaka
1. lymphatic filariasis. Diakses dari http://www.cdc.gov/parasites/ 9 November
2013.
2. Behrman, Kliegman, Alvin, Nelson. Penyakit infeksi. Dalam: Ilmu Kesehatan
Anak Nelson Vol 2. Edisi ke-15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2002.h.1227-8.
3. Schwartz MW. Limfadenopati. Dalam: Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC; 2004.h.514-5.
4. Staf pengajar Departemen Parasitologi FKUI Jakarta. Parasitologi kedokteran.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008: Ed.4. h.34-8.
5. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Helmintologi. Dalam: Adams
Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2013.h.33; 38.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, dll. Tropik infeksi. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit Internal
Publishing; 2009.h.27-9; 2931-6.
7. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani Wahyu I, Setiowulan. Kapita
Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculaptus FKUI; 2008.
8. Tambayong J. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; 2003.
16

17

Anda mungkin juga menyukai