Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN
Trauma kimia merupakan salah satu kasus emergensi mata yang berat, sering
menyebabkan terjadinya penurunan visus yang dramatis dan kehilangan fungsi mata.
Trauma kimia dapat menyebabkan kerusakan destruktif

pada permukaan mata dan

menyebabkan terjadinya gangguan pada mata dan perubahan pada visus.1 Trauma kimia
dapat disebabkan oleh asam, alkali, detergen, bahan irritant atau material radio aktif,
umumnya trauma kimia ini dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu trauma kimia
yang di sebabkan oleh asam dan di sebabkan oleh alkali.2
Lebih kurang dua pertiga dari kejadian trauma kimia terjadi sewaktu di tempat
kerja, di rumah atau di sekolah.3,4 Di AS dilaporkan lebih dari 60% terjadi ditempat kerja,
30% di rumah, dan 10% berasal dari tempat lainya. 5 Trauma alkali dua kali lebih sering
daripada trauma asam karena pemakaian alkali lebih luas pada industri dan dirumah.
Jenis alkali seperti ammonia (NH3) sering terdapat pada alat pembersih rumah tangga,
sodium hidroksid (NaOH) merupakan bahan pembersih saluran pipa, potassium
hidroksida (KOH), magnesium hidroksida (Mg(OH)2, lime dan kapur dimana merupakan
bahan paling sering menyebabkan trauma alkali tapi tidak menyebabkan trauma yang
terlalu berat. Sedangkan jenis asam seperti sulfuric (H2SO4), sulfurous (H2SO3),
hydrofluoric, hydrochloric,dll.3,4
Asam dikatakan sebagai proton donor (H+) dan basa sebagai proton aseptor (OH-).
Keduanya dikatakan sebagai zat yang merusak, karena sesuai dengan beratnya kerusakan
jaringan yang ditimbulkannya. Kekuatan asam dikatakan sampai seberapa mudah zat
tersebut memberikan proton, sedangkan kekuatan basa ditentukan sampai seberapa
banyak zat tersebut mengikat proton. Kekuatan asam dan basa ditentukan dengan
menggunakan skala pH, dimana berkisar dari 1-14. Dimana asam kuat mempunyai pH 1,
dan basa kuat mempunyai pH 14 sedang pH 7 adalah netral.6,7
Umumnya alkali lebih merusak mata daripada asam. lkali bereaksi dengan
lemak membentuk sabun, merusak membran sel dan terjadi nya penetrasi dengan cepat
kedalam jaringan okular sehingga merusak stroma, endotel kornea dan juga struktur
segmen anterior (iris, lensa, badan siliar).8,9,10

Penelitian di Dane City, Wisconsin terdapat 1347 kasus trauma mengenai mata
dirawat di rumah sakit, dimana 93 kasus merupakan trauma kimia yang terjadi di rumah
dan tempat kerja. Menurut American Association of Poison Control Centers (AAPCC),
pada tahun 2003 terdapat 22.000 kasus terpapar oleh asam, 50.500 kasus terpapar alkali,
dan 16.272 kasus terpapar peroxide dan 54.250 kasus terpapar oleh zat pemutih.7
Penelitian yang dilakukan oleh USEIR (United StatesEye Injury Registry ) dilaporkan
insiden trauma kimia adalah 3,6%, dimana insiden trauma kimia yang disebabkan oleh
alkali 2 kali lebih sering dibanding insiden trauma kimia asam.
Trauma kimia mengenai orang muda berusia 16-25 tahun dan laki-laki lebih sering
dikenai yaitu 76%. Sementara peneliti lain mendapatkan trauma kimia terjadi 70% pada
laki-laki dewasa, 23% pada perempuan dewasa, dan 7% pada anak-anak. Usia pasien
kebanyakan antara 16-45 tahun dan 88% dari trauma kimia ini adalah derajat ringan.10,11
Dari data menunjukkan bahwa trauma alkali dua kali lebih sering terjadi
dibandingkan dengan trauma asam. Penetrasi alkali kedalam jaringan lebih cepat dan
dapat mengakibatkan komplikasi yang cukup berat. Ini terjadi karena proses peroksidasi
lipid membran menyebabkan kerusakan dan kematian sel.
Terjadinya glaukoma pada trauma kimia berhubungan dengan derajat inflamasi
yang timbul pada segmen anterior, pembentukan jaringan kolagen kornea dan terdapatnya
pengerutan pada jaringan sklera. dikutip dari 12

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. TRAUMA KIMIA
1. Asam
Trauma kimia berpotensi menyebabkan kerusakan berat pada struktur dan fungsi
mata bahkan dapat menyebabkan penurunan fungsi visual yang permanen. Zat kimia
memiliki efek destruktif

langsung, yaitu dengan cara merusak matriks seluler dan

ekstraseluler dan efek destruktif tidak langsung yaitu dengan mengawali proses inflamasi
lebih dahulu.

Asam lemah menyebabkan kerusakan yang lebih ringan dibandingkan alkali, tapi
kerusakan yang ditimbulkan oleh asam kuat sama berat nya dengan yang ditimbulkan
oleh trauma alkali. Epitel kornea yang intak dapat bertindak sebagai barier proteksi
terhadap asam lemah, tapi apabila epitel kornea terkelupas bisa menyebabkan kerusakan
yang berat walaupun disebabkan oleh asam lemah.3,7,12,14
Asam bereaksi dengan jaringan kolagen menyebabkan terjadinya pemendekan
serabut kolagen dimana dapat menyebabkan timbulnya peningkatan tekanan intra okuler.
Kekeruhan stroma akan terlihat setelah trauma asam, ini disebabkan oleh pengendapan
glikosaminoglikan ektraseluler.13,14
Perubahan pH akuos humor menurun setelah 15 menit terpapar asam hidroklorik.
Protein akuos humor dan aktifitas prostaglandin akan terjadi peningkatan selama
beberapa jam pertama setelah terpapar asam hidroklorik.9,10
2. Alkali
Mekanisme kerusakan jaringan untuk semua jenis substansi alkali adalah sama,
ini disebabkan oleh perubahan pH yang dihasilkan oleh ion hidroksil. Alkali adalah
substansi yang mempunyai pH basa dan mampu merubah lemak menjadi sabun.
Kerusakan sel karena kontak dengan alkali tergantung dari konsentrasi dan
lamanya terpapar dengan alkali sendiri. Dengan kenaikan pH, maka terjadi emulsifikasi
lemak pada membran sel, sehingga menghancurkan barier sampai terjadinya penetrasi.
Pada pH tinggi, kation mengikat kolagen dan glikosaminoglikan sampai bereaksi dengan
grup karboksil.
Peningkatan pH akuos berkaitan dengan peningkatan kerusakan jaringan yang
serius, kerusakan ireversibel terjadi pada pH 11,5. Peninggian pH akuos terjadi dalam
beberapa detik setelah terpapar ammonium hidroksida, sedang sodium hidroksida terjadi
sedikit lebih lambat setelah terpapar 3 sampai 5 menit.15,16,17
B. PATOFISIOLOGI GLAUKOMA PADA TRAUMA KIMIA
Trauma kimia pada mata menyebabkan kerusakan pada organ mata dan
mempengaruhi visus mata yang dikenainya. Trauma kimia alkali menyebabkan proses
saponifikasi dan penetrasi ke kamera okuli anterior

dalam beberapa detik sehingga

timbul iskemik pada segmen anterior. Pada trauma kimia asam menyebabkan koagulasi
protein sehingga menghambat terjadinya penetrasi asam ke kamera okuli anterior.
Terjadinya peninggian tekanan intra okuler pada trauma kimia disebabkan
keadaan keadaan berikut : 10
Pada permulaan trauma kimia terjadi
kembali

peningkatan tekanan intra okuler, kemudian

normal atau subnormal dan perlahan lahan kembali terjadi peningkatan

tekanan intra okuler.

Timbulnya peningkatan tekanan intra okuler ini karena terdapatnya pengkerutan


jaringan kornea dan sklera yang diakibatkan trauma kimia.

Meningkatnya aliran darah vena dan melepaskan mediator prostaglandin.

Timbulnya inflamasi pada kamera okuli anterior akan menyebabkan tekanan intra okuler
meninggi. Pada trauma kimia yang berat akan menyebabkan kerusakan pada badan siliar
sehingga menimbulkan keadaan hipotoni bola mata.
Mekanisme tambahan sebab timbulnya glaukoma pada trauma kimia ini adalah :

Blok pupil karena sinekia posterior atau iris bombe

Glaukoma phacomorphic karena katarak

Pada stadium lanjut trauma kimia ini menyebabkan peningkatan tekanan intra okuler
karena : 10

Kerusakan trabekula

Sinekia anterior perifer

C. GAMBARAN KLINIS
1. Trauma kimia ringan
Trauma alkali dan asam ringan mempunyai manifestasi klinis yang sama. Umumnya
konjungtiva hiperemis dan kemosis. Ekimosis di konjungtiva tersebar di atas sklera
perilimbal. Pada trauma yang sedikit hebat, terdapat pengaburan pada epitel kornea yang
intak tetapi bisa juga terdapat erosi superfisial, stroma tetap jernih atau sedikit edema.
Kamera okuli anterior normal, akuos jernih atau sel dan flare minimal, dan lensa jernih.
Disini tidak ditemukan perubahan dari tekanan intraokular.2,6

2. Trauma kimia sedang


Trauma kimia sedang sering dihubungkan dengan trauma dermal periokular.Pada
mata ditandai dengan kemosis, timbulnya opaq ( memutih ) pada konjungtiva perilimbal
dan pembuluh darah episklera. Epitel kornea terlepas, edema dan kekeruhan pada
stroma. Pada permukaan iris dan pinggir pupil bisa terlihat jelas atau kabur sebagian.
Timbulnya reaksi inflamasi pada kamera okuli anterior, dan terdapat peninggian tekanan
intra okuler sementara. Walaupun lensa awalnya jernih, dapat terjadi kemudian opaq
sifikasi lensa.2,6
3. Trauma kimia berat
Trauma kimia berat dapat diikuti dengan terlibatnya kelopak mata, dahi, pipi dan
hidung, dimana kerusakan jaringannya mirip trauma panas derajat II dan III kemosis
hebat dan perilimbal timbul opaq. Kornea menebal dan opaq, sehingga menghalangi
gambaran iris, pupil dan lensa. Reaksi inflamasi pada kamera okuli anterior berupa
iridosiklitis, walaupun gambaran sel dan flare hampir tidak jelas. Terdapat tekanan intra
okular meningkat.2,6
Trauma asam berat, menyebabkan kornea dan epitel kojungtiva menjadi opaq dengan
cepat. Pada trauma oleh asam kromik atau nitrit, jaringan dapat menjadi kuning atau
coklat. Prognosis buruk pada keadaan ini, jika perifer kornea di invasi dengan cepat oleh
sel atau pembuluh darah. 2,6
D. DIAGNOSIS
Diagnosis trauma kimia pada mata biasanya lebih berdasarkan anamnesis
dibandingkan gejalanya. Pasien umumnya mengeluhkan berbagi derajat nyeri, fotofobia,
dan penurunan visus. Pada trauma ringan dan sedang, mata tampak hiperemis, khemosis,
edema palpebra, terdapat sel dan flare di kamera okuli anterior (COA), serta kekeruhan
kornea. Pada trauma berat mata tampak putih akibat iskemia pembuluh darah
konjungtiva. 7,18,19
Mc Culley membagi bentuk klinis perjalanan penyakit trauma kimia menjadi 4
fase dengan patofisiologinya sebagai berikut: 3,4,9,10,20
1. Immediate (Fase Segera)

Gejala klinis yang timbul segera setelah terjadinya trauma kimia berhubungan
dengan luas permukaan mata yang terpapar, dalamnya penetrasi, sifat toksik serta
konsentrasi dari zat kimia. Luasnya keterlibatan permukaan okuler dapat ditentukan
dengan melihat ukuran defek epitel. Dalamnya penetrasi dapat ditentukan dengan menilai
kejernihan kornea, inflamasi intra okuler, tekanan intra okuler, dan kejernihan lensa.
Peningkatan tekanan intra okuler atau keruhnya lensa menunjukkan penetrasi ke intra
okuler yang signifikan.
2. Acute Phase (0-7 hari)
Minggu - minggu pertama setelah trauma, monitoring penting dilakukan terhadap
adanya re-epitelisasi, kejernihan kornea, tekanan intra okuler, reaksi inflamasi pada
kamera okuli anterior dan kejernihan lensa. Terjadi inflamasi pada permukaan okuler
yang progresif disertai dengan proses re-epitelisasi serta proliferasi dan migrasi
keratocyte yang lambat. Kolagenolisis atau vaskularisasi stromal jarang terjadi pada fase
ini. Inflamasi intra okuler dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra okuler, dan jika
sampai menimbulkan kerusakan pada corpus siliaris, maka akan terjadi hipotoni.
3. Early Reparative Phase (7-21 hari)
Pada fase ini, parameter klinis yang harus dimonitor sama dengan fase akut,
ditambah dengan pengamatan terhadap adanya perubahan pada kejernihan kornea. Pada
fase ini, epitel dan keratocyte kornea serta konjungtiva terus berproliferasi untuk
memperbaiki permukaan okuler dan stroma secara struktural dan fungsional.
Jika traumanya ringan, dapat terjadi re-epitelisasi yang sempurna. Tetapi jika traumanya
cukup berat, re-epitelisasi dapat tertunda atau terhenti sama sekali sehingga berpotensi
untuk terjadi penipisan kornea yang progresif dan timbulnya perforasi.
4. Late Reparative Phase (21 hari beberapa bulan)
Fase ini terbagi menjadi 2 kelompok berdasarkan kemajuan re-epitelisasinya,
yaitu :
-

Epitelisasi hampir atau sudah lengkap


Walaupun telah terjadi epitelisasi sempurna, kornea harus tetap diperiksa untuk
menentukan pemulihan sensasi dan adanya vaskularisasi stromal yang akan
mengganggu visus.

Epitelisasi kornea dari epitel konjungtiva

Terdapat 2 skema klasifikasi yang umumnya dipakai pada trauma kimia, yaitu
1. Klasifikasi Hughes
Mild

Erosi epitel kornea


Kekeruhan ringan pada kornea

Moderately

Tidak terdapat iskemia nekrotik pada konjungtiva atau sclera


Kekeruhan kornea menutupi detil iris

severe
Very severe

Terdapat iskemia nekrotik minimal pada konjungtiva atau sclera


Bayangan lingkaran pupil kabur
Terdapat iskemia nekrotik yang signifikan pada konjungtiva atau sclera

2. Klasifikasi Thofts
Grade I

Kerusakan pada epitel kornea


Tidak terdapat iskemia

Grade II

Prognosis baik
Kornea keruh, tetapi dapat terlihat detil iris
Iskemia < 1/3 limbus

Grade III

Prognosis baik
Epitel kornea hilang total, kekeruhan stroma menutupi detil iris
Iskemia 1/3-1/2 limbus

Grade IV

Prognosis kurang baik


Kornea opaq menutupi bayangan iris atau pupil
Iskemia > limbus
Prognosis jelek

E. PENATALAKSANAAN
Irigasi merupakan langkah awal yang penting untuk memperpendek kontak bahan
kimia dengan mata dan menormalkan pH mata sesegera mungkin. Cairan normal saline
dapat digunakan untuk irigasi mata selama 15-30 menit atau sampai pH normal (7,3
7,7). pH dapat diukur lagi kira-kira 30 menit setelah irigasi. Hal ini terutama penting pada
trauma alkali karena partikelnya lambat larut dan penyebab peninggian pH yang
persisten. Setelah irigasi selesai, kelopak mata dibalikkan supaya bahan partikel halus
yang tertahan di fornik seperti kapur atau semen dapat dibersihkan dengan cotton

aplikator yang dibasahi dengan salf atau cairan Ethylene diamine tetra acetic acid
(EDTA) 0,01-0,05 mol dan bisa juga untuk irigasi. Kemudian dilakukan debrideman
daerah nekrotik pada epitel kornea supaya re-epitelisasi nantinya bagus.1,2,6,10
Terapi Obat
Trauma ringan (grade I) di beri terapi jangka pendek dengan steroid topikal,
siklopegik dan antibiotik profilaks selama 7 hari. Pada trauma kimia berat, tujuan utama
terapi adalah untuk mengurangi inflamasi, meningkatkan pemulihan epitel dan mencegah
ulserasi kornea. 3
1.Kortikosteroid 1,2,3,15,20
Kortikosteroid akan mengurangi inflamasi dan infiltrasi netrofil yang menyebabkan
migrasi epitel yang lambat. Karena itu pemakaian topikal kortikosteroid yang intensif
pada fase awal trauma sebenarnya mempermudah penyembuhan epitel. Kortikosteroid
berperan dalam memudahkan re-epitelisasi dengan mengurangi inflamasi akan
meningkatkan re-epitelisasi. Super infeksi mikroba yang potensial, harus diantisipasi
dengan antibiotik profilak.
Bagaimanapun, kortikosteroid menganggu penyembuhan stroma dengan mengurangi
sintesis kolagen dan menghambat migrasi keratosit. Reaksi potensial yang merugikan
pada

penyembuhan

stroma

tersebut

harus

diatur

dengan

pengurangan dosis

kortikosteroid.
Karena adanya hubungan antara tidak bijaksananya pemakaian kortikoseroid dan ulserasi
stroma steril, muncul pertentangan pemakaian anti inflamasi pada trauma kimia kornea.
Pemakaian kortikosteroid berpotensi menimbulkan kerusakan bila ada defek epitel
persisten setelah 10-14 hari. Perbaikan stromal (pembentukan kolagen) dan mekanisme
debridemen (kolagenolisis) mulai pada saat proses remodeling stroma yang rusak.
Kortikosteroid mempengaruhi aktifitas kolagenolitik, saat yang bersamaan juga
mempengaruhi perbaikan stroma.

Secara spesifik direkomendasikan penggunaan kortikosteroid pada trauma kimia


berat sebagai berikut:

a. Terapi inisial : Dexametason 0.1% topikal q 1 hr


b. Bila terjadi proses reepitelisasi dalam 2 minggu, tappering kortikosteroid
c. Jika reepitelisasi tidak terjadi dalam 2 minggu lanjutkan pemberian kortikosteroid
minimal 10 hari, kemudian mulai tappering dengan, memperhatikan adanya
penipisan stroma. Jika ada hentikan kortikosteroid ganti dengan progestasional
steroid. Jika tidak ada, lanjutkan kortikosteroid tetapi pertimbangkan transplantasi
limbal.
2. Obat Glaukoma
Peninggian tekanan intraokular setelah trauma kimia dapat diterapi :

Beta blockers

Alpha agonist

CAIs

Hiperosmotik

Peninggian tekanan intra okuler pada fase awal karena terjadi pengerutan sklera
dan pelepasan substansi aktif seperti prostaglandin, dan diterapi dengan obat topikal dan
sistemik seperti

adrenergik antagonist, carbonic anhydrase inhibitor, dan

hyperosmotic agent.6,21,22
Peninggian tekanan intra okuler fase sedang biasanya disebabkan oleh inflamasi,
karena lensa membengkak menyebabkan terjadinya blok pupil. Diterapi dengan aquos
supressant, hiperosmotic agent dan cycloplegic.
Untuk mencegah sinekia posterior diberi obat midriatikum atau dilakukan iridektomi.
3. Asam Askorbat
Diperlukan untuk menghasilkan kolagen dan biasanya disekresi oleh epitel siliar
yang dapat rusak pada kasus berat. Pemberian askorbat topikal dan sistemik dapat
menurunkan insiden ulserasi stroma steril pada trauma kimia. Sodium Askorbat topikal
10% diberikan setiap 2 jam selama 10 hari dan dosis sistemik 2 g, diberikan 4 kali sehari.
Diberikan selama satu minggu, setelah itu ditappering menjadi 4 kali sehari dilanjutkan
sampai reepitalisasi komplet.2,3

Levinson dkkdikutip

.2

percaya bahwa kadar asam askorbat pada akuos dapat jadi

indikator adanya kerusakan badan siliar oleh alkali, karena asam askorbat tersebut
ditranspor aktif oleh badan siliar kedalam akuos. Konsentrasi asam askorbat pada kamera
okuli anterior dapat mencerminkan status fungsional dari prosesus siliaris.
4. Asam sitrat
Asam sitrat efektif mengurangi ulserasi kornea dan perforasi setelah trauma alkali pada
hewan percobaan, namun secara klinis efetifitasnya masih diteliti. Walaupun masih dalam
tahap penelitian namun pemberian sodium sitrat sesaat setelah trauma berhasil
menurunkan resiko perforasi kornea. Sodium sitrat diberikan secara topikal setiap 2 jam
selama 10 hari. Asam sitrat topikal 10% terbukti lebih efektif menghambat ulserasi
kornea dan mencegah progresifitas ulkus.2,3
5.Tetrasiklin
Tetrasiklin adalah kolagen inhibitor yang juga efektif menghambat aktivitas netrofil dan
mengurangi ulserasi steril. Tetrasiklin diberikan secara topikal dan sistemik, doxycycline
100 mg dua kali sehari.2,3 Perry dan Golub 1985

dikutip 3

menunjukkan penyembuhan ulkus

kornea steril setelah pemberian tetrasiklin oral 250 mg .


6. Siklopegik
Dalam satu jam pertama setelah trauma menyebabkan hilangnya epitel kornea atau terjadi
nekrosis jaringan, umumnya terlihat iridosiklitis. Untuk mengurangi nyeri dan mencegah
sinekia posterior, diperlukan pemberian siklopegik. Atropin 1% atau scopolamin 0,25%
adalah obat pilihan, diberikan 2 kali sehari.3

DAFTAR PUSTAKA

10

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Wagoner.M.D, Kenyon.K.R : Chemical Injury of the Eye. In Principle and Practice of Ophthalmology
vol 1 ed Jacobiec FA. WB Saunders. Philadelphia, 1994 : 234 243
Ralph R.A : Chemical Burns of the Eye. In : Tasman W, Jaeger EA. Duanes Clinical Ophthalmology.
Vol 1 chap 28. Lippicont-Raven. Philadelphia, 1997: 1- 21
Kanski. J.J: Chemical Injuries. In Clinical Ophthalmology 4 th. Ed Kanski.J.J. ButterworthHeinemann, Oxford 1999 : 660-662
McCulley.J.P. Chemical Agent. In : The Cornea Ed 3 th. Smollin.G, Thoft.R.A. Little Brown And
Company. Boston, 1994 : 617-630
Randleman.J.B. Burns, Chemical. Diakses dari www.emedicine.com . Last update : September 22,
2006
Langston D.P. Burns and Trauma. In Manual of Ocular Diagnosis and Therapy 4 edition. Ed Langston
D.P. little Brown and Company. New York, 1996: 31-34.
Cox R. Burns, Chemical. Diakses dari www.emedicine.com . Last update : March, 2005

American Academy Ophthalmology, Pathology. In : External Disease and Cornea.


Basic and Science Course Section 8 San Fransisco 2001-2002: 357-361.
Hemady R.K, Hormozi D : Ocular Trauma. In Clinical Guide to Chomprehensive Ophthalmology. Ed
Lee D.A, Higginbotham E.J. Thieme New York 1999 : 85-89
Kenyon.K.R, Wagoner. M.D : Chemical Injuries: Emergency Intervention. Chap 11. In Ocular Trauma
Principle and Practice. Ed : Kuhn F, Pierramici DJ. Thieme, New York, 2002 : 77-82
Pfister RR. Chemical Trauma. In : Foster CS, Azar DT, Dohlman CH. Smolin and Thofts The Cornea
Scientific Foundations and Clinical Practice ed 4th. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia,
2005: 781-795
Arifin . R. Gondhowiardjo .T.D. Medroksiprogesteron Topikal Untuk Penatalaksanaan Trauma Alkali
Dengan Ulserasi kornea. In Ophthalmologica Indonesia. Volume XVII No 4, Juli 2000.Penerbit ISSN
0216 1193 Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. : 44 49
Kanski JJ. Clinical Ophthalmology ed 4th. Butterworth-Heinemann. Edinburgh, 2003 : 677-680
Macewen CJ. Ocular Injuries. J.R.Coll.Surg.Edinburg (44). October 1999 : 317-323
Belin. M.W, Catalano. R, Scot .J. Burn of the Eye. In Ocular Emergencies. Chapter VII. Belin. M W.B
Saunders Company. Philadelpia, London 1994 : 179 183

Dua H.S, King A.J, Joseph A: A new classification of ocular surface burns. In British
Journal of Ophthalmology 2001;85: 1379-1383
17. Lyle. TK. Cross AG. Cook CAG. Injury of the Eyeball. In My and Worths Manual
of Disease of The Eye. CBS Publisher & Distribution. Delhi, 1985; 405-406
16.

18. Harun S, Srinivasan S, Hollingworth K, Batterbury, Kaye S: Modification of Classification of Ocular


Chemical Injuries. In British Journal of Ophthalmology 2004;88: 1353-1355
19. Yolton DP. Use of Topical Steroids for the Treatment of Anterior Segment Ocular Disease. Diakses dari
yoltond@pacificu.edu Last Update : Januari, 2007
20. Kenyon.K.R, Wagoner. M.D : Chemical Injuri of the Eye. In In Principle and Practice

of Ophthalmology vol 1 ed Jacobiec FA. WB Saunders, Philadelphia ;1994 :p 234


243
21. Shields MB. Gaucoma Associated with Ocular Trauma. In: Shields MB, ed. Textbook
of Glaucoma. 2nd ed. Williams&Wilkins: Baltimore, 1987;21:332-333.
22. Stamper RL, Lieberman MF, Drake MV. Secondary Open-angle Glaucoma. In:
Stamper RL, Lieberman MF, Drake MV, eds. Diagnosis and Therapy of the
Glaucomas 7th ed.Mosby Co.:St. Louis, 1999;18:332-333.

11

12

Anda mungkin juga menyukai