Anda di halaman 1dari 44

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat dan hidayah-Nya penulis, referat yang berjudul Trakeostomi ini dapat
terselesaikan. Referat ini merupakan salah satu pemenuhan syarat menyelesaikan kepaniteraan
klinik Ilmu THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti.
Banyak terima kasih penulis sampaikan kepada pembimbing, dr Farida Nurhayati,
Sp.THT-KL, M.Kes atas segenap waktu, tenaga, dan pikiran yang telah diberikan selama proses
pembuatan referat ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan kepaniteraan
klinik Ilmu THT-KL periode 1 Agustus - 3 September 2016 atas kebersamaan dan kerja sama
yang terjalin selama ini. Tidak lupa penulis ingin berterima kasih kepada orang tua dan keluarga
atas dukungan moril maupun materil serta doa yang tidak pernah putus.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu segala kritik dan saran yang membangun akan sangat diharapkan demi penyempurnaannya.
Semoga referat ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi para pembaca.

Jakarta, 11 Agustus 2016

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................

Daftar Isi .............................................................................................................

BAB. I Pendahuluan............................................................................................

BAB II. Tinjauan Pustaka


2.1 Anatomi.......

2.2 Fisiologi.......

10

2.3 Patofisiologi.................

10

2.4 Definisi.... ...............

13

2.5 Indikasi..... ..............

14

2.6 Klasifikasi........ .......

15

2.7 Alat-alat...........................................................

15

2.8 Teknik .............................................................

31

2.9 Perawatan Pasca Trakeostomi......

37

2.10 Komplikasi....... .....................

38

BAB III. Kesimpulan... ...

43

Daftar Pustaka ...................................................................................................

44

BAB I
PENDAHULUAN
Akses darurat guna mengendalikan jalan nafas atas dapat dicapai dengan tindakan
trakeostomi. Pehaman terhadap anatomi sangat penting dalam prosedur ini sehingga dapat
dilakukan dengan cepat dan aman.1
Trakeostomi telah dilakukan selama lebih dari 2.000 tahun. Trakeostomi pertama kali
tertulis dalam Rig Veda, kitab suci umat Hindu 2000 SM. Pada tahun 1620, Habicot menerbitkan
buku pertama tentang trakeostomi. Pada tahun 1800-an topik tentang trakeostomi menjadi
populer karena dapat menyelamatkan pasien difteri. Pada saat itu ada dua cara, metode letak
tinggi dengan memotong tulang rawan krikoid dan yang kedua metoda letak rendah melalui
pemotongan tulang rawan trakea. Sampai tahun 1900-an trakeostomi hanya dilakukan pada
pasien yang hampir meninggal dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Sikap
terhadap tindakan trakeostomi ini berubah ketika Chevalier Jackson pada tahun 1909
menggambarkan teknik trakeostomi modern. Jackson kemudian menggambarkan bahwa
tingginya kerusakan dan stenosis pada laring dan trakea yang dihubungkan dengan tindakan
trakeostomi letak tinggi dalam artikelnya pada tahun 1921 yang berjudul High Tracheotomy
and Other Errors: The Chief Cause of Chronic Laryngeal Stenosis. Dalam artikel ini Jackson
mengatakan bahwa tingginya angka stenosis laring dan trakea akibat tindakan trakeostomi letak
tinggi, yang merusak kelenjar tiroid dan trakea. Jackson kemudian menyarankan trakeostomi
dibawah cincin trakea kedua yang secara signifikan mengurangi stenosis laring dan trakea dan
dapat menurunkan angka kematian dari 25% sampai 1-2%, terutama pada anak-anak. Teknik ini
telah diikuti sampai sekarang.2
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan atau anterior trakea
untuk bernapas.3 Terdapat berbagai indikasi untuk melakukan tindakan trakeostomi mulai dari
yang bersifat darurat maupun elektif.4 Sejumlah referensi menjelaskan prosedur trakeostomi
namun pada dasarnya semua mengharuskan adanya persiapan pasien dan alat yang baik. 5
Tindakan trakeostomi dapat menimbulkan berbagai komplikasi baik akut maupun kronik.6

Pada kebanyakan kasus trakeostomi bersifat sementara, memberikan rute pernapasan


alternatif sampai kondisi medis lainnya teratasi. Jika seseorang perlu untuk tetap terhubung ke
ventilator dalam jangka waktu yang lama, trakeostomi sering merupakan solusi terbaik.7

BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Saluran Pernafasan
2.1.1 Anatomi Sistem Pernapasan Bagian Atas
Saluran pernapasan bagian atas terdiri dari:
1. Lubang hidung (cavum nasalis)
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago). Hidung
dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago dan jaringan ikat
(connective tissue). Bagian dalam hidung merupakan suatu lubang yang dipisahkan
menjadi lubang kiri dan kanan oleh sekat (septum). Rongga hidung mengandung
rambut (fimbriae) yang berfungsi sebagai penyaring (filter) kasar terhadap benda asing
yang masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung terdapat epitel bersilia yang
mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan lendir sehingga dapat menangkap
benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Kita dapat mencium aroma
karena di dalam lubang hidung terdapat reseptor. Reseptor bau terletak pada cribriform
plate, di dalamnya terdapat ujung dari saraf kranial I (Nervous Olfactorius). Hidung
berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara, pengatur kelembaban udara
(humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan
resonator suara.8
2. Sinus paranasalis
Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala. Dinamakan
sesuai dengan tulang tempat dia berada yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus
sphenoidalis, dan sinus maxillaris. Sinus berfungsi untuk:
1. Membantu menghangatkan dan humidifikasi
2. Meringankan berat tulang tengkorak
3. Mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi. 8
3. Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong yang letaknya bermula dari
dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus pada ketinggian tulang
rawan (kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat digestion (menelan) seperti

pada saat bernapas. Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi tiga yaitu di belakang
hidung (naso-faring), belakang mulut (oro-faring), dan belakang laring (laringofaring). 8
a) Naso-faring
Terdapat pada superior di area yang terdapat epitel bersilia (pseudo stratified)
dan tonsil (adenoid), serta merupakan muara tube eustachius. Tenggorokan
dikelilingi oleh tonsil, adenoid, dan jaringan limfoid lainnya. Struktur tersebut
penting sebagai mata rantai nodus limfatikus untuk menjaga tubuh dari invasi
organisme yang masuk ke dalam hidung dan tenggorokan. 8
b) Oro-faring
Berfungsi untuk menampung udara dari naso-faring dan makanan dari mulut.
Pada bagian ini terdapat tonsil palatina (posterior) dan tonsil lingualis(dasar lidah). 8
4. Laring
Laring sering disebut dengan voice box dibentuk oleh struktur epitel umlined
yang berhubungan dengan faring (di atas) dan trakhea (di bawah). Laring terletak di
anterior tulang belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari esofagus berada di
posterior laring. Fungsi utama laring adalah untuk pembentukan suara, sebagai proteksi
jalan napas bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk.
Laring terdiri atas:
1) Epiglotis; katup kartilago yang menutup dan membuka selama menelan.
2) Glotis; lubang antara pita suara dan laring.
3) Kartilago tiroid; kartilago yang terbesar pada trakhea, terdapat bagian yang
membentuk jakun.
4) Kartilago krikoid; cincin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah kartilago
tiroid).
5) Kartilago aritenoid; digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan kartilago
6)

tiroid.
Pita suara; sebuah ligamen yang dikontrol oleh pergerakan otot yang menghasilkan
suara dan menempel pada lumen laring. 8

2.1.2 Anatomi Sistem Pernapasan Bagian Atas


Saluran pernapasan bagian bawah (tracheobronchial tree) terdiri dari:
1) Trakea

Trakhea merupakan perpanjangan laring yang bercabang menjadi dua bronkhus.


Ujung cabang trakhea disebut carina. Trakhea bersifat sangat fleksibel, berotot, dan
memiliki panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf C. 8
2) Bronkus dan Bronkiolus
Cabang bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih vertikal
daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah masuk
ke dalam cabang sebelah kanan daripada bronkhus sebelah kiri. 8
Segmen dan subsegmen bronkhus bercabang lagi dan berbentuk seperti ranting
masuk ke setiap paru-paru. Bronkhus disusun oleh jaringan kartilago sedangkan
bronkhiolus, yang berakhir di alveoli, tidak mengandung kartilago. Tidak adanya
kartilago menyebabkan bronkhiolus mampu menangkap udara, namun juga dapat
mengalami kolaps. Agar tidak kolaps alveoli dilengkapi dengan poros/lubang kecil
yang terletak antar alveoli yang berfungsi untu mencegah kolaps alveoli. 8
Saluran pernapasan mulai dari trakhea sampai bronkhus terminalis tidak
mengalami pertukaran gas dan merupakan area yang dinamakan Anatomical Dead
Space. Awal dari proses pertukaran gas terjadi di bronkhiolus respiratorius.1

Gambar 2.1

Anatomi Saluran

Pernapasan

(Sherwood, 2001)

2.1.3 Anatomi Trakea


Trakea merupakan tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago. Trakea
berawal dari kartilago krikoid yang berbentuk cincin stempel dan meluas ke anterior pada
esofagus, turun ke dalam thoraks di mana ia membelah menjadi dua bronkus utama pada
karina. Pembuluh darah besar pada leher berjalan sejajar dengan trakea di sebelah lateral
dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak di atas trakea di sebelah
depan dan lateral. Ismuth melintas trakea di sebelah anterior, biasanya setinggi cincin
trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagus.

Di bawah jaringan subkutan dan menutupi trakea di bagian depan adalah otot-otot supra
sternal yang melekat pada kartilago tiroid dan hyoid. 8,9

Gambar 2.2 Anatomi Trakea (Sherwood, 2001)


Trakhea merupakan perpanjangan laring pada ketinggian tulang vertebre
cervicalis ke-6. Trakea merupakan tabung yang terdiri dari jaringan ikat dan otot polos,
dengan disokong oleh 15 20 kartilago berbentuk huruf C. Kartilago membentuk sisi
anterior dan lateral. Berfungsi melindungi trakea dan menjaga terbukanya jalan udara.
Dinding posterior tidak memiliki kartilago. Esofagus terletak langsung pada dinding
posterior yang tidak memiliki kartilago. Trakea dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia yang
memiliki banyak sel Goblet.8,9
Dindingnya dibangun oleh sebaris tulang rawan yang bentuknya serupa dengan
huruf C dengan ujung-ujungnya yang terbuka lebar menuju ke belakang, cincin-cincin
trakea ini saling dihubungkan oleh suatu selaput elastis : Ligamentum Annularium
8

trakealis. Antara kedua ujung posterior yang terbuka terdapat dinding selaput. Didaerah
leher kita dapat menemukan ventral dari trakea : Isthmus glandula tiroid setinggi cincincincin trakea ke-2, ke-3, ke-4 kemudian dibawahnya : valvula tirodea inferior. Didalam
toraks, trakea mempunyai hubungan dengan pembuluh-pembuluh besar didalam
mediastinum superior. Lateral sebelah kanan dari trakea tampak nervus vagus dexter.8,9
Trakea terdiri dari 9 kartilago yang terhubung satu sama lain dengan otot dan
ligamen. 6 kartilago berpasangan, 3 kartilago tidak berpasangan.
1) Kartilago tiroid

: kartilago terbesar dan terletak paling superior, sering

disebut Adams apple


2) Kartilago krikoid

: kartilago paling inferior yang tidak berpasangan, yang

membentuk dasar laring.


3) Epiglotis

: kartilago ketiga yang tidak berpasangan. Terdiri dari

kartilago elastis daripada hialin. Selama menelan epiglotis menutup pembukaan laring
dan mencegah masuknya berbagai materi ke dalam laring. 6 kartilago yang saling
berpasangan terletak pada 2 pilar antara kartilago krikoid dan tiroid.
4) Kartilago aritenoid

: terbesar dan terletak paling inferior

5) Kartilago kornikulatum

: terletak di tengah

6) Kartilago kuneiformis

: terletak paling superior dan terkecil. 8,9

2.2 Fisiologi Saluran Pernafasan


Sistem pernapasan mencakup saluran pernapasan yang berjalan ke paru, paru itu
sendiri, dan struktur-struktur toraks (dada) yang terlibat menimbulkan gerakan udara masukkeluar melalui saluran pernapasan. Saluran hidung berjalan ke faring (tenggorokan), yang
berfungsi sebagai saluran bersama bagi sistem pernapasan maupun sistem pencernaan.
Terdapat dua saluran yang berjalan dari faring-trakea merupakan tempat lewatnya udara ke
paru, dan esofagus merupakan saluran tempat lewatnya makanan ke lambung.8
9

Laring atau kotak suara yang terletak di pintu masuk trakea memiliki penonjolan di
bagian anterior yang membentuk jakun (adams apple). Pita suara merupakan dua pita
jaringan elastik yang terentang di bukaan laring, dapat diregangkan dan diposisikan dalam
berbagai bentuk oleh otot-otot laring. Pada saat udara mengalir cepat melewati pita suara
yang tegang, pita suara tersebut bergetar untuk menghasilkan bermacam-macam bunyi. Pada
saat menelan, pita suara mengambil posisi rapat satu sama lain untuk menutup pintu masuk
ke trakea. 8

Gambar 2.3 Plika vokalis (Sherwood, 2001)


2.3 Patofisiologi Saluran Pernafasan Atas
Obstruksi saluran napas atas mengakibatkan hipoventilasi alveolus dan menimbulkan
tiga perubahan biokimiawi : hipoksi arterial (hipoksemi), retensi CO2 (hiperkapni) dan
asidosis respirasi dan metabolik (penurunan serum). Asidosis metabolic disebabkan oleh
terbentuknya asam laktat dan penimbunan asam karbonat. Ketiga faktor tersebut dapat
menyebabkan asfiksia.8
Hipoksi menyebabkan gangguan fungsi seluler terutama pada SSP. Badan karotis dan
aorta merupakan reseptor kimiawi terpenting yang mendeteksi perubahan O 2.1 Hipoksemi
pada tingkat tertentu akan meningkatkan usaha pernapasan, takikardi, vasokonstriksi perifer
dan hipertensi, peningkatan resistensi pembuluh darah paru, peningkatan aktivitas adrenal,
dan peningkatan aktivitas korteks serebri akibat rangsangan reseptor kimia dan sistem saraf
10

simpatis. Efek ini diperkuat oleh asidosis dan hiperkapni, yang biasanya menyertai
hipoksemi sebagai akibat hipoventilasi alveolus.8
Jika hipoksia berlangsung beberapa hari terjadi penyesuaian fisiologik dan perbaikan
gejala. Peningkatan aliran darah dan polisitemia memperbaiki oksigenisasi jaringan.
Hiperkapni dapat merangsang langsung SSP (merangsang pernapasan). Umumnya dapat
meninggikan frekuensi pernapasan dengan akibat lainnya berupa sakit kepala, peka terhadap
rangsangan, bingung, gatal, lemas dan lesu. Hiperkapni berat menyebabkan pasien tidak
sadar, reflex menurun, kaku, tremor, dan kejang. Akhirnya terdapat narkosis CO2 dan koma.1
Ion H+ merupakan stimulan pernapasan spesifik untuk pusat pernapasan di medulla. Tetapi
H+ dalam cairan serebrospinal tidak dapat menembus sawar darah otak dengan baik,
sedangkan CO2 dapat dengan cepat memasukinya. Kadar CO2 yang meningkat menyebabkan
asidosis cairan serebrospinal dan stimulasi pernapasan. Oleh karena CO2 harus berdifusi
dalam cairan serebrospinal yang tidak mempunyai sistem buffer maka kadar ion H + abnormal
dalam cairan serebrospinal akan timbul secara bertahap tetapi berlangsung lebih lama dan
lebih hebat daripada kelainan darah perifer.8
2.3.1 Sumbatan Laring
Sumbatan laring dapat disebabkan oleh :3
1. Radang akut dan radang kronik.
2. Benda asing.
3. Trauma akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan senjata tajam.
4. Trauma akibat tindakan medik.
5. Tumor laring, baik berupa tumor jinak atau pun tumor ganas.
6. Kelumpuhan nervus rekuren bilateral.
Gejala dan tanda sumbatan laring ialah:
1. Suara serak (disfoni) sampai afoni.
2. Sesak napas (dispnea).
3. Stridor (napas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi. 3Stridor merupakan suara
nafas bernada rendah saat insipirasi yang disebabkan oleh udara yang melewati saluran
nafas yang menyempit pada saluran nafas atas yang biasanya memiliki saluran yang
besar. Sering terjadi akibat sumbatan pada laring dan trakea bagian atas.3
11

4. Cekungan

yang

terdapat

pada

waktu

inspirasi

di

suprasternal,

epigastrium,

supraklavikula, dan interkostal. Cekungan ini terjadi sebagai upaya dari otot-otot
pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.
5. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger).
6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia. 3
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium dengan tanda dan gejala: 3
1. Stadium 1 :

Cekungan tampak waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada waktu

inspirasi dan pasien masih tenang.


2. Stadium 2 :

Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam,

ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium. Pasien sudah mulai
gelisah. Stridor terdengar waktu inspirasi.
3. Stadium 3 :

Cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di

infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor terdengar pada
waktu inspirasi dan ekspirasi.
4. Stadium 4 : Cekungan-cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak
sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka pasien akan
kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien lemah dan
tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia.

2.3.2 Penanggulangan Sumbatan Laring


Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan penyebab sumbatan
dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang dapat menjamin ventilasi. Dalam
penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya diusahakan supaya jalan napas lancar
kembali.3
Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti alergi, antibiotika, serta
pemberian oksigen inttermitten dilakukan pada sumbatan laring stadium 1 yang disebabkan
peradangan. Tindakan operatif atau resursitasi untuk membebaskan saluran napas ini dapat
dengan cara memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui
hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma atau melakukan krikotirotomi. Intubasi
12

endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan laring stadium 2 dan 3,
sedangkan krikotirotomi dilakukan pada sumbatan laring stadium 4. Tindakan operatif atau
resusitasi dapat dilakukan berdasar anlisis gas darah (pemeriksaan Astrup).3
2.4 Definisi
Trakeostomi

adalah

pembuatan

lubang

di

dinding

anterior

trakea

untuk

mempertahankan jalan napas.3


Trakeostomi merupakan tindakan bedah trakea untuk membuat trakeostoma.
Trakeostomi dapat menyelamatkan jiwa penderita yang mengalami obstruksi jalan napas di
atas trakea dan tidak dapat diatasi dengan cara lain, misalnya intubasi. Trakeostomi juga
dilakukan pada penderita yang memerlukan bantuan pernapasan buatan untuk waktu lama
dan yang memerlukan bantuan pernapasan buatan untuk waktu lama dan yang memerlukan
pertolongan pembersihan jalan nafas secara memadai. Trakeostoma merupakan fistel antara
trakea dan kulit leher yang dipertahankan dengan kanul.3,9
Insisi yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeotomi sedangkan tindakan yang
membuat stoma selanjutnya diikuti dengan pemasangan kanul trakea agar udara dapat masuk
ke dalam paru-paru dengan menggunakan jalan pintas jalan nafas bagian atas disebut dengan
trakeostomi. Istilah trakeotomi dan trakeostomi dengan maksud membuat hubungan antara
leher bagian anterior dengan lumen trakea, sering saling tertukar. Definisi yang tepat untuk
trakeotomi ialah membuat insisi pada trakea, sedang trakeostomi ialah membuat stoma pada
trakea.3,9
Dapat disimpulkan, trakeostomi adalah tindakan operasi membuat jalan udara melalui
leher dengan membuat stoma atau lubang di dinding depan/ anterior trakea cincin kartilago
trakea ketiga dan keempat, dilanjutkan dengan membuat stoma, diikuti pemasangan kanul.
Bertujuan mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan memintas
jalan nafas bagian atas saat pasien mengalami ventilasi yang tidak adekuat dan gangguan lalu
lintas udara pernapasan karena obstruksi jalan nafas bagian atas.3,9

13

Gambar 2.4

Trakeostomi

(Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, dan Kepala Leher, 2012)

2.5 Indikasi
Adapun indikasi dari dilakukannya tindakan trakeostomi antara lain:
1. Mengatasi obstruksi jalan nafas atas seperti laring.
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran nafas bagian atas seperti daerah rongga
mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh seluruh oksigen yang
dihirupkan akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertingga l di ruang rugi itu. Hal ini
berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang.
3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat mengeluarkan
sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma.
4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernafasan).
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk
bronkoskopi.
6. Cedera parah pada wajah dan leher.
7. Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan sehingga

mengakibatkan

resiko tinggi terjadinya aspirasi.3

2.6 Klasifikasi
14

Menurut lama penggunaannya, trakeosomi dibagi menjadi penggunaan permanen dan


penggunaan sementara. Menurut letak insisinya, trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan
letak yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga. Jika dibagi menurut waktu
dilakukannya tindakan, maka trakeostomi dibagi kepada trakeostomi darurat dengan persiapan
sarana sangat kurang dan trakeostomi elektif (persiapan sarana cukup) yang dapat dilakukan
secara baik.3
2.7 Alat-alat Trakeostomi
Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi ialah :3
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Semprit dengan obat analgesia (novokain)


Pisau (scalpel)
Pinset anatomi
Gunting panjang yang tumpul
Sepasang pengait tumpul
Klem arteri
Gunting kecil yang tajam

Gambar 2.5 Alat-alat trakeostomi (Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, dan Kepala Leher,2012)
15

8. Kanul trakea
Kanul trakeostomi yang ideal harus cukup kaku untuk dapat mempertahankan
jalan nafas namun cukup fleksibel untuk membatasi kerusakan jaringan dan memberikan
kenyamanan pada pasien. Kanul trakeostomi tersedia dalam berbagai macam ukuran
panjang dan diameter. Standar panjang kanul trakeostomi berdasarkan Jackson yaitu 6090 mm (dewasa), 39-56 mm (anak-anak) dan 30-36 mm (neonatus).10
A. Komponen Kanul Trakea 13,15,16,17
1) Outer Kanul
Adalah bodi utama kanul yang masuk trakea. Ukuran kanul sering tetapi
tidak selalu merujuk pada inner diameter dari outer kanul. Inner kanul masuk
kedalam outer kanul.
2) Inner Kanul
Inner kanul adalah kanul yang dapat dilepas atau dipasang dari outer kanul
untuk menjamin airway yang adekuat. Inner kanul lebih sempit dan sedikit lebih
panjang dari outer kanul yang mencegah meluapnya sekret pada ujung outer
kanul.
3) Cuff
Balon yang terletak pada ujung akhir dari kanul. Bila digelembungkan
dapat mengencangkan kanul pada dinding trakea. Cuff dapat dikempeskan atau
digelembungkan untuk mencegah aspirasi dan menjamin ventilasi tekanan positif.
4) Pilot Balon
Balon luar yang dihubungkan dengan saluran kecil menuju cuff. Bila cuff
menggelembung maka pilot balon juga menggelembung dan kebalikannya.
5) Flange / Neck Plate / Penahan Leher
Flange menyokong bodi utama kanul, mencegah kanul masuk ke dalam
trakea dan memungkinkan kanul diamankan dengan pengikat tali. Kode kanul,
ukuran dan tipe sering dituliskan pada flange. Flange pada kanul dewasa
berbentuk lurus, sedangkan flange pada neonatus dan dewasa berbentuk lebih
melengkung untuk menyesuaikan bentuk leher yang lebih pendek.Variasi lain

16

termasuk kanul dengan flange yang dapat disesuaikan. Kanul ini sangat berguna
pada pasien dengan leher yang lebar atau pre-trakeal space yang tebal. Kanul
tertentu memiliki flange yang dapat berputar sehingga memudahkan pembalutan
dan pemeliharaan luka.
6) Introducer / Obturator
Alat dengan ujung meruncing yang diletakkan di dalam outer kanul
selama pemasangan kanul. Alat ini akan mengurangi trauma pada waktu
pemasangan kanul dan memberikan petunjuk sehingga memudahkan pemasangan.
Obturator dilepas bila kanul telah terpasang sehingga udara bisa masuk dan
keluar. Obturator terdapat pada hampir semua kanul dewasa dan beberapa kanul
pediatric dan neonatus.
7) Fenestration/ Jendela
Satu atau beberapa lubang yang terletak pada lengkung superior dari bodi
kanul. Lubang-lubang ini memungkinkan aliran udara, sehingga memungkinkan
pasien berbicara dan batuk lebih efektif.
8) 15 mm Adaptor
Kanul trakea yang digunakan di Rumah Sakit sebagian besar dilengkapi
dengan 15 mm adaptor untuk menghubungkan dengan ventilator. Bila keadaan
pasien telah stabil kanul dapat diganti dengan tanpa 15 mm adaptor yang mana
secara kosmetik lebih baik.

Gambar 2.6 Bagian-bagian kanul trakea (Available at http://www.fpnotebook.com,


17

2016)
B. Ukuran Dimensi Kanul Trakea
Kanul trakea tersedia dalam berbagai macam ukuran dan jenis dari berbagai
pabrik. Ukuran kanul trakea digolongkan dalam inner diameter (ID), outer diameter
(OD), panjang dan kelengkungan.13, 15
Kanul trakea dapat bersudut atau lengkung.Bentuk kanul seharusnya sesuai
dengan anatomi saluran napas. Oleh karena bentuk trakea adalah lurus,kanul bentuk
lengkung tidak sesuai dengan bentuk anatomi trakea sehingga menyebabkan
penekanan membran trakea dan ujungnya menyebabkan trauma pada bagian anterior.
Bila kanul lengkung terlalu pendek dapat menyebabkan obstruksi oleh karena
penekanan pada dinding trakea posterior. Keadaan ini dapat diatasi dengan mengganti
kanul dengan ukuran yang lebih luas, kanul bersudut, kanul fleksibel, atau kanul
ekstra panjang. Kanul bersudut memiliki bagian yang lengkung dan bagian yang
lurus. Kanul ini memasuki trakea dengan kemungkinan trauma yang minimal dan
tekanan yang lebih ringan pada stoma. Oleh karena bagian kanul yang masuk trakea
adalah bagian yang lurus dan lebih sesuai dengan anatomi saluran napas, kanul
bersudut lebih mudah masuk trakea dan menyebabkan tekanan yang lebih ringan
pada dinding trakea.13

Gambar 2.7 Kanul bersudut dan lengkung (Hess.D.Tracheostomy tubes and related
appliances, 2005).
C. Macam-macam Kanul Trakea
1) Kanul dengan cuff
Kanul yang mula-mula dipakai pada waktu trakeostomi seharusnya kanul
dengan cuff sebab menjamin airway yang aman sampai pasien lepas dari
ventilator, luka sudah membaik dan pasien dapat mengontrol sekresi. Cuff pada
18

bagian distal dari kanul dapat digelembungkan atau dikempiskan sesuai dengan
kebutuhan pasien.11
Tekanan kapiler trakea adalah antara 25-35 mmhg.Tekanan tinggi pada
dinding trakea dapat menyebabkan perlukaan pada mukosa trakea.Komplikasi
dari tekanan yang berlebihan dari cuff dapat menyebabkan tracheal stenosis,
tracheomalasia, fistula tracheoesophageal, desentisisasi laring dan kehilangan
reflek batuk. Tekanan maksimum intra cuff yang dapat diterima adalah 25 mmhg.
Jika tekanan cuff terlalu rendah terjadi resiko aspirasi. Oleh sebab itu tekanan cuff
hendaknya dipertahankan antara 20-25 mmhg untuk meminimalkan resiko
perlukaan pada trakea atau resiko aspirasi.11,13,15
Manometer pengukur tekanan cuff digunakan untuk mengukur tekanan cuff
yang dimasukkan ke dalam trakea. Tekanan cuff dapat dicatat dan dimonitor
secara rutin. Pencatatan dilakukan lebih sering bila kanul diganti, jika posisinya
berubah, jika volume udara pada cuff berubah atau jika terjadi kebocoran. 11,13,15
Terdapat bermacam-macam kanul dengan cuff. Bagi pasien dengan resiko
tinggi aspirasi kanul khusus dapat digunakan sehingga memberikan proteksi yang
lebih besar.11

Gambar 2.8 Manometer pengukut tekanan cuff Macam-macam kanul dengan cuff
khusus (Tracheostomy,a multiprofessional handbook Cambridge university
press.New York, 2004)
a. Cuff volume tinggi tekanan rendah
Cuff dengan volume tinggi tekanan rendah adalah jenis cuff yang paling
sering digunakan. Sebab yang paling sering dari tekanan cuff yang tinggi

19

adalah diameter kanul yang terlalu kecil yang menyebabkan overfilling cuff.
Sebab lain yang menyebabkan tekanan cuff yang terlalu tinggi adalah
malposisi kanul, overfilling cuff, dilatasi trakea dan penggunaan cuff volume
rendah tekanan tinggi. 11,13,15

Gambar 2.9 Cuff volume tinggi tekanan rendah (Tracheostomy,a


multiprofessional handbook Cambridge university press.New York,
2004)
b. Cuff busa (Foam cuff)
Cuff busa secara otomatis menggelembung pada waktu dimasukkan dan
kemudian menyesuaikan dengan trakea. Sebelum insersi,udara di dalam cuff
dikosongkan dengan menggunakan syringe melalui pilot balon. Bila kanul
sudah terpasang, syringe dilepas agar cuff dapat mengembang melawan
dinding trachea. Pilot balon langsung berhubungan dengan atmospher. Tekanan
di dalam cuff akan dipertahankan tidak melebihi 20 mmhg sehingga
mengurangi tekanan pada dinding trakea. Kanul jenis ini jarang digunakan.
20

Biasanya digunakan pada pasien yang telah mengalami perlukaan trakea oleh
karena tekanan cuff. 11,13,15

Gambar 2.10 Cuff busa (Tracheostomy,a multiprofessional handbook


Cambridge university press.New York, 2004)
c. Cuff yang menempel pada bodi kanul (Tight to shaft cuff)
Kanul dengan cuff jenis ini bila cuff dikempiskan memiliki profil yang
mirip dengan kanul tanpa cuff. Hal ini menyebabkan trauma yang lebih ringan
pada waktu insersi dan dekanulasi. 11,13,15

Gambar 2.11 Cuff yang menempel pada bodi kanul


(Tracheostomy,a multiprofessional handbook Cambridge university
press.New York, 2004)
d. Cuff dengan alat bantu suction (Suction port)
Cuff pada kanul dapat meminimalkan aspirasi, tetapi aspirasi tetap dapat
21

terjadi. Kanul dengan suction port di atas cuff memungkinkan sekresi dapat
dilakukan suctionasi secara teratur sehingga mengurangi resiko aspirasi dan
infeksi. 11,13,15

Gambar 2.12 Cuff dengan suction port (Tracheostomy,a


multiprofessional handbook Cambridge university press.New York,
2004)
2) Kanul tanpa cuff
Kanul jenis ini tidak terdapat cuff pada bagian distal dari kanul.Kanul ini
berguna bila pasien tidak lagi membutuhkan ventilasi tekanan positif dan tidak
ada resiko terjadinya aspirasi. Tracheostomi masih diperlukan untuk pengeluaran
sekresi dan sebagai jalan napas oleh karena obstruksi. Kanul jenis ini dapat
dikenali dengan tidak adanya pilot balon. 11,13,15
Neonatus dan pediatrik direkomendasikan penggunaan kanul tanpa cuff
oleh karena resiko kerusakan pada membran trakea yang sedang berkembang.
Anak di bawah usia 12 tahun memiliki trakea yang sempit khususnya di sekitar
cincin trakea sehingga kebocoran udara minimal. Hal ini memudahkan
penggunaan kanul tanpa cuff pada anak-anak.11,14

Gambar 2.13 Kanul tanpa cuff (Hess.D.Tracheostomy tubes and related appliances,
2005)
22

3) Kanul dengan fenestrasi


Kanul dengan fenestrasi memiliki satu atau beberapa lubang pada
lengkung luar kanul. Sebagai tambahan kanul trakea dengan fenestrasi adalah
inner kanul dengan sumbat plastik. Bila inner kanul dilepas, cuff dikempiskan,
pasien dapat melakukan inspirasi dan expirasi melalui fenestrasi dan sekitar
kanul. Hal ini memungkinkan pasien untuk bernapas melalui oral atau nasal
(mempersiapkan pasien untuk dekanulasi) dan memungkinkan udara melalui plika
vokalis sehingga terjadi phonasi. 11,13,15
Kanul trakea dengan fenestrasi sering tidak terpasang dengan baik. Kanul
jenis ini dapat meningkatkan tahanan bila fenestrasi tidak diposisikan dengan
baik. Komplikasi ini dapat diminimalkan bila terdapat lebih dari satu fenestrasi.
Terbentuknya jaringan granulasi pada fenestrasi dapat menyebabkan ancaman
jalan napas. 11,13,15
Kanul dengan fenestrasi merupakan kontra indikasi pada pasien yang
memerlukan ventilasi tekanan positif karena terjadi kebocoran udara yang
signifikan melalui fenestrasi pada outer kanul dan mengurangi efektivitas
ventilasi. 11,13,15

Gambar 2.14 Penggunaan kanul trakea dengan fenestrasi dan cuff dikempiskan
memungkinkan pasien dapat bernapas lewat jalan napas yang normal
(Hess.D.Tracheostomy tubes and related appliances, 2005)
4) Kanul extra panjang dan flange (neck plate) yang dapat disesuaikan
Kanul trakea tersedia dalam panjang yang standar dan extra panjang.
Kanul extra panjang terdiri dari extra panjang bagian proximal (horizontal) dan
23

extra panjang bagian distal (vertikal). Extra panjang bagian distal kadang-kadang
tersedia dengan dobel cuff yang memungkinkan cuff dapat digelembungkan atau
dikempiskan dua-duanya atau salah satu diantaranya sehingga menurunkan resiko
perlukaan pada trakea.11,13
Extra panjang bagian proximal digunakan pada pasien dengan leher yang
tebal (pasien obesitas). Extra panjang bagian distal digunakan pada pasien dengan
tracheal malacia atau tracheal anomali. Pemasangan yang benar sangat diperlukan
pada penggunaan kanul jenis ini karena dapat mengakibatkan obstruksi bagian
distal. Beberapa kanul memiliki flange yang dapat disesuaikan. 11,13,15

Gambar 2.15 Kanul dengan ukuran extra panjang dan posisi kanul extra panjang
(Hess.D.Tracheostomy tubes and related appliances, 2005)
5) Dual kanul trakea
Kanul trakea beberapa diantaranya dirancang dengan menggunakan inner
kanul. Dengan adanya inner kanul dapat mengurangi inner diameter dari kanul
trakea, sehingga beban kerja pernafasan meningkat. Hal ini diteliti oleh Cowen et
al melalui penelitian in vitro yang melaporkan terdapat penurunan beban kerja
yang bermakna bila inner kanul dilepas. Dari penelitian ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa meningkatnya inner diameter oleh karena dilepasnya inner

24

kanul bermanfaat untuk pasien yang bernafas spontan. 11,13,15


Penggunaan inner kanul dapat membantu pencucian kanul, khususnya bila
pasien mengeluarkan sekret yang berlebihan. Hal ini dapat mencegah
penyumbatan kanul dan mengurang frekuensi penggantian kanul yang
menyebabkan ketidaknyamanan pasien dan menyebabkan trauma pada stoma.
11,13,15

Gambar 2.16 Dual kanul trakea (Hess.D.Tracheostomy tubes and related


appliances, 2005)
6) Kanul untuk neonatus dan pediatrik
Kanul trakea untuk neonatus dan pediatrik harus nyaman, menjamin
patensi, dan fleksibel. Ukuran yang sesuai, bentuk dari badan kanul, neck plate
(flange), dari bahan apa kanul terbuat harus dipertimbangkan sebelum
memutuskan kanul apa yang akan digunakan. 11,13,15
Ukuran rata-rata kanul adalah antara 2,5 sampai 5,5 mm pada inner
diameter dan panjang antara 30-36mm pada neonatus dan 39-56 pada pediatrik.
Umur dan berat badan sebagai petunjuk dalam pemilihan ukuran kanul. Oleh
karena anak-anak tumbuh dan berkembang kebutuhan respiratorinya juga
25

berkembang. Dokter harus mengikuti perkembangan anak dan jika anak masih
memerlukan trakeostomi maka perlu dicermati apakah kanul perlu diganti dengan
ukuran yang lebih besar. Sebagaimana yang dianjurkan pada dewasa bahwa
ukuran diameter kanul tidak lebih lebar dari duapertiga dari diameter trakea.
Kanul yang kecil tidak menjamin aliran udara yang cukup sedangkan kanul yang
terlalu lebar dapat menyebabkan jaringan granulasi dan membatasi kemampuan
perkembangan bicara. 11,13,15
Pada umumnya kanul pada neonatus dan pediatrik tidak dilengkapi
dengan inner kanul. Untuk menghindari meluapnya sekresi yang dapat
menyebabkan kesulitan pernafasan kanul sebaiknya diganti setiap minggu. Untuk
mencegah

meluapnya

sekresi,kanul

yang

terbuat

dari

silikon

dapat

direkomendasikan oleh karena mukus dapat melewati kanul secara efektif dan
mencegah perlekatan sekresi dan bakteri pada permukaan kanul. Silikon adalah
materi inert yang mengurangi iritasi kulit. Hal ini menawarkan kenyamanan yang
lebih besar dan oleh karena sifatnya yang tidak melekat pada permukaan sehingga
memudahkan dekanulasi. 11,13,15
Ukuran panjang yang ideal untuk kanul pada anak-anak adalah satu
centimeter di atas carina. Posisi ini dapat dievaluasi dengan menggunakan
endoskopi fleksibel.Kanul dengan cuff tidak direkomendasikan oleh karena
rapuhnya jaringan trakea yang sedang berkembang dan cincin trakea yang sempit.
11,13,15

Tabel 2.1 Ukuran kanul trakea berdasarkan umur dan diameter transversal trakea
26

(Hess.D.Tracheostomy tubes and related appliances, 2005)


D. Asesori Kanul Trakea
1) Speaking valve
Alat ini adalah katup one way yang dapat diletakkan pada bagian luar dari
kanul bila pasien sudah siap untuk latihan bicara. Dengan adanya katup pasien
dapat melakukan inspirasi melalui trakeostomi dan ketika ekspirasi katup tertutup
dan udara mengalir di sekitar kanul melalui plika vokalis sehingga menghasilkan
phonasi. Agar supaya penggunaan speaking valve berhasil ukuran dan jenis kanul
harus sesuai agar pasase udara di sekitar kanul adekuat. 11,13,15
Sebagian besar speaking valve digunakan bagi pasien tanpaa ventilator.
Passy Muir telah mengembangkan speaking valve pada pasien yang terpasang
ventilator. 11,13,15

Gambar 2.17 Passy muir trakeostomi dan ventilator dengan speaking valve
(Hess.D.Tracheostomy tubes and related appliances, 2005)
2) Occlusion cap
Alat ini adalah sebuah plastik solid yang diletakkan pada ujung kanul
trakea untuk membendung semua aliran udara via trakeostomi dan berguna untuk
melatih pasien untuk lepas dari kanul dan bernapas melalui saluran udara yang
normal. Alat ini dapat dengan mudah dilepas jika membutuhkan suctioning sekret
atau jika pasien menjadi lelah oleh karena meningkatnya beban kerja pernapasan.

27

11,13,15

Pendekatan lain adalah dengan menggunakan trakeostomi button.Alat ini


biasanya terbuat dari teflon dan terdiri dari outer kanul dan solid inner kanul. Alat
ini terpasang hanya sampai pada bagian anterior dinding trakea. 11,13,15

Gambar 2.18 Occlusion cup dan Tracheostomy button (Hess.D.Tracheostomy tubes


and related appliances, 2005)
3) Disconnection Wedge
Alat ini berguna untuk memutus hubungan sirkuit ventilator, occlusion
cap atau speaking valve dari kanul trakea.11

Gambar 2.19 Disconnection wedge (Hess.D.Tracheostomy tubes and related


appliances, 2005)
E. Pemilihan Ukuran Kanul Trakea
Inner diameter dan outer diameter harus dipertimbangkan dalam memilih
ukuran kanul trakhea. Jika inner diameter terlalu kecil akan meningkatkan resistensi
28

melalui kanul yang membuat pembersihan jalan napas menjadi sulit dan juga
meningkatkan tekanan cuff yang diperlukan untuk mengunci kanul pada trakea.
Mullins et all memperkirakan resistensi melalui kanul trakea shiley adalah 11,47,
3,96, 1,75, dan 0,69 pada ukuran 4,6,8,dan 10. Jika outer diameter terlalu lebar akan
mengurangi kemampuan phonasi pada waktu cuff dikempiskan karena kebocoran
udara di sekitar kanul minimal. Kanul dengan outer diameter yang terlalu lebar juga
akan sulit memasuki stoma. Outer diameter ukuran 10 mm biasanya cocok digunakan
untuk wanita dewasa ,sedangkan 11 mm cocok untuk ukuran pria dewasa. 11,13,15
Pemilihan kanul trakea sebaiknya sesuai dengan anatomi pasien dan
kebutuhan klinis. Umur,tinggi dan berat badan pasien sebagai indikasi dalam
pemilihan kanul trakea. Tujuan dari pemilihan kanul adalah untuk menjamin aliran
udara yang adekuat tanpa menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan kanul
yang terlalu lebar. 11,13
Ukuran outer diameter dari kanul trakestomi seharusnya tidak lebih lebar dari
duapertiga sampai tigaperempat dari lumen trakea. Hal ini akan mengurangi kontak
dengan dinding trakea yang dapat menyebabkan kerusakan oleh karena efek
penekanan. Kriteria lain termasuk kedalaman jaringan antara antara kulit dengan
trakea. Keadaan ini membutuhkan extra panjang bagian proximal dari kanul. Kanul
yang lebih panjang dibutuhkan pada pasien dengan kelenjar tiroid yang membesar
dan pasien dengan obesitas. Kanul yang terlalu pendek atau masuk dengan sudut yang
salah akan menimbulkan salah penempatan sehingga terjadi komplikasi yang fatal.
Pada keadaan tertentu diperlukan kanul yang lebih panjang ,misalnya pada tracheal
malacia,stenosis atau obesitas agar terjaga ventilasinya. 11,13,15
F. Material Kanul Trakea
Pemilihan kanul yang tepat untuk setiap pasien perlu dipertimbangkan juga
material kanul. Hal ini akan menambah efektivitas dan kenyamanan. Kanul yang
dibutuhkan adalah kaku tetapi cukup fleksibel untuk menjamin ventilasi yang
adekuat, juga cukup aman bagi pasien. Seharusnya dikonfirmasi apakah pasien alergi
terhadap materi penyusun kanul.11
Kanul trakea dapat terbuat dari metal atau plastik. Kanul metal terbuat dari
29

silver atau stainless steel. Kanul metal jarang digunakan sebab harganya yang mahal,
konstruksinya yang rigid, tidak adanya cuff dan tidak adanya konektor untuk
sambungan ke ventilator. Kanul metal kurang nyaman pemakaiannya dibanding kanul
plastik dan secara kosmetik kurang baik. Ujung kanul yang tajam menyebabkan
jaringan granulasi sering terjadi pada dinding trakea di ujung kanul. Alder Hey adalah
tipikal jenis kanul ini. Kanul ini memiliki inner kanul yang dapat dibersihkan secara
mudah sehingga sangat cocok digunakan untuk pasien-pasien yang dirawat di rumah.
Kanul jenis ini memiliki kelengkungan dan radius yang besar dan permukaannya
yang halus memungkinkan aliran udara laminar sehingga sekret mudah dialirkan
sehingga tidak menyebabkan obstruksi lumen.11,13,15
Kanul yang terbuat dari plastik lebih sering digunakan dan biasanya terbuat
dari polivinilklorid (PVC) atau silikon. PVC melunak pada temperatur tubuh
(thermolabil) dan menyesuaikan anatomi pasien, tetapi lebih peka terhadap retensi
bakteri sehingga tidak dapat dicuci (single use). 11,13,15
Kanul yang terbuat dari silikon sangat lembut dan tidak dipengaruhi
temperatur. Kanul jenis ini mengurangi resiko penumpukan sekret dan bakteri oleh
karena mukus dapat lewat dengan mudah. Kanul ini juga dapat disterilisasi sehingga
pada penggunaan lama sangat efisien. 11,13,15
2.8 Teknik Trakeostomi
2.8.1 Trakeostomi emergensi
Trakeostomi emergensi relatif jarang dilakukan , dan penyebab yang sering adalah
obstruksi jalan nafas atas yang tidak bisa diintubasi. Anoksia pada obstruksi jalan nafas
akan meyebabkan kematian dalam waktu 4-5 menit dan tindakan trakeostomi harus
dilakukan dalam 2-3 menit. Teknik insisi yang paling baik pada trakeostomi emergensi
adalah insisi kulit vertikal dan insisi vertikal pada cincin trakea kedua dan ketiga. Insisi
vertikal ini lebih baik karena lebih mudah dilakukan dan lebih cepat, dimana insisi kulit
vertikal dapat langsung diteruskan dengan cepat menuju jaringan lemak subkutan, fasia
servikal dalam pada garis tengah yang relatif avaskuler.19
2.8.2 Trakeostomi elektif
30

Saat ini mayoritas tindakan trakeostomi dilakukan secara elektif atau semi-darurat.
Trakeostomi elektif paling baik dilaksanakan diruang operasi dengan bantuan dan peralatan
yang adekuat. Langkah-langkah teknik operasi :20
1. Pasien tidur posisi supine dengan meletakkan ganjal diantara tulang belikat sehingga
leher hiperekstensi dan posisi trakea lebih tinggi dibanding dada.
2. Insisi kulit secara horizontal sepanjang 4-6 cm dilakukan 1-2 cm dibawah kartilago
krikoid. Insisi horizontal didepan m. sternokleidomastoideus. Beberapa ahli bedah
lebih menyukai insisi secara vertikal. Insisi secara vertical mungkin lebih
menguntungkan pada bayi karena dapat meminimalkan pergerakan tube trakeostomi.
3. Insisi kulit sampai ke platisma kemudian diretraksi keatas dan kebawah. Insisi vertikal
pada fasia di garis tengah diantara otot-otot strap. Kartilago krikoid akan terlihat di
bagian atas dan istmus tyroid di bagian bawah, diantaranya tampak ligamentum
suspensorium kelenjar tyroid.
4. Istmus tyroid kemudian ditarik keatas dengan retraktor vena dan akan tampak cincin
trakea ke-2, 3 dan 4. Jika istmus tyroid sulit diatarik ke atas, dilakukan insisi horizontal
pada ligamentum suspensorium kelenjar tyroid, sisipkan klem bengkok melalui insisi,
kemudian istmus tyroid dipotong dan dijahit ikat.
5. Dengan menggunakan jarum hypodermic yang berisi 1-2ml cocain 10% atau tetracain
2%, diinjeksikan pada lumen trakea, udara yang terlihat saat jarum ditarik memastikan
bahwa ujung jarum berada didalam lumen trakea.
6. Blade no.11 kemudian digunakan untuk membuat jendela pada trakea, insisi horizontal
5-8 mm diatas cincin trakea 2,3 atau 4. Insisi diteruskan ke bawah melewati cincin
trakea. Benang nilon mungkin dapat dijahitkan pada bagian bawah untuk tanda dalam
keadaan darurat jika kanul lepas. Pada bayi dan anak-anak mungkin dapat dijahitkan
benang nilon pada dua sisi, bagian atas dan bagian bawah dan dilekatkan pada kulit.
7. Kanul trakeostomi yang sebelumnya telah disiapkan kemudian dimasukkan ke dalam
stoma. Ujung bawah kanul tidak boleh mencapai karina. Kanul trakeostomi kemudian
difiksasi. Anak kanul dipasang dan kasa dipasang dibawah kanul sekitar stoma. Luka
trakeostomi dekat kanul tidak boleh tertutup rapat atau dijahit karena dapat
menimbulkan emfisema subkutis, pneumomediastinum, pneumothorak dan infeksi.
8. Roentgen dada selalu dilakukan setelah operasi selesai.

2.8.3 Trakeostomi Dilatasi Perkutaneus


31

Trakeostomi dilatasi perkutaneus adalah suatu teknik trakeostomi minimal invasif


sebagai alternatif terhadap teknik konvensional. Trakeostomi dilatasi perkutaneus (TDP)
dilakukan dengan cara menempatkan kanul trakeostomi dengan bantuan serangkaian dilator
dibawah panduan endoskopi. Prosedur ini dikenalkan oleh Pasquale Ciagalia pada tahun
1985. Griggs pada tahun 1990 melakukan modifikasi dengan menggunaan kawat pemandu
dan forsep dilatasi

( Griggs Guidewire Dilating forceps/ GWDF) pada prosedur ini.

Pada tahun 1998 dilakukan modifikasi lagi terhadap teknik ini, dimana serangkaian dilator
digantikan dengan dilator tunggal, tajam dan meruncing pada bagian ujungnya, dilapisi
oleh lapisan hidrofilik (Ciaglias Blue Rhino method )dan memungkinkan dilatasi lengkap
dalam satu langkah.
Pada tahun 2002, frova dan Quintel membuat alat dilator tunggal baru yang berbentuk
sekrup yang disebut Percu Twist. Teknik ini dimulai dengan insisi kulit sepanjang 1.5-2 cm,
2 cm dibawah kartilago krikoid. Sepasang forsep mosquito digunakan untuk diseksi secara
tumpul sampai fasia pretrakea. Dengan menggunakan jari kelingking identifikasi tulang
rawan krikoid dan trakea. Jarum dengan kateternya ditusukkan, idealnya antara cincin
trakea kedua dan ketiga dan tindakan ini dapat dipantau dengan menggunakan bronkoskopi
yang telah dihubungkan ke kamera. Jarum kemudian ditarik, kawat pemandu (J-Wire)
kemudian dimasukkan kemudian kateter ditarik sepenuhnya dan mempertahankan kawat
pemandu dalam lumen trakea. Dilator Ciaglia kemudian dimasukkan melalui kawat
pemandu sampai dengan ukuran 38F. Kanul trakeostomi kemudian dipasang dengan ukuran
yang sama dengan dilator melaui kawat pemandu, dan kawat pemandu kemudian dilepas.
Kanul trakeostomi difiksasi dan cuff dikembangkan. Roentgen thorak post operatif
dilakukan untuk melihat adanya komplikasi penumotorak dan pneumomediastinum.21,22,23
Prosedur TDP ini merupakan prosedur elektif yang sering dilakukan di unit perawatan
intensif atau ICU. Pada dekade terakhir, TDP menjadi tindakan rutin yang praktis dilakukan
di beberapa RS dan beberapa artikel telah membandingkan TDP dengan trakeostomi,
dimana adanya komplikasi yang lebih rendah pada TDP dan lamanya waktu yang
digunakan lebih pendek. Pada awalnya kebanyakan penulis menyadari bahwa prosedur ini
kontraindikasi relatif pada pasien obesitas dan leher pendek, dan kontraindikasi absolut
pada cedera servikal, anak-anak dan keadaan darurat. Sekarang ini beberapa laporan
32

menyebutkan keamanan dan kemungkinan dilakukannya teknik ini pada pasien- pasien
yang memiliki kontraindikasi tersebut. 21,22,23
Ben-nun dkk melakukan TDP pada 10 pasien yang mengalami trauma dengan ratarata waktu yang digunakan adalah 5.5 menit dan tidak ditemukannya komplikasi. Ben-nun
dkk kemudian meyimpulkan bahwa di tangan yang berpengalaman, TDP emergensi pada
pasien trauma adalah mungkin dan aman. Urwin dkk seperti yang dikutip oleh Ben-nun
berhasil melakukan TDP pada pasien obesitas. Mayberry seperti yang dikutip oleh Bennun juga berhasil melakukan TDP pada pasien trauma. Komplikasi dari prosedur ini lebih
rendah dibanding prosedur trakeostomi standar. Angka mortalitas 0-0.6% pada TDP dan 07.4% pada prosedur standar. 21,22,23
Perdarahan merupakan komplikasi yang paling sering, meskipun frekuensinya lebih
rendah dibanding prosedur trakeostomi standar. Reganon dkk melakukan penelitian
retrospektif pada 800 pasien yang menjalani prosedur TDP di ICU dan menemukan
komplikasi yang paling banyak adalah perdarahan intraoperatif, sebanyak 13 pasien
(40.62%) dari 32 (4%) pasien yang mengalami komplikasi, namun tidak memerlukan
transfusi darah karena hanya perdarahan ringan. Keuntungan teknik ini adalah dibawah
panduan bronkoskopi sehingga masuknya kawat pemandu dan kanul trakeostomi di garis
tengah dapat dipastikan dan dapat menghindari komplikasi rusaknya dinding trakea
posterior serta videonya dapat digunakan sebagai bahan untuk pelatihan berikutnya. 21,22,23
Kerugian dari teknik ini adalah ; pemilihan pasien sangat selektif untuk keberhasilan
tindakan ini, pasien dengan landmark tidak jelas, obesitas, koagulopati atau adanya massa
di leher merupakan kontraindikasi dilakukannya teknik ini, perlunya mentor terlatih dalam
pelaksanannya untuk mencegah kemungkinan komplikasi yang serius, membutuhkan lebih
banyak tim terlatih dan peralatan tambahan sehingga biayanya lebih besar. 21,22,23
2.8.4 Insisi Trakea Pada Trakeostomi
Park dkk mengemukakan bahwa jenis insisi pada trakea berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan patensi trakea. Ada beberapa cara insisi yang diperkenalkan : (1) insisi
vertikal (2) insisi U atau U terbalik, (3) insisi palang (4) insisi horizontal (5) insisi bulat.

33

1. Insisi vertikal
Insisi ini merupakan insisi standar yang paling banyak digunakan. Teknik ini
digunakan bila tindakan trakeostomi hanya dipertahankan selama beberapa minggu.
Jahitan penahan trakea akan mempermudah identifikasi lumen bila kanul terlepas
(accidental decanulation). Miller pada penelitiannya dengan kelinci menemukan
penurunan diameter penampang sebesar 30% pada teknik insisi ini dibanding teknik
insisi dengan flap. Teknik ini cocok untuk anak-anak yang membutuhkan trakeotomi
jangka panjang sehingga tidak mengganggu pertumbuhan trakeanya.24

Gambar 2.10 Insisi Vertikal Trakea (European Journal of Cardio-Thoracic


Surgery, 2007)
2. Inferiorly based flap/ U terbalik/ Falp Bjork
Teknik ini diperkenalkan pertamakali oleh Bjork (1960). Teknik ini menggunakan
2 cara insisi yaitu insisi horizontal dan insisi vertikal. Insisi horizontal dibuat pada
dinding anterior trakea yaitu pada cincin trakea ke 2-3, ke 3-4 atau 5-6. Jabir dibentuk
dengan cara membuat dua buah insisi vertikal yang kemudian bertemu pada ujung
insisi horizontal dan melewati 2 buah cincin. Lebar jabir sama dengan lebar kanul.
Jabir kemudian dijahitkan pada jaringan subkutan dan dermis di bagian inferior. 25
Teknik ini digunakan untuk jangka waktu yang lama (beberapa bulan beberapa
tahun) dan menurut penelitian dapat ditoleransi baik oleh penderita. Miller dalam
penelitiannya mengatakan bahwa pemasangan jabir dapat mengurangi terlepasnya
kanul. Gilmore dkk hanya menemukan 1 kasus stenosis trakea pada 27 anak yang
berusia kurang dari 13 tahun yang ditrakeostomi dengan menggunakan insisi ini. Palva
dkk juga mendapatkan hasil yang sama. 16

34

Gambar 2.11 Inferiorly based flap/ U terbalik/ Falp Bjork (Available at


http://www.oxfordjournals.org/)
3. Insisi palang (starplasty)
Insisi ini dibuat berdasarkan geometri Z plasty 3 dimensi. Pertama dibuat insisi
berbentuk huruf X pada kulit dan kemudian dilanjutkan dengan insisi berbentuk + pada
trakea diikuti dengan pejahitan jabir ke sekelilingnya. Cara ini dipopulerkan boleh
Koltai. Cara ini diindikasikan pada trakeostomi jangka panjang (untuk pasien dengan
kelainan neurologis) dan permanen. Penelitian menunjukkan bahwa teknik ini dapat
mencegah stenosis trakea dan kolaps pada dinding anterior trakea. Eliasar dkk juga
merekomendasikan teknik ini pada anak-anak usia dibawah 6 bulan. Dari penelitiannya
didapatkan tidak adanya komplikasi pada teknik straplasty dibanding teknik regular
atau insisi vertikal. Solares juga mendapatkan hal yang sama, dimana teknik ini dapat
mengurangi komplikasi dan kematian akibat dekanulasi spontan. Satu-satunya
kekurangan dari teknik ini adalah adanya fistula trakeokutan yang membutuhkan
rekonstruksi, meskipun sebagian kecil bisa menutup spontan. 25

Gambar 2.12 Insisi palang (starplasty) (Available at


http://repository.unand.ac.id/)
4. Insisi horizontal

35

Pada tipe insisi ini tidak terbentuk banyak jaringan parut pada masa
penyembuhan. Teknik ini menyulitkan pemasangan kanul (rekanulasi), selain itu angka
kolaps suprastomal cukup tinggi. 25

Gambar 2.13 Insisi horizontal trakea (European Journal of Cardio-Thoracic


Surgery, 2007)
2.9 Perawatan Pasca Trakeostomi
Periode post operatif merupakan masa yang kritis terutama pada bayi dan neonatus.
Perawatan dan perhatian yang cermat sangat penting pada masa ini.26
1. Humidifikasi
Humidifikasi udara inspirasi penting untuk transport mukosilier sekret dan
mencegah obstruksi jalan nafas karena sekret yang kental. Ada berbagai tipe alat untuk
humidifikasi: Cold water humidifiers, hot water humidifier, heat and moisture exchangers
(HME), stoma protector/ tracheal BIB dan nebulisasi. 26
2. Penghisapan secret (Suction)
Penghisapan sekret dibutuhkan ketika pasien tidak mampu untuk mengeluarkan
sekret secara efektif. Pemilihan ukuran suction kateter yang benar penting supaya lebih
aman dan efektif. 26
3. Penggantian kanul
Jika menggunakan kanul ganda, biasanya tidak perlu untuk mengganti kanul luar.
Indikasi penggantian kanul luar yaitu jika cuff telah rusak atau bila ditemukan ukuran
kanul yang lebih cocok untuk pasien. Penggantian kanul luar bukan tanpa resiko dan
dapat menimbulkan kecemasan bagi pasien. Indikasi penggantian kanul luar adalah
obstruksi kanul, perubahan posisi kanul, kerusakan cuff atau ditemukannya ukuran kanul
yang lebih cocok untuk pasien. Penggantian kanul luar biasanya dilakukan pada hari ke
5-7 post operatif ketika traktus yang sempurna sudah terbentuk. Anak kanul dalam
36

biasanya dibersihkan dua kali sehari atau lebih sering sesuai dengan kebutuhan untuk
mencegah obstruksi. 26
4. Antibiotik profilaksis
Pengguanaan antibiotik hanya diindikasikan pada infeksi paru dan infeksi spesifik
lain dan setela dilakukan kultur dan sensitivity test. 26
2.10 Komplikasi
Seperti tindakan bedah lainnya, trakeostomi juga memiliki resiko komplikasi dan
cedera. Karena setiap individu bervariasi dalam hal sirkulasi jaringan dan proses
penyembuhan, maka tidak dapat dijamin tidak akan terjadi komplikasi akibat tindakan
trakeosotmi. Trakeostomi darurat dan trakeotomi yang dilakukan pada pasien sakit berat
memiliki resiko lebih besar terhadap komplikasi setelah prosedur.3,25
Pneumomediastinum tidak tergolong sebagai komplikasi, namun merupakan akibat.
Kondisi ini biasanya terjadi pada anak, dan harus ditindak lanjut guna memastikan tidak
adanya perkembangan ke arah pneumotoraks. Paralisis sarafrekuren jarang terjadi dan harus
dicegah dengan memperhatikan teknik bedah. Tuba harus terpasang pada jalan napas, tidak
menyumbat bronkus serta tidak mengenai dinding anterior trakea. Pengalaman klinis dan
evaluasi radiologik akan terdiagnosis dan mencegah kejadian ini. Jenis komplikasi : 3,25
1. Segera
a. Komplikasi perioperatif seperti perdarahan, emfisema, pneumotoraks, emboli udara
dan kerusakan tulang rawan krikoid.
b. Diskoneksi.
c. Salah menempatkan trakeostomi, misalnya di jaringan pretrakea atau bronkus utama
kanan.
d. Herniasi cuff yang menyebabkan pipa tersumbat.
e. Ujung pipa tertutup dinding trakea atau carina.
f. Apnea akibat hilangnya rangsangan hipoksia pernafasan.
Trakeostomi yang dilakukan pada pasien dengan riwayat hipoksia kronik, tarikan nafas
pertama atau kedua setelah pipa dimasukkan dapat diikuti dengan henti nafas. Hal ini
sehubungan dengan denervasi fisiologik pada reseptor kimia perifer karena naiknya PO 2

37

tiba tiba. Oleh karena hipoksia sangat mempengaruhi rangsangan pernafasan, maka
dapat terjadi apnea. 4,5

Gambar

2.14

Komplikasi trakeostomi (Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,


dan Kepala Leher, 2012)
Keterangan Gambar :
A Trakea tertekuk ke depan
B Tukak dinding depan trakea karena ukuran kanul terlalu besar
C Emfisema subkutis karena dislokasi kanul
D Tukak karina karena kateter isap
E Manset ditiup terlalu kuat sehingga menyebabkan penutupan kanul ( herniasi akibat ditiup
berlebihan )
F Manset kanul terlepas di trakea
G Nekrosis cincin trakea karena manset ditiup terlalu kuat
H Cedera dinding belakang (hati hati fistel trakeo-esofagus)

2. Menengah
a. Tersumbat sekret, dapat terjadi segera atau gradual. Tetapi hal ini jarang terjadi bila
humidifikasi, hidrasi dan penghisapan lendir baik.
38

b. Infeksi pada stoma atau trakeobronkial.


c. Ulserasi trakea kerena penekanakan cuff.
d. Erosi yang dalam dapat menyebabkan perdarahan dari a. inominata atau fistel
trakeoesofagus.
3. Lanjut
Komplikasi ini cukup bermakna dalam hal variasi dan jumlahnya, sehingga perlu
dilakukan usaha-usaha pencegahan. Perdarahan lanjut adalah akibat erosi trakea pada
pembuluh utama, biasanya arteri inominata. (Sebenarnya menghitung cincin trakea
mulai

dari

kartilago

krikoid

merupakan

tindakan

yang

esensial). Tindakan

mengekstensikan kepala pasien dan menarik trakea ke atas dengan suatu pengait trakea
dapat menggambarkan cincin trakea kesembilan. Trakeostomi rendah (di bawah cincin
trakea kelima) seringkali salah. Komplikasi lanjut pada trakeostomi diantaranya :
a. Granuloma trakea yang bisa menyebabkan kesulitan bernapas bila pipa diangkat.
b. Trakeomalasia dan dilatasi trakea.
c. Stenosis trakea.
d. Fistel trakeokutan menetap
e. Fistel trakeoesofagus
Pemasangan manset yang lama dengan akibat nekrosis dinding trakea juga
ikut berperan dalam erosi pembuluh darah. Mathog menganjurkan pemakaian tuba
plastik lunak yang lebih aman. Penanganan dari perdarahan mayor tindakan darurat
dan memerlukan pemakaian tuba (dengan manset dalam keadaan terkembang) yang
cukup panjang untuk mencapai bagian distal dari pembuluh yang tererosi. Tindakan
ini dapat mencegah aspirasi darah ke dalain paru. Kesalahan dalam membedah dan
menjahit pembuluh mungkin mengharuskan tindakan sternotomi parsial.3,25
Infeksi dapat dikendalikan dengan teknik steril dan humidifikasi. Antibiotik
profilaksis harus dilarang karena memungkinkan perkembangan bakteri oportunistik.
Pseudomonas aeruginosa tidak jarang dapat dibiak dari lokasi trakeostomi dan tidak
selalu merupakan infeksi sistemik. Tindakan yang perlu dilakukan mungkin
hanyalah membasahi kasa dengan larutan asam asetat 0,5 persen. Pasien yang
39

mendapat banyak antibiotik mungkin mengalami kontaminasi Candida albicans pada


lokasi trakeostomi. Namun, sebelum memulai pengobatan sistemik, harus dicoba
perawatan luka secara lokal. 3,25
Penanganan obstruksi jalan napas akibat posisi tuba yang tergeser atau oklusi
lumen adalah berbeda, tergantung pada berapa lama terjadinya setelah pembedahan.
Bila telah melampaui 48 jam dilakukan trakeostomi, maka perawat dapat
diperintahkan untuk memotong tali pengikat leher, mengeluarkan tuba, dan
memeriksa lumen dan tuba. Sumbat mukus yang menutup lumen tuba harus
dibersihkan. Memasukan kembali tuba dapat dilakukan setelah dokter datang.
Tenaga yang terlatih dapat diinstruksikan untuk memasukkan kait ke dalain stoma
dan menahan jalan napas pada tempatnya, sebelum mengeluarkan dan mengamati
tuba yang baru saja dipasang. Bila situasi tidak mendesak, sebaiknya tindakan ini
dilakukan sendiri oleh dokter. Pada anak-anak, tali pengikat sutera bila ditarik
dengan hati-hati ke lateral akan mempertahankan jalan napas dan menunjukkan jalur
kembali ke stoma untuk penggantian tuba. 3,25
Fistula trakeoesofagus biasanya timbul pada pasien yang hipotensi dan telah
menjalani intubasi yang lama dengan tuba bennanset dan ventilasi terkontrol. Pasien
demikian memerlukan tuba naso-gastrik, namun seringkali meninggal akibat
penyakit primernya ataupun akibat pneumoiua aspirasi lewat fistula. Perbaikan
bedah amat kompleks dan melibatkan penempatan otot-otot leher di antara trakea
dan esofagus setelah perbaikan primer pada fistula.26
Komplikasi mayor yang tersering adalah stenosis trakea. Frekuensi
komplikasi ini semakin meningkat karena pasien seringkali memerlukan ventilasi
terkontrol jangka lama dengan tuba bermanset. Menurut Fearon, stenosis stoma
bukanlah suatu komplikasi melainkan suatu parut pasca operasi yang telah
diperkirakan, dan bahwa gejala hanya akan timbul bila diameter lumen sama dengan
atau kurang dari 4 mm. Bilamana terdapat granulasi di atas stoma atau kartilago
dalam lumen, maka masalah dapat diatasi dengan eksisi endoskopik atau memasang
stent pada jalan napas.26

40

BAB III
KESIMPULAN

41

Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan atau anterior trakea
untuk bernapas. Terdapat berbagai indikasi untuk melakukan tindakan trakeostomi mulai dari
yang bersifat darurat maupun elektif.
Dapat disimpulkan bahwa trakeostomi adalah tindakan operasi membuat jalan udara
melalui leher dengan membuat stoma atau lubang di dinding depan/ anterior trakea cincin
kartilago trakea ketiga dan keempat, dilanjutkan dengan membuat stoma, diikuti pemasangan
kanul. Bertujuan mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan
memintas jalan nafas bagian atas saat pasien mengalami ventilasi yang tidak adekuat dan
gangguan lalulintas udara pernapasan karena obstruksi jalan nafas bagian atas.
Seperti tindakan bedah lainnya, trakeostomi juga memiliki resiko komplikasi dan cedera.
Karena setiap individu bervariasi dalam hal sirkulasi jaringan dan proses penyembuhan, maka
tidak dapat dijamin tidak akan terjadi komplikasi akibat tindakan trakeostomi.
Periode post operatif merupakan masa yang kritis terutama pada bayi dan neonatus. Perawatan
dan perhatian yang cermat sangat penting pada masa ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ellis, Harold Prof. Applied anatomy of cricothyrotomy and tracheostomy British Journal of
Hospital Medicine, 2009 ; 70 : 148- 149
42

2. Weissler C Mark, Couch ME in Bailey, Byron J.; Johnson, Jonas T.; Newlands, Shawn D.
Head & Neck Surgery - Otolaryngology Lippincott Williams & Wilkins, 2006 ; 4th Edition;
786-795.
3. Hadikawarta, A., Rusmarjono, Soepardi, E., Penanggulangan Sumbatan Laring dalam
Soepardi EA, Iskandar N., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, dan
Kepala Leher. Edisi Ketujuh, Jakarta, Badan Penerbit FKUI, 2012: 224-9
4. Morgan, C.M., Tracheostomy in eMedicine Journal, , Volume 2, Nomor 7, Department of
Surgery, Division of Otolaryngology, University of Alabama at Birmingham, 2001; 1- 12.
5. Kenneth, C.Y., Airway Management and Tracheostomy in Current Diagnosis and Treatment
in Otolaryngology-Head and Neck Surgery, Anil K. Lalwani, Boston , McGraw-Hill, 2004:
54148.
6. Lee, K.J., Tracheostomy in The Laryng in Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery,
8th Edition, New York, McGraw-Hill, 2003 : 774-79.
7. Test and Procedures Tracheostomy. Available

at

http://www.mayoclinic.org/tests-

procedures/tracheostomy/basics/results/prc-20020545
8. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi kedua. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2001. 412-413.
9. Jacob Ballenger, John. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid 1. Edisi
ketiga belas. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.435 456.
10. Russel C, Matta B. Tracheostomy a multiprofesional handbook. Cambridge University Press.
2004
11. Russel.C,Matta.B.Tracheostomy

tubes.Tracheostomy,a

multiprofessional

handbook

Cambridge university press.New York. 2004, 85-114


12. Myers E,Johnson J,Murry T.Tracheotomy:Airway management, communication and
swallowing. San Diego: Singular,1998,154-159
13. Hess.D.Tracheostomy tubes and related appliances.Respiratory Care 2005;50(4):497-510
14. St.Georges Healthcare NHS trust.Guideline for the care of patients with tracheostomy
tubes.London:St.Georges NHS trust,2014;155-159
15. Neema P,Manikandan S.Tracheostomy and its variants.Indian J.Anaesth.2005;49(4):323-327
16. Tracheostomy. Available at www.patienteducation.upmc.com/pdf/tracheostomy care.pdf
17. Update on Tracheostomy Care. Available at https://lms.rn.com/getpdf.php/615.pdf
18. Smulders K,van der Hoeven H,Weers-Pothoff I,Van derbroucke-Grauls C.A randomized
clinical trial of intermittent subglottic secretion drainage in patients receiving mechanical
ventilation.Chest 2002;121(3):1339-1346
19. Abdelkader M, Dempste J. Emergency Tracheostomy: Indications and Technique.
20. Lore John M, Medina Jesus E. An atlas of head and neck surgery.elsevier Inc. 2005 ; 4 ed:
1015-24
43

21. Lawson Lawson G. Tracheotomy in Surgery of larynx and trachea. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg 2010 ;159-169
22. De Leyn, Paul et al. Tracheotomy: clinical review and guidelines. Eur J Cardiothorac Surg
2007;32:412-421
23. Reganon-diaz G, Minambres E, Ruiz A, Gonzalez , Holanda-Pen M, Lopez Espadas F. Safety
and complications of percutaneous tracheostomy in a cohort of 800 mixed ICU patients.
Anaesthesia, 2008 ; 63 : 11981203
24. Eliasar Ron, Gross M, Attal P, Hocwald E,Sichel J. Starplaty prevent tracheostomy
complication in infants. Int. jounal of pediatric otorhinolaryngology. 2004; 68: 325-329
25. Morris L, Afifi S. Tracheostomies : the complete guide. Springer publishing company.2010
26. Paparella, Michael., Shumrick, Donald. Otolaryngology- Head and Neck. Philadelphia : WB
Saunders Company

44

Anda mungkin juga menyukai