PENDAHULUAN
Di Negara berkembang, Diabetes Mellitus sampai sat ini masih merupakan faktor
yang terkait sebagai penyebab kematian sebanyak 4- 5 kali lebih besar.Menurut estimasi
data WHO maupun IDF, prevalensi Diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah sebesar
5,6 juta penduduk, tetapi pada kenyataannya ternyata didapatkan sebesar 8,2 juta. Tentu
saja hal ini sangat mencengangkan para praktisi, sehingga perlu dilakukan upaya
pencegahan secara komprehensif di setiap sektor terkait. Diabetes sendiri merupakan
penyakit kronis yang akan diderita seumur hidup sehingga progresifitas penyakit akan
terus berjalan, pada suatu saat dapat menimbulkan komplikasi. Diabetes Mellitus (DM)
biasanya berjalan lambat dengan gejala-gejala yang ringan sampai berat, bahkan dapat
menyebabkan kematian akibat baik komplikasi akut maupun kronis. 1
Hiperglikemia yang terjadi dari waktu kewaktu dapat menyebabkan kerusakan
berbagai sistem tubuh
metabolisme yang baik, menjaga agar kadar gula darah berada dalam kondisi normal,
maka komplikasi akibat diabetes dapat dicegah atau ditunda. 2
Dengan demikian Diabetes bukanlah suatu penyakit yang ringan. Menurut beberapa
review, Retinopati diabetika, sebagai penyebab kebutaan pada usia dewasa muda, kematian
akibat penyakit kardiovaskuler dan stroke sebesar 2-4 kali lebih besar , Nefropati diabetik
sebagai penyebab utama gagal ginjal terminal, delapan dari 10 penderita diabetes meninggal
akibat kejadian kardiovaskuler dan neuropati diabetik, penyebab utama amputasi non
traumatic pada usia dewasa muda3.
Pada Makalah ini akan bahas mengenai komplikasi diabetes mellitus baik akut
maupun kronis,serta komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang ditimbulkan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Diabetes melitus
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan
hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan
oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Hiperglikemia kronis pada
diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh
khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.1
2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam kategori umum berikut:4
1. Diabetes tipe 1
Karena kerusakan sel - b , biasanya menyebabkan insulin absolut kekurangan
2. Diabetes tipe 2
Karena progresif sekretorik insulin cacat pada latar belakang resistensi insulin
3. Diabetes mellitus gestasional ( GDM )
Diabetes didiagnosis pada trimester kedua atau trimester ketiga kehamilan, dimana kondisi
diabetes ini masih belum jelas
4. Diabetes karena penyebab lain
Misalnya sindrom diabetes monogenik seperti diabetes neonatal dan diabetes pada dewasa
muda ( Mody/maturity-onset diabetes of the young) , penyakit esokrin pankreas ( seperti
cystic fibrosis ) , obat-obatan atau bahan kimia yang mginduksi terjadinya diabetes (seperti
dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ)
3. Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus
3.1 Menurut PERKENI,20061
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl (11.1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir atau;
2. Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau;
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (11.1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
3.2 Menurut ADA (American Diabetes Association, 2015)4
Hemoglobin A1c merupakan komponen minor paling besar dari sel darah manusia,
normalnya 4% dari total hemoglobin A. Ketertarikan pada HbA 1c dimulai pada saat Rahbar
menemukan peningkatan komponen tersebut sebanyak dua sampai tiga kali lipat pada pasien
diabetes.
Kadar HbA1c normal adalah 3,5%-5%. Kadar rata-rata glukosa darah 30 hari
sebelumnya merupakan kontributor utama HbA1c. Kontribusi bulanan rata-rata glukosa
darah terhadap HbA1c adalah: 50% dari 30 hari terakhir, 25% dari 30-60 hari sebelumnya
dan 25% dari 60-120 hari sebelumnya. Hubungan langsung antara HbA1c dan rata- rata
glukosa darah terjadi karena eritrosit terus menerus terglikasi selama 120 hari masa hidupnya
dan laju pembentukan
diabetes.
Hubungan antara A1c dan glukosa plasma adalah kompleks. Kadar HbA1c lebih
tinggi didapatkan pada individu yang memiliki kadar glukosa darah tinggi sejak lama, seperti
pada diabetes mellitus. Banyak penelitian menunjukkan bahwa A1C adalah indeks ratarata
kadar glukosa selama beberapa minggu sampai bulan sebelumnya.
Tabel 1 Hubungan antara A1c dan rata-rata glukosa5
Hemoglobin A1c merupakan baku emas untuk penilaian homeostasis glukosa, adalah
integrasi variasi glukosa puasa dan postprandial selama periode 3 bulan. Secara matematika,
teori tersebut dapat diformulasikan menjadi:
[A1c]0-3 bulan = 03bulan FPG (t) dt + 03 bulan PPG (t)
FPG (t) dan PPG (t) adalah waktu pengambilan glukosa puasa dan postprandial.
crosssectional
yang
menunjukkan
peningkatan
prevalensi
komplikasi
mikrovaskular diabetes (retinopati) pada pasien non diabetes berhubungan langsung dengan
konsentrasi A1C. Pada penelitian Pimas dan National Health and Nutrition Examination
Survey (NHANES) III, individu yang memiliki dua atau tiga desil nilai tertinggi pada glukosa
puasa, konsentrasi glukosa 2 jam setelah tes tantangan glukosa oral dan kadar HbA1c,
memiliki prevalensi retinopati yang lebih besar. Penelitian DETECT menunjukkan bahwa
prevalensi retinopati meningkat signifikan pada kasus HbA1c 6,5% sehingga ADA
committee report mengusulkan HbA1c 6,5% digunakan untuk diagnosis diabetes melitus.6
Masih ada perdebatan mengenai HbA1c cut points. Penelitian berbagai kelompok
populasi di seluruh dunia menunjukkan angkanya berkisar antara 5,6% - 7%.25 Usia, etnis,
faktor genetik, usia eritrosit, dan lingkungan eritrosit semuanya berkontribusi terhadap
variabilitas HbA1c antar individu dan antar kelompok. A1C cut point 6,1% memiliki
sensitivitas 78- 91% dan spesifi sitas 79-84% dibandingkan TTGO.7 Penelitian pada populasi
umum di Belanda merekomendasikan cut point HbA1c 5,8%, 6,1%, 5,6%; 6,3% pada
populasi di Cina, 5,7% pada populasi di Amerika, 5,7% pada populasi di Jepang (penelitian
Funagata) dan 6,0% pada populasi orang Amerika di Pittsburgh dan Memphis. 8 Buell
dkk ,melakukan penelitian kadar optimal A1C pada data NHANES 1999-2004 melaporkan
bahwa HbA1c 5,8% memiliki sensitivitas (86%) dan spesifi sitas (92%) tertinggi. 6 Studi lain
mendapatkan A1C 6,1% memiliki performa diagnostik terbaik pada penelitian komunitas
India.9
Data NHANES 1999-2004 menunjukkan bahwa HbA1c sebagai tes skrining memiliki
validitas prediksi yang tinggi pada subyek dengan faktor risiko diabetes. Penelitian berbasis
populasi di Swedia menunjukkan bahwa kombinasi HbA1c, glukosa puasa dan IMT lebih
sensitif dan spesifi k dibandingkan tes HbA1c saja dan memiliki nilai prediksi yang lebih
tinggi untuk skrining diabetes tipe 2. Penelitian di Korea dan Cina juga menunjukkan bahwa
kombinasi HbA1c dan glukosa puasa dapat mendeteksi kasus baru diabetes lebih banyak
dibandingkan jika tes tersebut digunakan sendiri-sendiri. Departemen Kesehatan di Inggris
merekomendasikan pemeriksaan HbA1c dan tes toleransi glukosa oral untuk skrining
diabetes. Individu dengan nilai HbA1c 6%-6,4% sebaiknya melakukan tes toleransi glukosa
untuk memastikan adanya diabetes.8
Tiga status hiperglikemik telah ditentukan untuk menilai risiko diabetes yaitu: HbA1c
5,7%-6,4%, glukosa puasa terganggu (glukosa darah puasa antara 100-126 mg/dl), dan
toleransi glukosa terganggu (glukosa 2 jam setelah pembebanan glukosa antara 140-200
mg/dl). Pada tahun 2009, Expert Committee menetapkan nilai HbA1c antara 6,0-6,4% adalah
risiko untuk diabetes; nilai ambang 6,0% kemudian diturunkan lagi oleh ADA menjadi 5,7%
pada tahun 2010.10
5. Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi DM terbagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis.
1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut pada DM dan berhubungan dengan keseimbangan kadar glukosa darah
dalam jangka pendek, ketiga komplikasi tersebut adalah:
A. Ketoasidosis Diabetikum (KAD)
A.1 Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan
konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi.11 Ketoasidosis merupakan akibat dari
kekurangan atau inefektitas insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan hormon
kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut
mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan
produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan
ginjal (glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan
perifer. Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat nonkarbohidrat
(alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan
aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat,
mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan sebagai keadaan yang serius
dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis metabolik.11
A.3 Gejala Ketoasidosis Diabetikum
Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih akut dan
pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya. Gambaran
klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan berat badan,
muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan
klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi,
perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntahmuntah yang tampak seperti kopi. Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan
hipotermia karena menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan
abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi dari
pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini
tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan asidosis metabolik.11
Tabel 2. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association11
Keberhasilan
penatalaksanaan
KAD
membutuhkan
koreksi
dehidrasi,
hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid, dan
yang terpenting adalah pemantauanpasien terus menerus.7 Berikut ini beberapa hal yang
harus diperhatikan pada penatalaksanaan KAD:
1). Terapi Cairan11,12
Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan. Terapi insulin hanya
efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja
akan membuat kadar gula darah menjadi lebih rendah. Studi menunjukkan bahwa selama
empat jam pertama, lebih dari 80% penurunan kadar gula darah disebabkan oleh
rehidrasi.11,12
Fluid deficit = (0,6 X berat badan dalam kg) X (corrected Na/140)
Corrected Na = Na + (kadar gula darah-5)/3,5
Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat dehidrasi adalah dengan
menghitung osmolalitas serum total dan corrected serum sodium concentration.
Osmolalitas serum total = 2 X Na (mEq/l) + kadar glukosa darah (mg/dl)/18 + BUN/2,8
Serum sodium concentration dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mEq/l tiap
kenaikan 10 mg/dl kadar gula darah di atas kadar gula 100 mg/ dl. Nilai corrected serum
sodium
concentration > 140 dan osmolalitas serum total > 330 mOsm/kg air
11
pasien KAD sebesar 100 ml/kgBB, atau sebesar 5-8 liter. 11 Pada pasien dewasa, terapi
cairan awal langsung diberikan untuk ekspansi volume cairan intravaskular dan
ekstravaskular dan menjaga perfusi ginjal. 11 Terdapat beberapa kontroversi tentang jenis
cairan yang dipergunakan. Tidak ada uji klinik yang membuktikan kelebihan pemakaian
salah satu jenis cairan.
11,12
Terapi Insulin11,12
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai. Pemberian insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi pilihan
pada KAD yang disebutkan oleh beberapa literatur, sedangkan ADA menganjurkan
insulin intravena tidak diberikan pada KAD derajat ringan. Jika tidak terdapat
hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB, diikuti
dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5-7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka
harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan dapat
mengakibatkan aritmia jantung. 11 (7,8) Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula
darah dengan kecepatan 50 -75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih
tinggi. Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama,
periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan
2 kali lipat setiap jam sampai tercapai penurunan gula darah konstan antara 50-75
mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin
menjadi0,05- 0,1 u/kgBB/jam (3 " 6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5-10%.
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus disesuaikan
untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik. Selama terapi KAD
harus diperiksa kadar elektrolit, glukosa, BUN, serum kreatinin, osmolalitas, dan derajat
keasaman vena setiap 2 -4 jam, sumber lain menyebutkan bahwa kadar glukosa kapiler
diperiksa tiap 1-2 jam. Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200
mg/dl, serum bikarbonat 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap 12 mEq/l.11,12
3.
Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang rendah,
oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di
atas 100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar
yang diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masihrendah setelah
penyesuaian efek ini. Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan
resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium
lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena air tanpa
natrium akan berpindah ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar natrium8.
Serum natrium yang lebih tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl
0,45%.
4.
Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah kadar kalium serum
kurang dari 5,0, sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya, 20 " 30 mEq
kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup untuk memelihara
kadar kalium serum dalam range normal 4-5 mEq/l. Kadang-kadang pasien KAD
mengalami hipokalemia yang signifikan. Pada kasus tersebut, penggantian kalium harus
dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi insulin harus ditunda hingga kadar
kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot
pernapasan. Terapi kalium dimulai saat terapi cairan sudah dimulai, dan tidak dilakukan
jika tidak ada produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau kadar kalium > 6 mEq/l.
5.
Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Mengetahui bahwa asidosis berat
menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak diinginkan, tampaknya cukup bijaksana
menentukan bahwa pada pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat
ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200
ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9-7,0, 50 mmol natrium bikarbonat dicampur dalam
200 ml. cairan fsiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Natrium bikarbonat
tidak diperlukan jika pH > 7. Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam sampai pH
menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi setiap 2 jam jika perlu.
6.
Fosfat
Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan hingga 1,0
mmol/kgBB, kadar fosfat serum seringkali normal atau meningkat. Kadar fosfat menurun
dengan terapi insulin. Bagaimanapun juga untuk menghindari lemahnya otot rangka dan
jantung serta depres pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat
secara hati-hati mungkin kadang-kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan
jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan kadar serum posfat <
1,0 mg/dl. Ketika diperlukan, 20-30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan pada terapi
cairan yang telah diberikan.
7.
B.2 Patofisiologi
Pasien dengan HHNK umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai DM,
dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat anti hipoglikemik oral.
Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin memperberat masalah, misalnya
diuretik.13
Keluhan pasien HHNK ialah: rasa lemah , gangguan penglihatan atau kaki kejang.
Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan
dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan
Pentalaksanaan serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah cairan
hipotonis (1/2N, 2A). Pemantauan konsentrasi glukosa darah harus ketat, dan pemberian
insulin harus lebih cermat dan hati-hati. Penurunan konsentrasi glukosa darah lebih baik.
Walaupun demikian, angka kematian lebih tinggi, karena lebih banyak terjadi pada usia
lanjut, yang tentu saja lebih banyak disertai dengan kelainan organ-organ lainnya. 13,14,15
Penatalaksanaan HHNK meliputi 5 pendekatan:1) rehidrasi intravena agresif;2)
penggantian elektrolit;3) pemberian insulin intravena;4) diagnosis dan manajemen faktor
pencetus dan penyakit penyerta;5) pencegahan. 13,14,15
1. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksanaan HHNK adalah pergantian cairan
yang agresif, sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan
(biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan cairan isotonik
akan menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat ,mengkoreksi
defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus.
Sehingga awalnya sebaiknya diberikan 1L normal saline perjam. Jika pasien mengalami
syok hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma ekspander. Jika pasien dalam kondisi syok
kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik.
2. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahu pasti, karena konsentrasi kalium
dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan terlihat
ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam
sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus menerus dan irama jantung oasien juga
harus dimonitor.
3. Insulin
Hal yang terpenting dalam pemberian insulin adalah pemberian cairan yang adekuat
terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan
berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular
dan kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0.15 IU/KgBB secara
intravena, dan diikuti dengan drip 0.1IU/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah
turun antara 250 mg per dL samapai 300 mg per dL. Jika konsentrasi glukosa dalam darah
tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika
konsentrasi glukosa darah dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara
intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan
keadaan hiperosmolar
C. Hipoglikemia
Gemetaran
Kulit lembab dan pucat
Rasa cemas
Keringat berlebihan
Rasa lapar
Mudah rangsang
Penglihatan kabur
Gejala klinis biasanya muncul pada kadar gula darah < 60 mg/dL, meskipun pada
orang tertentu sudah dirasakan di atas kadar tersebut ( < 70 mg/dL). Tapi pada umumnya
pada kadar gula darah < 50 mg/dL, telah memberikan dampak pada fungsi serebral.
Pada tahap lanjut, hipoglikemia akan memberikan gejala defisiensi glukosa pada
jaringan serebral (gejala neuroglikopenik) yakni:
Sulit berfikir
Bingung
Sakit kepala
Kejang-kejang
Koma
Bila keadaan hipoglikemia tidak cepat teratasi, maka dapat menimbulkan kecacatan
bahkan kematian.
C.4 Terapi13
Tujuan pengobatan pada prinsipnya untuk mengembalikan kadar glukosa darah
kembali normal, sesegera mungkin.
berperan dalam
Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati disebabkan
adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol,
penurunan pembentukan myoinositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga menimbulkan
kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal. 16,17
2.2 Komplikasi Makrovaskular
2.2.1 Penyakit Jantung Koroner
Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan
lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke
otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa
terjadi.16.17
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor risiko
koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan
pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri dada paroksismal serti
tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan
tangan) yang timbul saat beraktifiras atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau
mendapat nitrat sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana
nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejalagejala MI dapat tidak timbul pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.
16,17,18
2.2.2 Stroke
Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3%
pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen
dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1% and
6.7% dengan Diabetes tipe 2. 18
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada
penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih
sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat
berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis
akibat iskemia, berupa:13,16
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik
- Keadaan pseudo-dementia
2.2.3 Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang dramatis
seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu
terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serangan jantung
dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi.
2.2.4 Penyakit pembuluh darah perifer
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang dapat
terjadi pada seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka
akan meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnuya terjadi payah jantung.
Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes disbanding pada orang normal.
Risiko ini akan meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes,
hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal
terjadi pada penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada
diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah
mencapai fase IV. Faktor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi
merupakan factor utama terjadinya proses gangrene diabetik. Pada penderita dengan
gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai faktor pencetus koma, ataupun
kematian.13,16
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan
Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada
penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di
kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun
lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD
disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh,
pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.13,16
6. Patogenesis dan Faktor Risiko Mayor Komplikasi Diabetes Mellitus
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan menyebabkan
terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya
pertumbuhan sel dan kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi
kronik diabetes melitus. Kelainan dasar tersebut sudah dibuktikan terjadi pada penyandang
diabetes melitus maupun juga pada berbagai binatang percobaan. Perubahan dasar atau
disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah maupun pada sel mesangial
ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan sel, yang kemudian pada
gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi vaskular diabetes. 13
Pada retinopati diabetik proliferatif, didapatkan hilangnya sel perisit dan terjadi
pembentukan mikroaneurisma. Disamping itu terjadi hambatan pada aliran darah dan terjadi
penyumbatan pada kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan
mikrovaskular berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal. Sel retina kemudia merespon dengan
meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular (Vascular Endothelial Growth
Factor=VEGF) dan selanjutnya memacu terjadinya neovaskularisasi pembuluh darah. 13
Pada neprofati diabetik, terjadi peningkatan tekan glomerular, disertai
meningkatnya matriks ekstraselular akan menyebabkan terjadinya peningkatan membran
basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular. Semua itu menyebabkan berkurangnya
area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah ke terjadinya
glomerulosklerosis. 13
Terjadinya plak aterosklerosis pada derah subintimal pembuluh darah yang
kemudian berlanjut pada terbentuknya penyumbatan pembuluh darah dan kemudian sindrom
koroner akut. Patogenesis terjadinya kelainan vaskular pada diabetes melitus meliputi
terjadinya imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh
darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut
berespon terhadap berbagai vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin II. Di pihak lain
adanya hiperinsulinemia yang tampak pada DM tipe 2 atau pun juga pemberian insulin
eksogen ternyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan
yang terjadi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot polos pembuluh darah maupun sel
mesangial. Jelas baik faktor hormonal maupun faktor metaboli berperan pada patogenesis
terjadinya kelainan vaskular diabetes. 13
Jaringan kardiovaskular, demikian juga jaringan lain yang rentan terhadap
komplikasi kronik diabetes (jaringan syaraf, sel endotel pembuluh darah, dan sel retina serta
lensa) mempunyai kemampuan untuk memasukan glukosa dari lingkungan sekitar ke dalam
sel tanpa harus memerlukan insulin (insulin independen), agar dengan demikian jaringan
yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum
glukosa tersebut dipakai untuk energi di otot maupun untuk kemudian disimpan sebagai
cadangan lemak. Tetapi pada keadaan hiperglikemia kronik, tidak cukup terjadi down
regulation dari sistem transportasi glukosa yang non-insulin dependen ini, sehingga sel akan
kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai hiperglisolia. 13
Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut yang
kemudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik
diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres
oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya glikosilasi lanjut
intraselular. 13
6.1 Patogenesis komplikasi diabetes mellitus 13,17,19
Mekanisme terjadinya komplikasi pada diabetes mellitus dapat diterangkan
melalui :
1. Peningkatan aktivitas aldosa reduktase
2. Glikosilasi non enzimatik
3. Pembentukan senyawa dikarbonil
4. Strees oksidatif
1) Peningkatan aktivitas aldosa reduktase. Akibat hiperglikemia, dalam jaringan terjadi
peningkatan kadar glukosa. Oleh aldosa reduktase, glukosa akan dirubah menjadi sorbitol,
yang berakibat meningkatnya kadar sorbitol didalam sel. Akumulasi sorbitol akan
meningkatkan osmolaritas didalam sel, sehingga terjadi perubahan fisiologi sel. Sel
dengan kadar sorbitol yang tinggi menunjukan aktivitas penurunan aktivitas protein kinase
C dan Na+, K+ - ATPase membran.
2) Glikosilasi non enzimatik. Glukosa adalah suatu aldehid yang bersifat reaktif, yang dapat
bereaksi secara spontan, walaupun lambat dengan protein. Melalui proses yang disebut
dengan glikosilasi non enzimatik, protein mengalami modifikasi. Gugus aldehid glukosa
bereaksi dengan gugus amino yang terdapat pada suatu protein, membentuk produk
glikosilasi yang bersifat reversible. Produk ini mengalami serangkaian reaksi dengan
gugus NH2 dari protein dan mengadakan ikatan silang membentuk advanced glycoliation
end-product (AGE). Akumulasi AGE pada kolagen dapat menurunkan elastisitas jaringan
ikat sehingga menimbulkan perubahan pada pembuluh darah dan membrane basalis.
3) Pembentukan senyawa dikarbonil. Monosakarida seperti glukosa dapat mengalami
oksidasi yang dikatalis oleh Fe dan Cu, membentuk radikal OH, O2, H2O2 dan senyawa
dikarbonil toksik. Senyawa dikarbonil yang terbentuk dapat bereaksi dengan gugus NH2
protein membentuk AGE.
4) Strees oksidatif. Strees oksidatif timbul bila pemebentukan reactive oxygen species
(ROS) melebihi kemampuan mekanisme seluler dalam mengatasi yang melibatkan
sejumlah enzim dan vitamin yang bersifat antioksidan. Strees oksidatif diabetes mellitus
dapat disebabkan karena gangguan keseimbangan redoks akibat perubahan metabolisme
karbohidrat
dan
lipid,
peningkatan
reactive
oxygen
species
akibat
proses
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang
lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai,
jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.1,18
D. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan1,18
Obat yang saat ini ada antara lain:
I. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea
Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan
ginjal serta malnutrisi
b. Glinid
Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin
fase pertama.
Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
Peningkat sensitivitas insulin:
a. Biguanid1,18
Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin
pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati.
Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai
dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.
b. Tiazolidindion1,18
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena meningkatkan retensi
cairan.
Kriteria pengendalian DM
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang
merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila kadar glukosa darah, A1c
dan lipid mencapai target sasaran.18
Tabel 6. Target pengendalian DM1,18
22
Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) yang pada studinya mendapatkan pada
kelompok yang diberi Metformin terjadi penurunan risiko mortalitas dan morbiditas. UKPDS
juga mendapatkan efikasi Metformin setara dengan sulfonilurea dalam mengendalikan kadar
glukosa darah.23 Ito dkk dalam studinya menyimpulkan bahwa metformin juga efektif pada
pasien dengan berat badan normal.24
BAB III
KESIMPULAN
termasuk di Indonesia
Mekanisme terjadinya komplikasi DM sangat kompleks, mencakup beberapa jalur