Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Di Negara berkembang, Diabetes Mellitus sampai sat ini masih merupakan faktor
yang terkait sebagai penyebab kematian sebanyak 4- 5 kali lebih besar.Menurut estimasi
data WHO maupun IDF, prevalensi Diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah sebesar
5,6 juta penduduk, tetapi pada kenyataannya ternyata didapatkan sebesar 8,2 juta. Tentu
saja hal ini sangat mencengangkan para praktisi, sehingga perlu dilakukan upaya
pencegahan secara komprehensif di setiap sektor terkait. Diabetes sendiri merupakan
penyakit kronis yang akan diderita seumur hidup sehingga progresifitas penyakit akan
terus berjalan, pada suatu saat dapat menimbulkan komplikasi. Diabetes Mellitus (DM)
biasanya berjalan lambat dengan gejala-gejala yang ringan sampai berat, bahkan dapat
menyebabkan kematian akibat baik komplikasi akut maupun kronis. 1
Hiperglikemia yang terjadi dari waktu kewaktu dapat menyebabkan kerusakan
berbagai sistem tubuh

terutama syaraf dan pembuluh darah. Dengan pengendalian

metabolisme yang baik, menjaga agar kadar gula darah berada dalam kondisi normal,
maka komplikasi akibat diabetes dapat dicegah atau ditunda. 2
Dengan demikian Diabetes bukanlah suatu penyakit yang ringan. Menurut beberapa
review, Retinopati diabetika, sebagai penyebab kebutaan pada usia dewasa muda, kematian
akibat penyakit kardiovaskuler dan stroke sebesar 2-4 kali lebih besar , Nefropati diabetik
sebagai penyebab utama gagal ginjal terminal, delapan dari 10 penderita diabetes meninggal
akibat kejadian kardiovaskuler dan neuropati diabetik, penyebab utama amputasi non
traumatic pada usia dewasa muda3.
Pada Makalah ini akan bahas mengenai komplikasi diabetes mellitus baik akut
maupun kronis,serta komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang ditimbulkan.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Diabetes melitus
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan
hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan
oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Hiperglikemia kronis pada
diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh
khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.1
2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam kategori umum berikut:4
1. Diabetes tipe 1
Karena kerusakan sel - b , biasanya menyebabkan insulin absolut kekurangan
2. Diabetes tipe 2
Karena progresif sekretorik insulin cacat pada latar belakang resistensi insulin
3. Diabetes mellitus gestasional ( GDM )
Diabetes didiagnosis pada trimester kedua atau trimester ketiga kehamilan, dimana kondisi
diabetes ini masih belum jelas
4. Diabetes karena penyebab lain
Misalnya sindrom diabetes monogenik seperti diabetes neonatal dan diabetes pada dewasa
muda ( Mody/maturity-onset diabetes of the young) , penyakit esokrin pankreas ( seperti
cystic fibrosis ) , obat-obatan atau bahan kimia yang mginduksi terjadinya diabetes (seperti
dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ)
3. Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus
3.1 Menurut PERKENI,20061
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl (11.1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir atau;
2. Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau;
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (11.1 mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
3.2 Menurut ADA (American Diabetes Association, 2015)4

Gambar 1. Kriteria diagnostik Diabetes Melitus menurut ADA,20154

4. Peran HbA1C dan Hubungannya Dengan Kadar Glukosa5


Komponen utama hemoglobin adalah hemoglobin A, yaitu 90% dari total komponen
hemoglobin. Komponen minor hemoglobin adalah hemoglobin A2 dan F, yang merupakan
hasil rantai gen hemoglobin yang berbeda: dan . Komponen minor lainnya adalah modifi
kasi post-translasional hemoglobin A. Komponen tersebut ditemukan pertama kali oleh Allen,
Schroeder dan Balog yang memisahkannya melalui kromatografi pada resin pertukaran
kation dan disebut sebagai

hemoglobin A1a, A1b dan A1c sesuai dengan elusinya.

Hemoglobin A1c merupakan komponen minor paling besar dari sel darah manusia,
normalnya 4% dari total hemoglobin A. Ketertarikan pada HbA 1c dimulai pada saat Rahbar

menemukan peningkatan komponen tersebut sebanyak dua sampai tiga kali lipat pada pasien
diabetes.
Kadar HbA1c normal adalah 3,5%-5%. Kadar rata-rata glukosa darah 30 hari
sebelumnya merupakan kontributor utama HbA1c. Kontribusi bulanan rata-rata glukosa
darah terhadap HbA1c adalah: 50% dari 30 hari terakhir, 25% dari 30-60 hari sebelumnya
dan 25% dari 60-120 hari sebelumnya. Hubungan langsung antara HbA1c dan rata- rata
glukosa darah terjadi karena eritrosit terus menerus terglikasi selama 120 hari masa hidupnya
dan laju pembentukan

glikohemoglobin setara dengan konsentrasi glukosa darah.

Pengukuran HbA1c penting

untuk kontrol jangka panjang status glikemi pada pasien

diabetes.
Hubungan antara A1c dan glukosa plasma adalah kompleks. Kadar HbA1c lebih
tinggi didapatkan pada individu yang memiliki kadar glukosa darah tinggi sejak lama, seperti
pada diabetes mellitus. Banyak penelitian menunjukkan bahwa A1C adalah indeks ratarata
kadar glukosa selama beberapa minggu sampai bulan sebelumnya.
Tabel 1 Hubungan antara A1c dan rata-rata glukosa5

Hemoglobin A1c merupakan baku emas untuk penilaian homeostasis glukosa, adalah
integrasi variasi glukosa puasa dan postprandial selama periode 3 bulan. Secara matematika,
teori tersebut dapat diformulasikan menjadi:
[A1c]0-3 bulan = 03bulan FPG (t) dt + 03 bulan PPG (t)
FPG (t) dan PPG (t) adalah waktu pengambilan glukosa puasa dan postprandial.

4.1 HbA1C dan diagnosis Diabetes Melitus5


Kriteria diagnostik pada dasarnya adalah berdasarkan pengambilan sampel glukosa
darah pada waktu tertentu seperti saat puasa, sewaktu tanpa melihat status prandial, atau
setelah pembebanan glukosa oral (75 g). Apabila hiperglikemi kronik dapat menyebabkan
komplikasi khusus dan merupakan ciri khas diabetes, perlu dipikirkan suatu pemeriksaan
laboratorium yang dapat menilai adanya paparan glikemik jangka panjang yang dapat
menjadi marker yang lebih baik atas beratnya penyakit daripada pengukuran tunggal
konsentrasi glukosa.5
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat kemungkinan penggunaan HbA1c
dalam diagnosis diabetes. Pengggunaan A1C untuk tujuan diagnosis berdasarkan pada data
penelitian

crosssectional

yang

menunjukkan

peningkatan

prevalensi

komplikasi

mikrovaskular diabetes (retinopati) pada pasien non diabetes berhubungan langsung dengan
konsentrasi A1C. Pada penelitian Pimas dan National Health and Nutrition Examination
Survey (NHANES) III, individu yang memiliki dua atau tiga desil nilai tertinggi pada glukosa
puasa, konsentrasi glukosa 2 jam setelah tes tantangan glukosa oral dan kadar HbA1c,
memiliki prevalensi retinopati yang lebih besar. Penelitian DETECT menunjukkan bahwa
prevalensi retinopati meningkat signifikan pada kasus HbA1c 6,5% sehingga ADA
committee report mengusulkan HbA1c 6,5% digunakan untuk diagnosis diabetes melitus.6
Masih ada perdebatan mengenai HbA1c cut points. Penelitian berbagai kelompok
populasi di seluruh dunia menunjukkan angkanya berkisar antara 5,6% - 7%.25 Usia, etnis,
faktor genetik, usia eritrosit, dan lingkungan eritrosit semuanya berkontribusi terhadap
variabilitas HbA1c antar individu dan antar kelompok. A1C cut point 6,1% memiliki
sensitivitas 78- 91% dan spesifi sitas 79-84% dibandingkan TTGO.7 Penelitian pada populasi
umum di Belanda merekomendasikan cut point HbA1c 5,8%, 6,1%, 5,6%; 6,3% pada
populasi di Cina, 5,7% pada populasi di Amerika, 5,7% pada populasi di Jepang (penelitian
Funagata) dan 6,0% pada populasi orang Amerika di Pittsburgh dan Memphis. 8 Buell
dkk ,melakukan penelitian kadar optimal A1C pada data NHANES 1999-2004 melaporkan
bahwa HbA1c 5,8% memiliki sensitivitas (86%) dan spesifi sitas (92%) tertinggi. 6 Studi lain
mendapatkan A1C 6,1% memiliki performa diagnostik terbaik pada penelitian komunitas
India.9

4.2 HbA1C dalam manajemen Diabetes Melitus


Hemoglobin A1c telah digunakan secara luas sebagai indikator kontrol glikemik,
karena mencerminkan konsentrasi glukosa darah 1-2 bulan sebelum pemeriksaan dan tidak
dipengaruhi oleh diet sebelum pengambilan sampel darah.28 Hemoglobin A1c merupakan
alat pemantauan yang penting dalam penatalaksanaan pasien dengan diabetes melitus.5
Kontrol glikemik pada pasien diabetes tipe 2 secara skematik dapat digambarkan
sebagai triad glukosa, dengan komponen A1C, kadar glukosa puasa, dan kadar glukosa
postprandial. Saat ini, meskipun masih ada perdebatan namun tampaknya penilaian kontrol
glikemik terbaik ditentukan oleh ketiga komponen tersebut.4
Kadar A1C memberikan informasi yang berguna pada kontribusi postprandial
hiperglikemi dan basal hiperglikemi pada pasien diabetes tipe 2. Karena glukosa postprandial
adalah kontributor utama pada pasien dengan kadar A1C 6,5%-7,5%, maka logis untuk
menurunkan glukosa postprandial mencapai kadar A1C di bawah 6,5%. Sebaliknya, pada
pasien dengan kadar A1C di atas 7,5%, hiperglikemi basal menjadi yang utama, sehingga
terapi perbaikan kontrol glikemik sebaiknya dimulai dengan obat yang bekerja menurunkan
hiperglikemia basal dan interprandial.4 Saat ini, ada dua nilai A1C yang digunakan untuk
menilai diabetes yang terkontrol yaitu: 7% oleh ADA dan 6,5% oleh the American College of
Endocrinologists (AACE) dan IDF. 4
Penelitian ADVANCE menunjukkan sedikit keuntungan bertahap pada mikrovaskular
outcome dengan A1c mendekati normal; untuk pasien tanpa risiko hipoglikemi atau efek
samping lain, kadar A1C yang diharapkan adalah <7%. 4 Sebaliknya penelitian ACCORD
menunjukkan bahwa target HbA1c yang tidak terlampau ketat dari <7% lebih dianjurkan
pada pasien yang mendapat terapi obat hipoglikemik seperti sulfonilurea dan/ atau insulin
yang dapat mengakibatkan hipoglikemi. Rekomendasi lebih fleksibel sebaiknya diaplikasikan
kepada pasien dengan harapan hidup rendah atau dengan komplikasi mikro dan
makrovaskuler yang sudah lanjut. 4
4.3 Hemoglobin A1c Sebagai Tes Skrining Risiko Diabetes
Tes skrining umumnya berbeda dari tes diagnostik, untuk skrining sensitivitas
sebaiknya lebih besar dari spesifi sitas. Rekomendasi skrining diabetes hanya ditujukan untuk
kondisi harus dilakukan tes diagnostik. Tujuan tes skrining adalah untuk identifikasi
seseorang dengan risiko tinggi diabetes agar dapat dilakukan tindakan pencegahan dan follow
up lebih ketat.5

Data NHANES 1999-2004 menunjukkan bahwa HbA1c sebagai tes skrining memiliki
validitas prediksi yang tinggi pada subyek dengan faktor risiko diabetes. Penelitian berbasis
populasi di Swedia menunjukkan bahwa kombinasi HbA1c, glukosa puasa dan IMT lebih
sensitif dan spesifi k dibandingkan tes HbA1c saja dan memiliki nilai prediksi yang lebih
tinggi untuk skrining diabetes tipe 2. Penelitian di Korea dan Cina juga menunjukkan bahwa
kombinasi HbA1c dan glukosa puasa dapat mendeteksi kasus baru diabetes lebih banyak
dibandingkan jika tes tersebut digunakan sendiri-sendiri. Departemen Kesehatan di Inggris
merekomendasikan pemeriksaan HbA1c dan tes toleransi glukosa oral untuk skrining
diabetes. Individu dengan nilai HbA1c 6%-6,4% sebaiknya melakukan tes toleransi glukosa
untuk memastikan adanya diabetes.8
Tiga status hiperglikemik telah ditentukan untuk menilai risiko diabetes yaitu: HbA1c
5,7%-6,4%, glukosa puasa terganggu (glukosa darah puasa antara 100-126 mg/dl), dan
toleransi glukosa terganggu (glukosa 2 jam setelah pembebanan glukosa antara 140-200
mg/dl). Pada tahun 2009, Expert Committee menetapkan nilai HbA1c antara 6,0-6,4% adalah
risiko untuk diabetes; nilai ambang 6,0% kemudian diturunkan lagi oleh ADA menjadi 5,7%
pada tahun 2010.10
5. Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi DM terbagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis.
1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut pada DM dan berhubungan dengan keseimbangan kadar glukosa darah
dalam jangka pendek, ketiga komplikasi tersebut adalah:
A. Ketoasidosis Diabetikum (KAD)
A.1 Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan
konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi.11 Ketoasidosis merupakan akibat dari
kekurangan atau inefektitas insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan hormon
kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut
mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan
produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan
ginjal (glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan
perifer. Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat nonkarbohidrat
(alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan
aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat,

dan piruvat karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis


utama yang bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.11
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan
diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerular filtration
rate. Keadaan yang terakhir akan memperburuk hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari
peningkatan produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin
dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase
yang sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid
menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol
merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam
lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.11
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang prosesnya
distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon menurunkan kadar
malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A
melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam
lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I), enzim
untuk transesterifikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan
oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak
bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl
Co A dan CPT I pada KAD mengakibatkan peningkatan ketogenesis.11,12

Bagan 1. Patofisologi KAD11


A.2 Faktor Pencetus Ketoasidosis Diabetikum
Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya,, 80% dapat dikenali
adanya faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui faktor pencetusnya. Faktor
pencetus tersering KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai pencetus dari 50% kasus
KAD.11 Faktor lainnya adalah CVA, alcohol abuse pankreatitis, infark jantung, trauma, obat,
DM tipe 1 yang baru diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi insulin in adekuat.
Infeksi yang diketahui paling sering mencetuskan KAD adalah infeksi saluran kemih
dan pneumonia.11 Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi oksigenasi dan

mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan sebagai keadaan yang serius
dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis metabolik.11
A.3 Gejala Ketoasidosis Diabetikum
Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih akut dan
pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya. Gambaran
klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan berat badan,
muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan
klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi,
perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntahmuntah yang tampak seperti kopi. Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan
hipotermia karena menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan
abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi dari
pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini
tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan asidosis metabolik.11
Tabel 2. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association11

A.4 Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetikum11,12

Keberhasilan

penatalaksanaan

KAD

membutuhkan

koreksi

dehidrasi,

hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid, dan
yang terpenting adalah pemantauanpasien terus menerus.7 Berikut ini beberapa hal yang
harus diperhatikan pada penatalaksanaan KAD:
1). Terapi Cairan11,12
Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan. Terapi insulin hanya
efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja
akan membuat kadar gula darah menjadi lebih rendah. Studi menunjukkan bahwa selama
empat jam pertama, lebih dari 80% penurunan kadar gula darah disebabkan oleh
rehidrasi.11,12
Fluid deficit = (0,6 X berat badan dalam kg) X (corrected Na/140)
Corrected Na = Na + (kadar gula darah-5)/3,5
Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat dehidrasi adalah dengan
menghitung osmolalitas serum total dan corrected serum sodium concentration.
Osmolalitas serum total = 2 X Na (mEq/l) + kadar glukosa darah (mg/dl)/18 + BUN/2,8
Serum sodium concentration dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mEq/l tiap
kenaikan 10 mg/dl kadar gula darah di atas kadar gula 100 mg/ dl. Nilai corrected serum
sodium

concentration > 140 dan osmolalitas serum total > 330 mOsm/kg air

menunjukkan defisit cairan yang berat.11


Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya adalah penggantian
cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8-12 jam pertama dan sisanya dalam
12-16 jam berikutnya.

11

Menurut perkiraan banyak ahli, total kekurangan cairan pada

pasien KAD sebesar 100 ml/kgBB, atau sebesar 5-8 liter. 11 Pada pasien dewasa, terapi
cairan awal langsung diberikan untuk ekspansi volume cairan intravaskular dan
ekstravaskular dan menjaga perfusi ginjal. 11 Terdapat beberapa kontroversi tentang jenis
cairan yang dipergunakan. Tidak ada uji klinik yang membuktikan kelebihan pemakaian
salah satu jenis cairan.

11,12

Kebanyakan ahli menyarankan pemakaian cairan fisiologis

(NaCl 0,9%) sebagai terapi awal untuk resusitasi cairan.


2.

Terapi Insulin11,12
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai. Pemberian insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi pilihan
pada KAD yang disebutkan oleh beberapa literatur, sedangkan ADA menganjurkan
insulin intravena tidak diberikan pada KAD derajat ringan. Jika tidak terdapat
hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB, diikuti

dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5-7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka
harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan dapat
mengakibatkan aritmia jantung. 11 (7,8) Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula
darah dengan kecepatan 50 -75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih
tinggi. Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama,
periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan
2 kali lipat setiap jam sampai tercapai penurunan gula darah konstan antara 50-75
mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin
menjadi0,05- 0,1 u/kgBB/jam (3 " 6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5-10%.
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus disesuaikan
untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik. Selama terapi KAD
harus diperiksa kadar elektrolit, glukosa, BUN, serum kreatinin, osmolalitas, dan derajat
keasaman vena setiap 2 -4 jam, sumber lain menyebutkan bahwa kadar glukosa kapiler
diperiksa tiap 1-2 jam. Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200
mg/dl, serum bikarbonat 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap 12 mEq/l.11,12
3.

Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang rendah,
oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di
atas 100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar
yang diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masihrendah setelah
penyesuaian efek ini. Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan
resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium
lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena air tanpa
natrium akan berpindah ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar natrium8.
Serum natrium yang lebih tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl
0,45%.

4.

Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah kadar kalium serum
kurang dari 5,0, sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya, 20 " 30 mEq
kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup untuk memelihara
kadar kalium serum dalam range normal 4-5 mEq/l. Kadang-kadang pasien KAD
mengalami hipokalemia yang signifikan. Pada kasus tersebut, penggantian kalium harus
dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi insulin harus ditunda hingga kadar
kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot

pernapasan. Terapi kalium dimulai saat terapi cairan sudah dimulai, dan tidak dilakukan
jika tidak ada produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau kadar kalium > 6 mEq/l.
5.

Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Mengetahui bahwa asidosis berat
menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak diinginkan, tampaknya cukup bijaksana
menentukan bahwa pada pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat
ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200
ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9-7,0, 50 mmol natrium bikarbonat dicampur dalam
200 ml. cairan fsiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Natrium bikarbonat
tidak diperlukan jika pH > 7. Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam sampai pH
menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi setiap 2 jam jika perlu.

6.

Fosfat
Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan hingga 1,0
mmol/kgBB, kadar fosfat serum seringkali normal atau meningkat. Kadar fosfat menurun
dengan terapi insulin. Bagaimanapun juga untuk menghindari lemahnya otot rangka dan
jantung serta depres pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat
secara hati-hati mungkin kadang-kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan
jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan kadar serum posfat <
1,0 mg/dl. Ketika diperlukan, 20-30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan pada terapi
cairan yang telah diberikan.

7.

Hiperkloremik asidosis selama terapi


Oleh karena pertimbangan pengeluaran keto acid dalam urine selama fase awal terapi,
substrat atau bahan turunan bikarbonat akan menurun. Sebagian defisit bikarbonat akan
diganti dengan infus ion klorida pada sejumlah besar salin untuk mengkoreksi dehidrasi.
Pada kebanyakan pasien akan mengalami sebuah keadaan hiperkloremik dengan
bikarbonat yang rendah dengan anion gap yang normal. Keadaan ini merupakan kelainan
yang ringan dan tidak akan berbahaya dalam waktu 12-24 jam jika pemberian cairan
intravena tidak diberikan terlalu lama.

A.4.1 Monitoring terapi11,12

Semua pasien KAD harus mendapatkan evaluasi laboratorium yang komprehensif


termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan profil kimia termasuk pemeriksaan elektrolit
dan analisis gas darah. Pemberian cairan dan pengeluaran urine harus dimonitor secara hatihati dan dicatat tiap jam. Pemeriksaan EKG harus dikerjakan kepada setiap pasien, khususnya
mereka dengan risiko kardiovaskular. Terdapat bermacam pendapat tentang frekuensi
pemeriksaan pada beberapa parameter yang ada. ADA merekomendasikan pemeriksaan
glukosa, elektrolit, BUN, kreatinin, osmolalitas dan derajat keasaman vena tiap 2 " 4 jam
sampai keadaan stabil tercapai. Sumber lain menyebutkan pemeriksaan gula darah tiap 1-2
jam. Pemeriksaan kadar gula darah yang sering adalah penting untuk menilai efekasi
pemberian insulin dan mengubah dosis insulin ketika hasilnya tidak memuaskan. Ketika
kadar gula darah 250 mg/dl, monitor kadar gula darah dapat lebih jarang (tiap 4 jam). Kadar
elektrolit serum diperiksa dalam interval 2 jam sampai 6-8 jam terapi. Jumlah pemberian
kalium sesuai kadar kalium, terapi fosfat sesuai indikasi. Titik terendah kadar kalium dan
fosfat pada saat terapi terjadi 4-6 jam setelah mulainya terapi. 11,12
A.4.2 Komplikasi terapi
Tabel 3. Komplikasi akibat penatalaksanaan KAD11

B.1 Hiperglikemia Hiperosmolar State13,14,15


B. Hiperoosmolar Hiperglikemia Nonketotik

Hiperoosmolar Hiperglikemia Nonketotik (HHNK) merupakan komplikasi akut/


emergensi diabetes melitus (DM). Sindroma HHNK ditandai oleh hiperglikemia,
hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat,
hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya
ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu
(beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai
poliuria, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10%
kasus.13,14,15
B.1 Faktor pencetus
HHNK biasanya terjadi pada orangtua dengan DM, yang mempunyai penyakit
penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi
menjadi 6 kategori: infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tidak terdiagnosis, penyalah
gunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering, compliance yang
buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan HHNK. 13,14,15
Tabel 4. Faktor Predisposisi Hiperglikemia Hiperosmolar State14

B.2 Patofisiologi

Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria


mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang
akan semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian penurunan volume
intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi
glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak
dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk
menurunkan konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin. 13,14,15
Tidak seperti pasien dengan KAD, pasien HHNK tidak mengalami ketoasidosis,
namun tidak diketahui dengan jelas alasannya.Faktor yang diduga ikut berpengaruh adalah
keterbatasan ketogenensis karena keadaan hiperosmolar, kosentrasi asam lemak bebas yang
rendah untuk ketogenensis, ketersediaan insulin yang cukup untuk menghambat ketogenesis
namun tidak cukup untuk mencegah hipeglikemia, dan resistensi hati terhadap glukagon.13
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya hiperglikemia.
Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh sel otot dan sel lemak,
ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot dan hati, stimulasi
glukagon pada sel hati untuk glukoneogenesis mengakibatkan semakin naiknya konsentrasi
glukosa darah juga tergantung dari status hidrasi dan masukan karbohidrat oral. 13,14,15
Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik, dan mengakibatkan
menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular, dimana glukoneogenesis dan masukan
makanan terus menambah glukosa, kehilangan cairan akan semakin mengakibatkan
hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi
protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan intravaskular menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi hormon antidiuretik. Keadaan
hiperosmolar ini juga akan memicu timbulnya rasa haus. 13,14,15
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak
dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan kemudian
hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan
gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari proses
hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan
hipotensi. 13,14,15

B.3 Gejala Klinis

Pasien dengan HHNK umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai DM,
dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat anti hipoglikemik oral.
Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin memperberat masalah, misalnya
diuretik.13
Keluhan pasien HHNK ialah: rasa lemah , gangguan penglihatan atau kaki kejang.
Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan
dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan

saraf seperti letargi,

disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma. 13


Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang
buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut
nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu
tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah
rehidrasi yang adekuat. 13
Perubahan status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat
gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif
serum. Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal maupun
mioklonik. Dapat pula terjadi hemiparesis yang dapat bersifat reversibel dengan koreksi
cairan. 13
Secara klinis HHNK akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil
laboratorium seperti konsentrasi glukosa darah, keton dan analisa gas darah belum ada
hasilnya. Berikut ini adalah beberapa gejala dan tanda sebagai pegangan: 13
Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun, semakin muda semakin
berkurang, dan pada anak belum pernah ditemukan.
Hampir separuh pasien tidak memiliki riwayat DM atau DM tanpa insulin.
Mempunyai penyakit dasar lain ditemukan 85% pasien mengidap penyakit ginjal atau
kardiovaskular, pernah ditemukan penyakit akromegali, tirotoksikosis, dan penyakit
cushing.
Sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain tiazid, furosemid, manitol, digitalis,
reserpin, tteroid, klopromazin, hidralazin, dilantin, simetidin dan haloperidol
(neuroleptik)
Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardiovaskular, aritmia,
perdarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik dan operasi.
B.4 Penatalaksanaan

Pentalaksanaan serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah cairan
hipotonis (1/2N, 2A). Pemantauan konsentrasi glukosa darah harus ketat, dan pemberian
insulin harus lebih cermat dan hati-hati. Penurunan konsentrasi glukosa darah lebih baik.
Walaupun demikian, angka kematian lebih tinggi, karena lebih banyak terjadi pada usia
lanjut, yang tentu saja lebih banyak disertai dengan kelainan organ-organ lainnya. 13,14,15
Penatalaksanaan HHNK meliputi 5 pendekatan:1) rehidrasi intravena agresif;2)
penggantian elektrolit;3) pemberian insulin intravena;4) diagnosis dan manajemen faktor
pencetus dan penyakit penyerta;5) pencegahan. 13,14,15
1. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksanaan HHNK adalah pergantian cairan
yang agresif, sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan
(biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan cairan isotonik
akan menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat ,mengkoreksi
defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus.
Sehingga awalnya sebaiknya diberikan 1L normal saline perjam. Jika pasien mengalami
syok hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma ekspander. Jika pasien dalam kondisi syok
kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik.
2. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahu pasti, karena konsentrasi kalium
dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan terlihat
ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam
sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus menerus dan irama jantung oasien juga
harus dimonitor.
3. Insulin
Hal yang terpenting dalam pemberian insulin adalah pemberian cairan yang adekuat
terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan
berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular
dan kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0.15 IU/KgBB secara
intravena, dan diikuti dengan drip 0.1IU/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah
turun antara 250 mg per dL samapai 300 mg per dL. Jika konsentrasi glukosa dalam darah
tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika
konsentrasi glukosa darah dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara
intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan
keadaan hiperosmolar

Tabel 5. Kehilangan Elektrolit Pada HHNK.14

B.5 Identifikasi dan mengatasi faktor penyebab


Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik kepada semua
pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi antoibiotik dianjurkan sambil
menunggu hasil kultur pada pasien usia lanjut dan pada pasien dengan hipotensi. Berdasarkan
penelitian terkini, peningkatan konsentrasi C-reaktif protein dan interleukin-6 merupakan
indikator awal sepsis pada pasien dengan HHNK. 13,14,15

Bagan 2. Manajemen Pasien dengan Hiperglikemia Hiperosmolar State11

C. Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan terminologi klinis yang digunakan untuk keadaa yang


disebabkan oleh menurunnya kadar glukosa dalam darah sampai pada tingkat tertentu
sehingga memberikan keluhan dan gejala. Pada Diabetes, hipoglikemia juga sering
didefinisikan sesuai dengan gambaran klinisnya. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan
Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad
tersebut meliputi: a). Keluhan yang menunjukkan kadar glukosa darah yang rendah, b). Kadar
glukosa darah yang rendah ( <3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c). Hilangnya
secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi.13
C.1 Patofisiologi hipoglikemia
Pada kejadian hipoglikemia, mekanisme pertahanan tubuh yang berfungsi akan
mengaktifkan beberapa sistem neuroendokrin, tidak nerlangsung secara adekuat atau
,mengalami gangguan. Gangguan mekanisme tersebut menyebabkan keadaan hipoglikemia
karena tubuh gagal mempertahankan kadar normal gula darah. Kemampuan regulasi glukosa
secara normal

diatur melalui rangkaian beberapa proses diantaranya absorpsi glukosa

disaluran cerna, uptake glukosa oleh jaringan, glikogenesis, glikogenolisis, glukoneogenesis,


yang secara keseluruhan dipengaruhi oleh seperangkat hormon. 13
Beberapa hormon utama yang berperan dalam mengatur keseimbangan tersebut
diantaranya adalah insulin, glukagon, epinephrin (adrenalin), kortisol dan growth hormone.
Hipoglikemia terjadi ketika tubuh gagal mempertahankan kadar normal glukosa darah oleh
penyebab dari luar maupun dalam tubuh. Keadaan ini disebabkan oleh ketidak mampuan
tubuh dalam mengatur regulasi glukosa melalui rangkaian beberapa proses yang terjadi
secara seimbang. 13
C.2 Etiologi
Secara etiologi hipoglikemia disebabkan oleh:
1. penggunaan obat-obatan diabetes seperti insulin, sulfonilurea yang berlebihan. Penyebab
terbanyak hipoglikemia umumnya terkait dengan diabetes.
2. obat-obatan lain meskipun jarang terhadi namun dapat menyebabkan hipoglikemia adalah
beta bloker, pentamidine, kombinasi sulfometoksazole dan trimethoprim.
3. sehabis minum alkohol, terutama bila telah lama berpuasa dalam keadaan lama
4. intake kalori yang sangat kurang
5. hipoglikemia reaktif

6. infeksi berat, kanker yang lanjut, gagal ginjal, gagal hepar


7. insufisiensi adrenal
8. kelainan kongenital yang menyebabkan sekresi insulin berlebihan (pada bayi)
9. hepatoma, mesothelioma, fibrosarkoma
10. insulinoma
C.3 Gejala Klinis13
Pada dasarnya keluhan dan gejala klinis hipoglikemia terjadi oleh karena dua
penyebab utama yakni:
1. terpacunya aktivitas sistem saraf otonom, terutama simpatis
2. Tidak adekuatnya suplai glukosa ke jaringan serebral (neuroglikopenia)
Pada tahap awal hipoglikemia, respon pertama dari tubuh adalah peningkatan hormon
adrenalin/epinefrin, sehingga menimbulkan gejala neurogenik seperti:

Gemetaran
Kulit lembab dan pucat
Rasa cemas
Keringat berlebihan
Rasa lapar
Mudah rangsang
Penglihatan kabur
Gejala klinis biasanya muncul pada kadar gula darah < 60 mg/dL, meskipun pada

orang tertentu sudah dirasakan di atas kadar tersebut ( < 70 mg/dL). Tapi pada umumnya
pada kadar gula darah < 50 mg/dL, telah memberikan dampak pada fungsi serebral.
Pada tahap lanjut, hipoglikemia akan memberikan gejala defisiensi glukosa pada
jaringan serebral (gejala neuroglikopenik) yakni:

Sulit berfikir
Bingung
Sakit kepala
Kejang-kejang
Koma
Bila keadaan hipoglikemia tidak cepat teratasi, maka dapat menimbulkan kecacatan

bahkan kematian.
C.4 Terapi13
Tujuan pengobatan pada prinsipnya untuk mengembalikan kadar glukosa darah
kembali normal, sesegera mungkin.

a) Pada penderita hipoglikemia dengan gambaran klinis ringan, sadar,dan kooperatif,


penanggulangan biasanya akan cukup efektif dengan memberikan makanan atau minuman
yang manis mengandung gula seperti pilihan di bawah ini:
2-3 tablet glukosa, atau 2-3 sendok teh gula atau madu
120-175 jus jeruk
Segelas (kurang lebih 200cc) susu non fat (lemak dan coklat akan memperlambat
absorpsi glukosa dalam usus)
Setengah kaleng soft drink misalnya coca cola.
Pada umumnya dalam 20 menit keadaan hipoglikemia teratasi, kadar glukosa kembali
normal. Bila dengan cara di atas tidak teratasi, maka dilanjutkan ke pengobatan tahap
lanjut.
b) pada hipoglikemia tahap lanjut, terutama yang telah memperlihatkan gejala
neuroglikopenia, memerlukan pengobatan lebih intensif:
Infus larutan dextrosa, dianggap sebagai first line treatment karena paling efektif dalam
waktu cepat
Bila tidak berhasil ditambahkan suntikan glukagon intravena dan intramuskular.
Biasanya dalam 10 menit akan mengembalikan kesadaran penderita
Untuk insufisiensi adrenal, suntikan hidrokortison intramuskular

berperan dalam

memacu proses glukoneogenesis


Terutama pada anak-anak: suntikan growth hormone
Jika masih gagal, diaxozide (proglycem), atau streptozotocin (Zanosar) yang berkhasiat
menekan sekresi insulin oleh sel beta. Diaxozide efektif untuk pengibatan hipoglikemia
akibat sekresi insulin berlebihan oleh tumor
Tindakan operatif untuk penyebab tumor (insulinoma), atau non islet cell tumor
hypoglicemia (NICTH)

2. Komplikasi Kronis Diabetes mellitus16


Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentran terjadi
komplikasi pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol,
peningkatan pembentukan Protein Glikasi non enzimakti serta peningkatan proses glikosilasi
itu sendiri, yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan

komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika. Komplikasi


kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu:
Komplikasi mikrovaskular
Komplikasi makrovaskular
2.1 Komplikasi Mikrovaskular16
2.1.1 Diabetik Nefropati
Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati paling banyak, sebagi
penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM
mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein
dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Tanda kerusakan ginjal pada diabetes adalah
meningkatnya ekskresi albumin dalam urin. Akibat nefropati diabetika dapat timbul
kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri
persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi.16,17
Diperkirakan bahwa sekitar separuh pasien dengan mikroalbuminuria akan
berkembang menjadi nefropati. Bahkan , sebagian besar pasien hemodialisis dan pasien yang
menerima transplantasi ginjal memiliki diabetes. Dengan demikian upaya preventif pada
nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah. 16,17
2.1.2 Diabetik Retinopati
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya
ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan.
Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan
Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya
mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan
pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada stadium awal
retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan pada kelainan
sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan akan
menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat. 16,17
2.1.3 Diabetik Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada
penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. MAnifestasi klinis dapat berupa
gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di
mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal.

Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati disebabkan
adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol,
penurunan pembentukan myoinositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga menimbulkan
kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal. 16,17
2.2 Komplikasi Makrovaskular
2.2.1 Penyakit Jantung Koroner
Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan
lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke
otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa
terjadi.16.17
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor risiko
koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan
pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri dada paroksismal serti
tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan
tangan) yang timbul saat beraktifiras atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau
mendapat nitrat sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana
nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejalagejala MI dapat tidak timbul pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.
16,17,18

2.2.2 Stroke
Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3%
pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen
dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1% and
6.7% dengan Diabetes tipe 2. 18
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada
penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih
sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat
berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis
akibat iskemia, berupa:13,16
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik

- Keadaan pseudo-dementia
2.2.3 Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang dramatis
seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu
terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serangan jantung
dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi.
2.2.4 Penyakit pembuluh darah perifer
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang dapat
terjadi pada seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka
akan meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnuya terjadi payah jantung.
Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes disbanding pada orang normal.
Risiko ini akan meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes,
hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal
terjadi pada penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada
diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah
mencapai fase IV. Faktor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi
merupakan factor utama terjadinya proses gangrene diabetik. Pada penderita dengan
gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai faktor pencetus koma, ataupun
kematian.13,16
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan
Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada
penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di
kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun
lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD
disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh,
pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.13,16
6. Patogenesis dan Faktor Risiko Mayor Komplikasi Diabetes Mellitus
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan menyebabkan
terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya
pertumbuhan sel dan kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi
kronik diabetes melitus. Kelainan dasar tersebut sudah dibuktikan terjadi pada penyandang

diabetes melitus maupun juga pada berbagai binatang percobaan. Perubahan dasar atau
disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah maupun pada sel mesangial
ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan sel, yang kemudian pada
gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi vaskular diabetes. 13
Pada retinopati diabetik proliferatif, didapatkan hilangnya sel perisit dan terjadi
pembentukan mikroaneurisma. Disamping itu terjadi hambatan pada aliran darah dan terjadi
penyumbatan pada kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan
mikrovaskular berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal. Sel retina kemudia merespon dengan
meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular (Vascular Endothelial Growth
Factor=VEGF) dan selanjutnya memacu terjadinya neovaskularisasi pembuluh darah. 13
Pada neprofati diabetik, terjadi peningkatan tekan glomerular, disertai
meningkatnya matriks ekstraselular akan menyebabkan terjadinya peningkatan membran
basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular. Semua itu menyebabkan berkurangnya
area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah ke terjadinya
glomerulosklerosis. 13
Terjadinya plak aterosklerosis pada derah subintimal pembuluh darah yang
kemudian berlanjut pada terbentuknya penyumbatan pembuluh darah dan kemudian sindrom
koroner akut. Patogenesis terjadinya kelainan vaskular pada diabetes melitus meliputi
terjadinya imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh
darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut
berespon terhadap berbagai vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin II. Di pihak lain
adanya hiperinsulinemia yang tampak pada DM tipe 2 atau pun juga pemberian insulin
eksogen ternyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan
yang terjadi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot polos pembuluh darah maupun sel
mesangial. Jelas baik faktor hormonal maupun faktor metaboli berperan pada patogenesis
terjadinya kelainan vaskular diabetes. 13
Jaringan kardiovaskular, demikian juga jaringan lain yang rentan terhadap
komplikasi kronik diabetes (jaringan syaraf, sel endotel pembuluh darah, dan sel retina serta
lensa) mempunyai kemampuan untuk memasukan glukosa dari lingkungan sekitar ke dalam
sel tanpa harus memerlukan insulin (insulin independen), agar dengan demikian jaringan
yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum
glukosa tersebut dipakai untuk energi di otot maupun untuk kemudian disimpan sebagai
cadangan lemak. Tetapi pada keadaan hiperglikemia kronik, tidak cukup terjadi down

regulation dari sistem transportasi glukosa yang non-insulin dependen ini, sehingga sel akan
kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai hiperglisolia. 13
Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut yang
kemudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik
diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres
oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya glikosilasi lanjut
intraselular. 13
6.1 Patogenesis komplikasi diabetes mellitus 13,17,19
Mekanisme terjadinya komplikasi pada diabetes mellitus dapat diterangkan
melalui :
1. Peningkatan aktivitas aldosa reduktase
2. Glikosilasi non enzimatik
3. Pembentukan senyawa dikarbonil
4. Strees oksidatif
1) Peningkatan aktivitas aldosa reduktase. Akibat hiperglikemia, dalam jaringan terjadi
peningkatan kadar glukosa. Oleh aldosa reduktase, glukosa akan dirubah menjadi sorbitol,
yang berakibat meningkatnya kadar sorbitol didalam sel. Akumulasi sorbitol akan
meningkatkan osmolaritas didalam sel, sehingga terjadi perubahan fisiologi sel. Sel
dengan kadar sorbitol yang tinggi menunjukan aktivitas penurunan aktivitas protein kinase
C dan Na+, K+ - ATPase membran.
2) Glikosilasi non enzimatik. Glukosa adalah suatu aldehid yang bersifat reaktif, yang dapat
bereaksi secara spontan, walaupun lambat dengan protein. Melalui proses yang disebut
dengan glikosilasi non enzimatik, protein mengalami modifikasi. Gugus aldehid glukosa
bereaksi dengan gugus amino yang terdapat pada suatu protein, membentuk produk
glikosilasi yang bersifat reversible. Produk ini mengalami serangkaian reaksi dengan
gugus NH2 dari protein dan mengadakan ikatan silang membentuk advanced glycoliation
end-product (AGE). Akumulasi AGE pada kolagen dapat menurunkan elastisitas jaringan
ikat sehingga menimbulkan perubahan pada pembuluh darah dan membrane basalis.
3) Pembentukan senyawa dikarbonil. Monosakarida seperti glukosa dapat mengalami
oksidasi yang dikatalis oleh Fe dan Cu, membentuk radikal OH, O2, H2O2 dan senyawa
dikarbonil toksik. Senyawa dikarbonil yang terbentuk dapat bereaksi dengan gugus NH2
protein membentuk AGE.

4) Strees oksidatif. Strees oksidatif timbul bila pemebentukan reactive oxygen species
(ROS) melebihi kemampuan mekanisme seluler dalam mengatasi yang melibatkan
sejumlah enzim dan vitamin yang bersifat antioksidan. Strees oksidatif diabetes mellitus
dapat disebabkan karena gangguan keseimbangan redoks akibat perubahan metabolisme
karbohidrat

dan

lipid,

peningkatan

reactive

oxygen

species

akibat

proses

glikosilasi/glikoksidasi lipid dan penurunan kapasitas antioksidan.


7. Penatalaksanaan
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan
sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2
memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko
kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011,
penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM,
yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.1,18
A. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara
komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat.
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk
mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/
komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku
pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan
kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa
mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan
aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.15
B. Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan
terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari
3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.1,18
C. Latihan Jasmani

Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang
lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai,
jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.1,18
D. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan1,18
Obat yang saat ini ada antara lain:
I. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea
Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan
ginjal serta malnutrisi
b. Glinid
Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin
fase pertama.
Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
Peningkat sensitivitas insulin:
a. Biguanid1,18
Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin
pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati.
Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai
dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.
b. Tiazolidindion1,18
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena meningkatkan retensi
cairan.

Penghambat glukoneogenesis: Biguanid (Metformin).


Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi produksi
glukosa hati.
Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin
serum > 1,5 mg/ dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan
hipoksemia seperti pada sepsis
Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan
sulfonylurea.
Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa
diatasi dengan pemberian sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa : 1,18
Acarbose
Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.

Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan


sulfonilurea.
Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan flatulens.

Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1)


merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang
kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah
menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat
meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat penglepasan glukagon.

Agonis GLP-1/incretin mimetik


Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa menimbulkan hipoglikemia,
dan menghambat penglepasan glukagon
Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin
II. OBAT SUNTIKAN
Insulin
a. Insulin kerja cepat
b. Insulin kerja pendek
c. Insulin kerja menengah

d. Insulin kerja panjang


e. Insulin campuran tetap
Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat dipahami bahwa
yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua pengobatan DM tipe 2
diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang terus menerus, mengikuti petunjuk
pengaturan makan secara konsisten, dan melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian
penderita DM tipe 2 dapat terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini.
Bila dengan GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO. 1,18
Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda tergantung
jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid diberikan sesaat
sebelum makan. Metformin bisa diberikan sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose
diberikan bersama makan suapan pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal
makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat makan atau sebelum makan. 1,18
Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali maka
diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara kerja
berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan kombinasi
terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS
dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal.
Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja menengah atau kerja panjang, yang
diberikan malam hari menjelang tidur. 1,18
Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka pemberian OHO
dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini diberikan
kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan insulin kerja cepat
atau kerja pendek untuk mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan
prandial ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial. 1,18
Algoritma tata laksana selengkapnya dapat dilihat pada gambar 2 Tes hemoglobin
terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan
terapi 8-12 minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2
kali setahun. Gambar 2 menunjukkan panduan tatalaksana berdasarkan hasil A1c. 1,18

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 tanpa dekompensasi 1,18

Gambar 3. Algoritma pengelolaan DM tipe 2 berdasarkan hasil A1C1,18

Kriteria pengendalian DM
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang
merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila kadar glukosa darah, A1c
dan lipid mencapai target sasaran.18
Tabel 6. Target pengendalian DM1,18

Metformin dan DM tipe 2


Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral, metformin mempunyai beberapa efek
terapi antara lain menurunkan kadar glukosa darah melalui penghambatan produksi glukosa
hati dan menurunkan resistensi insulin khususnya di hati dan otot. Metformin tidak
meningkatkan kadar insulin plasma. Metformin menurunkan absorbsi glukosa di usus dan
meningkatkan sensitivitas insulin melalui efek penngkatan ambilan glukosa di perifer. Studistudi invivo dan invitro membuktikan efek metformin terhadap fluidity membran palsma,
plasticity dari reseptor dan transporter, supresi dari mitochondrial respiratory chain,
peningkatan insulin-stimulated receptor phosphorylation dan aktivitas tirosine kinase,
stimulasi translokasi GLUT4 transporters, dan efek enzimatik metabolic pathways. 1,18,20
Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya bertujuan untuk kendali glikemik, tetapi juga
kendali faktor risiko kardiovaskuler, karena ancaman mortalitas dan morbiditas justru datang
dari berbagai komplikasi kronik terebut. Dalam mencapai tujuan ini, Metformin salah satu
jenis OHO ternyata bukan hanya berfungsi untuk kendali glikemik, tetapi juga dapat
memperbaiki disfungsi endotel, hemostasis, stress oksidatif, resistensi insulin, profil lipid dan
redistribusi lemak. 1,18,21
Metformin terbukti dapat menurunkan berat badan, memperbaiki sensitivitas
insulin, dan mengurangi lemak visceral. Pada penderita perlemakan hati (fatty liver),
didapatkan perbaikan dengan penggunaan Metformin. 22
Metformin juga terbukti mempunyai efek protektif terhadap komplikasi
makrovaskular.

22

Selain berperan dalam proteksi risiko kardiovaskuler, studi-studi terbaru

juga mendapatkanperanan neuroprotektif Metformin dalam memperbaiki fungsi saraf,


khususnya spatial memory Function 23 dan peranan proteksi Metformin dalam karsinogenesis.
Diabetes tipe-2 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena berbagai macam kanker
terutama kanker hati, pankreas, endometrium, kolorektal, payudara, dan kantong kemih.
Banyak studi menunjukkan penurunan insidens keganasan pada pasien yang menggunakan
Metformin.21
Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari the American
Diabetes Association/ European Association for the Study of Diabetes (ADA/EASD) dan the
American Association of Clinical Endocrinologists/American College of Endocrinology
(AACE/ACE) merekomendasikan pemberian metformin sebagai monoterapi lini pertama.
Rekomendasi ini terutama berdasarkan efek metformin dalam menurunkan kadar glukosa
darah, harga relatif murah, efek samping lebih minimal dan tidak meningkatkan berat
badan.15 Posisi Metformin sebagai terapi lini pertama juga diperkuat oleh the United

Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) yang pada studinya mendapatkan pada
kelompok yang diberi Metformin terjadi penurunan risiko mortalitas dan morbiditas. UKPDS
juga mendapatkan efikasi Metformin setara dengan sulfonilurea dalam mengendalikan kadar
glukosa darah.23 Ito dkk dalam studinya menyimpulkan bahwa metformin juga efektif pada
pasien dengan berat badan normal.24

Gambar 4. Anti hiperglikemia terapi pada DM tipe 24

BAB III
KESIMPULAN

Insidensi DM dan komplikasi akibat DM meningkat dengan pesat diseluruh dunia,

termasuk di Indonesia
Mekanisme terjadinya komplikasi DM sangat kompleks, mencakup beberapa jalur

mekanisme biokimiawi dan beberapa proses patobiologik


Deteksi dini berbagai komplikasi kronik DM seyogyanya merupakan bagian rutin

praktik pengelolaan DM sehari-hari


Usaha pencegahan terjadinya komplikasi kronik DM seyogyanya dilakukan dengan
cermat dan sedini mungkin, yaitu dengan melakukan pengobatan DM sedemikian
rupa sehingga tercapai sasaran pengendalian metabolik DM secara komprehensif dan
holistik (mencakup bukan hanya mengenai konsentrasi glukosa darah, tetapi juga
mengenai tekanan darah, lipid, kegemukan dan mencegah merokok, serta berbagai

faktor risiko terjadinya komplikasi DM yang lain)


Kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM harus diantisipasi sedini mungkin
dengan usaha deteksi dini, dan kemudian komplikasi yang sudah timbul segera
dikelola sebaik-baiknya dengan memanfaatkan berbagai sarana dan cara yang
mungkin dilakukan baik cara yang non invasif maupun kemudian juga berbagai cara
yang invasif.

Anda mungkin juga menyukai