Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

PEMBAHASAN
4.1 Analisa Kandungan Bahan Kimia Obat (BKO)
Analisis bahan sintetik atau BKO di dalam jamu penambah nafsu makan dapat
digunakan salah satunya dengan menggunakan teknik Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Prinsip yang digunakan adalah dengan membandingkan nilai Rf yang berasal dari
sampel jamu yang dianalisis dengan nilai Rf standar BKO sebagai pembanding yang
dicurigai ditambahkan pada jamu yang dianalisis. Pada penelitian kali ini, sampel jamu
yang akan dianalisis dibandingkan terhadap beberapa standar BKO seperti
siproheptadin HCl, deksametason, prednison, vitamin B6, dan nikotilamida.
4.1.1 Ekstraksi Bahan Kimia pada Jamu
Pada persiapan sampel ini, sampel jamu penambah nafsu
makan dihancurkan dengan blender hingga halus. Hal ini dilakukan
agar mempermudah proses ekstraksi. Isolasi bahan kimia pada jamu
dilakukan dengan proses ekstraksi padat cair yaitu mengekstrak
bahan kimia yang terkandung dalam jamu dengan pelarut dietil eter.,
kemudian dibungkus dengan kertas saring dan ditempatkan dalam
timbel dengan sedemikian rupa, kemudian dirangkai

peralatan

ekstraksi soxhlet, selanjutnya cairan etanol yang berada dalam labu


alas bulat ditambahkan batu didih agar tidak terjadi bumping.
Pemanaskan dengan suhu 60C dilakukan supaya etanol dapat
menguap karena titik didih etanol ialah 61,1C. Pada waktu etanol
menguap, maka akan terjadi kondensasi antara uap etanol dengan
udara dingin dari kondensor sehingga uap etanol akan menjadi
molekul-molekul cairan yang jatuh kedalam timbel bercampur dengan
sampel kunyit dan bereaksi. Jika etanol telah mencapai permukaan
sifone, seluruh cairan etanol akan turun kembali ke labu alas bulat
melalui pipa penghubung, hal inilah yang dinamakan proses sirkulasi.
Senjutnya etanol akan menguap kembali dan terjadi kondensi
sehingga terjadi sirkulasi kembali, begitu juag seterusnya. Ekstraksi

sempurna ditandai apabila cairan disifone tidak berwarna. Proses


ekstraksi ini dilakukan sebanyak 3 kali sirkulasi, semakin banyak
sirkulasi maka semakin banyak pula ekstrak yang diperoleh.
Ekstraksi ini menggunakan pelarut etanol 96% yang bersifat
polar karena kurkumin yang akan diisolasi bersifat nonpolar, sehingga
senyawa yang polar akan larut dalam etanol sedangkan senyawa lain
tidak

larut

dalam

etanol

tersebut.

Setelah

kali

sirkulasi

dimungkinkan senyawa yang akan diekstrak yaitu kurkumin dan


derivatnya sudah terekstrak sempurna dalam pelarut etanol.
4.3 Pemisahan dengan Rotary Evaporator
Ekstrak dalam labu alas bulat hasil dari proses ekstraksi sokhlet
masih bercampur dengan etanol (pelarut) oleh karena itu untuk
mendapatkan

ekstraknya

saja,

maka

pelarut

harus

diuapkan.

Penguapan pelarut ini bisa dilakukan menggunakan rotary evaporator.


Prinsip kerja dari rotary evaporator ini adalah pemanasan
dengan suhu tertentu sehingga pelarut etanol dapat menguap. Rotary
evaporator ini dihubungkan dengan vacuum pump mengakibatkan
pelarut etanol mampu menguap di bawah titik didih 60C, sehingga
senyawa yang akan dipisahkan dari pelarutnya tidak rusak oleh suhu
yang tinggi. Pelarut etanol yang menguap menuju kondensor, dengan
udara dingin dari kondensor maka terjadi kondensasi uap antara uap
etanol dengan suhu dingin dari kondensor, destilasi etanol menuju
labu destilat sehingga senyawa kurkumin dan derivatnya dalam
pelarut etanol dapat terpisah. Saat dilakukan rotary, ekstrak yang
semula berwarna merah bata menjadi pudar warnanya. Dari proses
pemisahan ekstrak kurkumin dari pelarutnya ini didapatkan ekstrak
kurkumin yang berwarna orange pekat, sedangkan filtrat etanol
bening. Dari tahapan ini kita diperoleh ekstrak kurkumin pekat dari
tanaman kunyit.
4.4 Pemisahan dengan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan


campuran senyawa menjadi senyawa murninya dan mengetahui
kuantitasnya. Teknik ini menggunakan fase diam dari bentuk plat
silika dan geraknya kunyit (Curcuma domestica). Plat KLT berukuran 2
10 cm ditandai 1,5 cm dari bawah dan 0,5 cm dari atas. Hasil
ekstrak ditotolkan pada platdan direndam dalam campuran pelarut
sebagai eluen. Campuran pelarut yang digunakan adalah kloroform,
toluena, dan etanol. Adapun urutan kepolaran pelarutnya adalah
etanol > toluena > kloroform. Ketika pelarut mendekati bagian atas
plat, plat dipindahkan dari botol dan dikeringkan. Setelah itu untuk

melihat warna dan spot yang terbentuk dilihat dibawah sinar UV


kemudian diukur masing-masing spot.
Gambar 8. Hasil spot kurkumin dibawah penyinaran UV

Tabel 2. Nilai Rf masing-masing spot


Senyawa yang memiliki kepolaran tertinggi akan tertahan lebih
lama pada fase diam, dalam hal ini ditunjukkan oleh dimetoksi
kurkumin yang memiliki Rf terendah yakni pada spot 3. Kepolaran
lebih rendah diikuti bisdimetoksi kurkumin yang memiliki Rf di tengahtengah yakni spot 2. Kurkumin yang kepolarannya paling rendah
muncul pada spot 1 yang memiliki nilai Rf terbesar.
4.5 Identifikasi Senyawa Kurkumin dan Derivatnya dengan
Spektrofotometer UV VIS

Hasil spot dari KLTP yang memiliki Rf sama yakni spot 1 dan 3
dikerok dan dicampurkan. Kemudian, dilarutkan dalam etanol 96%.
Campuran disentrifuge untuk menghilangkan kemungkinan kotoran
dan pelarut yang masih tertinggal. Filtrat yang diperoleh dianalisis
menggunakan spektrofotometer UV VIS Varian Carry.

Fasa gerak atau eluen yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah
kloroform:metanol (9:1). Sedangkan fasa diam yang digunakan adalah silica gel F 254.
Pada awalnya, chamber yang digunakan untuk percobaan kali ini dijenuhkan terlebih
dahulu dengan menggunakan eluen. Tujuan dari penjenuhan chamber ini adalah untuk
mengoptimalkan proses pengembangan fase gerak. Penjenuhan chamber ini dilakukan
dengan menambahkan eluen ke dalam chamber dan meletakkan kertas saring di dalam
chamber agar penguapan yang terjadi di dalam chamber merata sehingga udara di dalam
chamber tetap jenuh pelarut. Selama penjenuhan, chamber dalam keadaan tertutup rapat
dan didiamkan selama 30 menit serta dijaga agar chamber tidak bergeser sehingga dapat
mencegah terjadinya ketidakjenuhan pelarut. Kondisi jenuh dalam chamber dengan uap
pelarut mencegah terjadinya ketidakjenuhan pelarut.
Sementara itu, sampel jamu yang dicurigai mengandung BKO dan semua
pembanding BKO yang ada ditimbang sebanyak 0,05 mg dan ditetesi dengan .......
untuk kemudian dilakukan penotolan sampel dan pembanding pada plat KLT.
Sampel yang ditotolkan seharusnya memiliki ukuran bercak sekecil dan sesempit
mungkin karena jika sampel yang digunakan terlalu banyak akan menurunkan
resolusi. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang
menyebar ke puncak ganda. Penotolan dilakukan dengan jarak lebih kurang 1 cm
antara sampel maupun pembanding yang digunakan, dengan penotolan dari kiri ke
kanan adalah sampel jamu, aspirin standar, deksametason standar, dan parasetamol
standar.
Setelah penotolan selesai dilakukan, kemudian plat KLT dielusi di dalam
chamber

yang

telah

dijenuhkan.

Penjenuhan

eluen

bertujuan

untuk

menyamaratakan tekanan uap dari eluen di berbagai sisi sehingga saat dielusi

totolan sampel dan standar tidak mengalami tailing atau heading. Elusi dihentikan
setelah eluen mencapai batas atas dari plat KLT. Setelah proses elusi selesai
kemudian bercak pada KLT dideteksi dengan menggunakan penyinaran di bawah
lampu UV pada panjang gelombang 356 nm dan 254 nm. Semua bercak dari
sampel dan pembanding pada panjang gelombang 356 nm dapat terdeteksi dengan
baik sedangkan pada panjang gelombang 254 nm, ada yng tidak terdeteksi. Hal ini
disebabkan oleh jenis silika gel yang digunakan, yaitu gel F254. Gel F254 tidak
mengandung bahan pengikat gipsum tetapi mengandung indikator floresensi
sehingga semua komponen terdeteksi pada pelat dengan panjang gelombang 356
nm. Akan tetapi, jika komponen sampel dapat menyerap UV maka dapat terdeteksi
pada panjang gelombang 254 nm. Dari hasil deteksi ini, terdapat persamaan letak
bercak sampel dengan bercak parasetamol standar. Nilai Rf yang didapatkan adalah
0,333. Hasil menunjukkan bahwa jamu mengandung parasetamol.

Anda mungkin juga menyukai