Anda di halaman 1dari 129

RINGKASAN PLAN

Guideline tahun 2016, istilah hospital-acquired pneumoni (HAP) diartikan sebagai episode
dari pneumonia yang tidak berhubungan dengan ventilasi mekanik. Oleh karena itu, pasien
dengan HAP dan ventilator-associated pneumonia (VAP) dibedakan menjadi dua kelompok yang
berbeda. Perbedaan mendasar dari guideline 2016 dan guideline sebelumnya tahun 2005 yaitu
penggunaan metode Grading of Recommendations Assessment, Development and Evaluation
(GRADE) untuk mengevaluasi semua kejadian yang terdeteksi, menghilangkan konsep
healthcare-associated pneumonia (HCAP), merekomendasikan kepada setiap rumah sakit untuk
membuat antibiogram sebagai panduan tenaga medis untuk memilih antibiotic secara tepat.
Dalam usaha mengurangi harm dan pemberian terapi antibitik yang tidak tepat serta mengurangi
angka resistensi antibiotic, kami merekomendasikan data antibiogram dapat digunakan untuk
mengurangi penggunaan yang tidak perlu dari terapi antibiotic dual gram-negative dan empiric
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Kami juga menyarankan pemberian jangka
pendek antibiotic untuk pasien HAPT atau VAP berdasarkan mikroba, seperti penggunaan
antibitik spesifik.
Kesimpulan di atas adalah rekomendasi yang dibuat pada guideline 2016. Deskripsi
secara rinci mengenai metode, latar belakang dan kesimpulan yang mendukung rekomendasi
dapat dilihat pada tekt utuh guideline 2016.

Tabel 1. Interpretasi Rekomendasi Kuat dan Rekomendasi Lemah (Kondisional)


Pasien

Dokter

Pembuat kebijakan

Rekomendasi kuat
Kebanyakan individu pada situasi ini
menginginkan rekomendasi untuk
rangkaian tindakan dan hanya
sebagian
kecil
yang
tidak
menginginkan
Sebagian besar individu sebaiknya
mendapatkan intervensi. Berhubungan
dengan rekomendasi pada guideline
ini dapat digunakan sebagai kriteria
kualitas atau indikator performa.
Bantuan keputusan resmi tidak
dibutuhkan untuk membantuk individu
dalam memilih keputusan yang
konsisten dengan nilai dan pilihan.
Rekomendasi dapat digunakan sebagai
kebijakan pada berbagai situasi

Rekomendasi lemah (kondisional)


Mayoritas individu pada situasi ini
menginginkan saran atau anjuran,
namun ada yang tidak menginginkan.

Mengenali perbedaan keputusan yang


tepat untuk masing-masing pasien dan
keputusan tersebut dapat membantu
setiap pasien sampai pada pilihan
managemen yang sesuai dengan nilai
dan pilihan.

Kebijakan yang dibuat membutuhkan


diskusi besar dan keterlibatan dari
berbagai pemegang kewenangan.

METODE MIKROBIOLOGI UNTUK MENDIAGNOSIS VAP DAN HAP


I.

Apakah sebaiknya pasien dengan suspek VAP di terapi berdasarkan pada hasil
pemeriksaan sampling secara invasive (contoh: Bronkoskopi, Blind Bronchial
Sampling) dengan hasil kultur secara kuantitatif atau sampling non invasive dengan
hasil kultur semikuantitatif?
Rekomendasi
1. Kami menyarankan samping noninvasive dengan hasil kultur semikuantitatif untuk
mendiagnosis VAP dibandingakan dengan sampling invasive dengan hasil kultur
kuantitatif (rekomendasi lemah, low quality evidence)
Remark: Sampling secara invasive termasuk teknik bronkoskopi (contoh:
bronchoalveolar lavage [BAL], protected specimen brush [PSB]) dan blind
bronchial sampling (contoh: mini-BAL). Non-invasive sampling merujuk pada
aspirasi endotrakeal.

II.

Jika kultur kuantitatif secara invasive dilakukan, haruskah pasien dengan suspek
VAP yang hasil kulturnya dibawah batas diagnostic untuk VAP (PSB <10 3 Colony
Forming Unit (CFU)/ml, BAL <104 CFU/ml), apakah antibiotic lebih baik tidak
diberikan atau dilanjutkan?
Rekomendasi
1. Sampling non invasive dengan kultur semikuantitatif adalah metode yang lebih
dianjurkan untuk mendiagnosis VAP, bagaimanapun panelis mengakui kultur secara
invasive kuantitatif kadang tetap dilakukan oleh beberapa dokter. Sehingga, untuk
pasien yang dilakukan kultur kuantitatif secara invasive namun hasil dibawah batas
diagnostic untuk VAP, maka kami menyarankan untuk menghentikan antibiotik
(rekomendasi lemah, very low quality evidence)
Value dan Preference: Rekomendasi ini dianjurkan untuk mencegah harm yang tidak
penting dan menghemat biaya.
Remark: Faktor klinis juga dapat dipertimbangkan karena hal tersebut dapat
mengubah keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan pemberian antibiotik.
Hal ini termasuk kemungkian dari alternative sumber infeksi lain, terapi antibiotic
sebelum kultur, derajat kecurigaan klinis, tanda dari sepsis berat, dan bukti klinis

III.

membaik.
Pada pasien dengan suspek HAP (Non-VAP), haruskah diterapi berdasarkan hasil
studi mikrobiologi pada sampel saluran pernapasan atau di terapi secara empiris?
Rekomendasi:
1. Kami menyarankan pasien dengan suspek HAP (non-VAP) di terapi berdasarkan
mikrobologi hasil sampling non invasif dari salurang napas dibandingkan dengan
terapi berdasarkan empiris (rekomendasi lemah, very low quality evidence).
Value dan Preference: Saran ini memiliki nilai yang tinggi dalam pemilihan antibiotic
secara akurat sesuai target kuman dan menurunkan terapi antibiotic berdarkan hasil

kultur saluran napas dan kultur darah. Meminimalisir penggunaan sumber daya oleh
ketidakberhasilan kultur saluran napas yang memberikan nilai rendah.
Remark: Metode non invasive untuk mendapatkan sampel saluran napas termasuk
ekspektoran spontan, induksi sputum, suction nasotrakeal pada pasien yang tidak
kooperatif untuk mengeluarkan sputum, dan aspirassi endotrakeal pada pasien dengan
HAP yang kemudian mendapatkan ventilator mekanik. Panelis mengakui bahwa
untuk beberapa pasien yang tidak dapat diambil sampelnya menggunakan metode
non-invasif, maka dapat menjadi dasar pengambilan tindakan secara invasive.
PENGGUNAAN

BIOMARKER

DAN

SKOR

INFEKSI

PULMONAL

UNTUK

MENDIAGNOSIS VAP DAN HAP


IV.

Pada pasien dengan suspek HAP atau VAP, haruskan Procalcitonin (PCT)
ditambah dengan kriteria klinis atau hanya kriteria klinis saja untuk menentukan
ya atau tidaknya memulai terapi antibiotik?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan suspek HAP atau VAP, kami merekomendasikan menggunakan
kriteria klinis saja dibandingkan dengan penggunaan serum PCT ditambah dengan
kriteria klinis untuk menentukan ya atau tidaknya memulai terapi antibiotic

V.

(rekomendasi kuat, moderate quality eveidence).


Pada pasien dengan suspek HAP atau VAP, haruskah dilakukan pemeriksaan
Soluble Triggering Receptor Expressed on Myeloid Cells (sTREM-1) ditambah
dengan kriteria klinis atau hanya kriteria klinis saja untuk menentukan ya atau
tidaknya memulai terapi antibitik?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan suspek HAP datau VAP, kami merekomendasikan
menggunakan

kriteria

klinis

saja

dibandingkan

dengan

menggunakan

bronchoalveolar lavage fluid (BALF) sTREM-1 ditambah dengan kriteria klinis,

untuk menentukan ya atau tidaknya memulai terapi antibiotic (rekomendasi kuat,


VI.

moderate quality eveidence).


Pada pasien dengan suspek HAP atau VAP, haruskan dilakukan pemeriksaan CReactive Protein (CRP) ditambah dengan kriteria klinis atau hanya kriteria klinis
saja untuk menentukan ya atau tidaknya memulai terapi antibitik?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan suspek HAP atau VAP, kami merekomendasikan menggunakan
kriteria klinis saja dibandingkan dengan penggunaan CRP ditambah dengan kriteria
klinis untuk menentukan ya atau tidaknya memulai terapi antibiotic (rekomendasi

VII.

lemah, low quality eveidence).


Pada pasien dengan suspek HAP atau VAP, haruskan dilakukan Modified Cinical
Pulmonary Infection Score (CPIS) ditambah dengan kriteria klinis atau hanya
kriteria klinis saja untuk menentukan ya atau tidaknya memulai terapi antibiotik?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan suspek HAP atau VAP, kami merekomendasikan menggunakan
kriteria klinis saja dibandingkan dengan penggunaan CRP ditambah dengan kriteria
klinis untuk menentukan ya atau tidaknya memulai terapi antibiotic (rekomendasi
lemah, low quality eveidence).

TERAPI VENTILATOR-ASSOCIATED TRACHEOBRONCHITIS


VIII. Haruskah pasien denga ventilator-associated tracheobronchitis (VAT) mendapatkan
terapi antibiotic?
Rekomendasi:
1. Pada pasien dengan VAT, kami menyarankan tidak memberikan terapi antibiotic
(rekomendasi lemah, low quality eveidence).
TERAPI AWAL VAP DAN HAP

IX.

Haruskah pilihan dari regimen antibiotic empiris untuk VAP menjadi acuan data
antibiotic lokal resisten?
Rekomendasi:
1. Kami merekomendasikan untuk semua rumah sakit secara teratur membuat dan
menyebarkan antibiogram lokal, secara ideal specific satu untuk populasi tertentu
jika memungkinkan.
2. Kami menyarankan bahwa terapi empiris disesuaikan dengan distribusi pathogen
lokal yang berhubungan dengan VAP dan antibiotic yang sesuai.
Values and Preference: rekomendasi ini memiliki nilai yang tinggi dalam target
mencari pathogen spesifik yang berhubungan dengan VAP sesempit mungkin untuk
menjamin terapi yang adekuat yang meminimalisir over terapi dan kemungkinan
efek sampingnya.
Remark: frekuensi masing-masing distribusi pathogen dan antibitok yang sesuai
dengan keputusan institusi. Pertimbangan harus termasuk dari rata-rata perubahan,

X.

sumber daya dan jumlah data yang dapat digunakan untuk analisis.
Apakah antibiotic yang direkomendasikan untuk terapi empiris dari suspek VAP?
Rekomendasi:
1. Pasien suspek VAP, kami merekomendasikan termasuk untuk S. aureus, Pseudomonas
aeruginosa, dan basil gram negative lain di semua regimen empiris (rekomendasi
kuat, low quality evidence).
i.
Kami menyarankan penggunaan agen aktif untuk MRSA pada terapi empiris
pasien suspek VAP hanya digunakan pada pasien yang memiliki faktor resiko
resisten antibiotic (Tabel 2), pasien yang diterapi di unit dimana lebih dari 10
%-20% dari S. aureus yang di isolasi resisten terhadap meticilin., dan pasien di
unit dimana prevalensi MRSA tidak diketahui (rekomendasi lemah, very lowquality evidence)

ii.

Kami menyarankan penggunaan agen aktif untuk Methicillin-sensitive S.


aureus (MSSA)(dan bukan MRSA) pada terapi empiris pasien suspek VAP
yang tidak memiliki faktor resiko resisten antibiotic, yang di rawat di ICU
dimana kurang dari 10%-20% S.aureus yang terisolasi resisten terhadap

methicillin (rekomendasi lemah, very low quality evidence).


2. Jika ada indikasi untuk penanganan empiris pada MRSA, kami merekomendasikan
penggunaan vancomycin atau linezolid (rekomendasi kuat, moderate

quality

evidence).
3. Jika ada indikasi untuk penanganan empiris pada MSSA, kami merekomendasikan
penggunaan

piperacilin-tazobactam,

cefepime,

levofloxacin,

imipenem

atau

meropenem (rekomendasi lemah, very low-quality evidence). Oxacillin, nafcillin, atau


cefazolin adalah agen terapi pilihan untuk terapi sumber MSSA, namun tidak
diperlukan untuk terapi empiris VAP jika satu dati agen diatas digunakan.
4. Kami merekomendasikan dua antibiotic antipseudomonal dari kelas yang berbeda
untuk terapi empiris dari suspek VAP hanya pada pasien dengan faktor resiko resisten
antiobiotik, pasien di unit dimana lebih dari 10% dari gram negative yang diisolasi
resisten terhadap agen monoterapi, dan pasien di ICU dimana tingkat antimikroba
lokal spesifik tidak diketahui (rekomendasi lemah, very low-quality evidence).
5. Kami merekomendasikan pemberiaan satu antibiotic aktif untuk P. aeruginosa pada
terapi empiris suspek VAP yang tidak memiliki faktor resiko resisten antimikroba,
dirawat di ICU dimana kurang dari 10% gram negative terisolasi resisten terhadap
agen monoterapi (rekomendasi lemah, very low-quality evidence).
6. Pada pasien dengan suspek VAP, kami merekomendasikan untuk menghindari
aminoglikosid jika agen alternative dengan aktivitas gram negative adekuat tersedia
(rekomendasi lemah, very low-quality evidence).

7. Pada pasin dengan suspek VAP, kami merekomendasikan untuk menghindari colistin
jika agen alternative dengan aktivitas gram negative adekuat tersedia (rekomendasi
lemah, very low-quality evidence).
Values and preference: Rekomendasi ini adalah bentuk kesepakatan antara tujuan
dalam menyediakan antibiotic yang sesuai dan menghindari terapi yang tidak berguna
yang dapat memicu timbulnya efek samping obat, infeksi Clostridium difficile,
resistensi antibiotic, dan pembiayaan yang mahal.
Remark: faktor resiko untuk resistensi antibiotic tertera pada Tabel 2. Batas 10%20% untuk menentukan ya atau tidak untuk MRSA dan 10% untuk menentukan ya
atau tidaknya meresepkan satu anti pseudomonal atau dua yang dipilih oleh panelis
dengan tujuan memastikan bahwa 95% pasien menerima terapi empiris aktif untuk
pathogen yang serupa, ketika menerapkan rekomendasi ini, orang di ICU diharapkan
melakukan modifikasi capaian ini. Jika pasien memiliki struktur penyakit paru yang
beresiko tinggi sebagai infeksi gram negative (contoh: bronkiekstasis atau cystic
fibrosis), maka direkomendasikan memberikan dua agen antipseudomonal.
Tabel 2. Faktor resiko Multidrug-resistant pathogen
Faktor resiko untuk MDR VAP
- Penggunaan antibiotic intravena dalam 90 hari
- Syok septic pada saat VAP
- ARDS medahului VAP
- Lima atau lebih hari rawat di rumah sakit sebelum terjadi VAP
- Terapi penggantian ginjal sebelum onset VAP
Faktor resiko untuk MDR HAP
- Penggunaan antibiotic selama 90 hari secara intravena
Faktor resiko untuk MRSA VAP/HAP
- Penggunaan antibiotic selama 90 hari secara intravena
Faktor resiko untuk MDR Pseudomonas VAP/HAP
- Penggunaan antibiotic selama 90 hari secara intravena
XI.

Haruskah memilih regimen antibiotic empiris untuk HAP (non-VAP) berdasarkan


data resistensi antibiotic lokal?
Rekomendasi:

1. Kami merekomendasikan semua rumah sakit secara berkala membuat antibiogram


lokal, dimana idealnya antibiogram disesuaikan dengan setiap masing masing
populasi antibiogram, jika memungkinkan
2. Kami merekomendasikan regimen antibiotic empiris berdasarkan distribusi pathogen
lokal yang berhubungan dengan HAP dan antibiotic yang sensitif.
Remark: frekuensi distribusi pathogen dan antibiotic yang sensitive di tetapkan oleh
institusi. Kesepakatan harus mencakup rata-rata perubahan, sumberdaya dan jumlah
data yang dapat dianalisis.
Tabel 3. Pilihan antibiotik untuk MRSA dan antipseudomonal

XII.

Apa antibiotic yang direkomendasikan untuk terapi empiris untuk pasien suspek
HAP?
Rekomendasi (Tabel 4 meampilkan rekomendasi antibiotic spesifik)
1. Untuk pasien HAP yang diterapi secara empiris, kami merekomendasikan
menggunakan antibiotic yang melawan S. aureus (rekomendasi kuat, very lowquality evidence). Berikut rekomendasi secara empiris untuk MRSA dan MSSA:
i.
Untuk pasien dengan HAP yang diterapi secara empiris dan memilikifaktor
resiko untuk terinfeksi MRSA (contoh: menggunakan antibitoik secara
intravena selama 90 hari, dirawat dirumah sakit di unit dengan lebih dari 20%
dari S. aureus yang terisolasi adalah resisten metisilin) atau prevalensi MRSA
tidak diketahui, atau pasien yang memiliki faktor resiko besar untuk meninggal,

kami merekomendasikan penggunakan antibitotik untuk MRSA (rekomendasi


lemah, very low quality evidence). (Faktor resiko kematian termasuk kebutuhan
ii.

adannya ventilator untuk HAP dan syok septic).


Untuk pasien dengan HAP yang mendapatkan pengobatan MRSA empiris,
kami merekomendasikan penggunaan vancomycin atau linezolid dibandingkan

iii.

dengan antibiotic alternative (rekomendasi kuat, low quality evidence)


Untuk pasien dengan HAP yang diterapi secara empiris dan tidak memiliki
faktor resiko untuk infesi MRSA dan tidak memiliki resiko kematian yang
tinggi, kami menyarankan untuk memberikan antibiotic untuk MSSA. Ketika
terdapat indikasi terapi empiris yang termasuk didalamnya penanganan untuk
MSSA (bukan MRSA), kami menyarankan untuk memberikan piperacillintazobactam, cefepime, levofloxacin, imipinem, atau meropenem. Oxacilin,
nafcilin, cefazolin terpilih sebagai terapi untuk MSSA, namun tidak terlalu
dibutuhkan untuk penanganan empiris HAP (rekomendasi lemah, very lowquality evidence).

Tabel 4. Pilihan antimikroba untuk HAP

2. Untuk pasien dengan HAP yang di terapi secara empiris, kami merekomendasikan
penggunaan antibiotic untuk P. aeruginosa dan bakteri basil gram negative
(rekomendasi kuat, very low quality evidence).
i.
Untuk pasien HAP yang diterapi secara empiris dan memiliki faktor tinggi
terinfeksi Pseudomonas atau bakteri gram negative lain (contoh:
penggunaan antibiotic intravena dalam 90 hari) atau memiliki resiko tinggi
untuk meninggal, kami menyarankan untuk meresepkan antibiotic dari dua
jenis yang berbeda untuk melawan P. aeruginosa (rekomendasi lemah,
very low-quality evidence). (Resiko tinggi untuk meningga termasuk
kebutuhan terhadap ventilator yang disebabkan oleh HAP dan syok
sepsis). Semua pasien dengan denagn HAP yang diterapi secara empiris
dapat diberikan satu jenis antibiotic untuk P. aeruginosa.

ii.

Untuk pasien dengan HAP yang diterapi secara empiris, kami


merekomendasikan untuk tidak menggunakan aminoglikosid sebagai
terapi tunggal antipseudomonal (rekomendasi kuat, very low quality
evidence).
Values and preferences: Rekomendasi ini adalah bentuk kesepakatan
antara tujuan dalam menyediakan antibiotic yang sesuai dan menghindari
terapi yang tidak berguna yang dapat memicu timbulnya efek samping
obat, infeksi Clostridium difficile, resistensi antibiotic, dan pembiayaan
yang mahal.
Remark: duapuluh persen ambang untuk menentukan pemberian target
MRSA atau MSSA dipilih sebagai usaha untuk menyeimbangkan
kebutuhan awalan terapi antibiotic yang efektif dalam menghindari
penggunaan antibiotic yang berlebihan; ketika menerapkan rekomendasi
ini, untuk setiap individu capaian dapat dimodifikasi. Jika pasien
memililiki struktur penyakit paru yang rentan terinfeksi oleh kuman gram
negative (contoh: bronkiektasis atau cystic fibrosis), direkomendasikan
menggunakan dua antipseudomonal. Specimen gram negative dari saluran
nafas yang berkualitas baik dengan jumlah dan dominan oleh basil gram
negative dapat menjadi dasar diagnosis yang baik untuk pneumonia gram
negative, termasuk kuman fermentasi ataupun kuman non-glucose
fermenting.

OPTIMASI FARMAKOKINETIK/FARMAKODINAMIK TERAPI ANTIBIOTIK


XIII. Haruskah

dosis

antibiotic

pasien

HAP/VAP

ditentukan

oleh

farmakokinetik/farmakodinamik (PK/PD) atau informasi obat oleh produsen?

data

Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan HAP/VAP, kami menyarankan penentuan dosis antibiotic
menggunakan data PK/PD dibandingkan dengan informasi obat oleh produsen
(rekomendasi lemah, very low-quality evidence).
Values and preference: rekomendasi ini memiliki nilai yang tinggi dalam
meningkatkan perbaikan klinis dengan optimasi terapi, dan nilai rendah dalam beban
dan pembiayaan.
Remark: penentuan dosis berdasar PK/PD berdasarkan konsentrasi antibiotik di
dalam darah, lama penggunaan infuse, dan dosis berdasarkan berat badan setiap jenis
antibiotic.
PERANAN TERAPI ANTIBIOTIK INHALASI
XIV. Haruskah pasien dengan VAP oleh basil gram negative diterapi dengan kombinasi
antibiotic inhalasi dan antibiotic sistemik,atau hanya penggunan antibiotic sisemik?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan VAP oleh basil gram negative yang sensitive terhadap
aminoglikosid atau polimyxins (colistin atau polymixin B), kami menyarankan
penggunaan kedua cara, yaitu antibiotic inhalasi dan antibiotic sistemik,
dibandingkan hanya pemberian antibitik sistemik (rekomendasi lemah, very lowquality evidence).
Values and preference: rekomendasi ini memiliki nilai tinggi dalam pencapaian target
perawatan dan kelangsungan hidup, namun memiliki nilai rendah dalam beban dan
pembiayaan.
Remark: Hal ini wajar untuk mempertimbangkan pemberian antibiotic inhalasi
sebagai terapi akhir untuk pasien yang tidak respon terhadap pemberian antibiotic
secara intravena, dengan infeksi kuman MDR ataupun bukan.
TERAPI PATOGEN SPESIFIK

XV.

Antibiotik apa yang harus digunakan untuk terapi pada MRSA VAP/HAP?
Rekomendasi
1. Kami merekomendasikan MRSA HAP/VAP diterapi dengan vancomycin atau
linezolid dibandingkan dengan antibiotic yang lain atau antibiotic kombinasi
(rekomendasi kuat, moderate-quality evidence).
Remaks: Memilih antara vancomycin dan linezolid dapat berdasarkan faktor spesifik
individu pasien seperti jumlah hitung darah, penggunaan bersama serotonin-reuptake
inhibitor, fungsi renal dan biaya.

XVI. Manakah antibiotik yang sebaiknya diberikan untuk terapi pasien dengan
HAP/VAP oleh P.aeruginosa?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan HAP/VAP oleh P. aeruginosa, kami merekomendasikan untuk
memilih terapi antibiotic definitif (tidak empiris)berdasarakan hasil uji sensitifas
antibiotic (rekomendasi kuat, low-quality evidence).
2. Untuk pasien HAP/VAP oleh P. aeruginosa, kami tidak merekomendasikan
aminoglikosid sebagai monoterapi (rekomendasi kuat, very low-quality evidence).
Remark: uji sensitifitas antibiotic sebaiknya termasuk uji sensitifitas P.aeruginosa
yang diisolasi dengan polymixins (Colistin atau polimyxin B) dalam situasi
prevalensi tinggi kuman resisten.
XVII. Haruskah monoterapi atau terapi kombinasi yang digunakan untuk terapi
HAP/VAP oleh P. aeruginosa?
Rekomendasi

1. Pasien dengan HAP/VAP oleh P.aeruginosa tidak dalam keadaan syok sepsis atau
tidak dalam, dan untuk pasien yang sudah diketahui hasil uji sensitifitas antibiotiknya,
kami merekomendasikan penggunaan monoterapi menggunakan antibiotic spefisik
dibandingkan dengan terapi kombinasi (rekomendasi kuat, low quality evidence).
2. Pasien dengan HAP/VAP oleh P. aeruginosa dalam keadaan syok sepsi atau kritis,
dimana hasil uji kepekaan antibiotic diketahui maka kami merekomendasikan
penggunaan dua jenis antibiotik hasil uji kepekaan dibandingkan dengan monoterapi
(rekomendasi lemah,very-low quality evidence).
3. Untuk pasien dengan HAP/VAP oleh P. aeruginosa kami menyarakankan untuk
mnghindari monoterapi menggunakan aminoglikosid (rekomendasi kuat, very
low quality evidence).
Remark: resiko tinggi untuk meninggal dalam meta analisis adalah jika mortality
risk >25%, resiko rendah untuk meninggal adalah jika mortality risk <15%. Untuk
pasien dengan syok sepsis sudah teratasi maka penggunaan terapi kombinasi tidak
direkomendasikan.
XVIII. Atibiotik yang manakah yang sebaiknya diberikan untuk terapi pasien
HAP/VAP oleh kuman basil gram negative penghasil Extended-Spectrum lactamase (ESBL)?
Rekomendasi
1. Pasien HAP/VAP oleh basil gram negative

penghasil ESBL, kami

merekomendasikan pilihan antibiotic untuk terapi definitive (bukan empiris)


berdasarkan hasil dari uji kepekaan antibiotic dan faktor spesifik pasien
(rekomendasi kuat, very low quality evidence).
Remark: faktor spesifik pasien dipertimbangkan ketika memilih antibiotic
termasuk kemungkinan alergi dan faktor comorbid yang dapat meningkatkan
resiko efek samping obat.

XIX.

Antibiotic yang manakah yang sebaiknya digunakan untuk pasien HAP/VAP


oleh Acinebacter sp.?
Rekomendasi:
1. Pasien dengan HAP/VAP oleh Acinebacter, kami menyarankan terapi dengan
carbapenem atay ampicillin/sulbactam jika hasil uji kepekaan menunjukkan
2.

kepekaan pada kedua agen tersebut (rekomendasi lemah, low quality evidence).
Pada pasien dengan HAP/VAP oleh Acinebacetr yang sensitive hanya pada
Polimyxins, kami merekomendasikan penggunan polimyxin secara intravena
(colistin atau poimyxin B) (rekomendasi kuat, low quality evidence), dan kami
menyarankan penambahan colistin secara inhalasi (rekomendasi lemah, low

quality evidence).
3. Pasien dengan HAP/VAP oleh Acinebacter yang sensitive terhadap colistin, kami
tidak menyaranka pemberian rifampisin sebagai terapi tambahan (rekomendasi
lemah, moderate low quality evidence).
4. Pasien dengan HAP/VAP oleh Acinebacter, kami tidak merekomendasikan
penggunaaan tigecycline (rekomendasi kuat, low quality evidence).
Values dan preferences: Rekomendsi ini memiliki nilai yang tinggi dalam
mencegah terjadinya efek samping obat oleh terapi kombinasi dengan rifampisin
dan colistin, eradikasi kuman yang berlebihan, dimana eradikasi tersebut tidak
berhubungan dengan peningkatan perbaikan klinis.
Remark: Memilih antibiotic yang tepat untuk trapi definitive (bukan empiris)
XX.

membutuhkan uji kepekaan.


Antibiotic yang manakah yang digunakan untuk terapi pasien HAP.VAP oleh
pathogen carbapenem-resistant?
Rekomendasi:
1. Pada pasien dengan HAP/VAP oleh pathogen carbapenem-resistant yang sensitive
pada polymixin, kami merekomendasikan pemberian polymixin intravena

(Colistin atau polymixin B) (rekomendasi kuat, moederate low quality evidence),


dan kami merekomendasikan colistin inhalan (rekomendasi lemah, low quality
evidence).
Values dan preference: Rekomendasi ini memiliki nilai tinggi dalam pencapaian
target perawatan dan kelangsungan hidup, namun memiliki nilai rendah dalam
beban dan pembiayaan.
Remark: penggunaan colistin inhalan bisa memiliki keuntungan farmakokinetik
dibanding dengan polymixin inhalan, dan bukti klinis berdasar studi kontrol,
penggunaan colistin inhalan berhubungan dengan peningaktan outcome. Bukti
klinis untuk inhalan polymixin B lebih banyak dari anecdotal dan bukan uji
kontrol, kami tidak menyarankan penggunaan polymixin B inhalan. Colistin
untuk inhalasi sebaiknya diberikan setelah dicampur dengan sterile water.
Rekomendasi dini dibuat oleh US food and Drug Administration (FDA) setealah
alporan pasien cystic fibrosis meninggal setelah diterapi dengan premix colistin.
Pemberian Polymixin intravena lebih baik dibandingkan dengan intravena
colistin, namun data klinis pada pasien HAP/VAP kurang.

LAMA TERAPI
XXI. Haruskah pasien dengan VAP mendapatkan terapi antibiotik selama tujuh hari
atau 8-15 hari?
Rekomendasi:
Pasien dengan VAP, kami merekomendasikan pemberian selam tujuh hari terapi
dibandingan dengan terapi jangka panjang (rekomendasi kuat, moderate quality
evidence).
Remark: Keadaan seperti ini sering dijumpai dimana pendek atau panjangnya durati
antibiotic berdasarkan peningkatan keadaan klinis, radiologis, dan parameter labaorat.

XXII. Berapakah durasi optimal pemberian antibiotic untuk HAP (Non-VAP)?


Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan HAP, kami merekomendasikan pemberian antibotik selama
tujuh hari (rekomendasi kuat, very low quality evidence).
Remark: keadaan tersebut terjadi dimana panjang atau pendeknya durasi
antibiotic tergantung pada perbaikan klinis, radiologis, dan penanda laborat.
XXIII. Sebaiknya terapi antibiotic tidak dibatasi atau paten pada pasien HAP/VAP?
Rekomendasi:
1. Pasien dengan VAP/HAP, kami menyarankan terapi antibiotic tidak dibatasi
dibandingkan paten (rekomendasi lemah, very low quality evidence).
Remark: Maksud dari tidak dibatasi adalah memungkinkan untuk mengubah
regimen antibiotic spectrum luas ke antibiotic yang lebih spesifik, dengan
mengubah terapi kombinasi menjadi monoterapi. Sebaliknya arti paten berarti
menggunakan antibiotic spectrum luas sampai akhir terapi.
XXIV. Sebaiknya pada pasien HAP/VAP, pemberhentian terapi antibiotic berdasarkan
level PCT dan kriteria klinis atau hanya dengan kriteria klinis?
1. Untuk pasien dengan HAP/VAP, kami menyarankan penggunaan level PCT
ditambah dengan kriteria klinis sebagai dasar menghentikan terapi antibiotic
dibandingkan hanya menggunakan kriteria klinis saja (rekomendasi lemah, lowquality evidence).
Remark: Keadaan ini tidak diketahui jika keuntungan penggunaan level PCT
untuk menentukan ya atau tidaknya menghentikan teapi antibiotic pada keadaan
dimana standar terapi antimikroba untuk VAP adalah tujuh hari atau kurang.
XXV. Sebaiknya pada pasien HAP/VAP, pemberhentian terapi antibiotic berdasarkan
CPIS dan kriteria klinis atau hanya dengan kriteria klinis?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan suspek HAP/VAP, kami menyarankan untuk tidak
menggunakan CPIS untuk panduan menghentikan terapi antibiotic (rekomendai
lemah, low-quality evidence).

PENDAHULUAN
Meskipun sudah ada kemajuan dalam memahami penyebab dan pencegahan, HAP dan
VAP tetap secara kontinyu menjadi masalah yang serius di rumah sakit. HAP dan VAP
merupakan jumlah terbanyak dari infeksi yang didapatkan di rumah sakit, terhitung 22% dari
jumlah survey prevalence sebagian besar negara. Walaupun data rumah sakit dari National
Healthcare Safety Network mengatakan bahwa jumlah VAP telah turun, namun data terabru dari
sampel yang dipilih secara random ditemukan mencapai 10% pasien yang menggunakan
ventilator terdiagnosis VAP dan nilai ini tidak turun selama satu decade.
Infeksi ini berdampak negative untuk outcome pasien. Tingkat mortality semua kasus
yang berhubungan dengan VAP sebesar 20-50%, dimana kematian yang berhubungan langsung
dengan VAP diperdebatkan, meta analisis sebelumnnya didapatkan bahwa VAP berkonstribusi
13% pada kematian pasien. Terdapat sedikit kontroversi, meskipun demikian penggunaan
sumber daya yang besar dan durasi rawat inap di rumah sakit yang panjang berhubungan dengan
VAP. Dua penelitian sebelumnya menghitung bahwa VAP membuat pasien menggunakan
ventilator lebih lama kurang lebih 7.6-11.5 hari dan memperlama durasi rawat inap di rumah
sakit sekitar 11.5-13.1 hari dibandingkan dengan pasien non VAP. Pembiayaan terkait VAP
terhitung mencapai $40.000 setiap pasiennya.
HAP lebih aman dibandingkan dengan VAP, namun komplikasi serius dapat terjadi
mencapai angka 50% pasien, termasuk gagal napas, efusi pleura, syok septic, gagal ginjal dan
empiema. Kejadian tersebut sering terjadi pada pasien HAP di ICU, dimana tingkat mortalitas
hampir menyerupai VAP.
Guideline HAP/VAP terakhir oleh American Thoracic Society (ATS)/Infectious Disease
Society of America (IDSA), dipublikasikan tahun 2005, dimana menyediakaan rekomendasi

berdasaran bukti untuk pencegahan, diagnosis, dan terapi dari HCAP, HAP, VAP. Sejak tahun
2005, penelitian baru menyumbang pandangan baru tentang diagnosis dan terapi pada kondisi
tersebut. Selanjutnya, sebelas tahun sejak publikasi guideline 2005, saat ini tersedia metode
guideline yang berbasis evidence. Untuk alasan tersebut, ATS dan IDSA berkolaborasi untuk
membuat guideline terabaru untuk diagnosis dan terapi dari HAP dan VAP.

Batasan dan Tujuan


Tujuan dari artikel ini adalah untuk menyediakan panduan yang berdasar bukti atau
evidens pada diagnosis paling efektif dan managemen pasien nonimunocompromise dengan
HAP/VAP. Pasien dengan imunocompromise yang memiliki resiko untuk terkena infeksi
pulmonal opurtunistik mewakili populasi khusus, sering membutuhkan pendekatan alternative
untuk penegakkan diagnosis dan terapi. Konsep-konsep yang ada dalam guideline ini mungkin
dapat diterapkan pada pasien dengan imunocompromise, dimana rekomendasi yang ada tidak
ditujukan untuk golongan tertentu. Target pembaca guideline ini adalah termasuk tenaga
kesehatan yang menangani pasien dengan resiko HAP dan VAP, termasuk dokter spesialis pada
bidang penyakit infeksi, penyakit paru, cricital care, bedah, anestesi, pengelola rumah sakit, dan
berbagai tenaga kesehatan dan penyedia layanan kesehatan utuk pasien rawat inap dengan
pneumonia nosokomial. Artikel ini juga menyediakan dasar untuk perkembangan dan penerapan
pedoman lokal.
Untuk menentukan batas dari guideline ini, panelis mempertimbangkan ada atau tidak
adanya data terbaru yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengubah rekomendasi dari
guideline ATS/IDSA terdahulu. Kami juga mempertimbangkan adanya guideline terdahuu dari
organisasi lain untuk menghindari rekomendasi yang tidak perlu. Berdasarkan dari pertimbangan

tersebut, panelis setuju bahwa guideline pencegahan VAP telah dipublikasikan oleh Society for
Helathcare and Epidemiology of America (SHEA) pada tahun 2008, di perbarui pada tahun
2014, sehingga memasukkan rekomendasi pencegahan pada guideline ini tidak dibutuhkan.
Panelis setuju bahwa memperbarui rekomendasi tentang diagnosis dan terapi dari HCAP, HAP,
dan VAP dibutuhkan, mengingat pentingnya ditemukan bukti-bukti baru

sejak terbitnya

guideline sebelumnya tahun 2005.

Hubungan Layanan kesehatan dengan pneumonia


Dasar memasukkan HCAP kedalam jenis HAP/VAP pada guidenline tahun 2005 adalah
pasien dengan HCAP memiliki resiko yang tinggi untuk terkena infeksi bakteri MDR terutama
akibat kontak dengan sistem layanan kesehatan. Oleh karena itu, antara kontak pasien pada
sistem layanan kesehatan dan anggapan resiko tinggi pathogen MDR, guideline untuk pasien ini
termasuk dengan guideline HAP dan VAP. Namun, pada tahun-tahun berikutnya dua anggapan
memasukkan HCAP dengan HAP/VAP menimbulkan pertanyaan. Muncul bukti-bukti studi baru
dari banyak pasien yang mengatakan bahwa HCAP tidak beresiko tinggi pada pathogen MDR.
Selanjutnya, meskipun interaksi dengan layanan kesehatan berpotensi meningkatkan pathogen
MDR, karakteristik masing-masing pasien juga memiliki peran penting pada resiko pathogen
MDR. Meskipun jika HCAP akan diperdebatkan terpisah sebagai bentuk yang berbeda, HCAP
dapat dimasukkan dalam guideline community-acquired pneumonia (CAP) karena pasien dengan
HCAP , seperti dengan CAP, biasanya muncul dari komunitas dan biasanya ditangani di bagian
emergency (IGD).

Akhirnya, pada data yang terbaru mengenai pasien HCAP, panelis

mengantisipasi rekomendasi mengenai cakupan pathogen MDR pada pasien yang dapat
menularkan pneumonia pada kemungkinan resiko yang tervalidasi untuk pathogen MDR, tidak

semata-mata mengetahui apakah ada kontak pasien dengan layanan kesehatan sebelumnya.
Untuk alasan ini, panelis dengan suara yang bulat memutuskan HCAP tidak seharusnya
diamsukkan dalam pedoman HAP/VAP.

Definisi
Panelis setuju bahwa definisi dari HAP dan VAP, seperti yang tertera pada pedoman
2005, berguna secara klinis dan diterima secara luas; oleh karena itu, panelis tidak mengubah
definisi tersebut. Pneumonias didefinisikan pada naskah 2005 sebagai gambaran infiltrasi paru
ditambah dengan bukti klinis bahwa infiltrat berasal hanya dari infeksi, termasuk onset dari
demam, sputum purulen, leukositosis, dan penurunanan oksigenasi. Meskipun demikian, panelis
mengakui bahwa tidak ada gold standar untuk menegakkan diagnosis HAP dan VAP. Kemudian,
pada naskah 2005 dan naskah yang baru ini, HAP didefinisikan sebagai pneumonia yang belum
ada saat masuk rumah sakit dan baru ada setelah 48 jam setelah masuk rumah sakit. VAP
didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi setelah lebih dari 48 jam pemasangan intubasi
endotracheal.
Banyak literature pada bidang ini yang rumit pada ketidakkonsistenan penggunaan istilah
HAP, dimana kadang digunakan sebagai istilah yang menjelaskan pneumonia yang berkembang
di rumah sakit, dan tidak termasuk VAP. Pada artikel ini, istilah HAP akan didefinisikan sebgai
episode neumonia yang tidak berhubungan dengan ventilasi mekanik. Sehingga, pasien HAP
dan VAP akan dibedakan menjadi dua kelompok berbeda. Dengan menggunakan dua definisi ini,

kita dapat menghindari penggunaan istilah yang rumit non-ventilator-associated HAP, dengan
beberapa pengecualian untuk penjelasan (contoh: bagian judul atau kunci tabel).
Kami menandai adanya hal baru dari kejadian yang berhubungan dengan ventilator
(temasuk hubungan kondisi ventilator dan hubungan infeksi dengan ventilator yang berhubungan
dengan komplikasi) diperkenalkan oleh US Center of Disease Control and Prevention sebagai
matrik potensial untuk menilai kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien dengan
ventilator. Pengukuruan pada kejadian ini mungkin dapat menjadi konsep yang berguna sebagai
trend dan kualitas acuan, definisi ini didesain untuk tujuan surveilan dan peningkatan kualitas
pada level populasi dan bukan untuk membantu dalam pengambilan keputusan diagnosis dan
terapi. Oleh karena itu, panelis tidak mempertimbangkan definisi ini sebagai tujuan panduan.

METODE
Komposisi panelis guideline
IDSA dan ATS memilih masing-masing satu perwakilan untuk memandu panel dalam
menyusun pedoman. Dr Andre Kalil terpilih sebagai perwakilan dari IDSA dan Dr Mark
Metersky terpilih sebagai perwakilan ATS. Total dari 18 perserta berkompeten dalam bidangnya
sebagai anggota panel, termasuk spesialis dalam penyakit infeksi, penyakit paru, ICU,
laboratorium, mikrobiologi, dan farmakologi. Dua perkumpulan lain, the Society of Critical
Care Medicine (SCCM) dan SEA, ikut sertta dan mengirim perwakilan yang berkompeten dalam
bidang HAP dan atau VAP. Seorang yang ahli dalam metodologi pedoman, Dr Jan Brozel,
mengawasi semua aspek metodologi pedoman. Ms Peggy Cruse, MLIS, dan Ms Shandra L.
Knight, MS, bekerja sebagai pustakawan bertanggung jawab atas semua hal yang berkaitan
dengan identifikasi sistematis bukti ilmiah dan sastra untuk semua pertanyaan-pertanyaan PICO

(Patient/Population; Intervention/Indicator; Comparator/Control; Outcome). Ms Jennifer J.


Padberg, MPH, Ms Judy Corn, dan Mr john Harmon bertanggung jawab dalam bidang
administrasi dan logistic yang berhubungan dengan panel. Mr Shane McDermott dan Ms
Jennifer J. Padberg, MPH, bertanggung jawab pada issue conflict of interest (COI).
Pengungkapan dan Management dari potensi COI
Semua calon panelis diminta untuk mengungkapkan fakta, potensi atau keberadaan COI
sebelumnya

untuk dibahas

di dalam panel. Pengungkapan yang digunakan untuk

mengaketgorikan panelis sebagai participant yang terbuka, diijinkan untuk berpartisipasi dengan
pengingkaran dari aspek dari pengembangan pedoman atau didiskualifikasi sebagai panelis.
perwakilan dibebaskan pada COI selama proses seluruh pengembangan. Mereka menghindari
hubungan dengan pabrik obat dan perusahaan peralatan yang memiliki produk berhubungan
dengan pneumonia. Selain itu, semua panelis tidak diijinkan untuk berpartisipasi dalam setiap
keiatan yang berhubungan dengan pemasaran (contoh: kuliah atau dewan penasehat yang didanai
langsung oleh farmasis atau perusahaan perangkatdengan kepentingan yang berkaitan dengan
subjek pada panduan ini) selama proses panel berlangsung. Panelis diminta untuk memberitahu
ATS dan IDSA serta anggota setiap kegiatan yang memiliki potensi sebagai COI yang
berhubungan dengan aktivitas. Staf dan anggota dari perkumpulan ditentukan jika aktivitas
khusus diijinkan dibawah aturan COI perkumpulan. Tugas dari panelis untuk pertanyaan PICO
yang spesifik dibuat untuk meminimalisis setiap bahasan COI. Pada awal pertemuan, secara tatap
muka atau melalui teleconferen, panelist diminta untuk mengungkapkan berbagai potensial COI
baru atau COI sebelumnya yang relevan untuk sebagai materi untuk didiskusikan.
Pertanyaan klinis dan review evidens

Daftar awal penyataan klinis yang relevan untuk panduan ini diciptakan oleh perwakilan
dan diserahkan kepada seluruh panelis untuk ditinjau dan didiskusikan. Setelah topic yang
diprioritaskan secara online, daftar pertanyaan klinis yang diajukan disetujui semua anggota
panitia.

Semua hasil bahasan yang diidentifikasi sebelumnya dan komite pedoman secara

eksplisit menilai pentingnya dalam membuat keputusan. Setiap pertanyaan klinis disetujui oleh
sepasang panelis.
Dua pustakawan science kesehatan (P.C dan S.L.K) mendesain pencarian literature untuk
mengirim semua pertanyaan klinis. Pencarian terbatas untuk performa studi pada dewasa ini
dipublikasikan dalam bahasa inggris atau abstrak inggris. Tidak ada batasan tahun publikasi.
Pencarian literature awal dilakukan pada tahun 2012 dan 2013, dan kemudian di perbarui pada
Juli 2-14. Hasil studi yang berkaitan dengan panduan ini di unggah sampai dengan November
2015. Untuk pencarian secara online, seperti yang dibutuhkan, panelis menghubungi ahli dan
pencari jurnal, proses rapat, daftar referensi, dan regulator website agensi untuk artikel yang
relevan. Judul dan abstrak dari semua sitasi di pilih dan semua sitasi relevan menjadi sasaran
review teks lengkap, menggunakan definisi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil pencarian literatur yang menyeluruh ditinjau oleh panelis diikuti oleh seleksi dan
evaluasi artikel yang relevan. Setelah artikel terpilih, panelis yang berhubungan dengan
perwakialan dan metodologi detentukan jika analisis kualitatif dan atau kuantitatif adalah tepat.
Panelis tidak perlu memperbarui performa meta analisis terbarunya dengan pencarian hasil akhir
kecuali terdapat kemungkinan mengakibatkan perubahan terhadap kekuatan atau arah
rekomendasi.
Ringkasan bukti untuk setiap pertanyaan disusun oleh anggota panel menggunakan
pendekatan GRADE untuk rating tingkat kepercayaan bukti. Ringkasan dari kejadian

didikusikan dan di review oleh semua member komite dan diedit secara sesuai. Nilai dan pilihan
untuk hasil yang spesifik memiliki nilai tinggi atau rendah pada setiap pertanyaan PICO, variasi
ini terjadi karena nilai selalu divaluasi pada konteks dari semua outcome yang relevant pada
masing-masing pertanyaan PICO. Setelah analisis selesai, para panelis menyajikan data dan
temuan pada semua anggota panel untuk dimusyawarahkan dan dilakukan penyusunan
rekomendasi. Strategi pencarian literature, tabel evidens, profil evidens, dan tambatahan data
termasuk hasil meta analisis dapat ditemukan di material tambahan.

Perkembangan rekomendasi klinis


Semua rekomendasi dilabeli rekomendasi lemah atau kuat (sesuai kondisi) sesuai dengan
pendekatan GRADE. Kata kami merekomendasikan mengindikasikan rekomendasi kuat dan
kami menyarankan mengindikasikan rekomendasi lemah. Tabel 1 menyajikan interpretasi
saran dari kuat dan lemahnya rekomendasi untuk pasien, klinisis dan pembuat kebijakan layanan
kesehatan. Meskipun perdebatan yang masih berlanjut membutuhkan untuk meneliti pada hampir
semua pertimbangan topic pedoman ini, kebutuhan penelitian dicatat untuk direkomendasikan
dimana kebutuhan terebut diyakini oleh panelis sebagai kebutuhan segera. Bukti yang berkulaits
tinggi tidak terlalu banyak untuk dijadikan rekomendasi. Rekomendasi kuat terkadang dibuat
dalam keadaan bukti yang berkualitas rendah (lower-quality evidence) dimana panelis percaya
bahwa kebanyakan individu membutuhkan rekomendasi tersebut dan bahwa kebanyakan dokter
setuju meskipun bukti berkualitas rendah. Semua member panel berpartisipasi dalam
penyelesaian pedoman dan mengesahkan pedoman. Umpan balik diperoleh dari peer review
eksternal. SCCM dan SHEA merevies dan menyebarkan pedoman. Komite Pedoman Standard an

Praktik IDSA, dewan direksi IDSA, dan dewan direksi ATS menyetujui pedoman sebelum
disebarkan.

FAKTOR RESIKO PADA RESISTENSI ANTIBIOTIK VAP DAN HAP


Oleh karena topic mengenai resistensi antibiotic cukup mendasar untuk dibahas dari
berbagai pertanyaan klinis yang ditujukan pada pedoman ini, kami memberikan sistematik
review secara seri dan meta analisis untuk bisa memahami lebih baik faktor resiko MDR pada
VAP dan HAP. Pada meta analisis ini, kami mempelajari faktor resiko terjadinya MDR secara
umum, dan juga faktor resiko untuk kuman spesifik. Penemuan tidak memicu rekomendasi yang
spesifik, bukan memberikan panduan utuk panelis pada beberapa rekomendasi terapi. Jika lebih
dari satu studi dapat digunakan untuk menggali banyak faktor resiko, maka random effect
modeling digunakan utnuk penggabungan estimasi dan confidence interval.
Faktor resiko untuk VAP yang disebabkan oleh kuman MDR
Faktor resiko VAP oleh MDR telah dibahasa dalam beberapa penelitian (Tabel 2). Secara
keseluruhan, 54 studi telah teridentifikasi dalam pencarian literature, dan 39 dikeluarkan karena
terjadi duplikasi publikasi (n=1), pembanding yang kurang (n=34), atau focus non klinis (n=4).
Lima belas potensial faktor resiko dimasukkan dalam meta analisis. Faktor yang terkait dengan
peningkatan risiko MDR VAP vs non-MDR VAP adalah penggunaan antibiotik intravena dalam
90 hari terakhir (odds rasio [OR], 12,3; 95% CI, 6,48-23,35), lebih dari sama dengan 5 hari
rawat inap sebelum terjadinya VAP, syok septik pada saat VAP (OR, 2,01; 95% CI, 1,12-3,61),
sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) sebelum VAP (OR, 3,1; 95% CI, 1,88-5,1), dan
terapi pengganti ginjal sebelum VAP (OR, 2,5; 95% CI, 1,14-5,49). Koma saat masuk ICU
memiliki resiko lebih rendah pada MDR VAP (OR 0.21; 95%CI, 0.08-0.52). penggunakan

kortikosteroid dikaitkan dengan peningakatan resiko VAP MDR pada sebuah studi, namun
karena kuranganya data tentang dosis dan durasi pemberian, maka panelis menyetujui untuk
tidka memasukkan kortikosteroid sebagai faktor resiko MDR VAP. Faktor resiko potensial yang
tidak ditemukan secara konsisten berhubungan dengan kuman yang resisten pada penelitian kami
tercantum dalam bahasan tambahan.
Penggunaan antibiotic intravena sebelumnya secara konsisten teridentifikasi sebagai
faktor predisposisi sebagai pathogen MDR pada VAP. Sementara terapi antibiotic awal tealah
dilaporkan untuk mengurangi resiko VAP oleh antibiotic yang pekaterhadap cocus gram positif
dan Haemophilus influenza, dapat berdampak pada peningkatan MDR VAP oleh MRSA,
Pseudomonas, dan organism non fermenting glukosa setelah perawatan lama di rumah sakit. Ini
perlunya menekankan kebijaksanan dalam memilih antibiotik untuk terapi.
Dasar dari kondisi klinis dapat mempengaruhi kuman VAP. Sepsis dapat menyebabkan
respon elemen selular sistem imun innate. Fase imunosupresi yang lama mengikuti respon
hiperinflamasi pada sepsis dapat mengurangi kemampuan host untuk menangani pathogen MDR
terpilih setelah pemberian antibiotic. Studi pada pasien dengan ARDS uga memiliki insidensi
yang lebih tinggai pada MRSA dan bakteri basil gram negative non-glukosa fermenting. Onset
munculnya VAP lebih lambat pada pasien ARDS, mungkin karena penggunaan antibiotic
spectrum luas pada penanganan awal ARDS. Ketika sudah terjadi VAP, bagaimanapun kuman
penyebab muncul tidak berbeda diantara pasien tanpa ARDS yang mendapatnya ventilasi
mekanik untuk periode waktu yang sama dan memiliki tingkat paparan yang sama pada
antibiotic. Sebaliknya, koma setelah masuk ICU memiliki efek proteksi terhadap MDR VAP.
Efek ini berhubungan dengan peningkatan kecenderungan dari pasien neurotrauma terhadap
perkembangan VAP di awal masuk ICU.

Konsep onset awal dan akhir pneumonia berdasarkan data dari akhir tahun 1980-an
menunjukkan bahwa sekitar 50% dari pasien dengan ventilasi mekanik berkembang menjadi
VAP dalam empat hari pertama penggunaan. Konsep ini telah divalidasi pada penelitian
berikutnya. Studi oleh Ewig et al secara komprehensif menggambarkan patogenesis dan
rasionalisasi dari konsep tersebut. Pertama, hal tersebut didemonstrasikan bawahaw kolonisasi
saluran napas atas adalah prediktor independen dari kolonisasi tracheobronchial. Kedua, pola
kolonisasi pada saluran napas atas dan saluran napas bawah berubah dalam 3-4 hari dari pola
komunitas menjadi pola yang menyerupai nosokomial. Ketiga, pola kolonisasi komunitas
berhubungan dengan onset awal pneumonia, dimana pola nosokomial berhubungan dengan onset
akhir dari pneumonia. Terakhir, profilaksis antimikroba dalam dosis sefalosporin satu atau dua
hari menurunkan resiko colonisasi pathogen komunitas dan selanjutnya onset awal VAP adalah
kolonisasi pada tahap selanjutnya dengan tipe kolonisasi pathogen nosokomial dan
meningkatkan resiko onset akhir VAP. Lainnya menemukan bahwa ambang onset dapat
memanjang sampai tujuh hari.
Beberapa penelitian selanjutnya mempertanyakan hubungan antara waktu VAP dengan
resiko kuman MDR. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pola pathogen pada onset awal
dan akhir VAP . Penelitian ini bervariasi dalam definisi konsep termasuk definisi dari time zero
dan faktor resiko dari MDR. Faktanya konsep awal dan akhir VAP harus berdasar pada waktu
masuk rumah sakit sebagai titik awal dibanding intubasi yang dapat dilakukan beberapa hari
setelah masuk rumah sakit, dimana kolonisasi sudah terbentuk di saluran napas atas dengan tipe
nosokomial. Bahkan, keberadaan faktor resiko untuk MDR harus didahulukan sebelum
membahas onset awal dan akhir pneumonia. Oleh karena itu, waktu perkembangan VAP harus
dievaluasi dalam konteks faktor resiko lain dan pemberian antibiotic sebelumnya. Meskipun

demikian, dari beberapa bukti mengatakan bahwa keseluruhan pasien dengan VAP setelah lima
hari masuk rumah sakit memiliki resiko yang tinggi terkena pathogen MDR dibandingkan
dengan pasien yang terkena VAP pada awal masuk rumah sakit.
Faktor resiko untuk MDR HAP
Faktor resiko untuk MDR HAP jarang diteliti. Lima belas faktor resiko potensial
termasuk dalam meta analisis. Hanya satu faktor resiko yang berhubungan secara signifikan
terhadap MDR HAP: penggunaan antibiotic secara intravena (OR, 5.17; 95%%CI, 2.11-12.67).
Disaat faktor resiko lain yang mungkin berkaitan, tidak ditemukan banyak bukti. Berkenaan
dengan konsep pneumonia awal dibanding akhir tidak ada data yang tersedia untuk HAP.

Faktor Resiko untuk HAP/VAP oleh MRSA


Sedikit studi yang spesifik membahas tentang pneumonia nosokomial oleh MRSA.
Kebanyak studi menganalisis faktor resiko kolonisasi MRSA. Secara keseluruhan, 14 variabel
menunjukkan hasil faktor prediktif potensial dalam tiga studi.
Ketika pneumonia nosokomial oleh MRSA dapat berhubungan dengan beberapa variable
yang mencerminkan karakteristik pasien, tingkat keparahan penyakit, kualitas terapi dan
intervensi, bukti yang paling konsisten berkenaan dengan faktor risiko terhadap MRSA berkaitan
dengan penggunaan antibiotic intravena sebelumnya. Terapi antibiotic sebelumnya merupakan
faktor risiko infeksi MRSA yang mudah dikenali ; namun demikian, kurangnya perhatian telah
menjawab pertanyaan mengenai kelas antibiotic spesifik mana yang memiliki sifat prediktif.
Kemudian, pneumonia MRSA lebih sering ditemukan pada onset akhir pneumonia dibandingkan
dengan onset awal pneumonia.

Penemuan kasus aktif pada pasien dan penerapan strategi isolasi dan kolonisasi dapat
memiliki peranan untuk menurunkan angka infeksi MRSA. Beberapa studi memperlihatkan
kolonisasi MRSA dihubungkan dengan peningkatan isolasi MRSA dari saluran napas, termasuk
sampel khusus dari pasien dengan pneumonia, dimana pada penelitian lain menunjukkan bahwa
diantara keduanya tidak ada hubungan. Bagaimanapun, sebagai pengetahuan, tidak terdapat stud
tentang evaluasi yang prospektif dari screening MRSA untuk memberikan terapi empiris pilihan.
Ketika terdapat faktor resiko potensial pada pneumonia MRSA, bukti yang telah
dipublikasikan sebagian besar langka dan memiliki kualitas yang rendah. Berdasarkan data yang
terbatas, panel menyetujui bahwa pemberian antibiotic intravena merupakan faktor prediktif
pada pneumonia MRSA. Selain itu, terdapat bukti screening MRSA positif dari sampel nasal dan
saluran napas dapat meningkatkan resiko MRSA dikultur dari sampel saluran napas, namun tidak
cukup bukti yang menunjukkan ini sebagai faktor resiko pneumonia MRSA.
Faktor resiko HAP/VAP oleh Pseudomonas Aeruginosa MDR.
Tujuh variabel dievaluasi dalam dua studi tentang hubungan antara P. aeruginosa dengan
pneumonia nosokomial (Tabel.2). Perbandingan langsung dari studi yang tersedian sulit karena
terdapat banyak variasi tentang definisi MDR. Ketika focus pada studi case kontrol
menggunakan definisi yang lebih ketat dari MDR (contoh: resisten terhadap multiple class
antimikroba antipseudomonal) penggunaan antibiotik sebelumnya, ventilasi mekanik, dan
riwayat penyakit paru obstruksi kronik teridentifikasi sebagai fator resiko potensial untuk MDR
P. aeruginosa. Selanjutnya, meskpun data yang terbatas mengenai HAP/VAP, pasien dengan
cystic fibrosis dan bronkiekstasis lebih mungkin terkena P. aeruginosa dibandingkan dengan
penyakit paru lainnya, dan oleh karena itu juga lebih rentan terhadap infeksi MDR P.aeruginosa.
Ketika mencari antibiotic spesifik terkait isolasi MDR P.aerugonisa, penggunaan carbapenem

sebelumnya, sefalosporin spectrum luas, dan fluoroquinolon telah teridentifikasi sebagai faktor
resiko bebas. Saat ini terdapat beberapa faktor resiko potensial, bukti yang terpublikasi jarang
dan memiliki kualitas yang rendah. Berdasarkan analisis yang terbatas, panel menyetujui bahwa
penggunaan antibiotic intravena sebelumnya sebagai faktor resiko prediktif untuk MDR
P.aeruginosa.

MENENTUKAN ETIOLOGI HAP DAN VAP


Oleh karena frekuensi tumbuh dari kuman MDR penyebab VAP, serta resiko permulaan
terapi inefektif, para ahli percaya bahwa kultur dari sampel saluran napas sebaiknya didapatkan
dari semua pasien suspek VAP. Para panelis setuju dengan praktik ini. Mengingat penerimaan
yang luas terhadap prinsip pelayanan dan kemungkinan bahwa beberapa data akan ditemukan
pada jawaban pertanyaan, member panel memutuskan bahwa masalah ini tidak akan secara resmi
didalam naskah ini. Oleh karena itu, berikut ini bagian yang berhubungan denan diagnosis VAP
bahwa akan dilakukan kultur dari sekresi saluran napas pada semua pasien dengan suspek VAP.
Panelis mengakui bahwa bukti yang mendukung pelaksanaan kultur darah pada pasien
VAP terbatas. Namun, sekitar 15 % pasien dengan VAP mengalami bakterimia, dan pada pasien
tersebut identifikasi definitive pathogen, lebih sering MDR, dapat mempengaruhi managemen.
Beberapa studi menemukan bahwa pasien dengan VAP bakterimia memiliki faktor resiko tinggi
untuk mortalitas maupun morbiditas dibandingkan dengan pasien VAP non-bakterimia. Hal ini
harus diketahui bahwa terdapat 25% kultur darah positif pada pasien VAP bersumber dari nonpulmonal. Dengan demikian, hasil kultur darah masih mungkin menyajikan bukti sumber infeksi
non-pulmonal dan mungkin mengungkap adanya bakteri yang tidak efektif diterapi
menggunakan terapi VAP empiris, sebuah penemuan penting yang berpotensi mengingat sifa
nonprecise dari diagnosis CAP. Untuk alasan ini, panelis tidak merevisi rekomendai pendoman

ATS/IDSA 2005 dan tetap mendukung kultur darah untuk semua pasien suspek VAP. Data lebih
terbatas untuk pasien dengan HAP, dimana sampel sputum lebih susah didapatkan dibanding
pada VAP. Namun, bakterimia HAP tidak biasa, oleh karena itu hasil kultur darah mungkin bisa
dijadikan pedoman untuk terapi antibiotic dan pembatasannya untuk pasien HAP dan VAP.

METODE MIKROBIOLOGI UNTUK MENDIAGNOSIS VAP DAN HAP


I.

Haruskah

pasien dengan suspek VAP di terapi berdasarkan pada hasil

pemeriksaan sampling secara invasive (contoh: Bronkoskopi, Blind Bronchial


Sampling) dengan hasil kultur secara kuantitatif atau sampling non invasive
dengan hasil kultur semikuantitatif?
Rekomendasi
1. Kami menyarankan samping noninvasive dengan hasil kultur semikuantitatif untuk
mendiagnosis VAP dibandingakan dengan sampling invasive dengan hasil kultur
kuantitatif (rekomendasi lemah, low quality evidence)
Remark: Sampling secara invasive termasuk teknik bronkoskopi (contoh:
bronchoalveolar lavage [BAL], protected specimen brush [PSB]) dan blind
bronchial sampling (contoh: mini-BAL). Non-invasive sampling merujuk pada
aspirasi endotrakeal.
Ringkasan Bukti
Tinjauan sistematis kami mengidentifikasi lima randomized trials yang relevant. Dalam
tiga penelitian, sampling secra invasive (bronkoskopi atau blinf bronchial sampling) dengan
kultur kuantitatif dibandingkan dengan sampling non-invasif (aspirasi endotrakheal) dengan
kultur semikuantitatif. Dua percobaan lain, membandingkan antara sampling secara invasive
dengan kultur kuantitatif dibandingkan dengan sampling non invasive dengan kultur kuantitatif.

Tidak ada percobaan yang membandingkan antara sampling non-invasif denan kultur kuantitatif
dibandingkan dengan non-invasif sampling dengan kultur semikuantitatif.
Pada percobaan tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada 28 hari kematian, angka
kematian keseluruhan, durasi perawatan ICU, durasi pemakaian ventilasi mekanik, atau
perubahan antibiotic. Dua penelitian yang membandingkan sampling invasive kultur kuantitatif
dengan sampling non invasive kultur kuantitatif mengevaluasi perubahan antibiotic, satu
mendemonstrasikan bahwa sampling invasive menyebabkan perubahan lebih dari antibiotic
dibandingkan dengan non invasive sampling. (42% vs 15%; relative risk (RR), 2.81, 95% CI,
1.01-7.81), sedangkan hasil penelitian yang lain tidak menemukan perbedaan. Percobaan yang
tidak menemukan perbedaan dalam lama penggunaan antibiotic kecuali pasien yang terinfeksi
atau memiliki kolonisasi spesies pseudomonas atau MRSA. Oleh karena itu, mereka bisa
menggunakan monoterapi dan memiliki kesempatan untuk mempersempit penggunaan
antibiotic, berpotensi bias hasil terhadap efek. Tidak terdapat perbedaan dalam munculnya
resistensi antibiotic pada studi yang meneliti hasil ini, tidak ada informasi lain mengenai efek
samping yang dilaporkan dalam uji coba.
Ketika lima percobaan digabungkan dalam meta-analisis, teknik sampling tidak
mempengaruhi outcome klinis, termasuk durasi dari pemakaian ventilasi mekanik, panjang
perawatan ICU, dan mortalitas.
Secara bersama-sama, bukti menunjukkan bahwa hasil serupa antara spesimen yang
diperoleh invasif atau noninvasif, dan kultur dilakukan secara kuantitatif atau semikuantitatif.
Bukti ini menunjukkan tingkat kepercayaan lemah pada estimasi efek dari percobaan oleh resiko
bias (kurangnya blinding dalam beberapa percobaan, kemungkinan bias seleksi), tidak langsung
(perbedaan protokol), dan ketidaktepatan (tiga percobaan termasuk sejumlah kecil pasien).

Kami menyimpulkan bahwa karakteristik performa dari beberapa teknik sampling


aspirasi endotracheal (ETAs), BAL, dan PSB untuk tujuan informasi saja, karakteristik
performa tidak digunakan untuk menginformasikan rekomendasi kami. Karakteristik performa
dihitung dengan menyatukan data dari berbagi studi yang menggunakan histopatologi sebagai
referensi standar. Sembilan studi teridentifikasi. Tidak ada uji yang memiliki karakteristik kinerja
yang ideal. Umumnya, semikuantitatif ETAs adalah yang paling sensitive, namun paling tidak
spesifik. Kuantitiatif ETA dan kuantitatif BAL memiliki kinerja yang hampir setara. Sensitifitas
berkisar antara 48% (95% CI, 38% -57%) untuk PSB dengan 103 CFU / mL, 57% (95% CI,
47% -66%) untuk BAL kuantitatif, 75% (95% CI, 58% -88%) untuk ETA dengan berapapun
jumlah pertumbuhan. Spesifisitas berkisar antara 47% (95% CI, 29% -65%) untuk ETA dengan
setiap jumlah pertumbuhan, 80% (95% CI, 71% -88%) untuk kuantitatif BAL, 83% (95% CI,
70% -92%) untuk ETA dengan 105 CFU/mL. Nilai prediktif positif berkisar antara 60% (95%
CI, 49% -71%) untuk PSB dengan 103 CFU / mL dan 61% (95% CI, 45% -76%) untuk ETA
dengan setiap jumlah pertumbuhan, 77% (95% CI, 66% -85%) untuk BAL dengan 104 CFU /
mL dan 81% (95% CI, 67% -91%) untuk ETA dengan 105 CFU / mL.
Alasan rekomendasi
Tidak ada bukti bahwa sampling microbiological secara invasive kultur kuantitatif meningkatkan
outcome klinis. Sampling non-invasif dapat diselsesaikan lebih cepat dibandingkan sampling
invasive, dengan lebih sedikit komplikasi dan penggunaan sumber daya. Kultur semikuantitatif
dapat selesai lebih cepat dibanding kultur kuantitatif dengan lebih sedikit penggunaan sumber
daya laboratorium dan penggunaan keahlian lebih sedikit. Oleh karena itu, sampling noninvasive
dengan ultur semikuantitatif direkomendasi sebagai teknik sampling microbiologi oleh panel.

Pedoman panel menyatakan bahwa terdapat potensi bahwa sampling kultur kuantitatif dapat
dijadikan acuan penggunaan antibiotic lebih sedikit jika pertumbuhannya di bawah batas
(misalnya 103 CFU/mL untuk PSB, 104 CFU/mL untuk BAL) digunakan sebagai acuan untuk
menghentikan pemberian antibiotic. Hasil ini sangat penting terkait dengan resiko terjadinya
resistensi antibiotic, resiko efek samping, dan pembiayaan yang tidak dibutuhkan atau
penggunaan antibitiotik yang berlebihan; bagaimanapun juga efek samping sampling invasive
dengan kultur kuantitatif yang diperkirakan pada penggunaan antibiotic tidak konsisten dan oleh
karena itu tidak cukup untuk dijadikan dasar terapi saat ini. Sebagai catatan, saluran napas bawah
(misalnya BAL, mini BAL, brush, wash, ETA) dan sampel sputum seharusnya diproses dibawah
2 jam setelah pengambilan jika disimpan dalam suhu ruangan dan diantara 24 jam jika disimpan
dalam suhu 40C.
Kebutuhan Penelitian
Panel setuju bahwa pertanyaan tentang ya atau tidak penggunan sampling invasive dengan
kultur kuantitatif mengurangi penggunaan antibiotic, resistensi antibiotic, pembiayaan langsung
maupun tidak langsung, seharusnya menjadi area prioritas untuk penelitian di masa mendatang.
Sebagai tambahan, panel setuju bahwa percobaan seperti ini seharusnya mengukur hasil
negative, karena kebanyakan studi saat ini hanya mengevaluasi hasil yang menguntungkan saja.
II.

Jika kultur kuantitatif secara invasive dilakukan, haruskah pasien dengan suspek
VAP yang hasil kulturnya dibawah batas diagnostic untuk VAP (PSB <10 3 Colony
Forming Unit (CFU)/ml, BAL <104 CFU/ml), apakah antibiotic lebih baik tidak
diberikan atau dilanjutkan?
Rekomendasi
1. Sampling non invasive dengan kultur semikuantitatif adalah metode yang lebih
dianjurkan untuk mendiagnosis VAP, bagaimanapun panelis mengakui kultur secara

invasive kuantitatif kadang tetap dilakukan oleh beberapa dokter. Sehingga, untuk
pasien yang dilakukan kultur kuantitatif secara invasive namun hasil dibawah batas
diagnostic untuk VAP, maka kami menyarankan untuk menghentikan antibiotik
(rekomendasi lemah, very low quality evidence)
2. Value dan Preference: Rekomendasi ini dianjurkan untuk mencegah harm yang tidak
penting dan menghemat biaya.
3. Remark: Faktor klinis juga dapat dipertimbangkan karena hal tersebut dapat
mengubah keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan pemberian antibiotik.
Hal ini termasuk kemungkian dari alternative sumber infeksi lain, terapi antibiotic
sebelum kultur, derajat kecurigaan klinis, tanda dari sepsis berat, dan bukti klinis
membaik.
Ringkasan bukti
Meskipun kami tidak merekomendasikan pemeriksaan rutin kultur kuantitatif invasifuntuk
pasien suspek VAP, panel menyadari bahwa banyak dokter merasa bahwa metode tersebut dapat
menurunkan penggunaan antibiotic yang tidak seharusnya dan akan tetap melakukan
pemeriksaan tersebut, kualitas bukti yang rendah pada rekomendasi ini bertentangan dengan
dasar pemeriksaan. Kami memutuskan untuk menempatkan isu keamanan penghentian antibiotic
saat hasil kultur kuantitatif dibawah ambang diagnostic. Kami mengidentifikasi enam penelitian
pada pasien VAP, yaitu mengukur pengehentian antibiotic berdasarkan hasil kultur kuantitatif,
dan penggunaan ambang batas untuk menyingkirkan diagnosa VAP; PSB of <103 CFU/mL, a
BAL of <104 CFU/mL, dan ETA of <105 CFU/mL. Kami menyingkirkan 20 studi yang tidak
mempertimbangkan hasil kultur terhadap antibiotic atau tidak mengukur pemberian antibiotic
meskipun hasil kultur diketahui.

Terdapat satu studi randomized trial. Percobaan secara random mengikutsertakan pasien
dengan VAP untuk sampling bronkoskopi dengan kultur kuantitatif atau penggunaan kriteria
klini saja untuk mendiagnosis VAP. Uji ini menemukan bahwa sampling bronkoskopi dengan
kultur kuantittatif menurunkan 14 hari mortalitas dan penggunaan antibiotic. Meskipun ini tidak
membandingkan antara outcome pada pasien dengan penghentian antibiotic atau masih
diteruskannya pemberian antibiotic.
Oleh karena randomized trial tidak menjawab pertanyaan, kami kemudian mengevaluasi
lima studi observasional. Hanya terdapat dua studi yang membandingkan antara outcome pasien
dengan penghentian antibiotic berdasar hasil kultur kuantitatif invasive atau masih diteruskannya
pemberian antibiotic meskipun hasil kultur telah ada. Hari pertama studi adalah studi kohort
prospektif yang melibatkan 68 pasien dengan suspek VAP, dimana prevalensi VAP yang
mendapatkan sampling invasive adalah 51%. Pasien dengan penghentian antibiotic dengan dasar
hasil kultur kuantitatif memiliki angka mortalitas infeksi saluran napas baru menyerupai dengan
pasien yang mendapatkan antibiotic. Penelitian kedua adalah studi kohort retrospektif pada 89
pasien dengan suspek VAP yang telah dilakukan kultur kuantitatif dibawah batasan diagnostik
untuk VAP. Menyerupai dengan penelitian observasional yang lain, pasien dengan dengan
penghentian antibiotic tidak memiliki nilai mortalitas yang lebih tinggi atau rata-rata infeksi
saluran napas dibandingkan dengan pasien yang melanjutkan terapi antibiotic. Bagaimanapun,
pemberian antibiotic dibatasi dengan durasi pemberian antibiotic yang lebih pendek, memiliki
rata-rata total superinfeksi lebih rendah, dan rata-rata superinfeksi MDR lebih rendah.
Secara bersamaan, bukti mengindikasikan bahwa pasien yang dibatasi penggunaan
antibioticnya atas dasar bukti kultur kuantitatif invasive dibawah ambang diagnostic untuk VAP
menyerupai hasil klinis, penggunaan antibiotic yang lebih sedikit, dan outcome mikrobologi

dibandingkan dengan pasien yang tetap melanjutkan pemberian antibiotic. Keperrcayaan panel
pada estimasi efek (misalnya kualitas bukti) sangat lemah karena ditemukan pada studi
observasional yang impresisi (misalnya studi kecil dengan jumlah kejadian minimal) dan resiko
tinggi adanya bias (klinisi dapat menghentikan antibiotic lebih cepat pada pasien).

Alasan Rekomendasi
Penghentian antibiotic pada pasien denagn suspek VAP dimana hasil kultur kuantitatif invasive
dibawah ambang diagnostic untuk VAP lebih menguntungkan. Hal tersebutt dapat menurunkan
penggunaan antibiotic yang tidak penting, dimana dapat menurunkan efek samping yang
berhubungan dengan antibiotic (misalnya colitis Clostridium difficile dan resistensi antibiotic)
dan menurunkan biaya. Selain itu, hal tersbut dapat meningkatkan hasil luaran klinis
mikrobiologis (berupa menurunkan angka superinfeksi). Disaat tidak terdapat bukti bahwa hal ini
dapat memperburuk outcome klinis, dalam teori, hal ini dapat memberikan hasil berupa
pemberhentian antibiotic dari beberapa pasien yang mendapatkan manfaat dari terapi antibiotic
karena hasil kultur secara kuantitatif rendah yang disebabkan oleh kegagalan sampling atau
keterpaparan antibiotic sebelumnya.
III.

Pada pasien dengan suspek HAP (Non-VAP), haruskah diterapi berdasarkan hasil
studi mikrobiologi pada sampel saluran pernapasan atau di terapi secara empiris?
Rekomendasi:
1. Kami menyarankan pasien dengan suspek HAP (non-VAP) di terapi berdasarkan
mikrobologi hasil sampling non invasif dari salurang napas dibandingkan dengan
terapi berdasarkan empiris (rekomendasi lemah, very low quality evidence).
Value dan Preference: Saran ini memiliki nilai yang tinggi dalam pemilihan antibiotic
secara akurat sesuai target kuman dan menurunkan terapi antibiotic berdarkan hasil

kultur saluran napas dan kultur darah. Meminimalisir penggunaan sumber daya oleh
ketidakberhasilan kultur saluran napas yang memberikan nilai rendah.
Remark: Metode non invasive untuk mendapatkan sampel saluran napas termasuk
ekspektoran spontan, induksi sputum, suction nasotrakeal pada pasien yang tidak
kooperatif untuk mengeluarkan sputum, dan aspirassi endotrakeal pada pasien dengan
HAP yang kemudian mendapatkan ventilator mekanik. Panelis mengakui bahwa
untuk beberapa pasien yang tidak dapat diambil sampelnya menggunakan metode
non-invasif, maka dapat menjadi dasar pengambilan tindakan secara invasive.
Ringkasan bukti
Kami menemukan sebuah randomizd trial yang membandingkan secara empiric terapi
antibiotic dengan terapi yang berdasar dari hasil studi mikrobiologi pada pasien suspek HAP.
Enam puluh delapan pasien dengan HAP secara random dilibatkan dalam penelitian dan
dilakukan bronkoskopi dengan proteksi specimen brushing vs manajemen non-invasif. Pada
kelompok terakhir, sampel sputum ekspektoran tidak diambil, jadi manajemen non invasive
hanya terapi empiris, yang berasal dari rekomendasi dari pedoman ATS/IDSA 2005. Tidak
terdapat perbedaan diantara dua kelompok pada penyembuhan klinis pada 28 hari atau lama
rawat rumah sakit. Tingkat mortalitas 28 hari lebih rendah pada pasien terapi empiris
dibandingkan dengan pasien yang diterapi invasive, namun tidak siginifikan secara statistic
(10% vs 21.9%; RR, 0.46; 95% CI,.131.61). Baukti menunjukkan tingkat kepercayaan rendah
pada estimasi efek dari studi mikrobiologi karena terdapat resiko bias yang tinggi (lebih sedikit
pasien pada kelompok invasf mendapatkan antibiotic dibandingkan dengan kelompok noninvasif (76& vs 100%), kurangnya blinding, kurang rahasia) dan impresisi.
Alasan rekomendasi

Meskipun kurangnya bukti menunjukkan bahwa kultur saluran napas pada pasien suspek
HAP meningkatkan outcome klinis, panel menyetujin bahwa percobaan sebaiknya menggunakan
sampel saluran napas untuk dikultur. Rasionalisasi dari saran ini adalah pathogen resisten
menyebabkan resiko yang signifikan pada terapi awal antibiotic empiris awal, dimana hal ini
berhubungan dengan peningkatan resiko kematian pada pasien HAP. Adanya hasil kultur berarti
regimen antibiotic dapat disesuaikan berdasarkan hasil tersebut jika pasien tidak respon terhadap
terapi awal. Selanjutknya, kultur sampel saluran napas menyediakan kesempatan untuk
pembatasan antibiotic berdasarkan dari hasil kultus, meminimalisir penggunaan antibiotic yang
tidak perlu. Panel mengakui potensi untuk hasil positif palsu berhubungan dengan kontaminasi
oral ketika sampel non-invasif dikumpulkan, namun penentuan resiko dari penangan awal
inadekuat dan potensial keuntungan pembatasan memiliki efek negative untuk hasil kultur positif
palsu.
Panel menyetujui bahwa specimen saluran napas harus dikumpulkan secara non-invsif
dibandingkan invasive. Panel membahsa tentang potensi keuntungan sampling invasive, dimana
termasuk resiko yang rendah pada pemberian antibiotic awal yang inadekuat dan memfasilitas
pembatasan antibiotic. Bagaiamanapun, tidak ada bukti pada pasien dengan HAP yang pada
tujuan ini akan secara regular menggunakan metode invasive. Selanjutnya, penggunaan secara
rutin sampling non invasive via bronkoskopi akan dihubungkan dengan peningkatan pembiayaan
dan peningkatan resiko untuk pasien. Meskipun umumnya aman, bronkoskopi kadang dapat
menyebabkan komplikasi dan hasil BAL akan memburuk dari pertukaran gas oleh obat sedasi
dan oleh tindakan itu sendiri, dan hal ini dapat menyebabkan pasien membutuhkan terapi
supportif untuk respirasi. Keuntungan potensial yang didapatkan dari kultur non-invasif (resiko
minimal dari penangan awal inadekuat, pembatasan terapi antibiotic) dapat menimbulkan

kerugian yang lebih besar (efek negating dari hasil kultur positif palsu) dari teknik noninvasive
dari segi biaya maupun resiko prosedur invasive.

PENGGUNAAN

BIOMARKER

DAN

SKOR

INFEKSI

PULMONAL

UNTUK

MENDIAGNOSIS VAP DAN HAP


IV.

Pada pasien dengan suspek HAP atau VAP, haruskan Procalcitonin (PCT) ditambah
dengan kriteria klinis atau hanya kriteria klinis saja untuk menentukan ya atau
tidaknya memulai terapi antibitik?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan suspek HAP atau VAP, kami merekomendasikan menggunakan
kriteria klinis saja dibandingkan dengan penggunaan serum PCT ditambah dengan
kriteria klinis untuk menentukan ya atau tidaknya memulai terapi antibiotic
(rekomendasi kuat, moderate quality eveidence).

Ringkasan bukti
PCT adalah precursor dari calcitonin yang disekresi oleh sel C dari glandula tiroid dan sel K
dari paru. pada individu yang sehat, PCT secara normal tidak dapat terdeteksi (<0.01ng.mL).
Ketika distimulasi oleh endotoksi, PCT secara cepat memproduksi jaringan parenkim pada
tubuh, PCT ini juga diobservasi pada beberapa tipe bakteri yang berbeda. PCT dapat meningkat
sebagai respon pada inflamasi steril atau infeksi veiru, namun lebih jarang terjadi. Karakteristik
ini membuat PCT potensial digunakan sebagai test diagnostic untuk mendiagnosis HAP/VAP.
Kami mencari studi tentang paien dengan suspek HAP/VAP dan membandingkan outcome
pasien yang telah diterapi menggunakan antibiotic sebagai terapi awal berdasarkan serum PCT
ditambah dengan kriteria klinis dengan outcome pasien yang mendapat terapi berdasarkan
kriteria klini saja. Kami menemukan tidak ada studi yang seperti itu, selanjutnya kami memiliih

enam studi yang melaporkan karakteristik serum PCT untuk diagnosis HAP/VAP, diagnosis
secara umum berdasarkan definisi pedoman 2015. Dasar dari asumsi kami adalah bahwa hasil
serum PCT mengindikasikan HAP/VAP akan mendapatkan terapi antibiotic, dimanan akan
meningkatkan outcome klinis. Metode immunoluminometric digunakan untuk mengukur serum
PCT pada dua studi, dan test Kryptor menggunakan teknologi emisi timeresolved amplified
cryptate untuk mengukur PCT pada empat studi. Patokan yang digunakan untuk membedakan
pasien dengan HAP/VAP dari studi tersebut tidak terlalu bervariasi, berkisar antara 0.5 s.d 3.9
ng/mL. bebrapa penelitian melaporkan adanya hasil untuk batasan yang bervariasi. Tidak ada
dari nilai patokan yang digunakan pada studi tersebut yang divalidasi.
Kami mengumpulkan karakteristik PCT untuk diagnosis HAP/VAP dengan meta analisis
menggunakan regresi bivariat. Pada enam studi menggunakan 665 pasien, termasuk didalamnya
335 (50.4%) pasien terdiagnnosis VAP/HAP. Sensitivitas , spesifisitas , rasio kemungkinan
positif, rasio kemungkinan negatif , dan OR diagnostic adalah 67 %( 95 % CI , 53 % -79 % ) ,
83 % ( 95 % CI , 43 % -97 % ) , 3,9 ( 95 % CI ,0,9-17,5 ) , 0,4 ( 95 % CI , 0,25-0,62 ) , dan 10
( 95 CI % , 2-59 ).
Ambang diagnostic optimal PCT berbeda sesuai dengan tingkat keparahan presentasi,
keadaan klinis , dan jenis tes yang digunakan . Kurva summary receiver operating character
(SROC) menunjukkan hasil area di bawah kurva/area under the curve (AUC ) dari 0,76 ( 95 %
CI , 0,72-0,79 ) , dimana menunjukkan akurasi tes moderat.
Tingkat kepercayaan panel pada akurasi karakteristik kinerja yang dikumpulkan (yaitu
kualitas bukti) adalah moderate, karena hal tersebut berasal dari akurasi studi dengan resiko bias
yang serius. Resiko bias yang ada multifaktorial. Banyak studi tidak melaporkan pasien-pasien
yang sudah dikumpulkan, tidak mendaftarkan pasien dengan diagnosis tidak pasti (beberapa

studi memerlukan konfirmasi mikrobobiologi untuk HAP/VAP), tidak menjelaskan alasan


penarikan, tidak melaporan outcome blinding, dan memungkin memiliih ambang diagnostic yang
memberikan hasil yang lebih menguntungkan.
Meta-analisis menunjukkan inkonsistensi bukti (heterogenitas analisis I2 = 87,9 ; P < 0,001).
Namun, panel tidak menurunkan kualitas bukti oleh karena inkonsistensi karena karakteristik
kinerja yang setara bahkan setelah heterogenitas yang berkurang setelah di eksklusi. Penyebab
heterogenitas termasuk kualitas metodologis studi , pengaturan klinis (yaitu, apakah studi ini
dilakukan di unit bedah atau medis), dan jenis uji PCT. Tidak ada bukti dari potensi bias publik
menurut uji Egger untuk corong petak asimetri.
Alasan rekomendasi
Systematic review mengidentifikasi tidak ada studi yang melibatkan pasin dengan suspek
HAP/VAP dan membandingkan outcome pasien yang diberikan terapi awal antibiotic berdasar
hasil PCT dan kriteria klinis vs outcome pasien yang yang mendapatkan terapi hanya berdasar
pada kriteria klinis. Oleh karena itu, pedoman yang telah dikembangkan oleh panel
menggunakan studi yang akurat untuk menginformasikan rekomendasi.
Panel memutuskan sebelumnya dimana keputusan tersebut akan merekomendasikan
antibiotic sebagai terapi awal atau tidak berdasarkan uji serum PCT dan kriteria klinis,
dibandingkan dengan hanya menggunakan kriteri klinis saja., jika HAP/VAP dapat dikonfirmasi
atau di eksklusi menggunakan serum PCT dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas lebih dari
90%. Batas ini ditentukan atas dasar asumsi prevalensi HAP/VAP dari 50% pasien yang
dilakukan uji, kemudian untuk setiap 1000 pasien yang di uji, hanya 50 pasien (5%) benar
dikategorikan memiliki atau tidak memiliki HAP/VAP.

Bukti menunjukkan bahwa serum PCT ditambah kriteria klinis dapat mendiagnosa HAP /
VAP dengan masing-masing nilai sensitivitas dan spesifisitas 67 % dan 83 %. Temuan ini gagal
untuk memenuhi ambang ketetapan panel untuk merekomendasikan kadar serum PCT ditambah
kriteria klinis untuk digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan awal menggunakan atau
tidak menggunakan antibiotic.
Tingkat negative palsu dan positif palsu pengujian serum PCT ditambah kriteria klinis
masing-masing adalah 33% dan 17%. Oleh karena itu , dengan asumsi prevalensi dari HAP/VAP
50% , maka untuk setiap 1000 pasien yang dicurigai HAP/VAP yang dievaluasi dengan serum
PCT ditambah kriteria klinis, 165 pasien (16,5%) akan salah didiagnosis tidak memiliki
HAP/VAP dan 85 pasien (8,5%) akan salah didiagnosis memiliki HAP/VAP.
Penelitian sebelumnya secara randomisasi pasien ICU dengan protokol pedoman PCT
eskalasi antibiotic vs penanganan standar, yang bertujuan untuk meningkatkan kelangsungan
hidup dengan meningkatkan terapi antibiotik dini yang sesuai, menunjukkan bahwa protokol
pedoman PCT tidak memperbaiki survival, namun meningkatkan jumlah hari perawatan ICU dan
penggunaan ventilator.
Dalam pandangan para panelis, pasien yang salah didiagnosis dengan HAP/VAP cenderung
mendapatkan terapi antibiotik dan oleh karena itu pasien sering berada pada posisi mendapatkan
risiko yang tidak perlu dari efek samping obat dan pengeluaran biaya yang tidak perlu. Mungkin
yang lebih penting, upaya untuk menemukan diagnosis yang benar mengkin berhenti, dapat
meningkatkan waktu sampai ditemukan diagnosis yang benar dan terapi, Sebaliknya salah salah
dalam diagnosis memperlambat inisiasi pemberian terapai antibiotic, dimana dapat menyebabkan
outcome yang buruk. Panel setuju bahwa konsekuensi yang didapatkan dapat menyebabkan hasil

yang buruk, maka tidak dianjurkan untuk menggunakan PCT sebagai dasar inisiasi penggunaan
antibiotic.
V.

Pada pasien dengan suspek HAP atau VAP, haruskah dilakukan pemeriksaan
Soluble Triggering Receptor Expressed on Myeloid Cells (sTREM-1) ditambah
dengan kriteria klinis atau hanya kriteria klinis saja untuk menentukan ya atau
tidaknya memulai terapi antibiotik?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan suspek HAP datau VAP, kami merekomendasikan menggunakan
kriteria klinis saja dibandingkan dengan menggunakan bronchoalveolar lavage fluid
(BALF) sTREM-1 ditambah dengan kriteria klinis, untuk menentukan ya atau
tidaknya memulai terapi antibiotic (rekomendasi kuat, moderate quality eveidence).

Rangkuman Bukti
Triggering receptor expressed on myeloid cells (TREM-1) telah dipelajari sebagai penanda
biologis infeksi mikroba. TREM-1 adalah bagian dari superfamili immunoglobulin yang telah
terbukti yang diekspresikan kuat pada neutrofil dan infiltrasi monosit jaringan yang di infeksi
oelh bakteri atau jamur. Namun, penggunaannya dalam mendiagnosis infeksi tidak pasti karena
beberapa studi terbaru menunjukkan TREM- 1 juga meningkat pada penyebab non-infeksi
peradangan
Kami berusaha menemukan studi yang melibatkan pasien VAP/HAP dan kemudian
dibandingkan outcome pasien yang diterapi awal mnggunakan antibiotic berdasarkan level
larutan TREM-1 dengan kriteria klinis dengan outcome pasien yang mendapat terapi awal
antibiotic hanya berdasarkan kriteria klinis saja. Kami tidak menemukan studi yang sesuai
dengan harapan, Oleh karena itu, kami memilih enam studi yang melaporkan karakteristik
TREM 1

pada diagnosis HAP/VAP. Dasar asumsi kami adalah hasil TREM-1 indikasi dari

pemberian antibiotic pada HAP/VAP, yang akan meningkatkan hasil klinis. Pengukuran TREM1 dilakukan dengan BALF oleh imunoblot pada salah satu studi, dengna BAL oleh ELISA pada
empat studi dan dengan mini BAL oleh ELISA pada satu studi. Nilai patokan yang digunakan
untuk membedakan pasien yang memiliki HAP/VAP dimana tiddak bervariasi pada semua studi,
berkisar antara 5-900pg/mL.
Kami mengumpulkan bukti karakteristik dari TREM-1 untuk mendiagnosis VAP/HAP
melalui meta analisis dengan pendekatan regresi bivariat. Meta-analisis akami melibatkan 208
pasien dengan klinis suspek pneumonia, dimana 108 (52%) secara pasti telah terdiagnosis
pneumonia. Sensitivitas, spesifisitas, rasio kemungkinan positif, rasio kemungkinan negatif , dan
OR diagnostik masing-masing adalah 84% (95% CI, 63% -94%), 49% (95% CI, 18% -81%),
1,6(95% CI, 0,8% -3,3), 0,33(95% CI , .12- 0,93), dan 5(9 % CI , 1-24). Sensitivitas dan
spesifisitas TREM-1 lebih rendah pada penelitian dengan metode ELISA teknik imunoblot.
Ambang diagnostic TREM 1 optimal berbeda meneurut keparahan tampakan, kondisi klinis, dan
jenis uji yang digunakan. Hasil kurva SROC pada AUC 0.78 (95% CI, 0.75-0.82), menunjukkan
akurasi uji secara moderat.
Kepercayaan panel pada akurasi karakteristik (yakni kualitas bukti) adalah moderat karena
bukti tersebut berasal dari studi dengan resiko bias yang besar. Resiko bias oleh studi tidak
mendapatkan pasien secara konsekutif dengan ketidakpastian diagnosis (satu studi menggunakan
kriteria klinis dengan hasil mikroba sebagai kriteria inklusi, dimana lima studi menggunakan
kriteria klinis, radiologi, dan penemuan mikroba sebagai kriteria inklusi. Selain itu, oleh karean
studi di dalam meta analisis menggunakan BALF kultur kuantitatif sebagai refernsi standar,
pengguanaan antibiotic sebelumnya mungkin dapat menyebabkan dampak negative dan

terlibatnya infeksi bakteri anaerob yang tidak diklasifikasikan, yangbisa mengubah karakteristik
TREM-1.
Alasan rekomendasi
Sistematik review kami mengidentifikasi tidak adanya studi yang melibatkan pasien dengan
suspek VAP/HAP dan membandingkan outcome pemberian inisiasi terapi anibiotik berdasarkan
TREM-1 dan kriteria klinis vs outcome pasien yang mendapatkan terapi hanya berdasar pada
kriteria klinis saja. Oleh karena itu, pengembangan pedomen menggunakan studi akurasi untuk
memberikan informasi tentang rekomendasi.
Panel memutuskan hasil sebelumnya bahwa hasil tersebut akan merekomendasi untuk
menggunakan antibiotic sebagai terapi awal atau tidak menggunakan antibiotic berdasarkan
BALF TREM -1 dan kriteria klinis, dibandingkan dengan kriteria klinis saja, jika HAP/VAP
dapat dikonfirmasi atau dieksklusi oleh BALF TREM-1 dengan sensitifitas dan spesifisistas
>90%. Batasan ini di tentukan dengan alasan asumsi prevalensi dari HAP/VAP dari 50% pasien
uji, kemudia setiap 1000pasien uji, hanya 50 pasien (5%) akan salah diagnosis memiliki atau
tidak memilliki VAP/HAP.
Bukti menunjukkan bahwa BALF TREM-1 dapat mendiagnosisi HAP/VAP dengan tingakat
sensitifitas dan spesifisitas masing-masing 84% dan 49%. Penemuan ini tidak sesuai dengan
batasan ambang panel untuk merekonedasikan BALF TREM-1 dengan kriteria klini s digunakan
untuk menentukan ya dan tidaknya diberikan antibiotic sebagai terapi awal. Hasil negative palsu
dan positif palsu dari BALF TREM-1 adalah 16% dan 51%. Oleh karena itu, asumsi 50%
HAP/VAP, untuk 1000 pasien yang di uji, 80 pasien (8%) didiagnosis salah tidak memiliki
HAP/VAP dan 225pasien (22.5%) salah diagnosis sebagai pasien dengan HAP/VAP.

Pasien yang salah didiagnosis dengan HAP/VAP sering sudah mendapatkan antibiotic, dan
kemudian mendapatkan efek samping obat yang tidak seharusnya dan menambah biaya.
Mungkin lebih penting, usaha untuk menemukan diagnosis yang tepat dihentikan, dimana akan
memperpanjang waktu perawatan sampai didiagnosis dengan tepat. Sebaliknya, pasien yang
seharusnya didiagnosis VAP/HAP dan salah, mendapatkan terapi antibiotik yang tertunda,
dimana hal tersebut dapat meningkatkan outcome klinis yang buruk. Panel setuju bahwa
kemungkinan konsekuensi yang harus dihadapi pada kesalahan pada BALF TREM-1 tidak dapat
diterima, oleh karena itu tidak direkomendasikan menggunakan BALF TREM-1 untuk dasar
pedoman antibiotik.
VI.

Pada pasien dengan suspek HAP atau VAP, haruskan dilakukan pemeriksaan CReactive Protein (CRP) ditambah dengan kriteria klinis atau hanya kriteria klinis
saja untuk menentukan ya atau tidaknya memulai terapi antibitik?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan suspek HAP atau VAP, kami merekomendasikan menggunakan
kriteria klinis saja dibandingkan dengan penggunaan CRP ditambah dengan kriteria
klinis untuk menentukan ya atau tidaknya memulai terapi antibiotic (rekomendasi
lemah, low quality eveidence).

Rangkuman Bukti
Kami berusaha mengumpulkan pasien dengan suspek VAP/HAP dan membandingkan
outcome pasien yang diberikan inisiasi antibiotik berdasarkan level CRP dan kritrei klinis
dibandingkan dengan outcome pasien yang menerima terapi antibiotik hanya berdasar pada
kriteria klinis. Kami menemukan tidak ada studi yang sesuai, kemudian kami memilih tiga studi
yang mengevaluasi kemampuan CRP untuk mengidentifikasi pasien dengan VAP.

Studi observasional yang melibatakan 148 pasien yang menggunakan ventilasi mekanik dan
menemukan bahwa level CRP pada pasien dengan pneumonia sama dengan pasien nonpneumonia. Studi yang sepura yang melibatkan 44 pasien yang menggunakan ventilasi mekanik
mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan level CRP pada pasien VAP dan non-VAP. Akhirnya,
studi pada 28 pasien yang memperoleh kembali sirkulasi spontan setelah perawatan rumah sakit,
level CRP sama antara pasien VAP dan bukan VAP. Secara berseama-sama, studi ini
menyarankan bahwa CRP tidak sesuai dengna pasien VAP dan bukan VAP.
Kepercayaan panel dalam menemukan bahwa level CRP serupa pada pasien dengan atau
tanpa VAP rendah karena penemuan ini berasal dari penelitian observasional dengan impresisi
yang serius (yakni jumlah pasien dan bukti sedikit).
Alasan rekomendasi
Untuk sebuah tes diagnostic membantuk dalam menentukan ya atau tidaknya memulai atau
menghentikan pemakaian antibiotik untuk VAP seharunya mampu dalam membedakan pasien
dengan dan tanpa VAP. Ketiga studi mengatakan bahwa level CRP tidak terlihat berbeda.
Kemudian, panel menegaskan bahwa tes CRP. Test CRP hanya akan menjerumuskan klinisi dan
seakan-akan membantu diagnostic. Oeh karena itu manfaat menggunakan CRP untuk pedoman
mengambil keputusan tidak sebanding dengan besarnya pembiayaan dan beban uji coba.
VII.

Pada pasien dengan suspek HAP atau VAP, haruskan dilakukan Modified Cinical
Pulmonary Infection Score (CPIS) ditambah dengan kriteria klinis atau hanya
kriteria klinis saja untuk menentukan ya atau tidaknya memulai terapi antibitik?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan suspek HAP atau VAP, kami merekomendasikan menggunakan
kriteria klinis saja dibandingkan dengan penggunaan CRP ditambah dengan kriteria

klinis untuk menentukan ya atau tidaknya memulai terapi antibiotic (rekomendasi


lemah, low quality eveidence).
Rangkuman Bukti
Kriteria klinis memiliki informasi riwayat yang dibutuhkan untuk memulau pemberian
antibiotik pada pasien dengan suspek HAP/VAP. Meskipun, pengukuran semiobjektif seperti
CPIS memiliki alat potensial untuk mendampingi kinerja dokter memutuskan ya atau tidaknya
menggunakan antibiotik untuk pasien suspek VAP. CPIS adalah pemeriksaan secara semiobjektif
pada faktor prediktor klinis berat prediktif pneumonia, suhu, hitung sel darah putih, adanya atau
tidaknya sekresi saluran napas dan karakter dar saluran napas atas, PaO2/FiO2 (arterial oxygen
partial pressus/inspired oxygen fraction) rasio, dan radiografit thoraks.
Kami mengusahakan studi dimana pasien dengan suspek HAP/VAP dan membandingkan
outcome pada pasien dengan inisiasi terapi antibiotik berdasar pada CPIS dan kriteria klinis
dengan outcome pasien yang mendapat terapi inisiasi antibiotik berdasar kriteria klinis saja.
Kami tidak menemukan studi seperti yang telah disebutkan, namun, kami menemukan
systematic review dengan meta analisis dari 13 studi akurat dimana melaporkan tentang
karakteristik dari CPIS untuk diagnosis VAP. Jumlah prevalensi VAP yang dikumpulkan pada
studi ini adalah 48%. Meta-analisis menemukan bahwa CPIS dapat mengkonfirmasi atau tidak
mendiagnosis VAP dengan sensitifitas, spesifisistas, dan OR diagnosis yaitu masing-masing 65%
(95% CI, 61%69%), 64% (95% CI, 60%67%), and 4.84 (95% CI, 2.429.71). hasil kurva
SROC pada AUC adalah 0.748 (95% CI, .65-.85).
Tingkat kepercayaan panel pada akurasi kumpulan karakteristik (yaitu kualitas bukti)
lemah karena karakteristik tersebut berasal dari studi dengan resiko bias yang tinggi (yaikni
banyak studi yagn tidak mendapatkan pasien dengan diagnostic yang pasti, withdrawal tidak

dijelaskan) dan tidak konsisten (heterogenitas analisa I2 > 87% dari semua analisis yang
terkumpul).
Alasan rekomendasi
Sistematik review kami mengidentifikasi tidak adanya studi pada pasien dengan suspek
VAP dan kemudian membandingkan outcome pasien yang diterapi awal menggunakan antibiotic
berdasarkan CPIS dan kriteria klinis dengan pasien yang diterapi dengan antibiotic dengan dasar
hanya kriteria klinis. Oleh karena itu, pengembangan pedoman panel menggunakan systematic
revies dan meta-analisis dari studi yang akurat untuk memberikan informasi pada rekomendasi.
Panel memutuskan untuk merekomendasikan penggunaan CPIS dan kriteria klinis
dibandingkan dengan penggunan kriteria klinis saja sebagai dasar pemberian antibiotic jika VAP
dapat didiagnosis benar VAP atau non-VAP oleh CPIS dengan sensitifitas dan spesifisitas >90%.
Patokan ini dibuat dengan asumsi prevalensi dari VAP 48%

diantara pasien yang di uji,

kemudian untuk setiap 1000 pasien yang di uji 48 pasien (4.8% ) yang akan salah didiagnosis
memiliki VAP atau tidak.
Bukti mengindikasikan bahwa CPIS dapat mendiagnosis VAP dengan sensitifitas dan
spesifisitas masing-masing hanya 65% dan 64%. Sensitifitas dan spesifisitas pada studi ini tidak
mencapai ambang yang diharapkan oleh panel untuk bisa merekomendasikan penggunaan CPIS
dan kriteria klinis sebagai dasar pemberian antibiotic. Nilai negative palsu dan positif palsu pada
CPIS adalah 35% dan 36%. Oleh karena itu, asumsi prevalensi VAP 48% untuk 1000 pasien
yang di uji, maka 168 pasien (16.8%) akan salah didiagnosis tidak mengidap HAP/VAP dan 187
(18.7%) pasien akan salah didiagnosis sebagai pasien VAP/HAP.
Pasien yang didiagnosis salah dengan HAP/VAP yang telah menerima antibiotic,
memiliki resiko untuk mendapatkan efek samping pengobatan yang tidak seharusnya serta

menambah beban biaya. Mungkin lebih penting, usaha untuk menemukan diagnosis yang tepat
dihentikan, dimana akan memperpanjang waktu perawatan sampai didiagnosis dengan tepat.
Sebaliknya, pasien yang seharusnya didiagnosis VAP/HAP dan salah didiganosis, mendapatkan
terapi antibiotik yang tertunda, dimana hal tersebut dapat meningkatkan outcome klinis yang
buruk. Panel setuju bahwa kemungkinan konsekuensi yang harus dihadapi dari kesalahan pada
CPIS tidak dapat diterima, oleh karena itu tidak direkomendasikan menggunakan CPIS untuk
dasar pedoman pemberian antibiotik.
TERAPI VENTILATOR-ASSOCIATED TRACHEOBRONCHITIS
VIII. Haruskah pasien dengan ventilator-associated tracheobronchitis (VAT) mendapatkan
terapi antibiotic?
Rekomendasi
1. Pada pasien dengan VAT, kami menyarankan tidak memberikan terapi antibiotic
(rekomendasi lemah, low quality evidence)
Rangkuman Bukti
Untuk menentukan pemberian terapi untuk VAT diperlukan, kami mencari bukti tentang
terapi VAT meningkatkan outcome klinis. VAT didefinisikan sebagai demam yang tidak diketahui
penyebabnya, dengan munculnya atau bertambahnya produksi sputum, kultur ETA positif (>10 6
CFU/mL), dan bukti radiologis pneumonia nosokomial,
Sistemik review mengidentifikasi tiga randomized trial yang membandingkan efek
antibiotic dengan placebo atau non antibiotic pada pasien dengan VAT. Bagaimanapun, panel
memutuskan untuk mengeluarkan dua penelitian karena penelitian tersebut tidak berhubungan
langsung dennga pertanyaan klinis, dimana mereka mendefinisikan VAT berbeda dari semua
studi dan evaluasi antibiotic aerosolized dibanding intravena. Randomized trial secara random
memilih 58 pasien untuk menerima antibiotic intravena atau bukan antibiotic untuk 8 hari. Grup

yang mendapatkan terapi antibiotik memiliki tingkat mortalitas ICU lebih rendah (18% vs 47%;
OR, 0.24, 95% CI, .07.88), kemungkinan VAP lebih sedikit (13% vs 47%; OR, 0.17, 95% CI, .
04.70), dan waktu bebas ventilasi mekanik lebih sedikit (median 12 vs 2 hari, p<.001), namun
tidak ada perbedaan pada lama penggunaan ventilasi mekanis dan lama rawat ICU.
Panel memperhatikan tentang resiko bias randomized trial karena dilkukan tanpa blinding
dan dihentikan awal setelah mendapat hasil yang baik. Kemudian, panel juga mengevaluasi
empat studi observasional. Ketika studi observasional dikombinasikan dengan randomized trial,
jumlah P. aeruginosa sekitar 34% dari isolate, sisanya adalah organism lain teramsuk
Acinetobacter (27%), Klebsiella (5%), dan MRSA (32%). Organism MDR menyusun 61% dari
isolate, dan infeksi polimikroba menyusun 31% dari episode VAT.
Studi observasionall membandingkan antara pasien ventilasi mekanik dewasa dengan VAT
yang memperoleh antibiotik intravena dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima
antibiotik. Terapi antibiotik berhubungan dengan memperpendek durasi penggunaan ventilasi
mekanik (3.5 hari ; 95% CI 6.88 to .019 hari), bagaimanapun tidak ada perbedaan yang
signifikan pada tingakt mortalitas maupun durasi lama rawat ICU.
Secara bersama-sama, berdasarkan hal tersebut, bukti menyarankan bahwa terapi
antibiotik untuk VAT dapat memperpendek durasi ventilasi mekanik, namun, ini tidak pasti
dalam meningkatkan outcome kareana penemuan yang masih tidak konsisten. Tingkat
kepercayaan panel terhadap efek terapi antibiotik VAT (yakni kualitas bukti) rendah karenan
terdiri dari uji rondomiszed trial terbatas oleh resiko bias yang sangat besar seperti yang
didiskripsikan di atas, studi observasional, dan penemuan yang tidak konsisten. Dua studi
observasional pada VAT dipublikasian sebelumnya, namun hasil tidak mengubah rekomendasi
panel.

Alasan rekomendasi
Potensial konsekuensi yang menguntungkan dari penggunaan terapi antibiotik adalah
menurunkan durasi ventilasi mekanik, sebaliknya konsekuensi yang kurang menguntungkan dari
terapi antibiotik adalah termasuk efek sampan seperti rah, colitis C. difficile, resistensi antibiotik
dan biaya. Panel mengenali postensi konsekuensi yang menguntungkan dan tidak
menguntungkan, namun memutuskan yang terakhir lebih besar daripada yang pertama,
memberikan ketidakpastian mengenai manfaat. Kemudian, panel mengetahui bahwa pada
beberapa pasien, VAT dapat menyebabkan sumbatan pengeluaran mukus, dan sulit untuk
dihentikan. Pada beberapa pasien, terapi antibiotik dapat dianggap namun tidak ada bukti untuk
atau menhindari situasi ini. Terakhir, panel mengetahui bahwa diagnosis dari pneumonia tidak
sempurna. Spesifisitas dan spesifisitas dari radiologi thoraks poertable untuk pneumonia lebih
rendah dibandingkan dengan computerd tomography dan otopsi. Oleh karena itu tampakan daei
tanda baru infeksi saluran napas, seperti peningkatan jumlah sputum purulen dan kualitas sampel
yang tinggi dengan kuman gram negative yang berhubungan dengan tanda infeksi sistemik denan
perburukan oksigenasi dan atau peningkatan penggunaan ventilator, terapi antibiotik dapat
dipertimbangakan pada tidak adanya infiltrate baru atau progresifitas infiltrate pada radigrafi
thoraks portable, rasionalisasi untuk kasus tersebut adalah karena tingginya VAP baru.
Kebutuhan penelitian
Randomized trial dibutuhkan untuk memeriksa efek dari terapi VAP pada outcome klinis,
sejak adanya keterbatasan pada randomized trial. Penelian serupa seharusnya menggunakan
definisi yang ringkas untuk menghindari tumpang tinding dengan VAP atau alternatifnya
mengkombinasi diagnosis VAT dan VAP dan mengaturnya sesuai dengan tingkat keparahan
penyakit saluran napas. Studi membahas tentang efek antibiotik inhalasi dan intravena pada

outcome klinis yang dibutuhkan. Sebagai tambahan, beberapa penelitian sebaiknya menghitung
hari dari antibiotik sistemik dan resistensi antibiotik post terapi dari sisi respirasi dan nonrespirasi., sesuai dengan tingginya frekuensi pathogen MDR yang meningkat di ICU.

TERAPI AWAL UNTUK VAP DAN HAP


Memillih regimen antibiotik empiris untuk suspek VAP secara klini sulit karena dokter harus
menyeimbangkan antara potensi keuntungan memberikan antibiotik adekuat di awal terapi
(misalnya penurunan mortalitas) dengan kerugian yang mungkin terjadi (misalnya efk samping
obat, infeksi C. difficile, dan peningkatan resistensi antimikroba).
IX.

Haruskah pilihan dari regimen antibiotic empiris untuk VAP menjadi acuan
data antibiotic lokal resisten?
Rekomendasi:
1. Kami merekomendasikan untuk semua rumah sakit secara teratur membuat dan
menyebarkan antibiogram lokal, secara ideal specific satu untuk populasi tertentu
jika memungkinkan.
2. Kami menyarankan bahwa terapi empiris disesuaikan dengan distribusi pathogen
lokal yang berhubungan dengan VAP dan antibiotic yang sesuai.
Values and Preference: rekomendasi ini memiliki nilai yang tinggi dalam target
mencari pathogen spesifik yang berhubungan dengan VAP sesempit mungkin
untuk menjamin terapi yang adekuat yang meminimalisir over terapi dan
kemungkinan efek sampingnya.
Remark: frekuensi masing-masing distribusi pathogen dan antibitok yang sesuai
dengan keputusan institusi. Pertimbangan harus termasuk dari rata-rata
perubahan, sumber daya dan jumlah data yang dapat digunakan untuk analisis.

Rangkuman Bukti

Flora antimikroba dan pola resistensi dapat bervariasi sesuai dengan negara, wilayah,
rumah sakit, ICU rumah sakit, dan specimen (specimen pulmonal vs specimen lain). Ini
diilustrasikan oleh studi observasional yang membandingkan hasil kultur kuantitatif yang
didapakan dari bronkoskopi dari 229 pasien dengan VAP pada empat institusi yang berbeda,
terdapat variasi yang luas pada frekuensi pathogen dan pola resistensi antibiotik pada institusi.
Serupa, studi observasional yang lain dari pasien VAP menemukan variasi yang luas pada
frekuensi pathogen dan pola resistensi antibiotik di ICU yang berbeda pada institusi yang sama.
Bagaimanapun, studi yang lain menemukan bahwa resistensi yang disering terjadi pada sebagian
bersar antibiogram rumah sakit menggambarkan resistensi pada infeksi dapatan ICU, meskipu
frekuensi MRSA dibawah perhitungan.
Alasan rekomendasi
Panel merekomendasi berdasarkan regimen untuk terapi empiris pada suspek VAP di
prevalensi lokal dari pathogen dan antibitik yang peka berhubungan dengan VAP. Oleh karena
flora antimikroba dan pola resistensi dapat bervariasi dari ICU, rumah sakit, wilayah dan negara,
maka untuk mengetahui hal tersebut sebaiknya dibuat lokal antibiogram. Idealnya, antibiogram
sebaiknya spesifik untuk pasien VAP, spesifik untuk pasien ICU, melihat banyaknya variasi pada
tempat dan sumber specimen. Namun, panel mengetahui bahwa mengembangkan antibiogram,
terlebih lagi personal pasien VAP, tidak mampu dilakukan dalam semua kondisi. Ini masalah
utama untuk rumah sakit dimana tidak dapat melakukan surveilans secara rutin untuk VAP,
rumah sakit yang memiliki jumlah kasus VAP sedikit, dan atau rumah sakit hanya memiliki
sedikit hasil kultur positif untuk VAP. Tidak adanya epidemiologi microba lokal, dokter dapat
memilih survey nasional dan internasional dari pola organism dan pola resistensi. Survey yang

paling dekat dengan keadaan lokal sangat bermanfaat. Pedoman yang telah disetujui untuk uji
kepekaan tersedia.
XXVI. Apakah antibiotic yang direkomendasikan untuk terapi empiris dari suspek VAP?
Rekomendasi:
1. Pasien suspek VAP, kami merekomendasikan termasuk untuk S. aureus, Pseudomonas
aeruginosa, dan basil gram negative lain di semua regimen empiris (rekomendasi
kuat, low quality evidence).
i.
Kami menyarankan penggunaan agen aktif untuk MRSA pada terapi empiris
pasien suspek VAP hanya digunakan pada pasien yang memiliki faktor resiko
resisten antibiotic (Tabel 2), pasien yang diterapi di unit dimana lebih dari 10
%-20% dari S. aureus yang di isolasi resisten terhadap meticilin., dan pasien
di unit dimana prevalensi MRSA tidak diketahui (rekomendasi lemah, very
ii.

low-quality evidence)
Kami menyarankan penggunaan agen aktif untuk Methicillin-sensitive S.
aureus (MSSA)(dan bukan MRSA) pada terapi empiris pasien suspek VAP
yang tidak memiliki faktor resiko resisten antibiotic, yang di rawat di ICU
dimana kurang dari 10%-20% S.aureus yang terisolasi resisten terhadap

methicillin (rekomendasi lemah, very low quality evidence).


2. Jika ada indikasi untuk penanganan empiris pada MRSA, kami merekomendasikan
penggunaan vancomycin atau linezolid (rekomendasi kuat, moderate

quality

evidence).
3. Jika ada indikasi untuk penanganan empiris pada MSSA, kami merekomendasikan
penggunaan

piperacilin-tazobactam,

cefepime,

levofloxacin,

imipenem

atau

meropenem (rekomendasi lemah, very low-quality evidence). Oxacillin, nafcillin, atau


cefazolin adalah agen terapi pilihan untuk terapi sumber MSSA, namun tidak
diperlukan untuk terapi empiris VAP jika satu dati agen diatas digunakan.

4. Kami merekomendasikan dua antibiotic antipseudomonal dari kelas yang berbeda


untuk terapi empiris dari suspek VAP hanya pada pasien dengan faktor resiko resisten
antiobiotik, pasien di unit dimana lebih dari 10% dari gram negative yang diisolasi
resisten terhadap agen monoterapi, dan pasien di ICU dimana tingkat antimikroba
lokal spesifik tidak diketahui (rekomendasi lemah, very low-quality evidence).
5. Kami merekomendasikan pemberiaan satu antibiotic aktif untuk P. aeruginosa pada
terapi empiris suspek VAP yang tidak memiliki faktor resiko resisten antimikroba,
dirawat di ICU dimana kurang dari 10% gram negative terisolasi resisten terhadap
agen monoterapi (rekomendasi lemah, very low-quality evidence).
6. Pada pasien dengan suspek VAP, kami merekomendasikan untuk menghindari
aminoglikosid jika agen alternative dengan aktivitas gram negative adekuat tersedia
(rekomendasi lemah, very low-quality evidence).
7. Pada pasin dengan suspek VAP, kami merekomendasikan untuk menghindari colistin
jika agen alternative dengan aktivitas gram negative adekuat tersedia (rekomendasi
lemah, very low-quality evidence).
Values and preference: Rekomendasi ini adalah bentuk kesepakatan antara tujuan
dalam menyediakan antibiotic yang sesuai dan menghindari terapi yang tidak berguna
yang dapat memicu timbulnya efek samping obat, infeksi Clostridium difficile,
resistensi antibiotic, dan pembiayaan yang mahal.
Remark: faktor resiko untuk resistensi antibiotic tertera pada Tabel 2. Batas 10%20% untuk menentukan ya atau tidak untuk MRSA dan 10% untuk menentukan ya
atau tidaknya meresepkan satu anti pseudomonal atau dua yang dipilih oleh panelis
dengan tujuan memastikan bahwa 95% pasien menerima terapi empiris aktif untuk
pathogen yang serupa, ketika menerapkan rekomendasi ini, orang di ICU diharapkan
melakukan modifikasi capaian ini. Jika pasien memiliki struktur penyakit paru yang

beresiko tinggi sebagai infeksi gram negative (contoh: bronkiekstasis atau cystic
fibrosis), maka direkomendasikan memberikan dua agen antipseudomonal.
Rangkuman Bukti
Studi surveilan mengatakan bahwa organism yang pasling sering berhubungan dengan VAP
di United States adalah S. aureus (mencapai 20%-30% dari isolate), P. aeruginosa (mencapai
10%-20% dari isolate),kuman basil gram negative enteric (mencapai 20-40% dari isolate) dan
Acinetobacter baumannii (mencapai 5%-10% dari isolate). Organism ini juga paling sering
teridentifikasi di program surveilan inernasional, dimana paling banyak ditemukan P. aeruginosa
dan A. baumannii.
Banyak dari organism ini, di United State ataupun lainnya, resisten terhadap antibiotik. Ini
sama terjadi pada studi surveillans yang dilaporkan pada hampir 50% dari S. aureus terisolasi
resisten terhadap methicillin (MRSA), 28%-35% dari P.aeruginosa resisten terhadap cefepim,
19%-29% P. aeruginosa resisten terhadap piperacillin tazobactam, dan 56%-61% dari A.
baumannii resisten terhadap carbapenem.
Banyak studi observasional yang mengatakan bahwa terapi inadekuat dan atau tertunda
berhubungan dengan tingginya angka mortalitas pada pasien VAP. Pada meta-analisis dari 9 studi
observasional (813 pasien), terapi antibiotik yang tidak adekuat berhubungan dengan resiko
tinggi kematian (OR, 2.34; 95% CI, 1.513.62).
Sistematik review tidak mengidentifikasi randomized control trial (RCT) membandingkan
regimen dengan atau tanpa agen aktif satu atau lebih dati pathogen potensial resisten yang
berhubungan dengan VAP. Meskipun demikian, luasnya studi pada hubungan terapi inadekuat
dan tertundanya terapi dengan outcome yang buruk menyarankan untuk memberikan regimen
terapi empiris pada VAP sebaiknya dengan agen yang aktif pada pathogen tersebut.

Cakupan gram positif


Data untuk agen yang aktif terhadap MRSA terbatas. Vancomicin dan linezolid telah
dipelajari dengan baik. Meta-analisis dari RCT membandingkan vankomisin dan linezolid
menunjukkan bahwa kedua obat tersebut akan menghasilkan outcome klinis yang serupa. Pilihan
lain secara teori termasuk Teicoplanin, telavancin, ceftaroline, dan tedizolid. Dua peneletian
randomized trial mengevaluasi teicoplanin vs vancomicyn atau linezolid untuk infeksi gram
prositif. Namun, kedua penelitian tersebut melibatkan infeksi multiple dan jumlah pasien
pneumonia yang sedikit, dan jumlah pasien dengan MRSA pneumonia juga sedikit.m dengan
demikian diperlukan lebih banyak bukti untuk menentukan peran dari teicoplanin pada pasoen
dengan HAP/VAP. Dua RCT membandingkan telavancin dan vankomisin menemukan hasil yang
sama untuk kedua agen, tapi <10% dari pasien dalam uji coba ini memiliki MRSA VAP, dan
pasien dengan disfungsi ginjal sedang sampai berat (creatinin clearance <50 mL/menit)memiliki
tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada kelompok telavancin. Tidak ada RCT yang
mengevaluasi ceftaroline atau tedizolid untuk terapi VAP MRSA. Daptomycin tidak aktif oleh
surfaktan dan karena itu tidak digunakan untuk pengobatan pneumonia. RCT membandingkan
tigecycline dengan imipenem dan ceftobiprole dengan ceftazidime mencatat tingkat kesembuhan
klinis antara pasien VAP tigecycline dan ceftobiprole secara signifikan lebih rendah.
Cakupan gram negative
Pilihan antibiotik untuk menangani gram negative lebih banyak. Kami mengidentifikasi 29
RCT yang membendikan perbedaan regimen gram negative untuk terapi empiric pada VAP.
Regimen yang diuji sangat bervariasinamun termasuk perbandingan dalam dan di antara
carbapenems, sefalosporin, penisilin antipseudomonal, aminoglikosida, kuinolon, aztreonam, dan
tigecycline baik digunakan sendiri atau dalam bentuk kombinasi. Secara individu, tidak satupun

dari uji coba ini memiliki perbedaan yang signifikan dalam tingkat respons klinis atau kematian
antara pembanding lengan dengan pengecualian dari tigecycline dan doripenem, yang keduanya
dikaitkan dengan hasil buruk. Kami tidak mengidentifikasi adanaya adanya RST yang
mempelajari tentang colistin sebagai terapi empiris untuk VAP, namun sistematik revies dan
meta-regression dari studi obsrvasional membandingkan colistin dengan antibitoik lain
meneemukan bahwa tidak ada perbedaan pada respon klini, tingkat mortalitas dan nefrotoksik.
FDA US mengakui 2 cefalosporin beta lactase kombinasi ceftolozane-tazobactam dan
ceftazidime-avitabcatam, untuk terapi pada komplinasi salunan kemih dan infesksi abdomen.
Agen ini aktif terhadap P.aeruginosa dan bateri gram negative yang lain, namun efetifiktas pada
VAP belum diketahui.
Kami melakukan meta analisis berseri membandingkan setiap antibiotik untuk semua kelas
untuk mengevaluasi setiap kelas antibiotik lebih unggul dari yang lain. Untuk masing-masing
kelas, kami mengidentifikasi semua RCT perbandingan kelas antibiotik. Percobaan ini
mengkombinasikan penggunaan efek model secara random. Kesimpulan rist rasio untuk
kematian , respon klinis, dan rsistensi obat serta efek samping tersedia pada bagian suplemen.
Tidak ada perbedaan yang signifikan untuk untuk tingkat mortalitas, respon klini, rsistensi dan
efek samping untuk pasien yang diberi cephalosporin vs nonsefalosorn atau antipseumonal
penilin vs nonantipseudomonnal penicillin.
Kombinasi vs monoterapi untuk terapi empiris gram negative suspek VAP
Kami mengevaluasi perbedaan outcome pada pasien secara random penggunaan satu vs dua
antibiotik antipseudomonal. Kami menggunakan 7 penelitian yang eligible. Tidak ada perbedaan
mortalitas, respon klini, rsistensi dan efek samping antara monterapi dan kombinasi.

Bagaimanapun panel menyingkirkan pasien denga penyakit comorbid dan pasien tau untuk
dikolonisasi resisten pathogen.
Pewarnaan Gram
Peran pewarnaan Gram dalam memandu terapi empiris VAP masih belum jelas.Beberapa
studi menyarankan bahwa ketiadaan organisme gram positif pada pewarnaan Gram membuat
S.aureus lebih mungkin muncul saat dikultur. Namun, metaanalisis terbaru pada studi
observasional, menemukan sebuah kecocokan antara pewarnaan Gram dengan kultur akhir. Pada
tes Kappa didapatkan angka 0,40 (95% CI 0,34-0,46) untuk organisme gram positif dan 0,30
(95% CI 0,25-0,36) untuk organisme gram negatif. Peneliti tidak mengidentifikasi evaluasi RCT
penggunaan pewarnaan gram untuk melakukan pilihan pada terapi empiris.

Skrining Surveilans S.aureus


Banyak rumah sakit melakukan skrining surveilans MRSA pada beberapa pasien ataupun
seluruh pasien. Sensitivitas skrining MRSA bervariasi menurut tempat anatomis dan metode
isolasi yang digunakan (hidung dibandingkan orofaring, kultur konvensional dibandingkan reaksi
rantai polymerase). Data observasional menyarankan bahwa persetujuan atau skrining positif
MRSA meningkatkan kemungkinan bahwa infeksi klinis disebabkan oleh MRSA. Asosiasi ini
sangat kuat, namun untuk infeksi pada kulit dan infeksi jaringan lunak. Hanya sekitar 30%
infeksi saluran pernapasan disebabkan oleh MRSA pada pasien dengan hasil skrining MRSA
positif. Lalu, hasil skrining MRSA negatif perlu diinterpretasikan dengan konteks prevalensi
lokal MRSA. Dalam keadaan dimana prevalensi infeksi saluran pernapasan yang disebabkan
oleh MRSA rendah, hasil skrining nasal negatif mengindikasikan bagwa pneumonia bukan
disebabkan oleh karena MRSA dan bahwa cakupan anti MRSA dapat diabaikan. Dalam keadaan

dengan rasio prevalensi MRSA yang tinggi, skrining MRSA negatif menurunkan kemungkinan
bahwa infeksi disebabkan oleh MRSA tapi tidak menutup kemungkinan tersebut. Dalam keadaan
ini, beberapa studi menemukan bahwa 75% dari pasien dengan penyakit yang kritis dengan
infeksi saluran pernapasan bawah akibat MRSA memiliki hasil skrining MRSA negatif pada
hasil kultur MRSA nasal. Peneliti tidak melakukan identifikasi evaluasi RCT pengguanaan
skrining MRSA untuk menginformasikan pemilihan terapi empiris untuk VAP.
Alasan untuk Rekomendasi
Memilih terapi empiris untuk suspek VAP secara klinis merupakan hal yang sulit antara
memulai pemberian antibiotik adekuat lebih awal dan membatasi cakupan yang tidak berguna.
Menunda terapi dan gagal menangani pathogen kausatif pasien, keduanya berkaitan dengan
angka mortalitas yang tinggi. Sebaliknya, cakupan luas dan terapi yang lebih lama meningkatkan
risiko efek samping obat, infeksi C.difficile, dan resistensi mikroba. Rekomendasi umum adalah
dengan menyelaraskan terapi dini dan agresif dengan terapi dini dan tidak meningkatkan
agresivitas.
Data surveilans nasional dan internasional mendukung bahwa masalah besar dari VAP
disebabkan oleh MRSA dan gram negatif yang resisten. Kecuali kalau data lokal atau regional
yang menunjukkan patogen dan atau pola resistensi mikrobial yang berbeda secara signifikan
dari rasio yang telah dijelaskan sebelumnya telah tersedia, cakupan empiric harus mencakup
agen aktif melawan MRSA dan sedikitnya 2 agen aktif melawan organism gram negatif,
termasuk P.aeruginosa. Alasan dari mencakup 2 agen gram negatif dalam regimen empiris adalah
untuk meningkatkan kemungkinan bahwa sedikitnya ada satu agen yang aktif dalam melawan
patogen pada pasien. Di lain sisi, jika data regional atau local mendukung sebuah prevalensi
rendah dari MRSA dan rasio resistensi antibiotik yang rendah diantara gram negatif, maka

kemudian agen aktif tunggal melawan baik P.aeruginosa dan MRSA atau satu agen aktif
melawan MSSA dikombinasikan dengan satu agen aktif melawan Pseudomonas dan gram
negatif lain sudah cukup adekuat.
Terapi empiris harus disesuaikan dengan faktor risiko spesifik yang ada pada pasien
mengenai patogen yang resistensi antimikrobial dan distribusi patogen dan resistensi antibiotik
dalam lingkungan praktik lokal. Tidak semua pasien memerlukan cakupan empiris maksimal.
Faktor spesifik yang ada pada pasien dapat dipertimbangkan seperti hasil kultur sebelumnya dan
pola resistensi antimikrobial, riwayat antibiotik sebelumnya, riwayat dirawat di rumah sakit
sebelumnya, dan keparahan penyakitnya. Faktor risiko terhadap patogen yang resisten antibotik
dijabarkan pada Tabel 2. Nilai prediksi positif dari faktor risiko individu terhadap kejadian
resistensi obat bervariasi dan tidak sempurna ; oleh karena itu, klinisi juga harus
mempertimbangkan prevalensi lokal dari patogen yang resisten terhadap obat ketika memilih
regimen empiris. Cakupan untuk MRSA dan basil gram negatif yang resisten masih sesuai pada
pasien tanpa faktor risiko spesifik terhadap patogen yang resisten jika prevalensi lokal patogen
yang resisten antibiotik tinggi. Sebaliknya, cakupan spectrum sempit mungkin masih sesuai pada
pasien tanpa faktor risiko spesifik untuk patogen yang resisten antibiotik dilakukan penanganan
dilokasi dengan prevaleni organism yang resisten antibiotik rendah.
Tidak ada data yang dapat menunjukkan frekuensi organism spesifik apa atau rasio
resistensi antibiotik yang dapat digunakan ketika mendesain regimen empiris untuk memastikan
cakupan. Panel menunjukkan bahwa rasio resistensi methicillin S.aureus di tingkat ICU 10%20% manfaat memilih agen aktif gram positif melawan MRSA, dan bahwa rasio resistensi gram
negatif di tingkat ICU 10% terhadap agen yang dipertimbangkan untuk manfaat monoterapi
empiris gram negatif menggunakan 2 agen gram negative untuk terapi empiris terhadap suspek

VAP. Alasan untuk membandingkan ambang batas terendah antara gram negatif dan gram positif
adalah karena gram negatif lebih sering terkait dengan kejadian VAP ; karenanya, terdapat
peningkatan risiko terhadap tidak adekuatnya cakupan empiris gram negatif. Panel menyadari
bahwa perhitungan total rasio resistensi VAP gram negatif terhadap pemilihan antibiotik
potensial dalat menjadi sebuah tantangan karena hal ini membutuhkan pengetahuan akan
prevalensi lokal organism terkait VAP dan rasio resistensi mereka terhadap seluruh pilihan
antibiotik. Untuk rumah sakit yang tidak dapat menghitung rasio resistensi VAP gram negatif
untuk setiap antibiotic, rasio resistensi untuk Pseudomonas patut dipertimbangkan, meskipun
konservatif, mikroba yang mewakili seperti Pseudomonas adalah organism gram negatif yang
paling sering berkaitan dengan VAP dan cenderung memiliki rasio resistensi yang tinggi
dibandingkan dengan gram negatif lain yang menyebabkan VAP.
Ambang batas yang dipilih oleh panel dipilih untuk mencoba meminimalisir kemungkinan
ketidaksesuaian cakupan dimana mengenali penggunaan cakupan antibiotik spectrum luas yang
tidak benar untuk seluruh pasien dalam semua keadaan tidak penting dan berpotensi
menimbulkan masalah. Dalam mencapai ambang ini, panel mempertimbangkan jumlah pasien
yang memerlukan perawatan untu mencapai keuntungan bagi suatu individu. Contohnya, jika
rerata prevalensi S.aureus di VAP sekitar 25%, kemudian rasio resistensi methicillin sebesar 1020% menandakan bahwa hanya 2,5-5% pasien VAP mungkin disebabkan oleh MRSA dan
mayoritas pasien tidak mendapat keuntungan dari cakupan MRSA. Namun, rasio prevalensi
MRSA yang tinggi akan meningkatkan presentase pasien yang akan mendapatkan keuntungan
dari cakupan MRSA. Kita mengetahui bahwa memberikan data yang tidak cukup lengkap untuk
mengoptimalsisasi ambang batas untuk memperluas cakupan, tiap individu dapat menyesuaikan
ambang batas tersebut sesuai dengan nilai-nilai dan preferensi lokal. Kami menandai bahwa

panduan penyakit infeksi yang lain menyarankan ambang batas yang mirip untuk
menginformasikan pilihan antibiotik empiris. Kami percaya bahwa penelitian lebih lanjut pada
ambang batas optimal untuk memilih regimen empiris luas dibandingkan sempit merupakan hal
yang utama.
Panel merekomendasikan vancomycin atau linezolid untuk cakupan empiris MRSA,
dibandingkan agen lain, berdasarkan beberapa percobaan dalam membandingkan beberapa agen
tersebut. Karena efek vancomycin dan linezolid dalam memberikan hasil secara klinis kurang
lebih sama, pilihan akhir harus ditentukan berdasarkan hitung sel darah, fungsi renal, adanya
resep yang bersamaan dengan serotonin-reuptake inhibitor, dan biaya.
Panel menyarankan bahwa monoterapi dengan agen aktif melawan baik MSSA dan
Pseudomonas akan cukup adekuat pada pasien tanpa faktor risiko terhadap patogen resisten
antimikrobial dalam menerima perawatan dalam keadaan rasio prevalensi MRSA dan gram
negatif resisten yang rendah. Agen yang mungkin adalah piperacillin-tazobactam, cefepime,
levofloxacin, imipenem, atau meropenem. Panel memperingatkan klinisi bahwa resistensi
quinolon lebih sering terjadi pada MSSA dibandingkan dengan resistensi terhadap pilihan lain.
Jika infeksi diyakini disebabkan oleh MSSA, panel menyarankan memilih agen spectrum sempit
yang lebih sedikit menimbulkan resistensi seperti cefazolin, oxacillin, atau nafcillin.
Panel menyarankan penggunaan 2 agen antipseudomonal dari 2 kelas berbeda untuk terapi
empiris pada pasien dengan faktor risiko terhadap patogen resisten antibiotik sebaik pasien
menerima perawatan dimana >10% dari VAP mengalami resistensi terhadap agen yang diberikan
secara monoterapi. Kami menyarankan ini meskipun metaanalisis yang telah dilakukan panel
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal mortalitas, respon klinis, efek samping, atau
rasio resistensi yang terjadi antara pemberian regimen 1 agen antipseudomonal dibandingkan 2

agen antipseudomonal. Panel memperhatikan bahwa data percobaan yang kami ulas tidak dapat
dilakukan pada seluruh pasien dengan VAP karena kebanyakan studi secara spesifik
mengeksklusi pasien yang didapatkan hasil kolonisasi patogen resisten antimikrobial dan pasien
dengan peningkatan risiko patogen resisten. Panel percaya bahwa data tersebut dapat
diberlakukan pada pasien dengan risiko patogen resisten yang rendah atau pada pasien yang
memiliki hasil patogen resisten yang dieksklusi. Data tersebut menyarankan bahwa meskipun
patogen telah diidentifikasi dan faktor kerentanan telah diketahui, tidak ada alasan untuk
melanjutkan terapi kombinasi.
Panel secara tidak merekomendasikan carbapenem sebagai agen empiris pilihan untuk VAP
meskipun metaanalisis kami menyatakan bahwa carbapenem berkaitan dengan mortalitas yang
rendah dalam kasus VAP. Hal ini disebabkan karena panel memperhatikan bahwa semua studi
carbapenem hanya mengevaluasi pasien dalam hasil jangka pendek. Beberapa studi sekarang
mengaitkan carbapenem dengan pemilihan organisme resisten antibiotik dan C.difficile dalam
tingkat rumah sakit, mencakup organisme yang resisten terhadap agen lain daripada carbapenem.
Selain itu, meskipun sedikit jumlah studi yang mengumpulkan dan melaporkan perkembangan
resistensi carbapenem (hanya 7 studi), metaanalisis standar kami menunjukkan bahwa
kecenderungan terhadap peningkatan risiko dalam berkembangnya resistensi (RR, 1,40 ; 95% CI,
0,95-2,06 ; P=0,08), dan analisis Bayesian kami menunjukkan bahwa 96% kemungkinan
berkembangnya resistensi carbapenem dalam penggunaan carbapenem empiris. Hal ini
dimungkinkan bahwa mortalitas jangka pendek mungkin sebanding dengan bahaya jangka
panjang. Dengan catatan, peningkatan signifikan resistensi antibiotik dan kurangnya manfaat
kelangsungan hidup dengan menggunakan carbapenem dibandingkan dengan antibiotik lain
diamati oleh analisis panel kami dalam terapi HAP/VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa.

Akhirnya, rasio resistensi carbapenem telah meningkat semenjak publikasi dari berbagai studi
termasuk dalam analisis kami, dan maka dari itu rekomendasi dalam memilih carbapenem tidak
sesuai dengan beberapa ICU sementara. Kami percaya bahwa ini merupakan area kritis untuk
penelitian selanjutnya.
Panel menyarankan menghindari penggunaan aminoglikosida ketika menghadapi agen
alternatif dengan aktivitas gram negatif tersedia, karena aminoglikosida tidak dapat melakukan
penetrasi ke paru dengan baik, dan meningkatkan risiko nefrotoksisitas dan ototksisitas, dan
metaanalisis kami menyarankan bahwa aminoglikosida berkaitan dengan respon klinis yang
buruk dibandingkan dengan kelas lainnya.
Meskipun tidak ada percobaan randomisasi dalam menilai polimycin (colistin atau
polymyxin B) sebagai terapi empiris untuk VAP, polimyxin masih merupakan komponen
regimen empiris dengan rasio resistensi yang tinggi dibandingkan dengan agen dari kelas
lainnya. Di beberapa ICU, organisme yang sensitif terhadap colistin saja, berperan dalam >20%
kasus VAP gram negatif. Di ICU, dalam keadaan sulit tersebut, termasuk colistin dalam regimen
empiris dapat meningkatkan frekuensi terapi empiris antibiotik yang sesuai. Namun, terdapat
keterbatasan data dalam hal bagaimana agen tersebut dapat mempengaruhi rasio nefrotoksisitas,
resistensi colistin, dan rasio mortalitas selama jangka waktu lama. Penggunaan berlebihan dari
polymyxin dapat mengancam perannya sebagai antibiotik gram negatif.
Akhirnya, panel secara yakin menyarankan para klinis untuk mempertimbangkan semua
data yang berkaitan baik pasien mereka secara individu maupun tempat prektik mereka untuk
dapat menentukan pilihan terapi empiri untuk tiap pasien mereka. Faktor yang perlu
dipertimbangkan antara lain kepercayaan diri klinisi bahwa pasien benar benar mengidap
pneumonia, faktor risiko pasien terhadap patogen resisten obat, alergi obat pada pasien, dan

keparahan penyakit, hasil dari kultur secara klinis, hasil dari skrining MRSA, morfologi dan
kuantitas organisme pada pewarnaan Gram, dan distribusi lokal organisme dan pola resistensi
terkait VAP. Beberapa dari faktor tersebut dapat membuat klinisi menyertakan cakupan MRSA
bahkan apabila prevalensi lokal resistensi methicillin mencapai 10-20% (sebagai contoh, jika
pasien sakit berat dan memiliki hasil dengan kualitas yang bagus pewarnaan Gram ETA cocci
gram positif dengan ditemukannya hasil skrining surveilans nasal positif untuk MRSA).
Sebaliknya, beberapa faktor dapat secara jelas mendukung keputusan untuk mengabaikan
cakupan MRSA bahkan dengan unit yang memiliki rasio resistensi antibiotic yang tinggi
(misalnya jika dugaan klinis terhadap pneumonia relatif rendah, pasien tidak tampak sakit berat,
dan tidak memiliki faktor risiko terhadap patogen resisten obat, dan hasil pewarnaan Gram yang
baik menunjukkan basil gram negatif saja dari sekret pulmoner).
Kebutuhan Penelitian
Masih diperlukannya data lebih untuk memandu pemilihan antara regimen empiris spectrum luas
atau spectrum sempit. Beberapa data juga masih diperlukan dalam hal perbedaan efek terapi dari
regimen empiris yang berbeda dalam rasio resistensi antimikrobial dan efek jangka panjang
terapi pada tingkat individu maupun tingkat populasi, seperti mortalitas dan resistensi antibiotic.
XI. Perlukah Pemilihan Regimen Antibiotik Empiris untuk HAP (Bukan VAP) Dipandu
berdasarkan Data Lokal Resistensi Antibiotik?
Rekomendasi
1. Kami merekomendasikan semua rumah sakit secara rutin membuat dan menyebarluaskan
antibiogram lokal, idealnya satu yang disesuaikan dengan populasi HAP mereka, jika
memungkinkan
2. Kami merekomendasikan regimen antibiotik empiris didasarkan pada distribusi lokal
patogen yang berkaitan dengan HAP dan kerentanan antimikrobial mereka.

Catatan : Frekuensi mengenai distribusi patogen dan kerentanan antimikrobial mereka


untuk dapat diperbarui harus ditentukan oleh lembaga. Pertimbangan harus mencakup
tingkat perubahan mereka, sumber daya, dan jumlah data yang tersedia untuk analisis
Rangkuman Bukti
Kami melakukan ulasan sistematik baik dari percobaan randomisasi dan studi
observasional untuk menentukan prevalensi organisme penginfeksi dalam HAP. Studi yang
dipublikasi sebelumnya pada tahun 2000 dieksklusi karena adanya perubahan pola resistensi dan
prevalensi organisme waktu demi waktu. Kami memilih 24 studi yang menyajikan data yang
relevan. Studi mendata pasien yang rata-rata berada di Amerika Utara, Eropa, dan Asia, dan
persentase kecil dari Amerika Selatan. Metaanalisis mendapati frekuensi patogen yang
berpotensi mengalami resistensi obat : basil gram negatif non fermentasi glukosa (19% [95% CI,
15-24%] dari isolasi, dengan spesies Pseudomonas sejumlah 13% [95% CI, 10-17%] dan spesies
Acinetobacter sejumlah 4% [95% CI, 2-6%]), basil gram negatif enteral (16%[95% CI, 13-20%]
dari isolasi), S.aureus (16% [95% CI, 12-21%] dari isolasi), MRSA (10% [95% CI 6-14%] dari
isolasi), dan MSSA (6% dari isolasi). Terdapat variasi rasio isolasi patogen spesifik dalam
beberapa studi, tapi tahun studi dan area geografis tidak diperhitungkan dalam variasi, dengan
pengecualian pada spesies Acinetobacter. Spesies Acinetobacter meningkat dalam prevalensi
studi yang dipublikasi dari tahun 1994 dan 1999 dengan studi antara tahun 2006 dan 2012, dan
merupakan penyebab tersering HAP di Asia daripada di Eropa dan US. Satu studi tidak
dimasukkan dalam metaanalisis karena jumlah obsevasi tidak dapat ditentukan ; namun, eksklusi
dari studi merupakan hal yang salah karena hasil dari studi dan metaanalisis sesuai.
Telaah

sistematis

memiliki

keterbatasan

yang

harus

dipertimbangkan

sebelum

mengaplikasikan temuan dalam praktik klinis. Terdapat variasi signifikan dalam beberapa studi

berdasarkan baik pasien merupakan pasien dengan supresi imun atau tidak, ataupun tidak
memiliki patogen yang sesuai ; mengikutsertakan pasien dengan hasil mikrobiologi positif dapat
menyebabkan bias pada data dalam merefleksikan pasien sakit, karena pasien dengan penyakit
berat akan didapati hasil mikrobiologi positif dan lebih condong mengalami infeksi oleh patogen
resisten obat. Terdapat variasi dalam unit analisis (misal pasien atau isolat) Karena sensitivitas
antibiotic spesifik tidak dilaporkan dalam kebanyakan studi, hasil merefleksikan organisme yang
berpotensi resistensi obat, bukan rasio resistensi antibiotic.
Flora antimikrobial dan pola resistensi dapat bervariasi dalam beberapa negara, wilayah,
rumah sakit, ICU di rumah sakit, dan sumber spesimen (misal paru dibandingkan spesimen lain).
Hal ini diilustrasikan dalam studi observasional yang diikuti 405 pasien yang dirawat karena
indikasi medis, bedah, ataupun trauma di ICU rumah sakit besar, dan diikuti perkembangannya
selama 3 bulan. Terdapat perbedaan yang signifikan dari kerentanan antibiotik di ICU untuk
spesies S.aureus, Enterococcus, Acinetobacter, Enterobacter, Klebsiella, dan Pseudomonas.
Namun, studi lain menemukan bahwa rasio resistensi yang dihitung di antibiogram seluruh
rumah sakit, direfeksikan dalam rasio resistensi yang didapatkan pada infeksi di ICU yang
didapat., meskipun frekuensi MRSA dapat diabaikan.
Alasan Rekomendasi
Untuk menyeimbangkan pencapaian tujuan dengan pemberian cakupan antibiotik dini yang
tepat dan menghindari terapi yang berlebihan yang dapat menyebabkan resistensi antibiotik dan
efek samping lainnya, pendekatan mencakup pemberian terapi antimikrobial spektrum luas
kepada pasien dengan kebutuhan yang disesuaikan, misalnya pada pasien dengan faktor risiko
terhadap patogen resisten antimikrobial dan kepada mereka yang berada di lingkungan yang
sering didapati patogen resisten antibiotik.

Mengidentifikasi pasien yang berada di dalam lingkungan dimana biasa sering terdapat
patogen resisten antibiotik membutuhkan baik penentuan prevalensi lokal dan pola resistensi
antibiotik. Distribusi patogen dan pola resistensi antibiotik berkaitan dengan HAP harus
ditentukan menggunakan data lokal dari tiap unit medis, apabila memungkinkan, karena flora
antimikrobial dan pola resistensi dapat bervariasi antara beberapa negara, wilayah, rumah sakit,
ICU, dan asal spesimen. Panel setuju bahwa penggunaan antibiogram lokal untuk
menginformasikan pemilihan antibiotik merupakan pendekatan untuk memulai cakupan
antibiotik dini yang sesuai tapi tidak melakukan terapi yang berlebihan.
XII. Antibiotik Apa yang Direkomendasikan untuk Terapi Empiris Suspek HAP (Bukan
VAP) Secara Klinis?
Rekomendasi (lihat Tabel 4 untuk Rekomendasi Antibiotik Spesifik)
1. Untuk pasien yang diterapi secara empiris sebagai HAP, kami merekomendasikan
pemberian obat antibiotik dengan aktivitas melawan S.aureus (rekomendasi kuat, kualitas
bukti sangat lemah)
i.
Untuk pasien dengan HAP yang diterapi secara empiris dan memiliki baik faktor
risiko terhadap infeksi MRSA (misal penggunaan antibiotik intravena sebelumnya
mencapai 90 hari, hospitalisasi dalam unit dimana >20% dari isolat S.aureus
resisten methicillin), atau prevalensi MRSA tidak diketahui, atau orang yang
berisiko tinggi terhadap mortalitas, kami menyarankan untuk menggunakan
antibiotik dengan aktivitas melawan MRSA (rekomendasi lemah, bukti sangat
lemah). (Faktor risiko terhadap mortalitas mencakuo kebutuhan bantuan ventilator
oleh karena HAP dan syok sepsis).

ii.

Untuk pasien dengan HAP yang memerlukan cakupan empiris terhadap MRSA,
kami merekomendasikan vancomycin atau linezolid dibandingkan dengan

iii.

antibiotik alternatif lain (rekomendasi kuat, bukti lemah).


Untuk pasien dengan HAP yang diterapi secara empiris dan tidak memiliki faktor
risiko terhadap infeksi MRSA dan tidak dalam risiko tinggi terhadap mortalitas,
kami menyarankan pemberian antibiotik dengan aktivitas melawan MSSA. Ketika
terdapat indikasi cakupan empiris untuk MSSA (bukan MRSA), kami
menyarankan regimen mencakup piperacillin-tazobactam, cefepime, levofloxacin,
imipenem, atau meropenem. Oxacillin, nafcillin, atau cefazolin biasanya lebih
sering digunakan pada kasus yang terbukti MSSA, namun tidak terlalu
bermanfaat untuk cakupan empiris HAP jika salah satu agen diatas digunakan

(rekomendasi lemah, kualitas bukti lemah).


2. Untuk pasien dengan HAP yang diterapi secara empiris, kami merekomendasikan
pemberian antibiotik dengan aktivitas melawan P.aeruginosa dan basil gram negatif lain
(rekomendasi kuat, kualitas bukti sangat lemah).
i.
Untuk pasien dengan HAP yang diterapi secara empiris dan memiliki faktor risiko
yang meningkatkan kemungkinan dari Pseudomonas atau infeksi gram negatif
lain (misal pemberian antibiotik intravena dalam waktu 90 hari) atau risiko tinggi
terhadap mortalitas, kami menyarankan pemberian antibiotik dari 2 kelas yang
berbeda dengan aktivitas melawan P.aeruginosa (rekomendasi lemah, kualitas
bukti sangat lemah). (Faktor risiko mortalitas mencakup kebutuhan bantuan
ventilator yang disebabkan oleh HAP dan syok sepsis). Seluruh pasien dengan
HAP yang diterapi secara empiris dapat diberikan antibiotik tunggal dengan
aktivitas melawan P.aeruginosa.

ii.

Untuk pasien dengan HAP yang diterapi secara empiris, kami merekomendasikan
tidak menggunakan aminoglikosida sebagai agen antipseudomonal (rekomendasi
kuat, kualitas bukti sangat rendah).
Nilai dan Rujukan : Rekomendasi ini adalah bentuk penyesuaian antara mencapai
tujuan dengan cakupan pemberian antibiotik dini secara tepat dan menghindari
pemberian terapi yang berlebihan yang akan menyebabkan efek samping, infeksi
C.difficile, resistensi antibiotik, dan peningkatan biaya.
Catatan : 20% ambang batas untuk menentukan apakah perlu atau tidak untuk
menargetkan

MRSA

atau

MSSA yang

dipilih

dalam

usaha

untuk

menyeimbangkan kebutuhan untuk terapi antibiotik awal yang efektif menghadapi


risiko penggunaan antibiotik yang berlebihan ; ketika menerapkan rekomendasi
ini, tiap individu dapat memilih untuk memodifikasi ambang ini. Jika pasien
memiliki penyakit struktural di paru yang meningkatkan risiko infeksi gram
negatif (misal brokiektasis atau fibrosis kistik), 2 agen antipseudomonal
direkomendasikan. Pewarnaan gram dengan kualitas tinggi pada spesimen di
sistem respirasi dengan jumlah yang didominasi basil gram negatif memerlukan
dukungan lebih lanjut untuk diagnosis pneumonia gram negatif, mencakup
fermentasi dan mikroorganisme yang tidak memfermentasikan glukosa.
Rangkuman Bukti
Pasien dengan HAP harus dihargai dengan melakukan terapi secara empiris untuk
S.aureus, metaanalisis kami dari 23 studi yang telah dijelaskan sebelumnya (lihat bagian XI)
ditemukaan bahwa MRSA dan MSSA dikaitkan dengan 10% dan 6% kasus HAP, secara
berurutan. Terapi awal yang tidak adekuat terhadap S.aureus dapat berkaitan dengan
meningkatnya mortalitas sesuai dengan studi observasional dari 165 pasien dengan HAP. Studi

menemukan bahwa terapi antibiotik yang tidak adekuat berkaitan dengan peningkatan mortalitas
(75% dibanding 22%, RR, 10,41 ; 95% CI, 2,01-53,95) dan peningkatan mortalitas yang
disebabkan oleh pneumonia (50% dibanding 15,1% ; RR, 4,92 ; 95% CI, 1,31-18,49). Studi ini
adalah bukti tidak langsung bahwa kegagalan untuk menargetkan secara adekuat terhadap
S.aureus meningkatkan mortalitas karena studi mengidentifikasi patogen kausatif dalam hanya
1/3 kasus dan diantara kasus yang patogennya dapat diidentifikasi, hanya <10% yang disebabkan
oleh S.aureus.
Dalam hal pemilihan antibiotik yang ditujukan untuk MRSA, panel menemukan batasan
bukti yang spesifik pada pasien dengan HAP dibandingkan dengan regimen yang lain. Panel
menentukan bahwa bukti yang penting untuk menginformasikan keputusan adalah dengan
membandingkan regimen yang berbeda seperti yang telah dijelaskan sebelumnya untuk VAP,
dimana tidak ditemukan perbedaan dalam hasil klinis ketika vancomycin dibandingkan dengan
linezolid (lihat bagian XV).
Pasien dengan HAP harus dihargai dengan melakukan terapi secara empiris untuk
P.aeruginosa dan basil gram negatif lain, metaanalisis kami dari 23 studi yang telah dijelaskan
sebelumnya ditemukaan bahwa P.aeruginosa dikaitkan dengan 13% kasus HAP dan 22% kasus
HAP berkaitan dengan basil gram negatif lain. Terapi awal yang tidak adekuat terhadap
P.aeruginosa dan basil grm negatif lain dapat berkaitan dengan meningkatnya mortalitas sesuai
dengan studi observasional dari 165 pasien dengan HAP yang telah dijelaskan sebelumnya. Studi
ini adalah bukti tidak langsung bahwa kegagalan untuk menargetkan secara adekuat terhadap
P.aeruginosa dan basil gram negatif lain meningkatkan mortalitas karena studi mengidentifikasi
patogen kausatif dalam hanya 1/3 kasus dan diantara kasus yang patogennya dapat diidentifikasi,
hanya <50% yang disebabkan oleh P.aeruginosa dan basil gram negatif lain.

Dalam hal penggunaan antibiotik tunggal atau 2 antibiotik untuk menargetkan


P.aeruginosa dan basil gram negative lain dalam HAP, kami menemukan batasan bukti yang
menyebabkan pertanyaan ini muncul pada pasien dengan HAP.
Dalam hal pemilihan regimen antibiotic, ulasan sistematis kami mengidentifikasi 10
percobaan randomisasi yang membandingkan regimen antibiotik pada populasi dewasa yang 2/3
nya merupakan pasien HAP dibandingkan VAP. Empat percobaan membandingkan carbapenem
dengan piperacillin-tazobactam, 5 percobaan membandingkan sefalosporin dengan antibiotic
alternatif lain dan 2 percobaan membandingkan antimikrobial baru (televancin atau tigecycline)
terhadap antibiotic alternatif. Metaanalisis kami dari 4 percobaan yang membandingkan antara
carbapenem dengan piperacillin-tazobactam menemukan tidak ada perbedaan dalam hal
mortalitas (RR unruk carbapenem, 0,94 ; 95% CI, 0,66-1,34). Enam percobaan sisanya tidak
dapat disatukan, namun semua percobaan menemukan bahwa tidak ada regimen antimikrobial
yang spesifik yang didemonstrasikan memiliki efek yang lebih baik daripada regimen
pembanding lain kecuali dari satu percobaan, yang memiliki keterbatasan dan tidak memiliki
perbedaan secara klinis yang signifikan.
Adanya hubungan dalam hal efek samping aminoglikosida dalam terapi pasien dengan
VAP, panel menduga adanya efek yang serupa dapat muncul pada pasien dengan HAP. Beberapa
regimen antimikrobial yang digunakan dalam percobaan mencakup aminoglikosida. Meskipun
efek samping tidak dibandingkan dengan regimen antimikrobial yang lain, insidensi gagal ginjal
dan vertigo/tinnitus pada pasien dengan HAP yang menerima regimen yang mengadung
aminoglikosida adalah 3% dan 2%, secara berurutan.
Meskipun tidak tersedia di US, ceftobiprole adalah sefalosporin baru dengan aktivitas
invitro melawan patogen tersering HAP, mencakup MRSA, spesies Enterobacter, dan

P.aeruginosa. Dalam studi terhadap 781 pasien dengan pneumonia nosokomial, yang terdiri atas
571 pasien dengan HAP, ceftobiprole memiliki rasio penyembuhan klinis dan rasio eradikasi
mikrobiologi yang sama dibandingkan dengan kombinasi ceftazidime dan linezolid untuk HAP
(bukan VAP). Terapi tambahan antipseudomonal diberikan kepada pasien dengan suspek infeksi
Pseudomonas.
Panel memiliki keperayaan diri yang rendah dalam badan bukti berikut : (1) prevalensi
yang diperkirakan dari patogen yang bervariasi, karena perkiraan didasarkan pada metaanalisis
yang tercakup dalam studi dengan risiko bias ; (2) efek yang diperkirakan dari terapi antibiotik
yang tidak adekuat pada pasien dengan HAP dengan ventilasi non-mekanik yang disebabkan
oleh P.aeruginosa dan basil gram negatif lainnya, karena studi tersebut adalah studi observasional
yang terbatas oleh ketidaklangsungan dari populasi (populasi adalah pasien dengan HAP yang
disebabkan oleh P.aeruginosa dan basil gram negatif lainnya, tapi populasi dalam studi adalah
pasien dengan HAP yang disebabkan oleh patogen yang bervariasi) ; (3) efek yang diperkirakan
dari regimen empiris yang bervariasi (termasuk monoterapi dibandingkan dengan terapi
kombinasi) karena mereka didasarkan pada metaanalisis dari percobaan randomisasi dengan
risiko bias dan ketidaklangsungan yang serius (ketidaklangsungan menggambarkan fakta bahwa
percobaan yang dilakukan pada pasien dengan HAP pada situasi yang berbeda menggunakan
protocol yang berbeda dan regimen yang berbeda) ; (4) efek samping yang diperkirakan dari
aminoglikosida karena mereka tidak dibandingkan terhadap grup kontrol (misal seri kasus
dengan percobaan randomisasi) ; (5) studi yang mengevaluasi efek dari terapi antibiotik yang
tidak adekuat pada pasien dengan HAP yang disebabkan oleh S.aureus, karena studi merupakan
studi observasional yang dibatasi oleh ketidaklangsungan dari populasi (populasi yang terlibat
adalah pasien dengan HAP yang disebabkan oleh patogen yang bervariasi ; dan (6) perkiraan

berasal dari perbandingan antara vancomycin terhadap linezolid karena mereka ditentukan
dengan metaanalisis dari percobaan randomisasi yang dibatasi oleh risiko bias dan
ketidaklangsungan (lihat bagian XV). Ketidaklangsungan merujuk pada metaanalisis mencakup
pasien dengan VAP, dimana populasi yang terlibat adalah pasien dengan HAP.
Alasan Rekomendasi
Bukti mengindikasikan bahwa 16% (95% CI, 12%-21%) dari kasus HAP disebabkan oleh
S.aureus. Panel setuju bahwa frekuensi ini sudah cukup untuk merekomendasikan bahwa semua
regimen empiris termasuk antibiotik dengan aktivitas melawa S.aureus, dalam sedikit bukti
bahwa terapi S.aureus yang tidak adekuat dapat meningkatkan mortalitas. Dengan kata lain,
panel menduga bahwa manfaat dari menurunkan mortalitas secara potensial melebihi efek
samping tambahan, beban, dan biaya yang termasuk antibiotik dengan aktivitas melawan
S.aureus. Rekomendasi ini kuat meskipun kualitas bukti sangat lemah karena panel menilai
bahwa dampak positif dari rekomendasi lebih penting bagi pasien daripada dampak negatif yang
ditimbulkan, oleh karena itu kebanyakan pasien yang diberitahu informasi dengan baik
menginginkan untuk menerima tambahan antibiotik.
Panel setuju bahwa penemuan 10% (95% CI, 6&-14%) dari kasus HAP yang disebabkan
oleh MRSA dibenarkan untuk diberikan antibiotik yang menargetkan MRSA terhadap semua
pasien dengan HAP. Faktor yang dipertimbangkan panel mencakup : pasien HAP cenderung
lebih tidak tampak sakit berat dibandingkan dengan pasien VAP, oleh karena itu, konsekuensi
negatif dari pemberian terapi antibiotik awal yang sesuai lebih tidak menimbulkan keparahan
dibandingkan terhadap pasien VAP ; data kultur seringkali tidak diperoleh dari pasien karena
sulitnya mendapatkan sampel sputum yang adekuat, oleh karena itu klinisi lebih sering
melanjutkan terapi dengan regimen spektrum luas sebagai terapi lanjutan karena tidak ada data

kultur yang menunjang, karena apabila terapi tidak adekuat akan menimbulkan kecenderungan
untuk terjadinya resistensi antibiotik.
Meskipun demikian, panel setuju bahwa cakupan empiris dari MRSA harus disediakan
bagi pasien dengan HAP yang baik memiliki faktor risiko meningkatkan kejadian infeksi MRSA
atau berisiko tinggi terhadap mortalitas. Analisis kami menemukan bahwa terapi antibiotik secara
intravena selama 90 hari sebelumnya sebagai faktor risiko terhadap pneumonia MRSA
nosokomial. Faktor lain yang meningkatkan kemungkinan terjadinya pneumonia MRSA
mencakup kolonisasi MRSA sebelumnya yang terdeteksi dari kultur nasal atau saluran napas
atau dari skrining bukan kultur dan pewarnaan Gram kualitas tinggi yang menunjukkan sejumlah
dan kokus gram positif dalam bentuk klaster yang menunjukkan morfologi spesies
Staphylococcus. Hospitalisasi dalam unit dimana >20% dari isolat S.aureus resisten methicillin
atau prevalensi dari MRSA tidak diketahui, meningkatkan risiko MRSA dibandingkan dengan
rumah sakit dimana MRSA diketahui jarang. Ambang batas 20% yang digunakan untuk baik
menentukan target atau tidak terhadap MRSA atau MSSA secara sembarang dipilih oleh panel
dalam rangka menyeimbangkan kebutuhan dari terapi antibiotik awal yang efektif menghadapi
risiko penggunaan antibiotik yang berlebihan. Risiko tinggi dari mortalitas ditentukan oleh panel
karena adanya kebutuhan dukungan alat ventilator yang disebabkan oleh pneumonia dan adanya
syok sepsis.
Panel memilih vancomycin atau linezolid untuk pasien dengan regimen antibiotik empiris
yang mencakup agen yang menargetkan MRSA. Hal ini didasarkan pada pengalaman klinis
dengan agen tersebut dan efek dari agen tersebut pada pasien dengan VAP. Karena efek dari
vancomycin dan linezolid dalam hal efek klinis serupa, pilihan akhir didasarkan pada beberapa

faktor seperti hitung sel darah, penggunaan bersama obat lain berupa serotonin-reuptake
inhibitor, fungsi renal, dan biaya.
Pasien dengan HAP yang tidak memiliki faktor risiko baik infeksi MRSA ataupun hasil
klinis yang buruk, dapat menerima regimen empiris yang mencakup antibiotic yang menargetkan
MSSA. Sebagai catatan, beberapa agen dapat termasuk dalam regimen empiris untuk HAP yang
disebabkan oleh aktivitasnya dalam melawan P.aeruginosa dan basil gram negatif yang juga
sesuai untuk cakupan empiris melawan MSSA. Regimen ini mencakup piperacillin-tazobactam,
cefepime, levofloxacin, imipenem, dan meropenem. Regimen antimikrobial empiris yang
mencakup salah satu dari agen tersebut, tidak memerlukan tambahan agen lain untuk
menargetkan MSSA. Jika infeksi MSSA sendiri telah diketahui, oxacillin, nafcillin, dan cefazolin
adalah antibiotik intravena spectrum sempit yang optimal dalam menerapi MSSA.
Bukti mengindikasikan bahwa sekitar 35% dari kasus HAP disebabkan oleh basil gram
negatif.Panel setuju bahwa prevalensi yang tinggi, dikombinasikan dengan kemungkinan dari
terapi tidak adekuat meningkatkan mortalitas, perintah bahwa semua regimen empiris
menargetkan P.aeruginosa dan basil gram negatif lain. Dengan kata lain, panel menduga bahwa
manfaat dari menurunkan mortalitas secara potensial lebih penting dari efek samping, beban, dan
biaya dalam menargetkan P.aeruginosa dan basil gram negatf lain. Rekomendasi ini kuat
meskipun kualitas bukti sangat rendah, karena panel menduga bahwa dampak positif dari
rekomendasi lebih penting bagi pasien daripada dampak negatif dan oleh karenanya pasien yang
diberitahukan secara baik akan menginginkan antibiotik dengan aktivitas melawan P.aeruginosa
dan basil gram negatif lain.
Regimen empiris harus mencakup satu antibiotik atau 2 antibiotik dengan aktivitas
melawan P.aeruginosa, panel mempertimbangkan bukti tidak langsung dari pasien dengan VAP.

Sama halnya dengan keputusan yang dibuat terhadap pasien VAP, panel juga mempertimbangkan
mengenai penerapan bukti ini kepada seluruh pasien dengan HAP karena kebanyakan studi
mengeksklusi pasien yang memiliki peningkatan risiko infeksi patogen resisten. Data merupakan
data yang dapat diterapkan pada pasien yang memiliki risiko rendah untuk patogen yang resisten
atau pada pasien yang memiliki patogen resisten telah dieksklusi. Panel berkesimpulan bahwa
pasien HAP dengan faktor yange meningkatkan kemungkinan infeksi gram negatif, mencakup
Pseudomonas, atau peningkatan risiko mortalitas harus mendapatkan antibiotic dari 2 kelas yang
berbeda dengan aktivitas melawan P.aeruginosa, dimana pasien tanpa faktor tersebut harus
mendapatkan hanya satu macam antibiotik. Panel setuju bahwa pendekatan ini adalah
penyeimbangan antara mencapai tujuan dengan melakukan cakupan antibiotik awal yang sesuai
untuk meningkatkan luaran klinis seperti mortalitas, serta menghindari terapi yang berlebihan
yang akan menyebabkan resistensi antibiotik, efek samping, dan peningkatan biaya.
Faktor yang meningkatkan kemungkinan infeksi gram negatif mencakup Pseudomonas,
yang merupakan bakteri yang diwarnai dengan pewarnaan Gram kualitas tinggi dari spesimen
saluran respirasi dengan jumlah dan basil gram negatif yang dominan, dan memiliki penyakit
paru struktural yang berkaitan dengan infeksi Pseudomonas (misal bronkiektasis dan fibrosis
kistik). Faktor risiko mencakup persyaratan dukungan ventilator yang disebabkan oleh
pneumonia dan adanya syok sepsis.
Pendekatan ini akan menurunkan jumlah pasien dengan HAP, yang kepada mereka
direkomendasikan pemberian 2 antibiotik dengan aktivitas melawan P.aeruginosa untuk terapi
empiris awal, dibandingkan dengan rekomendasi dari panduan HAP/VAP oleh ATS/IDSA tahun
2005. Panel setuju bahwa perubahan ini dijamin, terutama pada pertumbuhan prevalensi dari
C.difficile yang diinduksi reistensi antibiotik, dan kelangkaan antibiotik baru. Bukti

menyarankan bahwa basil gram negatif yang tidak memfermentasikan glukosa (misal
Pseudomonas dan Acinetobacter) dan basil enterik gram negatif sejumlah 19% (95% CI, 15%24%) dan 16% (95% CI, 13%-20%), secara berurutan, dari kasus HAP. Hal ini berarti bahwa
bahkan di rumah sakit dengan rasio resistensi antibiotik yang tinggi (misal 20% untuk basil gram
negatif yang tidak memfermentasikan glukosa dan 10% untuk basil enterik gram negatif), rasio
HAP yang disebabkan oleh basil gram negatif resisten antibiotik sekitar 5%. Oleh karena itu,
monoterapi pada gram negatif akan diperkirakan adekuat untuk 95% pasien dengan HAP. Tentu
saja, di rumah sakit dengan rasio reistensi antibiotik yang tinggi terhadap agen harus
dipertimbangkan untuk dilakukan monoterapi, sehingga penggunaan 2 agen antipseudomonal
harus dipertimbangkan.
Panel memilih untuk tidak merekomendasikan kelas antibiotic spesifik untuk menargetkan
P.aeruhinosa dan basil gram negative lain yang disebabkan oleh kurangnya bukti bahwa regimen
yang satu lebih baik daripada regimen lain. Pengecualian diberikan kepada aminoglikosida.
Panel memilih untuk merekomendasikan untuk tidak menggunakan aminoglikosida pada
beberapa situasi dikarenakan penetrasi paru yang buruk dan risiko nefrotoksisitas dan
ototoksisitas dengan tidak adanya peningkatan luaran klinis pada pasien dengan HAP, disertai
dengan bukti tidak langsung dari pasien dengan VAP dari luaran klinis yang minimal dan
meningkatnya efek samping.
Pasien dengan HAP onset awal (biasanya disebut sebagai pneumonia pada 4-7 hari waktu
perawatan) memiliki rasio pneumonia MDR lebih rendah dibandingkan pasien dengan HAP
onset akhir. Masih, sejumlah pasien dengan onset awal HAP terinfeksi patogen MDR,
dimungkinkan karena banyaknya risiko terjadinya patogen resisten, seperti mendapatkan terapi
antibiotik intravena sebelumnya. Kemudian, panel tidak merekomendasikan regimen antibiotik

lain untuk onset awal HAP, namun lebih melihat faktor risiko spesifik yang meningkatkan risiko
pada pasien diluar waktu sebagai HAP.
Meskipun tidak tersedia di US, ceftobiprole dapat menjadi pilihan untuk monoterapi HAP
apabila tersedia, yang akan memberikan hasil seperti dalam studi yang telah dijelaskan
sebelumnya.

OPTIMISASI FARMAKOKINETIK/FARMAKODINAMIK TERAPI ANTIBIOTIK


XIII.

Haruskah

Penentuan

Dosis

Antibiotik

Ditentukan

dari

Data

Farmakokinetik/Farmakodinamik (PK/PD) atau Informasi Obat Pabrik Obat pada Pasien


dengan HAP/VAP?
Rekomendasi
1. Untuk pasien dengan HAP/VAP, kami menyarankan bahwa menetukan dosis antibiotic
ditentukan menggunakan data PK/PD, dibandingkan dari informasi obat dari pabrik obat
(rekomendasi lemah, kualitas bukti sangat rendah).
Nilai dan Preferensi : Rekomendasi ini menempatkan nilai yang tinggi dalam
meningkatkan luaran klinis dengan mengoptimisasi terapi ; hal ini menurunkan nilai pada
beban dan biaya.
Catatan : Penentuan dosis yang dioptimalkan melalui PK/PD mengacu pada penggunaan
konsentrasi antibiotic darah, penambahan atau infus berkelanjutan, dan penentuan dosis
berdasarkan berat badan pada beberapa antibiotic.
Rangkuman Bukti
Ulasan sistematik kami mengidentifikasi 3 percobaan randomisasi dan 4 studi
observasional yang menghitung efek dari penghitungan dosis yang dioptimalisasi dari PK/PD

(misal penentuan dosis dipandu oleh monitoring efek terapeutik obat atau infuse berkelanjutan
secara intravena) pada luaran klinis. Metaanalisis dari 3 studi (satu percobaan randomisasi dan 2
studi observasional) menentukan bahwa penentuan dosis secara optimal melalui PK/PD dapat
menurunkan mortalitas (12% melawan 24% ; RR, 0,49 ; 95% CI, 0,34-0,72) dan lama perawatan
di ICU (selisih rerata, -2,48 hari ; 95% CI, -3,09 sampai dengan -1,87 hari). Metanalisis dari 5
studi (2 percobaan randomisasi dan 3 studi observasional) menemukan bahwa penentuan dosis
berdasarkan optimalisasi PK/PD meningkatkan rasio penyembuhan klinis ( 81% melawan 64% ;
RR, 1,40 ; 95% CI, 1,16-1,69). Manfaat dari optimalisasi PK/PD ini dapat juga dideteksi selama
perawatan infeksi dibandingkan dengan HAP/VAP.
Target PK/PD berkaitan dengan peningkatan hasil luaran klinis, telah dilaporkan dalam
beberapa studi observasional. Target PK/PD yang dilaporkan dari quinolon dan aminoglikosida
adalah konsisten, dimana target PK/PD yang dilaporkan dari betalactam adalah sangat bervariasi.
Kepercaryaan diri panel dalam memperkirakan efek dalam hal mortalitas, lama perawatan di
ICU dan rasio penyembuhan klinis pada pasien dengan HAP/VAP sangat rendah, karena
kebanyakan studi yang termasuk dalam metaanalisis adalah studi observasional dengan risiko
bias yang dikarenakan pengaruh yang besar dari studi observasional. Dalam hal metaanalisis
mortalitas dan lama perawatan di ICU, studi diikuti 638 dari 741 pasien (86%), dan dalam hal
metanalisis rasio penyembuhan klinis, studi diikuti 638 dari 908 pasien (70%). Maka, bukti
adalah bersifat tidak langsung untuk setiap kelas antibiotic atau pendekatan lainnya terhadap
optimalisasi PK/PD, karena beberapa kelas antibiotic dan strategi penentuan dosis (misal infus
berkelanjutan dan monitoring konsentrasi serum termasuk dalam studi di dalam metaanalisis.
Akhirnya, metaanalisis untuk penyembuhan klinis juga dibatasi oleh ketidakkonsistenan.
Alasan Rekomendasi

Panel secara hati-hati mempertimbangkan manfaat potensial dari penghitungan dosis


optimalisasi PK/PD (menurunkan mortalitas, menurunkan lama perawatan di ICU, dan
meningkatkan rasio penyembuhan klinis) dibandingkan dengan dampak negatif yang
ditimbulkan (pembebanan, biaya lebih, memungkinkan lebih toksisitas pada pasien yang
membutuhkan dosis yang lebih tinggi yang disebabkan oleh bersihan augmentasi). Lalu, panel
mempertimbangkan kemungkinan bahwa peningkatan rasio penyembuhan klinis dapat
memberikan efek perpendekan masa pemberian antibiotic, dan akhirnya lebih sedikit toksisitas
dan lebih sedikit resistensi. Pada dasar informasi ini, panel menentukan bahwa pasien dengan
HAP/VAP harus dilakukan penentuan dosis dengan optimalisasi PK/PD pada regimen
antimikrobial, daripada dengan hanya mengikuti anjuran dosis yang tertera di label obat. Panel
setuju bahwa manfaat potensial jauh lebih penting pada pasien daripada ketidaknyamanan dan
keterkaitan biaya pada pendekatan ini, dan setuju bahwa kepercayaan diri mereka yang rendah
dalam memperkirakan efek dari penentuan dosis yang dioptimaliasai dari PK/PD tidaklah cukup
untuk membenarkan pendekatan alternatif.
Alasan penggunaan penentuan dosis menggunakan optimalisasi PK/PD daripada
mengikuti anjuran dosis obat yang tertera pada label obat adalah baik. Distribusi dari beberapa
antibiotic dapat secara buruk diubah oleh perubahan patofisiologi yang biasa terjadi pada pasien
kritis, yang berakibat berubahnya farmakokinetik. Karena ICU juga biasanya berkaitan dengan
patogen yang sedikit rentan, kemungkinan penentuan dosis antibiotic standar mencapai target
PK/PD menjadi berkurang pada pasien yang kritis, yang mungkin dapat dijelaskan sebagian dari
luaran klinis yang diobservasi pada pasien HAP/VAP.
Penentuan dosis dengan optimalisasi PK/PD lebih memungkinkan membebani dan lebih
meningkatkan biaya dibandingkan dengan penghitungan dosis konvensional. Sebagai contoh,

pendekatan yang paling akurat dalam menentukan dosis paada pasien dengan HAP/VAP
memerlukan pengukuran konsentrasi antibiotic dalam darah dan kemudian menggabungkan hasil
pengukuran dengan perangkat lunak atau program penentuan dosis di computer. Biaya dan beban
meliputi edukasi, pengambilan sampel darah, melakukan pengujian kadar obat, dan membeli dan
mengunduh perbaruan program komputer atau perangkat lunak. Intervensi alternatif, seperti
infus rutin betalactam atau penentuan dosis berdasarkan berat badan pada pemberian
aminoglikosida adalah lebih tidak membebani dan mengeluarkan banyak biaya daripada
manajemen dengan menggunakan konsentrasi antibiotic dalam darah, namun masih lebih
membebani dibandingkan dengan penentuan dosis secara konvensional, karena staf klinis harus
dilatih dan diajari.
Tidak ada studi yang dipublikasi yang menjelaskan PK/PD dari piperacillin-tazobactam
atau polymyxins (colistin atau polymyxin B) pada pasien dengan HAP tersedia pada saat ini dan
oleh karenanya obat ini tidak dimasukkan ke dalam rekomendasi. Namun, penentuan dosis
optimal dari obat ini didasarkan pada bukti terbatas dan ekstrapolasi dari kelas obat yang serupa,
dinyatakan dalam tabel 3 (lihat bagian X).
Awalnya, Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) mempublikasikan laporan
dari penggunaan PK/PD terhadap pasien HAP yang disimpulkan bahwa bukti tidak
mempengaruhi penggunaan rutin dari PK/PD. Hal ini berlawanan dengan rekomendasi panduan
kami. Kami menyarankan bahwa alasan untuk kesimpulan yang berbeda antara laporan AHRQ
dan panduan kami berkaitan dalam hal berikut : (1) Kami menggunakan pertanyaan penelitian
pembeda dimana kami menggabungkan isu studi dalam bentuk pertanyaan tunggal PICO,
daripada 3 buah pertanyaan yang dijawab terpisah dalam laporan AHRQ ; (2) memberikan
perbedaan daripada metode AHRQ, kami dapat menggunakan metodologi metaanalisis untuk

menganalisa efek kombinasi dari studi, yang telah memberikan kepercayaan diri yang lebih
untuk menginterpretasikan efek relatif studi yang telah diidentifikasi ; dan (3) panduan
ATS/IDSA juga mengevaluasi studi non intervensional yang menganalisa hasil luaran pasien
dihubungkan dengan pajanan obat yang dioptimalkan ; studi ini tidak dievaluasi dalam laporan
AHRQ.

PERAN TERAPI ANTIBIOTIK INHALASI


XIV. Haruskah Pasien dengan VAP yang Disebabkan oleh Basil Gram Negatif Diterapi
dengan Kombinasi Antibiotik Sistemik dan Inhalasi, atau Antibiotik Sistemik Saja?
Rekomendasi
1. Untuk pasien dengan VAP yang disebabkan oleh basil gram negative yang rentan hanya
pada aminoglikosida atau polymyxin (colistin atau polymyxin B), kami menyarankan
baik memberikan antibiotic secara sistemik dan juga secara inhalasi, daripada
memberukan antibiotic sistemik saja (rekomendasi lemah, kualitas bukti sangat rendah).
Nilai dan Preferensi : Rekomendasi ini menempati nilai yang tinggi dalam mencapai
penyembuhan klinis dan angka bertahan hidup ; rekomendasi ini menempati nilai yang
rendah dalam hal beban dan biaya.
Catatan : Penting untuk mempertimbangkan terapi antibiotic tambahan sebagai terapi
akhir pada pasien yang tidak respons terhadap pemberian antibiotic intravena saja,
meskipun organisme penginfeksi merupakan atau bukan merupakan mikroorganisme
yang bersifat MDR.
Rangkuman Bukti
Ulasan sistematik kami mengidentifikasi 9 studi dari terapi antibiotic inhalasi sebagai terapi
tambahan terhadap pasien VAP yang disebabkan oleh basil gram negative. Lima dari studi

merupakan percobaan randomisasi, dan 4 studi lainnya merupakan studi observasional. Tiga
antibiotic inhalasi yang berbeda diberikan dalam 9 investigasi tobramycin, gentamicin, dan
colistin. Kebanyakan studi menyajikan informasi minimal mengenai alat dan metode yang
digunakan dalam pemberian antibiotic inhalasi. Organisme yang dominan terisolasi pada studi
adalah Klebsiella pneumonia MDR, P.aeruginosa MDR, dan A.baumannii MDR.
Metanalisis kami meneukan bahwa penambahan antibiotic inhalasi pada regimen antibiotic
sistemik, meningkatkan rasio penyembuhan klinis (misal resolusi dari tanda dan gejala dari
infeksi pernapasan) (RR, 1,29 ; 95% CI, 1,13-1,47), tapi tidak memiliki efek definitif dalam hal
mortalitas (RR, 0,84 ; 95% CI 0,63-1,12) atau nefrotoksisitas (RR, 1,11 ; 95% CI, 0,78-1,58).
Tidak ada efek merugikan lainnya pada pemberian antibiotic inhalasi. Hanya saja ketika
percobaan yang mengevaluasi colistin dikumpulkan, rasio penyembuhan klinis secara mirip
meningkat (RR, 1,28 ; 95% CI, 1,11-1,47).
Beberapa hasil luaran dilaporkan oleh beberapa studi. Satu percobaan menemukan bahwa
antibiotic inhalasi menurunkan frekuensi kebutuhan pemberian antibiotic intravena tambahan.
Dua studi mencari, namun tidak menemukan, peningkatan resistensi antibiotic pada pasien yang
mendapatkan tambahan antibiotic inhalasi. Dua studi melaporkan bahwa colistin inhalasi dapat
menurunkan durasi ventilasi mekanis. Efek dari pemberian antibiotic inhalasi pada lama
perawatan di ICU dan lama perawatan di rumah sakit tidak dievaluasi.
Kepercayaan diri panel dalam memperkirakan efek terapi antibiotic tambahan adalah
sangat rendah karena besarnya proporsi dari bukti yang digunakan untuk memperoleh perkiraan
merupakan data observasional yang terbatas oleh ketidaktelitian (misal kebanyakan studi adalah
kecil, dengan studi terbesar mencakup 208 pasien).
Alasan Rekomendasi

Panel menitikberatkan bukti pada keuntungan dari pemberian terapi antibiotic inhalasi
tambahan pada pasien dengan VAP yang disebabkan oleh basil gram negative (meningkatnya
rasio penyembuhan klinis) dibandingkan dengan dampak negative (meningkatnya beban dan
biaya) dalam konteks tidak adanya efek yang terbukti berpengaruh terhadap mortalitas, efek
samping, atau resistensi antibiotic. Panel setuju bahwa manfaat potensial lebih penting bagi
pasien daripada ketidaknyamanan dan biaya. Namun, panel mengakui memiliki kepercayadirian
yang sangat rendah dalam memperirakan efek dari tambahan terapi antibiotic inhalasi dan
menyadari bagwa banyak hal penting yang belum diketahui (misal dosis optimal, metode
pemberian yang optimal, populasi yang dapat memiliki manfaat). Untuk alasan ini, panel
memilih untuk merekomendasikan terapi tambahan antibiotic inhalasi pada pasien yang lebih
menunjukkan kebermanfaatan : secara spesifik pada mereka yang menderita VAP oleh karena
bakteri yang rentan terhadap kelas antibiotic yang memiliki keterbatasan bukti dalam hal efikasi
pemberian obat rute intravena saja (misal aminoglikosida atau colistin). Namun, panel juga
percaya bahwa mempertimbangkan pemberian terapi tambahan antibiotic inhalasi merupakan hal
yang beralasan untuk pilihan terapi terakhir pada pasien yang tidak responsive terhadap
pemberian antibiotic intravena saja, meskipun organisme penginfeksi merupakan organisme
MDR atau bukan MDR.
Alasan terapi tambahan antibiotic inhalasi adalah didasarkan pada observasi bahwa efikasi
antibiotic melawan bakteri dengan sekret purulen memerlukan konsentrasi antibiotic >10-25 kali
konsentrasi minimum inhibisi (MIC) ; kadar ini tidak dapat dicapai dengan terapi intravena saja,
dan oleh karena itu penambahan terapi antibiotic inhalasi dapat bermanfaat. Penemuan
konsentrasi antibiotic yang rendah dalam sekresi dan cairan epithelial paru selama terapi
intravena dengan aminoglikosida diketahui dengan jelas. Namun, hal ini juga muncul dengan

antibiotic lain dan korelasinya terhadap hasil luaran klinis masih belum diketahui. Studi dari
colistin intravena dosis tinggi menunjukkan bahwa konsentrasi dalam serum kurang lebih
mencapai MIC untuk Acinetobacter dan Pseudomonas ; konsentrasi di paru dan aliran udara
lebih rendah, sehingga efeknya subterapeutik. Penggunaan antibiotic pada kadar subterapeutik
dapat mengakibatkan terjadinya organisme resisten antibiotic.

Kebutuhan Penelitian
Terdapat beberapa informasi yang penting yang dibutuhkan tentang pemberian optimal
dan penentuan dosis terapi antibiotic inhalasi. Kemudian, percobaan klinis dibutuhkan yang
dapat mengevaluasi konsentrasi antibiotic untuk memastikan efikasi dalam konteks viskositas
sekret purulen. Durasi terapi antibiotic sistemik dan resistensi antibiotic adalah hal penting yang
harus dikaji dalam studi selanjutnya. Jika investigasi selanjutnya mendemonstrasikan bahwa
terapi tambahan inhalasi mengurangi durasi pemberian antibiotic sistemik dan mengurangi
resistensi, hal ini dapat memberikan dampak yang baik dalam menentukan keputusan terapi.

TERAPI SPESIFIK PATOGEN


XV. Antibiotik Apa Yang Harus Digunakan untuk Terapi MRSA HAP/VAP?
Rekomendasi
1. Kami merekomendasikan bahwa MRSA HAP/VAP diterapi dengan baik vancomycin atau
linezolid daripada dengan antibiotic atau kombinasi antibiotic (rekomendasi kuat, kualitas
bukti sedang)
Catatan : Pemilihan antara vancomycin dan linezolid dapat didasarkan pada faktor
spesifik pasien seperti hitung sel darah, pemberian bersama obat lain seperti serotoninreuptake inhibitor, fungsi renal, dan biaya.

Rangkuman Bukti
Ulasan sistematis kami mengidentifikasi 7 percobaan randomisasi yang ditujukkan dalam
pemilihan antibiotic untuk HAP/VAP yang disebabkan oleh MRSA. Empat percobaan
membandingkan linezolid dengan vancomycin. Tiga percobaan lainnya membandingkan
telavancin, quinupristin ditambah dalfopristin, atau vancomycin ditambah rifampin terhadap
vancomycin saja.
Linezolid merupakan alternatif yang banyak diteliti dalam studi dapat menggantikan
vancomycin bagi pasien denga pneumonia MRSA. Metaanalisis kami dari 4 studi tidak
menemukan adanya perbedaan mortalitas ketika dianalisis menggunakan strategi niat untuk
mengobati (RR 0,91 ; 95% CI, 0,71-1,16) atau modifikasi strategi niat untuk mengobati (RR,
0,82 ; 95% CI, 0,37-1,80). Kami juga menemukan tidak adanya perbedaan dalam hal rasio
penyembuhan klinis ketika dianalisis menggunakan strategi niat untuk mengobati ; namun,
terdapat perkembangan rasio penyembuhan klinis pada pasien yang mendapatkan terapi linezolid
ketika dianalisis menggunakan strategi modifikasi niat untuk mengobati (RR, 1,18 ; 95% CI,
1,00-1,40). Penggunaan analisis modifikasi niat untuk mengobati masih controversial karena
hal ini mencakup pasien eksklusi yang diikutsertakan dalam randomisasi. Linezolid dan
vancomycin nampaknya memberikan perbedaan yang tidak jelas dalam hal nefrotoksisitas,
trombositopenia, kejadian efek samping serius, atau kebutuhan untuk menghentikan terapi
dikarenakan adanya efek samping.
Tidak ada dari percobaan yang menunjukkan kelebihan yang nyata dari antibiotic
alternatif atau regimen vancomycin saja. Studi yang membandingkan telavancin dengan
vancomycin mengkombasikan 2 percobaan yang lebih kecil yang diikutsertakan oleh pasien
dengan pneumonia nosokomial gram positif. Dalam kombinasi populasi sejumlah 1503 pasien,

tidak ditemukan adanya perbedaan rasio penyembuhan klinis, mortalitas, atau efek samping,
meskipun ada kecenderungan adanya mortalitas dengan berbagai sebab dari penggunaan
telavancin dalam satu komponen studi (21,5% melawan 16,6% ; beda rerata, 4,9% ; 95% CI,
-0,7% sampai dengan 10,6%). Hal ini muncul pada pasien dengan angka klirens kreatinin
<30mL/menit, sesuai dengan anjuran panel FDA yang merekomendasikan pembatasan
penggunaan telavancin pada pasien dengan angka klirens kreatinin diatas ambang tersebut.
Peningkatan kreatinin serum biasa didapatkan pada grup telavancin (16% melawan 10%).
Percobaan non-blinded yang membandingkan quinupristin ditambah dalfopristin terhadap
vancomycin pada 298 pasien dengan pneumonia nosokomial gram positif menemukan rasio
respon klinis yang sama pada kedua kelompok terapi. Hal ini juga berlaku pada subgroup 51
pasien dengan pneumonia MRSA. Percobaan non-blinded lainnya membandingkan antara
vancomycin ditambah rifampin terhadap vancomycin saja pada 83 pasien dengan pneumonia
nosokomial.

Didapatkan

bahwa

vancomycin

ditambah

rifampin

meningkatkan

rasio

penyembuhan klinis dalam 14 hari dan menurunkan rasio mortalitas dalam 60 hari, namun tidak
memiliki efek pada mortalitas dalam 28 hari. Sebagai catatan, 34,1% pasien yang dterapi dengan
rifampin mengalami resistensi antibiotic. Meskipun percobaan ini tidak melaporkan efek
samping secara signifikan, studi lain melaporkan adanya hubungan antara rifampin dengan
hepatotoksisitas , gagal ginjal akut, dan anemia hemolitik.
Dua percobaan randomisasi mengevaluasi teicoplanin melawan vancomycin atau linezolid
untuk infeksi gram positif. Namun, beberapa tempat infeksi diikutsertakan pada kedua studi dan
sejumlah kecil pasien dengan pneumonia yang dievaluasi, dan sejumlah kecil pasien dengan
pneumonia MRSA yang terdokumentasi dievaluasi. Lalu, lebih banyak bukti yang diperlukan
untuk menentukan peran klinis teicoplanin pada pasien dengan HAP/VAP.

Secara bersamaan, bukti menyarankan bahwa tidak ada perbedaan yang penting diantara
antibiotic yang tersedia dalam mengobati pasien HAP/VAP yang disebabkan oleh MRSA dengan
2 pengecualian : vancomycin ditambah rifampin dapat meningkatkan rasio penyembuhan klinis
jangka pendek disaat banyaknya terjadi resistensi rifampin dan memungkinkan adanya efek
samping lain, dan telavancin dapat menjadi merugikan pada pasien dengan klirens kreatinin
<30mL/menit. Kepercayaan diri kami dalam ketepatan perkiraan efek dipengaruhi oleh risiko
bias, yang mencakup kurangnya blinding, randomisasi tidak efektif (misal perbedaan dasar), data
hilang, kegagalan untuk mengikuti perkembangan analisis niat untuk mengobati, dan protokol
yang memperbolehkan hasil untuk dikesampingkan oleh sponsor. . . semua revisi dibuat
sebelum dilakukan unblinding. Hal ini juga diturunkan oleh ketidaklangsungan populasi, karena
populasi kami adalah pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh MRSA tapi banyak
percobaan mengikutsertakan pasien dengan HAP/VAP yang diebabkan oleh organisme gram
positif yang bervariasi atau pasien dengan pneumonia-terkait tindakan medis bukan VAP/HAP.
Panel menentukan bagwa kepercayaan diri secara keseluruhan dalam bukti adalah sedang,
memilih untuk menurunkan karena adanya risiko serius dari bias, namun bukan
ketidaklangsungan.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait fenomena potensial yang disebut
dengan MIC creep yang merujuk pada laporan kecenderungan peningkatan MIC vancomycin
pada isolat MRSA di beberapa institusi. Hal ini bukan fenomena yang universal, dan studi
surveilans dari beberapa negara yang berbeda tidak menunjukkan peningkatan yang serupa ;
secara umum, isolate MRSA dengan peningkatan MIC vancomycin masih jarang terjadi. Selain
itu, meskipun terdapat beberapa alasan teori untuk diperhatikan saat melakukan terapi pada
pneumonia MRSA jika isolat menunjukkan peningkatan MIC vancomycin, terdapat bukti bahwa

hasil luaran tidak buruk pada beberapa pasien. Karena dengan organisme lain dikatakan sebagai
peningkatan terhadap antibiotic terpilih, kurangnya perkembangan klinis meskipun sudah
dilakukan penentuan dosis secara tepat dan durasi pemberian yang tepat, harus mendapatkan
pertimbangan dalam perubahan terapi antibiotic.

Alasan Rekomendasi
Bukti menunjukkan bahwa vancomycin dan linezolid secara kasar setimbang, dan tidak ada
agen alternatif atau regimen yang jelas lebih baik daripada vancomycin atau linezolid ;
kemudian, regimen alternatif dapat lebih merugikan. Dari observasi, panel memiliki tingkat
kepercayaan diri yang tinggi bahwa rasio manfaat-risiko dari penggunaan vancomycin atau
linezolid untuk mengobati pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh MRSA adalah lebih
tinggi daripada rasio untuk regimen alternatif lain.
Di saat perbedaan risiko nefrotoksisitas antara vancomycin dan linezolid tidak
diidentifikasi menggunakan pengukuran beda risiko absolut, terdapat peningkatan RR dari
nefrotoksisitas terkait vancomycin dibandingkan dengan linezolid. Kurangnya doubleblinding
pada hampir setengah dari seluruh studi randomisasi dapat berakibat pada munculnya bias dalam
hal nefrotoksisitas, yang disebabkan oleh linezolid. Hal ini perlu dicatat bahwa variasi dari
definisi untuk nefrotoksisitas digunakan dalam beberapa studi dan tidak ada perbedaan dalam hal
efek samping, atau kebutuhan untuk tidak melanjutkan terapi antara 2 antibiotik. Kemudian,
berdasarkan bukti observasional, pemilihan vancomycin melawan linezolid tergantung pada
faktor seperti hitung sel darah, pengobatan bersama obat lain seperti serotonin reuptake inhibitor,
fungsi renal, dan biaya. Panel setuju bahwa rekomendasi dalam konsensus sebelumnya untuk

memberikan vancomycin pada angka 15-20 mg/L pada pasien yang diobati sebagai pneumonia,
meskipun panel tidak melakukan ulasan hubungan bukti secara sistematis.
XVI. Antibiotik Apa yang Digunakan untuk Mengobati Pasien dengan HAP/VAP yang
Disebabkan oleh P.aeruginosa?
Rekomendasi
1. Untuk

pasien

dengan

HAP/VAP

yang

disebabkan

oleh

P.aeruginosa,

kami

merekomendasikan pilihan antibiotic untuk terapi definitif (bukan empiris) didasarkan


pada hasil uji kerentanan antimikrobial (rekomendasi kuat, kualitas bukti rendah).
2. Untuk pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa,

kami

merekomendasikan tidak menggunakan monoterapi aminoglikosida (rekomendasi kuat,


kualitas bukti sangat rendah).
Catatan : Uji kerentanan antimikrobial secara rutin harus mencakup penilaian sensitivitas
isolat P.aeruginosa terhadap polymyxin (colistin atau polymyxin B) dalam keadaan
dimana prevalensi organisme resisten tinggi.
Rangkuman Bukti
Ulasan sistematik kami mengidentifikasi tidak adanya RCT yang membandingkan
regimen antibiotic pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa. Panel
mempertimbangkan 2 badan bukti : bukti dari percobaan randomisasi yang membandingkan
regimen antibiotic pada pasien HAP/VAP yang disebabkan oleh patogen apapun, dan bukti dari
analisis subgroup pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa.
Studi yang membandingkan regimen antibiotic pada pasien dengan HAP/VAP yang
disebabkan oleh patogen apapun, ulasan sistematik dari 41 percobaan randomisasi menemukan
bahwa tidak adanya regimen antimikrobial yang spesifik yang dapat menurunkan mortalitas dan
kegagalan terapi lebih daripada regimen lainnya, dan 33 percobaan randomisasi mendapatkan

bahwa tidak ada regimen antimikrobial yang spesifik dapat meningkatkan varietas hasil luaran
klinis lebih baik daripada regimen lainnya. Kepercayaan diri panel dalam menerapkan perkiraan
efek ini terhadap pertanyaan klinis adalah rendah karena mereka memperoleh hal ini dari
percobaan randomisasi yang terbatas oleh risiko bias (misal banyak percobaan yang tidak
dilakukan blinding) dan ketidaklangsungan (misal pertanyaan spesifik pada pasien HAP/VAP
yang disebabkan oleh P.aeruginosa, tapi studi dilakukan pada pasien yang menderita HAP/VAP
yang disebabkan oleh patogen apapun).
Prevalensi resistensi antibiotic pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh
P.aeruginosa adalah tinggi. Studi observasional pada 314 pasien dengan VAP yang disebabkan
oleh P.aeruginosa diklasifikasikan sebagai rentan, MDR, dan extensively drug-resistant,
menunjukkan 54%, 32%, dan 14% isolat P.aeruginosa secara berurutan. Resistensi antibiotic
berkaitan dengan meningkatnya lama perawatan di ICU, namun tidak berkaitan pada mortalitas
atau tingkat kekambuhan HAP/VAP ; namun, kurangnya kekuatan statistic adalah isu yang sering
dijumpai dalam publikasi bukti. Mortalitas yang disebabkan oleh HAP/VAP lebih berkaitan
dengan keparahan penyakit daripada resistensi antibiotic.
Studi yang melakukan analisis subgroup pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan
oleh P.aeruginosa, bukti masih memungkinkan sebagai yang paling baik yang dapat dimengerti
dengan mempertimbangkan tiap kelas antibiotic secara terpisah. Ulasan dari 36 RCT menyetujui
bahwa hal yang mungkin dilakukan adalah melakukan analisis ini untuk kelas antibiotic
carbapenem, disebabkan karena kurangnya studi komparatif yang melibatkan kelas antibiotic
spesifik atau kurangnya data yang spesifik pada subgroup P.aeruginosa terhadap fluoroquinolon
dan betalactam.

Doripenem : Tiga percobaan randomisasi diidentifikasi sebagai percobaan yang


membandingkan doripenem terhadap regimen antibiotic lain dalam subgroup pasien dengan
P.aeruginosa. Perbandingan dilakukan pada imipenem atau piperacillin-tazobactam. Kami
mengumpulkan analisis subgroup dan menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara doripenem dan regimen lain dalam hal mortalitas (28% melawan 21% ; RR, 1,07 ; 95%
CI, 0,49-2,35) dan rasio kegagalan terapi (45% melawan 63% ; RR, 0,76 ; 95% CI, 0,40-1,42).
Kepercayaan diri panel pada perkiraan efek ini adalah sangat rendah karena mereka memperoleh
hal ini dari percobaan randomisasi yang memiliki batasan oleh risiko bias (misal banyak
percobaan yang tidak dilakukan blinding), ketidakkonsistenan (misal tes I2 untuk heterogenisitas
>25%), dan impresisi (misal kejadian sedikit dan Confident Interval yang lebar). Kemudian,
label FDA doripenem dimodifikasi karena hubungan obat ini terhadap peningkatan risiko
kematian pada pasien dengan VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa.
Imipenem : Kami mengidentifikasi publikasi ulasan sistematis dari 20 percobaan
randomisasi yang membandingkan imipenem terhadap antibiotic alternatif pada pasien dengan
P.aeruginosa. Pasien yang mendapatkan imipenem memiliki rasio pernyembuhan klinis yang
lebih rendah (45% melawan 75% ; RR, 0,60 ; 95% CI, 0,48-0,75) dan rasio penyembuhan
mikrobiologis (48% melawan 53% ; RR, 0,91 ; 95% CI, 0,73-1,13) daripada pasien yang
menerima antibiotic alternatif. Diantara pasien yang menerima imipenem, resistensi antibiotic
meningkat dari 15% menjadi 39% ; diantara pasien yang menerima antibiotic alternatif,
resistensi antibiotic meningkat dari 2,5% menjadi 22%. Kepercayaan diri panel dalam
memperkirakan efek sangat rendah karena mereka memperoleh hal ini dari percobaan
randomisasi yang terbatas oleh risiko bias (misal banyak percobaan yang tidak dilakukan
blinding) dan impresisi (misal kejadian yang sedikit).

Carbapenem lain : Kami mengidentifikasi publikasi ulasan sistematik dari 12 percobaan


randomisasi yang membandingkan carbapenem (carbapenem saja atau dikombinasikan dengan
aminoglikosida) terhadap antibiotic alternatif pada pasien dengan P.aeruginosa. Kebanyakan
percobaan

membandingkan

carbapenem dengan

baik

fluroquinolon

atau

betalactam.

Metaanalisis kami menemukan bahwa pasien yang diterapi carbapenem memiliki rasio
keberhasilan terapi yang lebih rendah (6 percobaan randomisasi : OR, 0,42 ; 95% CI, 0,22-0,82),
rasio eradikasi yang lebih rendah (7 percobaan randomisasi : OR, 0,50 ; 95% CI, 0,24-0,89), dan
rasio insiden resistensi antibiotic yang lebih tinggi (4 percobaan randomisasi : OR, 5,17 ; 95%
CI, 1,96-13,65). Pengecualian pada rasio eradikasi yang rendah berlaku ketika carbapenem yang
digunakan adalah meropenem (3 percobaan randomisasi : OR, 1,10 ; 95% CI, 0,39-3,14).
Kepercayaan diri panel dalam memperkirakan efek sangat rendah karena mereka memperoleh
hal ini dari percobaan randomisasi yang terbatas oleh risiko bias (misal banyak percobaan yang
tidak dilakukan blinding), ketidakkonsistenan (misal tes I2 yang rendah untuk uji heterogenitas)
dan impresisi (misal kejadian yang sedikit). Ertapenem tidak memiliki aktivitas melawan
P.aeruginosa dan karenanya tidak direkomendasikan untuk terapi pneumonia yang disebabkan
oleh bakteri ini.
Aminoglikosida : Ulasan sistematik kami mengidentifikasi tidak adanya percobaan terbaru
yang membandingkan monoterapi aminoglikosida terhadap regimen antimikrobial lain pada
pasien HAP/VAP dan, kemudian, tidak ada data yang berkaitan dengan efek dari terapi pada
pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa.
Alasan Rekomendasi
Pembuatan bukti gagal dalam mengidentifikasi agen antipseudomonal yang secara jelas
lebih baik daripada agen lain, dikarenakan adanya manfaat ynag baik tapi juga terdapat kerugian.

Oleh karena itu, panel tidak merekomendasikan regimen antibiotic yang menjadi pilihan
terhadap pasien yang diketahui sebagai HAP/VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa. Beberapa
hasil luaran yang telah dijelaskan sebelumnya menyarankan bahwa imipenem dapat memberikan
hasil yang lebih rendah daripada regimen lainnya (misal rasio penyembuhan yang lebih rendah) ;
namun, kepercayaan diri panel pada hasil ini adalah sangat rendah karena mereka tidak ingin
menyarankan untuk menggunakan agen tersebut.
Panel menyadari bahwa sebanyak 2/3 pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh
P.aeruginosa memiliki resistensi antibiotic dan prevalensi resistensi antibiotic sangat bervariasi.
Variasi ini yang menjadi alasan bagi panel untuk menyetujui bahwa pemilihan antibiotic harus
didasarkan pada uji kerentanan antimikrobial. Manfaat dari pendekatan ini mencakup asuransi
bahwa pasien yang diterapi dengan antibiotic yang memiliki aktivitas melawan patogen,
meskipun terdapat dampak negative berupa biaya, beban, dan keterlambatan dalam pengujian.
Rekomendasi ini adalah kuat meskipun kualitas bukti rendah karena panel setuju bahwa hal yang
penting dari menghindari terapi yang tidak efektif (misal kerugian yang potensial tanpa manfaat
yang berarti) jauh membebani biaya, beban, dan waktu untuk uji kerentanan antibiotic.
Aminoglikosida adalah satu satunya pengecualian oleh panel untuk tidak membuat
rekomendasi untuk atau melawan kelas antibiotic spesifik pada pasien HAP/VAP yang
disebabkan oleh P.aeruginosa. Panel memilih untuk merekomendasikan utnuk tidak
menggunakan monoterapi aminoglikosida karena 2 alasan. Pertama, aminoglikosida tidak dapat
melakukan penetrasi ke paru dengan baik ; karena konsentrasi serum puncak yang tinggi
dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi aktif mikrobiologis di dalam alveoli, yang akan
meningkatkan risiko nefrotoksisitas dan ototoksisitas. Studi menemukan bahwa tidak ada
aktivitas antipseudomonal yang terdeteksi dalam sekresi bronkial, meskipun kadar terapeutik

aminoglikosida telah dicapai pada pasien dengan infeksi Pseudomonas paru. Kedua, kurangnya
studi yang mengevaluasi efek monoterapi aminoglikosida pada pasien HAP/VAP.
Kemudian, uji kerentanan antimikrobial rutin mengidentifikasikan bagwa tidak ada
antibiotic untuk menerapi P,aeruginosa yang rentan. Polymyxin intravena (colistin atau
polymyxin B) dapat menjadi pilihan untuk menerapi P.aeruginosa yang secara ekstensif resisten
obat. Untuk alasan ini, panel setuju bahwa kerentanan terhadap polymyxin harus dinilai secara
rutin pada isolat Pseudomonas dalam keadaan dimana prevalensi organisme yang resisten obat
tinggi.
Kebutuhan Penelitian
Kurangnya percobaan yang mengikutsertakan pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan
oleh P.aeruginosa dan membandingkan regimen antibiotic, dan analisis subgroup dari percobaan
yang mengikutsertakan pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh patogen apapun terbatas
pada jumlah kecil dari subgroup. Terdapat kebutuhan mendesak untuk melakukan percobaan di
beberapa senter kesehatan yang mengikutsertakan pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan
oleh P.aeruginosa dan kemudian mengevaluasi manfaat dan kerugian dari variasi regimen
antibiotic. Percobaan tersebut harus mengukur mortalitas, kegagalan terapi, efek samping, dan
resistensi antibiotic sebagai hasil luaran, dan harus mengendalikan variabel seperti keparahan
penyakit, bakteremia, kegagalan organ, dan penggunaan aminoglikosida.
XVII. Haruskah Menggunakan Monoterapi atau Kombinasi untuk Mengobati Pasien
dengan HAP/VAP yang Disebabkan oleh P.aeruginosa?
Rekomendasi
1. Pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa yang tidak dalam
keadaan syok sepsis atau tidak dalam risiko tinggi kematian, dan pada pasien yang

memiliki hasil uji kerentanan antibiotic yang telah diketahui, kami merekomendasikan
untuk dilakukan monoterapi dengan antibiotic yang dimana isolat diketahui rentan
terhadap antibiotic tersebut dibandingkan dengan terapi kombinasi (rekomendasi kuat,
kualitas bukti rendah).
2. Pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa yang berada dalam
keadaan syok sepsis atau dalam risiko tinggi kematian ketika hasil dari uji kerentanan
antibiotic diketahui, kami menyarankan untuk menggunakan terapi kombinasi 2
antibiotik yang dimana isolat diketahui rentan terhadap antibiotic tersebut dibandingkan
dengan monoterapi (rekomendasi lemah, kualitas bukti sangat rendah).
3. Pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa,

kami

merekomendasikan untuk tidak menggunakan monoterapi aminoglikosida (rekomendasi


kuat, kualitas bukti sangat rendah).
Catatan : Risiko tinggi kematian dalam analisis metaregresi didefinisikan sebagai risiko
mortalitas >25% ; risiko rendah kematian didefinisikan sebagai risiko mortalitas <15%.
Pada pasien dengan syok sepsis yang tertangani disaat sensitivitas antimikrobialnya
diketahui, tidak disarankan untuk melanjutkan terapi kombinasi.
Rangkuman Bukti
Ulasan sistematik kami mengidentifikasi satu publikasi ulassan sistematik dan 7
percobaan randomisasi yang membandingkan monoterapi terhadap terapi kombinasi dalam
menerapi pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh patogen apapun. Publikasi ulasan
sistematik mencakup 41 percobaan randomisasi (7015 pasien). HAP/VAP yang disebabkan oleh
P.aeruginosa terdapat dalam 13,8% kasus. Percobaan metaanalisis kami yang melaporkan
mortalitas mendapatkan bahwa terapi kombinasi tidak lebih menguntungkan dibandingkan
dengan monoterapi (RR, 0,94 ; 95% CI, 0,76-1,16) ; dan sesuai dengan metaanalisis tersebut,
metaanalisis dari percobaan yang melaporkan rasio kegagalan terapi mendapatkan bahwa terapi

kombinasi tidak berkaitan dengan rasio kegagalan terapi yang lebih rendah daripada monoterapi.
Dari 7 percobaan randomisasi, 5 percobaan menemukan bahwa pasien yang diterapi kombinasi
dan monoterapi memiliki hasil luaran klinis yang mirip, berdasarkan studi, mencakup mortalitas
kesuksesan terapi klinis, kesuksesan terapi mikrobiologis, dan lama perawatan di ICU. Namun
dalam dua percobaan, menunjukkan hasil luaran klinis yang baik diantara mereka yang
mendapatkan monoterapi carbapenem, dibandingkan dengan mereka ynag mendapatkan terapi
kombinasi. Temuan yang berbeda pada percobaan ini mungkin disebabkan oleh kombinasi
carbapenem spectrum luas dan peningkatan nefrotoksisitas yang disebababkan oleh kombinasi
terapi mengandung aminoglikosida.
Secara bersamaan, informasi efikasi yang disajikan dalam ulasan sistematis dan percobaan
randomisasi yang serupa, menunjukkan tidak adanya perbedaan antara monoterapi dan terapi
kombinasi terhadap mortalitas, kegagalan terapi, lama perawatan rumah sakit dan ICU, durasi
ventilasi mekanik, dan akuisisi resistensi. Kepercayaan diri panel bahwa penerapan perkiraan
terhadap pertanyaan klinis adalah rendah karena terdapat risiko bias (banyak percobaan tidak
dilakukan blinding) dan karena percobaan diikutsertakan oleh pasien dengan HAP/VAP yang
disebabkan oleh patogen apapun. Percobaan terakhir menunjukkan adanya ketidaklangsungan
dari populasi, karena pertanyaan klinis adalah tentang pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan
oleh P.aeruginosa, namun hanya 6%-23% dari populasi dalam percobaan yang termasuk dalam
HAP/VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa. Informasi tambahan yang diperhatikan oleh panel,
namun tidak dipertimbangkan secara serius untuk menjamin penurunan kualitas bukti, adalah
beberapa studi yang dilakukan lebih dari satu dekade lalu dan agen antimikrobial biasanya bukan
satu satunya variabel bebas, karena durasi terapi juga bervariasi.

Beberapa bukti langsung (misal studi yang secara spesifik mengevaluasi pasien dengan
HAP?VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa) tersedia dari 2 studi observasional. Yang pertama
adalah studi observasional multisenter yang mencakup 183 episode dari VAP yang disebabkan
oleh P.aeruginosa. Terapi empiris yang kurang tepat terkait dengan peningkatan mortalitas (rasio
bahaya yang diatur [HR], 1,85 ; 95% CI, 1,07-3,10), dan penggunaan kombinasi terapi awal
mengurangi kemungkinan pemberian terapi yang tidak sesuai. Ketika pasien yang mendapatkan
terapi empiris yang tidak sesuai dieksklusi, namun, mortalitas serupa diantara mereka yang
menerima terapi definitive menggunakan monoterapi dan terapi kombinasi (23,1% melawan
33,2% ; adjusted HR, 0,90 ; 95% CI, 0,50-1,63). Yang kedua adalah studi observasional
multisenter yang diikuti oleh 100 pasien konsekutif dengan bakteremia pneumonia P.aeruginosa.
Ditemukan bahwa penurunan mortalitas 28 hari yang disebabkan oleh berbagai sebab dikaitkan
dengan tidak adanya syok sepsis saat terjadi bakteremia (OR, 0,07 ; 95% CI, 0,01-0,49) dan
terapi kombinasi yang adekuat (OR, 0,05 ; 95% CI, 0,01-0,34).
Studi observasional menyarankan bahwa terapi kombinasi bermanfaat untuk terapi empiris
awal ; namun, ketika kerentanan antibiotic diketahui, tidak ada perbedaan dalah hal luaran klinis
diantara pasien yang menerima terapi definitif menggunakan monoterapi atau terapi kombinasi.
Selain itu, terdapat kemungkinan bahwa sebagian dari pasien dengan pneumonia P.aeruginosa
yang mengalami komplikasi syok sepsis mendapatkan manfaat dari terapi kombinasi.
Kepercayaan diri panel terhadap efek ini adalah rendah karena mereka berlandaskan pada studi
observasional.
Syok sepsis : Panel menemukan tambahan bukti bahwa pasien dengan syok sepsis
mendapatkan manfaat dari terapi kombinasi dengan melihat bukti dari pasien yang menderita
syok sepsis dari sumber lain selain hanya HAP/VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa. Studi

mengidentifikasi hasil yang tidak konsisten. Metaanalisis dari 64 percobaan dan percobaan
randomisasi quasi (7586 pasien dengan syok sepsis yang kultur bakterinya positif) yang
membandingkan monoterapi betalactam dengan aminoglikosida pada pasien yang dirawat di
rumah sakit dengan sepsis didapatkan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal mortalitas,
meskipun dalam percobaan digunakan betalactam yang sama (RR, 1,01 ; 95% CI, 0,75-1,35)
atau betalactam yang berbeda (RR, 0,85 ; 95% CI, 0,71-1,01). Di lain sisi, analisis
kecenderungan yang dilakukan matching (2446 pasien) menemukan bahwa terapi kombinasi
yang lebih awal berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada syok sepsis.
Alasan potensial dari hasil sumbangsih ini adalah bahwa studi tidak memerlukan criteria
spesifik untuk menentukan pasien yang menderita syok sepsis. Hal ini memungkinkan bahwa
manfaat dari terapi kombinasi didapatkan dengan mengikutsertakan lebih sedikit pasien dengan
sakit parah dalam studi. Hal ini didukung oleh metaanalisis dari percobaan randomisasi dan studi
observasional yang mendapatkan bahwa terapi kombinasi antimikrobial menurunkan mortalitas
hanya diantara pasien dengan sepsis berat atau syok sepsis dan risiko tinggi terhadap kematian
(31% melawan 41% ; HR, 0,71 ; 95% CI, 0,57-0,89 diantara pasien dengan sepsis yang
disebabkan oleh pneumonia, yang menyusun 36% dari populasi studi), dengan konsekuensi yang
berpotensi merugikan pada pasien dengan risiko rendah.
Panel memiliki kepercayaan diri yang sangat rendah karena efek yang diperkirakan dari
monoterapi dan terapi kombinasi dari studi sepsis dan syok sepsis dari berbagai sebab adalah
akurat pada pasien dengan sepsis atau syok sepsis yang disebabkan oleh HAP/VAP yang
dikarenakan P.aeruginosa, karena banyak dari dasar bukti adalah observasional dan hasilnya
adalah inkonsisten dan tidak lansung (pertanyaan adalah tentang pasien dengan syok sepsis yang
disebabkan oleh pneumonia P.aeruginosa, namun bukti adalah dari pasien dengan syok sepsis

yang berasal dari berbagai sebab). Untuk menjadi konsisten dengan pendekatan yang telah
dijelaskan sebelumnya, panel tidak menurunkan kualitas bukti karena usia dari studi atau
variabilitas dari durasi terapi antibiotic.
Bakteremia : Sekitar 20% pasien dengan bakteremia P.aeruginosa berkembang menjadi
syok sepsis sesuai dengan studi observasional dari 709 episode dari bakteremia P.aeruginosa, dan
yang menjadi syok sepsis memiliki peningkatan risiko terhadap mortalitas (OR, 6,6 ; 95% CI,
4,0-10,0). Dengan adanya hubungan yang kuat antara syok dan bakteremia, panel menemukan
bukti tambahan bahwa pasien dengan bakteremia mendapatkan manfaat dari terapi kombinasi
dengan melihat bukti dari pasien yang mengalami bakteremia dari sebab lain daripada HAP/VAP
yang disebabkan oleh P.aeruginosa.
Metaanalisis awal dari tahun 2004 membandingkan terapi kombinasi antimikrobial
terhadap monoterapi untuk bakteremia Pseudomonas yang ditunjukkan dari manfaat mortalitas
dari terapi kombinasi antimikrobial (OR, 0,50 ; 95% CI, 0,32-0,79). Namun, beberapa studi
terbaru tidak mengonfirmasi temuan ini. Tiga metaanalisis yang mencakup beberapa studi
terbaru membandingkan penggunaan terapi kombinasi terhadap monoterapi untuk terapi definitif
pada pasien dengan bakteremia P.aeruginosa dan tidak ditemukan perbedaan pada mortalitas oleh
karena sebab apapun. Studi individu terbesar adalah analisis post hoc dari studi observasional
yang membandingkan antara monoterapi terhadap terapi kombinasi pada 593 pasien dengan
episode tunggal bakteremia P.aeruginosa ; hal ini menunjukan bahwa terapi kombinasi tidak
berhubungan dengan penurunan risiko mortalitas dalam 30 hari dibandingkan dengan monoterapi
(adjusted HR, 1,34 ; 95% CI, 0,73-2,47). Penjelasan potensial untuk temuan berbeda ini pada
metaanalisis awal dan studi selanjutnya adalah bahwa banyak studi metaanalisis awal yang
diikuti oleh pasien yang menerima terapi aminoglikosida.

Panel memiliki kepercayaan diri yang sangat rendah karena perkiraan efek dari
monoterapi dan terapi kombinasi dari studi ini dilakukan pada pasien dengan bakteremia
P.aeruginosa yang disebabkan oleh HAP/VAP. Alasan dari kepercayaan diri yang rendah adalah
bahwa proporsi yang besar dari dasar bukti adalah observasional dengan hasil yang tidak
konsisten, dan karena ketidaklangsungan dari populasi (pertanyaan adalah tentang pasien yang
menderita sakit berat dengan syok sepsis dan bakteremia yang disebabkan oleh pneumonia
P.aeruginosa, tapi bukti berasal dari pasien dengan derajat keparahan penyakit yang tidak spesifik
dan memperoleh bakteremia P.aeruginosa yang berasal dari berbagai sumber).
Alasan Rekomendasi
Sintesis bukti menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal efek dari monoterapi dan
terapi kombinasi sebagai terapi definitif (misal terapi diberikan setelah hasil uji kerentanan
antibiotic diketahui) dalam hal mortalitas, kegagalan terapi, lama perawatan ICU dan perawatan
di rumah sakit, durasi pemakaian ventilasi mekanik, dan akuisisi resistensi, tanpa memperhatikan
bahwa hasil yang didapatkan berasal dari studi observasional yang diikuti oleh pasien dengan
HAP/VAP yang disebabkan oleh P.aeruginosa atau metaanalisis percobaan randomisasi yang
diikuti oleh pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh patogen apapun. Panel merasa
bahwa, dalam ketiadaan manfaat yang terlihat, biaya dan efek samping potensial dari antibiotic
tambahan tidak dijamin. Oleh karena itu, rekomendasi kuat meskipun kualitas bukti rendah.
Namun, terdapat beberapa pengecualian penting. Panel menduga bahwa terapi kombinasi
terjamin sebagai terapi definitif pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh
P.aeruginosa yang menderita syok sepsis atau berisiko tinggi terhadap kematian. Keputusan ini
didasarkan pada bukti bahwa terapi kombinasi berhubungan dengan menurunnya mortalitas pada
pasien dengan pneumonia yang terjadi komplikasi syok sepsis. Panel setuju bahwa potensi dari

penurunan mortalitas lebih penting daripada biaya tambahan, ketidaknyamanan, dan


kemungkinan efek samping yang disebabkan oleh tambahan antibiotic. Manfaat potensial dari
rekomendasi terlihat lebih penting bagi pasien daripada dampak negatif potensial yang
ditimbulkan.
Panel memilih untuk tidak merekomendasikan monoterapi aminoglikosida sebagai terapi
definitif karena 2 alasan. Pertama, aminoglikosida tidak dapat melakukan penetrasi ke paru
dengan baik ; karena konsentrasi serum puncak yang tinggi dibutuhkan untuk mencapai
konsentrasi aktif mikrobiologis di dalam alveoli, yang akan meningkatkan risiko nefrotoksisitas
dan ototoksisitas. Studi menemukan bahwa tidak ada aktivitas antipseudomonal yang terdeteksi
dalam sekresi bronkial, meskipun kadar terapeutik aminoglikosida telah dicapai pada pasien
dengan infeksi Pseudomonas paru. Kedua, kurangnya studi yang mengevaluasi efek monoterapi
aminoglikosida pada pasien HAP/VAP. Karena kurangnya bukti empiris, rekomendasi didasarkan
pada pengalaman klinis komite secara kolektif.
Kebutuhan Penelitian
Manfaat potensial dari terapi kombinasi pada pasien dengan syok sepsis didasarkan pada
studi mengenai syok sepsis yang disebabkan oleh sebab apapun. Temuan ini butuh dikonfirmasi
dengan percobaan randomisasi pada pasien dengan syok sepsis yang disebabkan oleh pneumonia
P.aeruginosa. Hasil luaran dari percobaan berupa mortalitas, kegagalan terapi, lama perawatan di
rumah sakit dan ICU, efek samping, dan perkembangan resistensi antibiotic.
XVIII. Antibiotik Apa yang Digunakan untuk Menerapi Pasien dengan HAP/VAP yang
Disebabkan oleh Basil Gram Negatif Penghasil ESBL?
Rekomendasi

1. Pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh basil gram negative penghaasil
ESBL, kami merekomendasikan pemilihan antibiotic untuk terapi definitif (bukan
empirik) didasarkan pada hasil uji kerentanan antimikrobial dan faktor spesifik pasien
(rekomendasi kuat, kualitas bukti sangat rendah).
Catatan : Faktor spesifik pasien yang harus dipertimbangkan ketika memilih agen
antimikrobial mencakup alergi dan komorbiditas yang dapat meningkatkan risiko efek
samping.
Ringkasan Bukti
Data komparatif antibiotic pada pasien HAP/VAP yang disebabkan oleh basil gram negatif
penghasil ESBL sangatlah terbatas. Tidak ada percobaan randomisasi atau studi observasional
yang secara spesifik diikuti oleh pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh organisme gram
negatif penghasil ESBL ; kemudian, percobaan yang diikuti pasien dengan HAP/VAP yang
disebabkan oleh patogen apapun memiliki jumlah kasus yang disebabkan oleh organisme gram
negatif penghasil ESBL yang tidak cukup untuk membuat analisis subgrup.
Satu-satunya bukti yang ada adalah sedikit seri kasus yang mendeskripsikan kegagalan
cephalosporin generasi ketiga dalam menerapi patogen penghasil ESBL. Dalam ketiadaan
percobaan randomisasi atau studi observasional, panel mengandalkan seri kasus dan pengalaman
klinis secara kolektif untuk merumuskan keputusan ini, yang membentuk bukti dengan kualitas
bukti yang sangat rendah.
Alasan Rekomendasi
Sintesis bukti kami gagal untuk mengidentifikasi agen yang secara jelas dipilih
dibandingkan dengan agen lain dalam menerapi pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh
basil gram negatif penghasil ESBL. Oleh karena itu, panel tidak merekomendasikan regimen
antibiotic terpilih pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh basil gram negatif

penghasil ESBL. Panel menyadari bahwa carbapenem terkadang dipertimbangkan sebagai agen
pilihan untuk terapi infeksi tersebut, sesuai dalam hal seri kasus yang mendeskripsikan
kegagalan terapi sefalosporin generasi ketiga. Satu studi terbaru menyukai pemberian
carbapenem namun juga menyarankan bahwa penggunaan betalactam/betalactamase inhibitor
dapat memberikan manfaat, dan saran lain bahwa baik cefepime atau piperacillin-tazobactam
dapat digunakan untuk melawan infeksi ESBL jika MIC berada pada rentang kerentanan.
Namun, kepercayaan diri panel pada data ini adalah sangat rendah karena hal panel tidak ingin
menggunakan seri kasus sebagai dasar rekomendasi baik untuk pemberian carbapenem atau
menolak sefalosporin atau betalactam/betalactamase inhibitor.
Panel setuju bahwa uji kerentanan antimikrobial menghasilkan informasi terbaik dalam hal
pemilihan antibiotic. Namun, panel menyadari bahwa uji tersebut dapat membuat klinisi
dihadapkan pada beberapa pilihan, dan kemudian menyetujui bahwa faktor spesifik pasien
seperti alergi dan komorbiditas lain harus dipertimbangkan. Rekomendasi ini adalah kuat
meskipun kualitas bukti sangat rendah karena panel setuju bahwa hal penting dari
mengidentifikasi terapi yang efektif lebih penting daripada biaya, beban, dan waktu untuk
pengujian kerentanan antibiotic. Sebaga catatan, Clinical and Laboratory Standard Institute tidak
lagi merekomendasikan uji spesifik ESBL ; demikian, rekomendasi ini juga digunakan ketika
fenotipe ESBL diduga positif sebagai suspek.
Kebutuhan Penelitian
Terdapat kebutuhan untuk dilakukan studi dalam membandingkan beberapa regimen
antibiotic dalam terapi pneumonia yang disebabkan oleh basil gram negatif penghasil ESBL.
Hasil luaran klinis yang sesuai mencakup mortalitas, rasio kegagalan terapi, lama perawatan di
rumah sakit dan ICU, resistensi antibiotic didapat, dan efek samping.

XIX. Antibiotik Apa yang Dapat Digunakan untuk Menerapi Pasien dengan HAP/VAP
yang Disebabkan oleh Spesies Acinetobacter?
Rekomendasi
1. Pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh spesies Acinetobacter, kami
merekomendasikan terapi dengan baik carbapenem atau amphicillin/sulbactam jika isolat
rentan terhadap agen tersebut (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
2. Pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh spesies Acinetobacter yang sensitif
hanya pada polymyxin, kami merekomendasikan polymyxin intravena (colistin atau
polymyxin B) (rekomendasi kuat, kualitas bukti rendah), dan kami menyarankan
tambahan colistin inhalasi (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
3. Pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh spesies Acinetobacter yang sensitif
hanya kepada colistin, kami menyarankan untuk tidak menggunakan tambahan terapi
rifampin (rekomendasi lemah, kualitas bukti sedang).
4. Pada pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh spesies Acinetobacter, kami
merekomendasikan untuk tidak menggunakan tigecycline (rekomendasi kuat, kualitas
bukti rendah).
Nilai dan Preferensi : Rekomendasi ini menempati nilai yang relative tinggi untuk
menghindari efek samping potensial yang disebabkan oleh penggunaan terapi kombinasi
dengan rifampin atau colistin, selain mencapai peningkatan rasio eradikasi mikrobial,
karena rasio eradikasi tidak berkaitan dengan peningkatan hasil luaran klinis.
Catatan : Pemilihan antibiotic yang tepat untuk terapi definitif (bukan empirik)
membutuhkan uji kerentanan antimikrobial.
Rangkuman Bukti
Ulasan sistematis kami mengidentifikasi 6 percobaan randomisasi dan 6 studi
observasional yang mengevaluasi dampak antibiotic spesifik terhadap hasil luaran klinis pada
pasien HAP/VAP dengan keadaan kritis yang disebabkan oleh spesies Acinetobacter. Studi

menemukan tidak ada perbedaan dalam hal mortalitas, lama perawatan di ICU, atau renspon
klinis ketika dosis standar amphicillin-sulbatam dibandingkan dengan imipenem, colistin
intravena, atau dosis tinggi amphicillin-sulbactam, atau ketika imipenem dibandingkan dengan
colistin intravena. Di lain sisi, percobaan menemukan bahwa tigecycline menurunkan rasio
penyembuhan klinis dibandingkan dengan imipenem, dan sebuah studi observasional
menunjukkan bahwa terapi tigecycline berkaitan dengan tingginya angka mortalitas
dibandingkan dengan terapi colistin, meskipun studi terakhir menunjukkan adanya hubungan
dengan nefrotoksisitas. Panel memiliki kepercayaan diri yang rendah bahwa perkiraan efek dari
studi tersebut adalah refleksi akurat dalam efek terapi pada pasien dengan HAP/VAP yang
disebabkan oleh spesies Acinetobacter karena perkiraan didasarkan dari studi observasional,
yang mirip dengan percobaan randomisasi dengan risiko bias (misal beberapa studi tidak
dilakukan blinding) dan ketidaklangsungan dari populasi (misal pertanyaan adalah tentang pasien
dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh spesies Acinetobacter, tapi studi diikuti oleh pasien
dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh basil gram negatif yang bervariasi). Bukti pada
polymyxin B untuk terapi HAP/VAP masih dikembangkan, dan masih terbatas pada kualitas
bukti yang rendah.
Terapi tambahan juga sedang diteliti dalam studi. Dua studi observasional menyarankan
bahwa kombinasi colistin aerosol ditambah dengan colistin intravena berkaitan dengan respon
klinis yang lebih baik daripada colistin intravena saja, meskipun tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam hal mortalitas. Di lain sisi, penambahan rifampicin pada pemberian colistin
intravena tidak meningkatkan hasil luaran klinis seperti mortalitas pada 2 percobaan randomisasi
(meskipun hal ini meningkatkan eradikasi mikrobiologi). Penambahan colistin aerosol bersama
terapi antibiotic intravena selain colistin menunjukkan hasil tidak ada perbedaan dalam hal

mortalitas pada percobaan randomisasi. Panel memiliki kepercayaan diri yang rendah pada
perkiraan efek ini karena alasan yang sama yang telah dijelaskan sebelumnya; namun, panel
memiliki kepercayaan diri sedang dalam perkiraan efek dari penambahan rifampicin karena efek
tersebut didasarkan pada 2 percobaan randomisasi dengan risiko bias.
Alasan untuk Rekomendasi
Bukti menunjukkan bahwa karbapenem (terasuk imipenem), ampisilin-sulbaktam, dan
kolistin sama-sama efektif dalam mengobati Acinetobacter sp., yang ditentukan oleh uji
sensitivitas antimikroba yang sensitif dengan agen tersebut. Pedoman ini menyetujui bahwa
karbapenem dan ampisilin-sulbaktam lebih dipilih karena efek samping yang lebih sedikit, di
mana kolistin digunakan untuk Acinetobacter sp. yang spesifik hanya untuk kolistin, karena
adanya risiko nefrotoksin dari terapi kolistin ini. Rekomendasi penggunaan kolistin untuk
mengobati Acinetobacter sp. yang spesifik terhadap kolistin cukup kuat, meskipun masih belum
adanya bukti yang cukup, karena tidak ada opsi terapi yang lain, maka terapi pemberian kolistin
mungkin dapat menyelamatkan pasien.
Penggunaan terapi tambahan sudah didiskusikan di panel pedoman. Tambahan terapi
aeorosol pada kolistin dapat meningkatkan hasil klinis tanpa meningkatkan risiko bahaya.
Sebaliknya, terapi tambahan dengan menggunakan rifampisin, tidak meningkatkan hasil, dan
tidak direkomendasikan karena adanya beban biaya dan risiko yang lebih tinggi dibandingkan
dengan keuntungannya.

Kebutuhan Penelitian
Adanya kebutuhan yang tinggi untuk penelitian yang membandingkan berbagai macam
regimen antibiotik untuk terapi pneumonia oleh karena Acinetobacter sp. Hasil klinis akibat

pneumonia ini, termasuk keatian, rasio kegagalan terapi, risiko dirawat di Rumah sakit yang
lama dan membutuhkan perawatan ICU, resistensi antibiotik, dan efek samping.
XX. Antibiotik mana yang seharusnya digunakan untuk mengobati pasien dengan
HAP/VAP yang disebabkan oleh agen patogen yang resisten terhadap Karbapenem?
1. Pasien dengan HAP/VAP yang disebabkan oleh patogen yang resisten terhadap karbapenem
yang hanya sensitif terhadap polimiksin, kami merekomendasikan polimiksin intravena
(kolistin atau polimiksin B) (sangat direkomendasikan, bukti ilmiah dengan kekuatan
sedang), selain itu kami merekomendasikan terapi tambahan kolistin inhalasi (rekomendasi
lemah, bukti ilmiah rendah).
Nilai dan Preferensi : Rekomendasi ini menempatkan nilai yang tinggi dalam penyembuhan
klinis, dan menempatkan nilai beban serta biaya yang rendah.
Pendapat : Kolistin Inhalasi mungkin memiliki efek farmakokinetik yang potensial
dibandingkan dengan polimiksin B inhalasi, dan berdasarkan uji klinis dengan studi
terkontrol menunjukkan bahwa kolistin inhalasi mungkin berhubungan dengan peningkatan
outcome klinis. Bukti klinis untuk polimiksin B inhalasi paling banyak berasa dari studi yang
tidak terkontrol dan studi anekdot; kami tidak merekomendasikan polimiksin B inhalasi.
Kolistin inhalasi sebaiknya diberikan dengan cepat, setelah dicampur dengan air steril.
Rekomendasi ini dibuat oleh FDA setelah adanya laporan pasien denga kistik fibrosis
meninggal setelah diberikan kolistin sebelum dicampur. Polimiksin intravena mungkin
memiliki farmakokinetik yang lebih baik dibandingkan dengan kolistin intravena, namun
tidak ada data klinis yang cukup pada pasien dengan HAP/VAP.
Rangkuman Bukti
Ulasan sistematis kami mengidentifikasi adanya 5 studi observasional dan 4 studi
percobaan randomisasi yang relevan dengan pertanyaan klinis tersebut. Acinetobacter
baumannii merupakan satu-satunya organisme atau organisme yang dominan dalam beberapa

studi, dan pemberian monoterapi kolistin intravena merupakan pembanding yang ada pada
sebagian besar studi.
Sebagian besar studi antibiotik memberikan efek yang hampir sama dengan pemberian
intravena. Sebuah uji randomisasi pada pasien dengan ampisilin-sulbaktam atau kolistin
intravena menemukan tidak adanya perbedaan dari mortalitas dan respon klinis. Sebuah
penelitian observasional membandingkan pemberian kolistin intravena dan sulbaktam dengan
pemberian kolistin intravena saja membuktikan bahwa tidak ada perbedaan baik dari respon
klinis maupun respin mikrobiologis. Dua uji randomisasi membandingkan rifampisin
ditambah kolistin intravena dengan kolistin intravena saja, memberikan hasil tidak adanya
perbedaan pada mortalitas, respon klinis, dan lamanya pasien dirawat.
Sebaliknya, tambahan kolistin inhalasi dengan kolistin intravena memberikan
keuntungan. Tiga ujia observasional dan satu uji randomisasi mengevaluasi efek dari terapi
kombinasi antara kolistin inhalasi dan intravena. Meta-analisis kami dari 4 penelitian ini
menunjukkan adanya peningkatan laju penyembuhan (RR, 1.29; 95% CI, 1.111.51); dan
kecenderungan pada peningkatan mortalitas (RR, 0.75; 95% CI, .521.09) ketika kombinasi
dari kolistin inhalasi dan kolistin intravena dibandingkan dengan kolistin intravena secara
monoterapi.

Meta-analisis kami ulangi setelah dikurangi satu penelitian yang dianggap

memiliki risiko bias yang tinggi karena adanya infeksi bakteri yang resisten karbapenem,
yang tidak terdistribusi sama antara 2 studi, dan hampir 50% pasien memiliki infeksi bakteri
yang sensitif karbapenem. Pengulangan meta-analisis menemukan bahwa terapi kombinasi
antara kolistin inhalasi dan kolistin intravena tetap lebih baik dibandingkan monoterapi
kolistin intravena dalam hal penyembuhan klinis (RR, 1.28; 95% CI, 1.071.55). Kolistin
inhalasi tidak berhubungan dengan nefrotoksisitas, bronkospasme atau neurotoksisitas,
meskipun hasilnya tidak secara sistematis dievaluasi pada beberapa penelitian. Risiko

perkembangan resistensi dari kolistin inhalasi dibahas pada salah satu studi, dan tidak ada
kasus yang teridentifikasi.
Nefrotoksisitas merupakan efek samping yang umum dari pemberian kolistin intravena.
Pada 3 penelitian, frekuensi nefrotoksisitas yang berhubungan dengan kolistin memiliki
rentang dari 19%-33%. Derajat disfungsi renal mungkin tidak dapat dihindari pada
pengobatan pasien yang kritis. Faktanya, sebuah analisis meta-regresi menunjukkan tidak ada
perbedaan laju nefrotoksisitas pada pasien dengan VAP yang mendapat terapi kolistin
dibandingkan dengan agen patogen yang lebih tradisional. Penambahan kolistin inhalasi
tidak meningkatkan risiko cedera renal atau infeksi bakteri yang resisten terhadap kolistin.
Perkembangan resistensi dari Acinetobacter terhadap kolistin inhalasi dapat dijelaskan
melalui nafas spontan pasien, yang mungkin disebabkan oleh konsentrasi obat di jalur
pernafasan pasien cukup rendah dibandingkan pada pasien dengan ventilasi mekanik.
Rekomendasi terkait dengan frekuensi pemberian dan dosis total harian dari kolistin
intravena atau polimiksin B dan dosis loading yang seharusnya diberikan sudah termasuk
dalam pedoman ini, namun, terdapat rekomendasi yang dibuat di Tabel 3 (lihat section X).
Permasalahan ini perlu diatasi dengan bantuan dari ahli farmasi. Hal penting lainnya
mengenai penggunaan kolistin inhalasi, baik dari dosis maupun metode pemberian dilakukan
standarisasi. Bukti mengenai polimiksin B untuk pengobatan HAP/VAP terus berkembang,
namun juga terbatas karena adanya bukti dengan kualitas yang masih rendah.
Panel memiki kepercayaan yang sedang pada penemuan tidak adanya perbedaan dari
sebagian besar regimen antibiotik karena adanya penemuan dari uji randomisasi dengan
intervensi tidak langsung (misal, pemberian kolistin memiliki dosis yang berbagai macam).
Sebaliknya, panel memiliki kepercayaan yang rendah pada efek yang diperkirakan pada
kolistin inhalasi ditabah dengan kolistin intravena dibandingkan dengan kolistin intravena

saja, karena efek yang diperoleh berasal dari uji observasional dengan intervensi tidak
langsung, seperti pada uji randomisasi dengan risiko bias (kurangnya blinding) dan impresisi
(CI yang lebar untuk hasil mortalitas).
Alasan Rekomendasi
Kolistin intravena atau polimiksin B intravena merupakan terapi standar untuk
HAP/VAP yang diakibatkan oleh patogen yang resisten karbapenem karena patogen ini
secara umum memiliki kerentanan hanya terhadap antibiotik kelas polimiksin. Analisis
sistematis kami menemukan tidak ada alternatif regimen antibiotik lain yang memiliki efek
lebih baik dibandingkan kolistin intravena; panel memutuskan bahwa polimiksin intravena
harus digunakan sebagai terapi yang dipilih, sampai ditemukannya regimen antimikroba yang
secara definitif terbukti lebih menguntungkan atau menimbulkan risiko bahya lebih sedikit.
Panel menyetujui bahwa keuntungan kolistin inhalasi ditambah dengan kolistin
intravena atau kombinasi polimiksin B lebih baik pada sebagian besar pasien HAP/VAP yang
diakibatkan oleh bakteri patogen yang resisten karbapenem. Keuntungan ini antara lain
peningkatan laju penyembuhan klinis dan kecenderungan peningkatan mortalitas, dan
penurunan beberapa hal termasuk bahaya yang potensial (misalnya, nefrotoksisitas,
pengenalan resistensi kolistin, dan penurunan efek samping lain), peningkatan beban, dan
peningkatanbiaya.
Rangkuman Bukti
Kami mengidentifikasi 2 ulasan sistematis dari uji coba randomisasi dan studi
observasional yang membandingkan terapi antibiotik jangka pendek dan terapi VAP jangka
panjang.
Salah satu ulasan sistematis termasuk 2 uji cba randomisasi yang melibatkan 508 pasien
dengan HAP/VAP dan perbandingan durasi dari terapi antibiotik. Hampir semua pasien
mengalami VAP, daripada HAP. Antibiotik jangka pendek (7-8 hari) meningkatkan hari bebas
antibiotik selama 28 hari (perbedaan rerata, 4.02 hari; 95% CI, 2.26-5.78 hari) dan

menurunkan kejadian ulang VAP akibat adanya patogen MDR (42.1% vs 62.3%; OR, 0.44;
95% CI, 0.21-0.95) dibandingkan dengan antibiotik jangka panjang (10-15 hari). Tidak
terdapat perbedaaan pada mortalitas, pneumonia rekuren, kegagalan terapi, lama perawatan
di rumah sakit, atau durasi dari ventilasi mekanik. Pada kelompok pasien dengan VAP karena
adanya

basil

non-glucose-fermenting

gram-negative

termasuk

Pseudomonas

dan

Acinetobacter (33% pasien), antibiotik jangka pendek berhubungan dengan infeksi berulang
(OR, 2.18; 95% CI, 1.144.16), namun tidak ada perbedaan lain.
Ulasan analisis lain yang hampir sama menyebutkan 4 uji coba randomisasi yang
melibatkan 883 pasien dengan VAP dan membandingkan regimen antibiotik jangka pendek
(7-8 hari) dengan regimen antibiotik jangka panjang (10-15 hari). Regimen jangka antibiotik
pendek meningkatkan jangka hari tanpa antibiotik, namun tidak terdapat perbedaan pada
mortalitas, pneumonia rekuren, hari bebas ventilasi mekanik, durasi bebas ventilasi mekanik,
dan lama perawatan di ICU.
Kami melakukan meta - analisis menggunakan uji yang termasuk sistematik review,
serta data yang diberikan oleh peneliti. Kami juga tidak menemukan perbedaan antara
regimen antibiotik jangka pendek (yaitu, 7-8 hari) dan rejimen jangka panjang (yaitu , 10-15
hari) dalam hal angka kematian, kesembuhan klinis, dan pneumonia berulang. Dari catatan,
subpopulasi tertentu dengan VAP oleh basil gram negatif non fermented glukosa dianalisis,
dan tidak ada perbedaan pada kekambuhan pneumonia (OR, 1,42;95 % CI, 0,66-3,04; P
=0,37) atau kematian (OR, 0,94 ;95% CI,0,56-1,59;P = 0,83).
Studi observasional pada pasien dengan VAP oleh bakteri basil gram negative nonfermented-glukosa, termasuk 27 pasien yang diobati dengan antibiotik selama 3-8 hari dan 127
pasien yang dirawat 9 hari. Tidak ada perbedaan dalam tingkat mortalitas atau tingkat

kekambuhan antara pasien yang menerima antibiotik singkat dibandingkan dengan mereka yang
menerima antibiotik durasi panjang.
Secara bersama-sama, bukti menunjukkan bahwa pemberian antibiotik singkat mengurangi
paparan antibiotik dan pneumonia berulang karena organisme MDR. Hasil klinis lain seperti
kematian tampaknya tidak akan terpengaruh oleh durasi terapi antibiotik, dengan pengecualian
dari pemberian antibiotik singkat, yang terkait dengan kekambuhan dari VAP oleh bakteri basil
gram negative non-fermented-glukosa dalam beberapa penelitian sebelumnya, tapi tidak dalam
meta-analisis kami. Tingkat keyakinan panel di hasil ini adalah moderat, mencerminkan bahwa
mereka berasal dari meta-analisis dari percobaan acak yang memiliki risiko bias. Risiko bias
pada studi tersebut karena banyak cobaan tidak melakukan blinding dan kekambuhan yang
diukur pada 30 hari, yang memungkinkan lebih banyak terjadi pada waktu yang lebih singkat.
Juga terdapat sesuatu yang tidak sesuai, yaitu pertanyaan untuk semua pasien dengan VAP,
namun sebagian besar percobaan tidak menyertakan pasien yang baru saja terkena VAP.

Alasan rekomendasi
Konsekuensi yang diinginkan dari regimen antibiotik jangka pendek adalah bahwa hal
tersebut dapat mengurangi paparan antibiotik dan resistensi antibiotik, tanpa meningkatkan
angka kekambuhan atau kematian.Paparan antibiotik yang menurun akan mengurangi biaya dan
efek samping. Konsekuensi yang tidak diinginkan dari rejimen antibiotik jangka pendek adalah
bahwa kadang-kadang antibiotik akan dihentikan pada pasien yang masih membutuhkan
antibiotik untuk terapi, sehingga terjadi VAP berulang. Bukti-bukti menunjukkan bahwa hal
tersebut sangat jarang terjadi dan oleh karena itu, panel memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi
bahwa manfaat dari regimen antibiotik jangka pendek melebihi tingkat bahaya, yang mengarah

ke rekomendasi untuk menggunakan antibiotik selama 7 hari daripada 8-15 hari pada pasien
dengan VAP.
Panel mempertimbangkan apakah rekomendasi yang terpisah diindikasikan untuk pasien
dengan VAP oleh basil gram negate non-fermented glukosa, berdasar bukti sebelumnya yang
menunjukkan nakga kekambuhan yang meningkat pada pasien yang menerima antibiotik jangka
pendek. Panel setuju bahwa rekomendasi yang berbeda tidak ditunjukkan karena, bahkan jika
ada kecil meningkat tingkat kekambuhan, mortalitas dan kesembuhan klinis tidak tampak
terpengaruh; Selain itu, bukti kekambuhan dari analisis subkelompok dengan keterbatasan
penting. Ini termasuk semua hal berikut: 1) Potensi bias pada perbedaan waktu kambuh; 2)
kemungkinan bahwa episode kedua dari VAP tidak benar kambuh karena organisme persisten
yang dikultur; banyak studi melaporkan superinfeksi dari kedua paru-paru dan organ lainnya
(misalnya, infeksi saluran kemih) sebagai bentuk kekakmbuhan; infiltrat paru diketahui bertahan
pada gambaran radiologi dan menetap setelah penyembuhan, yang mengarah ke identifikasi
palsu dari pneumonia baru atau berulang; dan banyaknya analisis subkelompok, meningkatkan
kemungkinan munculnya beberapa hipotesis pengujian.

XXII. Berapakah durasi optimal pemberian antibiotic untuk HAP (Non-VAP)?


Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan HAP, kami merekomendasikan pemberian antibotik selama
tujuh hari (rekomendasi kuat, very low quality evidence).
Remark: keadaan tersebut terjadi dimana panjang atau pendeknya durasi antibiotic
tergantung pada perbaikan klinis, radiologis, dan penanda laborat.
Ringkasan Bukti
Panel menemukan penelitian yang menampilkan data yang berguna untuk membandingkan
terapi antibiotik jangka pendek dengan terapi antibiotik jangka panjang pada HAP; Namun,

durasi terapi telah dipelajari di VAP. Terapi antibiotik singkat dapat (yaitu,7-8 hari)
meningkatkan 28-hari bebas antibiotik (rata-rata perbedaan,4,02 hari; 95% CI, 2,26-5,78 hari)
dan mengurangi VAP berulang karena patogen MDR (42,1% vs 62,3% ; OR, 0.44; 95% CI, 0,210,95) dibandingkan dengan terapiantibiotik jangka panjang (yaitu, 10-15 hari). Tidak ada
perbedaan pada angka mortalitas, pneumonia berulang,
Kegagalan pengobatan, lama perawatan di rumah sakit, atau durasi penggunaan ventilasi
mekanis. Dalam subkelompok pasien dengan VAP karena bacillus nonglucose-fermentasi gramnegatif, termasuk Pseudomonas dan Acinetobacter (33% dari pasien), terapi antibiotik jangka
pendek dikaitkan dengan angka kekambuhan (41,8% vs 24,7%; OR, 2.18; 95% CI, 1,14-4,16),
namun tidak

perbedaan pada angka kematian atau klinis lainnya. Peningkatan resiko

kekambuhan mungkin sebagian karena bias yang diciptakan oleh bagaimana mendefinisikan
waktu kambuh. Buktiyang lebih baru dan lebih besar membandingkan terapi antibiotic jangka
pendek vs pengobatan antibiotik jangka panjang dan tidak menemukan perbedaan dalam
mortalitas, pneumonia berulang, kegagalan pengobatan, lama rawat di rumah sakit,atau durasi
penggunaan ventilasi mekanik (lihat bagian XXI.
Alasan rekomendasi
Karena tidak adanya studi yang membandingkan terapi antibiotik jangka pendek dan
jangka panjang pada pasien dengan HAP, pedoman menggunakan bukti dari pasien dengan VAP
untuk menginformasikan keputusan-keputusannya.
Bukti menunjukkan bahwa terapi antibiotik 7 hari tidak mengurangi manfaat dari terapi
antibiotik; Namun, durasi yang lebih pendek dari terapi hampir pasti mengurangi efek samping
antibiotik,colitis oleh C. difficile, akuisisi resistensi antibiotik, dan biaya. Mengingat potensi
manfaat dari durasi yang lebih singkat dari terapi tanpa efek merugikan yang diketahu, panel

memutuskan bahwa terapi antibiotik empiris harus diresepkan untuk 7 hari. Rekomendasi yang
kuat, mencerminkan keyakinan panel dalam pentingnya menghindari terapi yang berpotensi
berbahaya dan mahal jika tidak adanya bukti manfaat.
Panel setuju bahwa adalah wajar untuk membatasi regimen animikroba secara empiris
untuk antibiotik spektrum luas pada pasien yang memiliki kultur sputum negatif dan secara klinis
membaik, asalkan ada agen untuk bakteri antibiogram HAP lokal atau jika tidak tersedia, untuk
enterik basil gram negatif dan MSSA. Pasien yang belum memiliki kultur dahak, mengurangi
kualitas sampel sputum(misalnya, terapi antibiotik sebelum mendapatkan sampel atau sampel
berkualitas rendah), atau berada pada infeksi MDR berisiko tinggi mungkin tidak menjadi
kandidat yang tepat untuk strategi pembatasan.
XXIII. Sebaiknya terapi antibiotic tidak dibatasi atau paten pada pasien HAP/VAP?
Rekomendasi:
1. Pasien dengan VAP/HAP, kami menyarankan terapi antibiotic tidak dibatasi
dibandingkan paten (rekomendasi lemah, very low quality evidence).
2. Remark: Maksud dari tidak dibatasi adalah memungkinkan untuk mengubah regimen
antibiotic spectrum luas ke antibiotic yang lebih spesifik, dengan mengubah terapi
kombinasi menjadi monoterapi. Sebaliknya arti paten berarti menggunakan antibiotic
spectrum luas sampai akhir terapi.
Ringkasan Bukti
Kami mengidentifikasi 6 studi yang relevan yang melibatkan pasien dengan pneumonia
nosokomial. Salah satu penelitian adalah uji coba secara acak dan sisanya 5 studi observasional.
Satu studi menemukan angka kematian yang lebih rendah dengan strategi terapi pembatasan, 3
studi menemukan penurunan yang tidak siginifikasn secra statistik pada angka kematian dengan
terapi pembatasan, dan 2 studi menemukan peningkatan mortalitas dengan terapi pembatasan.

Ketika studi dikumpulkan,tidak ada perbedaan angka kematian untuk kelompok terapi
pembatasan vs kelompok regimen tetap (19,7% vs 22,6%; OR, 0,81;95% CI, 0,64-1,1).
Hasil lain yang sama tidak konsisten atau tidak terpengaruh oleh strategi antimikroba.
Untuk lama rawat ICU, uji coba secara acak menemukan bahwa strategi pembatasan
menyebabkan penurunan tidak signifikan secara statistik dalam lama menginap, sedangkan salah
satu studi observasional menemukan bahwa stategi pembatasan memaparkan adanya
peningkatan yang tidak signifikan secra statistic pada lama rawat. Tingkat kekambuhan dijumpai
sama pada dua studi. Salah satu studi melaporkan adanya resistensi pathogen terutama MRSA
pada kelompok pembatasan.
Berikut review sistematis kami, uji coba secara acak membadingkan strategipemabtasan
dengan terapi tetap. Strategi pembatasan didefinisikan sebagai penyempitan spektrum terapi
antimikroba awal dan strategi tetap sebagai kelanjutan dari terapi antimikroba yang tepat sampai
terapi selesai. percobaan secara acak meneliti 116 pasien dengan sepsis di ICU dan menerima
strategi pembatasan atau strategi tetap. Pneumonia adalah penyebab yang lebih umum dari sepsis
dalam kelompok pembatasan(58% vs 40%). Strategi pembatasn meningkatkan jumlah hari
pemberian antimikroba (9 hari vs 7,5 hari;P = 0,03) dan risiko superinfeksi(27% vs 11%;RR,
2,58; 95% CI, 1,09-6,12). Tidak ada perbedaan antara angka mortalitas dan lama rawat ICU.
Dalam analisis subkelompok dari 56 pasien dengan pneumonia , tidak ada perbedaan di salah
satu hasil yang diukur.
Secara bersamaan,bukti menunjukkan hal berikut: 1) Tidak ada perbedaan antara strategi
pembatasan dan rejimen antimikroba tetap dalam hal kematian atau lama rawat ICU; terdapat
bukti yang bertentangan dengan efek strategi pembatasan terhadap kejadian pneumonia berulang;
dan strategi pembatasan dapat meningkatkan hari penggunaan antimikroba,superinfeksi, dan

munculnya MRSA. Tingkat keyakinan panel pada efek ini sangat rendah. Tinjauan sistematis
panel kebanyakan terdiri dari studi observasional yang terbatasa karena adanya risiko bias, tidak
berhubungan(Definisi yang berbeda dari strategi pembatasan dan rejimen antimikroba),serta
hasil yang tidak konsisten. Uji coba secara acak yang lain dibatasi oleh resiko bias yang
besar(tidak blinding, kegagalan pengacakan karena perbedaan dasar) dan mungkin juga tidak
berhubungan (pertanyaannya adalah tentang pasien dengan HAP/VAP, namun studi juga
melibatkan pasien non-HAP/VAP pneumonia).
Strategi pembatasan secara luas dianggap sebagai pendekatan yang lebih disukai untuk
manajemen antimikroba dan telah menjadi prinsip penatalaksanaan antimikroba. Pedoman
nasional dan berbagai makalah berpendapat bahwa strategi pembatasan ini menguntungkan
karena kemungkinan mengurangi resistensi antimikroba, efek samping, dan biaya. Namun,
terdapat sedikit bukti yang membuktikan manfaat, dan ada beberapa bukti (meskipun bukti
berkualitas sangat buruk)tentang strategi pembatsan yang mungkin memiliki beberapa efek yang
tidak diinginkan. Efek yang tidak diinginkan mungkin sebagian merupakan hasil dari perubahan
rejimen antimikroba yang tepat untuk rejimen yang tidak pantas karena salah tafsir tes
mikrobiologi ( misalnya, kulitas spesimen yang buruk mencerminkan kontaminasi), atau salah
dalam pengambilan keputusan.
Para panelis merasa bahwa bukti memiliki kualitas yang buruk dan tidak memiliki
kpercaya pada perkiraan efek dari strategi pembatasan dibanding regimen tetap. Oleh karena itu
panelmemilih

untuk menginformasikan rekomendasinya secara tidak sistematis. (yakni,

berdasarkan pengalaman klinis) dan dasar pemikiran klinis. Mereka memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi bahwa strategi pembataran mengurangi biaya, beban, dan efek
samping,dan bahwa sangat mungkin bahwa strategi pembatasan juga mengurangi resistensi

antimikroba. Sebaliknya, mereka berpikir kemungkinan adanya pneumonia berulang yang


meningkat akibat statergi pembatasan serta mungkin untuk meningkatkan superinfeksi atau hari
antimikroba. Berdasarkan kemungkinan potensi strategi pembatasan yang lebih baik
dibandingkan dengan kerugiannya, maka disarankan untuk melakukan strategi pembatasan.
Kebutuhan penelitian
Randomized trial yang baik membandingkan antara efek strategi pembatasan dan regimen
antimikroba tetap pada hasil klinis sangat dibutuhkan . Resistensi antibiotik dianggap salah satu
ancaman paling signifikan dari era saat ini dan strategi pmebatasan merupakan cara potensial
untuk memerangi resistensi, penelitian tersebut menuntut prioritas tinggi.
XXIV. Sebaiknya pada pasien HAP/VAP, pemberhentian terapi antibiotic berdasarkan
level PCT dan kriteria klinis atau hanya dengan kriteria klinis?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan HAP/VAP, kami menyarankan penggunaan level PCT
ditambah dengan kriteria klinis sebagai dasar menghentikan terapi antibiotic
dibandingkan hanya menggunakan kriteria klinis saja (rekomendasi lemah, lowquality evidence).
Remark: Keadaan ini tidak diketahui jika keuntungan penggunaan level PCT untuk
menentukan ya atau tidaknya menghentikan teapi antibiotic pada keadaan dimana
standar terapi antimikroba untuk VAP adalah tujuh hari atau kurang.
Rangkuman Bukti
Kami mengidentifikasi sbuah systemic review yang telah dipublikasiakan yang dipilih
randomized trial melibatkan pasien dengan infeksi saluran napas akut dan membandingkan
pemberian antibiotik berdasar PCT dengan dasar konvensional (bukan PCT).

Ulasan yang

dipilih adalah 14 percobaan dengan 4221 pasien dan menemukan bahwa pengambilan keputusan
berbasis PCT menurun paparan antibiotik ( disesuaikan dengan mean difference, -3,47 hari; 95%

CI, -3,78 untuk -3,17 hari) dan tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas atau kegagalan
pengobatan. Generalisasi temuan ini terbatas oleh ketidakseuaian dengan pertanyaan, karena
pertanyaannya adalah tentang penghentian antibiotik pada pasien dengan VAP,tetapi percobaan
melibatkan pasien dengan semua jenis infeksi saluran pernapasan akut dan dievaluasi baik
inisiasi dan penghentian antibiotik. Bukti ini didominasi dari pasien dengan VAP, sehingga
rekomendasi kami untuk HAP sebagian besar didasarkan pada studi VAP.
Selain itu , kami mengidentifikasi 2 randomized trial dan abstrak dari randomized trial
dimana semuanya khusus mengevaluasi penghentian terapi antibiotik untuk VAP atas dasar
tingkat PCT ditambah kriteria klinis vs kriteria klinis saja. Ketika dikumpulkan, percobaan ini
melibatkan 308 pasien dengan VAP dan menemukan pasien dengan antibiotik yang dilanjutkan
atau dihentikan atas dasar tingkat PCT ditambah kriteria klinis memiliki durasi terapi antibiotik
yang lebih singkat (9.1 hari vs 12,1 hari; P < 0,00001), danuan tidak ada perbedaan pada tingkat
mortalitas. Hasil lainnya dilaporkan dari beberapa uji coba, termasuk tidak adanya efek pada
durasi ventilasi mekanis,panjang rawat ICU,panjang rawat di rumah sakit, kejadian pneumonia
berulang, atau berkembangnya resistensi.
Secara bersama-sama , bukti menunjukkan bahwa penghentian antibiotik berdasarkan
tingkat PCT ditambah kriteria klinis mengurangi paparan antibiotik dibandingkan dengan
menggunakan kriteria klinis sendirian; semua hasil lainnya tetap tidak berubah. Kepercayaan
panel pada hasil ini rendah karena bukti berasal dari meta-analisis 14 percobaan acak dengan
risiko bias yang besar (tidak blinding) dan tidak sesuai dengan pertanyaan, serta tidak konsisten.
Selain itu, kelompok kontrol dalam uji coba telah secara rutin menerima antibiotik selama 9-15
hari; hal ini tidak pasti apakah keuntungan akan terlihat di rumah sakit yang memiliki awalan
durasi yang lebih rendah pada terapi antibiotik.

Alasan rekomendasi
Konsekuensi diinginkan terkait dengan penggunaan tingkat PCT untuk memandu
penghentian terapi antibiotik empiris adalah bahwa hal itu menguramngi paparan antibiotik tanpa
meningkatkan kegagalan pengobatan atau kematian. Paparan antibiotik yang menurun hampir
pasti mengurangi biaya dan efek samping. Konsekuensi yang tidak diinginkan dalam
penggunaan level PCT untuk memandu penghentian terapi antibiotik empiris bahwa pengujian
PCT lebih mahal dan memberatkan dibandingkan kriteria klinis saja. Selain itu hasil PCT neatif
palsu dapat mendorong untuk menghentikan pemberian antibiotik yang tidak seharusnya
dihentikan dan hasil positif palsu dapat mendorong memberikan antibiotik yang seharusnya
dihentikan. Jika berdsarkan semua faktor tersebut, panel merasa bahwa manfaat dari penurunan
paparan antibiotik melebihi dari masalah biaya, beban, dan hasil pasti terkait dengan pengujian
PCT.
XXV. Sebaiknya pada pasien HAP/VAP, pemberhentian terapi antibiotic berdasarkan
CPIS dan kriteria klinis atau hanya dengan kriteria klinis?
Rekomendasi:
1. Untuk pasien dengan suspek HAP/VAP, kami menyarankan untuk tidak menggunakan
CPIS untuk panduan menghentikan terapi antibiotic (rekomendai lemah, low-quality
evidence).
Rangkuman Bukti
Penggunaan CPIS sebagai alat diagnostic masih didiskusikan. CPIS juga dipelajari sebagai
alat management untuk membantu dalam mengambil keputusan untuk menghentikan atau
melanjutkan antibiotik. Systematic review kami mengidentifikasi 3 studi. Bukti didominasi pada
kasus VAP bukan HAP.

Pada awal studi, 81 pasien ICU dengan infiltrasi pulmonal dan CPIS 6 (resiko rendah
pneumonia) secara random dipilih untuk mendapatkan terapi standar (pilihan dan jenis antibiotik
dipilih oleh dokter) atau monoterapi siprofloxacin dengan evaluasi ulang 3 hari. Jika CPIS tetap
6 pada 3 hari, siprofloxacin akan dihentikan. Pasien pada kelomok terapi standar mendapatkan
terapi 3 hari lebih lama dibandingkan pasien dalam kelompok CPIS (90% vs 28%, P=.0001).
Tidak terdapat perbedaan tingkat mortalitas dan lama perawatan ICU, namun kelompok CPIS
memiliki durasi antibiotik lebih pendek (3 hari vs 9.8hari, P=.0001), lebih mahal ($258 vs $640;
P=.0001) dan resistensi antibiotik dan superinfeksi lebih rendah (14% vs 38%, RR, 0.46; 95%
CI, .14-.89).
Pada penelitian kedua, 290 pasien dengan VAP dilibatkan untuk mendapatkan terapi
antibiotik empiris VAP ditentukan untuk menghentikan antibiotik berdasar kebijakan (kelompok
diskontinus) atau berdasarkan keputusan klinisi di ICU (kelompok conventional).

Kebijakan

untuk menghentikan antibiotik diperlukan jika ditemukan etiologi infiltrasi bukan karean infeksi
dan tanda-tanda infeksi menghilang, gejala dan tanda tumpang tindih dengan CPIS, namun
sedikit berbeda. Durasi terapi antibiotik berkurang pada kelompok penghentian dibandingkan
dengan kelompok terapi konvensional (6 hari vs 8 hari ; P = 0,001), tetapi tidak ada perbedaan
dalam mortalitas, panjang perawatan ICU, berkembangnya resistensi, atau kejadian superinfeksi.
Penelitian ketiga adalah penelitian observasional dari 102 pasien dengan VAP yang
membandingkan hasil antara pasien berhasil sebelum pelaksanaan pedoman antimikroba dengan
pasien berhasil setelah pelaksanaan pedoman. Pedoman menetapkan durasi terapi antibiotik
standar selama 7 hari dan menyarankan durasi yang lebih lama hanya pada terapi pasien dengan
bukti infeksi yang masih aktif, bukti ini tumpang tindih dengan CPIS (yaitu,demam,leukositosis,
infiltrat persisten,sputum purulen aktif). Berikut pelaksanaan pedoman,durasi terapi antibiotik

lebih pendek(8.6 hari vs 14,8 hari;P<0,001), dan VAP berulang lebih jarang terjadi(7,7% vs
24%;RR, 0,32;95%CI,0,11-0,93).
Secara bersama-sama , bukti yang ada tidak konsisten. Salah satu studi menunjukkan
bahwa penggunaan CPIS untuk menentukan durasi antibiotik dapat mengurangi biaya, resistensi
antibiotik, dan superinfeksi, namun 2 penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan CPIS
tidak berpengaruh pada hasil klinis. Panel memiliki tingkat kepercayaan rendah pada perkiraan
efek, meskipun terdapat 2 studi randomized trial, bukti terbatas oleh hasil yang tidak konsisten
dan tidak berhubungan dengan pertanyaan yang ada (pertanyaannya adalah tentang penggunaan
CPIS pada pasien dengan VAP, tapi satu percobaan mendaftarkan pasien dengan kemungkinan
rendah VAP dan penelitian lain menggunakan kriteria yang sedikit berbeda dari CPIS)
Alasan Bukti
Rekomendasi ini menggambarkan keyakinan panel bahwa intervensiyang tidak terbukti
tidak seharusnya direkomendasikan. Pelaksanaan CPIS tidak mahal dan tidak terlalu
memberatkan. Namun , hal itu mungkin berbahaya jika tidak berkompeten untuk membedakan
pasien yang harus masih mendapatkan antibiotik dan yang harus dihentikan, karena dapat
menyebabkan penghentian antibiotik pada pasien yang masih membutuhkan terapi antimikroba

Anda mungkin juga menyukai