Anda di halaman 1dari 4

Reformasi Hukum Islam, Tinjauan Tipologis dalam Kerangka Ijtihad

Oleh : Ahmad Mufid Bisri, S. HI.*


=========================================================
Nothing endures but change
Tidak ada yang bertahan kecuali perubahan.
(Heraclitus)
=========================================================
Secara umum tujuan pemberlakuan Hukum Islam (Maqashidus Syariah) adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin
senantiasa menawarkan jalan terbaik bagi umat manusia. Di antaranya dengan
mengakomodir problematika yang dihadapi dalam rangka mewujudkan kemaslahatan
tersebut. Di sisi lain, muncul banyak persoalan baru menyangkut hukum yang belum
ditegaskan dalam Al-quran dan Sunnah. Ahli hukum menyebut kondisi ini sebagai
kekosongan hukum (vacuum of law). Mereka juga berpendapat harus (segera) diadakan
pembaruan.
Dalam literatur Islam kontemporer, kata pembaruan silih berganti dipergunakan
dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, tarjih,
islah dan tajdid. Namun yang paling banyak dipergunakan adalah kata reformasi dari
bahasa Inggris (reformation) yang berarti membentuk atau menyusun kembali.
Sebenarnya, ide pembaruan Hukum Islam (baca : reformasi Hukum Islam)
bukanlah hal baru di Indonesia. Pada tahun 1986 misalnya, Mahkamah Agung Republik
Indonesia (MA-RI) melegitimasi (meskipun prosesnya memakan waktu tiga tahun)
pernikahan beda agama (interfaith marriage) antara Adrianus Petrus Hendrik (Kristen)
dengan Andy Voni Gani Parengi (seorang Muslimah) yang sebelumnya ditolak oleh KUA
dan Kantor Catatan Sipil (Ratno Lukito : 2008). Pada pertengahan 1990-an MA-RI juga
memberi jatah warisan kepada ahli waris non muslim melalui sarana wasiat wajibah
yang sebelumnya tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqih manapun.

Peranan Ijtihad dalam Reformasi Hukum Islam


Dalam Lisan al Arab kata ijtihad diambil dari kata al-Jahd dan al-Juhd yang secara
etimologi berarti tenaga, kuasa dan daya. Menurut arti harfiah, ijtihad berarti
mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha dengan sungguh-sungguh (maksimal)
untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Sedangkan menurut istilah, ijtihad adalah
upaya maksimal dari seorang ahli fiqih dalam memperoleh ketentuan hukum yang

bersifat dhanny. Menurut Al-Ghazaly (1324:35) melaksakan ijtihad merupakan


perbuatan berat dan sulit yang hasilnya wajib diyakini oleh mujtahid dan para
pengikutnya.
Paling tidak ada dua hal pokok yang harus diperhatikan agar ijtihad dapat
berperan dalam reformasi Hukum Islam. Pertama, pelaku adalah orang yang memenuhi
kualitas sebagai mujtahid. Kedua, ijtihad harus dilakukan pada tempat-tempat yang
dibenarkan oleh syara. Seberapa jauh seorang mujtahid berperan dalam reformasi
Hukum Islam sangat tergantung pada seberapa besar ia memaksimalkan kemampuan
untuk menggali hukum-hukum yang terkandung dalam Al-quran dan Hadish. Peran
ijtihad sangat besar dalam reformasi Hukum Islam. Reformasi tidak mungkin
dilaksanakan tanpa ada mujtahid yang memenuhi syarat.
Mengutip pendapat Abdul Manan (2006: 185), peran ijtihad dalam reformasi
Hukum Islam terbagi atas beberapa tipologi, di antaranya :

Penyusunan Ensiklopedi Fiqih


Pertama kali muncul gagasan untuk menyusun ensiklopedi fiqih adalah dalam
konferensi Fiqih Islam Internasional di Paris pada tahun 1951 M/1370 H. hasil konferensi
ini dijadikan momentum untuk menjadikan fiqih sebagai

ilmu Hukum Islam sesuai

dengan gaya bahasa modern dan kamus yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Orang pertama yang menyusun ensiklopedi fiqih adalah Ibnu Hazm dalam AlIsmal. Sayang buku itu tidak diketahui lagi kebaradaannya. Imam Nawawi berusaha
menyusun materi serupa dalam Al-Majmu walaupun akhirnya tidak berhasil dan
berhenti pada jilid ketiga. Oleh dorongan kebutuhan masyarakat muslim, pada tahun
1956 M/1375 Fakultas Syariah Universitas Damaskus merintis penerbitan buku-buku
ensiklopedi fiqih dalam sistem modern seperti fiqih Ibnu Hazm dan petunjuk-petunjuk
istilah fiqih. Usaha ini diharapkan dapat membangun kembali pemikiran tentang Hukum
Islam yang telah lama berhenti akibat pemahaman pintu ijtihad telah tertutup.

Pembentukan Undang-undang
Pada tahun 1910 M di mesir disusun sebuah undang-undang hukum keluarga
yang berorientasi pada mazhab Abu Hanifah. Undang-undang ini tidak sempat
diberlakukan karena ada perlawanan dari rakyat Mesir yang menghendaki agar dalam
hukum keluarga dilakukan pembaruan tidak lagi hanya berpegang pada mazhab Abu
Hanifah saja, melainkan bersandar pada empat mazhab lainnya.

Setelah melalui proses panjang, akhirnya pada tahun 1920 M pemerintah


membentuk tim perumus yang terdiri dari para Mashayikh, Ketua Pengadilan Tinggi dan
Mufti Negara untuk merumuskan undang-undang hukum keluarga yang disandarkan
pada mazhab Abu Hanifah dan empat mazhab lainnya. Undang-undang ini selesai pada
tahun 1923 M dan diganti pada tahun 1930 M. Puncaknya pada tahun 1936 berhasil
disusun Undang-undang Keluarga tanpa terikat pada mazhab tertentu. Di Indonesia juga
ada UU Perkawinan (Nomor 1 Tahun 1974), UU Pengelolaan zakat (Nomor 38 Tahun
1999) dan UU Wakaf (Nomor 41 Tahun 2004).

Fatwa
Reformasi Hukum Islam melalui proyeksi fatwa sangat luas cakupannya dan
kompleks. Seperti diketahui, fatwa-fatwa Hukum Islam dalam berbagai bidang
dikeluarkan oleh lembaga internasional, lembaga yang dibentuk oleh negara maupun
lembaga organisasi Islam dan riset perguruan tinggi Islam.
Lembaga fatwa berstandar Internasional misalnya bisa kita jumpai Darr Al-Ifta di
Mesir dan Lajnah al-Fatwa di Saudi Arabia. Di Indonesia, fatwa-fatwa Hukum Islam
dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pedomannya ditetapkan dalam
keputusan MUI Nomor U 596/MUI/X/1997. Organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama
(NU) mendirikan Forum Bahstul Masail Pondok Pesantren (FBMPP) pada tingkat
kabupaten/kota dan Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) pada tingkat
propinsi. Muhammadiyah mempercayakan fatwa Hukum Islam pada Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam (MT-PPI) Muhammadiyah. Persatuan Islam (Persis)
juga mempunyai Dewan Hisbah untuk penerbitan fatwa. Selain tersebut diatas, ada juga
fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh perorangan yang kapasitasnya sangat dihormati oleh
umat Islam, sebut saja Mahmud Syaltut, Hasanuddin Makluf dan Yusuf al-Qardhawi.
Kajian Ilmiah dan Penelitian
Reformasi Hukum Islam dengan proyeksi ini dilaksanakan melalui karya-karya
ilmiah orisinal seorang ulama yang memiliki spesialisasi ilmu dan penelitian serta kajian
serius yang diajukan dalam program untuk mencapai gelar master dan doktor. Ada juga
hasil penelitian ilmiah yang diajukan seorang profesor dari perguruan tinggi untuk
kenaikan jenjang dalam bidang ilmiah yang disebarkan melalui majalah-majalah ilmiah
secara rutin.

Putusan Pengadilan Agama


Di beberapa negara seperti Pakistan dan India, reformasi Hukum Islam telah
dilakukan sejak abad pertengahan. Bahkan sejak Islam tersebar di Spanyol. Pengadilan
di beberapa negara tersebut telah memutus perkara dengan metode ijtihad.
Sedangkan di Indonesia reformasi Hukum Islam dilaksanakan sejak tahun 1974,
ketika diberlakukan Undang-undang nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan.

Kemudian dilanjutkan dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun


1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden RI menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991
yang menginstruksikan untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) kapada
masyarakat. Peratuaran-peraturan tersebut (diantaranya) yang digunakan sebagai
pertimbangan hukum oleh Pengadilan Agama. Maka muncullah putusan-putusan
tentang wasiat wajibah, ahli wari pengganti, ahli waris beda agama dan beberapa hal
baru dalam perkawinan, perwakafan dan hibah. Kesemuanya itu merupakan hal baru
sama sekali dalam perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Bahkan munculnya para
hakim beraliran progresif menjadi isu tak terbantahkan beberapa tahun terakhir
(hukumonline: 22/12/2011).
Literature-literatur kitab kuning (al-kutub al-salafiyyah) tidak bisa hanya dijadikan
doktrin yang jumud, melainkan lebih sebagai data yurisprudensi, data sejarah dan data
pemikiran yang membutuhkan kontekstualisasi dan penyesuaian-penyesuaian (baca:
reformasi). Tapi dengan syarat: pertama, tetap mempertahankan al-turats al-salafiy
(khazanah klasik) tetapi tidak meninggalkan khazanah modern. Kedua, perangkat
metodologi penelitian dan pemikiran yang tidak sembarangan. Sebab metodologi
merupakan kunci reformasi dan inovasi. Ketiga, perlu digunakan pendekatan
transformatik-emansipatoris

(yang

membebaskan

dan

merubah).

Dengan

pembebasanlah spirit perubahan tercipta.


Terakhir, penulis mengutib adagium Al-Muhafadhotu ala al-qadim as-shalih wa alakhdzu bi al-jadid al-aslah (menjaga pedoman lama yang baik dan mengambil pedoman
baru yang lebih baik). Dengan pelbagai fenomena Hukum Islam di atas, tidak berlebihan
kiranya muncul adagium Al-Muhafadhotu ala al-qadim as-shalih wa al-ijad bi al-jadid alaslah (menjaga pedoman lama yang baik dan menemukan pedoman baru yang lebih
baik). Wallahu alam
(*) Calon Hakim di Pengadilan Agama Palu.

Anda mungkin juga menyukai