level,
dharuriyyat
(elementer),
haajiyyat
(suplementer)
dan
tahsiniyyat
(komplementer).
Selanjutnya,
para
intelektual
muslim
merumuskan
konsep
baru
dan
memasukkannya sebagai bagian dari konsep maqashid as-asyariah, yaitu hifdzu albiah (menjaga lingkungan), hingga muncul apa yang disebut fiqh lingkungan (fiqh albiah; environment islamic law). Sayangnya, di Indonesia yang mayoritas muslim,
konsiderasi mengenai fiqh al-biah baru muncul pada tahun 1960 melalui seminarseminar.
pemanasan global makin meningkat hingga berpotensi terhadap perubahan iklim yang
pada gilirannya akan memperparah penurunan kualitas lingkungan. Menipisnya lapisan
ozon, kerusakan mangrove, padang lamun, gambut, karst, dumping limbah, kegagalan
mitigasi, instabilisasi mutu emisi dan udara ambien adalah ancaman serius yang perlu
segera mendapatkan penyelesaian. Dalam konteks ini, perlu dilakukan perlindungan
dan pengelolaan secara sungguh-sungguh dan konsisten.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat diimplementasikan
secara sistematis dan terpadu. Sistematis dalam arti dilakukan secara bertahab. Step
by step. Terpadu karena perlu diketengahkan term kombinasi lintas aspek (interside
combination). Untuk itu dibutuhkan semangat melestarikan fungsi lingkungan hidup
dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan (mafsadat). Laiknya pola
dalam problem solving, perpaduan aspek lingkungan, sosial, ekonomi dan hukum yang
saling
bertautan
merupakan
strategi
penjamin
keutuhan
lingkungan
hidup,
keselamatan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.
Proyeksi dan proteksi
Sumber daya alam sebagai salah satu representasi dari lingkungan hidup
memiliki daya dukung dan daya tampung. Kedua istilah ini merupakan entitas yang
dihasilkan
dan
dapat
dimanfaatkan
oleh
makhluk
sekitarnya
dengan
tetap
konservasi,
khususnya
hutan-hutan
suaka
alam
(suaka
kepentingan perusahaan. Sebut saja Exxon Mobile di blok Cepu, Chevron di Riau,
Total di blok Mahakam Kaltim, ConocoPhillips di blok Corridor, Jambi dan tentu saja
Freeport di Papua.
Meskipun telah dilakukan pengawasan, nampaknya sanksi yang ada tidak
serta merta membuat mereka sadar bahwa menurunnya kualitas sumber daya alam
secara tidak langsung dapat mengurangi keuntungan mereka. Lebih jauh dari itu,
keberlangsungan lingkungan hidup adalah di atas segalanya (Conditio Sine Qua Non).
Konstruksi hukum
Kementrian Lingkungan Hidup telah menyusun juklak Corporate Social
Responsibility (CSR) sebagai salah satu instrumen inovatif yang membantu
perusahaan untuk peka dan adaptif terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat
sehingga dapat bersikap lebih sensitif terhadap lingkungan dan selaras dengan
dinamika masyarakat sekitarnya.
Selain itu, guna mencapai kepastian hukum agar program dicanangkan bisa
berjalan secara tegas dan efektif, pemerintah telah beberapa kali mengeluarkan
peraturan perundang-undangan, di antaranya :
UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah
UU No. 19 tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention On Persistent
Organic Pollutants (Konvensi Stockholm Tentang Bahan Pencemar Organik Yang
Persisten)
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
PP No. 27 tahun 2012 tentang izin lingkungan
PP No. 52 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku
pada Kemententerian Negara Lingkungan Hidup
PP No. 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga
Peraturan Menteri, Keputusan Menteri dan Surat Edaran sebanyak 13 (2006), 12
(2007), 17 (2008), 34 (2009), 17 (2010), 17 (2011), 26 (2012) dan 7 (2013).
Disadari atau tidak, negara melalui alat-alatnya telah mengimplementasikan
konsep fiqh al-biah sebagai instrumen penting dalam menyongsong kegiatan
berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, dibutuhkan supporting unit dari semua
kalangan. Termasuk peran agama dalam menyikapi isu-isu lingkungan dari perspektif
yang lebih praktis.
Fiqh al-bi`ah tumbuh dengan kompleksitas problem ekologi secara multidisipliner. Berbeda dengan fiqh al-zakah dan fiqh al-hajji misalnya, fiqh al-bi`ah dapat
menjadi disiplin ilmu keislaman yang mengekspansi seluruh bidang-bidang
kehidupan.
Menurut Yusuf Qaradhawi, menjaga lingkungan (hifdzu al-bi`ah) sama dengan
menjaga agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal).
Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek-aspek agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta rusak, maka eksistensi manusia di dalam lingkungan menjadi ternoda. Oleh
sebab itu, dislokasi fiqh al-bi`ah bisa menjadi oportunitas yang konfrontatif jika diikuti
oleh paradigma epistemologi yang komprehensip.
Melindungi dan mengelola lingkungan hidup tentu bukan hal mudah. Namun
bukan juga hal sulit jika kita bersama berusaha dan bekerja keras karena tidak ada
fenomena lingkungan yang bersifat unpredicable. Kendati apa yang kita lakukan
terhadap lingkungan tidak langsung dapat terasa manfaatnya. Sebuah adegium
mengatakan bahwa cara paling cepat mencapai sebuah tujuan adalah dengan kerja
keras dalam waktu yang relatif lama (asrau at-Thariq li al-ghayah tuulu az-zaman fi aljiddah). Setidaknya, aksi nyata kita adalah dengan tidak berbuat kerusakan terhadap
lingkungan sekitar (ifsad fi al-ard), meski kita belum bisa melindungi dan mengelolanya
dengan baik (ma la yudroku kulluh la yutroku kulluh). Semoga.