Anda di halaman 1dari 17

Artikel Fikih Ekologi

Disusun oleh:
1. Rani Marreta (230202110107)
2. Muhammad Sahrul (230202110131)
3. Muhammad Farhat Abulkhair (2302021110159)

ABSTRAK

Pembelajaran fiqih pada materi halal dan haram bisa dikembangkan dengan
mengintegrasikan fiqih ekologi, salah satu caranya adalah dengan mengembangkan materi
yang berorentasi pada pendekatan HOTS. Artikel ini akan menjawab dua pertanyaan Mengapa
fiqih ekologi penting diajarkan di Madrasah Ibtidaiyah dan bagaimana cara mengintegrasikan
konsep fiqih ekologi pada materi halal dan haram. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif. Jenis penelitian kepustakaan (library research), penelitian ini dilakukan dengan
mencatat semua temuan dari leteratur, memadukan segala temuan, menganalisis segala temuan
dari berbagai bacaan, terakhir adalah mengkritisi dengan menghadirkan temuan baru. Hasil
penelitian ini adalah Pembelajaran fiqih ekologi pada tingkat madrasah ibtidaiyah sangat
penting karena dengan diberikannya materi fiqih ekologi peserta didik anak mempunyai
kesadaran, pengetahuan, sikap, keterampilan dan kepedulian terhadap lingkungan. Cara
mengintegrasikan fiqih ekologi pada materi halal dan haram adalah dengan mengembangkan
materi halal dan haram yang berorentasi HOTS yaitu peserta didik diajak untuk berfikir tingkat
tinggi dan pada materi halal dan haram ini juga ditekankan bahwa syariat mengajarkan agar
seorang muslim berhati-hati dengan apa yang diperbuat dan apa yang dimakannya. Selain itu
melestarikan dan melindungi alam dengan usaha menanam dan menghijaukan tumbuh-
tumbuhan merupakan perbuatan yang dapat mendatangkan pahala, dan orang-orang yang
berbuat kerusakan di bumi diancam dengan ancaman neraka di akhirat kelak

Kata Kunci : Fiqh Ekologi


PENDAHULUAN

Bagi Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting bukan semata-
mata karena posisinya sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati
(mega-biodiversity), dewasa ini lingkungan itu tidak begitu dihargai. Pengrusakan lingkungan
itu dianggap hal yang wajar-wajar saja dan dilakukan dengan penuh kesadaran tinggi. Hukum
pun tidak dapat lagi berbuat banyak. Dampaknya begitu terasa. Kita bisa lihat baik lewat media
maupun dengan mata kepala kita sendiri. Sampah berserakan dimana-mana, penggundulan dan
penggurunan hutan (deforestasi), asap-asap pabrik, dan eksploitasi alam secara berlebihan dan
brutal. Masalah ekologi sudah seharusnya diberikan perhatian yang serius mengingat berbagai
kerusakan terhadapnya sudah mencapai tingkat yang begitu mengkhawatirkan. Dari tahun ke
tahun kerusakan dan kekerasan terhadap ekologi bukannya menurun, malah semakin
meningkat secara drastis. Tentu ketika ditanya apa faktor-faktor di balik ini, jawabannya
sederhana, yaitu:
Pertama, pemahaman manusia terhadap alam dan lingkungan adalah keliru. Anggapan
bahwa alam beserta isinya diciptakan untuk manusia, dan manusia sebagai pusat penciptaan
hampir didukung oleh berbagai agama di dunia dengan berbagai variannya.
Kedua, perilaku negatif manusia yang memiliki kecenderungan untuk mengeksploitasi
alam beserta isinya demi kepentingan dirinya dengan menggunakan media sains dan teknologi
tanpa mempedulikan hak-hak alam. Filosof Jerman, Nietszhe, menegaskan bahwa dalam diri
manusia terdapat kecenderungan dan keinginan untuk berkuasa dan mendominasi (will to
power), tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam.
Lingkungan adalah lahan ibadah yang masih ditelantarkan oleh ummat islam, fiqh
ekologi adalah terobosan baru dalam menjawab masalah kelestarian hukum lingkungan serta
lahirnya konsep hukum lingkungan. Fiqh ini hadir karena selama ini Al-Qur’an dan Fiqh hanya
menjelaskan mengenai prinsip-prinsip konservasi dan restorasi lingkungan saja. Dengan
demikian, fiqh lingkungan alam berarti fiqh yang obyek material kajianya bidang ligkungan
dan perumusanya didasarkan pada sumber nilai ajaran islam. Dengan kata lain, fiqh lingkungan
islam merupakan ilmu yang membahas tentang ajaran dasar islam mngenai lingkungan.
Kemudian setelah fiqh ekologis, selanjutnya dipadukan dengan teologi lingkungan yang secara
konteks umum ingin mengusung dan membangun konsep teologis yang pro terhadap
lingkungan hidup dan ini juga merupakan ranah kajian
Tulisan ini menawarkan solusi tersebut dalam perspektif fikih Islam yang kaya dengan
konsep-konsep yang menekankan kebaikan dan keseimbangan manusia dengan alam. Hal ini
dimaksudkan agar dapat ditindaklanjuti dalam tataran praktis
.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqih Ekologi

Fikih Ekologi merupakan kalimat yang tersusun dari dua kata idhafah; atau
kalimat (majemuk) yakni, kata Fikih (mudhafi) dan Ekologi (mudhaf ilaih). Kata
Ekologi berasal dari bahasa Yunani “oikos” yang berarti “hal” dan “logos” yang
berarti "ilmu". Jadi, Ekologi dapat dimaknai sebagai yang mempelajari interaksi
antara organisme (makhluk hidup) dengan sesama organisme lainnya atau dengan
lingkungannya. Definisi ekologi tersebut, pertama kali disampaikan oleh Ernest
Haeckel seorang Zoologi Jerman. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah fikih
lingkungan hidup (fiqhul bi`ah). Jika ditelisik dari sisi semantik, terdiri dari dua
kata yaitu kata fiqh dan al-bi`ah. Secara bahasa “Fikh” berasal dari kata Faqiha-
Yafqahu-Fiqhan yang berarti al-‘ilmu bis-syai`i (pengetahuan terhadap sesuatu) al-
fahmu (pemahaman).
Fiqh secara bahasa (etimoligi) berarti "pemahaman mendalam atas sesuatu yang
diucapkan atau dikerjakan". Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an:

mereka berkata: "Hai Syu'aib, Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu
katakan itu dan Sesungguhnya Kami benar-benar melihat kamu seorang yang
lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah Kami telah
merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami."
(Q.S. Hud: 91)

Sedang secara itilah (terminologi) kata Fikih bermakna pemahaman yang


mendalam atas hukum-hukum syariat yang dijalankan manusia berdasarkan aturan-
aturan yang telah ditentukan. Bertolak dari penjelasan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa maksud dari istilah Fikih Ekologi adalah pemahaman yang
mendalam hukum syariat guna menyelesaikan beragam persoalan yang terjadi
ditengah-tengah proses interaksi antara makhluk hidup dengan sesamanya dan
lingkungan baru secara umum mengangkat rumusan etika. Kajian teologi
lingkungan muncul sebagai penyikapan positif masyarakat teologi terhadap
persoalan lingkungan . Seperti halnya ulama fiqih klasik tidak mengkaji fiqh
ekologis yaitu fiks yang berbasis lingkungan hidup, maka ulama teologi klasik tidak
mengkaji fiks teologi yaitu fiks yang berbasis lingkungan hidup, maka ulama
teologi klasik dan masyarakat teologi pertengahan pun tidak mengembangkan
kajian teologi lingkungan. Sebab pada masa itu lingkungan belum menimbulkan
masalah dan belum bermasalah. Lingkungan masih bersahabat memiliki daya
dukung optimum bagi kehidupan manusia dan makhluk lain. Sedangkan pada masa
kontemporer modern ini justru lingkungan sudah menjadi lebih besar.
Hukum pelestarian lingkungan hidup adalah fardhu kifayah. Artinya, semua
orang baik individu maupun kelompok dan perusahaan bertanggung jawab terhadap
pelestarian lingkungan hidup, dan harus dilibatkan dalam penanganan kerusakan
lingkungan hidup. Hanya saja, di antara yang paling bertanggung jawab dan
menjadi pelopor atas kewajiban iniadalah pemerintah.Sebab, pemerintah adalah
pihak yang berkewajiban untuk mengurus urusan rakyat termasuk lingkungan
hidup.Selain itu, pemerintah juga memiliki seperangkat kekuasaan untuk
menggerakkan kekuatan menghalau pelaku kerusakan lingkungan hidup.Kewajiban
masyarakat adalah membantu pemerintah dalam menyelesaikan masalah lingkungan
hidup.

B. Fikih Pelestarian Hutan dan Daerah Aliran Sungai

 Pelestarian Hutan
Fikih pelestarian hutan yang juga termasuk kedalam fikih lingkungan hidup
adalah sebuah konsep atau pandangan dalam agama Islam yang berkaitan dengan
perlindungan dan pelestarian hutan. Membahas tentang pelestarian hutan dalam
konteks fikih berarti mencari pandangan dan pedoman agama Islam terkait dengan
bagaimana manusia seharusnya berinteraksi dengan hutan dan ekosistem darat.

Teknologi mengubah cara kerja industri dalam mengolah kekayaan alam, dan
sayangnya seringkali abai pada kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam
buku Konservasi Alam dalam Islam, Fachruddin M Mangunjaya, menjelaskan
persoalan kerusakan ekosistem hutan misal, dicatat bahwa bencana kebakaran dari
Juni hingga Oktober 2015 dijumpai lebih dari 100 ribu hotspot kebakaran telah
melalap 2,6 juta hektare hutan di Indonesia.Kerugian yang ditimbulkan setara
kurang lebih dengan Rp196 triliun. Ditengarai penyebab dari kebakaran hebat
tersebut karena metode land clearing, yakni usaha membuka lahan untuk keperluan
industri atau pembalakan liar dengan cara yang mudah dan murah yakni melalui
pembakaran, yang tentu justru memiliki banyak mudharatnya.

Allah SWT dalam Surah Al-Araf ayat 56 sudah memperingati dengan firman-Nya:

‫ب ِّم َن ٱۡل ُم ۡح ِسِنيَن‬ٞ‫َو اَل ُتۡف ِس ُدوْا ِفي ٱَأۡلۡر ِض َبۡع َد ِإۡص َٰل ِحَها َو ٱۡد ُعوُه َخۡو ٗف ا َو َطَم ًع ۚا ِإَّن َر ۡح َم َت ٱِهَّلل َقِري‬

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)


memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima)
dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik”
Berikut, Fachruddin M Mangunjaya alam buku Konservasi Alam dalam islam
menuturkan terdapat tiga konsep praktik konservasi alam dalam islam yang dapat
menghindarkan adanya pegrusakan alam.

1. Konsep Hima’

Dalam literatur fikih, kata himâ mengandung pengertian “lahan terlarang


bagi orang lain”. Dasarnya adalah hadis nabi, yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Bukhârî dan Abû Dâwûd: Lâ himâ illâ Allâh wa rasûlihi ‘Semua
himâ (lahan konservasi) hanyalah milik Allah dan rasul-Nya’. Maksudnya,
kawasan lindung yang dilarang untuk menggarapnya dan untuk dimiliki oleh
siapa pun, agar ia tetap menjadi milik umum untuk tumbuhnya rumput dan
penggembalaan hewan ternak. Atau untuk bahasa yang lebih luas, untuk
kepentingan umum dalam menjaga keutuhan ekosistem, sumber air,
pencegahan banjir dan longsor, sumber daya hayati, penyerapan karbon, dan
sebagainya.

Dalam hukum Islam, menurut Al-Suyûti dan juga para fukaha yang lain,
himâ harus memenuhi empat persyaratan yang berasal dar i praktek Nabi
Muhammad saw. dan khalifah-khalifah pertama, yaitu (1) harus diputuskan
oleh Pemerintahan Islam; (2) harus dibangun sesuai dengan ajaran Allah–
yakni untuk tujuan-tujuan yang berkaitan dengan kesejahteraan umum; (3)
harus terbebas dari kesulitan pada masyarakat setempat, yakni tidak boleh
mencabut sumber-sumber penghidupan mereka yang tak tergantikan; (4) harus
mewujudkan manfaat nyata yang lebih besar untuk masyarakat
ketimbang kerusakan yang ditimbulkannya (Lewelyn, 2003:213).

Secara historis, praktik ini sudah dilakukan nabi, misalnya dengan


membuat himâ di wilayah Naqi’, delapan mil dari kota Madinah, untuk kuda-
kuda kaum muslimin. ‘Umar bin al-Khattâb membangun himâ Sharaf dan
al-Rabadah, yang diperluas oleh Uthmân bin ‘Affân, membentang dari
tempat di Rabadah di Barat Nejed sampai ke perkampungan Dariyah.
Pada tahun 1969, diperkirakan ada tiga ribu himâ, yang mencakup sebuah
kawasan luas di bawah pengawasan konservasionis dan berkelanjutan.

Meskipun pada masa nabi dan setelahnya dimanfaatkan untuk


menggembala ternak, namun dalam konteks sekarang, istilah ini dapat diperluas
pemahamannya menjadi taman nasional, cagar alam, suaka alam, hutang lindung,
dan suaka margasatwa. Di Indonesia banyak ditemukan hima atau cagar
alam, di antaranya ialah Cagar Alam Ujung Kulon, Cagar Alam Way
Kambas, Cagar Alam Karaeta di Maros, Hima Batang Gading, Hima
Gunung Leuser (Aceh), dan sebagainya.

2. Ihya al-mawat (mengelola lahan produktif yang terlantar)


Kata ihyâ’ berarti “menghidupkan” dan mawât berarti “tanah-tanah mati
yang tidak ada pemiliknya.” Menurut Al-Zuhaylî (1989, V:550), kandungan
makna dari istilah ini adalah:

‫استصالح األراضى الزراعیة أو جعلھا صالحة للزراعة برفع عوائقالزراعة من أحجار وأعشاب منھا‬
‫واستخراج الماء و توفیر التربة الصالحة للزراعة وإقامة األسوار علیھا أو تشیید البناء فیھ‬
Terjemahnya:
Membuat tanah-tanah pertanian menjadi subur atau
menjadikannya cocok untuk ditanami dengan
menghilangkan hal-hal yang menghambat penanaman
seperti batu-batu dan rumput-rumput, membuat air keluar,
menaburkan tanah-tanah yang cocok untuk ditanam, dan
mendirikan pagar atau mendirikan bangunan di atasnya.
Tujuan dari konsep ini, seperti yang dipahami oleh para fuqahadan dokter, tidak
hanya sebagai sumber dalam ekonomi negara, tetapi juga sumber bagi kesehatan
lingkungan. Memang benar bahwa Islam memberikan perhatian khusus kepada
pentingnya tanah. Ini karena, ihyâ’ al-mawât sangat penting bagi keberlangsungan
hidup manusia, yang tanpanya tidak ada tumbuh-tumbuhan dan pengolahan yang
dapat dikembangkan di atas bumi. Karena tanah mati yang tidak produktif,
jika diabaikan begitu saja, akan menyebabkan degradasi tanah, dan ini pada
gilirannya dapat mengancam keselamatan hidup manusia, b.atang, dan makhluk
ciptaan lainnya.
Secara historis, praktik ini pernah dilakukan pada masa nabi, khulafâ’ râshidûn
dan juga ‘Umayyah. Sejarawan menceritakan bahwa ketika nabi berhijrah ke
Madinah, sejumlah umat Islam Madinah telah memiliki lahan-lahan pertaniannya
sendiri. Nabi tidak hanya mengkonfirmasi kepemilikan tanah, melainkan
juga menetapkan aturan yang positif yang membiarkan tanah tersebut menjadi
milik perorangan. Kebijakan ini diikuti oleh para khalifah setelah nabi wafat.
‘Umar bin al-Khattâb, misalnya, menyerahkan semua lahan Khaybar kepada
ratusan orang setelah ia mengeluarkan orang-orang Yahudi dari sana.
Dasarnya adalah hadis: man ahyâ ardan maytatan fahiyalahu‘Siapa pun yang
tadinya menghidupkan tanah yang tidak dipakai—terlantar dan tidak dimiliki
oleh siapa pun—maka tanah tersebut menjadi miliknya’. Hadis ini
diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Turmudhî melalui jalur Jâbir bin ‘Abd Allâh.
Status hadis ini, menurut Al-Turmudhî, adalah hasan sahîh Semangat hadis ini
memberikan pesan agar tidak membiarkan tanah tidak bertuan atau kawasan
terlantar begitu saja. Konsep ini sangat penting sebagai landasan
memakmurkan bumi yang merupakan tugas manusia sebagai khalifah Tuhan di
muka bumi. Namun demikian, untuk konteks sekarang, praktik tersebut tidak
dapat begitu saja dilakukan karena perlu mendapatkan persetujuan Pemerintah
atau penguasa, menurut mazhab Hanafî (Yûsuf, 1985: 180). Alasan dari
pandangan ini adalah untuk menjauhi berbagai sengketa yang mungkin terjadi dari
berbagai klaim yang bertentangan—entah itu antara pengembang ihyâ’ dan
pemilik iqtâ’. Sedangkan mazhab Mâlik berpendapat bahwa persetujuan dari
negara itu penting hanya ketika tanah mati yang tidak berpenghuni (mawât)
itu berada dekat dengan perhunian masyarakat. Jika tanah mawât tersebut
terisolasi dan jauh dari kampung masyarakat, maka persetujuan dari negara
tidaklah begitu penting.
Menurut Rusli, dalam konteks sekarang, intervensi Pemerintah itu sangat
penting demi menghindari terjadinya konflik, karena hukm al-hâkim ilzâm
yarfa’ al-khilâf (putusan penguasa bersifat mengikat dan mengangkat segala
bentuk sengketa). Untuk itu, Pemerintah dan peraturan perundangan harus aktif
dan akomodatif dalam mengelola dan menerapkan peraturan pemilikan lahan
secara konsisten. ‘Umar bin al-Khattâb, misalnya, membuat peraturan
perundangan untuk mengambil tanah yang tidak digarap oleh pemiliknya
selama tiga tahun. Dengan demikian, apabila tidak terlihat ada tanah-tanah yang
berstatus tidak jelas dan tidak ada tanda-tanda kehidupan, Pemerintah dapat
memproses lahan tersebut agar dapat dialihkan kepemilikannya untuk dijadikan
lahan produktif. Dalam ihyâ’ al-mawât ada beberapa ketentuan fikih yang perlu
diperhatikan, yaitu selain penggarapan tanah tidak berlaku terhadap tanah yang
sudah dimiliki orang lain, ia juga bukan merupakan kawasan yang dapat
mengakibatkan gangguan terhadap kemaslahatan umum, seperti tanah yang rawan
longsor atau daerah aliran sungai yang dapat berakibat berubahnya aliran
sungai. Proses tersebut, menurut Al-Mâwardî (1998, IX:333-334), diserahkan
kepada adat kebiasaan setempat. Oleh karena itu, ihyâ’ harus dilakukan
menurut watak alami dan kondisi tanah yang tidak produktif (mawât) tersebut. Jika
tanah tersebut masuk dalam kategori tanah pertanian, pekerjaan yang dapat
dilakukan seharusnya mencakup pembuatan batas-batas, pembersihan lahan
tanah, dan pengairan.

3. Harim

Di dalam Fikih, istilah harim digunakan minimal dalam dua pembahasan atau
masalah yang berbeda. Pertama, harim dihubungkan dengan pembahasan atau
masalah ihyaul-mawat (reklamasi tanah) yang titik tekannya pada masalah irigasi.
Kendati istilah harim tersebut digunakan dalam dua pembahasan atau masalah yang
berbeda, keduanya masih memiliki memiliki pengertian yang sama secara leksikal.
Aurat utama seorang laki-laki dewasa adalah pusar dan daerah sekitar kemaluan.
Dalam hal ini, Fiqh juga menyebut paha dan perut sebagai harim bagi aurat utama
seorang laki-laki dewasa tersebut. Harim dalam penggunaan kedua ini berarti
“daerah atau tempat terlarang”, yaitu terlarang untuk dipertontonkan sembarangan
sebagaimana terlarangnya mempertontonkan aurat utama. Oleh karena itu, tempat
atau ruangan khusus wanita dalam rumahtangga muslim juga disebut harim, dan
istilah Harem dalam perbincangan Barat sangat mungkin berasal dari maksud ini,
yaitu perempuan- perempuan yang terjaga dalam rumah, bukan perempuan yang
suka kelayapan atau perempuan dalam makna negatif. Ini bisa dipahami, sebab
dalam Islam hamper secara keseluruhan sosok wanita merupakan aurat. Arti harim
di sini identik dengan harim (daerah terlarang) di berbagai sarana irigasi di atas
yang akan segera dikupas pada pembahasan berikut. Hanya saja, secara perspektif,
antara keduanya jelas berbeda.
Secara khusus, Dr. Ibrahim Anis menisbatkan kata harim kepada harim
rumah, harim masjid, dan harim sumur. Untuk ini, beliau mengartikan harim
sebagai wilayah (tempat, lahan) di sekeliling obyek-obyek tersebut yang
disengaja untuk dijadikan tempat untuk bergantungnya perlindungan berbagai
macam hak dan pemanfaatan atas objek. Bahkan, secara tegas, Cyril Glasse
mengartikan harim dengan wilayah terlarang. Disebut sebagai wilayah terlarang
karena tentu terdapat berbagai larangan yang berfungsi sebagai usaha untuk
melindungi dan menjaga hak-hak kepemilikan seseorang atau kelompok atas
rumah, masjid, dan sumur tersebut serta untuk menjaga agar manfaat tempat-
tempat tersebut bisa tetap berlangsung lestari. Untuk itu, keberadaan
harim diperlukan sebagai sebuah wilayah larangan yang mengelilingi tempat-
tempat tersebut.
Sejalan dengan pengertian di atas, ulama fiqh telah memberikan definisi
harim sebagai suatu (lahan) yang dihajatkan untuk kesempurnaan manfaat
sebuah wilayah yang sedang dimakmurkan dan juga untuk kemaslahatan orang
yang memakmurkan lahan tersebut dalam kerangka menjaga hak-hak
pemanfaa,tannya. Dalam banyak definisi, lahan semacam ini dinamai lahan
harim, karena orang lain selain pihak pemakmur wilayah (pemilik lahan) tidak
dibenarkan (haram) mengadakan berbagai bentuk interaksi yang berupa
transaksi (tasarruf) dan pemanfaatan (irtifaq ) atas lahan harim tersebut.
Dalam hukum Islam, refleksi "haram" di atas tegas-tegas
mengindikasikan adanya suatu bentuk larangan dan aturan yang terakumulasi
sedemikian rupa yang dalam hal ini berfungsi untuk mencapai dua sasaran
diberlakukannya harim sebagaimana tergambar dalam definisinya di atas, yaitu
penjagaan dan perlindungan atas objek.
Kendati keduanya mengandung muatan larangan dan aturan, lebih
lanjut muatan kata harim layak nutuk diteliti, sebab dalam penuturan Arab, kata
ini bersifat musyabbahah sekaligus Muballaghah. Artinya, dari rangkaian katanya
dapat dipahami bahwa haramnya lahan harim bukan datang dari mana-mana.
Tetapi, ia secara bahasa sudah ada, hadir, dan menyatu (inhern) sebagai sifat
yang melekat erat dan abadi keharamannya pada apa yang disebut harim (lahan)
tersebut. Dan pengungkapan dengan kata harim dinilai lebih tegas dan mengenai
sasaran bahasa (al-kalâm al- baligh) bahwa lahan termaksud (lahan harim) benar-
benar haram dan terlarang bagi selain pemilik dan pemakmur sebuah wilayah.
Uniknya, kata harim ini dalam penelitian lebih lanjut, banyak dilekatkan
pada obyek yang selama ini dinilai kurang menyentuh aspek riil keagaman
sebagaimana kata haram yang sudah terposisikan sedemikian rupa sebagai
bahasa agama. Obyek tersebut adalah lingkungan hidup, khususnya ekosistem
air.

 Pelestarian Daerah Aliran Sungai

Sungai merupakan tempat hidup dari komponen-komponen ekosistem


tertentu. Mulai dari ikan-ikan, tumbuhan serta keanekaragaman hayati lain.
Sungai sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ia merupakan sumber
pencaharian sebagian masyarakat. Sebagian jenis ikan di sungai juga sangat
mendukung aktivitas ekonomi. Ada pula yang memanfaatkan sumber daya
sungai lainya, seperti pasir. Bagi sektor pertanian, sebagian besar
masyarakat juga memanfaatkan sungai sebagai sumber irigasi lahan sawah
mereka.

Dalam Khazana Fiqih, sungai dikenal dengan istilah nahar, untuk mufrad
(kata tunggal. Sedangkan jamaknya (plural) menggunakankata anhar. Secara
istilah.

‫لَم اُء الَع ْذ ُب الَغ ِز ْيُر الَج اِر ْي َو َم ْج َر ى اْلَم اِء اْلَع ْذ ِب‬

“Air tawar yang melimpah serta mengalir. Atau tempat air yang mengalir"

Al-Qur’an banyak menyebut kata nahar ataupu n anhar, mayoritas ketika


menggambarkan kepada kita bahwa sungai benar-benar memberikan
manfaat besar.

Adapun bentuk pelestariannya sebagai berikut:

a. Tidak mengalihfungsikan lahan yang termasuk dalam kawasan DAS;

b. Melakukan penghijauan di kawasan DAS

c. Tidak melakukan pencemaran terhadap kualitas air dalam sungai

d. Terhadap pemerintah membuat peraturan yang tegas dan jelas terhadap


kawasan dan pengelolaan DAS

e. Melakukan penyuluhan dan pembibingan serta pelatihan terhadap


masyarakat sekitar DAS dalam upaya pengelolaan dan pelestarian
wilayah DAS
f. Memberikan sanksi yang tegas terhadap adanya pelanggaran di wilayah
DAS

g. Memfungsikan dan memberikan kebebasan terhadap kearifan lokal


masyarakat sekitar DAS

C. Fikih Pelestarian Ekosistem Laut

Fikih pelestarian ekosistem laut adalah sebuah konsep atau pandangan dalam
agama Islam yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Fikih adalah istilah dalam Islam yang mengacu pada pemahaman hukum-hukum
agama. Membahas tentang pelestarian ekosistem laut dalam konteks fikih berarti
mencari pandangan dan pedoman agama Islam terkait dengan bagaimana manusia
seharusnya berinteraksi dengan lingkungan laut.
Laut merupakan salah satu bagian dari wilayah bumi. Manusia memiliki hak
dan sekaligus kewajiban untuk menguasai dan mengelola wilayah tersebut.
Namun yang harus menjadi perhatian adalah laut merupakan karunia Tuhan yang
diperuntukkan bagi umat manusia yang dengannya manusia tidak saja berhak
untuk melakukan eksplorasi guna mengambil manfaat darinya, tetapi juga
berkewajiban untuk melestarikannya bagi generasi berikutnya yang juga memiliki
hak yang sama terhadap karunia ini. Oleh karena itu, untuk keperluan eksplorasi
tersebut diperlukan metode eksplorasi yang seimbang dan proporsional untuk
menghindari terjadinya kerusakan laut beserta isinya. Dengan demikian, manusia
hendaknya tidak hanya memandang laut sebagai obyek “pengkayaan diri” bagi
satu generasi saja tanpa mempedulikan kebutuhan generasi mendatang, tetapi juga
harus memandangnya sebagai karunia Tuhan yang harus dijaga kelestariannya.
Dalam pada itu, perusakan terhadap lingkungan laut terjadi akibat pola
pendekatan manusia terhadap alam yang bersifat teknokratis. Artinya, manusia
hanya mau menguasai alam. Alam ditempatkan sebagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Alam dilihat sebagai tumpukan kekayaan dan energi untuk
dimanfaatkan. Bahwa alam bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karenanya perlu
dipelihara, tidak di kenal dalam wawasan teknokratis. Sikap teknokratis dapat di
nyatakan sebagai sikap merampas dan membuang. Maksudnya, alam dibongkar
untuk mengambil apa saja yang diperlukan, sedangkan apa yang tidak diperlukan
di samping produk-produk sampingnya (limbah) begitu saja dibuang. Dampak
dari pendekatan ini ternyata sangat besar terhadap ancaman kelestarian biosfer
dan tentu saja terhadap generasi-generasi yang akan datang. Setiap kerusakan dan
peracunan wilayah yang tidak dapat dipulihkan kembali berarti menggerogoti
dasar-dasar alamiah kehidupan generasi generasi yang akan datang. Laut
menyimpan banyak sumber daya alam yang dapat dieksplorasi, antara lain
berbagai sumber bahan bangunan seperti pasir dan gravel, sumber mineral seperti
manganese, cobalts, lumpur mineral, phosphorites; sumber makanan seperti ikan
dan berbagai tanaman laut, sumber bahan-bahan kimia seperti sodium dan
potasium, sumber energi dari ombak dan konversi energi panas. Laut pula sebagai
sumber minyak bumi yang melimpah ruah dan sebagai sarana rekreasi dan
kesehatan. Berpijak pada pemikiran di atas, penggalian pemahaman akan laut dari
dalam al-Qur’an perlu dilakukan, agar di ketahui bagaimana seharusnya
mengelola, mengeksplorasi, dan memanfaatkan, sehingga dengan demikian
konservasi lingkungan terjaga, khususnya kelestarian laut.
Berikut adalah beberapa prinsip dan pandangan umum dalam fikih
pelestarian ekosistem laut:

1. Kewajiban Merawat dan Memelihara Alam: Dalam Islam, manusia diberikan


tanggung jawab untuk merawat dan memelihara alam semesta, termasuk laut dan
isinya. Hal ini berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad
yang mengajarkan tentang pentingnya menjaga kelestarian alam.
2. Larangan Pemborosan dan Kerusakan: Islam melarang tindakan pemborosan dan
kerusakan lingkungan. Membuang sampah atau zat-zat berbahaya ke laut,
melakukan penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab, atau merusak terumbu
karang adalah contoh-contoh perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama.
3. Larangan Overfishing: Fikih pelestarian ekosistem laut juga bisa mencakup prinsip-
prinsip ekonomi yang adil. Hal ini termasuk larangan penangkapan ikan secara
berlebihan (overfishing) yang dapat mengancam keseimbangan ekosistem laut dan
mengganggu mata pencaharian nelayan.
4. Hak-Hak Makhluk Laut: Dalam pandangan Islam, makhluk laut memiliki hak-
haknya sendiri. Manusia tidak boleh menyiksa atau menyebabkan penderitaan yang
tidak perlu pada makhluk laut.
5. Pengelolaan Sumber Daya Laut dengan Bijak: Konsep ini sejalan dengan prinsip-
prinsip hukum lingkungan Islam yang mengajarkan untuk menggunakan sumber
daya alam dengan bijak, serta memperhatikan kebutuhan generasi-generasi
mendatang.
6. Penggunaan Teknologi yang Bertanggung Jawab: Islam mendorong penggunaan
teknologi dan inovasi untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, tetapi hal ini
harus dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap alam.
7. Edukasi dan Kesadaran Lingkungan: Islam mendorong pendidikan dan kesadaran
lingkungan di kalangan umatnya. Mengajarkan nilai-nilai tentang pentingnya
pelestarian ekosistem laut dapat menjadi langkah penting dalam mencapai tujuan
ini.
D. Fiqih Pelestarian Sumber Daya Alam

Fikih pelestarian sumber daya alam adalah kajian hukum Islam yang membahas
tentang tata cara pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam dengan
memperhatikan ajaran-ajaran Islam. Hal ini termasuk dalam bidang fikih al-
muhawarah (hukum-hukum transaksi) dan fikih al-istishlah (hukum-hukum
kebijakan umum).
Sumber daya alam sendiri merupakan hal urgent bagi kelangsungan hidup
manusia. Sumber daya alam memberikan banyak manfaat bagi kehidupan, baik
berupa sumber energi ataupun untuk memenuhi kebutuhan manusia. Menurut
Qur’an (2017), pemanfaatan sumber daya alam dimaksudkan untuk kemakmuran
rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi dari lingkungan hidupnya.
Dalam hal ini, sumber daya alam mempunyai peran ganda, yaitu sebagai modal
pertumbuhan ekonomi dan penopang sistem kehidupan. Dengan adanya fungsi
ganda tersebut, pengelolaan sumber daya alam senantiasa harus seimbang untuk
menjamin keberlanjutan dalam pembangunan nasional. Sumber daya alam ini dapat
ditemukan di mana saja seperti di dalam tanah, permukaan tanah, udara, air dan
sebagainya. Yang mana sumber daya alam tersebut ada yang dapat diperbaharui
(renewable resources) maupun yang tidak dapat diperbaharui (non renewable
resources). Tersedianya sumber daya alam yang melimpah merupakan rahmat
karunia yang diberikan oleh Tuhan untuk seluruh makhluk hidup. Khususnya,
manusia sebagai khalifah dituntut untuk mengupayakan alam dan lingkungan agar
selalu seimbang, baik dalam pemanfaatan dan pelestariannya.
Islam telah memberi amanat kepada manusia agar tidak membuat kerusakan
terhadap sumber daya yang ada di lingkungan. Tetapi pada kenyataannya, kegiatan
yang dilakukan manusia belakangan ini mengarah kepada eksploitasi tanpa adanya
pembaruan atau regenerasi. Meskipun dalam hal ini lingkungan dapat melakukan
regenerasinya sendiri, namun perlu diingat bahwa lingkungan memiliki daya
regenerasi yang terbatas. Selama penggunaan atau eksploitasi sumber daya alam
dilakukan di bawah batas daya regenerasinya, maka sumber daya alam terbaharui
dapat digunakan secara berkepanjangan. Akan tetapi apabila melebihi batasnya,
maka sumber daya akan mengalami kerusakan dan fungsinya sebagai faktor
produksi maupun faktor konsumsi atau sebagai sarana pelayanan akan terganggu
(Cholili, 2016). Menurut Keraf (2010) dalam Efendi (2011), Islam mengajarkan
manusia untuk anti terhadap sikap antroposentris dalam pemanfaatan sumber daya
alam. Sikap antroposentris merupakan suatu sikap yang menganggap manusia
sebagai pusat dari sistem alam semesta. Dalam ajaran antroposentrisme
menganggap bahwa manusia beserta kepentingannya inilah yang paling
menentukan dalam tatanan ekosistem dan kebijakan yang diambil dalam
hubungannya secara langsung maupun tidak langsung dengan alam. Sikap
antroposentris dapat mengakibatkan gaya hidup manusia yang mewah dan
cenderung konsumtif. Gaya hidup seperti inilah yang menjadi penyebab eksploitasi
berlebihan terhadap sumber daya alam yang berimbas pada kerusakan lingkungan
hidup. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam, bahwa manusia senantiasa
diperintahkan untuk hidup sederhana dan menghemat dalam menggunakan sumber
daya alam. Upaya pemanfaatan sumber daya alam perlu dilengkapi dengan
pemahaman dan penguasaan teknik pengelolaan yang tepat agar tidak menyebabkan
kerusakan lingkungan (Saroinsong & Kalangi, 2016). Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pembekalan dan pengkayaan ilmu dan teknologi pengelolaan
sumber daya alam yang berasas konservasi terhadap masyarakat. Hal ini dilakukan
agar sumber daya alam tetap lestari walaupun banyak diambil manfaatnya. Dengan
demikian, penelitian ini akan membahas terkait konservasi sumber daya alam dalam
perspektif Islam.
Dalam Islam, perintah konservasi telah muncul sejak zaman Nabi Adam a.s.
yang kemudian diikuti oleh para nabi hingga kemudian sampai kepada Nabi
Muhammad SAW. Menurut Islam, ada atau tidaknya persoalan lingkungan/sumber
daya alam, kegiatan konservasi harus terus dikerjakan dengan tekun dan konsisten
(Sundari, 2019). Konservasi alam dalam Islam diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW melalui perancangan konsep hima’, yaitu kawasan yang tidak boleh
digunakan oleh penduduk terutama untuk kepentingan yang bersifat eksploitatif
(Ubaidillah, 2010). Artinya, kawasan tersebut merupakan kawasan yang dilindungi
oleh pemerintah Islam atas dasar syariat dan dalam rangka melindungi serta
melestarikan alam (Maslihatin & Fauzy, 2016). Jika direfleksikan bahwa
sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Nabi pada masa itu merupakan konsep
berpikir jangka panjang mengenai pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu,
dalam ajaran Islam sebenarnya mengandung basic framework etika konservasi alam
dan lingkungan yang relevan.
Berikut adalah beberapa prinsip dan pandangan dalam fikih pelestarian sumber
daya alam :
1. Kewajiban Merawat dan Memelihara Alam: Dalam Islam, manusia
diberikan tanggung jawab untuk merawat dan memelihara alam semesta,
termasuk sumber daya alam. Hal ini berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan
hadis-hadis Nabi Muhammad yang mengajarkan tentang pentingnya
menjaga kelestarian alam.
2. Larangan Pemborosan dan Kerusakan: Islam melarang tindakan
pemborosan dan kerusakan lingkungan. Membuang limbah secara
sembarangan, menggunduli hutan dengan sembrono, atau melakukan
eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan adalah contoh perilaku yang
bertentangan dengan ajaran agama.
3. Pengelolaan Sumber Daya Alam dengan Bijak: Konsep ini sejalan
dengan prinsip-prinsip ekonomi yang adil dalam Islam. Sumber daya alam
harus dikelola dan digunakan secara bijak agar dapat dinikmati oleh
generasi-generasi mendatang.
4. Keadilan Sosial dan Ekonomi: Fikih pelestarian sumber daya alam juga
mencakup prinsip-prinsip keadilan sosial dan ekonomi. Hak-hak masyarakat
terhadap sumber daya alam harus dijamin, dan pengelolaannya tidak boleh
mengakibatkan kesenjangan atau ketidakadilan.
5. Larangan Penyiksaan Makhluk Hidup: Dalam Islam, menyiksa atau
menyebabkan penderitaan yang tidak perlu pada makhluk hidup, termasuk
hewan, dianggap sebagai tindakan yang melanggar ajaran agama.
6. Pendekatan Ilmiah dan Teknologi Hijau: Islam mendorong penggunaan
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia, asalkan hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
keadilan dan pelestarian lingkungan.
7. Edukasi dan Kesadaran Lingkungan: Islam mendorong pendidikan dan
kesadaran lingkungan di kalangan umatnya. Mengajarkan nilai-nilai tentang
pentingnya pelestarian sumber daya alam dapat menjadi langkah penting
dalam mencapai tujuan ini.
8. Pengawasan dan Penegakan Hukum: Penting untuk ada mekanisme
pengawasan dan penegakan hukum terkait pengelolaan sumber daya alam
agar dapat memastikan bahwa aturan-aturan dan regulasi yang ada
dijalankan dengan baik.

Sementara itu, konservasi sumber daya alam dan lingkungan juga merupakan
tujuan syariat (maqashid syariah) yang utama. Tujuan syariat tersebut
terformulasikan dalam lima kemaslahatan dasar (al-kulliyat al-khamsah) yang
menjadi tegaknya kehidupan manusia, yaitu; hifz al-din (perlindungan agama), hifz
al-nafs (perlindungan jiwa), hifz al-nasl (perlindungan keturunan), hifz al-‘aql
(perlindungan akal) dan hifz al-mal (perlindungan harta). Jika dikorelasikan antara
konsep al-kulliyat al-khamsah dengan konservasi lingkungan, artinya melindungi
lingkungan sama halnya dengan melindungi agama, jiwa, keturunan, akal dan harta
(Ubaidillah, 2010).
Cara Menanggulangi Kerusakan Alam yang Dilakukan Manusia
Al-Qur’an sudah memprediksi, bahwa manusia akan serta merta terhadap alam, dan
akan terjadi kerusakan yang di akibatkan oleh tangan-tangan manusia. Oleh karena
itu AL-Qur’an sudah terlebih dahulu memperingatkan dan memberitahu kepada
manusia. Hal ini terdapa pada (Q.S Ar-Rum/30:40)

‫َظَهَر ٱْلَفَس اُد ِفى ٱْلَبِّر َو ٱْلَبْح ِر ِبَم ا َك َسَبْت َأْيِد ى ٱلَّناِس ِلُيِذ يَقُهم َبْع َض ٱَّلِذ ى َع ِم ُلو۟ا َلَع َّلُهْم َيْر ِج ُعوَن‬

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkab karena pebuatan
tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)
a. Konservasi sebagai bagian agama hijau
Gerakan konservasi lahir sebagai reaksi pembangunan berlebihan pada
eraindustry, yang berdampak buruk terhadap keseimbangan alam yang
diciptakanTuhan. pembangunan berlebihan ini dipicu oleh perilaku
konsumsi yang juga berlebihan, yang membuat hutan digunduli dan sungai-
sungai dicemari.
b. Peraturan dan perlindungan lingkungan
Dengan dibuatnya UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
danPengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan adanya peraturan tentang
perlindugandan pengelolaan lingkungan hidup, diharapkan bisa mencegah
kerusakan-kerusakan yang di perbuat oleh tangan-tangan manusia.
c. Keadilan keapada lingkugan
Adil kepada lingkungan adalah salah satu cara menanggulangi
kerusakanalam, ketika pada diri kita sudah tumbuh rasa adil terhadap alam
sama halnyamenjaga alam itu sendiri. Kesetaraan seperti ini pada dasarnya
sesuai dengan prinsip agama hijau, yang menyakini bahwa kesatuan
manusia dengan planet inidan bahwa keadilan terhadap lingkungan termasuk
binatang dan tumbuhan, berarti keadilan terhadap manusia juga.
Kesimpulan

Bersdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa


pelestariaknlingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan
hidup. Oleh karena itu dalam pelaksanaanya aparat pemerintah perlu memperhatikan asas-asas
umum pemerintah yang bai. Hal ini dimaksudkan agardalam pelaksaan kebijakanya tidak
menyimpang dari tujuan pengeloaan tujuan hidup. Urgensi dari keberlangsungan ekologi
memperhitungkan secara eksplisit ambang batas berkelanjutan (threhold of sustaninability)
yang terdiri dari ambang batas berkelanjuan lingkungan (environmental sustainability) dan
ambang berkelanjutan sosial (social sustainability)

Dalam konteks islam ada fiqih lingkungan, fiqih dalam konteks ini adalah hasil bacaan
dan pemahaman manusia terhadap dalil naqli, baik yang maktubah (tertulis) maupun kauniyyah
(tidak tertulis) yang tersebar di lam hjagad raya. Jadi, fiqih lingkungan berarti pemahaman
manusia tentang lingkungan hidup mlalui pendekatan-pendekatan holy scriptures (teks-teks
suci) san natural signs (tanda-tanda alam) yang pada akhirnya akan melahirkan suatu konsep
dan sikap mereka terhadap alam semesta, khususnya menyangkut pelestarianya.

Konsep hukum islam pada hakikatnya adalah konsep aturan-aturan yang dirumuskan oleh
islam dalam rangka mengatur pemanfaatan yang beriorentasi pada kelestaian lingkungan sesuai
dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis. Hubungan manusia sebagai khalifah dimuka bumi
terhadap lingkugan hidup harus berdaarkan atas asas pemanfaatan yang benar dan
menghindarkan kerusakan kesadaran akan tata kelola lingkungan ghidup sebagaimana sudah
digariskan oleh hukum islam perlu ditanamkan kepada setiap pribadi muslim, dan menjadi
tanggung jawab bersama, lebih-lebih pemerintah sebagai pemegang regulasi dalam rangka
menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dan mengantisipasi dampak keusakan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

https://jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/176/166
https://media.neliti.com/media/publications/258662-peran-agama-islam-dalam-konservasi-
hutan-8289c945.pdf
Iza Hanifuddin, Harim ; Solusi Perlindungan Ekosistem Air dalam Fikih
https://www.researchgate.net/publication/
352133976_KONSERVASI_SUMBER_DAYA_ALAM_DALAM_PERSPEKTIF_ISLAM/
link/60bbc452458515218f94b760/download
https://www.researchgate.net/publication/326365095_FIKIH_KONSERVASI_LAUT/link/
5b47fc0545851519b4b46e70/download
al-Zuhaylî, Wahbah. 1989. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Jilid 5. Cet. ke-3. Damaskus: Dâr
al-Fikr.
https://alif.id/read/wfy/konsep-fikih-menjaga-lingkungan-3-khazanah-fikih-tentang-daerah-
aliran-sungai-b246073p/
https://mui.or.id/hikmah/31670/3-konsep-pelestarian-lingkungan-menurut-islam-dan-
kepedulian-mui/
https://www.academia.edu/35630612/
PEMANFAATAN_SUMBER_DAYA_ALAM_DALAM_PERSPEKTIF_ISLAM
Amin Setyo Leksono,M.Si.,Ph.D Ekologi Pendekatan Deskriptif dan Kuantitatif, juni 2007
Prof. Dr. Ir Zoer’aini Djamal Irwan, M.Si Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem,
Komunitas dan Lingkungan November 1992
Dr. Agus Hernmanto, M.H.I Fiqih Ekologi 2021

Anda mungkin juga menyukai