Anda di halaman 1dari 28

TENTANG ANALISIS KASUS LUMPUR LAPINDO DILIHAT DARI

PERSPEKTIF PERDATA

Tugas Hukum Lingkungan

Disusun Oleh :

Ervin putra maulana (41151010200109)


Fairus (41151010200092)
Muhamad Rizky Setiawan (41151010200019)
Delisa Nurani Indrayati Syabilla (41151010200101)
inayah azizah (41151010200123)

Dosen Pengampu : - Dr. Hj. Hernawati RAS, S.H., M.Si.,


Asisten dosen : - Inda Nurdahniar, S.H., M.Hum
.
1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peristiwa Lumpur Lapindo merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas yang terjadi di
lokasi pengeboran Lapindo Brantas tepatnya di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo,
Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Peristiwa Lumpur Lapindo ini sudah terjadi sejak tanggal 29 Mei
2006 dan sudah mengakibatkan berbagai kerugian fisik, seperti tergenangnya kawasan
pemukiman sekitar lokasi pengeboran yang semakin lama semakin luas, selain itu kawasan
pertanian dan perindustrian juga tergenang lumpur. Kerusakan itu meliputi wilayah di tiga
kecamatan di sekitar Lumpur Lapindo dan telah mengganggu segala aktivitas kehidupan
masyarakat di sekitar porong pada khususnya dan masyarakat di Jawa Timur pada umumnya.

Luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, tetap bisa digugat secara perdata meski ada
penyelidikan dugaan tindak pidana dalam kasus tersebut. Ahli hukum lingkungan, Mas Achmad
Sentosa dalam sidang perkara tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu,
mengatakan, proses pidana bukanlah upaya hukum tertinggi, sehingga upaya hukum lain tetap
bisa dijalankan. Mas Achmad mengatakan hal itu terkait adanya asas hukum "ultimatum
remidio", yaitu pidana adalah upaya hukum terakhir setelah upaya yang lain sudah dilakukan.
"Asas itu adalah warisan zaman Belanda yang telah usang," kata pria yang juga anggota tim
perumus UU Lingkungan Hidup itu. Dalam praktek di Indonesia, katanya, ada pengecualian asas
tersebut. Dengan kata lain, suatu perusakan lingkungan bisa langsung diproses pidana jika
memang ada dampak kerugian lingkungan dan kemanusiaan yang sangat besar. Meski upaya
pidana dilakukan lebih dulu, kata Mas Achmad, tidak berarti upaya lainnya gagal dengan
sendirinya. Upaya hukum perdata dan administrasi tetap bisa dilakukan. "Mau belakangan
pidana atau belakangan administrasi, bisa," katanya. Menurut Mas Achmad, hukum pidana tidak
mengatur sifat-sifat keperdataan, sehingga kedua upaya hukum itu bisa berjalan masing-masing.

Dan Pada tahun 2007 WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) sebagai sebuah organisasi
lingkungan hidup mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus
Lumpur Lapindo ini. Maka dari itu kami akan membahas mengenai analisis perdata dengan
menitikberatkan apakah dalil-dalil yang diungkapkan ini sudah sesuai dengan teori dan
peraturan perundang-undangan yang ada.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana putusan kasus Lapindo Brantas?

2. dasar gugatan terhadap kasus Lapindo?

3. serta pertanggungjawaban kasus lingkungan hidup dalam perspektif hukum perdata?


Prinsip-prinsip Hukum Lingkungan
Setelah melihat semua upaya global di atas, mungkin ada baiknya menjelaskan beberapa prinsip
lingkungan yang menjadi landasan pengaturan permasalahan lingkungan pada tingkatan global
dan nasional. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

A. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Pengertian dari sustainable development adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan


generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi
kebutuhannya. Definisi diberikan oleh World Commision on Environment and Development
(WCED) atau Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan sebagaimana tersaji dalam
laporan komisi yang terkenal dengan komisi “Brutland”27 yang terumuskan berupa:
“if it meets the needs of the present without compromising the ability of future generation to
meet their own needs” (pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka).
Untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam inilah WCED29 pada tahun 1987 merumuskan
konsep yang kemudian kita kenal dengan sebutan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). WCED dalam laporannya yang berjudul Our Common Future. Kemudian definisi
ini dijadikan sebagai prinsip pada Deklarasi Rio pada KTT Bumi di Rio de Jeneiro 1992.
Susan Smith mengartikan sustainable developmentsebagai meningkatka mutu hidup generasi
kini dan mencadangkan modal / sumber alam bagi generasi mendatang. Menurutnya, dengan
cara ini dapat dicapai empat (4) hal:

a. pemeliharaan hasil-hasil yang dicapai secara berkelanjutan atas sumber daya yang dapat
diperbaharui,
b. melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat jenuh (exhaustible

resources),

c. pemeliharaan sistem-sistem pendukung ekologis,


d. pemeliharaan atas keanekaragaman hayati.Di Indonesia sendiri pembangunan berkelanjutan
disebut dengan “pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan”, dirumuskan
melalui definisi yuridis. Selanjutnya istilah ini kemudian disebutkan sebagai tujuan dari
pengelolaan lingkungan dalam asas pengelolaan lingkungan pada UUPLH 1997.

Definisi pembangunan berkelanjutan dirumuskan demikian: “Pembangunan berkelanjutan yang


berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan
hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.” UUPLH 1997
Pasal 1 Ayat 3 dan juga lebih lanjut dicantumkan dalam Pasal 1 Ayat 3, Pasal 2 Huruf b, Pasal 3
Huruf i Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun
2009.
B. Intergenerational Equity and Intragenerational Equity

Prinsip Keadilan Antargenerasi (The Principle of Intergenerational Equity) negara dalam hal ini
harus melestarikan dan menggunakan lingkungan serta sumber daya alam bagi kemanfaatan
generasi sekarang dan mendatang. Prinsip keadilan antargenerasi ini terumuskan dalam Prinsip 3
yang menyatakan hak untuk melakukan pembangunan dilakukan dengan memenuhi kebutuhan
generasi sekarang tanpa mengurangi kemanpuan generasi mendatang dalam memenuhi
kebutuhannya. (the right to development must be fulfilled so as to equitably meet developmental
and environmental needs of present and future generations).
Beberapa elemen kunci dari intergenerational principle ini terurai dalam rumn yang dibuat
oleh suatu konferensi internasional di Canberra pada 13-16 November 1994 yang lazim disebut
Fenner Coference on the Environment. Prinsip ini dirumuskan dalam konferensi tersebut:

a. Setiap masyarakat di dunia ini antara satu generasi dengan generasi lainnya berada dalam
kemitraan (global partnership),

b. Generasi kini tidak semestinya memberikan beban eksternalitas pembangunan bagi generasi
berikutnya,
c. Setiap generasi mewarisi sumber-sumber alam dan habitat yang berkualitas dan
mewariskannya pula pada generasi selanjutnya dengan mana generasi ini memiliki kesempatan
yang setara dalam kualitas fisik, ekologi, ekonomi, dan sosial,
d. Generasi kini tidak boleh mewariskan generasi selanjutnya sumber-sumber alam yang tidak
dapat dibarui secara pasti (eksak).

C. Prinsip Keadilan Intragenerasi (The Principle of Intragenerational Equity)

Terdapat juga prinsip lain yang berkaitan dengan generasi, yaitu prinsip keadilan intragenerasi
(The Principle of Intragenerational Equity). Keadilan intragenerasi merupakan keadilan yang
ditujukan pada mereka yang hidup di dalam satu generasi. Keadilan intragenerasi ini terkait
dengan distribusi sumber daya secara adil, yang berlaku pada tingkat nasional maupun
internasional. Lebih dari itu, di samping terkait dengan distribusi sumber daya dan manfaat/hasil
pembangunan. Konsep keadilan intragenerasi juga bisa dikaitkan dengan istribusi risiko/biaya
sosial dari sebuah kegiatan pembangunan.

Keadilan intragenerasi merupakan prioritas pertama dari pembangunan berkelanjutan. Hal ini,
menurut Langhelle, ditunjukkan dalam bagian pertama dari definisi pembangunan berkelanjutan,
yaitu “development that meets the needs of the present…”. Bagian inilah yang menunjukkan
adanya komitmen dari negara-negara terhadap keadilan, termasuk redistribusi dari pihak yang
kaya kepada yang miskin, baik dalam level nasional, maupun internasional. Selanjutnya, Prof.
Ben Boer, pakar hukum lingkungan dari Universitas Sidney, menunjuk kepada gagasan bahwa
masyarakat dan tuntutan kehidupan lain dalam satu generasi memiliki hak untuk memanfaatkan
sumber alam dan menikmati lingkungan yang bersih serta sehat. Keadilan intragenerasi dapat
diartikan, baik secara nasional, maupun internasional.Pada tingkat nasional, pengelolaan
diterapkan dalam akses yang adil kepada sumber daya alam bersama, udara bersih, air bersih
dalam sumber daya air nasional dan laut teritorial. Hal ini juga mengarah kepada masalah
perlunya pembatasan-pembatasan pemerintah atas penggunaan milik-milik pribadi. Sedangkan
pada tingkat nasional, keadilan intragenerasi menyangkut kepada penerapan alokasi yang adil
dari sistem udara, perairan dan sumber daya laut.
Baru-baru ini terdapat analisis yang mengatakan bahwa keadilan intragenerasi menjadi
keadilan di antara penghuni-penghuni bumi pada suatu waktu. Konsep ini berarti bahwa:

“…all people are entitled to basic needs, which may be taken to include a healthy environment,
adequate food and shelter, and cultural and spiritual fulfillment. To achieve this, a transfer of
wealth and technology from higher to lower income countries may be necessary in many
cases.”Hal ini juga berimplikasi bahwa negara-negara yang lebih makmur khususnya, harus
mengurangi konsumsinya terhadap faktor-faktor barang, air, dan udara. Dalam pengelompokan
yang dibuat oleh Kuehn, persoalan keadilan lingkungan dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu
keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif, keadilan lingkungan sebagai keadilan korektif,
keadilan lingkungan sebagai keadilan prosedural dan keadilan lingkungan sebagai keadilan
sosial.

D. Prinsip Pencemar Membayar (Polluter-Pay Principle)


Prinsip ini lebih menekankan pada segi ekonomi daripada segi hukum karena mengatur
mengenai kebijaksanaan atas perhitungan nilai kerusakan dan pembedaannya. Menurut Simons
dalam bukunya Het beginsel ‘de vervuiler betaalt’ en de Nota Milieuheffingen, prinsip ini
semula diajukan oleh ahli ekonomi E. J. Mishan dalam The Cost of Economic Growth pada
tahun 1960-an. Dikatakan bahwa prinsip pencemar membayar yang bersumber pada ilmu
ekonomi berpangkal tolak pada pemikiran bahwa pencemar38 semata-mata merupakan
seseorang yang berbuat pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya. Begitu pula norma
hukum dalam bentuk larangan dan persyaratan perizinan bertujuan untuk mencegah pencemaran
yang sebenarnya dielakkan. Kemunculan organisasi-organisasi internasional turut memberikan
kontribusi dalam perkembangan hukum lingkungan. Salah satunya adalah pembentukan The
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan European Communities
(EC) sangat penting artinya, bukan saja bagi anggotanya, tetapi juga untuk negara bukan
anggota, karena kedua organisasi itu banyak memberikan rekomendasi mengenai kebijaksanaan
lingkungan. Tidak berapa lama setelah organisasi ini berdiri, OECD menerima the polluter-pays
principle, tidak saja sebagai pangkal tolak kebijaksanaan lingkungan nasional yang efisien, tetapi
juga prinsip yang dapat menunjukkan keserasian internasional. Biaya pencegahan dan
penanggulangan pencemaran merupakan kunci masalah lingkungan yang penting, sehingga pada
sidang pertamanya, tanggal 15 dan 16 Juni 1971 / Sub commitee of economic experts OECD
menetapkan:
a. that the internalization of external effect connected with the environment obeyed an economics
efficiency principle which provide a basis for a pollution control policy,
b. that such internalization should be based as possible on the overriding principle that “the
polluter should be the payers”,
c. that exception may have to be meet to the principle which ought to be defined analyzed.
Penelitian selama bertahun-tahun mengenai the polluter-pays principle menghasilkan
rekomendasi OECD Council pada tanggal 26 Mei 1972 tentang Guiding Principles concerning
the international economic aspects of environmental policies yang diterima oleh pemerintah
negara-negara anggota, berupa penerapan antara lain the polluter-pays principle dan rekomendasi
mengenai penyesuaian norma-norma yang berkaitan, yaitu yang mempunyai pengaruh ekonomi
internasional dan lalu lintas perdagangan. Pasal 4 Lampiran Rekomendasi tersebut berbunyi:
The principle to be used for allocation cost of pollution prevention and control measures to
encourage national use of scarce environmental resources and to avoid distortion in international
trade and investment is the so-called “Polluter-Pays Principle”. The principle means that the
polluter should bears the expenses of caring out the above mentioned measures they decide by
public authorities to ensure that the environment is in an acceptable state. In other words, the cost
of these measures should be reflected in the cost of goods and service which cause pollution in
production and for consumption. Such measures should not be accompanied by subsidies that
would create significant distortion in international trade and investment.

Pada tanggal 26 Mei 1972 dalam Guiding Principles concerning the International Economic
Aspects of Environmental Policies OECD menyarankan kepada negara anggota untuk
menerapkan the polluter-pays principle, tapi dikemukakan juga tentang pengecualian terhadap
prinsip termaksud. OECD memberikan definisi sebagai berikut:

“the polluter should bear the expenses of carrying out measures decided by public authorities to
ensure that the environment is in “acceptable state”, or in other words the cost of these measures
should be reflected in the cost of goods and services which cause pollution in production and or
in consumption”

Dengan demikian, pihak penyebab pencemaran akan dikenakan segala biaya, baik yang
digunakan untuk pencegahan pencemaran, maupun untuk memperbaiki kerusakan akibat
pencemaran tersebut.Pada fase ke-2 perkembangan dari OECD tentang the polluter-pays
principleterdiri atas penelitian mengenai sarana penerapan prinsip itu dan pengecualian yang
mungkin terhadapnya sehubungan dengan aspek dinamis pelaksanaannya dalam praktek.
Pada rapat Panitia Lingkungan Tingkat Menteri tanggal 14 November 1974, sarana penerapan
the polluter-pays principle lebih diperjelas dalam bentuk rekomendasi, yaitu dalam
Recommendation of the Council on the implementation of the polluter-pays principle, yang

kemudian kembali menetapkan dalam Pasal 1, bahwa:


a. the polluter-pays principle constitutes for Member countries a fundamental principle for
allocating cost of pollution prevention and control measures introduced by the public in Member
countries,
b. the polluter-pays principle as defined by the Guiding Principles concerning International
Economic Aspects of Environmental Policies, which takes account of particular problems
possibly arising for developing countries means that the polluter should bear the expenses of
carrying out the measures, as specified in the previous paragraph, to ensure that the environment
is in a acceptable state. In other words, the cost of these measures should be reflected in the cost
of goods and services which cause pollution in production and/or consumption.

Di samping rekomendasi tersebut di atas, OECD menentukan bahwa:

Member countries continue to collaborate and work closely together in striving for uniform
observance of the Polluter-Pay Principle, and therefore that as general rule they should not assist
the polluters in bearing the costs of pollution control whether by means of subsidies, tax
advantages or other measures”.

Ketentuan terakhir ini merupakan peraturan umum yang menyatakan agar negara anggota tidak
membantu pencemar dalam menanggung biaya pengendalian pencemaran, baik dengan sarana
subsidi, keringanan pajak atau lainnya. Subsidi dan bantuan keuangan lainnya dengan kombinasi
pungutan pencemaran ditetapkan juga di negara maju, seperti Prancis dan Belanda.
Secara garis besar tujuan utama prinsip ini adalah untuk internalisasi biaya lingkungan. Sebagai
salah satu pangkal tolak kebijakan lingkungan, prinsip ini mengandung makna bahwa pencemar
wajib bertanggung jawab untuk menghilangkan atau meniadakan pencemaran tersebut. Ia wajib
membayar biaya-biaya untuk menghilangkannya. Oleh karena itu, prinsip ini menjadi dasar
pengenaan pungutan pencemaran. Realisasi prinsip ini, dengan demikian menggunakan
instrumen ekonomi, seperti pungutan pencemaran (pollution charges) terhadap air dan udara
serta uang jaminan pengembalian kaleng atau botol bekas (deposit fees). Prinsip ini terdapat
dalam prinsip ke-16 Deklarasi Rio yang berbunyi:

National authorities should endeavour to promote the internationalization of environmental costs


and the use of economic instruments, taken into account the approach that the polluter should, in
principle, bear the cost of pollution, with due regard to the public interest and without distorting
international trade and investment.

Terhadap kewajiban membayar bagi pencemar, timbul kritik yang menafsirkan bahwa dengan
membayar pencemar berhak untuk mencemarkan, asalkan dia membayar ganti kerugian. Tafsiran
ini dikenal dengan ungkapan the right to pollute, license to pollute, paying to pollute dan de
betaler vervuilt. Berhubung terdapatnya kritik terhadap pungutan pencemaran sebagai realisasi
the polluter-pays principle, timbullah keberatan terhadap penerapan sarana tersebut: …some
environmentalists have opposed proposals for pollution charges on moral grounds, claiming that
they involve a “license to pollute”. (Doesn’t regulation also involve a “license to pollute”?)

Mengenai pertanyaan apa yang harus dibayar pencemar, OECD juga memberikan saran
petunjuk:
a. pencemar selayaknya dibebani kewajiban membayar akibat pencemaran yang ditimbulkan.
Namun penyelesaian ini tidak memuaskan, bahkan berbahaya dengan alasan berikut:- pemulihan
lingkungan tidak ada artinya dalam hal terjadinya kerusakan hebat yang dampaknya tidak dapat
diselesaikan dengan ganti kerugian murni,

- pemulihan kerusakan mengandung banyak kesulitan, misalnya dampak jangka panjang dan
penemuan dampak tidak langsung,
- perkiraan biaya kerusakan terhadap biaya pemulihan,
- perbaikan kerusakan seringkali sia-sia dari segi ekonomi; mencegah lebih baik daripada
mengobati.

b. pencemar membayar, dengan membebaninya biaya kegiatan yang perlu untuk mencegah
pencemaran, dalam bentuk pungutan insentif yang sama dengan biaya pembersihan limbah, atau
hanya menetapkan kriteria yang mengharuskan mengambil upaya pencegahan. Selanjutnya
OECD mengemukakan bahwa di samping upaya tersebut di atas pengendalian pencemaran
meliputi pula biaya lain berupa biaya alternatif penerapan kebijaksanaan antipencemaran, biaya
pengukuran dan pemantauan pengelolaan, biaya riset dan pengembangan teknologi
antipencemaran, sumbangan untuk memperbarui instansi out-of-date dan sebagainya. Jika
pencemar harus membayar masih perlu ditetapkan dengan pasti apa yang harus dibayarnya.
c. Kenyataannya, pencemar harus membayar berarti bahwa dia merupakan pembayar pertama,
atau dia berada pada tahap internalisasi biaya eksternal. Dalam hal ini, meneruskan biaya kepada
konsumen tidak melemahkan prinsip tersebut. Menurut laporan OECD tersebut di atas dianggap
tidak realistik bahwa keseluruhan penanggulangan pencemaran dibebankan kepada pencemar.
Pemikiran yang dianut OECD mengenai masalah ini dirumuskan sebagai berikut:
The polluter-pays principle of compensation for damage caused by pollution. Nor does it mean
that the polluter should merely pay the cost of measures to prevent pollution. The Polluter-pays
Principle means that the polluter should be charged with the cost of whatever pollution
prevention and control measures are determined by the public authorities, whether preventive
measures, restoration, or a combination of both.… in other words the Polluters-pays Principle is
not in itself a principle intended to internalize fully the cost of pollution.

Di bidang kebijaksanaan lingkungan telah dikemukakan sejumlah instrumen ekonomi yang


masing-masing manfaatnya bersifat relatif terhadap keberhasilan pengelolaan lingkungan.43
Mengenai sarana kebijaksanaan lingkungan OECD mengenal jenis berikut:
1. direct control,
2. taxes,
3. payments,
4. subsidies,
5. various incentives (tax benefits, accelerated amortization, credit facilities),
6. the auction of pollution rights,
7. charges.

Pada umumnya sarana kebijaksanaan lingkungan menekankan kepada ketentuan larangan dan
persyaratan perizinan, sebagai sarana langsung dan efektif terhadap tujuan yang hendak dicapai,
apabila hal itu berhubungan dengan penanggulangan faktual pada sumber pencemaran. Baik
pengendalian langsung atau sarana fisik, maupun pembebanan pungutan dapat dianggap sebagai
penerapan dari the polluter-pays principle, yang juga dinyatakan dalam laporan OECD:
The polluter-pays principle may be implemented by various means raging from process and
product standards, individual regulation and prohibition to levying various kinds of pollution
charges. To or more of these instruments can be used together. The choice of instruments is
particularly important as the effectiveness of a policy depends on it. This choice can only be
made by public authorities at central or regional level, in the light of a number of factors such as
the amount of information require for the efficient use of these various instruments, their
administrative cost, etc.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa penerapan the polluter-pays principle dilaksanakan
melalui berbagai cara, mulai dari baku mutu proses dan produk, peraturan, larangan sampai
kepada bentuk pembebanan bermacam-macam pungutan pencemaran atau kombinasinya. Pilihan
antara berbagai alternatif sarana ini berada di tangan pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah yang bersangkutan.

E. Principle of Preventive Action


Prinsip ini mewajibkan agar langkah pencegahan dilakukan pada tahap sedini mungkin. Dalam
konteks pengendalian pencemaran, perlindungan lingkungan paling baik dilakukan dengan cara
pencegahan pencemaran daripada penanggulangan atau pemberian ganti kerugian.44 Dalam
Deklarasi Rio, prinsip pencegahan dirumuskan dalam Prinsip 11 yang antara lain, berbunyi:

"States shall enact effective environmental legislation”Prinsip ini juga dipandang sangat
berhubungan erat dengan prinsip keberhati-hatian yang akan diuraikan pada bagian berikut.
Kedua prinsip menekankan pentingnya langkah-langkah antisipasi pencegahan terjadinya
masalah-masalah lingkungan.
Prinsip ini menentukan bahwa setiap negara diberi kewajiban untuk mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan dan tidak boleh melakukan pembiaran terjadinya kerusakan lingkungan
yang bisa berasal dari kejadian di dalam negerinya dan kemudian menyebabkan terjadinya
kerusakan lingkungan. Terdapat juga prinsip pengelolaan lingkungan tanpa merugikan. Deklarasi
Rio juga merumuskan prinsip mengenai kedaulatan negara untuk mengelola atau memanfaatkan
sumber daya alam tanpa merugikan negara lain (right to exploit resources but responsible do not
to cause damage to the environment of other states) (Prinsip 2). Prinsip ini diadopsi dari
Deklarasi Stockholm (Prinsip 21; “state have, in accordance with the Chapter of the United
nations and Principle of International law, the sovereign right to exploit their own resources
pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities
within their jurisdiction or control do not course damage to the environment of other state or of
areas beyond the limits of national jurisdiction”.), di mana prinsip ini merupakan asas hukum
Romawi yang dikenal dengan Prinsip Sic utere tuo ut alienum non laedas46(use your own so as
not to injure another), sebuah prinsip bahwa negara harus menjamin tidak akan menggunakan
atau mengelola sumber alam di wilayah yurisdiksinya yang dapat merugikan negara lainnya.

Deklarasi ini menetapkan pula supaya negara-negara melalui pengembangan hukum


internasional berupaya untuk mengatur hal-hal yang berkenaan dengan sistem tanggung jawab
dan ganti rugi bagi korban pencemaran atau perkan lingkungan di negara sebagai akibat kegiatan
di wilayah yurisdiksinya (Prinsip 22).

F. Prinsip Pencegahan Dini (The Precautionary Principle)


Prinsip ini menyatakan bahwa tidak adanya temuan atau pembuktian ilmiah yang konklusif dan
pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya mencegah kerusakan lingkungan.
Dalam rumusan Prinsip 15 Deklarasi Rio dinyatakan sebagai berikut:

“In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by
States according to their capabilities. Where are threats of serious or irreversible damage, lack of
full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to
prevent environment degradation”.
Prinsip ini merupakan jawaban atas kebijakan pengelolaan lingkungan yang didasarkan kepada
satu hal yang perlu dalam melakukan prevensi atau penanggulangan hanya akan dapat dilakukan
jika telah benar-benar dapat diketahui dan dibuktikan. Sungguh sangat merugikan sekali jika
sesuatu yang sudah berpotensi atau sudah terjadi kerusakan lingkungan, baru dapat diambil
sebuah keputusan setelah diketahui atau dibuktikan lebih dahulu secara pasti.
Pendasaran pada pembuktian lebih dahulu menjadi penghalang bagi pengambilan keputusan
yang bersifat segera, sementara dampak dan risiko (threats) sudah sangat nyata sekali dirasakan.
Ada beberapa acuan yang dipakai untuk mengaplikasikan prinsip pencegahan dini. Acuan
tersebut adalah:
a. ancaman kerusakan lingkungan begitu serius dan bersifat tidak dapat dipulihkan (irreversible).
Misalnya memiliki akibat yang sifatnya membahayakan yang bersifat antargenerasi, atau
keadaan tidak terdapat subsitusi dari sumber daya yang digunakan,
b. bersifat ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty). Terdapat keadaan di mana akibat yang
akan timbul dari suatu aktivitas tidak dapat diperkirakan secara pasti berhubung karakter dari
masalahnya sendiri, penyebab maupun dampak potensial dari kegiatan tersebut,
c. ikhtiar prevensional mencakup ikhtiar pencegahan hingga biaya-biaya yang bersifat efektif
(cost effectiveness).

Berbagai negara telah menerapkan prinsip ini dalam legislasi nasional, misalnya Sri Lanka,
India, Filipina, Australia.50 Prinsip ini telah menjadi dasar putn pengadilan, seperti di Pakistan
dan Australia.

G. Sovereign Rights and Environmental Responsibility


Di dalam Deklarasi Rio terdapat perumusan prinsip mengenai kedaulatan negara untuk
mengelola atau memanfaatkan sumber daya alam tanpa merugikan negara lain (right to exploit
resources but responsible do not to cause damage to the environment of other states) yang
tercantum pada Prinsip 2. Secara korelasi Prinsip 2 ini diadopsi dari Deklarasi Stockholm, yaitu
pada Prinsip 21 yang berbunyi:
“State have, in accordance with the Chapter of the United nations and Principle of International
law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental
policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not
course damage to the environment of other state or of areas beyond the limits of national
jurisdiction”.

Dalam hak-hak berdaulat (sovereign rights) negara tersimpulkan prinsip tanggung jawab negara,
yang sebenarnya memiliki dua dimensi, yaitu:
a. memberikan hak kedaulatan kepada negara untuk memanfaatkan SDA berdasarkan kebijakan
lingkungan masing-masing,
b. memberikan tanggung jawab kepada negara untuk memastikan bahwa aktivitas dalam
yurisdiksinya tidak akan menyebabkan kerusakan lingkungan negara-negara lainnya atau
kawasan di luar batas yurisdiksi nasional.

Berkaitan dengan dimensi pertama dari sovereign rights tersebut dapat dilihat penjabarannya
dalam Prinsip 1 Deklarasi Stockholm, yaitu:

“Man has the fundamental right to freedom equality and adequate conditions of life in an
environment at a quality that permits a life dignity and weld being and he bears a solemn
responsibility to protect and improve the environment for and future generation”.
(Manusia memiliki hak dasar untuk bebas, hak atas persamaan dan kondisi kehidupan yang layak
dalam lingkungan yang bermutu. Meskipun demikian, manusia memikul tanggung jawab untuk
melindungi dan meningkatkan mutu lingkungan atas kehidupan atas kehidupan kini dan generasi
mendatang).
Prinsip 13 Deklarasi Stockholm berbunyi :
“In order to achieve a more national management of resource and this improve the environments,
states should adapt an integrated and coordinated approach to their development planning so as
to ensure that development is compatible with the need to protect and improve environment for
the benefit of their population.
Artinya bahwa dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam, negara-negara harus
melakukan pendekatan secara terpadu dan terkoordinasi atas perencanaan dan pembangunan
sesuai dengan kebutuhan melindungi lingkungan hidup dan bermanfaat bagi penduduk. Khusus
mengenai dimensi kedua dari sovereign rights, Philip Sands menyatakan:
Ecological interdependence poses a fundamental problem for international law, and explains why
international co-operation and the development of international environmental standards are
increasingly indispensable: the challenge for international law in the world of sovereign states is
to reconcile the fundamental independence of each state with the inherent and fundamental
interdependence of the environment.
Dari pernyataan di atas tersirat terjadi pergeseran konsep dari sovereign rights itu sendiri.
Tadinya bisa diartikan sebagai hak mutlak dari negara, kemudian dengan berbagai kasus serta
fenomena yang berkaitan langsung dengan lingkungan membutuhkan campur tangan dari
negara-negara.Bahkan untuk kondisi tertentu (yang jika dilihat dari kondisi asal muasalnya)
menyebabkan sovereign rights itu bisa diturunkan dan menimbulkan kewajiban baru bagi suatu
negara.

Diharapkan setiap negara memanfaatkan sumber daya alam yang dimilikinya secara wajar
(reasonable use) dan tidak melakukan suatu penyalahgunaan dari hak eksploitasi yang
dimiliknya (abuse of rights) serta akan memanfaatkan suatu “shared resources” dengan
penggunaan yang bersifat seimbang (equity and equitable utilization). Juga dikaitkan dengan
Prinsip Good Neigbourliness yang mengharuskan kepada negara-negara untuk selalu bertindak
sebagai tetangga yang baik, karena mereka pada dasarnya hidup dalam satu tempat yang sama
(bumi) dan menikmati semua yang ada bersama-sama.

Prinsip 22 Deklarasi Stockholm menegaskan perlunya negara-negara bekerja sama


mengembangkan lebih lanjut hukum internasional mengenai tanggung jawab hukum ganti rugi
bagi korban pencemaran atau perusakan lingkungan di negara lain akibat kegiatan di wilayah
yurisdiksinya.

Deklarasi ini menetapkan pula supaya negara-negara melalui pengembangan hukum


internasional berupaya untuk mengatur hal-hal yang berkenaan dengan sistem tanggung jawab
dan ganti rugi bagi korban pencemaran atau perusakan lingkungan di negara sebagai akibat
kegiatan di wilayah yurisdiksinya.
H. Access to Environmental Information, Public Participation in Environmental Decisions, Equal
Access and Non-discriminationSecara internasional prinsip mengenai partisipasi diatur dalam
Pasal 10 Deklarasi Rio, yaitu:

Environmental issues are best handled with participation of all concerned citizen, at the relevant
level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information
concerning the environment that is held by public authorities, including information on
hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in
decision - making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and
participation by making information widely available. Effective access to judicial and
administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.
Prinsip ini merupakan salah satu prinsip penting, selain sebagai upaya pemberdayaan masyarakat
dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan, juga untuk meningkatkan kualitas keputn dan
penerimaan masyarakat terhadap keputusanpemerintah yang terkait dengan lingkungan.
Sebagaimana dikemukakan OECD:
Public participation can serve as an opportunity for allowing citizen and groups to express their
views and interest, as a political tool for anticipating shifts in public attitudes and values and a
means for building consensus in areas of environmental controversy and conflict. It is not just a
form of anticipatory policy but a means for improving the quality and acceptability of
government decision.

Lothar Gundling mengemukakan bahwa dasar yang melandasi perlunya partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan adalah:“… informing the administration, increasing the readiness
of the public to accept decision, supplementing juridical protection, and democratizing decision-
making”.Melalui pemberian informasi yang benar dan akurat, maka kualitas keputn yang diambil
oleh pemerintah akan lebih baik. Kualitas keputn yang lebih baik akan meningkatkan kesediaan
masyarakat untuk menerima keputn tersebut, sehingga akan mengurangi perkara yang diajukan
ke pengadilan. Dalam proses ini tentu dibutuhkan jaminan terhadap akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan dalam prosedur administratif pengambilan keputusan pemerintah
di bidang lingkungan.
Koesnadi Hardjasoemantri mengatakan pemberian informasi yang benar kepada masyarakat
adalah prasayarat yang paling penting untuk peran serta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan di bidang lingkungan hidup.

Informasi tersebut harus sampai ke tangan masyarakat yang akan terkena rencana kegiatan dan
informasi itu harus diberikan tepat pada waktunya, lengkap dan dapat dipahami (on time,
compherensive and compherensible).
Hal ini dapat dilihat pada ketentuan mengenai Environmental Impact Assessment (EIA) di
beberapa negara yang mengandung peraturan tentang penyediaan informasi bagi masyarakat.
Pedoman pelaksanaan NEPA 1969 menyatakan bahwa badan-badan federal harus
mengumumkan tersedianya rancangan EIA dan harus pula mengirimkannya kepada organisasi
dan perorangan yang mengajukan permintaan untuk diberi kesempatan menyampaikan pendapat
mereka. Juga ditentukan bahwa badan-badan tersebut harus menyusun metode untuk
mengumumkan tentang adanya rancangan EIA. Salah satu contoh bagaimana hal ini
dilaksanakan adalah dengan pengumuman dalam surat kabar setempat. Contoh lain adalah
menyusun sebuah daftar kelompok masyarakat, termasuk di dalamnya organisasi-organisasi
konservasi alam yang menaruh minat terhadap kegiatan-kegiatan badan-badan tersebut, dan
memberitahukan kelompok-kelompok tersebut tentang adanya rancangan EIA atau mengirimkan
sebuah eksemplar rancangan tersebut kepada mereka, sesegera rancangan tersebut telah siap.
Di Prancis terdapat prosedur tentang EIA yang tercantum dalam French Nature Protection Law
1976 yang memuat ketentuan tentang informasi dan peran serta masyarakat. Ketentuan tersebut
menyatakan bahwa etudes d’impact(impact studies), apabila tidak diberikan pada public
hearings, harus disediakan bagi masyarakat dengan cara lain. Untuk itu, badan-badan diwajibkan
untuk mengumumkan adanya impact study ini dalam sekurang-kurangnya 2 buah surat kabar
setempat. Adapun untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional, impact study tersebut perlu
diumumkan di sekurang-kurangnya 2 surat kabar dengan distribusi nasional. Hal-hal semacam
ini terdapat pula dalam peraturan perundang-undangan di Australia dan sejumlah negara lainnya.

Prinsip-prinsip Hukum Lingkungan


Setelah melihat semua upaya global di atas, mungkin ada baiknya menjelaskan beberapa prinsip
lingkungan yang menjadi landasan pengaturan permasalahan lingkungan pada tingkatan global
dan nasional. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

A. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Pengertian dari sustainable development adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan


generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi
kebutuhannya. Definisi diberikan oleh World Commision on Environment and Development
(WCED) atau Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan sebagaimana tersaji dalam
laporan komisi yang terkenal dengan komisi “Brutland”27 yang terumuskan berupa:
“if it meets the needs of the present without compromising the ability of future generation to
meet their own needs” (pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka).
Untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam inilah WCED29 pada tahun 1987 merumuskan
konsep yang kemudian kita kenal dengan sebutan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). WCED dalam laporannya yang berjudul Our Common Future. Kemudian definisi
ini dijadikan sebagai prinsip pada Deklarasi Rio pada KTT Bumi di Rio de Jeneiro 1992.
Susan Smith mengartikan sustainable developmentsebagai meningkatka mutu hidup generasi
kini dan mencadangkan modal / sumber alam bagi generasi mendatang. Menurutnya, dengan
cara ini dapat dicapai empat (4) hal:
a. pemeliharaan hasil-hasil yang dicapai secara berkelanjutan atas sumber daya yang dapat
diperbaharui,
b. melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat jenuh (exhaustible

resources),

c. pemeliharaan sistem-sistem pendukung ekologis,


d. pemeliharaan atas keanekaragaman hayati.Di Indonesia sendiri pembangunan berkelanjutan
disebut dengan “pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan”, dirumuskan
melalui definisi yuridis. Selanjutnya istilah ini kemudian disebutkan sebagai tujuan dari
pengelolaan lingkungan dalam asas pengelolaan lingkungan pada UUPLH 1997.

Definisi pembangunan berkelanjutan dirumuskan demikian: “Pembangunan berkelanjutan yang


berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan
hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.” UUPLH 1997
Pasal 1 Ayat 3 dan juga lebih lanjut dicantumkan dalam Pasal 1 Ayat 3, Pasal 2 Huruf b, Pasal 3
Huruf i Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun
2009.

B. Intergenerational Equity and Intragenerational Equity

Prinsip Keadilan Antargenerasi (The Principle of Intergenerational Equity) negara dalam hal ini
harus melestarikan dan menggunakan lingkungan serta sumber daya alam bagi kemanfaatan
generasi sekarang dan mendatang. Prinsip keadilan antargenerasi ini terumuskan dalam Prinsip 3
yang menyatakan hak untuk melakukan pembangunan dilakukan dengan memenuhi kebutuhan
generasi sekarang tanpa mengurangi kemanpuan generasi mendatang dalam memenuhi
kebutuhannya. (the right to development must be fulfilled so as to equitably meet developmental
and environmental needs of present and future generations).
Beberapa elemen kunci dari intergenerational principle ini terurai dalam rumn yang dibuat
oleh suatu konferensi internasional di Canberra pada 13-16 November 1994 yang lazim disebut
Fenner Coference on the Environment. Prinsip ini dirumuskan dalam konferensi tersebut:

a. Setiap masyarakat di dunia ini antara satu generasi dengan generasi lainnya berada dalam
kemitraan (global partnership),

b. Generasi kini tidak semestinya memberikan beban eksternalitas pembangunan bagi generasi
berikutnya,
c. Setiap generasi mewarisi sumber-sumber alam dan habitat yang berkualitas dan
mewariskannya pula pada generasi selanjutnya dengan mana generasi ini memiliki kesempatan
yang setara dalam kualitas fisik, ekologi, ekonomi, dan sosial,
d. Generasi kini tidak boleh mewariskan generasi selanjutnya sumber-sumber alam yang tidak
dapat dibarui secara pasti (eksak).

C. Prinsip Keadilan Intragenerasi (The Principle of Intragenerational Equity)

Terdapat juga prinsip lain yang berkaitan dengan generasi, yaitu prinsip keadilan intragenerasi
(The Principle of Intragenerational Equity). Keadilan intragenerasi merupakan keadilan yang
ditujukan pada mereka yang hidup di dalam satu generasi. Keadilan intragenerasi ini terkait
dengan distribusi sumber daya secara adil, yang berlaku pada tingkat nasional maupun
internasional. Lebih dari itu, di samping terkait dengan distribusi sumber daya dan manfaat/hasil
pembangunan. Konsep keadilan intragenerasi juga bisa dikaitkan dengan istribusi risiko/biaya
sosial dari sebuah kegiatan pembangunan.

Keadilan intragenerasi merupakan prioritas pertama dari pembangunan berkelanjutan. Hal ini,
menurut Langhelle, ditunjukkan dalam bagian pertama dari definisi pembangunan berkelanjutan,
yaitu “development that meets the needs of the present…”. Bagian inilah yang menunjukkan
adanya komitmen dari negara-negara terhadap keadilan, termasuk redistribusi dari pihak yang
kaya kepada yang miskin, baik dalam level nasional, maupun internasional. Selanjutnya, Prof.
Ben Boer, pakar hukum lingkungan dari Universitas Sidney, menunjuk kepada gagasan bahwa
masyarakat dan tuntutan kehidupan lain dalam satu generasi memiliki hak untuk memanfaatkan
sumber alam dan menikmati lingkungan yang bersih serta sehat. Keadilan intragenerasi dapat
diartikan, baik secara nasional, maupun internasional.Pada tingkat nasional, pengelolaan
diterapkan dalam akses yang adil kepada sumber daya alam bersama, udara bersih, air bersih
dalam sumber daya air nasional dan laut teritorial. Hal ini juga mengarah kepada masalah
perlunya pembatasan-pembatasan pemerintah atas penggunaan milik-milik pribadi. Sedangkan
pada tingkat nasional, keadilan intragenerasi menyangkut kepada penerapan alokasi yang adil
dari sistem udara, perairan dan sumber daya laut.
Baru-baru ini terdapat analisis yang mengatakan bahwa keadilan intragenerasi menjadi
keadilan di antara penghuni-penghuni bumi pada suatu waktu. Konsep ini berarti bahwa:

“…all people are entitled to basic needs, which may be taken to include a healthy environment,
adequate food and shelter, and cultural and spiritual fulfillment. To achieve this, a transfer of
wealth and technology from higher to lower income countries may be necessary in many
cases.”Hal ini juga berimplikasi bahwa negara-negara yang lebih makmur khususnya, harus
mengurangi konsumsinya terhadap faktor-faktor barang, air, dan udara. Dalam pengelompokan
yang dibuat oleh Kuehn, persoalan keadilan lingkungan dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu
keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif, keadilan lingkungan sebagai keadilan korektif,
keadilan lingkungan sebagai keadilan prosedural dan keadilan lingkungan sebagai keadilan
sosial.

D. Prinsip Pencemar Membayar (Polluter-Pay Principle)


Prinsip ini lebih menekankan pada segi ekonomi daripada segi hukum karena mengatur
mengenai kebijaksanaan atas perhitungan nilai kerusakan dan pembedaannya. Menurut Simons
dalam bukunya Het beginsel ‘de vervuiler betaalt’ en de Nota Milieuheffingen, prinsip ini
semula diajukan oleh ahli ekonomi E. J. Mishan dalam The Cost of Economic Growth pada
tahun 1960-an. Dikatakan bahwa prinsip pencemar membayar yang bersumber pada ilmu
ekonomi berpangkal tolak pada pemikiran bahwa pencemar38 semata-mata merupakan
seseorang yang berbuat pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya. Begitu pula norma
hukum dalam bentuk larangan dan persyaratan perizinan bertujuan untuk mencegah pencemaran
yang sebenarnya dielakkan. Kemunculan organisasi-organisasi internasional turut memberikan
kontribusi dalam perkembangan hukum lingkungan. Salah satunya adalah pembentukan The
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan European Communities
(EC) sangat penting artinya, bukan saja bagi anggotanya, tetapi juga untuk negara bukan
anggota, karena kedua organisasi itu banyak memberikan rekomendasi mengenai kebijaksanaan
lingkungan. Tidak berapa lama setelah organisasi ini berdiri, OECD menerima the polluter-pays
principle, tidak saja sebagai pangkal tolak kebijaksanaan lingkungan nasional yang efisien, tetapi
juga prinsip yang dapat menunjukkan keserasian internasional. Biaya pencegahan dan
penanggulangan pencemaran merupakan kunci masalah lingkungan yang penting, sehingga pada
sidang pertamanya, tanggal 15 dan 16 Juni 1971 / Sub commitee of economic experts OECD
menetapkan:
a. that the internalization of external effect connected with the environment obeyed an economics
efficiency principle which provide a basis for a pollution control policy,
b. that such internalization should be based as possible on the overriding principle that “the
polluter should be the payers”,
c. that exception may have to be meet to the principle which ought to be defined analyzed.
Penelitian selama bertahun-tahun mengenai the polluter-pays principle menghasilkan
rekomendasi OECD Council pada tanggal 26 Mei 1972 tentang Guiding Principles concerning
the international economic aspects of environmental policies yang diterima oleh pemerintah
negara-negara anggota, berupa penerapan antara lain the polluter-pays principle dan rekomendasi
mengenai penyesuaian norma-norma yang berkaitan, yaitu yang mempunyai pengaruh ekonomi
internasional dan lalu lintas perdagangan. Pasal 4 Lampiran Rekomendasi tersebut berbunyi:
The principle to be used for allocation cost of pollution prevention and control measures to
encourage national use of scarce environmental resources and to avoid distortion in international
trade and investment is the so-called “Polluter-Pays Principle”. The principle means that the
polluter should bears the expenses of caring out the above mentioned measures they decide by
public authorities to ensure that the environment is in an acceptable state. In other words, the cost
of these measures should be reflected in the cost of goods and service which cause pollution in
production and for consumption. Such measures should not be accompanied by subsidies that
would create significant distortion in international trade and investment.

Pada tanggal 26 Mei 1972 dalam Guiding Principles concerning the International Economic
Aspects of Environmental Policies OECD menyarankan kepada negara anggota untuk
menerapkan the polluter-pays principle, tapi dikemukakan juga tentang pengecualian terhadap
prinsip termaksud. OECD memberikan definisi sebagai berikut:

“the polluter should bear the expenses of carrying out measures decided by public authorities to
ensure that the environment is in “acceptable state”, or in other words the cost of these measures
should be reflected in the cost of goods and services which cause pollution in production and or
in consumption”

Dengan demikian, pihak penyebab pencemaran akan dikenakan segala biaya, baik yang
digunakan untuk pencegahan pencemaran, maupun untuk memperbaiki kerusakan akibat
pencemaran tersebut.Pada fase ke-2 perkembangan dari OECD tentang the polluter-pays
principleterdiri atas penelitian mengenai sarana penerapan prinsip itu dan pengecualian yang
mungkin terhadapnya sehubungan dengan aspek dinamis pelaksanaannya dalam praktek.

Pada rapat Panitia Lingkungan Tingkat Menteri tanggal 14 November 1974, sarana penerapan
the polluter-pays principle lebih diperjelas dalam bentuk rekomendasi, yaitu dalam
Recommendation of the Council on the implementation of the polluter-pays principle, yang

kemudian kembali menetapkan dalam Pasal 1, bahwa:


a. the polluter-pays principle constitutes for Member countries a fundamental principle for
allocating cost of pollution prevention and control measures introduced by the public in Member
countries,
b. the polluter-pays principle as defined by the Guiding Principles concerning International
Economic Aspects of Environmental Policies, which takes account of particular problems
possibly arising for developing countries means that the polluter should bear the expenses of
carrying out the measures, as specified in the previous paragraph, to ensure that the environment
is in a acceptable state. In other words, the cost of these measures should be reflected in the cost
of goods and services which cause pollution in production and/or consumption.

Di samping rekomendasi tersebut di atas, OECD menentukan bahwa:

Member countries continue to collaborate and work closely together in striving for uniform
observance of the Polluter-Pay Principle, and therefore that as general rule they should not assist
the polluters in bearing the costs of pollution control whether by means of subsidies, tax
advantages or other measures”.
Ketentuan terakhir ini merupakan peraturan umum yang menyatakan agar negara anggota tidak
membantu pencemar dalam menanggung biaya pengendalian pencemaran, baik dengan sarana
subsidi, keringanan pajak atau lainnya. Subsidi dan bantuan keuangan lainnya dengan kombinasi
pungutan pencemaran ditetapkan juga di negara maju, seperti Prancis dan Belanda.
Secara garis besar tujuan utama prinsip ini adalah untuk internalisasi biaya lingkungan. Sebagai
salah satu pangkal tolak kebijakan lingkungan, prinsip ini mengandung makna bahwa pencemar
wajib bertanggung jawab untuk menghilangkan atau meniadakan pencemaran tersebut. Ia wajib
membayar biaya-biaya untuk menghilangkannya. Oleh karena itu, prinsip ini menjadi dasar
pengenaan pungutan pencemaran. Realisasi prinsip ini, dengan demikian menggunakan
instrumen ekonomi, seperti pungutan pencemaran (pollution charges) terhadap air dan udara
serta uang jaminan pengembalian kaleng atau botol bekas (deposit fees). Prinsip ini terdapat
dalam prinsip ke-16 Deklarasi Rio yang berbunyi:

National authorities should endeavour to promote the internationalization of environmental costs


and the use of economic instruments, taken into account the approach that the polluter should, in
principle, bear the cost of pollution, with due regard to the public interest and without distorting
international trade and investment.

Terhadap kewajiban membayar bagi pencemar, timbul kritik yang menafsirkan bahwa dengan
membayar pencemar berhak untuk mencemarkan, asalkan dia membayar ganti kerugian. Tafsiran
ini dikenal dengan ungkapan the right to pollute, license to pollute, paying to pollute dan de
betaler vervuilt. Berhubung terdapatnya kritik terhadap pungutan pencemaran sebagai realisasi
the polluter-pays principle, timbullah keberatan terhadap penerapan sarana tersebut: …some
environmentalists have opposed proposals for pollution charges on moral grounds, claiming that
they involve a “license to pollute”. (Doesn’t regulation also involve a “license to pollute”?)

Mengenai pertanyaan apa yang harus dibayar pencemar, OECD juga memberikan saran
petunjuk:
a. pencemar selayaknya dibebani kewajiban membayar akibat pencemaran yang ditimbulkan.
Namun penyelesaian ini tidak memuaskan, bahkan berbahaya dengan alasan berikut:- pemulihan
lingkungan tidak ada artinya dalam hal terjadinya kerusakan hebat yang dampaknya tidak dapat
diselesaikan dengan ganti kerugian murni,

- pemulihan kerusakan mengandung banyak kesulitan, misalnya dampak jangka panjang dan
penemuan dampak tidak langsung,
- perkiraan biaya kerusakan terhadap biaya pemulihan,
- perbaikan kerusakan seringkali sia-sia dari segi ekonomi; mencegah lebih baik daripada
mengobati.

b. pencemar membayar, dengan membebaninya biaya kegiatan yang perlu untuk mencegah
pencemaran, dalam bentuk pungutan insentif yang sama dengan biaya pembersihan limbah, atau
hanya menetapkan kriteria yang mengharuskan mengambil upaya pencegahan. Selanjutnya
OECD mengemukakan bahwa di samping upaya tersebut di atas pengendalian pencemaran
meliputi pula biaya lain berupa biaya alternatif penerapan kebijaksanaan antipencemaran, biaya
pengukuran dan pemantauan pengelolaan, biaya riset dan pengembangan teknologi
antipencemaran, sumbangan untuk memperbarui instansi out-of-date dan sebagainya. Jika
pencemar harus membayar masih perlu ditetapkan dengan pasti apa yang harus dibayarnya.
c. Kenyataannya, pencemar harus membayar berarti bahwa dia merupakan pembayar pertama,
atau dia berada pada tahap internalisasi biaya eksternal. Dalam hal ini, meneruskan biaya kepada
konsumen tidak melemahkan prinsip tersebut. Menurut laporan OECD tersebut di atas dianggap
tidak realistik bahwa keseluruhan penanggulangan pencemaran dibebankan kepada pencemar.
Pemikiran yang dianut OECD mengenai masalah ini dirumuskan sebagai berikut:
The polluter-pays principle of compensation for damage caused by pollution. Nor does it mean
that the polluter should merely pay the cost of measures to prevent pollution. The Polluter-pays
Principle means that the polluter should be charged with the cost of whatever pollution
prevention and control measures are determined by the public authorities, whether preventive
measures, restoration, or a combination of both.… in other words the Polluters-pays Principle is
not in itself a principle intended to internalize fully the cost of pollution.

Di bidang kebijaksanaan lingkungan telah dikemukakan sejumlah instrumen ekonomi yang


masing-masing manfaatnya bersifat relatif terhadap keberhasilan pengelolaan lingkungan.43
Mengenai sarana kebijaksanaan lingkungan OECD mengenal jenis berikut:
1. direct control,
2. taxes,
3. payments,
4. subsidies,
5. various incentives (tax benefits, accelerated amortization, credit facilities),
6. the auction of pollution rights,
7. charges.

Pada umumnya sarana kebijaksanaan lingkungan menekankan kepada ketentuan larangan dan
persyaratan perizinan, sebagai sarana langsung dan efektif terhadap tujuan yang hendak dicapai,
apabila hal itu berhubungan dengan penanggulangan faktual pada sumber pencemaran. Baik
pengendalian langsung atau sarana fisik, maupun pembebanan pungutan dapat dianggap sebagai
penerapan dari the polluter-pays principle, yang juga dinyatakan dalam laporan OECD:
The polluter-pays principle may be implemented by various means raging from process and
product standards, individual regulation and prohibition to levying various kinds of pollution
charges. To or more of these instruments can be used together. The choice of instruments is
particularly important as the effectiveness of a policy depends on it. This choice can only be
made by public authorities at central or regional level, in the light of a number of factors such as
the amount of information require for the efficient use of these various instruments, their
administrative cost, etc.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa penerapan the polluter-pays principle dilaksanakan
melalui berbagai cara, mulai dari baku mutu proses dan produk, peraturan, larangan sampai
kepada bentuk pembebanan bermacam-macam pungutan pencemaran atau kombinasinya. Pilihan
antara berbagai alternatif sarana ini berada di tangan pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah yang bersangkutan.

E. Principle of Preventive Action


Prinsip ini mewajibkan agar langkah pencegahan dilakukan pada tahap sedini mungkin. Dalam
konteks pengendalian pencemaran, perlindungan lingkungan paling baik dilakukan dengan cara
pencegahan pencemaran daripada penanggulangan atau pemberian ganti kerugian.44 Dalam
Deklarasi Rio, prinsip pencegahan dirumuskan dalam Prinsip 11 yang antara lain, berbunyi:

"States shall enact effective environmental legislation”Prinsip ini juga dipandang sangat
berhubungan erat dengan prinsip keberhati-hatian yang akan diuraikan pada bagian berikut.
Kedua prinsip menekankan pentingnya langkah-langkah antisipasi pencegahan terjadinya
masalah-masalah lingkungan.
Prinsip ini menentukan bahwa setiap negara diberi kewajiban untuk mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan dan tidak boleh melakukan pembiaran terjadinya kerusakan lingkungan
yang bisa berasal dari kejadian di dalam negerinya dan kemudian menyebabkan terjadinya
kerusakan lingkungan. Terdapat juga prinsip pengelolaan lingkungan tanpa merugikan. Deklarasi
Rio juga merumuskan prinsip mengenai kedaulatan negara untuk mengelola atau memanfaatkan
sumber daya alam tanpa merugikan negara lain (right to exploit resources but responsible do not
to cause damage to the environment of other states) (Prinsip 2). Prinsip ini diadopsi dari
Deklarasi Stockholm (Prinsip 21; “state have, in accordance with the Chapter of the United
nations and Principle of International law, the sovereign right to exploit their own resources
pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities
within their jurisdiction or control do not course damage to the environment of other state or of
areas beyond the limits of national jurisdiction”.), di mana prinsip ini merupakan asas hukum
Romawi yang dikenal dengan Prinsip Sic utere tuo ut alienum non laedas46(use your own so as
not to injure another), sebuah prinsip bahwa negara harus menjamin tidak akan menggunakan
atau mengelola sumber alam di wilayah yurisdiksinya yang dapat merugikan negara lainnya.

Deklarasi ini menetapkan pula supaya negara-negara melalui pengembangan hukum


internasional berupaya untuk mengatur hal-hal yang berkenaan dengan sistem tanggung jawab
dan ganti rugi bagi korban pencemaran atau perkan lingkungan di negara sebagai akibat kegiatan
di wilayah yurisdiksinya (Prinsip 22).

F. Prinsip Pencegahan Dini (The Precautionary Principle)


Prinsip ini menyatakan bahwa tidak adanya temuan atau pembuktian ilmiah yang konklusif dan
pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya mencegah kerusakan lingkungan.
Dalam rumusan Prinsip 15 Deklarasi Rio dinyatakan sebagai berikut:

“In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by
States according to their capabilities. Where are threats of serious or irreversible damage, lack of
full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to
prevent environment degradation”.
Prinsip ini merupakan jawaban atas kebijakan pengelolaan lingkungan yang didasarkan kepada
satu hal yang perlu dalam melakukan prevensi atau penanggulangan hanya akan dapat dilakukan
jika telah benar-benar dapat diketahui dan dibuktikan. Sungguh sangat merugikan sekali jika
sesuatu yang sudah berpotensi atau sudah terjadi kerusakan lingkungan, baru dapat diambil
sebuah keputusan setelah diketahui atau dibuktikan lebih dahulu secara pasti.
Pendasaran pada pembuktian lebih dahulu menjadi penghalang bagi pengambilan keputusan
yang bersifat segera, sementara dampak dan risiko (threats) sudah sangat nyata sekali dirasakan.
Ada beberapa acuan yang dipakai untuk mengaplikasikan prinsip pencegahan dini. Acuan
tersebut adalah:
a. ancaman kerusakan lingkungan begitu serius dan bersifat tidak dapat dipulihkan (irreversible).
Misalnya memiliki akibat yang sifatnya membahayakan yang bersifat antargenerasi, atau
keadaan tidak terdapat subsitusi dari sumber daya yang digunakan,
b. bersifat ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty). Terdapat keadaan di mana akibat yang
akan timbul dari suatu aktivitas tidak dapat diperkirakan secara pasti berhubung karakter dari
masalahnya sendiri, penyebab maupun dampak potensial dari kegiatan tersebut,
c. ikhtiar prevensional mencakup ikhtiar pencegahan hingga biaya-biaya yang bersifat efektif
(cost effectiveness).

Berbagai negara telah menerapkan prinsip ini dalam legislasi nasional, misalnya Sri Lanka,
India, Filipina, Australia.50 Prinsip ini telah menjadi dasar putn pengadilan, seperti di Pakistan
dan Australia.

G. Sovereign Rights and Environmental Responsibility


Di dalam Deklarasi Rio terdapat perumusan prinsip mengenai kedaulatan negara untuk
mengelola atau memanfaatkan sumber daya alam tanpa merugikan negara lain (right to exploit
resources but responsible do not to cause damage to the environment of other states) yang
tercantum pada Prinsip 2. Secara korelasi Prinsip 2 ini diadopsi dari Deklarasi Stockholm, yaitu
pada Prinsip 21 yang berbunyi:
“State have, in accordance with the Chapter of the United nations and Principle of International
law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental
policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not
course damage to the environment of other state or of areas beyond the limits of national
jurisdiction”.

Dalam hak-hak berdaulat (sovereign rights) negara tersimpulkan prinsip tanggung jawab negara,
yang sebenarnya memiliki dua dimensi, yaitu:
a. memberikan hak kedaulatan kepada negara untuk memanfaatkan SDA berdasarkan kebijakan
lingkungan masing-masing,
b. memberikan tanggung jawab kepada negara untuk memastikan bahwa aktivitas dalam
yurisdiksinya tidak akan menyebabkan kerusakan lingkungan negara-negara lainnya atau
kawasan di luar batas yurisdiksi nasional.

Berkaitan dengan dimensi pertama dari sovereign rights tersebut dapat dilihat penjabarannya
dalam Prinsip 1 Deklarasi Stockholm, yaitu:

“Man has the fundamental right to freedom equality and adequate conditions of life in an
environment at a quality that permits a life dignity and weld being and he bears a solemn
responsibility to protect and improve the environment for and future generation”.
(Manusia memiliki hak dasar untuk bebas, hak atas persamaan dan kondisi kehidupan yang layak
dalam lingkungan yang bermutu. Meskipun demikian, manusia memikul tanggung jawab untuk
melindungi dan meningkatkan mutu lingkungan atas kehidupan atas kehidupan kini dan generasi
mendatang).
Prinsip 13 Deklarasi Stockholm berbunyi :

“In order to achieve a more national management of resource and this improve the environments,
states should adapt an integrated and coordinated approach to their development planning so as
to ensure that development is compatible with the need to protect and improve environment for
the benefit of their population.
Artinya bahwa dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam, negara-negara harus
melakukan pendekatan secara terpadu dan terkoordinasi atas perencanaan dan pembangunan
sesuai dengan kebutuhan melindungi lingkungan hidup dan bermanfaat bagi penduduk. Khusus
mengenai dimensi kedua dari sovereign rights, Philip Sands menyatakan:
Ecological interdependence poses a fundamental problem for international law, and explains why
international co-operation and the development of international environmental standards are
increasingly indispensable: the challenge for international law in the world of sovereign states is
to reconcile the fundamental independence of each state with the inherent and fundamental
interdependence of the environment.
Dari pernyataan di atas tersirat terjadi pergeseran konsep dari sovereign rights itu sendiri.
Tadinya bisa diartikan sebagai hak mutlak dari negara, kemudian dengan berbagai kasus serta
fenomena yang berkaitan langsung dengan lingkungan membutuhkan campur tangan dari
negara-negara.Bahkan untuk kondisi tertentu (yang jika dilihat dari kondisi asal muasalnya)
menyebabkan sovereign rights itu bisa diturunkan dan menimbulkan kewajiban baru bagi suatu
negara.
Diharapkan setiap negara memanfaatkan sumber daya alam yang dimilikinya secara wajar
(reasonable use) dan tidak melakukan suatu penyalahgunaan dari hak eksploitasi yang
dimiliknya (abuse of rights) serta akan memanfaatkan suatu “shared resources” dengan
penggunaan yang bersifat seimbang (equity and equitable utilization). Juga dikaitkan dengan
Prinsip Good Neigbourliness yang mengharuskan kepada negara-negara untuk selalu bertindak
sebagai tetangga yang baik, karena mereka pada dasarnya hidup dalam satu tempat yang sama
(bumi) dan menikmati semua yang ada bersama-sama.

Prinsip 22 Deklarasi Stockholm menegaskan perlunya negara-negara bekerja sama


mengembangkan lebih lanjut hukum internasional mengenai tanggung jawab hukum ganti rugi
bagi korban pencemaran atau perusakan lingkungan di negara lain akibat kegiatan di wilayah
yurisdiksinya.

Deklarasi ini menetapkan pula supaya negara-negara melalui pengembangan hukum


internasional berupaya untuk mengatur hal-hal yang berkenaan dengan sistem tanggung jawab
dan ganti rugi bagi korban pencemaran atau perusakan lingkungan di negara sebagai akibat
kegiatan di wilayah yurisdiksinya.

H. Access to Environmental Information, Public Participation in Environmental Decisions, Equal


Access and Non-discriminationSecara internasional prinsip mengenai partisipasi diatur dalam
Pasal 10 Deklarasi Rio, yaitu:

Environmental issues are best handled with participation of all concerned citizen, at the relevant
level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information
concerning the environment that is held by public authorities, including information on
hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in
decision - making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and
participation by making information widely available. Effective access to judicial and
administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.
Prinsip ini merupakan salah satu prinsip penting, selain sebagai upaya pemberdayaan masyarakat
dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan, juga untuk meningkatkan kualitas keputn dan
penerimaan masyarakat terhadap keputusanpemerintah yang terkait dengan lingkungan.
Sebagaimana dikemukakan OECD:
Public participation can serve as an opportunity for allowing citizen and groups to express their
views and interest, as a political tool for anticipating shifts in public attitudes and values and a
means for building consensus in areas of environmental controversy and conflict. It is not just a
form of anticipatory policy but a means for improving the quality and acceptability of
government decision.

Lothar Gundling mengemukakan bahwa dasar yang melandasi perlunya partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan adalah:“… informing the administration, increasing the readiness
of the public to accept decision, supplementing juridical protection, and democratizing decision-
making”.Melalui pemberian informasi yang benar dan akurat, maka kualitas keputn yang diambil
oleh pemerintah akan lebih baik. Kualitas keputn yang lebih baik akan meningkatkan kesediaan
masyarakat untuk menerima keputn tersebut, sehingga akan mengurangi perkara yang diajukan
ke pengadilan. Dalam proses ini tentu dibutuhkan jaminan terhadap akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan dalam prosedur administratif pengambilan keputusan pemerintah
di bidang lingkungan.
Koesnadi Hardjasoemantri mengatakan pemberian informasi yang benar kepada masyarakat
adalah prasayarat yang paling penting untuk peran serta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan di bidang lingkungan hidup.

Informasi tersebut harus sampai ke tangan masyarakat yang akan terkena rencana kegiatan dan
informasi itu harus diberikan tepat pada waktunya, lengkap dan dapat dipahami (on time,
compherensive and compherensible).
Hal ini dapat dilihat pada ketentuan mengenai Environmental Impact Assessment (EIA) di
beberapa negara yang mengandung peraturan tentang penyediaan informasi bagi masyarakat.
Pedoman pelaksanaan NEPA 1969 menyatakan bahwa badan-badan federal harus
mengumumkan tersedianya rancangan EIA dan harus pula mengirimkannya kepada organisasi
dan perorangan yang mengajukan permintaan untuk diberi kesempatan menyampaikan pendapat
mereka. Juga ditentukan bahwa badan-badan tersebut harus menyusun metode untuk
mengumumkan tentang adanya rancangan EIA. Salah satu contoh bagaimana hal ini
dilaksanakan adalah dengan pengumuman dalam surat kabar setempat. Contoh lain adalah
menyusun sebuah daftar kelompok masyarakat, termasuk di dalamnya organisasi-organisasi
konservasi alam yang menaruh minat terhadap kegiatan-kegiatan badan-badan tersebut, dan
memberitahukan kelompok-kelompok tersebut tentang adanya rancangan EIA atau mengirimkan
sebuah eksemplar rancangan tersebut kepada mereka, sesegera rancangan tersebut telah siap.
Di Prancis terdapat prosedur tentang EIA yang tercantum dalam French Nature Protection Law
1976 yang memuat ketentuan tentang informasi dan peran serta masyarakat. Ketentuan tersebut
menyatakan bahwa etudes d’impact(impact studies), apabila tidak diberikan pada public
hearings, harus disediakan bagi masyarakat dengan cara lain. Untuk itu, badan-badan diwajibkan
untuk mengumumkan adanya impact study ini dalam sekurang-kurangnya 2 buah surat kabar
setempat. Adapun untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional, impact study tersebut perlu
diumumkan di sekurang-kurangnya 2 surat kabar dengan distribusi nasional. Hal-hal semacam
ini terdapat pula dalam peraturan perundang-undangan di Australia dan sejumlah negara lainnya.
KESIMPULAN :

(1)

- Dalam kasus lumpur lapindo, perbuatan yang dilakukan yaitu melakukan eksplorasi dengan
penggeboran yang menyebabkan adanya luapan lumpur tentu merugikan orang- orang
disekitarnya. Hal ini terbukti dengan:

- Tergenangnya desa-desa di Kecamatan/ Kelurahan Porong, Jabon, Tanggulangin dan sekitarnya


oleh lumpur yang menakibatkan tidak dapat dihuni lagi pemukiman tersebut, dan sebanyak 8.200
jiwa diungsikan;

- Rusaknya lahan pertanian dan perkebunan milik masyarakat;

- Rusaknya sarana prasarana dan infrastruktur;

- Matinya ribuan hewan ternak;

- Terhentinya aktivitas pabrik- pabrik, tidak dapat berfungsi lagi, dikarenakan tergenang lumpur
dan terpaksa menghentikan proses produksinya dan merumahkan tenaga kerja.

Maka dari itu menurut pasal 1365 KUHPerdata adalah:

“ Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Dan yang menjadi Dasar hukum diajukannya gugatan perbuatan melawan hukum atas kerusakan
lingkungan adalah pasal 34 ayat 1 jo. pasal 35 ayat 1 Undang- Undang No. 23 tahun 1997
tentang Lingkungan Hidup jo. Pasal 1365, pasal 1367 KUHPerdata.

Pasal 34 ayat 1 Undang- undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup (yang saat itu
masih berlaku): “Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/ atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian kepada orang lain atau lingkungan hidup,
mewajibkan penanggungjawab usaha dan/ atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/ atau
melakukan tindakan tertentu”.

Pasal 35 ayat 1 Undang- undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup:“
Penanggungjawab usaha dan/ atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, bertanggung
jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi
secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan
hidup”.
- Bahwa setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan
hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan
penanggung usaha dan/ atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/ atau melakukan tindakan
tertentu ( pasal 34 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997).

(2)

Penggugat yakni Yayasan WALHI sulit membuktikan unsur kesalahan atau melawan hukum
dalam kasus ini, terkait dengan tidak adanya pemasangan cashing pada pipa pengeboran itu tidak
jelas apakah sebenarnya di dalam praktek selalu dipakai atau diwajibkan, ataukah tidak. Maka
dari itu lebih baik digunakan tuntutan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) mengingat
kerugian dan kausalitas yang sudah jelas terbukti. Sehingga dalam posita gugatan Penggugat
tidak perlu memasukkan keduanya (PMH dan Strict liability) karena yang seharusnya dituntut
hanyalah strict liability. Secara logika pun sulit apabila PMH dan strict liability diajukan
bersamaan, karena di satu sisi Penggugat harus membuktikan unsur kesalahan (melawan hukum)
di sisi lain ia juga harus membuktikan unsur kerugian, dan hal tersebut merupakan upaya yang
sangat sulit.

(3)

dalih bencana alam yang dapat digunakan oleh Tergugat atas kasus yang menimpanya tersebut
seharusnya tidak serta merta dikabulkan oleh hakim. Karena berdasarkan teori sebelumnya
bahwa dalih bencana alam itu hanya bisa terjadi apabila semburan lumpur panas tersebut tidak
dapat diprediksi, kemudian juga tidak adanya campur tangan manusia atas semburan lumpur
tersebut, selain itu bencana alam bukan satu-satunya penyebab semburan lumpur panas. Hal ini
terlihat bahwa sebenarnya apakah mungkin atau tidak lumpur panas tersebut dapat menyembur
jika tidak ada campur tangan dari PT. Lapindo yang melakukan pengeboran gas di lokasi
tersebut, kemudian jika kita mengacu pada keterangan ahli bahwa pengeboran menggunakan
pipa tanpa pemasangan cashing sebelumnya itu menjadi pokok dapat atau tidaknya dampak
buruk yang dapat diprediksi. Sehingga menurut penulis jika kita mengacu pada teori act of God
maka kejadian semburan lumpur panas tersebut tidak murni bencana alam.

SARAN :

menurut penulis akan lebih tepat jika penggugat hanya menggunakan strict liability atau
pertanggungjawaban mutlak saja dan bukan keduanya (strict liability dan PMH). Gugatan
pertanggungjawaban mutlak ini perlu digunakan dalam kasus Lapindo karena menurut penulis
kegiatan pengeboran gas tersebut merupakan suatu kegiatan/usaha yang berdampak besar dan
penting. Kegiatan tersebut menjadi berdampak penting karena pemilik usaha seharusnya sudah
mengetahui secara jelas dampak yang akan terjadi jika pengeboran dilakukan di daerah yang
rawan gempa, sementara pada pipa pengeboran tidak dipasang cashing pengaman.

Daftar Pustaka

Prof.Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.ML. Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 tahun


Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M.

https://www.academia.edu/10322251/
Analisis_Kasus_Lumpur_Lapindo_dari_Perspektif_Hukum_Perdata

Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana dkk, Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan Studi
Kasus

Anda mungkin juga menyukai