PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibody dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan1.
Sistemik Lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Sistemik Lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan
4
disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh
B. Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat
ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa
1
reproduksi). Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9 : 1 .
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat dirumah
sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada periode
1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan. Insidensi
di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per
10.000 perawatan, sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per
1
10.000 perawatan .
C. Patogenesis
Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor
genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor
genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode
unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik
pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3
serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat
komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang
2
Histocompatibility Complex)
mengatur
produksi
seperti
lipogenik aromatik.
Pengaruh
obat
tembakau yaitu
juga memberikan
gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat
meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen
infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella,
sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel
6
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal .
D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan
akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak
dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES
ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa
tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan
lain.
Kemudian
diikuti
seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria
LES.
1. Manifestasi konstitusional
seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40 C tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai
menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal
terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi
berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis
dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap
sebagai manifestasi Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan
simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya deformitas , kaku sendi yang
berlangsung
beberapa
menit
dan
sebagainya.
lain
sebagainya.
1,9
jangka panjang.
6. Manifestasi Renal
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum
terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal
pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.
7. Manifestasi Gastrointestinal
1,9
8. Manifestasi Hemopoetik
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia
hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus
Adanya leukositosis
pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula- mula menunjukkan
gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang
menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES yang lain.
9. Manifestasi Susunan Saraf
Keterlibatan
Neuropsikiatri
LES
sangat
bervariasi,
dapat
berupa
mulai
dari
anxietas,
depresi
sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid.
Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang
6
E. Penegakan Diagnosis
Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih
kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa,
alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
10.Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11.Neuropsikiatri:
psikosis, kejang,
mielitis
Kriteria
1.
Ruam malar
2.
Ruam diskoid
3.
fotosensitivitas
10
Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular.
Pada
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
7
4.
Ulkus mulut
5.
Artitritis
6.
serositis
a. Pleuritis
b. Perikarditis
7.
Gangguan renal
dilakukan
8.
9.
10.
11.
antinuklear positif
(ANA)
penderita
trombositopenia,
LES
menunjukkan
limfopenia,
adanya
atau
anemia
leukopenia;
pemeriksaan urin
proteinuria,
hematuria,
peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah
pada urin.
2. Pemeriksaan imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
LES adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar
95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit
lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi
kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective
tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau
pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
9
anemia
hemolitik,
neutropenia
(leukosit
Edukasi
12
kelompok
penderita
yang
payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi
terhadap
sinar
matahari
menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,
penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.
Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan
menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita
dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan
kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid.
Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES
dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi
dan imunosupresan lainnya.
2. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan LES
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan LES
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi
imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi.
Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk
mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula
modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan
12
otot.
3. Terapi Konservatif
a) Athritis, athralgia dan myalgia
sederhana
atau
obat
antiinflamasi
diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya agar tidak
memperberat keadaan umum penderita. Efek samping
terhadap
sistem
menggunakan
baju
sinar-sinar
tersebut
yang
dapat
menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang
setelah mandi atau berkeringat.
13
Glukokortikoid
lokal,
seperti
krem,
salep
atau
injeksi
dapat
dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hatihati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi
menyebabkan
teleangiektasis
dan
atrofi
fragilitas. Untuk
kulit,
dapat
depigmentasi,
kulit muka
dianjurkan
digunakan
Penggunaan
krem
glukokortikoid
yang resisten
pemberikan
antiinflamasi
terhadap
glukokortikoid
sistemik.
Dapson
dapat
dipertimbangkan
pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LES berbula.
Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik adalah methemoglobinemia,
sulfhemoglobinemia,
dan
anemia
hemolitik,
yang
kadang-kadang
kerja.
aktivitas
Pada
penyakit
dipertimbangkan.
14
d) Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda
serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat,
obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah
(15 mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid
sistemik untuk mengontrol penyakitnya
4. Terapi Agresif
a) Kortikosteroid
tetap
merupakan
obat
yang
banyak
dipakai
sebagai
yang
mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya
15
diberikan
intravena
dengan
dosis
0,5-1
gram
diberikan
selama
bulan
perlahan
dan
Selama
pemberian
nefropati
harus
17
Keterangan :
TR
RS
RP
OAINS
CYC
NPSLE
KS
AZA
MP
: tidak respon
: respon sebagian,
: respon penuh
: obat anti inflamasi non steroid,
: siklofosfamid,
: neuropsikiatri SLE.
: kortikosteroid setara prednison
: azatioprin
: metilprednisolon
18
keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami
kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan eklampsia
juga meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor
predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS).
Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan pasca
persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a) Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah
6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi
total. Pada lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan
remisi total. Hal ini dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
b) Kontrasepsi untuk LES
12
pada
kortikosteroid
atau
obat
imunosupresan
tidak
c) Medikamentosa:
1) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak
melebihi 7,5 mg/hari prednison atau setara.
2) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan
penuh kehati-hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan
obat-obat tersebut seperti tertera pada tabel 3.
Tabel 3. Obat-obatan pada kehamilan dan menyusui
Nama obat
NSAID
Kehamilan
Boleh (hindari setelah
minggu ke 32
Menyusui
boleh
Anti malaria
boleh
boleh
Kortikosteroid
Siklosporin
Boleh sampai 20
mg/hari
boleh
Azitosprin
boleh
Metrotrexat
Tidak
Siklofosfamid
Tidak
Tidak
Wafarain
Tidak
boleh
Heparin
boleh
boleh
boleh
boleh
Polineuropati
Disfungsi kognitif
pleksopati
psikosis
Gangguan mood
Sindrom guillain-Barre
Gangguan cemas
Gangguan otonom
Mistenia gravis
ini, beberapa
penelitian mendapatkan
disimpulkan
LES sendiri
sebagai
penyebab
samping obat atau gangguan metabolik akibat kerusakan pada organ lain
dalam tubuh.
Pemeriksaan penunjang untuk NPSLE
Tidak ada suatu pemeriksaan ataupun gejala khusus yang dapat membedakan
NPSLE primer atau sekunder. Pada penelitian didapatkan 47% penderita
dengan NPSLE
12
Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan LES.
Lebih dari 70% pasien LES mengalami keterlibatan ginjal sepanjang
perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar
tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan
transplantasi atau cuci darah.
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka
seyogyanya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis,
evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, dan
menentukan prognosis dan terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria World
Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah diperbaharui oleh
International Society of Nephrolog dan Renal Pathology Society (ISN/RPS)
tahun 2003 Klasfikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi dari
imun kompleks, sementara klasi ikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi
fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis.
e. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena
infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien LES
f. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko
osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam
dosis lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih
dari 3 bulan). Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi,
obat-obatan seperti calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat
(kecuali terdapat kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.
g. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan
parameter berikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit,
kalium, gula darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot,
fungsi gonad, dan densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan
situasi
klinis
dimana
dapat
diperkirakan
dampak
buruk
dari
kortokosteroid.
h. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat anti inflamasi non steroid,
karena dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan
hipertensi serta meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi
bila dikombinasi dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya).
Bila sangat diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam
waktu singkat, dengan pemantauan yang ketat.
i. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat
risiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian
gagal ginjal juga meningkat.
J. Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.
Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada
pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955,
tingkat kelangsungan hidup penderita mencapai 5 tahun pada LES kurang
dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun
terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. 2009.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Edisi kelima. Jakarta
2. NN. 2009. Kehamilan dengan Lupus Eritematosus Sistemik. Dikutip dari :
http://digilib.unsri.ac.id/download/Lupus%20eritematosus.pdf
3. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS.2006. Epidemiology of systemic lupus
rythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus;308-318.
4. NN. Lupus
dan Penatalaksanaannya. 2010. Dikutip dari :
http://www.research.ui.ac.id/v1/images/stories/lupus/Lupus%20dan%20penat
alaksanaannya.pdf
5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA,
Ogryzlo MA. 1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus
Erythematosus. Am J Med
6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus page.
J Clin Pathol
7. McMurry RW, May W . 2003. Sex hormones and systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum
8. DCruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus erythematosus:
pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. [cited 2011 Dec 23].
Available from
http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pdf
9. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan
Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta
32