Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibody dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan1.
Sistemik Lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan
4

disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh .


Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh.
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.
Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang
menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan
organ yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir
dengan kematian. Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding
bila anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia,
nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai
faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Sistemik Lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan
4
disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh
B. Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat
ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa
1

reproduksi). Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9 : 1 .
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat dirumah
sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada periode
1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan. Insidensi
di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per
10.000 perawatan, sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per
1

10.000 perawatan .
C. Patogenesis
Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor
genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor
genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode
unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik
pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3
serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat
komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang
2

mulai ikut berperan adalah gen


6

yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin .


Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan
HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen
MHC (Major

Histocompatibility Complex)

mengatur

produksi

autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen


komplemen,

seperti

C2, C4, atau C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat

merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear


sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan
sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan
6

menimbulkan respon imun .


Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity

dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis

keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada


penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung
mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal
membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya
yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi
terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam
amino

lipogenik aromatik.

Pengaruh

obat

tembakau yaitu
juga memberikan

gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat
meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen
infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella,
sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel
6

permukaan dan apoptosis .

Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.


Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan
sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan
7

produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES . Autoantibodi pada lupus


kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Selain
itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan
3

fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam


pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang
9

mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal .
D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan
akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak
dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES
ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa
tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan
lain.

Kemudian

diikuti

oleh manifestasi klinis lainnya

seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria
LES.
1. Manifestasi konstitusional

Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita LES


dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan ini sulit
dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan seperti pada
anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan ini
disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain
0

seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40 C tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai
menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling sering


4

terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi
berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis
dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap
sebagai manifestasi Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan
simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya deformitas , kaku sendi yang
berlangsung

beberapa

menit

dan

sebagainya.

Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan


terapi steroid.
3. Manifestasi Kulit

Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,


butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi
psoriaform dan

lain

sebagainya.

Selain itu, pada kulit juga dapat

ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo


retikularis, ulkus jari, gangren.
4. Manifestasi Paru

Berbagai manifestasi klinik

pada paru-paru dapat terjadi baik berupa

radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi


pulmonal, atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut
dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan
merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini
sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru,
baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respon baik
terhadap pemberian streroid.
5. Manifestasi Kardiologis

1,9

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat


berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung
kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia
muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid
5

jangka panjang.
6. Manifestasi Renal

Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum
terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal
pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.
7. Manifestasi Gastrointestinal

1,9

Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, secara


klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric valkulitis,
inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Dapat
berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis
aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus
dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.
9

8. Manifestasi Hemopoetik

Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia
hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus
Adanya leukositosis

harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia

pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula- mula menunjukkan
gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang
menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES yang lain.
9. Manifestasi Susunan Saraf
Keterlibatan

Neuropsikiatri

LES

sangat

bervariasi,

dapat

berupa

migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan


tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab
terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe
sensorik ditemukan pada 10% kasus. Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan.
Kelainan psikiatrik sering ditemukan,

mulai

dari

anxietas,

depresi

sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid.
Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang
6

spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi


(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadangkadang

diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.

E. Penegakan Diagnosis
Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih
kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa,
alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
10.Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11.Neuropsikiatri:

psikosis, kejang,

sindroma otak organik,

mielitis

transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.


Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan laboraturium. American
College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk
klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis LES dapat ditegakan
(lihat tabel 1).

Tabel 1.Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik


No

Kriteria

1.

Ruam malar

2.

Ruam diskoid

3.

fotosensitivitas

10

Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular.
Pada
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
7

4.

Ulkus mulut

Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat


oleh dokter pemeriksa.

5.

Artitritis

Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi


perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.

6.

serositis
a. Pleuritis
b. Perikarditis

7.
Gangguan renal
dilakukan

8.

9.

10.

11.

Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar


oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub
atau terdapat bukti efusi perikardium
Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak

pemeriksaan kuantitatif. atau


Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular,
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan
Gangguan neurologi
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit). atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. atau
hematologi
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih. atau c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih. atau d. Trombositopenia
<100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan
a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
abnormal. imunologik
Atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm.
Atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang
didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM,
2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifi lis
sekurang- kurangnya
selama 6 bulan dan dikonfi rmasi dengan test imobilisasi
Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi an bodi treponema.
Antibodi

antinuklear positif
(ANA)

Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan


imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
8

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki


sensitifitas 85% dan spesiisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria
dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil
pemeriksaan darah pada
hemolitik,

penderita

trombositopenia,

LES

menunjukkan

limfopenia,

adanya

atau

anemia

leukopenia;

erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif,


Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin
terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pada

penderita LES menunjukkan adanya

pemeriksaan urin
proteinuria,

hematuria,

peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah
pada urin.
2. Pemeriksaan imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
LES adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar
95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit
lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi
kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective
tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau
pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
9

tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis


dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan
datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes
ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran
klinis tidak sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti- dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis LES dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan LES.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya
LES. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% 30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes
anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk diagnosis LES. Titer
anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang
negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
G. Derajat Berat Ringannya Penyakit
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama
menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan
ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES.
Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa
1. Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:
a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
10

gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh


LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
2. Kriteria LES Derajat Sedang adalah:
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c. Serositis mayor
3. Kriteria LES derajat berat dan dapat membahayakan jiwa:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika. d.
Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh
(blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
g. Hematologi:

anemia

hemolitik,

neutropenia

(leukosit

<1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik


trombositopenia, trombosis vena atau arteri.
H. Penatalaksanaan LES Secara Umum
1.

Edukasi

12

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam


penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan
membentuk

kelompok

penderita

yang

bertemu secara berkala untuk

membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami


fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu
banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu
menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau
11

payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi
terhadap

sinar

matahari

dari jendela. Selain itu, penderita LES juga harus

menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,
penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.
Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan
menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita
dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan
kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid.
Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES
dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi
dan imunosupresan lainnya.
2. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan LES
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan LES
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi
imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi.
Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk
mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula
modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan
12

otot.
3. Terapi Konservatif
a) Athritis, athralgia dan myalgia

Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering


dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan
analgetik

sederhana

atau

obat

antiinflamasi

nonsteroid. Yang harus

diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya agar tidak
memperberat keadaan umum penderita. Efek samping

terhadap

sistem

gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan


memeriksa kreatinin serum secara berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak memberikan
respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria,
misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini
tidak memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin
lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan
evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat
dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria,
dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis
tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15
mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada
penderita LES.
b) Lupus Kutaneus

Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi


akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar
inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita
fotosensitivitas harus berlindung terhadap paparan
dengan

menggunakan

baju

sinar-sinar

tersebut

pelindung, kaca jendela yang digelapkan,

menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar


sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung
PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat

yang

dapat

menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang
setelah mandi atau berkeringat.
13

Glukokortikoid

lokal,

seperti

krem,

salep

atau

injeksi

dapat

dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hatihati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi
menyebabkan
teleangiektasis

dan

atrofi

fragilitas. Untuk

kulit,

dapat

depigmentasi,

kulit muka

dianjurkan

penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi,


misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan dapat
steroid topikal berkekuatan

digunakan

sedang, misalnya betametason valerat dan

triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan


plantar pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi,
misalnya betametason dipropionat.

Penggunaan

krem

glukokortikoid

berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti


dengan yang berkekuatan lebih rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus
kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria
mempunyai efek sunsblocking,
penderita

yang resisten

pemberikan

antiinflamasi

terhadap

glukokortikoid

dan imunosupresan. Pada

antimalaria, dapat dipertimbangkan

sistemik.

Dapson

dapat

dipertimbangkan

pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LES berbula.
Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik adalah methemoglobinemia,
sulfhemoglobinemia,

dan

anemia

hemolitik,

yang

kadang-kadang

memperburuk ruam LES di kulit.


c) Kelelahan dan Keluhan Sistemik

Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita


LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga
dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan
dan demam dapat juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus
bersikap simpati dalam mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak
memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan mengatur
jam

kerja.

aktivitas

Pada

keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan

penyakit

LES dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat

dipertimbangkan.
14

d) Serositis

Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda
serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat,
obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah
(15 mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid
sistemik untuk mengontrol penyakitnya
4. Terapi Agresif
a) Kortikosteroid

Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan


LES. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping,
kortikosteroid

tetap

merupakan

obat

yang

banyak

dipakai

sebagai

antiinlamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga


bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka
dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.
Tabel 2. Terminologi Pembagian Kortikosteroid
Dosis rendah
Dosis sedang
Dosis tinggi
Dosis sangat tinggi
Terapi pulse

< 7.5 mg prednison atau setara perhari


>7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau
setara perhari
>30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau
setara perhari
>100 mg prednison atau setara perhari
>250 mg prednison atau setara perhari untuk 1
hari atau beberapa hari

Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam menatalaksana kasus


rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang relatif tenang.
Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang aktif. Dosis sangat tinggi
dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis
luas, nephritis lupus, lupus cerebral.
Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik

yang

mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya
15

diberikan

intravena

dengan

dosis

0,5-1

gram

metilprednisolon diberikan selama 3 hari berturut-turut.


b) Sparing Agen Kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan
menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol penyakit
dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah
siklofosfamid azatioprin, siklosporin dan metrotrexate.
1) Siklofosfamid

Indikasi siklofosfamid pada LES :


1.1) Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing
agent).
1.2) Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
1.3) Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka
lama atau berulang.
1.4) Glomerulonefritis difus awal.
1.5) LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
1.6) Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum
tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.

1.7) LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.


Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl
0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam
setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi LES.
Siklofosfamid

diberikan

selama

bulan

dengan interval 1 bulan,

kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid,


dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas
lupusnya. Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%,
dosis

siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2.

Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau.


Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid
berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai
4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga
dosisnya harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Toksisitas
siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia, sistitis hemoragika,
16

keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia.


2) Azatioprin

Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif


terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan
secara per oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita
LES, setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal
mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan

perlahan

dan

dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.


Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan
enzim hati dan mencetuskan keganasan.
3) Siklosporin

Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah


Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan
pada LES baik tanpa manifestasi renal maupun dengan
membranosa.

Selama

pemberian

nefropati
harus

diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila


kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah
sebelum pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.

17

Algoritma penatalaksanaan LES dapat dilihat dibawah ini

Keterangan :
TR
RS
RP
OAINS
CYC
NPSLE
KS
AZA
MP

: tidak respon
: respon sebagian,
: respon penuh
: obat anti inflamasi non steroid,
: siklofosfamid,
: neuropsikiatri SLE.
: kortikosteroid setara prednison
: azatioprin
: metilprednisolon

I. Lupus Eritematosus Sistemik dalam keadaan khusus


1. Lupus dalam Kehamilan
Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan LES.
Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan
namun umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis
masih aktif maka 50-60% eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam

18

keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami
kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan eklampsia
juga meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor
predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS).
Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan pasca
persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a) Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah
6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi
total. Pada lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan
remisi total. Hal ini dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
b) Kontrasepsi untuk LES

12

Kontrasepsi yang dapat dianjurkan kepada para penderita lupus


sangatlah terbatas, dan masing-masing harus diberikan secara
individual, tergantung kondisipenderita. Kontrasepsi oral merupakan
pilihan bagi penderita dengan keadaan yang stabil, tanpa sindrom
antifospolipid (APS). Kekhawatiran penggunaan kontrasepsi oral ini
sebelumnya adalah kekambuhan penyakit akibat hormon estrogen yang
ada dalam pil kontrasepsi, namun penelitian mendapatkan bukti ini
sangat lemah. Kontrasepsi oral merupakan kontraindikasi

pada

penderita LES dengan APS karena dapat mengakibatkan trombosis.


Sementara penggunaan intra uterine device (IUD) pada penderita yang
mendapat

kortikosteroid

atau

obat

imunosupresan

tidak

direkomendasikan, karena risiko terhadap infeksi, sehingga pilihan


hanya terbatas pada kondom. Depomedroxy progesteron acetate
(DMPA) dapat merupakan suatu pilihan, namun akhir-akhir ini
dikhawatirkan adanya kemungkinan efek negatifnya pada masa tulang
(menimbulkan osteoporosis), sehingga hanya diberikan berdasarkan
indikasi tiap-tiap individu, contohnya mereka dengan kelainan
perdarahan dan keterbelakangan mental, DPMA merupakan pilihan
yang terbaik.

c) Medikamentosa:
1) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak
melebihi 7,5 mg/hari prednison atau setara.
2) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan
penuh kehati-hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan
obat-obat tersebut seperti tertera pada tabel 3.
Tabel 3. Obat-obatan pada kehamilan dan menyusui
Nama obat
NSAID

Kehamilan
Boleh (hindari setelah
minggu ke 32

Menyusui
boleh

Anti malaria

boleh

boleh

Kortikosteroid

Siklosporin

Boleh sebaiknya dosis


tidak lebih dari 7.5
mg/hari
boleh

Boleh sampai 20
mg/hari
boleh

Azitosprin

Boleh, dosis sebaiknya


tidak lebih dari 1,5-2
mg/kgBB/hari

boleh

Metrotrexat

Tidak, dan harus


dihentikan minimal 3
bulan sebelum konsepsi

Tidak

Siklofosfamid

Tidak

Tidak

Wafarain

Tidak

boleh

Heparin

boleh

boleh

Aspirin dosis rendah

boleh

boleh

2. Sistemik dengan Antifosfolipid (APS)


Sindroma anti fosfolipid (APS) atau yang dikenal sebagai sindroma
Hughes merupakan suatu kondisi autoimun yang patologik di mana
terjadi akumulasi dari bekuan darah oleh antibodi antifosfolipid.
Penyakit ini merupakan suatu kelainan trombosis, abortus berulang

atau keduanya disertai peningkatan kadar antibodi antifosfolipid yang


menetap yaitu antibodi antikardiolipin (ACA) atau lupus antikoagulan
(LA). Diagnosis APS ditegakkan berdasarkan konsensus internasional
kriteria klasifikasi sindroma anti fosfolipid (Sapporo) yang disepakati
tahun 2006, apabila terdapat 1 gejala klinis dan 1 kelainan
laboratorium sebagaimana tertera di bawah ini:
Kriteria Klinis:
a) Trombosis vaskular: Penyakit tromboembolik vena (Trombosis
vena dalam, emboli pulmonal)
b) Penyakit tromboemboli arteri : Trombosis pembuluh darah kecil
c) Gangguan pada kehamilan:
> 1 kematian fetus normal yang tak dapat dijelaskan pada usia 10
minggu kehamilan atau
> 1 kelahiran prematur neonatus normal pada usia kehamilan 34
minggu atau
> 3 abortus spontan berturut-turut yang tak dapat dijelaskan pada
usia kehamilan < 10 minggu
Kriteria Laboratorium:
a) Positif lupus antikoagulan
b) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi antikardiolipin (sedang
atau tinggi).
c) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi anti-beta2 glikoprotein
(anti 2 GP) I (sedang atau tinggi).
Perbedaan waktu antara pemeriksaan yang satu dengan yang
berikutnya adalah 12 minggu untuk melihat persistensinya
3. Neuropsikiatri Lupus Eritematosus (NPSLE)
Prevalensi NPSLE bervariasi antara 15%-91% tergantung pada kriteria
diagnosis dan seleksi penderita.14,59,60 Manifestasi klinis NPSLE
sangat beragam mulai dari disfungsi saraf pusat sampai saraf tepi dan
dari gejala kognitif ringan sampai kepada manifestasi neurologik dan
psikiatrik yang berat seperti stroke dan psikosis. Sulitnya mempelajari
24

kasus NPSLE akibat tidak adanya kesepakatan dalam definisi


penyakit, karena itu American College of Rheumatology (ACR)
mengeluarkan suatu klasifikasi untuk membuat keseragaman tersebut.
Tabel 4.Sindrom neuropsikiatrik pada SLE menurut ACR
Sistem saraf pusat

Sistem saraf perifer

Acute confusional state

Polineuropati

Disfungsi kognitif

pleksopati

psikosis

Mononeuropati (tunggal/ multi


pleks)

Gangguan mood

Sindrom guillain-Barre

Gangguan cemas

Gangguan otonom
Mistenia gravis

Nyeri kepala (termasuk migrain dan


hipertensi intrakranial ringan)
Penyakit serebrovaskular
Mielopati Gangguan
gerak Sindrom
demielinisasi Kejang
Meningitis aseptik
Neuropati kranial

Berdasarkan kriteria ACR

ini, beberapa

penelitian mendapatkan

manifestasi terbanyak NPSLE adalah disfungsio gknitif dan sakit ekpala.


Patogenesis NPSLE sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti,
namun tampaknya NPSLE bukan disebabkan oleh satu mekanisme saja,
namun berbagai mekanisme. Sekitar 60% kasus NPSLE tidak ditemukan
penyebabnya sehingga

disimpulkan

LES sendiri

sebagai

penyebab

manifestasi tersebut (NPSLE primer) sedangkan sisanya 40% disebabkan


oleh faktor sekunder yang berhubungan dengan LES seperti infeksi, efek

samping obat atau gangguan metabolik akibat kerusakan pada organ lain
dalam tubuh.
Pemeriksaan penunjang untuk NPSLE
Tidak ada suatu pemeriksaan ataupun gejala khusus yang dapat membedakan
NPSLE primer atau sekunder. Pada penelitian didapatkan 47% penderita
dengan NPSLE

primer tidak menunjukan abnormalitas pada MRI

konvensional. Namun demikian MRI ini dipelurkan untuk menyingkirkan


penyebab lain NPSLE59. Suatu teknik baru yang disebut Magnetization
Transfer Imaging (MTI) yaitu teknik MRI yang dapat memberikan informasi
secara kuantitatif. Alat inilebih sensitif dari MRI konvensional dalam
mendeteksi NPSLE primer, termasuk mendeteksi kelainan otak pada mereka
dengan riwayat NPSLE tanpa gejala aktif NP saat pemeriksaan dilakukan.
4. Lupus Nefritis

12

Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan LES.
Lebih dari 70% pasien LES mengalami keterlibatan ginjal sepanjang
perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar
tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan
transplantasi atau cuci darah.
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka
seyogyanya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis,
evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, dan
menentukan prognosis dan terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria World
Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah diperbaharui oleh
International Society of Nephrolog dan Renal Pathology Society (ISN/RPS)
tahun 2003 Klasfikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi dari
imun kompleks, sementara klasi ikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi
fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis.

Tabel 5. Klasifikasi lupus nefritis oleh


International Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003 (ISN/RPS)
Kelas I Minimal mesangial lupus nefritis
Kelas II Mesangial proliferative lupus nefritis
Kelas III Fokal lupus nefritis
III(A) : Lesi aktif : fokal proliferatif lupus nefritis
III (A/C) : Lesi aktif dan kronis : fokal proliferatif dan sklerosing
lupus nefritis
III (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar
Kelas IV Difuse lupus nefritis
IV-S(A)
: Lesi aktif : difus segmental proliferatif lupus nefritis
IV-G(A) : Lesi aktif: difus global prolifertif lupus nefritis
IV-S (A/C) : Lesi aktif dan kronis
IV-G (A/C) : Lesi aktif dan kronis
IV-S (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar
IV-G (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar
Kelas V Membranous lupus nefritis
Kelas VI Advanced sklerotik lupus nefritis
Pemeriksaan penepis lupus nefritis penting dilakukan karena gejala sering
tidak diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria, proteinuria atau
hipertensi. Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus nephritis tersebut
adalah pemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum kreatinin, serologi anti
dsDNA dan C3.
Terdapat beberapa variabel klinis yang dapat mempengaruhi prognosis.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir buruk tersebut adalah ras
hitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid, gagal terhadap terapi
imunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal yang memburuk

Tatalaksana Lupus Nefritis


a. Semua pasien lupus nefritis seyogyanya menjalani biopsi ginjal bila tidak
terdapat kontra indikasi (trombositopeni berat, reaksi penolakan terhadap
komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan
tersedianya dokter ahli dibidang biopsi ginjal, oleh karena terapi akan
sangat berbeda pada kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan
biopsi ginjal diperlukan pada pasien dengan perubahan gambar klinis
dimana terapi tambahan agresif diperlukan.
b. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin rutin terutama
sedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen,
anti-ds DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung
situasi klinis. Pada penyakit rapidly progressive glomerulonephritis
diperlukan pemeriksaan kreatinin serum harian, untuk parameter lain
diperlukan waktu 1 sampai 2 minggu untuk berubah.
c. Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien
dengan riwayat glomerulonefritis adalah < 120/80 mmHg. Beberapa obat
antihipertensi banyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi pemilihan
angiotensin-converting enzim (ACE) inhibitor lebih diutamakan terutama
untuk pasien dengan proteinuria menetap. Pemberian ACE inhibitor saja
atau dengan kombinasi. Diet rendah garam direkomendasikan pada
seluruh pasien hipertensi dengan lupus nefritis aktif. Bila diperlukan loop
diuretik dipakai untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi
dengan monitor elektrolit yang baik.
d. Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko prematur
aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga
harus dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target
terapi menurut Guidelines American Heart Association (AHA) adalah
kolesterol serum < 180 mg/dL, risiko kardiovaskular pada pasien dengan
LES masih meningkat pada kolesterol serum 200 mg/dL. Pasien lupus
dengan hiperlipidemia yang menetap diobati dengan obat penurun lemak
seperti HMG Co-A reductase inhibitors

e. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena
infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien LES
f. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko
osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam
dosis lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih
dari 3 bulan). Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi,
obat-obatan seperti calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat
(kecuali terdapat kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.
g. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan
parameter berikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit,
kalium, gula darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot,
fungsi gonad, dan densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan
situasi

klinis

dimana

dapat

diperkirakan

dampak

buruk

dari

kortokosteroid.
h. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat anti inflamasi non steroid,
karena dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan
hipertensi serta meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi
bila dikombinasi dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya).
Bila sangat diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam
waktu singkat, dengan pemantauan yang ketat.
i. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat
risiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian
gagal ginjal juga meningkat.
J. Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.
Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada
pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955,
tingkat kelangsungan hidup penderita mencapai 5 tahun pada LES kurang
dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun
terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita

pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup


penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih
rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan
dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini,
perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan
medis umum.

BAB III
KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun


yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan.
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan saalah satu penyakit yang tidak
mudah didiagnosa dikarenakan banyaknya variasi dari manifestasi klinis yang
ditimbulkannya. Dalam melakukan penegakan diagnosa LES dibutuhkan
adanya pengamatan klinis yang baik serta pemeriksaan Antibodi Antinuklear
(ANA), yang keduanya harus menunjukan hasil yang positif.
Penatalaksanaan pada LES dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi
non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis
diantaranya edukasi dan program rehabilitasi, sedangkan terapi farmakologis
meliputi terapi konservatif dan terapi agresif

DAFTAR PUSTAKA
1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. 2009.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Edisi kelima. Jakarta
2. NN. 2009. Kehamilan dengan Lupus Eritematosus Sistemik. Dikutip dari :
http://digilib.unsri.ac.id/download/Lupus%20eritematosus.pdf
3. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS.2006. Epidemiology of systemic lupus
rythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus;308-318.
4. NN. Lupus
dan Penatalaksanaannya. 2010. Dikutip dari :
http://www.research.ui.ac.id/v1/images/stories/lupus/Lupus%20dan%20penat
alaksanaannya.pdf
5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA,
Ogryzlo MA. 1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus
Erythematosus. Am J Med
6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus page.
J Clin Pathol
7. McMurry RW, May W . 2003. Sex hormones and systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum
8. DCruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus erythematosus:
pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. [cited 2011 Dec 23].
Available from
http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pdf
9. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan
Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta

32

Anda mungkin juga menyukai