Anda di halaman 1dari 3

Satu

Samar-samar kudengar alunan piano gubahan Chopin. Aku berjalan di aula yang
luas. Semuanya serba putih. Jendela terbuka lebar, gorden tersibak angin, dan aku
menemukan sosok yang kukenal. Ibu memakai leotard putih dan tutu berwarna
putih yang panjang. Aku memanggilnya Ibu berulang kali, namun aku hampir tak
mendengar suaraku sendiri. Ia tetap menari hingga bagian mazurka selesai, dan
akhirnya ia menoleh ke arahku. Ia lalu memiringkan kepalanya dan tersenyum.
Disodorkannya sepatu balet berwarna putih mutiara lalu dia mengucapkan Katya.
Lalu ia membisikkan sesuatu yang tak jelas dalam bahasa Rusia. Hingga tiba-tiba
segalanya memudar.
Aku terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Aku terkesiap dan menatap
langit-langit kamarku lekat-lekat. Lalu kulihat sekeliling dinding kamarku yang
berwarna krem. Aku bangkit dan duduk di atas kasur. Mimpi tadi membuatku
termenung. Di mimpi itu aku melihat sosok ibuku, yang sudah lima tahun lamanya
wafat. Bukannya aku melupakannya, namun aku sudah mulai tidak terlalu dihantui
oleh sosoknya. Sudah sekian lama ia tidak muncul lagi di mimpiku. Sebagian diriku
kangen namun sebagian lainnya entah mengapa membuatku penasaran. Sosok ibu
seolah masih umur belasan tahun. Terlihat sangat muda dengan pipi kemerahan. Ia
memang mantan balerina di usia muda. Tidak ada yang begitu aneh namun aku tak
pernah melihat ibu tersenyum selebar itu sebelumnya.
---Ibuku adalah sosok yang memperkenalkan diriku dengan balet. Ia selalu
menceritakan tentang bagaimana ia ingin mengejar cita-cita menjadi ballerina di
Saint Petersburg. Ia selalu berbinar-binar jika menceritakan tentang Mariinsky
Ballet. Namun demikian kakek tak mengizinkannya pergi ke Petrograd, dimana
akademi balet terbaik Rusia bertempat. Kakek yang bersifat konservatif menentang
ambisi ibu untuk menjadi ballerina profesional. Ibu pun mengurungkan niatnya
untuk melanjutkan sekolah balet ke Imperial Ballet School dan akhirnya menikah
dengan ayah di usia 21 tahun.
Ayah sendiri mengagumi sosok ibu yang suka menari balet. Walaupun dia bukanlah
penggemar berat balet, ibu sering mengajaknya ke pertunjukan balet saat kencan
bahkan hingga mereka telah menikah. Kami tinggal di apartemen dan dia hanya
pegawai kantoran biasa. Ia bertemu ibu di kafe milik Nenek Inna yang merupakan
tantenya ibu. Karena lokasinya dekat universitas dimana ayah kuliah, ayah kerap
kali berkunjung kesana sendirian. Sangat klasik, mereka pun berkenalan dan jatuh
cinta.
Kesehatan ibu kian memburuk setelah aku berusia tiga tahun. Ia terkena penyakit
paru-paru yang kurang aku pahami. Kakek merupakan perokok berat dan banyak

pelanggan restoran yang merupakan perokok, dokter bilang kemungkinan ia


menjadi perokok pasif. Selain itu nenek juga meninggal karena penyakit paru-paru,
bisa jadi ada faktor keturunan.
Terlepas dari itu, ibu tak pernah berhenti mencekoki diriku dengan balet. Ia bahkan
membelikanku leotard warna merah muda dan sepatu balet senada di ulang
tahunku yang keempat. Ia lalu memperkenalkan aku dengan Tante Kostya, seorang
pengajar yang merupakan temannya dulu belajar balet. Tante Kostya adalah
seorang wanita bertubuh sedang dengan rambut kemerahan dan bermata biru
kehijauan. Ibu selalu mengantarkan diriku ke sanggar balet milik Tante Kostya di
sore hari hingga aku berusia enam tahun. Tante Kostya pun selalu menyambut kami
sambil menyeduh kopi Rusia atau kahlua sebelum kelas dimulai. Sementara ibu
hanya minum teh dengan aroma kayu manis sambil menunggu kelas berakhir.
Ibu berhenti mengantarkanku ke sanggar balet ketika aku masuk ke sekolah dasar.
Kesehatannya menjadi sangat buruk dua bulan setelah aku masuk sekolah dasar.
Akhirnya Tante Kostya selalu berbaik hati menjemputku sepulang sekolah dan
makan siang di sanggarnya, sementara ibu di rumah diurus oleh Nenek Inna yang
sudah menutup restorannya. Sepulang kerja, ayah menjemputku dari sanggar.
Delapan bulan setelah kondisi ibu yang selalu terbaring, ia pun wafat. Entah
mengapa baik ayah dan aku tidak menangis saat pemakaman. Kakek tampak belum
mampu menerima kenyataan bahkan hingga saat ini sementara Tante Kostya
menemaniku pulang lebih cepat dan membuatkan aku teh beraroma kayu manis. Ia
lalu mengucapkan, Jangan kau menyerah dengan mimpimu, Katya. Anna ingin
dirimu terbang dan menari di bawah lampu sorot. Bukankah kau selalu ingin
memerankan bagian mazurka itu? Menari dengan indah bersama para ballet de
corpse. Diiringi orkestra Chopin akan sangat menakjubkan bukan?
Baik Ibu maupun Tante Kostya merupakan penggemar Mikhail Fokine. Dari umur
enam tahun, aku dicekoki karya Fokine dan yang paling berkesan adalah Les
Sylphides. Les Sylphides tidak memiliki plot, hanya berupa romantic reverie yang
terdiri atas delapan babak utama. Seandainya aku bisa memainkannya, baik
menjadi solois maupun menjadi bagian ballet de corpse pun tak masalah. Di bawah
sorotan lampu panggung megah teater Bolshoi. Terkadang aku merasa itu terlalu
mustahil.

Dua
Selama satu minggu terakhir aku selalu bermimpi yang sama. Tidak terlalu sama,
tapi selalu sosok ibu yang menari di dalam dengan berwarna putih. Namun aku tak
lagi bercakap-cakap dengan ibu, aku duduk sambil mengenakan sepatu balet putih
dan memandangnya dari kejauhan. Aku lalu terbangun menatap langit-langit
dengan perasaan penasaran.
Aku tinggal di Sochi, kota yang

Anda mungkin juga menyukai