PENDAHULUAN
1. Skenario Kasus
Seorang anak berumur 9 tahun bernama Sissy dibawa oleh ayah dan
ibunya ke klinik dokter gigi umum. Ayah dan ibunya ingin agar dilakukan
perawatan pada gigi anaknya yang maju dan susunannya tidak rapi. Sang ibu
bercerita bahwa Sissy tidak dapat berbicara dengan jelas dan nafasnya terengahengah saat bicara. Dari pemeriksaan intraoral didapatkan adanya maloklusi Angle
kelas II divisi 1, susunan gigi-gigi rahang atas tidak teratur, dan adanya gigi
mesiodens di palatal interdental gigi 11 dan 21. Pemeriksaan ekstraoral
menunjukkan adanya pertumbuhan wajah abnormal dan inkompetensi bibir. Dari
pemeriksaan cotton butterfly diketahui bahwa anak memiliki kebiasaan bernafas
lewat mulut.
2. Pemeriksaan Subjektif
Terlihat anak masuk ke dalam ruang praktik dokter gigi, secara umum
tampak postur tubuh anak normal, anak terlihat sehat namun sedikit pendiam,
bentuk dan pertumbuhan wajah anak abnormal, serta terdapat inkompetensi bibir.
Kemudian dokter berkenalan dan melakukan anamnesis.
Anamnesis pada Anak
D : Selamat pagi adik, namanya siapa?
P : Siisssyy.. dok (terengah-engah)
D : apanya yang sakit dik? Sini cerita sama bu dokter
P : mmm.... ngomongnya gak jelas dok, giginya berantakan,
D : ooh gitu, memang umurnya sudah berapa? Sekolahnya dimana?
P : sembilan taun dok, di SD Budi Mulia
D : ooh iya tidak apa-apa, nanti dokter bantu ya.. Kamu sudah pernah ke dokter
gigi sebelumnya?
P : Belum dok, soalnya giginya gak sakit
D : Mulutnya suka kering dik?
P : iya dok, kalau tidur apalagi jadi sering haus
Anamnesis pada orang tua
D : Selamat pagi bapak ibu, ada keluhan apa sampai membawa Sissy kesini?
B : Begini dok, Sissy ini giginya maju dan gak beraturan ee, trus kalo ngomong
rada gak jelas dan ngos-ngosan, padahal udah makin gede, perempuan pula, saya
dan ibu jadi khawatir
D : Selain itu, keluhannya apa lagi ya pak, bu?
I : Kurang ngerti dok, tapi mulutnya suka kering, dikit-dikit haus apalagi tengah
malem dok
2
Riwayat Pasien
Riwayat Sosial
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan ayah
Pekerjaan ibu
Gangguan sosial
Riwayat
Sissy Prasasya
9 tahun
Jalan Kranggan 12A, Yogyakarta
Dosen
Apoteker
Pendiam karena jika berbicara
gigi
Riwayat Gigi
tua Kooperatif
perawatan
gigi
Riwayat Medis
Riwayat
Umum
Gigi
Keluarga
C. Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan Ekstraoral
Pemeriksaan ekstraoral berupa pemeriksaan bentuk kepala, simetri wajah, tipe
wajah, tipe profil, bibir, fungsi bicara, serta kebiasaan buruk.
a. Bentuk kepala
Bentuk kepala berhubungan dengan bentuk wajah, palatum maupun bentuk
lengkung gigi. Bentuk kepala ada 3 yaitu : dolisefalik (panjang dan sempit),
mesosefalik (bentuk rata-rata) dan brakisefalik (lebar dan pendek). Indeks untuk
kepala yang dolisefalik adalah 0,75 sedangkan yang brakisefalik 0,80,
mesosefalik merupakan tipe kepala dengan indeks sefalik antara 0,76-0,79. Indeks
kranial merupakan istilah untuk pengukuran indeks tengkorak kering sedangkan
indeks sefalik digunakan untuk pengukuran pada kepala manusia yang masih
hidup.
(Brakely, 1993)
b. Asimetri Wajah
Wajah pasien dapat dilihat dari depan untuk memeriksa proporsi lebar
mata, hidung dan mulut, juga untuk melihat apakah wajah simetri atau simetri dan
proporsi ukuran vertikal. Menurut Houston dkk., (1992) dengan melihat muka
pasien dari depan bila terdapat asimetri dengan mudah akan dapat dikenali adanya
asimetri rahang terhadap muka secara keseluruhan.
Pemeriksaan wajah dari arah depan :
1) Pasien dengan gigitan terbuka anterior disertai tinggi muka bagian bawah
yang besar kadang-kadang mempunyai muka bagian bawah yang panjang tetapi
kadang-kadang juga tidak, tergantung pada lebar wajah.
2) Perlu juga memeriksa garis median wajah yang diproyeksikan pada model
studi. Hal ini perlu untuk menentukan pergeseran median lengkung geligi
terhadap wajah.
c. Tipe Wajah
Kompleks muka berhubungan dengan basis kranium, pertumbuhan basis kranium
pada tahap awal menentukan pola dimensi, sudut dan topografi muka. Kepala
yang dolikosefalik membentuk muka yang sempit, panjang dan protusif yang
disebut muka sempit/leptoprosop.
d. Tipe Profil
Pemeriksaan profil dapat membedakan secara klinis pasien dengan keadaan yang
parah dari mereka yang mempunyai muka baik atau cukup baik. Profil wajah
Pemeriksaan Penunjang
1. Radiografi Panoramik
Radiograf panoramik membantu untuk menilai usia gigi dan pengembangan serta
patologi tulang, seperti resorpsi akar, odontoma, impaksi, fraktur rahang, tumor,
ankilosis, dll. Radiografi intraoral diperlukan untuk pasien dewasa dengan
penyakit periodontal.
2. Radiografi Sefalometri
Radiografi sefalometrik tercantum di bawah ini:
Mengungkapkan rincian hubungan skeletal dan gigi yang tidak dapat
diperoleh dengan cara lain.
Memungkinkan evaluasi yang tepat dari respon terhadap perawatan.
(Basavaraj, 2011)
Dari skenario, didapatkan hasil berikut :
Gambaran Umum :
-
Gigi : Maloklusi Angle kelas II divisi I, susunan gigi RA tidak teratur, terdapat
gigi mesiodens dipalatal interdental gigi 11 dan 12.
4. Analisis Skenario
Pasien anak datang dengan keluhan utama gigi yang maju dan susunannya
yang tidak rapi. Dari hasil anamnesis, diketahui bahwa anak memiliki kebiasaan
6
bernafas lewat mulut, dan sang ibu mengatakan bahwa anak tidak dapat berbicara
dengan jelas dan nafasnya terengah-engah saat berbicara.
Dari hasil pemeriksaan klinis, yaitu pemeriksaan intraoral didapatkan adanya
maloklusi angle kelas II divisi I, susunan gigi-gigi rahang atas tidak teratur, dan
adanya gigi mesiodens di palatal interdental gigi 11 dan 21. Keadaan jaringan
periodontal anak baik. Pada pemeriksaan ekstraoral menunjukkan adanya
pertumbuhan wajah abnormal yaitu bentuk kepala mesosefalik dan profil wajah
convex, dan inkompetensi bibir.
Berdasarkan etiologi dan patogenesis penyebab keluhan utama gigi yang maju
dan susuannnya yang tidak rapi adalah gigi mesiodens. Mesiodens merupakan
gigi supernumerary yang tumbuh diantara dua incisivus sentral yang dapat
menyebabkan gangguan erupsi gigi sulung, crowding, maupun rotasi gigi lainnya.
(Iswari, 2013). Pada kasus, gigi mesiodens menyebabkan ketidakteraturan gigi
lain, maka dari itu dapat menjadi indikasi untuk dicabut.
Setelah ekstraksi
atau awal periode gigi permanen. Menurut Schwartz dan Groutzinger (1966),
pemakaian aktivator pada maloklusi klas II divisi 1 adalah 2 2 '/2 tahun,
dipakai terus menerus pada malam hari (minimal 7 jam/hari) dan dilanjutkan
pemakaian retainer aktivator selama 1 tahun. Pengontrolan dilakukan minimal
setiap 2 bulan sekali. Pada waktu pengontrolan dilakukan tindakan penyesuaian
alat terhadap gigi dan jaringan pendukungnya. Untuk masalah pasien yang tidak
dapat berbicara dengan jelas dan nafasnya terengah-engah dapat dilakukan speech
therapy dan membiasakan dan melatih pasien untuk tidak bernapas lewat mulut.
6. Prognosis
Pada scenario ini, pasien mendapatkan 3 perawatan yakni pencabutan pada
gigi mesiodens, pemasangan plat activator, dan speech therapy. Pasca pencabutan
gigi mesiodens ini, apabila tidak terjadi perdarahan dan dapat terbentuk jendalan
darah yang sempurna maka prognosis dari pencabutan gigi mesiodens ini adalah
baik. Penggunaan aktivator efektif untuk perawatan maloklusi kelas II divisi 1
dengan retrognati mandibula dan pada masa geligi sulung atau geligi campuran
(Profit dan Fields, 2000). Prognosis pasien akan baik bila pasien mampu menjaga
kebersihan mulutnya serta kebersihan protesa, sehingga tidak terbentuk
penumpukan plak yang akan menjadi tempat melekatnya bakteri yang dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit gigi dan mulut. Prognosis juga akan
menjadi baik bila anak kooperatif untuk mengikuti terapi bicara (speech therapy)
agar anak dapat berbicara dengan lebih jelas yang akan berdampak pada
peningkatan kepercayaan diri anak.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Etiologi Kasus
Etiologi maloklusi menurut Klasifikasi Moyer:
1.
Hereditas
Tulang.
Gigi.
Soft parts.
2.
3. Trauma.
-
Paskanatal trauma.
4.
Agen fisik.
Nature of food.
5.
Kebiasaan.
Posture.
Menggit kuku.
Kebiasaan lain.
6.
Penyakit.
Penyakit disease.
Kelainan endokrin.
Penyakit lokal.
Tumor.
Karies.
9
Etiologi pada kasus dapat berasal dari luar yaitu genetik dan herediter. Selain itu
dapat juga berasal dari faktor lokal yaitu anomali gigi (mesiodens), serta
kebiasaan buruk bernafas melalui mulut
2. Penatalaksanaan Kasus
Odontektomi Mesiodens
Sebelum melakukan odontektomi mesiodens, dilakukan
teknik SLOB untuk menentukan posisi mesiodens. Foto oklusal dilakukan dua
kali pemotretan. Pemotretan pertama dilakukan sesuai prosedur standar.
Pemotretan kedua dilakukan dengan posisi cone lebih ke arah lateral untuk
mendapatkan gambaran radiografik posisi mahkota mesiodens; lebih ke palatal
atau ke labial. Dari hasil pemotretan, diketahui bahwa mesiodens terletak di
palatal (Indriyanti dkk., 2001).
Selanjutnya pada kunjungan berikutnya, dilakukan tindakan odontektomi.
Profilaksis antibiotika diberikan 1 jam sebelum tindakan. Lalu dilakukan anastesi
lokal pada daerah yang akan diinsisi. Tindakan bedah dimulai dengan insisi di
sebelah labial kemudian dilanjutkan dengan pembukaan flap. Lalu dilakukan
ekstraksi mesiodens. Dilakukan pula penjahitan luka bekas pembedahan (Ariany
dkk., 2000).
*Kalau mau ditambahkan di follow up pencabutan
Setelah dilakukan pencabutan, pasien diberikan medikasi analgesik Ponstan
250mg dan obat kumur Betadine. Pasien diingatkan untuk minum antibiotikan
yang telah diberikan enam jam setelah pembedahan dilanjutkan selama 3 hari
berturut-turut. Satu minggu kemudian, dilakukan kontrol dan pembukaan jahitan.
Dilakukan pula pengecekan kontrol ulang untuk melihat bekas lukanya (Ariany
dkk., 2000).
*Kalau mau ditambahkan di prognosis
10
Diagnosa dini gigi mesiodens disertai dengan pemeriksaan radiografik yang tepat
dan pencabutan melalui tindakan bedah akan memberikan prognosa yang baik
(Indriyanti dkk., 2001).
11
Median line RA dan RB segaris kecuali telah terjadi pergeseran median line
karena pergeseran atau migrasi dari gigi giginya.
Relasi antero posterior RA dan RB, idealnya dibuat normal (klas I Angle), over
jet 2 mm.
Pada kasus klas II yang berat misal over jet 13 mm, tidak langsung dijadikan
Maloklusi Angle Klas I tapi dimajukan secara bertahap yaitu dibuat maksimal
optimum missal overjet 6 mm dahulu. Setelah terjadi perubahan pada overjet
baru, dilakukan pembuatan Aktivator baru dengan pembuatan gigitan kerja
terlebih dahulu sampai terjadi Maloklusi Angle Klas I atau normal oklusi. Bila
langsung dimajukan 11 mm dikhawatirkan cepat capai atau sakit pada TMJ.
Pembuatan model malam, fiksasi pada artikulator, try in, inbed dalam kuvet
PENANAMAN MODEL KERJA PADA OKLUDATOR
Model kerja bersama dengan gigitan kerja ditanam dalam Okludator dengan posisi
45, 90 (Ascher, 1968) atau 180. Penanaman dalam Okludator dengan posisi
45, 90, dan posisi terbalik 180. Penanaman model kerja pada okludator dibalik,
karena daerah posterior model kerja menghadap operator. Biasanya pada
pembuatan gigi tiruan, daerah anterior yang menghadap operator. Beberapa cara
penanaman yang dikemukakan bertujuan untuk memberikan kemudahan pada
pembuatan lengkung labial dan pengisian akrilik apabila menggunakan self curing
atylic. karena dapat memberikan orientasi yang baik. Pin atau sekrup penahan
pada okludator yang disesuaikan dengan tinggi gigitan kerja jangan sampai
berubah atau di fixasi.
PEMBUATAN KAWAT
12
Setelah penanaman dalam okludator, pembuatan kawat dapat dimulai. Kawat atau
klamer yang dimaksud adalah lengkung labial dan elemen-elemen tambahan lain
bila di perlukan.
Pembuatan lengkung labial atau Guide Wire
Untuk memudahkan pembuatannya pada waktu membuat lengkung labial, model
kerja dilepaskan dari okludator terlebih dahulu tanpa mengubah posisi penahan
tinggi gigitan kerja yang sudah ditentukan.
Lengkung labial tipe Hawley dibuat dengan penampang 0,7 mm. Ascher (1968)
menggunakan penampang lengkung labial 0,8 mm. Tulley dan Campbell (1970)
menyebutkan bahwa penampang 0,9 milimeter yang tidak diaktifkan digunakan
pada insisivus atas dengan posisi ke labial. Lengkung labial tersebut hanya
menyentuh sisi labial insisivus atas pada sepertiga jarak insisal-servikal, dan
daerah palatalnya dibebaskan dari akrilik. Dickson dan Wheatly (1978)
menggunakan lengkung labial untuk aktivator 0,8 mm. Dengan demikian
penampang lengkunglabial pada aktivator bervariasi diantara 0,7 0,9 mm.
Lengkung labial terdiri dari bagian horisontal yang menghubungkan dua buah lup
vertikal. Posisi bagian horisontal lengkung labial pada kasus Klas II divisi 1
terletak di regio anterior atas, menyinggung sepertiga insisal gigi-gigi anterior
atas.Lengkung labial pada sepertiga insisal digunakan untuk intrusi dan sepertiga
servikal untuk ekstrusi. Lengkung "U" (lup vertikal) pada lengkung labial, berada
pada regio kaninus atas, di sisi kanan dan kiri. Bagian horisontal lengkung labial
rahang atas membelok vertikal ke atas mulai dari sisi distal insisivus lateral atas
atau pada sepertiga sisi mesial kaninus.
Pada Klas II divisi 1 dengan overjet yang nyata sebaiknya dibuat lengkung labial
Hawley dengan jarak lup vertikal secukupnya. Dengan demikian lengkung labial
tidak perlu cepat diganti. Lengan posterior lup vertikal masuk ke dalam pelat
akrilik intermaksiler di antara kaninus dan molar pertama sulung.
Lengan lengkung labial masuk ke palatal melewati interdental-oklusal, kemudian
lengkung labial aktivator dibelokkan ke palatal, membentuk retensi dalam pelat
akrilik pada dua ujungnya. Jika retensi lengkung labial dalam pelat akrilik dibuat
ke anterior, perlu diperhatikan jangan sampai mengganggu pergerakkan gigi-gigi
anterior atas ke palatal.
13
14
15
2. TRANSVERSAL
Tujuan:
Tujuan berbeda-beda sehingga dapat dilakukan secara selektif
CONTOH:
a. 1. Molar atas dan bawah ektrusi Pengurangan pada dataran oklusal baik rahang
atas maupun rahang bawah.
a.2. Molar atas ekstrusi dan ekspansi Pengurangan pada daerah oklusal rahang
atas dengan dataran miring ke bukal
16
c. Penjangkaran Pesawat satu sisi dan menggerakkan gigi-gigi pada sisi berlawanan
dengan pegas atau penambahan akrilik
3. SAGITAL
Pengurangan arah sagital pada Klas Il divisi 1 agar didapatkan hubungan Klas I
adalah sebagai berikut: gigi-gigi posterior rahang bawah digerakkan ke
mesial/anterior
secara
bersamaan,
maka
permukaan
mesiolingual
harus
dibebaskan dari akrilik atau akrilik dikurangi pada daerah tersebut. Sebaliknya
gigi-gigi posterior rahang atas harus ke distal, maka akrilik pada daeah disto
lingual gigi-gigi posterior rahang atas perlu dikurangi. Sehingga didapatkan
pergerakan gigi-gigi secara masal sesuai dengan tujuan perawatan.
17
Speech Therapy
Kriteria pasien yang dirujuk adalah apabila memenuhi salah satu dari :
1. Hasil pemeriksaan fisik sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi.
2. Hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis ternyata tidak
mampu diatasi.
3. Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi
pemeriksaan harus disertai pasien yang bersangkutan.
4. Apabila telah diobati dan dirawat ternyata memerlukan pemeriksaan,
pengobatan dan perawatan di sarana kesehatan yang lebih mampu
18
Setelah cabut gigi (ekstraksi gigi) ada beberapa hal yang harus dilakukan pasien
dirumah, diantaranya adalah :
- Gigit kapas kuat-kuat selama 1 jam . Bila masih terasa berdarah, beri kompres es
pada pipi di daerah gigi yang dicabut selama 10 menit , kalau perlu diulangi
beberapa kali.
- Setelah kapas dibuang, kumurlah dengan air dingin (ada yang menganjurkan
dengan air teh pahit, yang sangat pekat dan dingin). Berkumur pelan-pelan,
dengan air ditahan di dalam mulut selama 2-3 menit. Bila gerakan kumur terlalu
kuat, maka akan mengganggu proses pembekuan darah pada luka bekas cabut.
- Jangan makan dan minum yang hangat atau panas, hindari pula makanan dan
minuman beralkohol selama 24 jam setelah pencabutan
- Jangan sering meludah
- Jangan menghisap lubang bekas pencabutan, dan jangan minum dengan sedotan.
Setelah 24 jam bila luka sudah benar-benar tidak berdarah lagi (sudah kering),
maka kumurlah dengan air garam yang hangat. Ini untuk mempercepat
19
Selain itu peran orang tua sebagai primary social force untuk
perkembangan anak-anak sejak dari usia dini juga tidak dapat ditinggalkan. Peran
orang tua sangat berpengaruh terutama sebagai role model untuk melakukan
kebiasaan yang baik untuk kesehatan tubuh, khususnya kesehatan rongga mulut,
sehingga dapat mencegah masalah-masalah pada rongga mulut akibat kebiasaan
buruk (bernafas lewat mulut), seperti terjadinya maloklusi (Bozorgmehr, dkk.,
2013).
Menurut Gocke (2012), edukasi yang perlu diberikan kepada orang tua pasien
dan anak pasca bedah supernumerary teeth adalah sebagai berikut:
1. Adanya sedikit bau mulut, memar atau bengkak, dan rasa nyeri pada anak adalah
suatu kondisi normal pasca bedah.
2. Anak boleh makan dan minum seperti biasa, namun hindari area bekas operasi.
3. Upayakan anak tidak menggunakan sedotan untuk minum. Gerakan menghisap
dapat menyebabkan pendarahan.
4. Hindari makanan yang pedas dan asam.
5. Anak boleh melanjutkan aktifitas fisik hariannya setelah tindakan bedah.
6. Jangan berkumur-kumur selama 24 jam dengan apapun, tapi tetap gosok gigi
dengan hati-hati dan perlahan untuk menjaga kesehatan gigi. Setelah 24 jam,
pasien dianjurkan untuk berkumur dengan larutan air garam hangat 3-4 kali sehari
selama 4-5 hari berturut-turut setelah dilakukan operasi.
7. Pembengkakan dapat diatasi dengan aplikasi es/kompres dingin di bagian luar
bibir pada 24 jam pertama selama 20 menit.
8. Minum obat yang telah diresepkan dokter.
9. Apabila rasa nyeri terjadi terus-menerus, pembengkakan bertambah dan mengarah
ke luka infeksi, serta anak mengalami demam hingga 38C segera hubungi dokter.
Cara membersihan aktivator:
Pentingnya membersihkan gigi tiruan tidak dapat diabaikan. Plat
orthodontik
dibersihkan dapat mengandung debris dan stain yang dapat menyebabkan iritasi
dan berbagai respons jaringan (Gornitsky, dkk., 2002). Cara membersihkan plat
ini adalah dengan penyikatan bersamaan dengan air, sabun, pasta gigi, atau bahan
abrasif dan dengan menggunakan alat ultrasonik pada permukaan fitting surface
dan basis plat serta guide wire yang berada pada. Selain itu, dapat digunakan
cairan denture cleanser untuk membersihkan aktivator. ( Shay, 2000).
21
5. Follow Up
Anak dan orang tua nya akan kembali ke klinik untuk pemeriksaan ulang dan
review. Perawatan biasanya tidak signifikan dalam pertemuan pertama dan
therapist akan merekomendasikan follow-up untuk mengevaluasi progres dari
perawatam. Treatment reguler biasanya sebulan sekali atau sebulan sekali hal
yang dilakukan adalah memonitor progress dan melihat peningkatan yang telah
dicapai.
22
BAB III
KESIMPULAN
1.
23
DAFTAR PUSTAKA
Ariany, S., Hayati., Suharsini, M., dan Johan. C., 2000, Penatalaksanaan
Mesiodens pada Anak dengan Kelainan Jantung Kongenital Defek Septum
Ventrikel, JKGUI Vol. 7 (Edisi Khusus):180-188.
Basavaraj S.P. 2011. Orthodontic Principles and Practice. Jaypee Brother
Medical Publishers Ltd. Hal. 4, 79, 98, 114, 125, 182.
Bhalajhi, Sundaresa Iyyer, 2006, Orthodontics the Art and Science. 3rd Ed.
New Delhi : Arya (MEDI) Publishing House.
Bozorgmehr, E., Hajizamani, A., Mohammadi, T. M., 2013, Oral Health
Behavior of Parents as a Predictor of Oral Health Status of Their Children, ISRN
Dentistry.
Brakely, J.A., J. Kenneth Eakins, Lawrence E Toombs, 1993, The Joint
Archaeological Expedition to Tell El-Hesi, Indiana, Eisenbrauns.
elisa.ugm.ac.id/user/archive/download/50589/d726ed68bfbefaa51b2fb3ac87
821cfb, diakses tanggal 8 Desember 2015
eprints.undip.ac.id/44813/3/BAB_II.pdf., diakses tgl 9/12/2015
Gocke, M.T., 2012, Oral, Facial And Implant Surgery, Virginia
Indriyanti, R., Sutadi, H., dan Soenawan, H., 2001, Mesiodens Penyebab
Malposisi Gigi Insisif Sentral pada Periode Geligi Bercampur, JKGUI Vol. 8(2):
4-7.
Iswari, H., 2013, Gigi Supernumerary dan Perawatan Orthodonsi, E-Journal
WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan, Vol. 1(1): 38-45
Kenneth Lyen, Tan Hock Lim, Louisa Zhang, 2003, Apa Yang Ingin Anda
Ketahui Tentang Merawat Balita: Satu Sampai Lima Tahun, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta: 137.
Koch, G., dan Poulsen S., 2009, Pediatric Dentistry: A Clinical Approach,
Ed. 2, United Kingdom; Blackwell Publishing Ltd.
Nya,
Zeva,
Perawatan
Pasca
Bedah,
http://www.scribd.com/doc/63910938/Perawatan-Pasca-Cabut-Gigi#scribd,
diakses pada 9 Desember 2015, 08.35 WIB.
Premkumar, Sridhar, 2015, Textbook of Orthodontics, India; Elsevier.
24
25