Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK

HIPODONSIA

Ihdatul Aini A

11/315917/KG/8873

ElitaPuspitaningtyas 13/345938/KG/9495

FauziaJauhara

13/345864/KG/9475

Fadiah

13/345943/KG/9499

RifdaNurHanifa

13/345889/KG/9477

RisaWidyaIswara

13/345947/KG/9501

NandikaDestaDewara 13/345892/KG/9479

YuniarHanifia

13/345961/KG/9503

DewintaCandraPutri

13/345896/KG/9481

VinaKartikawati

13/345966/KG/9505

HilmaSafira

13/345898/KG/9483

ArizaIndriyanti

13/345990/KG/9507

NisrinaHanun M.

13/345900/KG/9485

Anggita Wendy

13/348891/KG/9543

NurAmalina P

13/345902/KG/9487

FitriMardayanti

13/349082/KG/9545

Namira Nita Humaera 13/345932/KG/9493

FauzulAzhimah

13/349087/KG/9547

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

I.

Skenario Kasus
Seorang anak perempuan berumur 10 tahun bernama Ariza dating ke klinik
IKGA dengan diantar oleh bapak ibunya mengeluhkan gigi depan anaknya
ompong sehingga ketika berbicara terdengar tidak jelas. Anak belum pernah
dating ke dokter gigi. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ternyata gigi
incisivus pertama dan kedua rahang atas kanan anak tifak tumbuh. Gigi decidui
incisivus pertama dan kedua rahang atas kanan sudah tanggal 6 bulan lalu. Anak
sering mengeluh ditertawakan teman-teman nya karena gigi depan nya ompong
dan tidak jelas ketika berbicara. Dari pemeriksaan penunjang radiograf OPG
didapatkan bahwa tidak nampak adanya benih gigi.
I.1. Anamnesis
Anamnesis adalah pengkajian dalam rangka mendapatkan data tentang pasien melalui

pengajuan pertanyaan-pertanyaan. Tujuan anamnesis adalah mendapatkan informasi


menyeluruh dari pasien yang bersangkutan. Informasi yang dimaksud adalah data medis
organobiologis, psikososial serta lingkungan pasien (Nurhay, dkk., 2005).
Terdapat empat data utama yang harus dicari dalam suatu anamnesis, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Riwayat penyakit sekarang


Riwayat penyakut dulu
Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat sosial dan ekonomi
Komponen pemeriksaan subyektif dalam rangka pengumpulan informasi:
1. Identifikasi Pasien
Nama : Ariza Kartikawati
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 10 tahun
Pekerjaan : Golongan darah : B
Alamat : Jalan Melati Baru, Depok, Sleman
Telepon : 0274868808
2. Identitas Orang Tua
Nama : Anindyo Budi
Pekerjaan : Pegawai bank
3. Pemeriksaan Subyektif
Chief Complaint : Gigi anterior atas tidak tumbuh (ompong) sehingga ketika
berbicara terdengar kurang jelas.

History of present illness : Gigi anterior atas susu (desidui) telah tanggal 2 tahun

yang lalu
Medical history : Tidak ada riwayat penyakit
Dental history : Family history : Social history : Pemalu dan hipoaktif
Diagnosis : Hipodonsia

I.2. Pemeriksaan Klinis


a. Pemeriksaan Umum
Berat badan
: 34 kg
Tinggi badan
: 138 cm
Status gizi
: Baik
Keadaan mental : Baik, hipoaktif
b. Pemeriksaan Dental
- Ekstraoral
: Baik, wajah simetris
- Intraoral
: Gigi incisivus kanan dan kiri rahang atas tidak ada. Hal ini membuat
pasien tidak dapat mengucapkan kata-kata dengan jelas terutama kata-kata dengan
huruf yang melibatkan gigi-gigi anterior.

I.3. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang dilakukan bila diperlukan informasi lebih lanjut untuk
memperkuat penetapan diagnosa dan rencana perawatan. Pada kasus ini dapat
dilakukan pemeriksan penunjang dengan rontgen foto.
Pemeriksaan penunjang menggunakan radiografi panoramik, nampak tidak adanya
gigi 51 dan 52.

Hasil pemeriksaan radiografi panoramik hipodonsia.

BAB II
ANALISIS KASUS
II.1 Etiologi dan Diagnosis
Etiologi Hipodonsia
1. Faktor genetik atau keturunan
Hipodonsia merupakan suatu karakteristik yang bersifat turunan. Adalah
umum untuk menemukan hipodonsia sebagai salah satu karakteristik keluarga,
meskipun mekanisme genetik yang menyebabkannya masih belum diketahui
seluruhnya dan ada kemungkinan dipengaruhi oleh mekanisme turunan (Foster,
1993). Menurut Charlene, dkk. (2007) dari suatu penelitian ditemukan bahwa
hipodonsia adalah cacat gen tunggal, yang sering ditransmisikan sebagai sifat
dominan autosomal dengan penetrasi yang tidak sempurna. Mutasi gen MSX1 dan
PAX9 menyebabkan hilangnya gigi permanen.

2. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya hipodonsia adalah ;
a. Infeksi virus misalnya rubella
b. Trauma
c. Obat-obatan misalnya thalidomide
d. Kemoterapi atau radioterapi pada usia tumbuh kembang gigi
e. Gangguan dalam jaringan saraf, mukosa mulut, dan jaringan pendukung yang
berpengaruh dalam proses odontogenesis
3. Terkait dengan suatu sindrom
Hipodonsia juga sering terlihat pada beberapa sindrom, terutama yang melibatkan
anomaly ektodermal, dan kondisi non-sindrom seperti bibir sumbing dengan atau
tanpa langit-langit sumbing. Manifestasi hipodonsia terlihat di beberapa sindrom
bersamaan dengan kelainan organ lain. Beberapa yang paling dikenal adalah sindrom
terisolasi bibir sumbing / langit-langit, Pierre Robin urutan, Van der Woude sindrom,
MSX1 mutasi, hypohidrotic ectodermal dysplasia (EDA atau HED), Ectrodactylyectodermal dysplasia-Terbelah sindrom (MEE), langit-langit bibir Sumbing
ectodermal dysplasia syndrome (CLPED1), incontinentia pigmenti (IP, BlochSulzberger syndrome), Hypohidrotic ectodermal dysplasia dan defisiensi imun (HEDID), Oral wajah sindrom jenis digital I (OFD1), Witkop gigi-kuku sindrom, sindrom
Fried, buku syndrome (PHC), rambut-kuku-kulit-gigi dysplasias, Rieger sindrom,
Holoprosen cephaly, sindrom Down (trisomi 21), Wolf-Hirschhorn sindrom
(penghapusan 4p), Kabuki sindrom, displasia Diastrophic (DTD), Hemifacial
microsomia dan Resesif insisivus hipodonsia (Rih) (Binali,dkk. 2006).
Menurut Sudiono ( 2007 ) hipodonsia termasuk kedalam anomali jumlah.
Kegagalan perkembangan satu atau dua benih gigi relatif umum terjadi dan sering
herediter.
ANALISIS KASUS : Dari hasil pemeriksaan klinis dan radiografi didapatkan
hasil pasien tidak memiliki benih gigi incisivus pertama dan kedua rahang atas kanan,
pasien didiagnosis memiliki kelainan hipodonsia. Etiologi kelainan ini disebabkan
karena keturunan. Kelainan ini menyebabkan anak kesulitan mengucapkan huruf f, v,
s, z, dan th.
II.2. Rencana Perawatan
Tindakan perawatan harus segera dilakukan sebagai solusi masalah yang terkait
dengan keluhan utama. Pada pasien hipodonsia, seseorang akan merasa kurang percaya diri

dan malu karena tidak adanya gigi permanen anterior. Pasien juga mengeluhkan kesulitan
dalam berbicara.
Pada anak-anak dengan hipodonsia, dapat disertai kelainan bicara karena adanya
ruang yang besar pada lengkung gigi. Kelainan ini dapat dirawat dengan terapi bicara dan
bahasa, dan integrasi terapi, baik sebelum dan sesudah perawatan hipodonsia dapat
memaksimalkan peningkatan bicara (Hobkirk et.al, 2010).
Kehilangan gigi permanen secara kongenital membutuhkan perencanaan perawatan
menyeluruh dan pertimbangan serius dari terapi yang berbeda-beda dengan tujuan untuk
mengganti elemen gigi yang hilang dan mengoptimalkan outcome pada perspektif jangka
panjang kehidupan (Koch, 2013). Perawatan pasien dengan hipodonsia tergantung pada
keparahan kasus. Pada beberapa gigi yang hilang, dibutuhkan penggantian dengan protesa.
Pilihan protesa yaitu, Gigi Tiruan Sebagian Lepasan, Gigi Tiruan Cekat, Resin-bonded
bridge, dan implan osseointegrasi dengan mahkota prostetik. Penggunaan GTC tidak
direkomendasikan pada anak-anak karena risiko terpaparnya pulpa selama preparasi gigi
abutment dan pertumbuhan lebih lanjut dapat menyebabkan infraklusi serta ankilosis dari gigi
abutment. Demikian pula untuk implan, karena implan gigi lebih seperti gigi ankilosis
daripada gigi yang erupsi, penggunaanya tidak direkomendasikan sebelum penyelesaian dari
pertumbuhan skeletal. Karena alasan-alasan ini, GTSL atau Resin-Bonded Bridge paling tepat
digunakan pada anak-anak, sementara menunggu maturasi dari gigi dan tulang. Pada
beberapa kasus hipodonsia, perawatan ortodontik dapat meningkatkan perawatan
prostodontik (Neville et.al, 2015).
Rencana Perawatan
1. Karies gigi dan penyakit periodontal harus dirawat sebisa mungkin sebelum dilakukan
tindakan ortodontik (Foster, 1999). Perawatan untuk karies dan inflamasi jaringan
periodontal
2. Perawatan ortodontik dengan space retainer untuk mempertahankan ruang
3. Perawatan dengan gigi tiruan cekat untuk menggantikan gigi insisivus sentralis dan
lateralis kanan rahang atas
4. Edukasi pasien kearah kemungkinan adanya iritasi lokal.
5. Dilakukan perawatan follow up

untuk mengatasi kesulitan berbicara dan

perkembangan erupsi gigi permanen lain

II.3. Prognosis
MenurutSyarif (2011), sebelum menggunakan RPD (Removable Partial
Denture) pada anak, terdapatbeberapahal yang harus dipertimbangkan atau
ditanyakan baik kepada anak maupun orang tua. Salah satunya yaitu apakah anak
mau beradaptasi dengan perubahan dalam mulut sehubungan dengan penggunaan
RPD dan apakah terdapat gangguan bicara pada anak sehubungan dengan
kehilangan gigi anterior.
Pada scenario dinyatakan bahwa pasien mengalami gangguan bicara akibat
hilangnya gigi anterior yang tidak ada penggantinya. Mengacu pada usia pasien
yang telah berumur 10 tahun, maka prognosis penggunaan RPD baik, karena
pasien diharapkan sudah dapat beradaptasi dengan perubahan di dalam mulutnya
sehubungan dengan pemasangan RPD. Namun tetap diperlukan kooperasi antara
anak dan orang tua dalam penggunaan dan pemeliharaannya di rumah, sebab
faktor lain yang mempengaruhi prognosis penggunaan RPD adalah kebersihan
mulut anak yang jika tidak terjaga maka dapat mengakibatkan kondisi patologis
seperti karies dan gingivitis, hingga gangguan mastikasi, bicara, dan estetik.

BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan apabila telah melaksanakan pemeriksaan subyektif
maupun obyektif. Apabila kedua pemeriksaan tersebut belum cukup kuat untuk
menentukan diagnosis, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, dapat diketahui bahwa pasien mengalami
hipodonsia.
Menurut Sudiono ( 2007 ) hipodonsia termasuk kedalam anomali jumlah.
Kegagalan perkembangan satu atau dua benih gigi relatif umum terjadi dan sering
herediter.
III.2. Perawatan
Perawatan Lengkap
Perawatan yang dapat dilakukan pada pasien anak dengan kasus hipodonsia tersebut
adalah perawatan ortodontik serta menggantikan gigi insisif kedua permanen dengan protesa
(Richardson dan Russel,2001).

Perawatan prosthetik pada kasus hipodonsia


Pada usia anak 10 tahun akan lebih baik dilakukan perawatan dengan memakai gigi
tiruan lepasan karena salah satu gigi penyanggahnya yaitu gigi caninus permanen
rahang atas belum erupsi. Gigi tiruan lepasan yang digunAkan adalah gigi tiruan
sebagian lepasan (GTSL).
Menentukan kelas GTSL
Berdasarkan klasifikasi Applegate Kennedy, kasus hipodonsia dengan tidak adanya
gigi permanen insisivus sentralis dan lateral kanan rahang atas merupakan GTSL
kelas V. Daerah tidak bergigi berupa sadel tertutup pada gigi 11 dan 12 dapat
dilakukan pembuatan protesa Gigi Tiruan Lepasan Sebagian (GTSL) desain dua sisi
dukungan jaringan. Gigi tiruan didukung oleh jaringan lunak dan tulang yang berada
dibawahnya sebab gigi tetangga bagian depan tidak kuat menerima dukungan.
Penahan/retainer
Gigi anterior memiliki prosesus alveolaris cekung sehingga estetis baik apabila diberi
sayap pada retensi, meskipun estetis baik tetapi akan membahayakan kesehatan
ginggiva. Sementara pemberian cengkeram pada gigi anterior sebagai retensi akan
menghasilkan estetis yang jelek, namun apabila dihilangkan, retensinya akan
berkurang. Penahan langsung ditempatkan pada gigi 16 dan 26 sementara penahan
tidak langsung berupa plat anterior setinggi cingulum.
Desain yang baik akan membantu mempertahankan jaringan yang tersisa dan
membuat pasien merasa lebih nyaman. Oleh karena itu diperlukan retensi yang cukup
dalam pembuatan GTSL.

Konektor yang digunakan pada GTSL berupa plat lingual setinggi


cingulum

Gigi artifisial sebaiknya dipilih yang besarnya sesuai dengan gigi aslinya
dengan menggunakan bahan all porcelain. Porselin baik untuk gigi anterior dari segi
estetisnya. Bahan all porcelain sangat baik untuk gigi anterior karena memiliki warna
yang sama dengan gigi asli dan translusensinya baik serta memberikan tampakan
natural seperti gigi asli (Kumar, 2006).
Ketika usia 11-12 tahun gigi caninus permanen rahang atas akan erupsi. Setelah gigi
caninus permanen erupsi dan apikalnya terbentuk sempurna, maka pasien akan

dibuatkan gigi tiruan cekat. Gigi yang digunakan sebagai gigi abutment GTC adalah
13 dan 21.
1. Melakukan preparasi pada gigi abutment
Gigi 13 : preparasi mahkota penuh (Full Veneer Crown)
Gigi 21 : preparasi mahkota penuh (Full Veneer Crown)
2. Pontic : Modified Ridge Lap Pontic
Mempunyai kemampuan self cleansing yang baik dan estetik yang bagus
(Kumar, 2006).
3. Retainer : shoulder/berpundak digunakan untuk mahkota berbahan all
porcelain (Kumar, 2006).
Retainer dan pontic menggunakan bahan all porcelain. Porselin baik untuk
gigi anterior dari segi estetisnya. Bahan all porcelain sangat baik untuk gigi
anterior karena memiliki warna yang sama dengan gigi asli dan
translusensinya baik serta memberikan tampakan natural seperti gigi asli
(Kumar, 2006).
III.3. Edukasi
Perawatan yang dilakukan pada kasus tersebut adalah gigi tiraun sebagian lepasan.
Keberhasilan dalam pemakaian gigi tiruan sebagian lepasan pada anak, dapat ditentukan
dengan memberikan informasi dan instruksi-instruksi khusus pada pasien maupun orang
tua, meliputi:
1. Instruksi pada anak
Anak diberi penjelasan dengan bahasa yang sederhana, sehingga anak dapat
memberikan kerjasama yang baik, selain itu anak dianjurkan untuk memberitahukan
kepada orang tuanya jika ada keluhan pada pemakaian gigi tiruan.
Memberikan motivasi terutama agar gigi tiruan tidak dilepas dari dalam mulut
tanpa sepengetahuan orang tua. Pemasangan gigi tiruan pertama kali dilakukan oleh
dokter dengan menggunakan cermin untuk melihat cara memasang dan melepas gigi
tiruan, setelah itu anak dapat mencoba sendiri. Gigi tiruan sebagian lepasan
sebaiknya dilepas pada saat berolah raga dan pada saat malam hari, gigi tiruan
direndam dalam air dan dibersihkan setiap hari dengan bantuan orang tua.Selain itu
diperlukan pula motivasi kepada anak akan keberhasilan perawatannya, agar anak
dapat tampil lebih percaya diri serta termotivasi untuk menjalankan perawatan
dengan baik.

2. Instruksi orang tua


Orang

tua

diharapkan

ikut

melihat

pada saat

anak

memasang dan

melepasgigi tiruan, selain itu jika anak tidak memakai gigi tiruan karena ada
keluhan rasa sakit pada gusi maka orang tua diharapkan segera untuk menghubungi
dokter gigi untuk mengatasi masalah yang dikhawatirkan mengganggu pemakaian
gigi tiruan tersebut.
Pemakaian gigi tiruan sebagian lepasan dapat mengakibatkan perubahan
patologis, jika tidak mengikuti instruksi mengenai pemeliharaan kebersihan mulut.
Dampak yang timbul antara lain bertambahnya akumulasi plak, meningkatnya
frekuensi karies,terjadi denture stomatitis dan menyebabkan gigi tetangga menjadi
goyang.
Perawatan yang dilakukan untuk mengurangi faktor-faktor yang mengakibatkan
keluhan pada pasien yaitu:
1. Pasien dianjurkan untuk menyikat gigi setiap hari terutama sebelum tidur.
2. Gigi tiruan pada waktu tidur dilepas dan disimpan dalam gelas yang berisi air, setiap
hari harus dibersihkan. Dibersihkan setiap hari dengan denture sleanser/sikat dengan
pasta.
3. Orang tua rutin memberi disclosing agent untuk membersihkan plak pada gigi-gigi
4. Orang tua rutin untuk mengecek kondisi GTSL, apakah ada perubahan patah
sehingga menyebabkan distorsi
5. GTSL dilepas pada aktivitas olahraga berat, anak dibekali dengan small plastic box
sebagai kotak penyimpanan.
6. Denture stomatitis terjadi karena pemakaian gigi tiruan yang diakibatkan trauma
pada mukosa. Perawatan yang diperhatikan antara lain posisi cangkolan agar tidak
melukai jaringan sekitar.
7. Pengurangan bagian oklusal dari gigi tiruan dilakukan jika terjadi kontak prematur
antara gigi antagonisnya.

8. Cangkolan dan sayap landasan yang merupakan retensi dari gigi tiruan harus sesuai
dengan disain, agar gigi tiruan tidak mudah lepas.
Setelah gigi tiruan sebagian lepasan digunakan anak, untuk tahap berikutnya
dilakukan pengontrolan secara berkala kurang lebih 4 6 minggu, jika tidak ada
keluhan dan perkembangan normal. Bertambahnya usia anak, maka suatu gigi tiruan
sebagian lepasan memerlukan penyesuaian secara periodik untuk mengikuti pola
pertumbuhan dan perkembangan rahang, serta erupsi gigi tetap anak (McDonald dan
Avery, 2000).

III.4. Pemeriksaan Kontrol


Setelah pemasangan gigi tiruan cekat, kontrol pasien dan evaluasi jembatan
adhesif perlu dilakukan. Pada saat kunjungan pasien, pemeriksaan dan evaluasi yang
dilakukan meliputi pemeriksaan keluhan pasien, integritas pelekatan, pemeriksaan
adaptasi pinggiran jembatan, permukaan jembatan adhesif, estetik, oklusi dan
artikulasi, serta evaluasi terhadap kesehatan dan respon jaringan sekitarnya (Sophia,
et.al., 2000).

BAB IV
KESIMPULAN
Hipodontia merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan hilangnya satu
atau lebih gigi decidui maupun gigi permanen kecuali gigi molar ketiga. Untuk menentukan
diagnosis pada hipodonsia dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan obyektif dan
pemeriksaan penunjang. Hipodonsia dapat disebabkan karena faktor genetik atau keturunan,
faktor lingkungan, dan terkait dengan suatu sindrom.
Rencana perawatan pada pasien hipodonsia dapat dilakukan dengan perawatan ortodontik
dengan space retainer untuk mempertahankan ruang, perawatan dengan gigi tiruan cekat, edukasi
pasien kearah kemungkinan adanya iritasi lokal, dan dilakukan perawatan follow up.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Binali, C, Saadettin, D., Ozkan, M., Murat, B., 2006, Nonsyndromic Oligodontia in
Permanent Dentition: Three Siblings. the Internet Journal of Dental Science,3(2).
Charlene Chun-Lam Wu , Ricky Wing-Kit Wong, Urban Hgg., 2007, A review of
hypodontia: the possible etiologies and orthodontic, surgical and restorative
treatment options-conventional and futuristic. Hong Kong Dental Journal, 4(1) :
13-21.
Foster, T.D., 1993, Buku Ajar Ortodonsi Ed.3, Jakarta : EGC.
Gill, D.S. dan Naini, F.B., 2011, Orthodontics: Principles and Practice, Wiley-Blackwell,
United Kingdom.
Hobkirk, J.A., dkk., 2011, Hypodontia: A Team Approach to Management, Wiley Blackwell,
Singapore.

Koch, G., dan Poulsen, S., 2009, Pediatric Dentistry: A Clinical Approach, Ed. 2, Wiley
Blackwell, UK.
Kumar, C. P., 2006, Review of Fixed Partial Dentures, Jaypee Brothers, New Delhi.
McDonal, R.A., Avery, D.R., Jeffrey, A., 2000, Dentistry for Child and Adolescent 9th ed,
Mosby Elsevier: USA
Neville, B., Chi, A., Damm, D., dan Allen, C., 2015, Oral and Maxillofacial Pathology,
Elsevier, Canada.
Nunn JH, Carter NE, Gillgrass TJ, Hobson RS, Jepson NJ, Meechan JG dan Nohl FS., 2003,
The interdisciplinary management of hypodontia: background and role of paediatric
dentistry, Int J Paed Dent, 194:250.
Richardson G dan Russel KA., 2001, Congenetally Missing Maxillary Lateral Incisors and
Orthodontic Treatment Considerations for the Single -Tooth Implant, J Can Dent
Assoc, 67:27.
Sophia, D.M., Firman, D., Adenan A., 2000, Jembatan adhesif dengan retensi teknik
Anyaman Pada Bagian Pelekatab Kerangka Logam, Lembaga Studi Kesehatan
Indonesia.
Sudiono, J., 2007, Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial, Jakarta : EGC
Syarif, W., 2011, Penggunaan Removable Partial Denture pada Anak. Prosiding Pertemuan
Ilmiah Ilmu Kedokteran Gigi IV, 240-245
Welbury R.R., 2000, Pediatric Dentistry, Oxford Univ. Press, New York

Anda mungkin juga menyukai