Anda di halaman 1dari 23

PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

KOMPLIKASI EKSODONSIA

Oleh:

Kelompok XI

Elda Sulfiana 9637

Zana Salsabila 9641

Tang Tze Mun 9647

Rebecca Yunus 9649

Sivarubini Renganathan 9653

Siti Nur Hajar, Zohdi 9657

Syazwani Akmal, Ahmad Kamal 9659

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pencagahan dan
Penanggulangan Komplikasi Eksodonsi .

Penyusunan makalah ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat penilaian


dalam mata kuliah Bedah Mulut I, semester IV pada program studi Pendidikan Dokter
Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada.

Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada


dosen pembimbing kelompok kami atas seluruh bantuan serta kritik dan sarannya
selama penyusunan makalah ini, serta kepada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini.

Besar harapan kami bahwa makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu
pengetahuan kepada teman-teman. Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan
dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis menerima kritik dan
saran dari para pembaca agar penulis dapat lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Yogyakarta, 20 Mei 2015

Penulis
DAFTAR ISI

Stlh semua fix


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di mata masyarakat umum, dokter gigi identik dengan pencabutan gigi. Ilmu
bedah mulut merupakan ilmu yang membahas tentang diagnosis, tindakan bedah, dan
perawatan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan rongga mulut, luka, dan cacat
rahang manusia serta struktur yang berkaitan. Prinsip kerja pada tindakan bedah,
umumnya menganut suatu ketentuan pokok yaitu bahwa segala tindakan bedah harus
dilakukan secara asepsis, atraumatika, dan di bawah anestesi yang baik. Prinsip ini
berlaku pula pada tindakan eksodonsia.

Kontrol nyeri sangat penting dalam tindakan eksodonsia. Kontrol nyeri yang
baik akan membantu operator dalam melakukan operasi dengan hati-hati, tidak
terburu-buru, tidak mengakibatkan trauma maupun menjadikan pengalaman operasi
yang buruk baik bagi pasien atau dokter bedah sendiri. Selain itu, pasien yang tenang
akan sangat membantu dalam melancarkan perawatan yang akan dijalankan.

Tindakan anestesi dan pencabutan gigi dapat menyebabkan komplikasi.


Komplikasi dapat terjadi meskipun berbagai pencegahan sebelumnya telah dilakukan.
Komplikasi akibat pencabutan gigi dapat disebabkan oleh berbagai hal, begitu pula
dengan akibat yang ditimbulkan. Pada suatu perawatan gigi tertentu, meskipun
persiapan pra-operasi telah direncanakan sebaik mungkin untuk mencegah atau
mengatasi kemungkinan terjadinya komplikasi, komplikasi tersebut terkadang tetap
tidak dapat dihindarkan meskipun operator telah melakukan diagnosis secara cermat
dan melaksanakan prinsip-prinsip bedah dengan baik selama pencabutan gigi.

Maka pada makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana cara mengenali
secara dini komplikasi eksodonsia, macam komplikasi eksodonsia, penyebab,
pencegahan dan cara mengatasi komplikasi yang akan terjadi akibat pencabutam gigi.

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian anestesi dan apa saja komplikasi dari anestesi?
b. Apa pengertian eksodonsia?
c. Apa yang dimaksud komplikasi eksodonsia?
d. Bagaimana cara mengenali akan timbulnya komplikasi eksodonsia?
e. Apa saja komplikasi eksodonsia yang dapat terjadi?
f. Bagaimana pencegahan dan penaggulangan komplikasi eksidonsia?

C. Tujuan Makalah
a. Untuk mengetahui pengertian eksodonsia
b. Untuk mengetahui maksud komplikasi eksodonsia
c. Untuk mengetahui pertanda timbulnya komplikasi eksodonsia
d. Untuk mengetahui macam komplikasi eksodonsia yang dapat terjadi
e. Untuk mengetahui penyebab komplikasi eksodonsia
f. Untuk mengetahui pencegahan dan penanggulangan komplikasi
eksodonsia

BAB II

PEMBAHASAN

KOMPLIKASI ANESTESI
Keberhasilan suatu prosedur eksodonsi diawali dengan anestesi yang baik.
Terkadang efek anestesi dapat menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan
bahkan membahayakan dan harus mengambil langkah tertentu untuk menangani
reaksi kegagalan anestesi dengan baik dan efektif. Komplikasi anestesi dibagi menjadi
komplikasi lokal dan komplikasi sistemik. Komplikasi merupakan suatu hal yang
tidak diinginkan terjadi, namun sering dijumpai pada praktek dokter gigi. Komplikasi
dapat disebabkan oleh kesalahan dokter gigi, kesalahan pasien, maupun factor lain
yang tidak stabil. Oleh karena itu, sebagai pencegahan dari terjadinya komplikasi
eksodonsia secara umum sebaiknya dokter gigi harus menguasai prosedur yang akan
ditindak sebelum praktek dilakukan, selain itu doktergigi juga dapat menjelaskan
sebagian dari komplikasi yang kemungkinan dapat terjadi, sedangkan factor lain yang
itdak stabil kemungkinan susah diketahui atau dikontrol sebelumnya, seperti adanya
anomaly, alergi yang belum diketahui, dll.

Menurut Howe & Whitehead (1990), reaksi buruk akibat komplikasi anestesi
yang bersifat lokal adalah ;
1. Kegagalan untuk menghasilkan efek anestesi
Kegagalan untuk mendapatkam efek anestesi dapat timbul, karena
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah masuknya larutan
anastetikum pada pembuluh darah. Selain itu juga dapat disebablan karena
teknik yang salah, yang dapat menyebabkan jumlah larutan anestetikum yang
didepositkan di dekat saraf terlalu sedikit atau tidak mencukupin untuk
menganastesi daerah yang diinginkan. Pada kasus seperti ini, anestesi biasanya
dapat diperoleh dengan mengulang kembali suntikan setelah memeriksa
landmark anatomi dan setelah meninjau ulang teknik suntikan yang
digunakan. Suntikan intraligamental atau suntikan ligamen periodontal sering
dapat digunakan pada situasi seperti ini.
Respon purulen terhadap infeksi akan diikuti oleh perubahan pH dari
jaringan sehinggakan pada lingkungan yang bersifat asam, larutan anestesi
lokal cenderung tidak efektif karena agen anestesi yang bersifat alkaloid tidak
dapat terdisosiasi pada keadaan aktif. Selain itu, penyuntikan larutan secara
lokal umumnya disertai dengan resiko penyebaran infeksi melebihi barier
pertahanan tubuh. Kenaikan vaskularisasi jaringan yang meradang akut ini
juga merupakan salah satu faktor penyebab. Untuk situasi ini, anestesi dapat
diperoleh dengan menggunakan teknik anestesi regional dimana larutan
anestesi didepositkan pada jaringan sehat yang letaknya agak jauh dari daerah
peradangan.

2. Sakit selama dan setelah suntikan


Ketajaman suatu jarum merupakan faktor penting dalam pengontrolan
rasa sakit. Bila jaringan dalam keadaan tegang dan ujung dari jarum
diinsersikan tegak lurus terhadap mukosa, penetrasi dapat terjadi segera.
Tindakan lain yang dapat memperkecil efek yang tidak nyaman setelah
disuntik, meliputi larutan yang dihangatkan dan menyuntikkannya perlahan-
lahan. Rasa sakit dapat ditimbulkan dari penyuntikan larutan nonisotonik atau
larutan yang sudah terkontaminasi. Penggunaan catridge yang tepat akan dapat
menngurangi kemungkinan hal ini terjadi. Pemberian suntikan blok gigi
inferior kadang-kadang menyebabkan pasien mengalami sakit neuralgia yang
hebat pada jaringan yang disuplai oleh saraf tersebut. Simptom ini merupakan
indikator bahwa jarum sudah menembus selubung syaraf dan harus segera
ditarik keluar.

3. Terbentuknya hematoma
Jaringan lunak pada rongga mulut mempunyai cukup banyak
pembuluh vascular, oleh karena itu insidensi ujung jarum suntik secara tidak
sengaja menembus pembuluh darah sering terjadi. Kesalahan ini paling jarang
terjadi pada teknik infiltrasi dan paling sering terjadi bila menggunakan teknik
blok gigi superior posterior. Hal ini disebabkan oleh struktur dan posisi
pleksus venosus pterigoid yang bervariasi, atau pembuluh darah terjebak di
antara tulang dan tertusuk jarum selama penyuntikan blok gigi inferior atau
infraorbital.
Perdarahan dari pleksus venosus infraorbital juga akan menimbulkan
sekuen serupa dan mata sembab. Pasien harus diberi tahu terlebih dahulu
bahwa perdarahan akan terhenti secara spontan, dan pembengkakkan akan
mengecil dalam waktu 24-48 jam, dan perubahan warna juga akan hilang
seperti lecet-lecet yang ada. Banyak pasien yang akan merasa tidak enak
akibat efek iritasi yang mengenai daerah di ruang jaringan dan karena itu, efek
ini harus diberitahukan terlebih dahulu.
Bila dokter gigi menganggap bahwa hematoma kemungkinan akan
terinfeksi, ia akan segera memberikan terapi antibiotik tanpa melihat letak
daerah yang terdapat pembekuan darah, apakah vaskular atau tidak dan tanpa
mempertimbangkan bentuk nidus ideal untuk proliferasi bakteri. Pasien juga
harus diminta datang kembali dalam waktu 24 jam atau lebih bila perlu.

4. Trismus
Trismus didefinisikan sebagai kesulitan dalam membuka rahang akibat
kejang otot. Trismus dapat disebabkan oleh penyuntikan pada otot pterigoid
medial, dimana kerusakan pembuluh darah akan menimbulkan hematoma atau
infeksi. Walaupun peradangan akan menyebabkan otot disekitarnya
mengejang, hal ini juga diperkirakan akibat darah dalam ruang jaringan akan
bersifat sangat mengiritasi dan dapat menimbulkan efek serupa.
Trismus sering terjadi beberapa saat setelah penyuntikan dan setelah
prosedur perawatan gigi selesai dilakukan. Apabila disebabkan oleh infeksi,
pasien umunya akan menderita demam dan mengeluh akan rasa sakit serta
merasa tidak sehat. Pada situasi seperti ini, nanah yang terbentuk harus
didrainasi dan harus diberikan terapi antibiotik. Bila infeksi sudah terkontrol,
simptom trismus dapat dihilangkan dengan menggunakan larutan kumur saline
hangat dan diatermi gelombang pendek.

5. Paralisa wajah
Paralisa otot-otot wajah pada salah satu sisi adalah komplikasi yang
jarang terjadi dari suntikan blok gigi inferior dan dapat bersifat sebagian atau
menyeluruh tergantung pada cabang syaraf yang tersuntik. Pasien yang
menderita komplikasi ini harus ditenangkan dan diberi tahu bahwa fungsi
normal dan penampilan pada wajahnya akan kembali pulih setelah efekdari
anestesi lokal hilang. Namun, apabila komplikasi ini mengenai suplai syaraf
ke kelopak mata atas, sebaiknya pasien diberi tahu untuk menutup kelopak
mata dan memakai bantalan pelindung atau penutup mata.

6. Gangguan sensasi yang berlangsung lama (Parastesia)


Gangguan sensasi yang berlangsung lama setelah penyuntikan anestesi
lokal umumnya disebabkan oleh kerusakan syaraf. Kerusakan ini dapat terjadi
akibat trauma langsung dari bevel jarum atau penyuntikan larutan yang sudah
tekontaminasi oleh substansi meurotoksik seperti alkohol. Resiko penyuntikan
larutan yang salah tanpa disengaja umumnya dapat dihindari dengan
menggunakan cartridge berlabel yang dipasarkan oleh industri farmasi yang
sudah ternama.
Perdarahan dan infeksi di dekat saraf juga dapat menimbulkan
gangguan sensasi yang berlangsung lama. Operasi atau infeksi yang terjadi
pada molar bawah dan akar premolar kadang-kadang menimbulkan gangguan
sensasi bibir bawah. Pada kasus yang disebabkan oleh infeksi seperi ini, nanah
yang terbentuk harus didrainasi dan harus segera diberikan terapi antibiotik.
Pada keadaan lain, derajat dan luas anestesi atau parastesia harus ditentukan.
Reaksi terhadap tusukan jarum dan sentuhan gulungan kapas pada kulit juga
dapat digunakan untuk tujuan tersebut, namun mata pasien harus dalam
keaadan tertutup untuk menghindari impresi sensasi palsu. Daerah yang
terkena harus dicatat dan pasien diminta untuk datang kembali secara berkala
sehingga kecepatan dan derajat pemulihan sensasi dapat ditentukan. Tanda dan
simptom pemulihan yang nyata biasanya terlihat setelah 3 bulan. Bila operator
memperkirakan bahwa pemulihan tidak terjadi, maka pasien harus dirujuk ke
spesialis.

7. Infeksi
Infeksi adalah komplikasi suntikan yang jarang terjadi. Pemakaian
peralatan yang sudah disterilkan dan teknik aseptik umumnya dapat
menghilangkan kemungkinan masuknya organisme ke dalam jaringan pada
saat penyuntikan. Selain itu, kadang- kadang infeksi pada ruang pterigo-
mandibula dapat terjadi. Sebaiknya pasiean dengan komplikasi ini dirujuk ke
spesialis untuk mendapatkan perawatan yang dibutuhkan.

8. Trauma bibir
Pasien anak yang mendapat suntikan blok gigi inferior perlu diingatkan
agar tidak menggigit-gigit bagian bibir yang teranestesi yang dapat
menimbulkan ulser yang sangat nyeri. Terkadang meskipun sudah
diperingatkan, komplikasiini akan tetap terjadi.Tetapi lesi seperti ini dapat
pulih dengan cepat dengan sedikit meninggalkan jaringan parut. Pasien
dewasa yang mendapatkan suntikan blok gigi inferior untuk yang pertama
kalinya harus diperingatkan tentang resiko kerusakan termis dari bibir akibat
konsumsi minuman yang panas atau merokok.

9. Gangguan visual
Kadangkala pasien datang kembali dengan keluhan gangguan
penglihatan baik unilateral maupun bilateral. Gangguan ini dapat berupa
penglihatan ganda atau penglihatan yang buram dan bahkan kebutaan
sementara. Fenomena ini sulit dijelaskan namun diperkirakan bahwa keadaan
ini disebabkan oleh kejang vaskular atau suntikan intra-arterial yang tidak
disengaja. Pada kasus seperti ini dapat terjadi distribusi vaskular abnormal dan
pasien perlu diberitahu bahwa penglihatan akan normal kembali setelah 30
menit.
Beberapa suntikan maksilaris dapat menyebabkan larutan terdeposit ke
orbita sehingga menganestesi otot motoris mata. Gangguan penglihatan yang
terjadi akan kembali normal bila larutan sudah terdispersi ; biasanya
membutuhkan waktu 3 jam.

Reaksi buruk dari komplikasi anestesi lokal yang bersifat umum atau sistemik;
1. Sinkop
Kolaps dapat terjadi tiba-tiba dan dapat disertai atau tidak sadari
dengan hilangnya kesadaran. Pada sebagian besar kasus episoda ini merupakan
serangan vasovagal atau pingsan karena penurunan suplai darah pada otak
yang mendadak yang menimbulkan hipoksia serebral dan umunya akan pulih
secara spontan.
Pertolongan pertama harus segera diberikan dan pasien jangan sampai
ditinggalkan sendirian. Prioritas pertama adalah memulihkan dan
mempertahankan saluran udara serta mempertahankan respirasi dan sirkulasi,
untuk mencegah terjadinya hipoksia atau iskemia. Perawatan ABC adalah
suatu perawatan untuk memulihkan saluran udara, pernapasan dan sirkulasi,
sebelum kita akhirnya menentukan diagnosa atau terapi obat. Sebagian besar
pasien yang dirawat dengan prinsip tersebut dapat pulih kembali dengan cukup
cepat tanpa kejadian lebih lanjut.
Kecepatan respirasi dan denyut nadi serta amplitudo dari semua pasien
harus dimonitor secara konstan bila memungkinkan. Pasien yang
menunjukkan gangguan respirasi akut seperti asma bronkial atau edema
pulmonari, jangan pernah ditidurkan dalam keadaan telungkup tetapi
sebaiknya didudukkan tegak lurus dengan lengan ditopang setinggi meja.
Bila pasien sudah kembali sadar, dapat diberikan minuman bergula.
Apabila pasien belum sadar, maka pasien akan diberi perawatan dengan
bantuan anestesi lokal. Atau dapat diberikan sp. ammon, aromat, BPC (garam
volatil) 3,6 ml atau satu sendok teh yang diencerkan dengan 1/3 sendok makan
air.
Pemulihan spontan akan terjadi dalam kurun waktu 15 menit dan
sering kali prosedur perawatan gigi dapat selesai dalam satu kunjungan,
apabila perawatan dilakukan dengan pasien dalam posisi berbaring. Bila
perawatan belum dimulai dan perawatan tidak terlalu penting, sebaiknya
perawatan ditunda dan diberikan pramedikasi terlebih dahulu sebelum
kunjungan berikutnya. Pada kedua kasus ini, pasien harus dibiarkan
beristirahat selama sekurang-kurangnya 1 jam dan sebaiknya ditemani selama
perjalanan pulang.
Bila pemulihan tidak terjadi dalam waktu beberapa menit setelah
dilakukan pertolongan pertama, kolaps kemungkinan bukan berasal dari
vasovagal dan harus diberikan oksigen serta dirujuk ke rumah sakit. Pada
situasi seperti ini perlu dibuat catatan terperinci tentang tipe dan kecepatan
respirasi, kecepatan, volume dan karakter denyut. Bila memungkinkan,
tekanan darah harus dicatat secara berkala dan harus diberikan suntikan
aminophylline BP 250 mg secara perlahan.
Kadangkala pasien datang dengan riwayat pingsan berulang kali pada
pemberian larutan anestesi lokal. Untuk pasien pasien ini perlu dilakukan
perawatan pada posisi berbaring segera setelah mereka selesai makan dan
sering kali juga diberikan pramedikasi. Walaupun langkah langkah
pencegahan sudah dilakukan, kasus pingsan masih tetap terjadi , untuk kasus
ini sebaiknya gunakan anestesi umum.

2. Reaksi sensitivitas
Reaksi terhadap penyuntikan larutan anestesi lokal mungkin lebih
sering terjadi. Reaksi ini mempunyai derajat yang bervariasi dari
pembengkakan oedematus lokal atau urtikaria pada daerah suntikan sampai
reaksi anafilaktik yang berbahaya dan parah yang terbukti fatal bila tidak cepat
ditanggulangi. Tetapi, sebagian besar reaksi bersifat ringan dan sementara
sehingga tidak memerlukan perawatan dan bahkan sering tidak mendapat
perhatian. Walaupun efek yang tidak diinginkan tidak terjadi secara automatis
disebabkan oleh larutan anestesi lokal, perlu diingat bahwa setiap kali larutan
anestesi lokal disuntikkan, maka semua konstituennya akan masuk ke aliran
darah dan menimbulkan efek toksik ringan.
Tanda pertama dari respons sistem syaraf sentral biasanya berupa
eksitasi seperti pusing, gelisah, nausea atau sakit kepala ringan diikuti dengan
tremor dan denyut muskular terutama pada wajah, tangan dan kaki. Kemudian
akan terjadi konvulsi. Bila reaksi terjadi seperti ini umumnya reaksi hanya
berlangsung dalam waktu singkat, tetapi bila reaksi tetap ada maka saluran
pernapasan harus dipertahankan dan konvulsi dikontrol dengan pemberian
Diazepam intravena. Jarang didapati pasien dengan nervusnya menjadi
hiperventilasi dan terjadi tetani. Bila tingkatan plasma meningkat sangat cepat,
tahap stimulasi umumnya bersifat sementara dan efek depresif umumnya lebih
dominan. Pada situasi ini cenderung terjadi hilangnya kesadaran dan depresi
aktivitas respirasi atau vasomotor. Tindakan yang tepat untuk mempertahankan
fungsi tubuh yang penting perlu dilakukan pada situasi ini.
Sifat reaksi sensitivitas yang sangat berbahaya ini memerlukan
adanya pemeriksaan yang cermat dan menyeluruh pada semua pasien yang
akan mendapat penyuntikan tersebut, tentang pengalamannya bila ia mendapat
obat obat tertentu. Bila ada hal hal tertentu, seperti diduga adanya alergi,
pasien harus dirujuk ke dokter umum untuk dilakukan tes alergi yang
diperlukan untuk mengidentifikasi masalah yang sebenarnya.
Anafilaksis umumnya ditandai dengan turunnya tekanan darah yang
mendadak, hilangnya kesadaran, gangguan respirasi, oedema wajah dan
laringeal serta urtikaria. Penanganan anafilaksis adalah dengan penyuntikan
hydrocortisone hemisuccinate sodium secara perlahan dan intravena dengan
dosis 100mg dalam 2 ml larutan. Reaksi alergi yang lebih parah dapat
diredakan dengan suntikan intramuskular dari larutan adrenalin 0,1%,1 ml (1
dalam 1000), yang diulang setiap 5 menit sampai simptom mulai hilang atau
sampai dosis maksimal 5 ml. (Howe & Whitehead, 1990)

KOMPLIKASI PROSEDUR EKSODONSIA


Eksodonsia didefinisikan sebagai pencabutan gigi atau akar gigi dari soket gigi
tanpa adanya rasa sakit dengan kecederaan yang minimal pada tulang dan jaringan di
sekitarnya agar membantu penyembuhan post operatif yang sempurna. (Datarkar ,
2007). Komplikasi sering terjadi akibat dari operasi pembedahan, namun hal ini
masih dapat dihindari atau ditangani. Perawatan pasca operasi merupakan hal yang
penting sebagai kontrol dari terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan.

Komplikasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Diantaranya adalah


penggunaan alat alat bedah yang dapat menyebabkan trauma, kesalahan teknik, area
yang tidak steril, dll. Efek yang disebabkan adalah terjadinya komplikasi, yang
apabila tidak ditangani segera dapat membahayakan pasien. Komplikasi yang terjadi
dapat berupa lokal maupun sistemik. Jenis komplikasi dapat berupa kegagalan dari
prosedur eksodonsia, fraktur pada struktur anatomis, dislokasi gigi atau sendi
temporomandibula, perpindahan struktur anatomis, perdarahan, pembengkakan pasca
operasi dan lain lain

Pencegahan dan penanggulangan masing masing komplikasi :

1. Perdarahan
a. Perdarahan Trauma Instrumentasi / Hematoma
Sesudah dilakukan tindakan ekstraksi gigi, metode utama yang sering
digunakan adalah dengan meletakkan gauze secara langsung pada soket.
Gauze yang terlalu besar dapat menutup permukaan oklusal gigi tetangga, dan
hal ini dapat meyebabkan tekanan yang ditimbulkan tidak tertuju kepada soket
yang berdarah. Gauze yang diletakkan harus dibasahi terlebih dahulu agar
darah yang keluar tidak akan menjendal dalam gauze, karena jika tidak, saat
gauze dilepaskan, jendalan darah juga akan ikut lepas. Pasien harus
diinstruksikan untuk menggigit gauze ini sekurang-kurangnya 30 menit dan
tidak mengunyah gauze tersebut. Pasien harus memastikan gauze tidak
bergerak, sehingga pasien tidak dapat membuka dan menutup mulut.
Perbicaraan harus diminimalkan untuk 2 atau 3 jam selepas akstraksi gigi.

Penanganan Preoperatif
Pasien harus diberitahu bahwa area pada ekstraksi yang baru saja
dilakukan, biasanya akan mengalami perdarahan kurang lebih selama 24 jam
pertama. Terkadang, volume darah yang sedikit dan saliva bercampur akan
memperlihatkan seolah-olah darah yang keluar banyak. Jika terjadi perdarahan
yang berlebih, pasien harus diinstruksikan cara-cara untuk meletakkan gauze
yang kecil secara langsung pada area ekstraksi. Pasien juga diinstruksikan
untuk tidak menggerakkan gauze selama 1 jam untuk mengontrol perdarahan.

Pencegahan dan Penanggulangan


Kontrol perdarahan akan lebih baik jika menggunakan teabag (kantong
teh) selama 30 menit, karena asam tannic dalam kantong teh tersebut bersifat
sebagai vasokonstriktor. Pasien juga diinstruksikan untuk tidak merokok
selama 12 jam pertama karena dapat memperlambat penyembuhan luka. Jika
terjadi perdarahan berlebih, maka infeksi kemungkinan dapat terjadi, dimana
tepi perlukaan akan terpisah, dan dapat terjadi dry socket (soket yang kering?)
(Hupp et al, 2008)

b. Perdarahan Pasca operatif


Ekstraksi gigi merupakan suatu prosedur permbedahan yang dapat
memberikan efek negatif terhadap mekanisme hemostatik tubuh. Hal ini
diakibatkan oleh jaringan mulut dan rahang-rahang bersifat sangat vascular.
Ekstraksi akan meninggalkan luka terbuka, dengan jaringan lembut dan tulang
yang terbuka, yang menyebabkan perdarahan. Selain itu, pengaplikasian
materi dressing dengan tekanan yang cukup dan penutupan untuk
menghambat perdarahan dalam jumlah besar adalah suatu hal yang sulit
dilakukan. Pasien juga terkadang memiliki reflek untuk mengeksplorasi area
luka menggunakan lidah sehingga jendalan darah dapat terlepas sehingga akan
menginisiasi perdarahan sekunder. Oleh karena itu, pencegahan perdarahan
merupakan solusi terbaik untuk masalah ini.

Pencegahan dan Penanggulangan:


a) Mendapatkan riwayat perdarahan
b) Menggunakan teknik pembedahan autramatik
c) Mendapatkan hemostasis yang baik selama prosedur bedah
d) Memberikan instruksi yang baik dan jelas kepada pasien
Archer (1975) menganjurkan perawatan sebagai berikut: (1) Penderita
disarankan untuk beristirahat, dalam waktu 24 jam diberikan aplikasi kompres
dingin pada daerah pembengkakan agar perdarahan dapat berkurang atau
berhenti; (2) Apabila yakin perdarahan telah terhenti, beri aplikasi hangat pada
daerah tersebut agar terjadi akumulasi absorbsi darah; (3) Jika hematoma
berasal dari perdarahan arterial sebagai akibat dari perdarahan lapisan
mukoperiosteal, maka temukan lokasi arteri yang mengalami perdarahan dan
lalu segera meligasi arteri tersebur untuk menghentikan perdarahan; (4) Bila
perdarahan berasal dari processus alveolaris, usahakan untuk menghentikan
perdarahan tersebut dengan jalan menekan pembuluh darah tulang sehingga
lumen pernbuluh darah yang terbuka dengan lilin-tulang.

2. Perpindahan Gigi yang Impaksi, Akar atau Ujung Akar


a. Perpindahan ke jaringan lunak
Berpindahnya akar gigi masuk kedalam jaringan lunak merupakan
komplikasi yang biasa terjadi karena akar gigi tidak dipegang secara efektif
dalam keadaan lapang pandang yang terbatas.

Pencegahan dan Penanggulangan


Komplikasi ini dapat dihindari bila operator mencoba untuk memegang akar
dengan pandangan langsung atau tidak terbatas.

b. Perpindahan ke dalam Sinus Maksilaris


Komplikasi ini dapat terjadi selama luksasi pada gigi molar ketiga maksila
yang impaksi, ketika gigi impaksi dekat dengan sinus maksilaris dan prosedur
bedah belum direncanakan dengan hati-hati.

Penecgahan dan Penanggulangan


Untuk menghindari komplikasi seperti ini, pencabutan dari gigi yang
impaksi harus memadai dalam hal tingkat flap dan jumlah tulang yang akan
dihilangkan, sehingga kekuatan yang diberikan selama luksasi dapat
dikendalikan secara maksimal. Sebuah akar atau ujung akar (biasanya akar
palatal molar) juga dapat berpindah ke dalam sinus maksilaris selama upaya
pencabutan (Fragiskos,2007).
Selain itu, hal hal berikut turut diperhatikan ;
a) Tidak menggunakan tang pada akar gigi posterior atas kecuali bila panjang
gigi atau akar gigi terlihat cukup besar baik dari arah palatal dan bukal,
sehingga ujung tang dapat mencengkram akar gigi dan operator dapat
melihatnya dengan jelas.
b) Meninggalkan 1/3 ujung akar palatal molar atas bila tertinggal selama
pencabutan dengan tang kecuali bila ada indikasi yang memungkinkan
untuk mengeluarkannya.
c) Tidak mencabut akar gigi atas yang patah dengan memasukkan instrument
kedalam soket. Bila di indikasikan unutk pencabutan sebaiknya dibuat flap
muko periosteal yang luas dan buang tulang secukupnya sehingga elevator
dapat dimasukkan diatas permukaan akar yang patah sehingga semua
tekanan dapat dialihkan pada akar gigi yang tertinggal dan cenderung
menggerakkannya kebawah jauh dari sinus.
Adanya riwayat perforasi sinus dari riwayat pencabutan sebelumnya
tidak boleh dibiarkan, karena kemungkinan pasien memiliki sinus maxillaris
yang besar. Bila akar masuk ke sinus maxillaris maka pasien harus dirujuk ke
ahli bedah mulut atau ahli THT dan tindakan pencabutan gigi serta penutupan
fistula oro antral dilakukan dengan anastesi umum.

3. Kegagalan
Kegagalan pencabutan gigi
Bila gigi gagal dicabut dengan menggunakan aplikasi tang atau elevator
dengan tekanan yang cukup maka instrumen tersebut harus dikesampingkan
dan dicari sebab kesulitan.

Pencegahan dan Penanggulangan


Pada kebanyakan kasus lebih mudah dicabut dengan tindakan
pembedahan. Teknik pembedahan yang dijalankan haruslah bersifat atraumatik.
Pertama kanal gigi yang retak dilebarkan dengan menggunakan bur. Kemudian
kanal ini bergerak dengan endodontik file. Pada akhirnya fragmen akar
diluksasi koronal dengan file ekstraksi akar tanpa pembesaran soket
berlebihan. Metode inovatif dimana file endodontik digunakan untuk
melibatkan dinding saluran,, fragmen gigi secara perlahan terluksasi dan
tertarik dari soket tanpa trauma pada tulang alveolar atau jaringan sekitarnya.
(Kademani, 2015)

4. Fraktur.
a. Fraktur mahkota gigi
Fraktur mahkota gigi selama pencabutan mungkin sulit dihindarkan pada
gigi dengan karies besar sekali atau restorasi besar. Namun hal ini sering juga
disebabkan oleh tidak tepatnya aplikasi tang pada gigi, bila tang diaplikasikan
pada mahkota gigi bukan pada akar atau masa akar gigi, atau dengan sumbu
panjang tang tidak sejajar dengan sumbu panjang gigi. Juga bisa disebabkan
oleh pemilihan tang dengan ujung yang terlalu lebar dan hanya memberi
kontak satu titik sehingga gigi dapat pecah bila ditekan. Hal ini disebabkan
karena tangkai tang yang tidak dipegang dengan kuat sehingga ujung tang
mungkin terlepas/bergeser dan mematahkan mahkota gigi.
Selain itu, fraktur mahkota gigi bisa disebabkan oleh pemberian tekanan
yang berlebihan dalam upaya mengatasi perlawanan dari gigi. Untuk itulah
operator harus bekerja sesuai dengan metode yang benar dalam melakukan
pencabutan gigi.

Pencegahan dan Penanggulangan


Tindakan penanggulangannya dapat dilakukan dengan memberitahukan kepada
pasien bahwa ada gigi yang tertinggal kemudian dicari penyebabnya secara
klinis dengan melalui bantuan radiografi. Pemeriksaan dengan radiografi
dilakukan untuk memperoleh petunjuk yang berguna untuk mengidentifikasi
ukuran dan posisi fraktur gigi yang tertinggal. Selanjutnya operator
mempersiapkan
b. Fraktur Akar Gigi
Prosedur eksodonsia dapat dilakukan dengan mudah tetapi ada juga
yang menemui kesulitan karena keadaan gigi, akar gigi, atau jaringan
pendukung gigi. Eksodonsia yang dipaksakan dapat terjadi akibat fraktur
mahkota gigi atau bagian akar gigi yang meninggalkan sisa akar di dalam
soket gigi. Pada prinsipnya, sisa akar yang tertinggal seluruhnya harus diambil
segera terutama bila gigi yang bersangkutan berasal dari gigi yang telah
terinfeksi.

Pencegahan dan Penanggulangan


Untuk mengambil sisa akar yang tertinggal di dalam soket, harus
dipilih teknik pengambilan yang paling tepat dengan tujuan mencapai hasil
eksodonsia atraumatik yang akan mendukung proses penyembuhan luka.
Teknik pengambilan sisa akar gigi yang masih tersisa, kepadatan jaringan
pendukung sekeliling akar gigi, posisi akar gigi terhadap sinus maksilans dan
kanalis mandibularis.
Pemilihan alat yang tepat merupakan hal penting dalam pengambilan
sisa akar gigi dan pada setiap kasus alat yang digunakan berbeda-beda
tergantung pada keperluannya.

c. Fraktur Tuberositas Maksilaris


Fraktur tuberositas maksilaris kadang-kadang dapat terjadi akibat
penggunaan elevator yang tidak terkontrol, dapat pula disebabkan oleh
geminasi patologis antara gigi molar kedua atas yang telah erupsi dengan gigi
molar ketiga atas yang tidak erupsi.

Pencegahan dan Penanggulangan


Dokter gigi harus tidak boleh menggunakan pemakaian tang atau
elevator, lalu setelah itu dibuat flap muko periosteal bukal yang luas, tuber
yang fraktur dan gigi tersebut kemudian dibebaskan dari jaringan lunak pada
palatal dengan alat tumpul (raspatorium) dan kemudian gigi dikeluarkan dari
soketnya. Flap jaringan lunak kemudian dilekatkan satu sama lain dan dijahit.

d. Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula dapat terjadi bila digunakan tekanan yang
berlebihan dalam mencabut gigi. Bila tidak dapat dicabut dengan tekanan
sedang maka harus dicari penyebabnya dan diatasi. Selain itu juga bisa
disebabkan oleh adanya hal-hal patologis misalnya, adanya otseoporosis
senile, atrofi, osteomyelitis, pasca terapi radiasi atau osteo distrofi seperti
osteitis deforman, fibrous displasia, atau fragile oseum. Fraktur mandibula
pada saat pencabutan gigi bisa pula disebabkan oleh gigi yang tidak erupsi,
kista atau tumor.
Pencegahan dan Penanggulangan
Pada keadaan tersebut pencabutan gigi hanya boleh dilakukan setelah
pemeriksaan radiografis yang cermat serta dibuat splint sebelum operasi.
Pasien harus diberitahu sebelum operasi tentang kemungkinan fraktur
mandibula dan bila komplikasi ini terjadi penanganannya harus sesegera
mungkin. Untuk alasan-alasan tersebut sebagian besar dapat ditangani dengan
baik oleh ahli bedah mulut. Bila fraktur terjadi pada praktek dokter gigi maka
dilakukan fiksasi ekstra oral dan pasien dirujuk secepatnya ke Rumah Sakit
terdekat yang ada fasilitas perawatan bedah mulut.

e. Fraktur Prosesus Alveolaris


Fraktur tulang alveolar dapat disebabkan oleh terjepitnya tulang
alveolar secara tidak sengaja diantara ujung tang pencabut gigi atau
konfigurasi dari akar gigi itu sendiri, bias juga akibat bentuk dari tulang
alveolar yang tipis atau adanya perubahan patologis dari tulang itu sendiri.

Pencegahan dan Penanggulangan


Penanggulangannya dengan cara membuang fragmen alveolar yang
telah kehilangan sebagian besar perlekatan periosteal dengan menjepitnya
dengan arteri klem dan melepaskannya dari jaringan lunak. Selanjutnya bagian
yang tajam bisa dihaluskan dengan bone file dan dapat dipertimbangkan
apakah diperlukan penjahitan untuk mencegah perdarahan.

5. Dislokasi
a. Dislokasi Mandibula / Sendi Temporo Mandibula
Dislokasi mandibula adalah variasi dari posisi normal facies articularis
suatu persendian. Kruger (1984) menggambarkan dislokasi mandibula sebagai
berikut. Selama gerak membuka mulut dapat terjadi keadaan dislokasi atau
luksasi sendi temporo mandibulare karena kapsula dan ligamentum temporo
mandibular dalam keadaan cukup kendor untuk menggerakkan kondilus ke
suatu titik di sebelah anterior eminentia articularis. Lalu otot-otot berkontraksi,
mengejang dan mengunci kondilus pada posisi ini. Akibat keadaan ini,
penderita tidak dapat menutup rahang ke posisi oklusi normal.
Dislokasi mandibula dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral;
dapat pula terjadi secara spontan saat penderita membuka mulut terlalu lebar,
misalnya pada saat seseorang menguap, selama dilakukan ekstrasi gigi, atau
saat penderita menerima suntikan anestesi lokal.

Penanggulangan
Reduksi dislokasi mandibula anterior adalah sebagai berikut ;
a) Penderita didudukkan pada kursi gigi, kursi gigi diatur sampai pada
kedudukan dental chair yang paling rendah.
b) Kedua ibu jari tangan operator dibalut dengan handuk/kain kasa yang
dimaksudkan untuk pelindung terhadap gigitan yang terjadi tiba-tiba saat
mandibula mengatup kembali pada posisi semula.
c) Kedua ibu jari tangan dimasukkan ke dalam rongga mulut penderita untuk
memegang gigi-gigi mandibula posterior di kedua sisi, dan keempat
operator lainnya memegang dagu penderita.
d) Mandibula ditekan ke bawah pada gigi-gigi posterior dan tekan keatas
pada dagu disertai tekanan dorongan keseluruhan bagian mandibula ke
belakang.
e) Posisi operator, adalah berdiri di depan menghadap penderita. Pada
umumnya prosedur ini mudah dijalankan tetapi kadang-kadang dijumpai
keadaan yang sulit, yaitu apabila terdapat kekejangan pada otot-otot
penutup mulut. Pada kasus terakhir tersebut, maka diperlukan tindakan
mengendorkan otot penutup mulut untuk memudahkan reduksi kondilus
mandibula.

Untuk mengendorkan otot-otot tersebut digunakan cara dengan suntikan


anestesi umum dan bila perlu diberikan obat relaksan otot (muscle relaxing
drug). Kemudian pasien diingatkan agar tidak membuka mulut terlalu lebar
atau menguap terlalu sering selama beberapa hari pasca operasi. Perawatan
dislokasi temporo mandibular joint tidak boleh terlambat karena dapat
menyebabkan spasme otot akibatnya mempersulit pengembalian sendi
temporo mandibular joint pada tempatnya kecuali dibawah anastesi umum.

b. Dislokasi dari gigi yang berdekatan


Terjadinya dislokasi dari gigi yang berdekatan dengan gigi yang diekstraksi.

Pencegahan dan Penanggulangan


Dislokasi dari gigi yang berdekatan selama pencabutan ini dapat dihindari
dengan menggunakan elevator yang tepat dan sebagian besar tekanan dititik
beratkan pada septum interdental. Selama penggunaan elevator jari harus
diletakkan pada gigi yang berdekatan dengan gigi yang akan dicabut untuk
mendeteksi adanya kegoyangan pada gigi yang berdekatan dengan gigi yang
akan dicabut.

6. Kerusakan
a. Kerusakan pada gusi
Dapat dihindari dengan pemilihan tang secara cermat serta teknik
pencabutan gigi yang baik. Bila gusi menempel pada gigi yang akan dicabut
dari soketnya, gusi harus dipisahkan secara hati-hati dari gigi dengan
menggunakan asrpatorium (dengan gunting/scalpel) sebelum gigi dikeluarkan.

b. Kerusakan pada bibir


Bibir bawah dapat terjepit diantara pegangan tang dengan gigi anterior,
bila tidak diperhatikan dengan baik. Tangan operator yang terampil dapat
membuat bibir bebas dari kemungkinan tersebut.

c. Kerusakan pada saraf


Kerusakan dapat dicegah atau dikurangi hanya dengan diagnosis pra
operasi dan pembedahan secara cermat.

d. Kerusakan pada lidah dan dasar mulut


Lidah dan dasar mulut tidak akan mengalami kerusakan jika aplikasi tang
dan penggunaan elevator dilakukan secara hati-hati dan terkontrol. Komplikasi
ini lebih banyak terjadi pada pencabutan gigi dengan anasteis umum. Jika
operator menggunakan elevator tanpa kontrol yang tepat maka dapat meleset
mengenai lidah atau dasar mulut, sehingga dapat menimbulkan perdarahan
yang banyak. Perdarahan dapat diatasi dengan menarik lidah dan penjahitan.

Macam-macam Komplikasi , Pencegahan dan Penanggulangan


1. Komplikasi Oroantral
Komplikasi ini merupakan komplikasi umum, yang mungkin terjadi selama
upaya ekstraksi gigi posterior maksila atau akar gigi. Hal ini diidentifikasi dengan
mudah oleh dokter gigi, karena kuret periapikal memasuki kedalaman lebih besar
dari normal selama debrismen darialveolus, yang memasuki sinus maksilaris.
Komunikasi Oroantral juga dapat dikonfirmasi dengan mengamati bagian dari udara
atau gelembung darah dari post-ektraksi alveolus ketika pasien mencoba untuk
menghembuskan napas lembut melalui hidung mereka sementara lubang hidung
mereka terjepit (uji Valsava). Jika pasien mengembuskan napas melalui hidung
mereka dengan tekanan besar, ada risiko menyebabkan komunikasi
oroantral, meskipun komunikasi mungkin tidak terjadi secara inisial, seperti ketika
hanya mukosa sinusmaksilaris terdapat diantara alveolus dan antrum.

Komunikasi Oroantral mungkin hasil dari:

a. Perpindahan gigi impaksi atau ujung akar ke dalam sinus maksilaris selama
upaya pencabutan.
b. Dekatnya ujung akar ke dasar sinus maksilaris. Dalam hal ini bagian tulang di
atas ujung akar sangat tipis atau bahkan tidak ada
c. Adanya lesi periapikal yang telah mengikis dinding tulang dasar sinus
maksilaris.
d. Fraktur luas dari tuberositas maksilaris (selama ekstraksi gigi posterior),
dimana bagian dari sinus maksilaris mungkin ikut dihilangkan bersama
dengan tuberositas maksila.
e. Pengambilan tulang yang luas untuk ekstraksi gigi yang impkasi atau akar
gigi. (Fragiskos, 2007)

Pencegahan dan Penanggulangan


Hal ini dapat ditangani dengan flap elektif sederhana, namun apabila
dalam keadaan kecelakaan dan gawatdarurat, pemberian antibiotik dan dokter
akan menjadwalkan tindakan selanjutnya. Penutupan dengan pembedahan dan
penjahitan bisa saja dilakukan, apabila tidaksegera ditangani maka fistula akan
terbentuk dan akan lebih sulit ditangani (Cascarini, et al., 2012).

2. Dry Socket
Keadaan klinis merupakan ostetiis yang terlokalisir yang melibatkan semua
atau sebagian tulang padat pembatas soket gigi atau lamina dura. Penyebabnya
belum jelas tetapi terdapat banyak faktor predisposisi seperti faktor infeksi sebelum,
selama atau setelah pencabutan gigi merupakan faktor pemicu namun banyak juga
gigi dengan abses dan infeksi dicabut tanpa menyebabkan dry socket. Meskipun
benar bahwa setelah penggunaan tekanan yang berlebihan selama pencabutan gigi
dapat menimbulkan rasa sakit yang berlebihan tetapi ini tidak selalu terjadi, dan
komplikasi ini dapat juga terjadi pada pencabutan gigi yang sangat mudah. Banyak
ahli menduga bahwa pemakaian vaso konstriktor dalam larutan anastesi lokal dapat
memicu terjadinya dry socket dengan mempengaruhi aliran darah dalam tulang, dan
keadaan ini lebih sering terjadi pada pencabutan gigi dibawah anastesi lokal
dibandingkan dengan anastesi umum. Komplikasi dry socket lebih sering terjadi
pada pencabutan gigi bawah dari pada gigi atas.

Penanggulangan
Penanggulangannya ditujukan untuk menghilangkan sakit dan
mempercepat penyembuhan. Soket harus diirigasi dengan larutan normal
saline hangat dan semua bekuan darah degenerasi dikuret. Tulang yang tajam
dihaluskan dengan bone file/knabel tang kemudian diberi resep antibiotika dan
analgetika yang adekuat.

3. Delayed healing / Penyembuhan yang lama


Penyembuhan di daerah orofasial dianggap sebagai proses alami dan jarang
dipermasalahkan oleh dokter bedah. Namun, kondisi ini berubah apabila timbul
komplikasi dan menghambat berjalannya penyembuhan luka. Kebanyakan
komplikasi pada penyembuhan luka wujud dalam periode awal pascaoperasi
meskipun beberapa komplikasi dapat bermanifestasi kemudian. Dua masalah yang
paling sering ditemukan oleh dokter bedah adalah luka infeksi dan dehiscence;
penyembuhan proliferatif kurang khas.

Pencegahan dan Penanggulangan


Pentingnya dilakukan anamnesis sebelum pasien diberikan perawatan
adalah karena melalui anamnesi seorang dokter gigi dapat mengetahui riwayat
sakit pasien. Gangguan pada penyembuhan luka pasca operatif dapat
disebabkan oleh faktor faktor umum atau lokal. Faktor umum termasuk
penyakit darah (agranulositosis, leukemia), diabetes mellitus, osteopetrosis,
penyakit Paget, osteoporosis, dll. Sedangkan faktor lokal meliputi luka infeksi,
inflamasi granuloma hiperplastik, soket kering, daerah iradiasi, kerusakan luka
yang disebabkan oleh instrumen (bur dan elevator) serta flap yang terbuka
akibat pecahnya jahitan. Perawatan bagi penyembuhan yang terganggu ini
ditangani dengan mengidentifikasi sebab terjadinya delayed healing dan
menghilangkan faktor tersebut. (Fragiskos, 2007)

4. Syok
Syok didefinisikan sebagai suatu keadaan klinis yang menunjukkan ada
reduksi pada sirkulasi darah perifer atau rerata aliran darah perifer yang bermakna.
Menurut Kruger (1984) ada tiga tipe syok: 1) Primer atau nerogenik. Sinkop
termasuk pada tipe ini; 2) Jantung dan sistem sarafpusat (Cardiac and central
nervous system) dan 3) Hipovolemik. Syok yang termasuk dalam tipe syok
hipovlemik adalah syok yang disebabkab oleh trauma, pendarahan, tindakan bedah
atau luka terbakar. Pada syok tipe ini darah berkurang akibat terjadi suatu
perdaraban, plasma hilang plasma oleh proses ekstravasasi ke dalam jaringan yang
terluka atau dehidrasi. Tipe hipovolemik ini bersifat reversible artinya apabila
terapi segera dilakukan untuk mengembalikan volume darah.

Pencegahan dan Penanggulangan


Syok lebih mudah untuk dicegah daripada merawatnya. Bila dijumpai
rasa sakit yang hebat, secara intravenosa diberikan suntikan narkotika
(biasanya morfin) tetapi jangan diberikan secara intramuskular atau subkutan.
Pertahankan panas tubuh dengan temperatur kamar yang normal. Gejala-gejala
syok adalah kulit pucat, dingan lembab oleh keringat, membrana mukosa bibir,
kuku, ujung jan tangan dan kaki dan telingan kebirubiruan, muka tak
berekspresi, mata menunjukan pandangan yang sayutanpa tujuan dan pupil
dilatasi lebar dan bereaksi sangat lemah; pulsus sangat lemah tetapi cepat, dan
kadang-kadang intermittent; respirasi dangkal dan cepat tetapi tidak teratur
dan kadang-kadang diselingi dengan suara keluhan, temperatur badan dibawah
normal; kesadaran mungkin masih ada meskipun menunjukkan apatis.

Perawatan pada syok hipovolemik menyangkut beberapa hal yang penting:


a. Restorasi darah cairan darah yang hilang;
b. Kontrol pendarahan;
c. Memberikan oksigen 100%;
d. Menghilangkan rasa sakit.
BAB III

KESIMPULAN

1. Setiap dokter gigi berkewajiban untuk melakukan tindakan yang diperlukan


untuk menghindari komplikasi dan untuk mencegah timbulnya kedaruratan.
2. Walaupun hal ini mungkin tidak dapat dicegah, namun baik inisdens maupun
efeknya dapat diperingan dengan melakukan perawatan secermat dan
setrampil mungkin.
3. Komplikasi hanya dapat didiagnosa dan kedaruratan ditangani segera dan
seefektif mungkin bila kemungkinan terjadinya hal ini dapat diantipasi.
4. Setiap anggota staff dokter gigi harus dilatih agar mampu menangani sebarang
kemungkinan komplikasi misal pasien yang tidak sadar, harus dapat
menggunakan airway, peralatan oksigen dan peralatan penyedot (suction) serta
dapat melakukan respirasi dari mulut ke mulut dan kompresi jantung eksternal
setrampil mungkin.
5. Latihan dapat dibarengi dengan instruksi tertulis tentang cara memeriksa dan
memelihara peralatan, tentang tindakan preventif, rencana perawatan dan
sarana komunikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Cantore, C., Ballini, A., Crincoli,V., Grassi,F.R., 2009, Treatment If Case Report: A
Case Report, Case Journal.

Cascarini, L., et al., 2012, Buku Saku Bedah Mulut dan Maksilofasial, EGC, Jakarta
Datarkar A.N., 2007, Exodontia Practice, Jaypee Brothers, New Delhi.

Fragiskos, D., 2007, Oral Surgery, Springer, Verlag Berlin Heidelberg.

Ghosh P.K., 2006, Synopsis Of Oral and Maxillofacial Surgery, Jaypee Brothers, New
Delhi

Howe,G.L., 1990, Pencabutan Gigi Geligi, 2nd Ed., Buku Kedokteran, hal. 82-103.

Howe, G.L. dan Whitehead, F. I., 1990, Local Anesthesia in Dentistry, John Wright
Publisher, U.S.

Hupp, J.R. , Ellis,E., Tucker,M.R., 2008, Contemporary Oral and Maxillofacial


Surgery, 5th Ed., Elsevier, China, hal : 195-199

Kademani D., and Tiwana P., 2015, Atlas of Oral and Maxillofacial Surgery, Elsevier
Saunders, USA.

Kajan, Z. D., Taromsari, M., 2012, Value Of Cone Beam CT In Detection Of Dental
Root Fractures, British Institute of Radiology, pg 3-10

Pedersen, G.W., : Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, 1996, 2nd Ed., Buku Kedokteran,
hal. 83-100.

Peterson, L.J.,1993, Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd ed., Mosby-St
Louis-Baltimore-Boston-Chicago-Philadelphia-Sydney-Toronto, hal : 186-224
dan 269-295.

Anda mungkin juga menyukai