KOMPLIKASI EKSODONSIA
Oleh:
Kelompok XI
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pencagahan dan
Penanggulangan Komplikasi Eksodonsi .
Besar harapan kami bahwa makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu
pengetahuan kepada teman-teman. Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan
dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis menerima kritik dan
saran dari para pembaca agar penulis dapat lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di mata masyarakat umum, dokter gigi identik dengan pencabutan gigi. Ilmu
bedah mulut merupakan ilmu yang membahas tentang diagnosis, tindakan bedah, dan
perawatan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan rongga mulut, luka, dan cacat
rahang manusia serta struktur yang berkaitan. Prinsip kerja pada tindakan bedah,
umumnya menganut suatu ketentuan pokok yaitu bahwa segala tindakan bedah harus
dilakukan secara asepsis, atraumatika, dan di bawah anestesi yang baik. Prinsip ini
berlaku pula pada tindakan eksodonsia.
Kontrol nyeri sangat penting dalam tindakan eksodonsia. Kontrol nyeri yang
baik akan membantu operator dalam melakukan operasi dengan hati-hati, tidak
terburu-buru, tidak mengakibatkan trauma maupun menjadikan pengalaman operasi
yang buruk baik bagi pasien atau dokter bedah sendiri. Selain itu, pasien yang tenang
akan sangat membantu dalam melancarkan perawatan yang akan dijalankan.
Maka pada makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana cara mengenali
secara dini komplikasi eksodonsia, macam komplikasi eksodonsia, penyebab,
pencegahan dan cara mengatasi komplikasi yang akan terjadi akibat pencabutam gigi.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian anestesi dan apa saja komplikasi dari anestesi?
b. Apa pengertian eksodonsia?
c. Apa yang dimaksud komplikasi eksodonsia?
d. Bagaimana cara mengenali akan timbulnya komplikasi eksodonsia?
e. Apa saja komplikasi eksodonsia yang dapat terjadi?
f. Bagaimana pencegahan dan penaggulangan komplikasi eksidonsia?
C. Tujuan Makalah
a. Untuk mengetahui pengertian eksodonsia
b. Untuk mengetahui maksud komplikasi eksodonsia
c. Untuk mengetahui pertanda timbulnya komplikasi eksodonsia
d. Untuk mengetahui macam komplikasi eksodonsia yang dapat terjadi
e. Untuk mengetahui penyebab komplikasi eksodonsia
f. Untuk mengetahui pencegahan dan penanggulangan komplikasi
eksodonsia
BAB II
PEMBAHASAN
KOMPLIKASI ANESTESI
Keberhasilan suatu prosedur eksodonsi diawali dengan anestesi yang baik.
Terkadang efek anestesi dapat menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan
bahkan membahayakan dan harus mengambil langkah tertentu untuk menangani
reaksi kegagalan anestesi dengan baik dan efektif. Komplikasi anestesi dibagi menjadi
komplikasi lokal dan komplikasi sistemik. Komplikasi merupakan suatu hal yang
tidak diinginkan terjadi, namun sering dijumpai pada praktek dokter gigi. Komplikasi
dapat disebabkan oleh kesalahan dokter gigi, kesalahan pasien, maupun factor lain
yang tidak stabil. Oleh karena itu, sebagai pencegahan dari terjadinya komplikasi
eksodonsia secara umum sebaiknya dokter gigi harus menguasai prosedur yang akan
ditindak sebelum praktek dilakukan, selain itu doktergigi juga dapat menjelaskan
sebagian dari komplikasi yang kemungkinan dapat terjadi, sedangkan factor lain yang
itdak stabil kemungkinan susah diketahui atau dikontrol sebelumnya, seperti adanya
anomaly, alergi yang belum diketahui, dll.
Menurut Howe & Whitehead (1990), reaksi buruk akibat komplikasi anestesi
yang bersifat lokal adalah ;
1. Kegagalan untuk menghasilkan efek anestesi
Kegagalan untuk mendapatkam efek anestesi dapat timbul, karena
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah masuknya larutan
anastetikum pada pembuluh darah. Selain itu juga dapat disebablan karena
teknik yang salah, yang dapat menyebabkan jumlah larutan anestetikum yang
didepositkan di dekat saraf terlalu sedikit atau tidak mencukupin untuk
menganastesi daerah yang diinginkan. Pada kasus seperti ini, anestesi biasanya
dapat diperoleh dengan mengulang kembali suntikan setelah memeriksa
landmark anatomi dan setelah meninjau ulang teknik suntikan yang
digunakan. Suntikan intraligamental atau suntikan ligamen periodontal sering
dapat digunakan pada situasi seperti ini.
Respon purulen terhadap infeksi akan diikuti oleh perubahan pH dari
jaringan sehinggakan pada lingkungan yang bersifat asam, larutan anestesi
lokal cenderung tidak efektif karena agen anestesi yang bersifat alkaloid tidak
dapat terdisosiasi pada keadaan aktif. Selain itu, penyuntikan larutan secara
lokal umumnya disertai dengan resiko penyebaran infeksi melebihi barier
pertahanan tubuh. Kenaikan vaskularisasi jaringan yang meradang akut ini
juga merupakan salah satu faktor penyebab. Untuk situasi ini, anestesi dapat
diperoleh dengan menggunakan teknik anestesi regional dimana larutan
anestesi didepositkan pada jaringan sehat yang letaknya agak jauh dari daerah
peradangan.
3. Terbentuknya hematoma
Jaringan lunak pada rongga mulut mempunyai cukup banyak
pembuluh vascular, oleh karena itu insidensi ujung jarum suntik secara tidak
sengaja menembus pembuluh darah sering terjadi. Kesalahan ini paling jarang
terjadi pada teknik infiltrasi dan paling sering terjadi bila menggunakan teknik
blok gigi superior posterior. Hal ini disebabkan oleh struktur dan posisi
pleksus venosus pterigoid yang bervariasi, atau pembuluh darah terjebak di
antara tulang dan tertusuk jarum selama penyuntikan blok gigi inferior atau
infraorbital.
Perdarahan dari pleksus venosus infraorbital juga akan menimbulkan
sekuen serupa dan mata sembab. Pasien harus diberi tahu terlebih dahulu
bahwa perdarahan akan terhenti secara spontan, dan pembengkakkan akan
mengecil dalam waktu 24-48 jam, dan perubahan warna juga akan hilang
seperti lecet-lecet yang ada. Banyak pasien yang akan merasa tidak enak
akibat efek iritasi yang mengenai daerah di ruang jaringan dan karena itu, efek
ini harus diberitahukan terlebih dahulu.
Bila dokter gigi menganggap bahwa hematoma kemungkinan akan
terinfeksi, ia akan segera memberikan terapi antibiotik tanpa melihat letak
daerah yang terdapat pembekuan darah, apakah vaskular atau tidak dan tanpa
mempertimbangkan bentuk nidus ideal untuk proliferasi bakteri. Pasien juga
harus diminta datang kembali dalam waktu 24 jam atau lebih bila perlu.
4. Trismus
Trismus didefinisikan sebagai kesulitan dalam membuka rahang akibat
kejang otot. Trismus dapat disebabkan oleh penyuntikan pada otot pterigoid
medial, dimana kerusakan pembuluh darah akan menimbulkan hematoma atau
infeksi. Walaupun peradangan akan menyebabkan otot disekitarnya
mengejang, hal ini juga diperkirakan akibat darah dalam ruang jaringan akan
bersifat sangat mengiritasi dan dapat menimbulkan efek serupa.
Trismus sering terjadi beberapa saat setelah penyuntikan dan setelah
prosedur perawatan gigi selesai dilakukan. Apabila disebabkan oleh infeksi,
pasien umunya akan menderita demam dan mengeluh akan rasa sakit serta
merasa tidak sehat. Pada situasi seperti ini, nanah yang terbentuk harus
didrainasi dan harus diberikan terapi antibiotik. Bila infeksi sudah terkontrol,
simptom trismus dapat dihilangkan dengan menggunakan larutan kumur saline
hangat dan diatermi gelombang pendek.
5. Paralisa wajah
Paralisa otot-otot wajah pada salah satu sisi adalah komplikasi yang
jarang terjadi dari suntikan blok gigi inferior dan dapat bersifat sebagian atau
menyeluruh tergantung pada cabang syaraf yang tersuntik. Pasien yang
menderita komplikasi ini harus ditenangkan dan diberi tahu bahwa fungsi
normal dan penampilan pada wajahnya akan kembali pulih setelah efekdari
anestesi lokal hilang. Namun, apabila komplikasi ini mengenai suplai syaraf
ke kelopak mata atas, sebaiknya pasien diberi tahu untuk menutup kelopak
mata dan memakai bantalan pelindung atau penutup mata.
7. Infeksi
Infeksi adalah komplikasi suntikan yang jarang terjadi. Pemakaian
peralatan yang sudah disterilkan dan teknik aseptik umumnya dapat
menghilangkan kemungkinan masuknya organisme ke dalam jaringan pada
saat penyuntikan. Selain itu, kadang- kadang infeksi pada ruang pterigo-
mandibula dapat terjadi. Sebaiknya pasiean dengan komplikasi ini dirujuk ke
spesialis untuk mendapatkan perawatan yang dibutuhkan.
8. Trauma bibir
Pasien anak yang mendapat suntikan blok gigi inferior perlu diingatkan
agar tidak menggigit-gigit bagian bibir yang teranestesi yang dapat
menimbulkan ulser yang sangat nyeri. Terkadang meskipun sudah
diperingatkan, komplikasiini akan tetap terjadi.Tetapi lesi seperti ini dapat
pulih dengan cepat dengan sedikit meninggalkan jaringan parut. Pasien
dewasa yang mendapatkan suntikan blok gigi inferior untuk yang pertama
kalinya harus diperingatkan tentang resiko kerusakan termis dari bibir akibat
konsumsi minuman yang panas atau merokok.
9. Gangguan visual
Kadangkala pasien datang kembali dengan keluhan gangguan
penglihatan baik unilateral maupun bilateral. Gangguan ini dapat berupa
penglihatan ganda atau penglihatan yang buram dan bahkan kebutaan
sementara. Fenomena ini sulit dijelaskan namun diperkirakan bahwa keadaan
ini disebabkan oleh kejang vaskular atau suntikan intra-arterial yang tidak
disengaja. Pada kasus seperti ini dapat terjadi distribusi vaskular abnormal dan
pasien perlu diberitahu bahwa penglihatan akan normal kembali setelah 30
menit.
Beberapa suntikan maksilaris dapat menyebabkan larutan terdeposit ke
orbita sehingga menganestesi otot motoris mata. Gangguan penglihatan yang
terjadi akan kembali normal bila larutan sudah terdispersi ; biasanya
membutuhkan waktu 3 jam.
Reaksi buruk dari komplikasi anestesi lokal yang bersifat umum atau sistemik;
1. Sinkop
Kolaps dapat terjadi tiba-tiba dan dapat disertai atau tidak sadari
dengan hilangnya kesadaran. Pada sebagian besar kasus episoda ini merupakan
serangan vasovagal atau pingsan karena penurunan suplai darah pada otak
yang mendadak yang menimbulkan hipoksia serebral dan umunya akan pulih
secara spontan.
Pertolongan pertama harus segera diberikan dan pasien jangan sampai
ditinggalkan sendirian. Prioritas pertama adalah memulihkan dan
mempertahankan saluran udara serta mempertahankan respirasi dan sirkulasi,
untuk mencegah terjadinya hipoksia atau iskemia. Perawatan ABC adalah
suatu perawatan untuk memulihkan saluran udara, pernapasan dan sirkulasi,
sebelum kita akhirnya menentukan diagnosa atau terapi obat. Sebagian besar
pasien yang dirawat dengan prinsip tersebut dapat pulih kembali dengan cukup
cepat tanpa kejadian lebih lanjut.
Kecepatan respirasi dan denyut nadi serta amplitudo dari semua pasien
harus dimonitor secara konstan bila memungkinkan. Pasien yang
menunjukkan gangguan respirasi akut seperti asma bronkial atau edema
pulmonari, jangan pernah ditidurkan dalam keadaan telungkup tetapi
sebaiknya didudukkan tegak lurus dengan lengan ditopang setinggi meja.
Bila pasien sudah kembali sadar, dapat diberikan minuman bergula.
Apabila pasien belum sadar, maka pasien akan diberi perawatan dengan
bantuan anestesi lokal. Atau dapat diberikan sp. ammon, aromat, BPC (garam
volatil) 3,6 ml atau satu sendok teh yang diencerkan dengan 1/3 sendok makan
air.
Pemulihan spontan akan terjadi dalam kurun waktu 15 menit dan
sering kali prosedur perawatan gigi dapat selesai dalam satu kunjungan,
apabila perawatan dilakukan dengan pasien dalam posisi berbaring. Bila
perawatan belum dimulai dan perawatan tidak terlalu penting, sebaiknya
perawatan ditunda dan diberikan pramedikasi terlebih dahulu sebelum
kunjungan berikutnya. Pada kedua kasus ini, pasien harus dibiarkan
beristirahat selama sekurang-kurangnya 1 jam dan sebaiknya ditemani selama
perjalanan pulang.
Bila pemulihan tidak terjadi dalam waktu beberapa menit setelah
dilakukan pertolongan pertama, kolaps kemungkinan bukan berasal dari
vasovagal dan harus diberikan oksigen serta dirujuk ke rumah sakit. Pada
situasi seperti ini perlu dibuat catatan terperinci tentang tipe dan kecepatan
respirasi, kecepatan, volume dan karakter denyut. Bila memungkinkan,
tekanan darah harus dicatat secara berkala dan harus diberikan suntikan
aminophylline BP 250 mg secara perlahan.
Kadangkala pasien datang dengan riwayat pingsan berulang kali pada
pemberian larutan anestesi lokal. Untuk pasien pasien ini perlu dilakukan
perawatan pada posisi berbaring segera setelah mereka selesai makan dan
sering kali juga diberikan pramedikasi. Walaupun langkah langkah
pencegahan sudah dilakukan, kasus pingsan masih tetap terjadi , untuk kasus
ini sebaiknya gunakan anestesi umum.
2. Reaksi sensitivitas
Reaksi terhadap penyuntikan larutan anestesi lokal mungkin lebih
sering terjadi. Reaksi ini mempunyai derajat yang bervariasi dari
pembengkakan oedematus lokal atau urtikaria pada daerah suntikan sampai
reaksi anafilaktik yang berbahaya dan parah yang terbukti fatal bila tidak cepat
ditanggulangi. Tetapi, sebagian besar reaksi bersifat ringan dan sementara
sehingga tidak memerlukan perawatan dan bahkan sering tidak mendapat
perhatian. Walaupun efek yang tidak diinginkan tidak terjadi secara automatis
disebabkan oleh larutan anestesi lokal, perlu diingat bahwa setiap kali larutan
anestesi lokal disuntikkan, maka semua konstituennya akan masuk ke aliran
darah dan menimbulkan efek toksik ringan.
Tanda pertama dari respons sistem syaraf sentral biasanya berupa
eksitasi seperti pusing, gelisah, nausea atau sakit kepala ringan diikuti dengan
tremor dan denyut muskular terutama pada wajah, tangan dan kaki. Kemudian
akan terjadi konvulsi. Bila reaksi terjadi seperti ini umumnya reaksi hanya
berlangsung dalam waktu singkat, tetapi bila reaksi tetap ada maka saluran
pernapasan harus dipertahankan dan konvulsi dikontrol dengan pemberian
Diazepam intravena. Jarang didapati pasien dengan nervusnya menjadi
hiperventilasi dan terjadi tetani. Bila tingkatan plasma meningkat sangat cepat,
tahap stimulasi umumnya bersifat sementara dan efek depresif umumnya lebih
dominan. Pada situasi ini cenderung terjadi hilangnya kesadaran dan depresi
aktivitas respirasi atau vasomotor. Tindakan yang tepat untuk mempertahankan
fungsi tubuh yang penting perlu dilakukan pada situasi ini.
Sifat reaksi sensitivitas yang sangat berbahaya ini memerlukan
adanya pemeriksaan yang cermat dan menyeluruh pada semua pasien yang
akan mendapat penyuntikan tersebut, tentang pengalamannya bila ia mendapat
obat obat tertentu. Bila ada hal hal tertentu, seperti diduga adanya alergi,
pasien harus dirujuk ke dokter umum untuk dilakukan tes alergi yang
diperlukan untuk mengidentifikasi masalah yang sebenarnya.
Anafilaksis umumnya ditandai dengan turunnya tekanan darah yang
mendadak, hilangnya kesadaran, gangguan respirasi, oedema wajah dan
laringeal serta urtikaria. Penanganan anafilaksis adalah dengan penyuntikan
hydrocortisone hemisuccinate sodium secara perlahan dan intravena dengan
dosis 100mg dalam 2 ml larutan. Reaksi alergi yang lebih parah dapat
diredakan dengan suntikan intramuskular dari larutan adrenalin 0,1%,1 ml (1
dalam 1000), yang diulang setiap 5 menit sampai simptom mulai hilang atau
sampai dosis maksimal 5 ml. (Howe & Whitehead, 1990)
1. Perdarahan
a. Perdarahan Trauma Instrumentasi / Hematoma
Sesudah dilakukan tindakan ekstraksi gigi, metode utama yang sering
digunakan adalah dengan meletakkan gauze secara langsung pada soket.
Gauze yang terlalu besar dapat menutup permukaan oklusal gigi tetangga, dan
hal ini dapat meyebabkan tekanan yang ditimbulkan tidak tertuju kepada soket
yang berdarah. Gauze yang diletakkan harus dibasahi terlebih dahulu agar
darah yang keluar tidak akan menjendal dalam gauze, karena jika tidak, saat
gauze dilepaskan, jendalan darah juga akan ikut lepas. Pasien harus
diinstruksikan untuk menggigit gauze ini sekurang-kurangnya 30 menit dan
tidak mengunyah gauze tersebut. Pasien harus memastikan gauze tidak
bergerak, sehingga pasien tidak dapat membuka dan menutup mulut.
Perbicaraan harus diminimalkan untuk 2 atau 3 jam selepas akstraksi gigi.
Penanganan Preoperatif
Pasien harus diberitahu bahwa area pada ekstraksi yang baru saja
dilakukan, biasanya akan mengalami perdarahan kurang lebih selama 24 jam
pertama. Terkadang, volume darah yang sedikit dan saliva bercampur akan
memperlihatkan seolah-olah darah yang keluar banyak. Jika terjadi perdarahan
yang berlebih, pasien harus diinstruksikan cara-cara untuk meletakkan gauze
yang kecil secara langsung pada area ekstraksi. Pasien juga diinstruksikan
untuk tidak menggerakkan gauze selama 1 jam untuk mengontrol perdarahan.
3. Kegagalan
Kegagalan pencabutan gigi
Bila gigi gagal dicabut dengan menggunakan aplikasi tang atau elevator
dengan tekanan yang cukup maka instrumen tersebut harus dikesampingkan
dan dicari sebab kesulitan.
4. Fraktur.
a. Fraktur mahkota gigi
Fraktur mahkota gigi selama pencabutan mungkin sulit dihindarkan pada
gigi dengan karies besar sekali atau restorasi besar. Namun hal ini sering juga
disebabkan oleh tidak tepatnya aplikasi tang pada gigi, bila tang diaplikasikan
pada mahkota gigi bukan pada akar atau masa akar gigi, atau dengan sumbu
panjang tang tidak sejajar dengan sumbu panjang gigi. Juga bisa disebabkan
oleh pemilihan tang dengan ujung yang terlalu lebar dan hanya memberi
kontak satu titik sehingga gigi dapat pecah bila ditekan. Hal ini disebabkan
karena tangkai tang yang tidak dipegang dengan kuat sehingga ujung tang
mungkin terlepas/bergeser dan mematahkan mahkota gigi.
Selain itu, fraktur mahkota gigi bisa disebabkan oleh pemberian tekanan
yang berlebihan dalam upaya mengatasi perlawanan dari gigi. Untuk itulah
operator harus bekerja sesuai dengan metode yang benar dalam melakukan
pencabutan gigi.
d. Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula dapat terjadi bila digunakan tekanan yang
berlebihan dalam mencabut gigi. Bila tidak dapat dicabut dengan tekanan
sedang maka harus dicari penyebabnya dan diatasi. Selain itu juga bisa
disebabkan oleh adanya hal-hal patologis misalnya, adanya otseoporosis
senile, atrofi, osteomyelitis, pasca terapi radiasi atau osteo distrofi seperti
osteitis deforman, fibrous displasia, atau fragile oseum. Fraktur mandibula
pada saat pencabutan gigi bisa pula disebabkan oleh gigi yang tidak erupsi,
kista atau tumor.
Pencegahan dan Penanggulangan
Pada keadaan tersebut pencabutan gigi hanya boleh dilakukan setelah
pemeriksaan radiografis yang cermat serta dibuat splint sebelum operasi.
Pasien harus diberitahu sebelum operasi tentang kemungkinan fraktur
mandibula dan bila komplikasi ini terjadi penanganannya harus sesegera
mungkin. Untuk alasan-alasan tersebut sebagian besar dapat ditangani dengan
baik oleh ahli bedah mulut. Bila fraktur terjadi pada praktek dokter gigi maka
dilakukan fiksasi ekstra oral dan pasien dirujuk secepatnya ke Rumah Sakit
terdekat yang ada fasilitas perawatan bedah mulut.
5. Dislokasi
a. Dislokasi Mandibula / Sendi Temporo Mandibula
Dislokasi mandibula adalah variasi dari posisi normal facies articularis
suatu persendian. Kruger (1984) menggambarkan dislokasi mandibula sebagai
berikut. Selama gerak membuka mulut dapat terjadi keadaan dislokasi atau
luksasi sendi temporo mandibulare karena kapsula dan ligamentum temporo
mandibular dalam keadaan cukup kendor untuk menggerakkan kondilus ke
suatu titik di sebelah anterior eminentia articularis. Lalu otot-otot berkontraksi,
mengejang dan mengunci kondilus pada posisi ini. Akibat keadaan ini,
penderita tidak dapat menutup rahang ke posisi oklusi normal.
Dislokasi mandibula dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral;
dapat pula terjadi secara spontan saat penderita membuka mulut terlalu lebar,
misalnya pada saat seseorang menguap, selama dilakukan ekstrasi gigi, atau
saat penderita menerima suntikan anestesi lokal.
Penanggulangan
Reduksi dislokasi mandibula anterior adalah sebagai berikut ;
a) Penderita didudukkan pada kursi gigi, kursi gigi diatur sampai pada
kedudukan dental chair yang paling rendah.
b) Kedua ibu jari tangan operator dibalut dengan handuk/kain kasa yang
dimaksudkan untuk pelindung terhadap gigitan yang terjadi tiba-tiba saat
mandibula mengatup kembali pada posisi semula.
c) Kedua ibu jari tangan dimasukkan ke dalam rongga mulut penderita untuk
memegang gigi-gigi mandibula posterior di kedua sisi, dan keempat
operator lainnya memegang dagu penderita.
d) Mandibula ditekan ke bawah pada gigi-gigi posterior dan tekan keatas
pada dagu disertai tekanan dorongan keseluruhan bagian mandibula ke
belakang.
e) Posisi operator, adalah berdiri di depan menghadap penderita. Pada
umumnya prosedur ini mudah dijalankan tetapi kadang-kadang dijumpai
keadaan yang sulit, yaitu apabila terdapat kekejangan pada otot-otot
penutup mulut. Pada kasus terakhir tersebut, maka diperlukan tindakan
mengendorkan otot penutup mulut untuk memudahkan reduksi kondilus
mandibula.
6. Kerusakan
a. Kerusakan pada gusi
Dapat dihindari dengan pemilihan tang secara cermat serta teknik
pencabutan gigi yang baik. Bila gusi menempel pada gigi yang akan dicabut
dari soketnya, gusi harus dipisahkan secara hati-hati dari gigi dengan
menggunakan asrpatorium (dengan gunting/scalpel) sebelum gigi dikeluarkan.
a. Perpindahan gigi impaksi atau ujung akar ke dalam sinus maksilaris selama
upaya pencabutan.
b. Dekatnya ujung akar ke dasar sinus maksilaris. Dalam hal ini bagian tulang di
atas ujung akar sangat tipis atau bahkan tidak ada
c. Adanya lesi periapikal yang telah mengikis dinding tulang dasar sinus
maksilaris.
d. Fraktur luas dari tuberositas maksilaris (selama ekstraksi gigi posterior),
dimana bagian dari sinus maksilaris mungkin ikut dihilangkan bersama
dengan tuberositas maksila.
e. Pengambilan tulang yang luas untuk ekstraksi gigi yang impkasi atau akar
gigi. (Fragiskos, 2007)
2. Dry Socket
Keadaan klinis merupakan ostetiis yang terlokalisir yang melibatkan semua
atau sebagian tulang padat pembatas soket gigi atau lamina dura. Penyebabnya
belum jelas tetapi terdapat banyak faktor predisposisi seperti faktor infeksi sebelum,
selama atau setelah pencabutan gigi merupakan faktor pemicu namun banyak juga
gigi dengan abses dan infeksi dicabut tanpa menyebabkan dry socket. Meskipun
benar bahwa setelah penggunaan tekanan yang berlebihan selama pencabutan gigi
dapat menimbulkan rasa sakit yang berlebihan tetapi ini tidak selalu terjadi, dan
komplikasi ini dapat juga terjadi pada pencabutan gigi yang sangat mudah. Banyak
ahli menduga bahwa pemakaian vaso konstriktor dalam larutan anastesi lokal dapat
memicu terjadinya dry socket dengan mempengaruhi aliran darah dalam tulang, dan
keadaan ini lebih sering terjadi pada pencabutan gigi dibawah anastesi lokal
dibandingkan dengan anastesi umum. Komplikasi dry socket lebih sering terjadi
pada pencabutan gigi bawah dari pada gigi atas.
Penanggulangan
Penanggulangannya ditujukan untuk menghilangkan sakit dan
mempercepat penyembuhan. Soket harus diirigasi dengan larutan normal
saline hangat dan semua bekuan darah degenerasi dikuret. Tulang yang tajam
dihaluskan dengan bone file/knabel tang kemudian diberi resep antibiotika dan
analgetika yang adekuat.
4. Syok
Syok didefinisikan sebagai suatu keadaan klinis yang menunjukkan ada
reduksi pada sirkulasi darah perifer atau rerata aliran darah perifer yang bermakna.
Menurut Kruger (1984) ada tiga tipe syok: 1) Primer atau nerogenik. Sinkop
termasuk pada tipe ini; 2) Jantung dan sistem sarafpusat (Cardiac and central
nervous system) dan 3) Hipovolemik. Syok yang termasuk dalam tipe syok
hipovlemik adalah syok yang disebabkab oleh trauma, pendarahan, tindakan bedah
atau luka terbakar. Pada syok tipe ini darah berkurang akibat terjadi suatu
perdaraban, plasma hilang plasma oleh proses ekstravasasi ke dalam jaringan yang
terluka atau dehidrasi. Tipe hipovolemik ini bersifat reversible artinya apabila
terapi segera dilakukan untuk mengembalikan volume darah.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Cantore, C., Ballini, A., Crincoli,V., Grassi,F.R., 2009, Treatment If Case Report: A
Case Report, Case Journal.
Cascarini, L., et al., 2012, Buku Saku Bedah Mulut dan Maksilofasial, EGC, Jakarta
Datarkar A.N., 2007, Exodontia Practice, Jaypee Brothers, New Delhi.
Ghosh P.K., 2006, Synopsis Of Oral and Maxillofacial Surgery, Jaypee Brothers, New
Delhi
Howe,G.L., 1990, Pencabutan Gigi Geligi, 2nd Ed., Buku Kedokteran, hal. 82-103.
Howe, G.L. dan Whitehead, F. I., 1990, Local Anesthesia in Dentistry, John Wright
Publisher, U.S.
Kademani D., and Tiwana P., 2015, Atlas of Oral and Maxillofacial Surgery, Elsevier
Saunders, USA.
Kajan, Z. D., Taromsari, M., 2012, Value Of Cone Beam CT In Detection Of Dental
Root Fractures, British Institute of Radiology, pg 3-10
Pedersen, G.W., : Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, 1996, 2nd Ed., Buku Kedokteran,
hal. 83-100.
Peterson, L.J.,1993, Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd ed., Mosby-St
Louis-Baltimore-Boston-Chicago-Philadelphia-Sydney-Toronto, hal : 186-224
dan 269-295.